Anda di halaman 1dari 24

COGNITIVE THERAPY

“Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Konseling”

Dosen Pengampu: Mohamad Avicenna Ph.D., Psikolog

Disusun oleh:

Tazkiatul Aulia 11200700000092

Syafira 11200700000101

Izzah Nur Fadhilah 11200700000104

Nabila Aliya Putri 11200700000109

Millenia Aulia Nasya 11200700000172

Resti Adinia Putri 11200700000186

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. 

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan materi yang berjudul “Cognitive
Therapy” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi Konseling. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Mohammad Avicenna, Ph.D., Psikolog selaku
dosen mata kuliah Psikologi Konseling yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Semoga
makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Kami  menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, apabila terdapat kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tangerang Selatan, 08 November 2022

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
2.1 Key Concept 6
2.1.1 View of Human Nature 6
2.1.2 The Cognitive Model of the Development of Schemas 7
2.1.3 Cognitive Schemas in Therapy 7
2.1.4 Cognitive Distortions 8
2.2 Technique 12
2.3 Therapeutic Process 16
2.4 Application 19
2.4.1 Applying Cognitive Therapy with Gender Issues 19
2.4.2 Applying Cognitive Therapy with Multicultural Issues 19
2.4.3 Applying Cognitive Therapy in Group 20
2.5 Contribution & Limitation 21
2.5.1 Strength and Contribution 21
2.5.2 Limitation 21

BAB III 22
PENUTUP 22
3.1 Kesimpulan 22
DAFTAR PUSTAKA 23

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konseling merupakan salah satu cara efektif dalam membantu mengatasi konflik,
hambatan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan, sekaligus sebagai upaya dalam
peningkatan kesehatan mental. Konseling dapat membantu mengatasi permasalahan dalam
ranah psikologi manusia, yakni dengan cara berpikir, dan asumsi dalam menghadapi tes.
Dalam pemecahan masalah belajar, konselor dapat menerapkan berbagai teknik yang
dianggap dapat menyelesaikan masalah dengan efektif dan mudah diterima oleh peserta.

Cognitive Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Beck tahun 1976, yang konsep
dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian
stimulus-kognisi-respon, yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan dalam
otak manusia, dimana proses cognitive akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan
bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak. Terapi perilaku kognitif menggunakan
teori dan riset tentang proses-proses kognitif. Para terapis perilaku kognitif memberikan
perhatian pada peristiwa-peristiwa dalam diri, pemikiran, persepsi, penilaian, pernyataan
diri, dan telah mempelajari serta memanipulasi proses-proses tersebut dalam upaya
memahami dan mengubah perilaku bermasalah baik yang terlihat maupun tidak.

Terapi kognitif ini berusaha untuk mengintegrasi teknik-teknik terapeutik yang fokus
dalam membantu individu melakukan perubahan. Tidak hanya perilaku nyata tetapi juga
dalam pemikiran, keyakinan, dan sikap yang mendasarinya. Terapi kognitif-perilaku
memiliki asumsi bahwa pola pikir dan keyakinan mempengaruhi perilaku. Dan perubahan
pada kognisi dan ini dapat menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan. Bagaimana
seseorang menilai situasi dan bagaimana cara mereka menginterpretasikan suatu kejadian
akan sangat berpengaruh terhadap kondisi reaksi emosional yang kemudian akan
mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Demi memahami psikopatologi gangguan mental
dan perilaku, CBT mencoba menguraikan penyebab sebagai akibat dari adanya pikiran dan
asumsi irasional, dan adanya distorsi dalam proses pemikiran manusia.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana key concept dalam cognitive therapy?
2. Bagaimana teknik yang digunakan dalam cognitive therapy?
3. Bagaimana therapeutic process dalam cognitive therapy?
4. Bagaimana aplikasi dari cognitive therapy?
5. Bagaimana kontribusi cognitive therapy?
6. Bagaimana limitation dari cognitive therapy?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui key concept dalam cognitive therapy?
2. Untuk mengetahui teknik yang digunakan dalam cognitive therapy?
3. Untuk mengetahui therapeutic process dalam cognitive therapy?
4. Untuk mengetahui aplikasi dari cognitive therapy?
5. Untuk mengetahui kontribusi cognitive therapy?
6. Untuk mengetahui limitation dari cognitive therapy?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Key Concept


2.1.1 View of Human Nature

Beck, sebelumnya seorang terapis psikoanalitik yang berpraktik selama bertahun-tahun,


ia semakin tertarik pada pemikiran spontan kliennya (gagasan pribadi yang dipicu oleh
rangsangan tertentu yang mengarah pada respons emosional). Sebagai bagian dari studi
penelitian psikoanalitik, dia memeriksa isi mimpi klien depresi untuk kemarahan yang mereka
putar kembali pada diri mereka sendiri. Dia mulai memperhatikan bahwa alih-alih kemarahan
yang direfleksikan, seperti yang diteorikan Freud dengan depresi, klien menunjukkan bias
negatif dalam interpretasi atau pemikiran mereka. Beck meminta klien untuk mengamati pikiran
spontan negatif mereka yang bertahan meskipun bertentangan dengan bukti objektif, dan sejak
awal ia mengembangkan salah satu teori psikopatologi paling komprehensif di dunia.

Beck menyatakan bahwa persepsi dan pengalaman adalah “proses aktif yang melibatkan
data inspektif dan introspektif”. Bagaimana seseorang “menjelaskan suatu situasi pada umumnya
terlihat pada kognisinya (pikiran dan gambaran visual)”. Oleh karena itu, pikiran yang
disfungsional akan menyebabkan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Jika persepsi tidak
diubah maka tidak akan ada kemajuan yang signifikan dari perilakunya. Namun, jika apa yang
diyakini bisa berubah maka perilakunya pun akan ikut berubah. Dalam kata lain, terapi kognitif
ini berpendapat bahwa bagaimana cara pandang seseorang dengan dunianya mempengaruhi
perasaan dan perilakunya.

