Anda di halaman 1dari 15

DISKRESI KEPOLISIAN TERKAIT METODE PEMBELIAN TERSELUBUNG

(UNDERCOVER BUY) DALAM UPAYA PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA


NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI POLDA LAMPUNG

Oleh :
Rima Marta Ajeng Septiana
2012011143

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2022

A. JUDUL
DISKRESI KEPOLISIAN TERKAIT METODE PEMBELIAN TERSELUBUNG
(UNDERCOVER BUY) DALAM UPAYA PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI POLDA LAMPUNG.

B. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Peredaran gelap narkotika di Indonesia kian mengkhawatirkan, saat ini
narkotika bukan menjadi hal yang hanya bisa dikonsumsi bagi masyarakat di
kota besar saja, melainkan bagi masyarakat di pedalaman-pun narkotika tidak
lagi menjadi barang langka. Ironisnya, tidak hanya di kalangan dewasa saja
narkotika begitu dikenal dan di konsumsi, tetapi di kalangan remaja dan anak di
bawah umur pun juga sudah mengenal barang tersebut. Narkotika adalah
masalah nasional dan internasional karena penyalahgunaannya akan berdampak
negatif terhadap kehidupan masyarakat, masa depan bangsa dan negara. Hukum
Pidana juga menegaskan bahwa penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika ini,
baik menggunakan atau memakai, merupakan suatu tindak kejahatan yang oleh
karena itu tindakan tersebut bisa dikenai sanksi pidana. Pencegahan dan
pemberantasan kejahatan narkotika agar tidak semakin meluas, maka sejak
tahun 1997 diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika. Kemudian seiring dengan kejahatan narkotika yang sudah
berkembang pesat, diperbaharuilah dengan perturan baru yakni Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika1.

Undang - Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut


didalamnya mengatur mengenai sanksi hukum dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika2 Maka, dengan undang-undang ini dibentuk Badan Narkotika
Nasional yang selanjutnya disebut BNN, seperti yang tertuang dalam Pasal 64
(1) badan inilah yang kemudian diberikan wewenang oleh pemerintah bersama
dengan POLRI untuk mengungkap dan memberantas tindak pidana narkotika
dan prekursor narkotika yang sebelumnya tidak terdapat di dalam undang-
undang lama serta didalamnya juga tertuang bahwa untuk obat-obatan jenis
psikotropika golongan I dan golongan II telah dimasukan menjadi golongan
1
Marsaulina Nainggolan, elvi Zahara , dan Saparuddin, Peranan Hakim dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Pengadilan Negeri Lubuk Pakam).
Mercatoria Vol.3 No.2 Tahun 2010
2
Elrick Christovel Sanger, Penegakan Hukum Terhadap Peredaran Narkoba di Kalngan Generasi Muda. Lex
Crimen Vol.II/No.4/Agustus/2013
narkotika seperti tertuang dalam Pasal 153 huruf (b) yang berbunyi, lampiran
mengenai jenis psikotropika golongan I dan II sebagaimana tercantum dalam
lampiran undangundang nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1997 nomor 10), dan telah diperbaharui
kembali di Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 tahun
2018.

Kemudian dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut, maka POLRI


maupun BNN diharapkan mampu melaksanakan tindakan pencegahan maupun
pemberantasan tindak pidana narkoba. Dalam kepolisan penyelidik juga ikut andil
dalam perkara ini , terdapat beberapa teknik penyelidikan yang dilakukan dalam
pemberantasan tindak pidana narkoba itu mulai dari observasi (pengamatan),
surveillance (pembuntutan), undercover agen (penyamaran petugas), Undercover
buy (pembelian terselubung), controlled delivery (penyerahan yang dikendalikan),
dan raid planning execution (rencana pelaksanaan penggerebekan).3

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian (PERKAP) Nomor 6 tahun 2019 pada


pasal 1 ayat (7) dan (8) berbunyi “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang” dan “ Penyelidik adalah
pejabat Polri yang diberi wewenang olah undang – undang untuk melakukan
penyelidikan.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara dan penegak hukum
yang diberikan kewenangan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
Indonesia serta bertugas melindungi, mengayomi, menegakkan hukum
dilingkungan masyarakat serta juga melayani masyarakat demi keamanan dan
ketentraman dalam bermasyarakat dimana ini terdapat didalam ketentuan pada pasal
30 ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Polisi,
kepolisian dan perpolisian memang merupakan profesi yang sungguh unik dan
kompleks. Untuk sebagian penting hal itu disebabkan polisi benar-benar terjun

3
Zulhariki Putra, Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Penyidik Undercover Buy atau Perdagangan
terselubung Narkotika (UU No.35 tahun 2009) Di Wilayah Hukum Kalimantan Barat.Universitas Tanjungpura
Pontianak. 2016
langsung dan bergulat dengan masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak
pidana penyalahgunaan narkotika.

