Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PPKN

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

MAKALAH

Disusun Oleh:

1. Vanya Ayu Parasati ( 36 )


2. Vaisha Angie Zaskiany ( 35 )
3. Lisa Melaini Putri ( 18 )
4. Adinda Salsabila ( 02 )
5. Muamar Luthfan Dzaki ( 21 )
6. Eka Arichnaatul Faiza( 10 )

Kelompok 1

SMA NEGERI 1 PRINGSEWU


LAMPUNG
TAHUN 2021 / 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya, penyusunan makalah MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun,
berkat bimbingan dan bantuan dari pihak lain, akhirnya makalah MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) ini dapat terselesaikan. Karena itu, sudah sepantasnya
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan dan bimbingan kepada kami setiap saat.
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran,
penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
makalah yang lebih baik lagi. Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini
dapat berguna bagi kita semua.

Pringsewu, Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................... ii
YKATA PENGANTAR..................................................................................... iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian MPR..................................................................................... 3
B. Sejarah MPR.......................................................................................... 3
C. Tugas dan Wewenang MPR.................................................................. 8
D. Keanggotaan MPR................................................................................. 12
E. Hak dan Kewajiban Anggota MPR....................................................... 12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................................ 14
B. Saran...................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui bersama MPR hasil pemilihan umum Tahun 1999,
menindaklanjuti tuntutan reformasi yang menghendaki perubahan UUD 1945
dengan melakukan satu rangkaian perubahan konstitusi dalam empat tahapan
yang berkesinambungan, sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999 sampai
dengan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.

Perubahan UUD 1945 tersebut dilakukan MPR guna menyempurnakan


ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama
dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan bangsa dan
negara pada masa kini dan yang akan datang, dengan harapan dapat berlaku
untuk jangka waktu ke depan yang cukup panjang. Selain itu, perubahan UUD
1945 tersebut juga dimaksudkan untuk meneguhkan arah perjalanan bangsa
dan negara Indonesia agar tetap mengacu kepada cita-cita negara sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pasca perubahan UUD 1945, maka ada 6 (enam) lembaga Negara yang
diberikan kekuasaan secara langsung oleh konstitusi. 1Undang-Undang Dasar
merupakan hukum tertinggi di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian
kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan
kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan
Mahkamah Konstitusi (MK).

1
Dalam Bab I Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan rumusan itu
dimaksudkan, bahwa kedaulatan itu pada hakikatnya tetap melekat dan berada
di tangan rakyat, dan Undang-Undang Dasar yang mengatur pelaksanaannya.

Sebagian kedaulatan itu tetap dipegang dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat,
yaitu dalam hal memilih Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar itu, Undang-undang kemudian


juga menetapkan, rakyat tetap memegang kedaulatannya secara langsung,
yaitu dalam hal memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, memilih Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Untuk selebihnya Undang-
Undang Dasar menetapkan dibentuknya lembaga-lembaga negara (DPR,
MPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan,
Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi), dan kepada masing-masing
lembaga itu ditetapkan secara definitif fungsi dan kewenangannya sesuai
dengan posisi/kedudukannya. Lembaga-lembaga negara itu berada dalam
kedudukan yang setara. Antara lembaga yang satu dengan yang lain
dilaksanakan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi atau checks
and balances.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian MPR?
2. Bagaimana sejarah MPR?
3. Apa saja tugas dan wewenang MPR?
4. Bagaimana keanggotaan MPR?
5. Apa saja hak dan kewajiban anggota MPR?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut
Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau MPR) adalah
lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum Reformasi, MPR merupakan
lembaga tertinggi negara.

B. Sejarah MPR
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah
bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan
administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang
diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari
penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra
Amendemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra


Amendemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari
Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi
penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara
tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip
demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh di dalamnya. Kehendak untuk
mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama
kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945.
Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam
konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang
mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah

3
dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip
kekeluargaan, di mana setiap anggota keluarga dapat memberikan
pendapatnya.

Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo


menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis
Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas
seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan.
Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan
dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen).

1. Masa Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1965-1999)


Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh
karena gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantisipasi oleh para
pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) menyebutkan,
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini,
segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah
Komite Nasional.

Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi


perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan
wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan
ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian,
pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (pra Amendemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR,
yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.

4
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak
dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada
tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk
memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-
Undang Dasar.

Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-


Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang
tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah
menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak
mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.

Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959,


Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang berisikan:
a. Pembubaran Konstituante,
b. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD
Sementara 1950,
c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan


oleh Dekret Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS
sebagai berikut:
a. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
b. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
c. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah
Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.

