Anda di halaman 1dari 5

Pemberkatan Nikah Setelah

Perceraian
Sumbangan Pemikiran Untuk Semiloka
Pernikahan Kristen
 

Pengantar

Delik pernikahan memang tidak sesempit masalah pemberkatan nikah ulang (remarriage). Hal
memilih pasangan, merencanakan pernikahan, pendampingan pastoral menjelang pernikahan,
menjalani penikahan dengan pernak-perniknya, hingga penanganan terhadap berbagai masalah
pernikahan, merupakan realitas-realitas yang menuntut perhatian serius. Jadi kalaupun catatan
ini hanya berkisar pada pemberkatan nikah setelah perceraian, saya tidak bermaksud mereduksi
cakupan Semiloka Pernikahan Kristen menjadi melulu masalah perceraian dan pemberkatan
nikah ulang.

Dalam catatan ini, saya akan menggunakan alur lingkaran pastoral yang oleh ITGT telah menjadi
metode pendekatan pelatihan dan berbagai studi selama lima tahun terakhir. Metode ini adalah
salah satu pendekatan dalam dunia teologi kontemporer yang lahir dari kesadaran kontekstual,
di mana sebuah aksi pastoral dihasilkan melalui dialog dinamis dan berimbang antara konteks
dan teks, dan bukan meletakkan supremasi doktrin atas semua realitas. Jadi saya akan mulai
dari beberapa catatan Realitas. Setelah itu mengajukan Analisis terhadap realitas itu untuk
selanjutnya mengantarnya pada sebuah Refleksi Teologis. Pada akhirnya beberapa
usulan Aksi akan diajukan.

Realitas

Pergumulan Gereja Toraja mengenai remarriage dimulai dari kepedulian terhadap sejumlah


orang yang telah ditinggalkan oleh pasangannya. Yang dimaksudkan adalah cerai hidup. Jika
sudah meninggal, hal itu tidak perlu didiskusikan lagi (Roma 7:2-3). Ungkapan yang sering
digunakan adalah “keberpihakan untuk mereka yang menjadi korban”. Alasan ini sangat
manusiawi. Rasanya tidak adil bagi seorang seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya
(yang telah hidup bersama dengan perempuan lain), untuk membangun hidupnya kembali
dengan laki-laki lain. Tentu kesalahan tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada si suami. Bisa
saja terjadi bahwa sang suami meninggalkan istrinya karena kesalahan istri. Namun keputusan
si suami untuk kawin dengan orang lain, mau tidak mau menumpuk semua kesalahan itu pada
pihaknya. Masalah dengan istri pertama yang berujung pada goyahnya rumah tangga mereka,
tidak harus diselesaikan dengan kawin lagi kan?

Gereja Toraja meletakkan masalah ini dalam Tata Gereja: “Dapat tidaknya seseorang yang
sudah rusak nikahnya diberkati untuk kedua kalinya bergantung pada keputusan Majelis
Jemaat”. Selanjutnya dalam SMS 23-2011 dikatakan: Dapat tidaknya seseorang diberkati
nikahnya untuk kedua kalinya karena “cerai”, dipercayakan kepada majelis jemaat setempat
untuk mengadakan penelitian secara saksama, mendalam dan dalam waktu yang cukup lama”.
Keputusan ini kemudian menyisakan dilema : Apa dasar penelitian itu ? Apa landasan
teologisnya ? Ukuran mendalam itu seperti apa ? Waktu yang cukup lama itu seperti apa ?
Harus diakui, Gereja Toraja tidak menyediakan pegangan teologis yang cukup untuk
menghadapi hal itu, dan menyerahkan sepenuhnya kepada majelis gereja.
Dilema ini kemudian menjadi bola liar dan panas dalam pelayanan Gereja Toraja. Mau di
tendang ke mana saja, bisa. Yang pasti, baik yang menedang maupun yang menerima
tendangan, akan merasakan panasnya. Sementara itu orang yang mau kawin lagi, menerima
enaknya karena tidak dewasa dan tidak berakar dalam pemaknaan yang benar mengenai
pernikahan Kristen dalam menjalani hidup rumah tangganya, mendapatkan angin segar. Jika
ada konflik, ya bercerai saja lalu kawin lagi. Jika tidak ada konflik, ya buatlah konflik supaya ada
alasan bercerai. Setelah itu bawa surat cerai, dekati majelis gereja yang adalah anggota
keluarga, berdebat sedikit dengan pendeta, besoknya kawin lagi. Jika pendeta tidak mau
memberkati karena punya alasan teologis, yang pindah ke jemaat Gereja Toraja yang lain.
Mumpung tidak ada pegangan teologis, para pendeta pasti punya pendirian yang berbeda-beda.
Jika di Gereja Toraja memang tidak bisa, ya ke Gereja lain. Tunggu beberapa saat, baru pindah
lagi ke Gereja Toraja. Pasti di terima.