Sebagai penegak hukum kepolisian Negara Republik Indonesia dalam


menjalankan tugasnya sering sekali melakukan suatu kewenangan khusus atau yang
biasandisebut dengan diskresi. Diskresi adalah wewenang yang diberikan oleh
aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana sebagai bentuk untuk
mengambil tindakan dalam meneruskan perkara tindak pidana tersebut atau
menghentikan perkara tersebut, untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu yang
sesuai dengan kebijakannya. Kewenangan aparat penegak hukum salah satunya
Polri yang mempunyai kewenangan khusus yang disebut dengan discretion atau
“diskresi”, didasarkan pada pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 2002
tentang kepolisian yang berbunyi: “untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) diberi wewenang oleh Undang-


undang untuk dapat melakukan tindakan kepolisian berupa menghentikan,
mengesampingkan, atau tidak melakukan tindakan terhadap suatu pelanggaran,
tetapi dalam batas-batas yang ditentukan oleh Undangundang. Diskresi yang
merupakan sebagai salah satu alternatif dalam menangani kasus penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika. Diskresi adalah tindakan yang diambil untuk
mengambil tindakan hukum dengan tujuan untuk kepentingan umum, kemanusiaan,
memberikan pencegahan atau pendidikan kepada masyarakat yang dapat dilakukan
dalam menangani kasus atau masalah dalam lingkup tugas dan wewenangnya.
Diskresi diharapakan agar dapat memanimalisir dan mengurangi angka kasus
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dalam bentuk hukum pidana positif di
Indonesia.

Dalam PERKAP Nomor 6 tahun 2019 pada pasal 6 angka 1 dan 2 menjelaskan
sebagai berikut 4:
(1) Kegiatan penyelidikan dilakukan dengan cara :
a. Pengelolahan TKP;
b. Pengamatan (observasi);
c. Wawancara (interview);

4
Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana
d. Pembuntutan (surveillance);
e. Penyamaran ( under cover);
f. Pelacakan (tracking); dan /atau
g. Penelitian dan analisis dokumen.
(2) Sasaran penyelidikan meliputi :
a. Orang;
b. Benda atau barang;
c. Tempat;
d. Peristiwa/kejadian; dan /atau
e. e. Kegiatan.

Pembelian terselubung sebagaimana diatur Undang-Undang No 22 Tahun


1997 yang telah diganti menjadi Undang-Undang No 35 Tahun 2009 merupakan
penambahan kewenangan penyidik dalam upaya pemberantasan pengedaran
narkotika. Hal ini mengingat tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang
terorganisasi, rahasia, serta dalam pelaksanaannya menggunakan modus operandi
dan teknologi yang dapat dikatakan sudah canggih sehingga begitu sulit dalam
mengumpulkan barang buktinya.5

Dalam pelaksanaan penegak hukum masalah narkotika pihak penyidik


kepolisian mempunyai kewenangan (diskresi) untuk menggunakan teknik khusus
yaitu pembelian terselubung atau “Undercover buy “. Perlu diketahui dan dipahami
secara jelas oleh penyidik kepolisian tentang pelaksanaan pembelian terselubung itu
sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 dan juga kita
ketahui dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 pasal 71 dalam melaksanakan
tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
presekursor Narkotika.

Bahwa berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,


maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “DISKRESI
KEPOLISIAN TERKAIT METODE PEMBELIAN TERSELUBUNG
(UNDERCOVER BUY) DALAM UPAYA PENYELIDIKAN TINDAK
PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI POLDA LAMPUNG”.
2. Perumusan Masalah

5
Haryiono, Bambang . Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkkoba di
Indonesia. Universitas Diponegoro. 2009
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan untuk membatasi
kajian agar tidak meluas, maka diambil pokok bahasan yang akan dibahas
dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
a. Apa latar belakang dan dasar hukum penyidik POLRI menggunakan
diskresi terkait teknik atau metode “undercover buy” dalam menangani
masalah narkotika?
b. Bagaimana pelaksanaan prosedur diskresi terkait teknik atau metode
“undercover buy” dalam menangani masalah narkotika?
c. Apasaja kendala POLRI ketika menggunakan teknik atau metode
“undercover buy” dalam menangani masalah narkotika ?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang akan


dicapai dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
a. Mengetahui profil pengaturan hukum tentang diskresi penyidik kepolisian
dalam tindak pidana narkotika melalui pembelian terselubung
b. Mengetahui apakah pembelian terselubung yang dilakukan oleh kepolisian
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
c. Mengetahui kewenangan normatif kepolisian dalam menangani tindak
pidana narkotika dalam teknik pembelian terselubung.