Individu cenderung mempertahankan keyakinan inti mereka tentang diri mereka sendiri,
dunia mereka, dan masa depan mereka. Fokus utama terapi kognitif adalah untuk membantu
klien dalam memeriksa dan merestrukturisasi keyakinan inti mereka (atau skema inti) (Dozois &
Beck, 2011). Dengan mendorong klien untuk mengumpulkan dan menimbang bukti untuk
mendukung keyakinan mereka, terapis membantu klien membawa perubahan abadi dalam
suasana hati dan perilaku mereka.

5
2.1.2 The Cognitive Model of the Development of Schemas

Terapis kognitif melihat keyakinan individu sebagai awal pada anak usia dini dan
berkembang sepanjang hidup. Pengalaman masa kanak-kanak awal mengarah pada keyakinan
dasar tentang diri sendiri dan dunia seseorang. Keyakinan ini dapat diatur ke dalam skema
kognitif. Biasanya, individu mengalami dukungan dan cinta dari orang tua, yang mengarah pada
keyakinan seperti "Saya menyenangkan" dan "Saya kompeten", yang pada gilirannya mengarah
pada pandangan positif tentang diri mereka sendiri di masa dewasa. Orang yang mengalami
disfungsi psikologis, berbeda dengan mereka yang memiliki fungsi yang sehat, memiliki
pengalaman negatif yang dapat menyebabkan keyakinan seperti "Saya tidak dapat dicintai" dan
"Saya tidak memadai." Ketika kondisi ini terjadi, individu sering bereaksi dengan emosi negatif
yang kuat. Skema ini sering diakibatkan oleh interaksi masa kanak-kanak yang disfungsional
sebelumnya dengan anggota keluarga. Melalui sistem kepercayaan yang dikembangkan
anak-anak ini, mereka mulai melihat realitas dengan cara yang menyebabkan masalah dalam
berfungsi secara internal atau dengan orang lain. Skema seperti itu kemungkinan akan berlanjut
hingga remaja dan dewasa. Pengalaman perkembangan ini, bersama dengan insiden kritis atau
pengalaman traumatis, mempengaruhi sistem kepercayaan individu. Pengalaman negatif, seperti
diejek oleh guru, dapat menyebabkan keyakinan bersyarat seperti "Jika orang lain tidak
menyukai apa yang saya lakukan, saya tidak berharga." Keyakinan tersebut dapat menjadi dasar
bagi individu sebagai skema kognitif negatif.

2.1.3 Cognitive Schemas in Therapy

Bagaimana pasien berpikir tentang dunia mereka dan keyakinan penting mereka dan
asumsi tentang orang, peristiwa, dan lingkungan merupakan skema kognitif. Ada dua tipe dasar
skema kognitif: positif (adaptif) dan negatif (maladaptif). Apa yang bisa menjadi skema adaptif
dalam satu situasi mungkin maladaptif di situasi lain.

Dalam menggambarkan skema, Beck dan Weishaar (1989) mencatat bahwa skema
berkembang dari pengalaman pribadi dan interaksi dengan orang lain. Beberapa skema dikaitkan
dengan kerentanan kognitif atau kecenderungan tekanan psikologis. Misalnya, pasien yang
mengalami depresi mungkin memiliki skema negatif seperti "Saya tidak bisa melakukan apa pun
dengan benar," "Saya tidak akan berarti apa-apa," dan "Orang lain jauh lebih mahir daripada

6
saya." Dengan cara ini, kerentanan kognitif dapat dilihat dalam skema yang terdistorsi atau
negatif.

Ketika seorang pasien menyajikan skema negatif, terapis mungkin mencatat pergeseran
kognitif. Untuk setiap gangguan psikologis, distorsi kognitif tertentu mungkin ada. Dengan
mendiagnosis gangguan tersebut, terapis dapat memahami bagaimana klien mengintegrasikan
data dan bertindak sesuai dengan data tersebut. Dengan demikian, klien yang cemas mungkin
merasakan ancaman saat mengemudi pulang dan mengambil rute yang ditentukan yang mungkin
termasuk alternatif jika kemacetan lalu lintas atau kecelakaan terlihat di depan. Dengan
mengamati klien yang menggambarkan situasi ini, terapis dapat merasakan pergeseran afektif
yang menunjukkan bahwa klien telah membuat pergeseran kognitif. Sinyal dari perubahan
semacam itu bisa berupa ekspresi wajah atau tubuh dari emosi atau stres. Dalam kasus seperti
itu, terapis kemungkinan akan menindaklanjuti kognisi emosional dengan pertanyaan seperti
"Apa yang Anda pikirkan barusan?"

Dalam menjelaskan skema lebih lanjut, Clark, Beck, dan Alford (1999) memberikan lima
jenis skema: kognitif-konseptual, afektif, fisiologis, perilaku, dan motivasi. Skema
kognitif-konseptual menyediakan cara untuk menyimpan, menafsirkan, dan membuat makna
dunia kita. Keyakinan inti adalah skema kognitif-konseptual. Skema afektif mencakup perasaan
positif dan negatif. Skema fisiologis adalah skema yang mencakup persepsi fungsi fisik, seperti
reaksi panik yang dapat mencakup hiperventilasi. Skema perilaku adalah tindakan yang
dilakukan, seperti melarikan diri saat ketakutan. Skema motivasi terkait dengan skema perilaku
di mana mereka sering memulai suatu tindakan. Contoh skema motivasi termasuk keinginan
untuk menghindari rasa sakit, makan, belajar, dan bermain. Skema ini bisa adaptif atau
maladaptif.