Analisis

Dibukanya pintu remarriage tanpa pendasaran teologis yang memadai dan pijakan hukum gereja
yang tegas, menyebabkan pintu untuk meningkatnya angka perceraian juga terbuka lebar.
Ketika Gereja Toraja menerima remarriage, maka pada saat yang sama kita juga mengakui
perceraian, walaupun menolak untuk menceraikan orang. Tidak ada argumentasi yang dapat
membebaskan kita dari klaim ini. Ini telah menjadi realitas Gereja Toraja.

Selanjutnya, perkara remarriage yang tidak dikawal oleh pegangan teologis yang kuat dan
membiarkannya mengalir bebas berdasarkan ’bijak-bijak’-nya majelis Gereja termasuk pendeta
di dalamnya, merupakan sebuah malapetaka eklesiologis. Gereja hanya diperalat untuk
melegitimasi kepentingan pribadi atau minimal sebagai pembenaran sosial. Pelakunya bukan
hanya anggota jemaat yang hampir tidak pernah beribadah di Gereja. Pejabat gerejawi juga.
Bahkan Pendeta.

Keadaan ini diperparah dengan realitas-realitas yang ditemukan dalam mempersiapkan sebuah
pasangan yang akan menikah. Katekisasi pranikah mensyaratkan sebuah proses percakapan
pastoral sekurang-kurangnya enam kali pertemuan untuk membahas enam bagian dalam
katekisasi pranikah. Sejauh mana hal itu dilakukan ? Belum lagi keharusan untuk diumumkan
dan didoakan dalam ibadah jemaat, dua hari minggu berturut-turut sebelum pemberkatan nikah,
yang dalam pengalaman di berbagai tempat, berhadapan dengan tawar-menawar karena
berbagai alasan.

Jadi dalam hal ini ada dua pokok yang dapat dipertimbangkan sebagai akar masalah di seputar
penikahan. Yang pertama adalah masih lemahnya keseriusan dan ketegasan dalam
mendampingi warga jemaat mempersiapkan perkawinan. Delik seputar perceraian dan
remarriage, minimal dapat diantisipasi dengan proses persiapan pernikahan yang disiplin. Yang
kedua, seperti yang telah diungkap di atas, belum ada pendasaran teologi yang memadai untuk
mrngawal sebuah rumah tangga, serta menjadi pegangan bersama untuk menangani masalah-
masalah pernikahan, khususnya remarriage.

