Anda di halaman 1dari 4

 

IDEOLOGI KEADILAN

Oleh: Reza Nasrullah

Anggota DPRD Jawa Barat dari Partai Keadilan Sejahtera

Kasus Akbar Tanjung sang Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai
Golkar yang divonis bersalah dalam kasus dana Bulog Rp 40 milyar dengan
hukuman penjara tiga tahun, telah banyak menyita perhatian kita. Adilkah
vonis tsb? Adilkah sikap beliau yg tidak mau mundur dari jabatan Ketua
DPR? Sampai kini beliau tetap berkiprah seperti biasa, tanpa bisa dipaksa
memenuhi vonis pengadilan.

Demikian pula banyak kasus lain yang melibatkan mantan pejabat


dan juga pengusaha yg divonis bersalah oleh hakim dengan hukuman
sekian tahun penjara. Bahkan ada juga yg bebas alias tidak bersalah
seperti Syahril Sabirin dan Hokiarto. Adilkah semua vonis tsb? Maka
terjadilah pro dan kontra dalam masalah ini. Sebagian mengatakan itu
semua sudah adil. yang lain lagi berpendapat itu belum atau tidak adil.

Semua orang telah bicara tentang keadilan. Namun umumnya hanya


sebatas perasaan. Atau belum ada yg pernah merumuskan apa sebenarnya
makna hakiki kata ini. Akibatnya parah: semua pihak berhak mengklaim
keadilan sesuai persepsinya sendiri. Maka pro-kontra antara vonis yg adil
dan tidak adil akan terus bergulir, karena masing-masing merasa paling
adil, orang lain dianggapnya tidak tahu apa itu keadilan.

Tulisan ini berupaya mengisi kekosongan tentang rumusan hakikat


keadilan. Memang upaya ini belum tentu menyelesaikan pro-kontra di atas.
Namun paling tidak rumusan ini bisa dipikirkan bersama oleh kita semua,
siapa tahu titik temunya ada di sini.

Adil adalah: memperlakukan (segala) sesuatu secara


proporsional sesuai(100%) dengan hakikat (segala) sesuatu tsb.

Memperlakukan bisa bermakna: berbicara, memandang seseorang,


memegang benda, mengendarai mobil, memakai kopiah, menggendong
anak, dsb. Misalnya kita telah membeli peci baru. Jika kita memakainya di
kepala waktu sholat, maka itu adalah perlakuan yg adil untuk peci baru
tsb. Karena masih sesuai dengan hakikat peci baru. Begitu peci tsb sudah
sangat tua dan tidak layak pakai lagi, maka perlakuan yg adil mungkin
adalah membakarnya atau membuangnya.

Kesesuaian perlakuan kita dengan hakikat sesuatu biasanya tidak


mungkin 100%, karena ilmu kita tentang hakikat sesuatu tsb tidak sama
dengan Allah swt yang maha tahu.Hanya Allah swt yang maha adil, karena
Dia memiliki ilmu tentang segala sesuatu tanpa secuilpun tidak tahu. Itulah
sebabnya kalau mau adil perlu mengacu kepada ilmu dariNya. Bagi setiap
muslim, itulah Islam.

Perlakuan kita bisa dikatakan adil jika dipenuhi kriteria berikut:

1. berdasarkan ilmu yg obyektif; artinya kita dituntut menggali data dan


informasi serta ilmu tentang suatu kasus sebanyak dan selengkap(berbagai
sisi) serta seakurat mungkin. Jangan tergesa-gesa menyikapi suatu
masalah yg mengakibatkan data/informasi/ilmu tentang masalah tsb
minimal, bukan maksimal.

2. bersih dari perasaan benci/dendam/marah; artinya agar bisa obyektif


kita tidak boleh apriori. Biasanya orang apriori karena perasaan
benci/dendam/marah/tersinggung/dsb.Rasulullah saw mewanti-wanti agar
seorang hakim jangan menetapkan vonis kalau sedang marah, meskipun
marahnya tidak ada kaitan dengan perkara yg dihadapinya.