2.1.4 Cognitive Distortions

Beck berpendapat bahwa orang dengan kesulitan emosional cenderung melakukan


"kesalahan logis" karakteristik yang mendistorsi realitas objektif. Keyakinan atau skema penting
individu tunduk pada distorsi kognitif. Karena skema sering dimulai pada masa kanak-kanak,
proses berpikir yang mendukung skema mungkin mencerminkan kesalahan awal dalam
penalaran. Distorsi kognitif muncul ketika pemrosesan informasi tidak akurat atau tidak efektif.

7
Dalam karya aslinya dengan depresi, Beck (1967) mengidentifikasi beberapa distorsi kognitif
yang signifikan yang dapat diidentifikasi dalam proses berpikir orang depresi. Freeman (1987)
dan DeRubeis, Tang, dan Beck (2001) telah membahas berbagai distorsi kognitif umum yang
dapat ditemukan pada gangguan psikologis yang berbeda. Sembilan di antaranya:

● All-or-nothing thinking

Dengan berpikir bahwa sesuatu harus persis seperti yang kita inginkan atau itu adalah kegagalan,
kita terlibat dalam pemikiran semua-atau-tidak sama sekali, atau dikotomis. Seorang siswa yang
mengatakan, "Kecuali saya mendapat nilai A dalam ujian, saya telah gagal" terlibat dalam
pemikiran semua-atau-tidak sama sekali. Nilai A– dan B kemudian menjadi gagal dan dianggap
tidak memuaskan.

● Selective abstraction

Kadang-kadang individu memilih ide atau fakta dari suatu peristiwa untuk mendukung
pemikiran depresi atau negatif mereka. Misalnya, seorang pemain bisbol yang memiliki beberapa
pukulan dan permainan fielding yang sukses mungkin fokus pada kesalahan yang telah dia buat
dan memikirkannya. Dengan demikian, pemain bola secara selektif mengabstraksi satu peristiwa
dari serangkaian peristiwa untuk menarik kesimpulan negatif dan merasa tertekan.

● Mind reading

Ini mengacu pada gagasan bahwa kita tahu apa yang dipikirkan orang lain tentang kita.
Misalnya, seorang pria dapat menyimpulkan bahwa temannya tidak lagi menyukainya karena dia
tidak akan pergi berbelanja dengannya. Padahal, teman mungkin punya banyak alasan, seperti
komitmen lain, untuk tidak berbelanja.

● Negative prediction

Ketika seseorang percaya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, dan tidak ada bukti yang
mendukungnya, ini adalah prediksi negatif. Seseorang dapat memprediksi bahwa dia mungkin
gagal dalam ujian, meskipun dia telah mengerjakan ujian dengan baik sebelumnya dan siap

8
untuk ujian yang akan datang. Dalam hal ini, kesimpulan tentang kegagalan—prediksi
negatif—tidak didukung oleh fakta.

● Catastrophizing

Dalam distorsi kognitif ini, individu mengambil satu peristiwa yang mereka khawatirkan dan
membesar-besarkannya sehingga mereka menjadi takut. Jadi, “Saya tahu ketika saya bertemu
manajer regional, saya akan mengatakan sesuatu yang bodoh yang akan membahayakan
pekerjaan saya. Saya tahu saya akan mengatakan sesuatu yang akan membuatnya tidak mau
mempertimbangkan saya untuk kemajuan” mengubah pertemuan penting menjadi bencana yang
mungkin terjadi.

● Overgeneralization

Membuat aturan berdasarkan beberapa peristiwa negatif, individu mendistorsi pemikiran mereka
melalui generalisasi yang berlebihan. Misalnya, seorang siswa kelas dua SMA mungkin
menyimpulkan: “Karena nilai matematika saya buruk, saya bukan siswa yang baik.” Contoh lain
adalah orang yang berpikir karena “Alfred dan Bertha marah padaku, teman-temanku tidak akan
menyukaiku, dan tidak mau berhubungan denganku.” Dengan demikian, pengalaman negatif
dengan beberapa peristiwa dapat digeneralisasi menjadi aturan yang dapat mempengaruhi
perilaku di masa depan.

● Labeling and mislabeling

Pandangan negatif tentang diri sendiri diciptakan oleh pelabelan diri berdasarkan beberapa
kesalahan. Seseorang yang memiliki beberapa insiden canggung dengan kenalannya mungkin
menyimpulkan, “Saya tidak populer. Saya pecundang” daripada “Saya merasa canggung
berbicara dengan Harriet.” Dalam pelabelan dan mislabeling dengan cara ini, individu dapat
menciptakan rasa yang tidak akurat tentang diri mereka sendiri atau identitas mereka. Pada
dasarnya, pelabelan atau mislabeling adalah contoh dari generalisasi yang berlebihan sedemikian
rupa sehingga pandangan seseorang tentang diri sendiri terpengaruh.

● Magnification or minimization

9
Distorsi kognitif dapat terjadi ketika individu memperbesar ketidaksempurnaan atau
meminimalkan poin yang baik. Mereka mengarah pada kesimpulan yang mendukung keyakinan
inferioritas dan perasaan depresi. Contoh magnification adalah atlet yang mengalami tarikan otot
dan berpikir, “Saya tidak akan bisa bermain di pertandingan hari ini. Karier atletik saya mungkin
sudah berakhir.” Sebaliknya, contoh minimization adalah atlet yang akan berpikir, “Meskipun
hari saya bermain bagus hari ini, itu tidak cukup baik. Itu tidak sesuai dengan standar saya. ”
Baik dalam magnification atau minimization, atlet cenderung merasa tertekan.