4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuannya, penulis mengharapkan tugas akhir ini memiliki manfaat
sebagai berikut :
a. Secara Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana,
khususnya mengenai pengaturan hukum tentang diskresi terhadap
penyidikan tindak pidana narkoba melalui pembelian terselubung
(undercover buy) serta mekanisme dan kendala yang dialami oleh penyidik
dalam penerapan teknik pembelian terselubung.
b. Secara Praktis
1) Bagi Penulis, Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang
penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di lapangan, serta
menambah wawasan Ilmu Hukum Pidana tentang diskresi penyidik
kepolisian terkait tindak pidana narkotika melalui teknik pembelian
terselubung.
2) Bagi Masyarakat, Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan
tentang kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika
melalui teknik pembelian terselubung oleh pihak kepolisian.

5. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah wawasan dalam
memecahkan suatu masalah baik bagi penulis maupun orang-orang atau
instansi yang menerapkan hasil penelitian.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam membantu menentukan
kebijakan-kebijakan atau keputusan yang nantinya akan diambil dalam
menyelesaikan suatu permasalahan.

C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum Tentang Penyidik Menurut Undang-Undang
a. Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana
Sebagaimana yang disebutkan di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1
KUHAP "Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan". Tugas Penyidik adalah
melaksanakan penyidikan6. Sedangkan definisi dari Penyidikan diatur
dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 KUHAP 7"Serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya."
Wewenang penyidik yang dari pejabat Kepolisian negara diatur di dalam
Pasal 7 Ayat (1) KUHAP: "(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1) menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
6
Ngani Nico,I. Nyoman Budi Jaya dan Hasan Madani. 1984. Mengenal Hukum Acara Pidana: Bagian Umum
dan Penyidikan. Yogyakarta: Liberty.
7
Prodjohamidjojo, Martiman. 1990. Komentar Atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Jakarta: Pradnya Paramita.
3) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
4) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) mengambil sidik jari dan memotret seorang
b. Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6
tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana
Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang di bidang
penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
yang dilaksanakan secara profesional, transparan dan akuntabel terhadap
setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang
mencerminkan kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan. Berikut
pengertian penyidik dan penyidikan menurut Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia : Pasal 1 ayat (3) “Penyidik adalah pejabat Polri yang
diberi wewenang oleh undang – undang untuk melakukan penyidikan”
Pasal 1 ayat (2) 16 “Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

2. Pelaksanaan Prosedur Oleh Penyidik


Tahapan awal dari proses hukum acara pidana di beberapa negara seperti di
Belanda disebut opsporing, sedangkan di Inggris dan Amerika disebut
investigation. Sementara di Indonesia, proses awal yang dapat diterjemahkan dari
opsporing maupun investigation dalam dua bentuk proses yaitu penyelidikan dan
penyidikan. Penggunaan terminologi untuk selidik dan sidik pada dasarnya
memiliki pengertian yang serupa yaitu meneliti lebih jelas tentang suatu peristiwa,
namun pengaturannya memiliki perbedaan yang sangat prinsipil, baik tujuan
maupun pihak yang melaksanakannya.8
Tahap penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan
oleh penyidik termasuk penyidikan tambahan atas dasar petunjuk dari penuntut
umum dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Penyidikan didasarkan
karena adanya dugaan telah atau sedang terjadinya tindak pidana yang dapat

8
Tolib Efendi. 2014 . Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia,
Malang : Setara Press, 2014, Hlm 69.
berasal dari laporan atau pengaduan, diketahui sendiri oleh penyidik atau karena
tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana.9

Sasaran atau target penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang


tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang atau jelas, dan
sekaligus menemukan siapa tersangka/pelakunya. Upaya pembuktian dilakukan
dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan melakukan kegiatan,
tindakan mencari, menemukan, mengumpulkan, dan melakukan penyitaan
terhadap alat-alat bukti yang sah dan benda/barang bukti10
Berkaitan dengan sasaran penyidikan tersebut, penyidikan tindak pidana
Narkotika selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dalam undang-undang tindak pidana khusus seperti Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan pengaturan tentang teknik
penyidikan khusus dalam proses penanganan tindak pidana narkotika salah
satunya melalui teknik penyidikan undercover buy (Pembelian Terselubung)11