Refleksi Teologis

“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mar 10:9) Nas
ini selalu ditekankan, bahkan kadang-kadang diulangi penyebutannya pada saat pemberkatan
nikah. Tetapi kadang-kadang nas ini nyaris tidak berbunyi lagi. Pada akhirnya sebuah
pernikahan dalam konteks Gereja Toraja bisa berakhir dengan perceraian, dan selanjutnya
boleh diberkati lagi dengan pasangan yang baru. Walaupun demikian, nas itu harus tetap
senantiasa dibacakan dan disampaikan. Paling tidak, dia menjadi pagar tekstual sebagai golden
rule untuk sebuah keutuhan perkawinan. Pertanyaannya kini adalah, apakah dalam Alkitab tidak
ada ruang untuk perceraian dan remarriage untuk dijadikan sebuah pegangan teologis, atau
minimal pembenaran terhadap apa yang telah dijalani dan dilayankan Gereja Toraja ?
Setelah menyatakan golden rule dalam Mark 10:9, karena Murid-murid sepertinya masih
penasaran dengan hal itu, Yesus menyatakan “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin
dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu (Mrk 10:11).
Tampaknya menurut teks ini, perceraian dan remarriage, sepenuhnya dilarang. Namun
keterangan dari kejadian yang sama dalam catatan Injil Matius, menjadi berbeda. Dalam Matius
19:9 Yesus mengatakan : ”Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan
isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” Hal yang
sama juga dikatakan Yesus pada pembahasan mengenai hukum taurat dalam Mat 5:32, di mana
zinah menjadi pengecualian. Itu berarti bahwa adanya ”perzinahan” merupakan titik pembenaran
terhadap perceraian, yang kemudian menjadi alasan untuk melakukan remarriage. Alasan
kenapa Yesus agak melonggarkan itu, karena rupanya dalam Perjanjian Lama, hal perceraian
sudah agak dilonggarkan, walaupun dilatarbelakangi oleh klaim : “Karena ketegaran hatimu
Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian”.
Ketegaran hati yang seperti apa ? Adakah hubungannya dengan perzinahan ?

Sebaiknya ini di cek dalam teks Alkitab yang dirujuk oleh Yesus yaitu Ulangan 24:1 “Apabila
seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak
menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis
surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari
rumahnya…”. Saya menggaris bawahi ungkapan ”yang tidak senonoh padanya”. Dalam bahasa
Ibrani kata tidak senonoh di terjemahkan dari kata ”ervah” yang secara harfiah berarti
ketelanjangan, sesuatu yang memalukan, mengekspose kemaluan, tidak dijaga. Jadi terkait
dengan masalah perilaku seksual yang memalukan dan tetap berhubungan dengan masalah
perzinahan.

Sampai titik ini, kiranya kita bisa menemukan titik terang bahwa perceraian (akhirnya) diijinkan
oleh Musa dan juga oleh Yesus, hanya jika alasannya adalah perzinahan dan perilaku seksual
yang memalukan. Namun satu gugatan bisa muncul dari Mat 5:28 ”Setiap orang yang
memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”.
Memang agak sukar untuk menilai hal ini. Bagaimana seseorang dapat mengetahui bahwa
seorang laki-laki menginginkan seorang wanita dalam hatinya ?

Ini adalah domain yang sulit untuk diketahui. Lebih baik kita bawa ke hal yang empiris: Apakah
ketika seorang laki-laki dan perempuan telah diketahui menjalin relasi eksklusive karena
pembicaraan mereka, atau tindakan mereka misalnya berciuman dengan penuh nafsu, atau
bahkan berhubungan sex, dapat menjadi alasan bagi pasangan sah mereka untuk menceraikan
mereka ? Dalam Perjanjian Lama, hukum perzinahan telah jelas : Hukuman Mati. Jadi bukan
hanya diceraikan. Malah dibunuh. Namun Yesus memberikan batasan lain melalui peristiwa
seorang perempuan yang didapati berzinah dalam Yohanes 8. Menurut hukum Yahudi, dia
seharusnya dihukum mati. (Walaupun ada masalah karena partner seksnya tidak ketahuan).
Tetapi Yesus mengatakan : “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat
dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh 8:11). Tampaknya untuk kejadian itu, pengampunan adalah
jalan keluarnya. Artinya ada perzinahan yang berhadapan dengan kematian, tetapi ada juga
yang menuntut pengampunan.

Dalam hal ini, baik juga untuk dihubungkan dengan pandangan dari filsafat Greco-Romawi yang
memengaruhi jemaat mula-mula. Dari kata Yunani: porneia danmoichao, mereka membedakan
zinah sebagai kata kerja dan zinah sebagai kata sifat. Untuk yang kata kerja, pasangannya
adalah pengampunan. Sedangkan zinah sebagai kata sifat, maka pasangannya adalah
kematian. Artinya seorang yang pasangannya melakukan perzinahan (kata kerja), maka dia
harus mengampuninya. Namun jika pasangannya telah hidup dalam perzinahan (kata sifat),
maka pasangannya dianggap sudah mati. Perceraian dibenarkan dan dia boleh menikah lagi.
Namun jika perceraian itu dilatarbelakangi masalah di luar perzinahan, maka perceraian itu
harusnya digumuli dengan rujuk sebagai muaranya. Hal ini juga merupakan penegasan rasul
Paulus dalam Roma 7:3 “Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi
isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah
berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.”