5
d. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat
sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS
yang dikuasakan oleh Presiden.
e. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang
diangkat oleh Presiden.

Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan


Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari
257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan
Daerah.

Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-


S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI,
mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang
telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS yang
pembentukannya didasarkan pada Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan
selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959,
setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut
dipandang tidak memadai lagi.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian


keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS
menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai
MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.

Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-


S/PKI mengharapkan kejelasan pertanggungjawaban Presiden Soekarno
mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran
ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden

6
Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan
MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam
Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno
melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS


dalam suratnya tertanggal 10 Januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap
Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah
membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa
Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.
Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9
Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya
berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara
konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa,
negara, dan Pancasila”.

Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk


memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris
MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat
Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang
untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara
hukum. Sejak saat itu, maka semangat Orde Baru telah menggantikan
Orde Lama yang tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.

2. Masa Reformasi (1999-sekarang)


Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah
mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR
dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi
lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga
negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang

7
melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah
mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama
mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak
selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat
sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.

Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan


rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi
dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi
melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh
UUD 1945.

Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3


UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya
mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar.
Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu
Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan
perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

C. Tugas dan Wewenang MPR


1. Mengubah dan Menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR
tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

8
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 (satu pertiga) dari
jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis
dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta
alasannya.

Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul
pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya,
yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai
alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari
sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR
mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok
Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.

Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan


MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada
pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan
oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR
wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam
puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah
memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.

Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah
anggota ditambah 1 (satu) anggota.

9
2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam
sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan
lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi
bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan
kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09
November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).

3. Memutuskan Usul DPR untuk Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil


Presiden dalam Masa Jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
diusulkan oleh DPR.

MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan


usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada
masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima
usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran
hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil


Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-

10
kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.

4. Melantik Wakil Presiden Menjadi Presiden


Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh
Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan
sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah
menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat
paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat. Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah
Agung.

5. Memilih Wakil Presiden


Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan
sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk
memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

6. Memilih Presiden dan Wakil Presiden


Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30
(tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua)
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

11
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

D. Keanggotaan MPR
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan
golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota
MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota
DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan
berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan
sumpah/janji.

Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji


secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam
sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan
sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
oleh pimpinan MPR.

E. Hak dan Kewajiban Anggota MPR


1. Hak Anggota
a. Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
c. Memilih dan dipilih.
d. Membela diri.
e. Imunitas.
f. Protokoler.

12
g. Keuangan dan administratif.
2. Kewajiban Anggota
a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
b. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
c. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan.
e. Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam benak rakyat Indonesia sudah
sangat dikenal dan melekat di hati sanubari hampir seluruh rakyat Indonesia.
Keberadaan MPR sudah dikumandangkan sejak berdirinya Republik ini dan
secara resmi telah disebut dalam UUD 1945. Pada awalnya MPR diposisikan
sebagai lembaga representatif penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan
pemegang kedaulatan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara
tertinggi. MPR berwenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden, oleh karenanya Presiden bertanggungjawab kepada MPR karena
Presiden sebagai mandataris MPR. Lembaga ini juga berwenang merubah dan
menetapkan undang-undang dasar, serta menetapkan garis-garis besar haluan
negara.

Kewenangan MPR ini pun sifatnya insidental, artinya tidak secara rutin
dilakukan dan hanya bila ada kemauan politik saja untuk menjalankan
kewenangan ini. Dengan demikian tugas rutin MPR hanyalah dilakukan setiap
5 tahun sekali, dan tugas kesehariannya tidak ada, oleh karenanya diusulkan
agar MPR dibubarkan saja seperti halnya DPA.

F. Saran
Dari kesimpulan di atas , dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Seharusnya MPR menyadari peranannya di suatu Lembaga Negara yang
mempunyai salah satu peranan penting seperti tempat menampung aspirasi
dari masyarakat luas khususnya.
2. Kebijakan-kebijakan atau wewenang dari MPR tersebut harus sesuai
dengan keinginan rakyat itu sendiri dan tidak menyalahgunakan
wewenang tersebut untuk hal tidak perlu dilakukan serta terus terfokus
dalam menjalani tugas dengan baik untuk mendapat hasil yang baik pula.

14
DAFTAR PUSTAKA

Astim, Riyanto. 2007. Kapita Selekta Hukum Dalam Dinamika. Bandung:


YAPEMDO.

Juniarto. 1990. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Jakarta: Rineka


Cipta.

Wahidin, Samsul. 1986. MPR RI dari Masa ke Masa. Jakarta: Bina Aksara.

15

Anda mungkin juga menyukai