3. Teknik Pembelian Terselubung (Undercover buy)


Teknik pembelian terselubung pertama kali diatur dalam UndangUndang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika dan kemudian diubah melalui Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yakni pada Pasal 75 huruf (j)
yang memberikan pengaturan tentang kewenangan penyidik untuk melakukan
teknik pembelian terselubung dalam menangani tindak pidana narkotika. Namun
dalam undangundang tersebut secara eksplisit tidak memberikan pengertian yang
jelas tentang teknik pembelian terselubung (under cover buy). Dalam Pasal 79
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika hanya mengatur bahwa
dalam pelaksanaan teknik pembelian terselubung dilakukan atas perintah tertulis
dari pimpinan.

Kata “pembelian” cukup jelas artinya yaitu suatu keadaan dimana suatu
pihak membeli sesuatu dari pihak lain. Sama halnya dengan “penyerahan yang
diawasi” maka disini pula diperjelas tentang siapa yang membeli, siapa yang
menjual, dan benda ada yang menjadi barang traksaksinya. Kemudian kata
“terselubung” mengandung arti tersembungi. Dalam hal ini penyidik
9
7 Andi Hamzah. 1989 . Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989, Hlm
123.
10
HMA Kuffal. 2010. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010, Hlm 53.
11
Sapto Winengku, Umar Ma’ruf. Teknik Pembelian Terseluubung dalam Penyidikan Tindak Pidana
Narkotika. Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol12.No 4 Desember 2017
menyembunyikan kedudukan sebenarnya sebagai penyidik dan berlaku sebagai
pecandu narkotika ataupun sebagai codistributior dalam penyaluran narkotika.12

Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan dibawah


pengawasan dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan.
Pembelian terselubung sebagai suatu metode yang dilakukan penyidik dalam
13

tindak pidana Narkotika dapat kita lihat pengertiannya yaitu : Proses penyidikan
tindak pidana disebutkan: “pembelian terselubung” adalah suatu teknis khusus
dalam penyelidikan kejahatan narkotika dimana seorang informan atau anggota
polisi (dibawah selubung), bertindak sebagai pembeli dalam suatu transaksi gelap
jual beli narkotika dan psikotropika, dengan maksud pada saat terjadi hal tersebut,
si penjual atau perantara atau orang-orang yang berkaitan dengan supply narkotika
dan psikotropika dapat ditangkap berserta barang bukti yang apa padanya.14

Menurut penafsiran gramatikal, pembelian terselubung dapat diuraikan yaitu


pembelian berarti suatu keadaan di mana salah satu pihak membeli dari pihak
yang lain (penjual), dan terselubung berarti tersembunyi atau tersamarkan dari
kedudukan/posisi yang sebenarnya. Dengan demikian pengertian pembelian
terselubung yang dimaksud dalam pasal 75 huruf (j) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika berarti tindakan salah satu pihak (penyidik) dengan
melakukan penyamaran sebagai pembeli untuk melakukan pembelian narkotika
dengan pihak penjual narkotika (bandar/pengedar) yang menjadi sasaran
penyidikan.

D. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui
dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah dalam
mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Metode
penelitian merupakan hal yang mempunyai peran yang sangat penting dan
merupakan blueprint suatu penelitian, yang berarti segala gerak dan aktivitas
penelitian tercermin di dalam metode penelitian.15
12
Frankiano B.Randang, SH,MH . Teknik Penyidikan dalam Pasal 68 UU Narkotika dan Pasal 55 Huruf A UU
psitropika 2010
13
13 Ibid, hlm 25
14
Ana Marito Ompusunggu. 2019 . Teknik Pembelian Terselubung pada Tindak Pidana Narkotika .
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Universitas Borneo Tarakan .
15
Sri Mamudji dan dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Badan Penerbit Falkutas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 21.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan penelitian
hukum normatif. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode
pendekatan Yuridis sosiologis , artinya “suatu penelitian yang berusaha
memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam, tentang suatu keadaan
atau gejala yang diteliti”. Dalam hal ini memberikan gambaran serta uraian
secara terperinci tentang bagaimana peran penyidik kepolisian dalam
menangani kasus narkotika. Selain itu dalam penelitian ini juga dijelaskan
tentang prosedur dalam penanganan kasus narkotika dalam pelaksanaan
teknik khusus penyidik kepolisian dalam menangani kasus narkotika.

