Disusun oleh :
KELOMPOK 8
ELSA EPIANA
IYANG TEGUH
PIPIT FITRIAH
YUYUM YUMITA
factor risiko
Biologi
Kerusakan Keterbatasan
Patologi fungsi
Difabel
/gangguan
Kualitas
hidup
C. Proses Terjadinya Difabel
Model NAPD menjelaskan kerangka kerja alternative untuk melihat empat tahap yang
berkaitan dan berbeda dalam proses terjadinya difabel. Patologi di tingkat seluler dan
jaringan dapat menurunkan struktur atau fungsi pada tingkat organ. Seorang individu dengan
gangguan mungkin mengalami keterbatasan fungsional, yang membatasi kemampuannya
untuk melakukan tindakan dalam kisaran normal. Keterbatasan fungsional dapat
mengakibatkan difabel saat peran tidak dapat dilakukan.
Meskipun model yang muncul menunjukan perkembangan yang searah dari patologi ke
arah kerusakan, keterbatasan fungsional, difabel, bertahap atau kemajuan yang linear
mungkin tidak terjadi.
D. Empat Model Difabel
Difabel adalah masalah konstruksi social, dan bagaimana hal itu dirasakan dan dipahami
sering berhubungan dengan perspektif. Empat model untuk melihat difabel dijelaskan disini:
Model Medis :difabel adalah cacat (defect) membutuhkan penyembuhan melalui
intervensi medis.
Model Rehabilitasi : difabel yang di rawat oleh seorang professional rehabilitasi.
Model Moral : berhubungan dengan dosa dan rasa malu.
Model Difabel : konstruksi social.
E. Difabel : Sebuah Isu Sosial yang Dibangun
Banyak kompleksitas dalam mendefinisikan difabel yang dibangun dari sifat social.
Karena difabel lebih dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan fungsi
hidup yang penting, menjadi produk dari interaksi antar status kesehatan dan tuntunan
lingkungan fisik dan social seseorang. Menggunakan kursi roda merupakan keterbatasan
ditempat kerja karena langkah-lagkah dan pintu yang sempit, jauh lebih sedikit lantai yang
landau dan lorong-lorong yang lebar. Seorang individu dengan difabel tersembunyi seperti
tuli mungkin tidak sadar difabel sampai tenggelam dalam situasi social dengan orang lain
yang tidak bisa berkomunikasi melalui bahas isyarat. Demikian pula, keyakinan dan sikap
budaya membentuk sejauh mana suatu penurunan nilai difabel dan sejauh mana orang
dengan gangguan fisik atau mental dapat berfungsi dalam pekerjaan dan lebih luas lagi
pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat (Scotch, 1994, hal, 172).
F. Memebedakan Penyakit Dengan Difabel
Perawat harus bisa membedakan antra orang yang memiliki penyakit dan menjadi difabel
sekunder karena penyakit dan orang yang memiliki difabel namun mungkin tidak
memerlukan pengobatan. Difabel tidak selalu disertai dengan atau berhubungan dengan
penyakit, tidak juga penyakit penyakit tertentu disertai dengan atau berkaitan dengan
difabel.
G. Karakteristik Difabel
Apakah seseorang memiliki difabel tergantung pada kriteria yang digunakan. Ditingkat
nasional sudah ada undang – undang yang mengatur mengenai difabel, yaitu Undang –
Undang RI Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Difabel. Penyandang difabel adalah
setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik dalam
jangka waktu yang lama yang dalam berineraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan wargs Negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak. Difabel fisik, difabel sensorik (misalnya, tuli atau buta),
difabel intelektual (yaitu pilihan terminoogi untuk keterbelakangan mental), gangguan emosi
yang serius, ketidakmampuan belajar, sensitifitas bahan kimia dan lingkungan, masalah
kesehatan seperti Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan asma adalah contoh
dari difabel yang secara substansial membetasi setidaknya satu kegiatan besar dalam hidup
seseorang.
Aktivitas kehidupan utama termasuk kemempuan bernafas, berjalan, melihat, mendengar,
berbicara, bekerja, merawat diri sendiri, melakukan tugas – tugas manual, dan belajar. Biro
Sensus AS (2006) mendefinisikan difabel sebagai syarat ketahanan fisik, mental atau
emosional yang menciptakan batasan atau ketidakmampuan untuk berfungsi sesuai dengan
kriteria tertentu.
H. Prevalensi Difabel di Indonesia
Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang difabel sebesar
2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang difabel yang terlihat pada
gambar dibawah ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada susenas 2003
dan 2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan susenas 2006 dan 2012
telah memasukan konsep difabel. Walaupun demikian, jika kita bandingakan antara susenas
2003 dengan 2009 dan susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.
Sensus penduduk 2010 mengumpulakan data mengenai penduduk yang mengalami
kesulitan melihat, mendengar, berjalan atau naik tangga, mengingat atau berkonsentrasi atau
berkomunikasi dan kesulitan mengurus diri sendiri. Data yang dapat disajikan adalah data
difabel pada penduduk usia 10 tahun ke atas karena ditemukan ketidakwajaran data untuk
usia kurang dari 10 tahun yang kemugkinan karena kesalahan pemahaman konsep dan
definisi. Berikut ini adalah persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengalami
kesulitan fungsional berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010.
Tahun Persentase
2003 0,69
2006 1,38
2009 0,92
2012 2,45