● Personalization

Mengambil peristiwa yang tidak berhubungan dengan individu dan membuatnya bermakna
menghasilkan distorsi kognitif personalisasi. Contohnya termasuk "Selalu hujan ketika saya akan
pergi piknik" dan "Setiap kali saya pergi ke pusat perbelanjaan, selalu ada lalu lintas yang luar
biasa." Orang tidak menyebabkan hujan atau lalu lintas; peristiwa ini berada di luar kendali
kami. Selain itu, ketika orang ditanyai, mereka dapat memberikan contoh bagaimana tidak selalu
hujan ketika mereka merencanakan fungsi di luar ruangan dan bahwa mereka tidak selalu
menghadapi tingkat lalu lintas yang sama saat berbelanja. Misalnya, lalu lintas biasanya lebih
padat pada waktu-waktu tertentu dibandingkan waktu lainnya, dan jika seseorang memilih untuk
berbelanja pada waktu tertentu, lalu lintas akan lebih banyak atau lebih sedikit.

Jika hal itu sering terjadi, distorsi kognitif tersebut dapat menyebabkan tekanan atau
gangguan psikologis. Membuat kesimpulan dan menarik kesimpulan dari suatu perilaku adalah
bagian penting dari fungsi manusia. Individu harus memantau apa yang mereka lakukan dan
menilai kemungkinan hasil untuk membuat rencana tentang kehidupan sosial, kehidupan
romantis, dan karier mereka. Ketika distorsi kognitif sering terjadi, individu tidak dapat lagi
melakukan ini dengan sukses dan mungkin mengalami depresi, kecemasan, atau gangguan
lainnya. Terapis kognitif mencari distorsi kognitif dan membantu klien mereka memahami
kesalahan mereka dan membuat perubahan dalam pemikiran mereka.

Terapis kognitif beroperasi dengan asumsi bahwa cara penting untuk menghasilkan
perubahan yang bertahan lama dalam emosi dan perilaku disfungsional adalah dengan
memodifikasi pemikiran yang tidak akurat dan disfungsional. Terapis kognitif mengajarkan klien
bagaimana mengidentifikasi kognisi yang terdistorsi dan disfungsional ini melalui proses

10
evaluasi. Melalui upaya kolaboratif, klien mempelajari pengaruh kognisi terhadap perasaan dan
perilaku mereka dan bahkan pada peristiwa lingkungan. Dalam terapi kognitif, klien belajar
untuk terlibat dalam pemikiran yang lebih realistis, terutama jika mereka secara konsisten
memperhatikan saat-saat ketika mereka cenderung terjebak dalam pemikiran negatif.

Setelah mereka memperoleh wawasan tentang bagaimana pikiran spontan mereka yang
tidak realistis mempengaruhi mereka, klien diajari untuk menguji pikiran spontan ini terhadap
kenyataan dengan memeriksa dan menimbang bukti yang mendukung dan menentang mereka.
Mereka dapat mulai memantau frekuensi di mana keyakinan ini mengganggu situasi dalam
kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang sering diajukan adalah, “Apa bukti untuk _____?”
Proses kritis memeriksa pikiran otomatis dan keyakinan inti mereka melibatkan pengujian
empiris mereka dengan secara aktif terlibat dalam dialog Socrates dengan terapis, melaksanakan
tugas pekerjaan rumah, melakukan eksperimen perilaku, mengumpulkan data pada asumsi yang
mereka buat, dan membentuk interpretasi alternatif (Dattilio, 2000a). Freeman & Dattilio, 1994;
Tompkins, 2004, 2006). Dari awal pengobatan, klien belajar untuk menggunakan keterampilan
pemecahan masalah dan koping yang spesifik. Melalui proses penemuan terbimbing, klien
memperoleh wawasan tentang hubungan antara pemikiran mereka dan cara mereka bertindak
dan merasa.

Terapi kognitif difokuskan pada masalah saat ini, terlepas dari diagnosis klien. Masa lalu
dapat dibawa ke dalam terapi ketika terapis menganggap penting untuk memahami bagaimana
dan kapan keyakinan disfungsional inti tertentu berasal dan bagaimana ide-ide ini memiliki
dampak saat ini pada skema spesifik klien (Dattilio, 2002a). Tujuan dari terapi singkat ini
termasuk memberikan bantuan gejala, membantu klien dalam menyelesaikan masalah mereka
yang paling mendesak, dan mengajarkan strategi pencegahan kekambuhan klien.

2.2 Technique
Berbagai macam teknik kognitif digunakan dalam konseling untuk membantu klien
mengatasi masalahnya. Beberapa teknik fokus untuk memunculkan dan menantang pemikiran
otomatis (automatic thoughts), sedangkan yang lainnya berfokus pada asumsi maladaptif atau
skema kognitif yang tidak efektif. Pendekatan umum dalam terapi kognitif adalah menguji
pemikiran otomatis melalui eksperimen atau analisis logis. Berikut adalah delapan strategi umum

11
yang dapat digunakan dalam terapi kognitif untuk membantu klien mengubah pola pikir yang
maladaptif.

1. Memahami makna idiosinkratik (Understanding idiosyncratic meaning)

Suatu kata dapat memiliki arti yang berbeda bagi orang-orang, hal ini tergantung pada
pemikiran otomatis (automatic thoughts) dan skema kognitif mereka. Seringkali tidak cukup bagi
terapis untuk berasumsi bahwa mereka tahu apa yang klien maksudkan dengan kata-kata
tertentu, seperti orang yang depresi cenderung menggunakan kata-kata yang tidak jelas seperti
kesal, pecundang, atau bunuh diri. Oleh karena itu, dengan bertanya kepada klien dapat
membantu terapis untuk memahami proses berpikir klien.

Klien : Aku benar-benar pecundang, semua yang saya lakukan benar-benar menunjukkan
bahwa saya adalah seorang pecundang.

Terapis: Anda mengatakan bahwa anda pecundang, apa maksudnya menjadi pecundang?

Klien : Tidak pernah mendapatkan apa yang anda inginkan, kehilangan segalanya.

Terapis: Apa yang membuat anda kalah?

Klien : Ya, saya tidak kalah banyak.

Terapis: Baik, kalau begitu mungkin anda bisa memberi tahu saya apa yang membuat anda
merasa kalah, karena saya kesulitan memahami pernyataan anda, bahwa anda adalah seorang
pecundang.

2. Challenging absolutes

Klien seringkali menunjukkan kesusahan mereka dengan membuat pernyataan ekstrem,


seperti “Semua orang di tempat kerja lebih pintar dari saya.” Pernyataan tersebut menggunakan
kata-kata seperti semua orang, selalu, tidak pernah, dan tidak seorang pun. Kata-kata tersebut
masih terlalu umum, sehingga terapis dapat mempertanyakan atau menantang pernyataan mutlak
(absolute statement) agar klien dapat mengungkapkannya dengan lebih jelas dan akurat.

Klien : Semua orang di tempat kerja lebih pintar dari saya

Terapis: Semuanya? Setiap orang di tempat kerja lebih pintar dari anda?

12
Klien : Ya, mungkin tidak semua, karena ada banyak orang di tempat kerja yang tidak saya
kenal dengan baik. Tetapi bos saya tampaknya lebih pintar, dia sepertinya benar-benar tahu apa
yang sedang terjadi.

Terapis: Perhatikan bagaimana anda merubah pernyataan dari semua orang di tempat kerja
menjadi hanya bos Anda.

Klien : Saya kira itu hanya bos saya, dia memiliki banyak pengalaman di bidang saya dan
tampaknya ia tahu apa yang harus dilakukan.

3. Atribusi ulang (Reattribution)

Klien seringkali mengaitkan tanggung jawab atas suatu situasi atau peristiwa dengan diri
mereka sendiri, seperti menyalahkan diri sendiri dan itu membuat klien merasa tertekan. Teknik
reattribution dapat digunakan untuk membantu klien mendistribusikan tanggung jawab dengan
cara yang lebih adil terhadap suatu peristiwa.

Klien : Jika bukan karena saya, pacar saya tidak akan meninggalkan saya.

Terapis: Dalam suatu hubungan, kedua belah pihak saling berkontribusi. Oleh karena itu, mari
kita lihat apakah itu semua salahmu, atau Beatrice mungkin juga berperan dalam hal ini.

4. Pelabelan distorsi (Labeling of distortions)

Beberapa distorsi kognitif seperti pemikiran semua-tidak sama sekali, generalisasi


berlebihan, dan abstraksi selektif telah disinggung pada teknik sebelumnya. Memberi label pada
distorsi semacam itu dapat membantu klien dalam mengkategorikan pikiran otomatis yang
mengganggu penalaran mereka. Sebagai contoh, seorang klien yang percaya bahwa ibunya selalu
mengkritiknya mungkin akan ditanyai apakah ini adalah bentuk penyimpangan dan apakah klien
melebih-lebihkan tentang perilaku ibunya.

5. Decatastrophizing

Dalam berjalannya terapi, klien bisa saja takut akan hasil yang tidak diinginkan terjadi.
Maka dalam situasi seperti ini penggunaan “what-if” teknik dapat mengatasi situasi tersebut.
Contohnya sebagai berikut:

Klien : Jika saya tidak membuat list dekan pada semester ini, sesuatu akan berakhir untuk saya

13
Terapis: Dan jika kamu tidak membuat list dekan, apa yang akan terjadi pada mu?

Klien : Yaa, itu akan mengerikan, saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan.

Terapis: Nah, apa yang akan terjadi kalau kamu tidak membuat list dekan?

Klien : Saya kira itu akan bergantung pada nilai saya. Akan ada perbedaan yang besar antara
mendapatkan semua B dan tidak membuat daftar dekan dan mendapatkan C semua.

Terapis: Dan jika kamu mendapatkan B semua?

Klien : Saya kira itu tidak akan terlalu buruk, saya bisa melakukan yang lebih di semester
berikutnya.

Terapis: Dan jika kamu mendapatkan C semua?

Klien : itu benar-benar tidak mungkin, saya melakukan yang jauh lebik baik saat di kelas. Itu
mungkin akan berdampak pada kesempatan saya dalam melanjutkan sekolah hukum, tapi saya
mungkin bisa pulih.

6. Challenging all-or-nothing thinking

Merupakan pemikiran yang mengarah pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi


kualitas pribadi diri sendiri secara ekstrim dalam kategori ‘hitam/putih.’ Pemikiran “bila saya
tidak begini maka saya tidak bisa berbuat apa apa.” Pemikiran ini merupakan dasar dari sikap
perfeksionisme yang berlebihan dan menuntut kesempurnaan

Terapis dapat menggunakan proses yang disebut penskalaan, yang mengubah dikotomi
menjadi kontinum. Dengan demikian, nilai dipandang sebagai derajat yang bervariasi. Klien
akan menanggapi secara berbeda kemungkinan mendapatkan skala 3 daripada skala 3,25
dibanding kemungkinan melihat daftar dekan atau tidak daftar dekan.