2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif, yang memaparkan
pengaturan hukum mengenai diskresi penyidik kepolisian terkait penerapan
metode pembelian terselubung dalam melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana narkotika dan psikotropika

3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan yang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan diskresi penyidik kepolisian terkait penerapan metode pembelian
terselubung dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika
dan psikotropika.

4. Data dan Sumber Data


a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara
dan dokumen yang peroleh di Polda Lampung khususnya Satnarkoba.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan Jenis data yang diperoleh dikumpulkan dengan
cara kepustakaan/studi pustaka dengan cara mengumpulkan data seperti
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif yang
memuat ketentuan tentang diskresi penyidik dalam penerapan metode
pembelian terselubung dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika,
jurnal ilmiah dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti.

5. Metode Pengumpulan Data


Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan (library research) adalah pengkajian informasi
mengenai hukum yang bersumber dari buku, undang-undang dan literatur
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini dan selanjutnya diperiksa
dengan cara membaca, mempelajari, mengutip, dan menghubungkan
bahan-bahan hukum yang telah didapat agar mudah dalam pengolahan
datanya.
b. Observasi
Tempat observasi penulis di Kepolisian Daerah Provinsi Lampung.
c. Wawancara
1) Kombes. Pol. Aris Supriyono, S.I.K., M.H. selaku Direktur Reserse
Narkoba Polda Lampung
2) Akbp. Ujang Supriyanto, S.E. selaku Kasubdit I Ditresnarkoba Polda
Lampung
d. Dokumentasi
Yaitu pencatatan terhadap data atau dokumen tertentu dari suatu obyek
yang ada, sehingga diperoleh data dan informasi terkait pembelian
terselubung serta proses penanganannya di Polda Lampung yang realistik
guna membahas permasalahan yang telah dirumuskan.
e. Internet
Yaitu penelusuran website untuk melengkapi bahan hukum lainnya.

6. Pengolahan Data
Teknik pengolahan terhadap bahan hukum yang telah terkumpul dilakukan
dengan tahapan inventarisasi, identifikasi, klasifikasi dan melakukan
sistematisasi :
a. Inventarisasi, yaitu kegiatan pendahuluan bersifat dasar yang dilakukan
dengan membedakan antara bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang
didasarkan pada relevansi isu hukum penelitian.
b. Identifikasi, yaitu proses melakukan pengorganisasian bahan hukum melalui
prosedur seleksi yang didasarkan pada 3 konsepsi pokok, yaitu bahan
hukum harus mempunyai kesesuaian atau relevansi dengan isu hukum,
bahan hukum primer harus dapat diinterpretasikan atau dikonstruksikan dan
bahan hukum harus mempunyai nilai atau standar baik dalam teori maupun
konsep hukum.
c. Klasifikasi bahan hukum dilakukan secara logis dan sitematis didasarkan
pada hakikat, jenis, dan sumbernya.
d. Sistematisasi, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis isi dan struktur
bahan hukum berdasarkan uraian masalah penelitian.

7. Metode Analisis Data


Penganalisaan bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder, dipergunakan teknik deskriptif kualitatif,
yaitu dengan mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu kemudian
menganalisa melalui teknik analisis sebagai berikut: teknik deskriptif, yaitu
uraian sebagaimana adanya terhadap sesuatu kondisi atau posisi dari preposisi
– preposisi hukum atau non hukum dimana dalam hal tersebut menguraikan
tentang suatu kondisi atau posisi dari pihak berwajib dalam menangani
maraknya narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ana Marito Ompusunggu. Teknik Pembelian Terselubung pada Tindak Pidana


Narkotika . Tarakan . Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Universitas
Borneo. 2019
Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta. Ghalia
Indonesia. 1989

Frankiano B.Randang, SH,MH . Teknik Penyidikan dalam Pasal 68 UU


Narkotika dan Pasal 55 Huruf A UU psitropika. 2010

Haryiono, Bambang. Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak


Pidana Narkoba di Indonesia. Semarang.Universitas Diponegoro. 2009

HMA Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum Positif di Indonesia.


Malang.UMM Press. 2010

Sri Mamudji dan dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok.
(Badan Penerbit Falkutas Hukum Universitas Indonesia). 2005

Tolib Efendi. Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan Dan Pembaharuanya


di Indonesia. Malang. Setara Press. 2014

B. Peraturan Perundang-Undangan

1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

3. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang


Penyidikan Tindak Pidana

C. Jurnal

Sapto Winengku, Umar Ma’ruf. Teknik Pembelian Terseluubung dalam Penyidikan


Tindak Pidana Narkotika. Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol12.No 4 Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai