Anda di halaman 1dari 3

Asrar/rahasia

Aku berjalan pelan mengikuti langkah kaki yang entah akan membawaku kemana. Aku
menikmati udara yang segar dengan memikirkan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang ada
di kepalaku. Ada berapa banyak rahasia yang belum ku ketahui tentang hidup ini? Apa
tujuan hidup ku? Apa aku sudah melakukan yang terbaik? “Freya!” Tiba-tiba seorang pria
paruh baya memanggilku, dia ayahku. Aku menatapnya lekat ketika ia berjalan
menghampiriku. Dia tersenyum sangat tulus dibalik rasa lelahnya. Siapa sangka ternyata
langkah ini membawaku ketempat ayahku bekerja. Ayahku bekerja sebagai seorang mandor
dan saat ini sedang jam istirahat makan siang. “Sudah makan siang?” aku bertanya kepada
ayahku. Kemudian ayah ku hanya menggeleng sebagai jawabannya sambil mengelap
keringat di dahinya. “Kalau gitu sekarang ayo makan siang bersama yah, Freya traktir ayah
makan siang, ya?” Ayah tertawa, “Memangnya Freya punya uang, nak?” Aku mengeluarkan
amplop bewarna cokelat yang berisi uang dari tas, kemudian menunjukkannya ke ayah,
“Freya baru gajian, yah!” aku berteriak antusias memeluk ayah. Ia yang mendengar itu
mengangguk-angguk sambil mengelus rambutku.
Setelah makan siang, aku pun pulang dan ayah kembali melanjutkan pekerjaannya.
Pernah pada suatu malam, setelah mendapatkan pekerjaan aku menyuruh ayah berhenti
dari kerjanya dan istirahat saja. tapi ia menolak, katanya “Uangnya ayah untuk Freya selagi
Freya masih bersama ayah dan uang Freya untuk diri Freya sendiri menata masa depan
Freya.” Ayah selalu begitu dari dulu, ia selalu tidak ingin menjadi beban namun ayah mau
menampung beban. Ayah yang menghidupi keluarga kecilnya mati-matian, ayah yang
ngerasain bangun jatuhnya hidup, ayah yang selalu tak mengenal rasa nyerah, ayah yang
tidak pernah mengucapkan sedikit pun kata lelah seakan-akan hukum alam mengharamkan
kata itu keluar dari mulutnya, ayah yang tidak pernah menangis karena sakit, begitulah
sosok ayah yang aku kenal dari kecil. Dunia selalu saja memperlakukan sosok ayah dengan
tidak adil.
Malamnya ayah pulang. Setelah shalat isya katanya ia ingin berbicara denganku sambil
minum teh kesukaannya. Akhirnya aku pun berbicara bersamanya. “Kenapa yah?” Aku
bertanya apa yang ingin ayah bicarakan sembari memberi teh yang baru saja aku buatkan.
“Freya sudah besar ya, nak.” Aku hanya tertawa. Ayah selalu begitu, ia tidak pernah percaya
bahwa peri kecilnya sudah tumbuh besar, yang dulunya suka menangis ketika jatuh saat
bermain sepeda kini sudah tumbuh besar menjadi wanita yang penuh tanggung jawab.
“Freya kapan berhijab?” Pertanyaan yang sedari dulu selalu kuhindari kini spontan
diucapkan ayah.
“Nanti tunggu siap, yah” Ayah meminum teh sambil memakan gorengan yang ia beli ketika
pulang kerja tadi.
“Kira-kira siapnya kapan?”
“Sudah saatnya ya, Yah?”
Ayah tertawa, “Freya sudah besar dan Ayah juga sudah tua, kalau tidak sekarang kapan
lagi?” Aku menatap ayah. Benar, Ayah yang dulu sangat suka bermain kejar-kejaran
bersama ku kini sudah tua walau belum rapuh. “ Freya tahu tidak, kalau surga Ayah
ditentukan dari Freya juga?” Aku tahu itu, ketika masih mengaji guru ngaji ku pernah
memberi tahu ku tentang itu.
“Ayah jangan tinggalin Freya.”Kalimat itu tiba-tiba saja kuucapkan, entah kenapa aku pun
tidak tahu. “Ayah tidak pernah kemana-mana, Frey. Ayah selalu bersama Freya sampai
kapanpun.”Aku mengangguk, aku ingin memercayai perkataan ayah karena aku tahu ayah
tidak pernah berbohong.
Dua puluh tahun ayah selalu mampu memberikan apapun yang aku mau, dari kasih
sayang sampai materi. Namun hari ini ayah meminta ku untuk berhijab. Pengorbanannya
selama ini hanya ingin dibalas dengan aku berhijab. Ini tidak sulit untuk dilakukan namun
sulit untuk dipahami.
“Iya Yah, Freya berhijab.” Ayah tersenyum lega mendengar hal itu seakan semua bebannya
terangkat. Senyuman bahagia itu memilukan untukku.
“Frey, berhijablah karena Allah nak.” Mendengar itu aku menangis, tubuhku kaku seakan
darahku berhenti mengalir. Ayah mengeluarkan hijab yang entah dimana tadi diletakkannya.
lalu mengenakannya kepadaku. Ia tersenyum dan mmemelukk. aku yang tidak tahan
berpura-pura meminta izin ke toilet yang sebenarnya untuk menangis.
Setelah beberapa saat aku memutuskan untuk kembali menemui ayah. Aku melihat ayah
yang terlelap sambil memeluk foto ibu. Aku tersenyum pilu itu menjadi ketakutan terbesar
dihidupku. Aku menghampiri ayah, berusaha membangunkannya agar tidur dikamar yang
lebih nyaman. Namun, itu bukan tidur yang sementara, ayah selama ini terlalu lelah hingga
ayah sudah mengajarkanku bagaimana cara untuk ikhlas dengan apa yang kita punya karena
sebenarnya itu tidak sungguh-sungguh kita miliki. Aku tersenyum walau menyakitkan karena
permintaan terakhir ayah berhasil ku wujudkan. Hidup benar-benar penuh dengan rahasia.
Aku menggenggam tangan ayah mendekat ke telinganya, “Sampai jumpa lagi, Yah. Selamat
beristirahat yang panjang.”
Keesokan pagi, ayah dimakamkan disebelah makam ibu. Itu sudah direncanakan sedari
dulu, ayah selalu ingin disamping ibu sampai kapanpun. Lengkap sudah aku menjadi anak
yatim piatu. Setelah orang-orang pergi aku terduduk disamping makam ayah sambil
memegang nisannya.
“Ayah, aku percaya kalau ayah selalu ada disampingku.” Aku tersenyum tipis memegang
tanah yang masih basah itu.
“Terimakasi untuk waktunya, Terimakasi untuk pengorbanannya, makasih untuk harapan-
harapannya,terimakasi karna ayah pernah ada disini bersamaku.” Aku menatap hijab yang
ku kenakan sambil terdiam cukup lama.
“Ayah, terimakasi karna sudah mau nuntut sesuatu dari aku kali ini, makasih sudah minta
hadiah terakhir yang ayah inginkan.” Aku meletakkan bunga tulip yang sempat ku beli tadi.
“Ayah, Freya pamit ya, Freya janji bakal sering sapa ayah sama ibu disini.” Aku melangkah
pergi meninggalkan makam tidak berniat untuk pulang. Aku terus berjalan mengunjungi
tempat yang mau ku kunjungi dimanapun itu.
Sekarang aku paham. Aku paham kalau hidup memang tentang kembali kepada-Nya.
Kalau hidup hanya tentang mencari cara agar bisa masuk ke surga-Nya. Dunia memang
bukan tempat yang kekal. Makin kesini tanggung jawab semakin besar dan semakin banyak.
Kini aku sudah tahu berapa banyak asrar Tuhan yang aku pecahkan sendiri karena hanya
diriku sendiri yang bisa nentuin akan kemana dan setelah ini akan bagaimana. Cinta, cita-
cita, perjuangan, pengorbanan, jatuh dan bangun lagi, menurutku semua itu harus dirasakan
untuk tahu arti hidup yang sebenarnya. Hidup itu fana namun bermakna. Garis takdir
memang tidak dapat ditebak tapi aku selalu percaya didepan sana Tuhan sudah merencakan
semuanya dengan sesempurna mungkin. Karena disini tugas kita hanya menjalani dan
Tuhan yang merencanakan.

Anda mungkin juga menyukai