7. Listing advantage and disadvantages

Terkadang sangat membantu bagi pasien untuk menuliskan keuntungan dan kerugian dari
keyakinan atau perilaku tertentu mereka. Misalnya, seorang siswa dapat menuliskan keuntungan
dari memelihara keyakinan "Saya harus membuat daftar dekan" dan kerugian dari keyakinan
seperti itu. Pendekatan ini agak mirip dengan penskalaan, karena mendaftar keuntungan dan

14
kerugian dari suatu keyakinan membantu individu menjauh dari posisi semua-atau-tidak sama
sekali.

8. Cognitive rehearsal

Latihan kognitif dapat dilakukan dengan menggunakan imajinasi. Misalnya, seorang


wanita yang membayangkan ketika berbicara dengan bosnya untuk meminta kenaikan gaji,
kemudian bosnya merespons dengan mengatakan “Beraninya kamu berbicara dengan saya
tentang masalah ini?” Citra destruktif ini diganti melalui latihan kognitif. Wanita tersebut dapat
membayangkan ketika dirinya berbicara meminta kenaikan gaji dan bosnya mengabulkan
permintaannya. Latihan kognitif dapat dilakukan agar wanita tersebut menyampaikan
permintaannya dengan cara yang tepat, dengan bos yang tidak mengabulkan permintaannya di
satu kesempatan menjadi bos yang mengabulkan permintaannya di kesempatan lain.

2.3 Therapeutic Process


Terapi kognitif memiliki pendekatan yang terstruktur. Sesi awal terapi adalah penilaian
masalah, pengembangan hubungan yang kolaboratif, dan konseptualisasi kasus. Seiring
berkembangnya terapi, pendekatan guided discovery digunakan untuk membantu klien belajar
memahami pemikiran mereka yang tidak akurat. Selain itu, terdapat aspek penting lainnya pada
proses terapeutik, yaitu: metode identifikasi pemikiran dan penugasan (homework) yang
dilakukan selama proses terapi berlangsung. Dan sesi akhir terapi ditutup dengan terminasi
(Sharf, 2012, 385).

1. Guided discovery

Guided discovery atau yang juga disebut sebagai dialog Socrates bertujuan untuk
membantu klien mengubah keyakinan dan asumsi maladaptif. Pada sesi ini terapis membimbing
klien agar menemukan cara berpikir dan berperilaku yang lebih baik dengan mengajukan
beberapa pertanyaan dengan memanfaatkan informasi yang ada untuk menantang keyakinan
klien.

Klien : Saya takut ketika saya melaporkan pekerjaan baru saya pada hari Senin, orang akan
beranggapan bahwa saya tidak bisa melakukan pekerjaan sebelumnya.

Terapis: Mengapa anda bisa membuat asumsi seperti itu?

15
Klien : Rasanya seperti saya bisa membaca pikiran orang lain, saya tahu apa yang akan terjadi.

Terapis: Lalu asumsi apa yang anda buat?

Klien : Saya tahu apa yang ada dipikiran teman-teman baru saya pikirkan tentang saya.

2. The three-question technique

Teknik tiga pertanyaan yang terdiri dari serangkaian pertanyaan yang dirancang untuk
membantu klien merevisi pemikiran negatif. Melalui serangkaian pertanyaan ini, terapis akan
menyelidiki lebih jauh pemikiran negatif klien dan menghasilkan pemikiran yang lebih objektif.
Teknik ini merupakan perpanjangan dari metode Socrates yang dapat membantu klien mengubah
keyakinan mereka.

1. Apa bukti dari keyakinan anda?


2. Cara lain menurut anda untuk menginterpretasi situasinya?
3. Jika benar, lalu apa implikasinya?

Liese (1993) memberikan contoh seorang dokter yang menggunakan teknik tiga
pertanyaan dengan pasien AIDS (Sharf, 2012, 385).

Dr : Anda mengatakan kepada saya bahwa beberapa orang akan mencemooh Anda ketika
mereka mengetahui tentang penyakit Anda, apa bukti dari keyakinan Anda ini?

Pasien : Saya tidak punya bukti, saya hanya merasa seperti itu.

Dr : Anda “merasa seperti itu” adakah cara lain anda bisa melihat situasinya?

Pasien : Saya kira teman sejati saya tidak akan meninggalkan saya.

Dr : Jika beberapa orang, pada kenyataannya meninggalkan anda, apa implikasinya?

Pasien : Saya kira saya dapat memahaminya, selama teman sejati saya tidak meninggalkan saya.

3. Specifying automatic thoughts

Bentuk intervensi awal yang meminta klien untuk berdiskusi dan mencatat pikiran
negatif. Menentukan pemikiran menggunakan catatan pemikiran disfungsional, lalu berlanjut ke
sesi berikutnya. Berikut merupakan contoh dari automatic thoughts:

16
Sejak sesi pertama, saya bertanya kepada klien saya seberapa sering dia memiliki
pikiran negatif. Klien saya menjawab bahwa ia memilikinya (pikiran negatif) pada
waktu-waktu tertentu, tetapi jarang. Saya memberikannya pekerjaan rumah untuk
mencatat sebanyak mungkin pemikirannya.

4. Homework

Pekerjaan rumah diberikan untuk membantu terapis mengumpulkan data, melihat


perubahan kognitif dan perilaku klien, dan untuk membantu klien mengembangkan keterampilan
yang telah dipelajari ke kehidupan sehari-hari. Dengan terapis memberikan pekerjaan rumah,
klien didorong untuk aktif bekerja di luar sesi terapi agar klien semakin mahir dalam
meminimalkan pemikiran irasional dan gangguan dalam perasaan dan perilaku (Corey, 2017,
275).

