Anda di halaman 1dari 19

LEMBAGA NEGARA MPR

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4 :

Muhamad Pasya Fitra ( 200510280 )


Gusfanul Marraf ( 200510323 )
Gibran Saputra ( 200510075 )
Dika Permata Winanda ( 200510352 )
Muhammad Raziq ( 190510090 )
Alda Srimaulia ( 200510202 )

MATA KULIAH :
HUKUM TATA NEGARA

PRODI HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

TAHUN AJARAN 2021/


KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah swt, kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan Makalah yang berjudul “Lembaga Negara MPR”.

Makalah ini telah kami susun sebaik mungkin dan tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada pihak yang telah memperlancar kami dalam pembuatan Makalah ini. Terlepas dari
semua ini, kami menyadari bahwasannya kami masih memiliki banyak kekurangan dalam
menyusun Makalah ini. Maka dari itu, kami dengan terbuka menerima kritik dan saran dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki kesalahan dalam makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga Makalah tentang “Lembaga Negara MPR” yang
telah kami susun dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca sekalian

lhokseumawe, 8 November 2021

kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 3
A. Pengertian MPR ........................................................................................................................ 3
B. Sejarah MPR ............................................................................................................................. 3
C. Sidang Istimewa MPR .............................................................................................................. 4
D. Dasar Hukum MPR .................................................................................................................. 9
E. Tugas Dan Wewenang MPR .................................................................................................. 11
F. Hak-hak dan kewajiban Anggota MPR ................................................................................ 13
BAB III................................................................................................................................................. 15
PENUTUP............................................................................................................................................ 15
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) mengkonstruksi lembaga
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat
yang berdaulat, tempat kemana Presiden harus tunduk dan mempertanggungjawabkan
segala pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya. Konstruksi ini termuat dalam Pasal
1 Ayat (2), bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan pada Penjelasan UUD 1945 (sebelum
perubahan), bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR”.
Ketentuan tersebut, menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
lembaga negara dimana kedaulatan seluruh rakyat Indonesia terjelma. Oleh karena itu,
segala ketetapan yang dikeluarkan MPR mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang lain, seperti
Presiden, DPR ataupun Mahkamah Agung.

Kemudian setelah perubahan ketiga UUD 1945 kedudukan dan kewenangan


MPR Pasal 1 Ayat (2) mengalami perubahan redaksional, yaitu: “Kedalutan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Ketentuan tersebut,
menempatkan MPR bukan lagi pelaksana kedaulatan rakyat dan MPR mengembalikan
mandatnya kepada rakyat selaku mandant (mandator). 4 Tetapi perubahan redaksional
Pasal 1 Ayat (2) tersebut, tidak mengubah kedudukan Ketetapan-Ketetapan MPR/S
dalam urutan hirarki lebih tinggi daripada undang-undang dan berada di bawah undang-
undang dasar.

Selanjutnya setelah lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan MPR tidak ada (hilang) dalam
hierarki urutan perundang-undangan. Kemudian dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, kedudukan ketetapan MPR kembali
berada pada urutan hierarki di bawah UUD dan di atas undang-undang.
B. Tujuan Penulisan

Dari latar belakang tersebut maka Penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan
yaitu:

1. Mengetahui sejarah dari MPR


2. Mengetahui pengertian dari MPR
3. Mengetahui fungsi adanya MPR
4. Mengetahui Kewenangan dan Hak MPR
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian MPR

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang


merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jumlah
anggota MPR periode 2014-2019 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132
anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat
anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota MPR sebelum memangku
jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua
Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan
mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
oleh pimpinan MPR.

Keanggotaan MPR diformalkan dengan keputusan presiden. Masa jabatan anggota


MPR adalah lima tahun dan berakhir ketika anggota MPR yang baru mengambil
sumpah / janji. Salah satu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah memelihara
dan mempraktekkan Pancasila, menerapkan sebuah Undang-Undang Dasar, dan
mematuhi peraturan maupun hukum.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini merupakan sebuah lembaga tertinggi


di Negara Indonesia yang penetapan serta juga pemilihan anggotanya itu dengan
melalui pemilihan umum (pemilu) legislative bersamaan dengan pemilihan langsung
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sesuai dengan kedudukannya yang
memiliki sifat legislative, maka secara umum, tugas MPR ini ialah untuk menjaga serta
juga mengawasi lembaga tinggi Negara yang memiliki sifat eksekutif. MPR sendiri
mempunyai tugas serta juga wewenang tersendiri yang telah disusun di dalam Undang-
Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia pasal 3 ayat 2 serta juga pada pasal 8 ayat 3
tahun 1945.