3. bersih dari kepentingan apapun; orang biasanya punya kepentingan


karena rasa cinta yg kuat terhadap obyek kepentingan itu. Perlakuan tidak
adil terjadi karena sang Hakim (bisa siapa saja, tidak mesti hakim di
pengadilan) memiliki kepentingan
karib-kerabat/keluarga/jabatan/popularitas/harta/wanita/dsb.

4.bebas dari diskriminasi, baik ras/etnis/agama/ideologi kepartaian/kaya-


miskin/pejabat-rakyat biasa/jenis kelamin/pendidikan/usia/dsb. Jika kita
bisa membebaskan diri dari perasaan
benci/dendam/marah/tersinggung/dsb plus bersih dari kepentingan
apapun, dan akhirnya kita berlaku adil semata-mata berdasarkan ilmu yg
obyektif, maka insyaAllah-sekaligus kita juga tidak akan diskriminatif
dalam bentuk apapun. Misalnya ketika seorang da'i berda'wah di parlemen,
dia tidak akan mengistimewakan partai A lebih dari partai B, karena secara
ideologis, partai A lebih dekat daripada partai B.

5. tanpa tindak kekejaman/kekerasan/kebrutalan/kesadisan/kekejian;


termasuk dalam hal ini kata-kata yang kasar, menyakitkan hati, dan yang
sejenisnya.

6. sesuai Islam, karena ilmu Allah swt untuk manusia telah diturunkan
berupa Islam yg syaamil-mutakaamil(paripurna). Maka ilmu yg obyektif
tadi harus diuji kesesuaiannya dengan Islam secara utuh/totalitas.

7. diniatkan ikhlash kepada Allah swt semata. Niat ini merupakan jaminan
kepastian bahwa siapa saja akan bisa menerapkan kriteria 1-6 di atas
selama dia ikhlash. Jika ikhlashnya kurang maka kriteria 1-6 ada yg tidak
bisa diterapkan atau intensitasnya tidak penuh, yg berdampak pada
turunnya derajat keadilan itu sendiri.

Kezaliman tidak bisa diberantas dengan balas dendam berupa


kezaliman yg setimpal/seukuran. Dia harus dihapus dan dikalahkan hanya
oleh keadilan, yakni keadilan yg tegak karena adanya 3 syarat yg dimiliki
oleh para penegaknya yakni: a) kekuatan mental/spiritual;
b)kekuatan kesabaran dan keikhlashan; c) kekuatan materi seperti
uang, teknologi, organisasi, dan jumlah personil yg memadai.
Bagaimanapun kuatnya kezaliman, ia akan kalah oleh keadilan
karena kezaliman tidak sesuai dengan fitrah manusia.

Adapun ideology adalah turunan aqidah/keimanan dalam bentuk


konsep/rumusan tentang hubungan antara kehidupan masyarakat dengan
alam, dengan Tuhan, dengan sesama masyarakat, yg diyakini harus
ditegakkan/diterapkan. Jika kita menganut ideology keadilan, berarti kita
rela mati berjuang demi tegaknya keadilan. Tetapi rumusan keadilan itu
sendiri harus jelas bagi setiap penganutnya. Sebab jika tidak jelas, maka
yg akan terjadi adalah anarkhisme manakala setiap pribadi merasa paling
berhak menerapkan keadilan menurut pikiran dan hawa nafsunya sendiri.
Jika konsep keadilan Islam adalah sebagaimana diuraikan di atas,
insyaallah jargon “keadilan untuk semua” akan bisa diwujudkan tanpa
menimbulkan kekuatiran sedikitpun bagi non-muslim. Sayangnya ummat
Islam sendiri masih belum mampu mencapai kualitas keadilan Islam yg
sebenarnya. Padahal pada zaman keemasannya, para penguasa muslim
bahkan diminta oleh non-muslim agar tetap memerintah mereka dan tidak
mau diperintah oleh penguasa Romawi yg justru seagama, karena keadilan
para penguasa muslim tsb.

Wallahu A'lam.

Anda mungkin juga menyukai