Pekerjaan rumah dirancang dan disepakati dengan hati-hati dan ditujukan untuk membuat
klien melakukan tindakan-tindakan produktif yang berkontribusi pada perubahan emosional dan
sikap. Tugas-tugas yang telah diberikan akan diperiksa oleh terapis di sesi berikutnya. Pekerjaan

17
rumah yang tidak diselesaikan oleh klien, menunjukkan masalah dalam hubungan antara terapis
dan klien atau keyakinan disfungsional klien tentang melakukan tugas pekerjaan rumah.

5. Session format

Seorang terapis memiliki format tersendiri yang mereka sesuaikan dengan masalah klien
yang berbeda. Terapis dan klien menyepakati agenda sesi terapi berdasarkan tinjauan masalah
yang mungkin muncul. Selain itu, terapis juga meminta umpan balik kepada klien mengenai sesi
sebelumnya dan masalah yang mungkin terjadi sejak pertemuan terakhir. Umpan balik dari klien
menjadi elemen penting dari hubungan kolaboratif antara terapis dan klien. Terapis dan klien
meninjau pekerjaan rumah yang telah diberikan dan melihat bagaimana perkembangan klien
selama sesi berlangsung.

6. Termination

Pada awal sesi, terminasi atau penghentian dapat direncanakan. Selama sesi terapi
berlangsung, terapis mendorong klien untuk memantau pikiran atau perilaku, melaporkannya,
dan mengukur perkembangannya. Pada tahap terminasi, terapis dan klien akan mendiskusikan
bagaimana klien dapat melakukan keterampilan atau kemampuan yang telah dipelajari selama
sesi terapi dengan mandiri tanpa bantuan terapis. Setelah sesi terapi berakhir, klien akan
menangani masalahnya sendiri.

2.4 Application
2.4.1 Applying Cognitive Therapy with Gender Issues

Dalam mengaplikasikan terapi kognitif pada klien, seorang konselor juga perlu untuk
mempertimbangkan isu-isu tentang gender. David dan Padesky (1989) dalam analisis mereka
tentang distorsi kognitif yang umum terjadi pada wanita menjelaskan masalah yang berkaitan
dengan penilaian diri sendiri, perasaan terampil, rasa bertanggung jawab dalam hubungan,
kekhawatiran dalam masalah citra tubuh, hidup sendiri, hubungan dengan pasangan, peran orang
tua, masalah pekerjaan, dan viktimisasi. Menurut keduanya, keuntungan dari terapi kognitif
adalah mengajarkan klien untuk membantu diri mereka sendiri dan bertanggung jawab untuk
mengenali skema diri negatif yang mengganggu kemandirian dan kekuatan. Piasecki dan Hollon
(1987) dan Dunlap (1997) juga menggambarkan tantangan menggunakan terapi kognitif pada
wanita, yaitu ketika merawat wanita yang mengalami depresi. Tantangan yang dihadapi adalah

18
saat membantu wanita membantah pikiran dan keyakinan mereka sementara pada saat yang sama
wanita mengakui nilai dari pandangan mereka sendiri. Karena terapi kognitif aktif dan
terstruktur, terapis perlu berhati-hati untuk tidak mengambil terlalu banyak kekuasaan atau
tanggung jawab dalam kontrak terapeutik. Pada pria, terapi kognitif dapat membantu dalam
pemecahan masalah (problem solving). Pria mungkin lebih nyaman menggunakan terapi kognitif
yang mengandalkan logika dibandingkan dengan emosi, terutama pada pria yang dirinya sulit
untuk mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, pria yang memiliki konflik mengenai peran
gender biasanya akan lebih suka jika dibarengi dengan hasil penelitian.

2.4.2 Applying Cognitive Therapy with Multicultural Issues

Sama seperti nilai dan keyakinan gender yang dapat dilihat dalam terapi kognitif sebagai
skema gender, demikian juga nilai dan keyakinan budaya dapat dilihat sebagai skema budaya.
Karena terapis kognitif menekankan hubungan kolaboratif dengan klien mereka, mereka
cenderung dapat memastikan nilai dan keyakinan yang mengganggu fungsi psikologis yang
efektif. Keyakinan tersebut dapat mempengaruhi bagaimana pasien memandang terapi dan
terapis. Dalam terapi kognitif, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menghadiri
keyakinan spiritual klien dan nilai-nilai mereka yang merupakan bagian dari pernyataan mereka
tentang diri mereka sendiri. Bagi beberapa orang dengan budaya tertentu, isu mengenai spiritual
adalah hal yang penting, contohnya yaitu orang-orang Latin. Selain itu, isu-isu multikultural
seperti diskriminasi juga perlu dipertimbangkan.Di Amerika Serikat, orang Afrika-Amerika serta
kelompok budaya lainnya mungkin mengalami diskriminasi di tempat kerja dan aspek lain dari
kehidupan mereka. Dengan menghargai pengalaman diskriminasi mereka serta membantu klien
untuk mengatasinya dapat menjadi aspek penting dari pengalaman terapeutik (Kohn-Wood et al.,
2008).

Dowd (2003) menunjukkan bahwa untuk lebih terbuka terhadap budaya lain, terapis
kognitif mungkin perlu mendengarkan klien dengan lebih hati-hati, mengeksplorasi budaya lain,,
atau mungkin belajar bahasa lain agar terapi dapat berjalan secara lebih efektif, terlebih saat
menangani klien dengan bahasa Ibu yang berbeda.

19
2.4.3 Applying Cognitive Therapy in Group

Pendekatan kognitif untuk setiap sesi kelompok cenderung berpusat pada perubahan yang
spesifik, terstruktur, dan berorientasi pada masalah. Oleh karena itu, maka biasanya sebelum sesi
kelompok dimulai dilakukan pengukuran terhadap perubahan, seperti Beck Depression
Inventory. Hal ini guna mengetahui dan memantau alternatif dan gejala yang ada. Intervensi
kognitif dalam kelompok juga menekankan pada praktek kognisi dan perilaku.