Perencanaan Aksi : Ketimbang menjadi pemadam kebakaran, sebaiknya gereja


mencegah umatnya bermain api.

Dalam lingkaran Pastoral, Perencanaan Aksi meliputi seluruh aspek yang dilakukan oleh gereja
terhadap suatu isu. Baik peletakan pendirian teologis, perumusan landasan hukum gerejawi
maupun perencanaan tindakan pastoral. Terkait topik perceraian dan remarriage, Gereja Toraja
harus menanamkan prinsip ini : Ketimbang menjadi pemadam kebakaran, sebaiknya gereja
mencegah umatnya bermain api.   Jadi hal memilih pasangan, persiapan menuju pernikahan
hingga katekisasi pranikah, sebaiknya menjadi perhatian besar gereja. Terlebih pelaksanaan
katekisasi pranikah. Selama ini, katekisasi pranikah dilakukan ala kadarnya saja. Satu dua kali
perbincangan di anggap cukup. Padahal di sinilah letak upaya mencegah umat bermain api.
Kesiapan mental dan kemantapan pilihan harus dipertegas. Waktu yang kepepet tidak dapat
menjadi alasan melakukan katekisasi kilat. Kerjasama antar jemaat atau gereja, bahkan antar
denominasi bisa mengatasi itu, jika pasangan berada di tempat yang terpisah jauh. Kenyataan
bahwa ada pasangan yang memutuskan menikah tanpa sekalipun bertatap muka dan hanya
berinteraksi di media sosial dan alat komunikasi seluler, adalah sebuah permainan api.

Bagaimana jika terjadi perceraian dan niat untuk melakukan remarriage ? Berdasarkan galian
teologis alkitabiah di atas, tujuh dalil dapat diperhatikan. Namun agar lebih jelas, secara simulatif
saya mengundang dua orang, Baco’ (suami) dan Becce (istri) dalam kasis ini :

APAKAH BACO’ DAPAT DIBERKATI LAGI JIKA TELAH RESMI BERCERAI DENGAN
BECCE’ ?

Kalaupun mereka telah bercerai di pengadilan, keduanya tetap tidak bisa melakukan
remarriage, jika keduanya masih hidup sendiri. Pintu perdamaian dan pengampunan
masih terbuka. Pada titik ini, kita harus menyadari bahwa selama ini Gereja Toraja sangat
permisif. Asalkan sudah ada surat cerai, maka remarriage bisa dilayani. Padahal
keputusan SMS 23 menyatakan bahwa Perceraian di pengadilan tidak bisa membatalkan
pernikahan gerejawi. Yang harus dilakukan gereja adalah mendoakan dan mendampingi
agar mereka rujuk kembali melalui pengampunan dan perdamaian, meneladani Kristus.

APAKAH BACO’ BOLEH DIBERKATI LAGI JIKA BECCE’ TELAH HIDUP DALAM
PERZINAHAN DENGAN SUAMI BARU, ATAU SEBALIKNYA ?

Remarriage hanya bisa dilayankan kepada Baco’ jika Becce sudah hidup dalam
perzinahan dengan orang lain, misalnya sudah tinggal bersama, apalagi punya anak
dengan orang lain. Demikian pula sebaliknya. Jika keduanya masih hidup sendiri-sendiri,
sampai kapanpun pemberkatan nikah ulang tidak boleh dilakukan.

BAGAIMANA JIKA PERCERAIAN ITU DISEBABKAN TINDAKAN BECCE’ YANG


BERSELINGKUH DENGAN ORANG LAIN ?