B. Sejarah MPR
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah
bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi
negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh
bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta
perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amendemen yang baru ditetapkan
keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra


Amendemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga
Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara
yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila
keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh
didalamnya.

Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan,


untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 1 Juni
1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam
konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan
idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan
Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota
keluarga dapat memberikan pendapatnya.

Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo


menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis
Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat,
seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan
Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen).

C. Sidang Istimewa MPR

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Sidang Istimewa MPR telah


dilaksanakan sebanyak dua kali. Sidang Istimewa MPR pertama masih di bawah nama
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Indonesia Sementara (MPRS), beragendakan
permintaan pertanggungjawaban Presiden Soekarno waktu itu atas terjadinya
pemberontakan PKI.

Ketika Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban didepan


Sidang Umum MPRS ke-4 tahun 1966, rakyat yang merasa dikhianati oleh peristiwa
pemberontakan PKI yang kemudian dikenal dengan sebutan G30S/PKI, mengharapkan
kejelasan pertanggungjawaban kebijaksanaan Presiden Soekarno mengenai
pemberontakan itu, berikut epiloginya, serta kemunduran ekonomi dan akhlak.

Isi pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi judul


"Nawaksara" itu, tidak sesuai dengan harapan rakyat dan tidak memuaskan MPRS
sebagai pemberi mandat. Akibatnya, MPRS melalui Keputusannya Nomor 5 Tahun
1966 meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggung jawabannya itu.

Permintaan MPRS itu dipenuhi Presiden Soekarno dalam suratnya tanggal 10


Januari 1967 yang diberi nama "Pelengkap Nawaksara", yang kemudian tetap
dipandang MPRS tidak memenuhi harapan rakyat, MPRS kemudian menarik
kesimpulan, Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban konstitusional.
Penolakan terhadap "Pelengkap Nawaksara" itu dituangkan dalam Keputusan Pimpinan
MPRS Nomor 13/B/1967.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dalam


resolusi dan memorandumnya tanggal 9 dan 23 Februari 1967, setelah menilai
"Nawaksara" dan "Pelengkap Nawaksara" menyatakan, kepemimpinan Presiden
Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa,
negara, dan Pancasila.

Berdasarkan pertimbangan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS untuk


mengadakan persidangan istimewa MPRS, sekaligus memberhentikan Soekarno dari
jabatan presiden dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat
Presiden.

Sidang Istimewa MPR yang diminta DPR-GR itu sesuai dengan Penjelasan
UUD 1945 yang menyatakan, "Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat.
Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer).
Kecuali itu, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat
dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap
bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-
Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat
diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab
kepada Presiden."

Sidang Istimewa MPR yang kedua berlangsung di penghujung abad 20, yang
dilaksanakan guna memenuhi tuntutan reformasi yang menghendaki
diselenggarakannya pemilu yang dipercepat, setelah Presiden Soeharto mengundurkan
diri dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto mengatakan, dirinya tidak


ingin menjadi Presiden sampai tahun 2003. Untuk itu, ia akan mengadakan pemilu yang
dipercepat, selambat-lambatnya pertengahan tahun 1999. Dan pada akhir tahun 1999,
MPR hasil pemilu sudah bisa menyelenggarakan sidang umum untuk menetapkan
garis-garis besar haluan negara, serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden.

Namun, untuk melakukan percepatan pemilu ada kendala, yaitu GBHN 1998
menetapkan pemilu diselenggarakan pada tahun 2002. Dengan ketentuan yang
ditetapkan GBHN tersebut maka bilamana pemilu akan dipercepat, ketentuan tersebut
harus diubah. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi MPR kecuali mengadakan persidangan
istimewa guna mencabut/meninjau/mengubah Ketetapan-ketetapan MPR yang terkait
dengan pemilu, karena Ketetapan MPR hanya dapat dicabut/ditinjau/ diubah oleh MPR
itu sendiri.

Untuk memenuhi maksud tersebut, dalam pertemuan konsultasi antara Presiden


BJ Habibie dengan Pimpinan DPR beserta Pimpinan Fraksi-fraksi DPR tanggal 28 Mei
1998 diperoleh kesepakatan untuk mempercepat pemilu. Disepakati pula Sidang
Istimewa MPR diselenggarakan dengan agenda pencabutan/peninjauan ketetapan-
ketetapan MPR yang terkait dengan pemilu.