Dalam terapi kelompok, aspek yang cukup penting untuk diperhatikan yaitu anggota
kelompok diharapkan dapat berkolaborasi dengan terapis untuk menyarankan cara berpikir baru
tentang situasi dan perilaku baru untuk dicoba. Bereksperimen dengan alternatif baru untuk
masalah lama, baik di dalam maupun di luar kelompok juga merupakan aspek yang penting.

Agar terapi kelompok kognitif berhasil, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu
kekompakan kelompok (group cohesiveness) dan fokus tugas (task focus). Kedua aspek ini harus
ada dalam terapi kognitif. Kepaduan atau cohesiveness mengacu pada melihat ke depan untuk
berhubungan dengan anggota lain, memikirkan mereka di antara sesi, dan memiliki belas kasih
untuk anggota lain. Sedangkan fokus tugas (task focus) adalah salah satu bentuk usaha untuk
menyelesaikan masalah. Untuk membawa fokus tugas dan kohesi, terapis harus memodelkan
partisipasi dan kolaborasi. Terapis harus mengambil peran dalam mengarahkan, bukan dalam arti
memberi tahu anggota kelompok apa yang harus dilakukan tetapi dalam arti mengatur kelompok.

2.5 Contribution & Limitation


2.5.1 Strength and Contribution

● Cognitive Therapy diadaptasikan pada berbagai macam penyimpangan, termasuk depresi


dan ansietas
● Cognitive Therapy telah menelurkan, dalam hubungan dengan terapi tingkah laku
kognitif, terapi tingkah laku dialektikal, suatu perawatan psikososial untuk individu yang
berisiko menyakiti diri sendiri seperti, misalnya orang yang didiagnosis memiliki
penyimpangan kepribadian borderline (BPD – Borderline personality disorder) tujuannya
adalah untuk membantu klien agar lebih peduli dan menerima hal – hal yang tidak dapat
diubah dengan mudah, dan menjalani hidup dengan layak

20
● Cognitive therapy dapat diterapkan pada berbagai lingkungan budaya. Misalnya, model
terapi kognitif Beck diperkenalkan di Cina pada tahun 1989, dan variannya telah menjadi
popular di sana sejak saat itu
● Cognitive therapy telah menelurkan sejumlah instrumen klinis yang penting dan berguna
termasuk Beck Anxiety Inventory, Beck Hopelessness Scale, dan Beck Depression Scale
● Cognitive Therapy mempunyai sejumlah pusat pelatihan di Amerika Serikat dan Eropa
termasuk Beck Institute di Bala Cynwyd, Pennsylvania

2.5.2 Limitation

● Cognitive Therapy adalah pendekatan yang terstruktur dan menuntut klien untuk aktif,
yang seringkali artinya klien harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan
konselor
● Cognitive Therapy bukanlah terapi yang tepat untuk orang yang mencari pendekatan
yang tidak terstruktur, berorientasi pada pencerahan, yang tidak membutuhkan partisipasi
penuh dari klien
● Cognitive Therapy bersifat kognitif dan biasanya bukanlah pendekatan yang tepat bagi
orang yang kurang cerdas, atau tidak mempunyai motivasi untuk berubah
● Cognitive Therapy menuntut terapis dan klien, aktif dan inovatif. pendekatan ini lebih
kompleks daripada yang tampak di luar.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi kognitif yang dikembangkan Aaron Beck berfokus pada gangguan psikologis yang
disebabkan oleh pemikiran maladaptif. Seiring berkembangnya terapi kognitif, terapi ini terus
menggunakan penelitian psikologis ke dalam sistem kepercayaan individu dan studi mengenai
bagaimana orang memproses informasi dari lingkungan mereka. Pemikiran otomatis (automatic
thoughts) merupakan aspek penting dari terapi kognitif. Ini merupakan pemikiran yang mungkin
tidak disadari oleh individu, tetapi pemikiran inilah yang membentuk sistem kepercayaan
mereka, yang disebut skema kognitif.

Beck mengidentifikasi distorsi kognitif yang mempengaruhi perasaan, pikiran, dan


keyakinan individu, seperti generalisasi berlebihan. Untuk mengubah pemikiran ini, Beck
melakukan penilaian menyeluruh dengan memperhatikan distorsi yang melekat pada pemikiran
tertentu. Beck dan rekan-rekannya mengembangkan sejumlah instrumen untuk berbagai
gangguan psikologis yang menilai kognisi dan perilaku yang relevan.

Pada pendekatan terapeutik, terapis kognitif berkolaborasi dengan klien mereka untuk
menilai dan mengubah perilaku. Terapis mungkin mengambil peran instruksional, menggunakan
teknik guided discovery untuk mengidentifikasi keyakinan maladaptif dan membantu klien
mengembangkan wawasan mereka menjadi lebih luas. Selain itu, terapis juga akan memberikan
pekerjaan rumah, menguji keyakinan klien saat ini, dan mengembangkan pemikiran alternatif.
Terapis kognitif juga menggunakan teknik decatastrophizing, labeling distortion, dan latihan
kognitif.

22
DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. (2017). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (10th ed.). Cengage

Learning.

Gladding, S. (2016). Counseling: A Comprehensive Profession (8th ed.). Pearson Education.

Sharf, R. S. (2012). Theories of Psychotherapy & Counseling: Concepts and Cases (5th ed.).

Cengage Learning.

23

Anda mungkin juga menyukai