Kasus perselingkuhan itu hendaknya digumuli dan ditangani oleh Gereja. Kesempatan
berubah tetap harus dibuka kepada Becce’ untuk mengakui kesalahannya, memohon
ampun dan berkomitmen memperbaiki hidupnya. Namun jika dia tetap berulang kali
melakukan hal itu, maka Becce’ sudah dikategorikanhidup dalam perzinahan. Itu
membuka pintu bagi Baco’ untuk menikah lagi.
BAGAIMANA JIKA BACO’ TETAP INGIN MENIKAH
LAGI SEMENTARA BECCE’ MASIH SENDIRI ?
Jika Baco’ tetap ngotot untuk hidup bersama seorang istri baru, gereja tidak boleh
mengesahkan perkawinan mereka. Jika alasannya adalah : apakah kita membiarkan
mereka hidup bersama dalam perzinahan ? Di sini gereja harus tegas. Lebih baik kita
membiarkan mereka hidup dalam perzinahan, daripada mengesahkan perzinahan itu
melalui pemberkatan nikah. Secara Alkitabiah, itu tidak dapat dibenarkan.

JIKA BACO’ TELAH HIDUP BERSAMA ISTRI BARU WALAUPUN TIDAK DIBERKATI,
BOLEHKAH BECCE’ MENIKAH LAGI ?

Secara hukum dan teologis, boleh. Namun Gereja harus kembali memeriksa sebab-
musabab perceraian mereka. Jika perceraian dengan Baco’ itu terjadi akibat kesalahan
pada Becce’, maka pendampingan dan arahan secara intensif harus dilakukan, agar tidak
terjadi lagi kasus serupa.

JIKA BECCE’ TELAH MENERIMA PEMBERKATAN NIKAH DENGAN SUAMI BARU,


BAGAIMANA DENGAN RUMAH TANGGA BACO’ DENGAN ISTRI BARUNYA ?
BOLEHKAH JUGA DIBERKATI ?

Bagian yang ini rumit. Dasar Alkitab dan teologi yang gamblang tidak ada. Namun perlu
diwaspadai kenyataan bahwa tampaknya keputusan “menikah lagi” agak cenderung
mudah bagi Baco’. Karena itu, Gereja dapat memberi kesempatan kepada Baco bersama
istri barunya untuk memperlihatkan komitmen rumah tangga kristen di mana di dalamnya
ada kasih, pengampunan dan pengorbanan. Gereja Toraja bisa mengambil angka
tertentu, misalnya Baco (yang lebih dulu mengambil istri baru sementara Becce masih
sendiri) boleh diberkati bersama istri barunya setelah beberapa tahun usia perkawinan
mereka, yang dihitung sejak Becce’ juga telah diberkati. Berapa tahun, bisa tiga, lima atau
tujuh tahun. Ini butuh kesepakatan dari perspektif sosial dan hukum sipil.

BAGAIMANA JIKA SEBELUMNYA MEREKA TIDAK DIBERKATI DI GEREJA ?

Harus ada pengukuhan dari lembaga sosial atau adat yang pernah meresmikan hubungan
mereka. Dan setelah itu kembali sebab-musabab perceraian mereka dipelajari untuk
menjadi bahan pendampingan pastoral. Dan jika mereka diberkati di gereja lain, maka
harus mendapat pemberlakuan yang sama seandainya mereka diberkati di Gereja Toraja.

Penutup

Kita berharap bahwa sidang sinode yang akan datang menghasilkan ketegasan tentang hal ini,
agar Gereja Toraja tidak terkesan gampangan menangani kasus pernikahan dan remarriage.
Selanjutnya perlu perumusan secara tegas dan eksplisit dalam Tata Gereja, perhatian serius dari
Badan Pembinaan Warga Gereja, serta kesadaran bersama para pelayan (Pendeta) untuk
bersikap tegas dalam mengarahkan jemaat terkait delik penikahan. Bagaimanapun juga,
lembaga perkawinan adalah lembaga yang sangat sakral, karena sejak awal ditetapkan sendiri
oleh Allah.

Gang Buntu Menteng , Akhir Oktober 2015

Anda mungkin juga menyukai