Selanjutnya, dalam rapat paripurna DPR tanggal 29 Juni 1998, akhirnya DPR
secara resmi meminta MPR melaksanakan sidang istimewa. Permintaan ini dituangkan
dalam Keputusan DPR Nomor 20/DPR-RI/1998.

Penyelenggaraan dua kali sidang istimewa memiliki perbedaan dan


persamaan. Perbedaannya, pada sidang istimewa pertama didasarkan pada landasan
hukum sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UUD 1945, sedangkan sidang istimewa
yang kedua tidak ada sedikit pun landasan hukumnya, tetapi didasari pada kesepakatan
lembaga eksekutif dan legislatif. Persamaannya, kedua persidangan istimewa MPR itu
diawali dengan adanya permintaan dari DPR.

Jika kita menganggap kedua sidang istimewa itu konstitusional, timbul


pertanyaan, apakah DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa
tanpa tahapan memorandum sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/ 1978?

Jika kita teliti, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, khususnya pada Pasal 7,
merupakan penjabaran lebih lanjut dari Penjelasan UUD 1945 sebagaimana dikutip di
atas Pasal 7 Ketetapan tersebut menyebutkan

1) Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh Anggotanya adalah Anggota Majelis


berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam
rangka pelaksanaan Haluan Negara,
2) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh
melanggar Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan
memorandum untuk mengingatkan Presiden,
3) Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada Ayat (2) pasal ini, maka Dewan
Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum yang kedua,
4) Apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua tersebut pada Ayat
(3) pasal ini, tidak diindahkan Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat
dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk
meminta pertanggung jawaban Presiden.

Adakah kesimpulan yang dapat ditarik dari aturan tersebut? Ada dalam
kerangka pemberian memorandum sebagaimana telah dilakukan DPR kepada Presiden
beberapa waktu yang lalu-walaupun dalam banyak hal penyampaian memorandum itu
masih bisa diperdebatkan-tentunya mesti mengikuti tahapan-tahapan sebagaimana
diatur dalam Ketetapan MPR tersebut.

Namun, ada beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan di sini, yakni
tidak semua penyelenggaraan persidangan istimewa diawali dengan pemberian
memorandum. Dalam hal sidang istimewa diselenggarakan tidak dimaksudkan untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden karena Presiden dianggap telah sungguh-
sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan UUD 1945 atau oleh MPR, DPR
dapat langsung meminta MPR untuk mengadakan persidangan istimewa. Contoh yang
pernah dilaksanakan adalah penyelenggaraan sidang istimewa untuk mempercepat
pelaksanaan pemilu. Contoh lain, tetapi belum pernah dilaksanakan adalah apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap.

Jika demikian halnya, tanpa ada pelanggaran terhadap haluan negara, tetapi
keadaan semakin tidak menentu yang tidak hanya menyangkut
kondisi masyarakat dalam segala bidang kehidupannya (ekonomi, sosial politik,
keamanan, integrasi sosial, dan nasional yang buruk dan semakin memburuk), tetapi
juga menyangkut posisi kepresidenan, pemerintah, dan pemimpin sentral dalam sistem
pemerintahan kita, mestinya DPR dapat mengambil inisiatif meminta persidangan
istimewa MPR.

Jika kalangan DPR mencari landasan hukum agar dapat meminta persidangan
istimewa MPR atas keadaan semacam ini tentu tidak akan ditemukan, karena memang
ada kekosongan hukum. Mengenai sidang istimewa, Peraturan Tata Tertib hanya
menyebutkan tiga hal, Pasal 50 Ayat (3) Peraturan Tata Tertib MPR menyebutkan,
Sidang Istimewa Majelis adalah:

a. sidang yang diselenggarakan Majelis selain Sidang Umum dan Sidang Tahunan
Majelis;
b. sidang yang diselenggarakan Majelis atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat
untuk meminta pertanggungjawaban Presiden atas pelaksanaan putusan Majelis;
c. sidang yang diselenggarakan Majelis untuk mengisi lowongan jabatan Presiden
dan/ atau Wakil Presiden apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan
tetap.
 Ayat (3) butir a hanya menjelaskan pengertian sidang istimewa (definisi),
 Ayat (3) butir b hanya mengutip ketentuan Penjelasan UUD 1945 dan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, sedangkan
 Ayat (3) butir c hanya mengutip Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973
tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan, yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 Pasal 8 yang
menyebutkan, "Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai
habis waktunya."

