Anda di halaman 1dari 4

PENJOR GALUNGAN

Om Swastyastu
Pada hari suci galungan sering dikaitkan dengan pemasangan penjor, yang
dipasangkan pada pintu gerbang (lebuh) dibagian kanan kearah pintu keluar,
namun seiring dengan bergulirnya perjalanan waktu pembuatan penjor semakin
semarak dalam proses pembuatan dengan aksesoris dari penjor yang dibuat dengan
berbagai macam seperti dari unsur plastik, unsur pewarna bahkan semuanya
semakin wah bahkan proses pembuatannya kebanyakan umat tidak membuat
sendiri hampir isi dan maknanya tidak diketahui karena untuk memiliki penjor
dipesan melalui online, si pengorder menerima penjor terpasang didepan rumah
(penjor Siap saji). Hal ini sudah barang tentu perlu dikupas dengan pola who =
siapa, what =apa, why = mengapa, where = dimana, when =kapan, dan How =
bagaimana..
Pemasangan sebuah penjor ini dimaksudkan, adalah sebagai symbol pemujaan
kehadapan Sanghyang Siwa Meneng beserta dengan ista Dewatanya, yang
distanakan di Pura Besakih” sesungguhnya semua umat Hindu diBali pada hari
suci galungan, menghaturkan persembahan ke Pura Besakih, tetapi karena kejelian,
serta bersidfat efisiensi maka maha Rsi menciptakan budaya penjor yang memiliki
nilai-nilai “ Religiomagis” (nilai ajaran Weda) serta telah diuji kebenarannya
secara spiritual sehingga menjadi sarana (uperengga) perantara sembah bhakti
umat kehadapan sanghyang Siwa beserta manufestasinya di Besakih.
Kata penjor berasal dari kata Peenyor, yang dapat diberikan arti “Pengajum”
atau “Pengastawa”. Dengan demikian makna penjor tersebut adalah sebagai sarana
pengastawa kehadapan Hyang Siwa beserta manifestasinya yang distanakan di
Pura Besakih. Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan
pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal
membuat saja, atau membeli saja namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan
ketentuan sastra Agama, sehingga tidak terkesan perhiasan belaka (pepenjoran/
Profan) sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan simbol-
simbol suci, sebagai landasan pengaplikasian ajaran Weda, yang lebih banyak
mengandung esensi ajaran “ Brahmana dan Aranyaka” sehingga tercermin
adanya nilai-nilai ethika agama.
Unsur-unsur pada Penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut :
 Kain putih sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara
 Bambu sebagai simbol kekuatan Hyang Mahesora
 Jajan sebagai simbol dari kekuatan Hyang Brahma
 Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra
 Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa
 Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara
 Pala bungkah, pala gantung sebgai kekuatan Hyang Wisnu
 Tebu sebagai kekuatan Hyang Sambhu
 Sanggah Ardacandra sebagai simbol. Kekuatan Hyang Siwa
 Upakaranya sebagai kekuatan Hyang Sada Siwa dan Parama Siwa
Didalam Lontar “ Tutur Dewi Tapeni,lampiran 26” mempertegas kembali isi
dari pembuatan penjor upacara sebagai berikut :
“ ndah ta kite sang sujana sujani, sire umara yadnya, wruha kiteng
rumuhun, rikadaden Dewa, bhuta umungguhi Ritekapi yadnya, Dewa
mekabehan manadya sarining jagad apan saking Dewa mantuk eing
Widhi, widhi widana ngaran apan sanghyang Tri Purusa meraga
sedaging jagat Rat, bhuana kabeh, Hyang Siwa meraga Candra, hyang
sada siwa meraga “Windhune”, Sang Hyang Paramasiwa meraga Nadha,
Sang Hyang Iswara meraga Merta Upabhoga, Hyang Wisnu meraga
Sarwa pha, Hyang Brahm,a meraga sarwa Sesanganan, Hyang Rudra
meraga Kelapa, Hyang Mahadewa meraga Ruaning Gading, Hyang
Sangkara meraga Phalem, Hyang Sri Dewi meraga Pari, Hyang Sambhu
meraga Isepan, Hyang Mahesora meraga Biting……
Dari isi petikan lontar diatas, sudah secara jelas memberikan petunjuk
dan pengertian bahwa penjor tersebut telah mengandung makna yang tinggi
terhadap pelaksanaan upacara, khususnya pelaksanaaan upacara hari suci
Galungan. Oleh karena demikian, ethika pembuatan penjor untuk
kepentingan suatu upacara perlu diperhatikan, dan dilaksanakan secara
benar, agar tepat sasarannya sesuai dengan petunjuk satra agama, seperti
sanggah penjor mempergunakan sanggah ardha candra merupakan symbol
kekuatan Hyang Siwa. Mengenai pemasangan sanggah penjornya, masih
rancu dimasyarakat, ada yang menghadap kejalan ada juga yang menghadap
ke rumah, sehingga keliatan dari luar bahwa pengamalan dan pemahaman
ajaran agama tidak memiliki visi dan misi yang sama, seolah-olah
berdasarkan tafsiran sendiri-sendiri, padahal sumber sastranya jelas ada.
Dengan demikian cara pemasangan sanggah penjor adalah, mulut
sanggah tersebut menghadap kejalan bagi semua penjor upacara, khususnya
penjor pada hari suci Galungan, karena jalan tersebut merupakan simbol “
Purwa Desa” (ulu dari Pekarangan).
Lalu kapan penjor Galungan itu dipasang ? dalam Lontar Sundarigama
menyebutkan :
“ Ritelas ikang asuguh tetebasan ring Sang Kala Tiga Linuara dening
sege sinasah maring Dengen, Lumarise sire tinancebang Penjor,
Maharep Purwa Desa”
Maka berdasarkan atas pengupasan dari Tatwa Penjor maka :
Who ….. Siapa yang membuat penjor ? apakah penjor yg dibuat sudah
sesuai dengan sastra agama
What ……Apa Fungsi Penjor ? apakah sudah sesuai dengan fungsinya ?
Why…….. Mengapa penjor itu dibuat?
Where…..Dimana pemasangan Penjor itu ?
When…. Kapan Penjor itu dibuat ?
How…… Bagaimana tata cara pembuatan sehingga menjadi penjor
Upacara?
Demikian sekilas yang dapat kami sampaikan dalam Diskusi 16 yang
mengambil Topik “ Penjor Galungan” sebagai bahan Diskusi terima kasih
waktu kami kembalikan ke Host.
Om Santih, Santih Santih Om

Anda mungkin juga menyukai