Sejarah menulis, setidaknya rakyat Tiongkok telah mengonsumsi bakmi sejak zaman Dinasti
Han (tahun 2006 Sebelum Masehi atau 2217 tahun lampau).
Tentu saja pada saat itu bentuk dan varian bakmi yang ada tidak seperti saat ini. Di masa itu bakmi
masih merupakan adonan gandum sederhana yang bentuknya persegi atau lembaran yang
ketebalannya tidak lebih dari kulit pangsit.
Pada saat Marco Polo untuk pertama kalinya membawa mie ke Eropa sepulang
perjalanannya ke Cina, Eropa memulai mengembangkan mie dengan versinya sendiri.
Salah satu varian bakmi yang lumayan popular adalah kwetiau (guantiao, sha he fen). Mie pipih
berwarna putih yang dibuat dari beras. Kwetiau biasa digoreng atau dimasak kuah.
Di negara negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Indonesia, kwetiau yang
dimasak dengan cara digoreng inilah yang popular. Singapura dan Malaysia menyebutnya Char
Kway Teow.
Sementara di Indonesia makanan itu terkenal dengan sebutan kwetiau goreng. Di Indonesia
kwetiau goreng diperkenalkan oleh etnis Tio Ciu dan Hokkian.
Dua etnis yang memiliki cara berbeda dalam mengolah kwetiau. Etnis Tio Ciu, yang banyak
berdiam di Kalimantan, umumnya membuat kwetiau goreng dengan memberi daging sapi, jeroan,
dan babat sapi sebagai pelengkapnya.
Itulah sebabnya mengapa di Kalimantan terkenal makanan Kwetiau Sapi. Mengingat
kebanyakan masyarakat Indonesia beragama islam, kwetiau pun mengalami penyesuaian agar dapat
disajikan untuk masyarakat muslim dengan segala kriteria khalalnya.
Makanan ini sering kali dimakan pada saat kumpul dengan teman saat nongkorang
sepanjang jalanpun pasti akan menemukannya (apalagi jika kalian di ibu kota). Harga makanan ini
pun juga mencakup murah dan ekonomis mulai dari 13-20 ribuan saja.
Makanan ini juga terjangkau untuk kalangan atas atau bawah. Di Singapura, char kway teow
telah berevolusi menjadi versi yang lebih sehat dengan lebih banyak sayuran dan lebih sedikit
minyak.