Barangkali penafsiran dapat dilakukan terhadap kata-kata "tidak


dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya" yang oleh Ketetapan MPR
Nomor VII/MPR/1973 dirumuskan sebagai "berhalangan tetap". Kata-kata tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya tidak dijelaskan dalam Ketetapan
MPR tersebut. Tetapi, di dalam konsiderans "menimbang" disebutkan, "bahwa manusia
sebagai insan hamba Tuhan secara kodrati tiada luput dari hambatan dan ujian hidup,
yang antara lain dapat berupa suatu halangan yang disebabkan oleh hal-hal yang ada di
luar kemampuannya, sehingga tidak dapat menjalankan dharma, karya, dan
kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari baik secara tetap maupun untuk sementara
waktu."

Benarkah penafsiran bahwa sakit yang permanen atau tidak cakap memimpin
bangsa dan negara dikategorikan sebagai "tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya", dan karenanya disebut berhalangan tetap?

Yang berwenang memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap


putusan-putusan MPR adalah MPR sendiri. Dan penafsiran itu harus dilakukan oleh
MPR secara keseluruhan, bukan oleh pimpinan MPR atau oleh Badan Pekerja MPR
yang kebetulan saat ini bekerja secara terus-menerus. Jadi, untuk penafsiran pun
memerlukan persidangan istimewa.

D. Dasar Hukum MPR


Dasar hukum yang dimaksud di sini adalah landasan konstitusional dari
keberadaan lembaga ini. Sebelum amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi
negara. Saat ini, tidak lagi. Memang tetap sebagai lembaga tinggi tapi bukan yang
tertinggi.

Dasar hukum MPR RI Menurut UUD 1945

 Pasal 2, ayat :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun
di ibu kota negara.
3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara
terbanyak.
 Pasal 3
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan
garis-garis besar daripada haluan negara.

Dari kedua pasal tersebut, kita bisa saksikan dengan jelas landasan
konstitusional lembaga ini. Anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
berjumlah 560 orang dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berjumlah 132 orang.
Seluruh anggota tersebut bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun.

Ingat kembali bahwa pasal yang dipaparkan di atas adalah naskah asli UUD
1945. Amandemen dilakukan terhadap kedua pasal tersebut. Pasal 2 yang berubah
hanya pada ayat 1. Sedangkan pasal 3 ditambah menjadi 3 ayat.

Berikut adalah dasar hukum MPR hasil perubahan UUD 1945:

 Pasal 2, ayat:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun
di ibu kota negara.
3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara
terbanyak.
 Pasal 3, ayat:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang
Dasar.
Dengan perubahan di atas, kita melihat kewenangan MPR diatur secara lebih detail.
Sebenarnya, perubahan diatas mencerminkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan kita.
MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. MPR tetap menjadi lembaga tinggi negara
namun setara dengan lembaga eksekutif dan yudikatif. Ketiganya saling mengevaluasi dan
mengontrol.

E. Tugas Dan Wewenang MPR

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan


Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum
dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. MPR mempunyai tugas dan
wewenang, yaitu :

1. Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar;

MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan
pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah
anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan
menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.

Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan,
pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan
pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama
dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam
pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan
pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.

Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan


MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak
pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan
MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib
menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari.
Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi
kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan
sidang paripurna MPR.

Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.

2. Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam
sidang paripurna MPR;

Tugas MPR yakni dapat menunjuk dalam sebuah presiden dan wakil presiden
dari hasil pemilihan. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung pada
sidang paripurna MPR. Pelantikan ini didasarkan pada hasil pemilihan presiden
sebelumnya. Presiden dan wakil presiden terpilih ditunjuk terhadap ketua MPR.

Sebelum reformasi, MPR bahkan dapat diberdayakan untuk memilih presiden


dengan wakil presiden. Setelah itu, peraturan ini akhirnya diganti dan pemilihan
presiden dan wakil presiden dilakukan melalui pemilihan langsung rakyat
Indonesia, sedangkan MPR hanya berwenang untuk menunjuk mereka.

3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk


memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah
presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan
penjelasan di dalam sidang paripuma MPR;

4. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti,


diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya;

Dapat menunjuk dalam seorang Wakil Presiden sebagai Presiden jika Presiden
meninggalkan posisinya saat ini. Ini terjadi ketika presiden memutuskan untuk
mengundurkan diri atau dibebaskan, atau tidak dapat terus melayani sebagai
presiden, terlepas dari kenyataan bahwa itu mungkin karena sakit atau bahkan
kematian.

Jika ini terjadi sehingga kekosongan Kantor Kepresidenan menjadi kosong


sebelum akhir masa jabatannya, MPR diperintahkan untuk mengadakan rapat pleno
MPR untuk menunjuk Wakil Presiden sebagai Presiden.

5. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari;

6. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan
dalam masa jabatannya, dari dua paket calon presiden dan wakil presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden
dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga
puluh hari;

7. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.

F. Hak-hak dan kewajiban Anggota MPR

Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Memiliki hak dan kewajiban.

Hak-hak anggota MPR yaitu:

1. Memilih serta Dipilih, anggota MPR ini diberikan hak oleh Negara untuk memilih
siapapun yang sudah memenuhi syarat untuk dapat menjadi pimpinan MPR. Hak
untuk dipilih menjadi pimpinan ini juga terdapat pada anggota MPR.
2. Menentukan sikap serta pilihan, hak ini merupakan hak dasar yang terdapat pada
anggota MPR. Mereka itu memiliki hak untuk menentukan sendiri mengenai sikap
sertajuga pilihan mereka, dengan tetap tidak melanggar aturan yang berlaku.
3. Mengajukan sebuah usul untuk pengubahan UUD 1945, seperti yang sudah
dipaparkan di atas, bahwa usulan pengubahan pada UUD 1945 ini hanya bisa/dapat
diusulkan oleh anggota MPR dengan alasan yang kuat.
4. Membela diri, hak membela diri yakni hak yang diberikan agar para anggota MPR
di dalam menjalankan tugas yang penuh dengan aturan Hukum.
5. Imunitas serta protokoler, merupakan hak yang diberikan dengan tujuan
bisa langsung berpengaruh pada rakyat.
6. Keuangan serta administrative, merupakan hak mendasar yang diberikan berupa
tunjangan-tunjangan bagi tiap-tiap anggota MPR.

Kewajiban Anggota MPR, Yaitu:

1. Memegang teguh serta juga mengamalkan pancasila, kewajiban ini bukanlah


kewajiban anggota MPR semata, namun juga merupakan kewajiabn tiap-tiap warga
Negara yang hidup serta tinggal di Indonesia
2. Melaksanakan UUD 1945 serta juga menaati peraturan perundang-undangan yang
sudah berlaku.
3. Mendahulukan kepentingan rakyat serta Negara diatas kepentingan kelompok,
partai, pribadi, atau juga keluarga.
4. Melaksanakan dengan penuh kebijaksanaan peranan yakni sebagai wakil rakyat
yang sudah dipercaya oleh rakyat Indonesia.
5. Mempertahankan serta juga menjaga kerukunan nasional dan juga menjaga
jeutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan salah satu lembaga negara


dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebelum perubahan UUD 1945 di
awal reformasi pada tahun 1999-2002, MPR merupakan lembaga tertinggi dengan
kekuasaan yang sangat besar. Sehingga sebelum reformasi, MPR bersidang sedikitnya
sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

Sebelum adanya perubahan UUD 1945, MPR mengatasi semua lembaga negara
yang ada, seperti DPR, MA, hingga presiden. Sehingga MPR dapat mengatur
kedudukan dan kewenangan lembaga tinggi Negara yang ada di bawahnya. Namun,
setelah reformasi terjadi perubahan mendasar pada sistem ketatanegaraan di Indonesia.

MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi,
MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan
yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692
orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota
MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.
DAFTAR PUSTAKA
https://pendidikan.co.id/pengertian-mpr-susunan-tugas-wewenang-hak-dan-kewajibannya/
https://berkas.dpr.go.id › kamus › file › kamus-44

https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Republik_Indonesia

https://www.mpr.go.id/tentang-mpr/Kedudukan,-Tugas,-dan-Wewenang

https://ardra.biz/topik/hak-kewajiban-mpr-ri/

https://guruakuntansi.co.id/tugas-mpr/

https://sosiologis.com/dasar-hukum-mpr

https://www.academia.edu/35449121/MAKALAH_LEMBAGA_NEGARA

https://www.merdeka.com/jateng/7-fungsi-mpr-beserta-tugasnya-yang-perlu-diketahui-kln.html

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sebelum dan
Sesudah Perubahan)Oleh: Dr. Didik Sukriono, SH., M.Hum

Anda mungkin juga menyukai