BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang dirasakan
mengganggu dan menyakitkan, sebagai akibat adanya kerusakan jaringan aktual
dan potensial yang menyebabkan seseorang mencari perawatan kesehatan
(Smeltzer & Bare,2012).
Berbagai stimulasi penyebab nyeri diolah oleh otak yang kemudian
menyampaikan pesan adanya nyeri. Setiap pasien mempunyai respon yang berbeda-
beda tergantung dari jenis dan kedalaman/ skala nyeri yang dirasakan. Nyeri terjadi
bersama proses penyakit, pemeriksaan diagnostik dan proses pengobatan. Nyeri
kadang-kadang muncul tanpa sumber dan penyebab yang jelas dan jika tidak
mendapatkan penanganan tidak adekuat maka kemungkinan dapat menimbulkan
efek fisik, psikologis dan financial.
Pengkajian dan pemahaman yang menyeluruh tentang nyeri sangat penting bagi
pemberi perawatan kesehatan dalam penanganan nyeri yang efektifkarena nyeri
tidak bisa diobservasi secara langsung, pengukuran nyeri hanya berdasar pada
laporan pasien akan adanya nyeri beserta kondisi fisiologis yang menyertainya
(Potter & Perry, 2005).
Jika persepsi nyeri diubah oleh adanya penatalaksanaan nyeri dengan atau tanpa
obat, maka tidak ada lagi nyeri yang dirasakan pasien, dengan kata lain
kenyamanan sebagai kebutuhan dasar klien dapat terpenuhi (Potter& Perry, 2005).
Berdasarkan permasalahan diatas maka Rumah Sakit Ibu dan Anak Brawijaya
bojongsari suatu panduan manajemen nyeri sebagai acuan pemberi asuhan dalam
penatalaksanaan nyeri pada pasien. Dengan adanya panduan nyeri ini diharapkan
semua pemberi asuhan pasien mempunyai persepsi yang sama terkait nyeri.
B. Tujuan
1. Untuk mengatur, menstandarkan dan memberikan panduan asessmen yang
aman, konsisten, dan efektif serta manajemen nyeri pada semua pasien yang
ditangani.
2. Untuk menggambarkan peran dan fungsi kolaboratif dari pemberi asuhan
kesehatan dalam manajemen nyeri akut dan procedural dan/atau
ketidaknyamanan pasien.
3. Tersedianya penatalaksanaan nyeri yang efektif selama dalam perawatan.
4. Memfasilitasi proses pemulihan pasien dan kembali ke fungsi semula.
5. Meningkatnya mutu pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan
keluarga.
BAB II
RUANG LINGKUP
Prosedur ini diterapkan dalam aktifitas penanganan pasien yang mengalami nyeri
berupa : assessment nyeri, farmakologi dan obat analgesik, manajemen nyeri akut,
manajemen nyeri kronik, manajemen nyeri pada pediatrik dan manajemen nyeri pada
kelompuk usia lanjut (geriatri).
Rumah Sakit Ibu dan Anak Brawijaya bojongsari telah menetapkan tatacara
penanganan pasien yang mengalami nyeri agar terpenuhi kepuasan pelanggan terhadap
pelayanan.
BAB III
TATA LAKSANA
A. DEFENISI
1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya
kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik
dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan.
(International Association for the Study of Pain).
2. Nyeri Akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,
memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
3. Nyeri Kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama.
Nyeri kronik adalah nyeri yang terus menerus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyembabnya yang pasti.
Klasifikasi Nyeri
1. Berdasarkan sumbernya
a. Cutaneus/superficial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/jaringan subkutan.
Biasanya bersifat terbakar
b. Deep somatic/nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh
darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar dan lebih lama daripada cutaneus
c. Visceral/pada organ dalam, stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen,
cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan
jaringan
2. Berdasarkan penyebab
a. Fisik
Bisa terjadi karena stimulus fisik (ex.fraktur femur)
b. Psychogenic
Terjadi karena penyebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber
dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari
3. Berdasarkan durasi
a. Nyeri akut, nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi
dari berat sampai ringan
b. Nyeri kronik, adalah nyeri yang konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi,
dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak.Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam
nyeri yang dialami
2. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap
nyeri
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
bagaiman mengatasinya
5. Perhatian
Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lalu, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasinya
9. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan
B. ASESSMEN NYERI
Assesmen nyeri adalah suatu tindakan melakukan penilaian rasa sakit / nyeri
pada pasien di Rumah Sakit, yang terdiri atas assesmen nyeri awal dan
assesmen nyeri ulang.
Assesmen nyeri awal adalah suatu tindakan melakukan penilaian rasa sakit /
nyeri pada pasien saat pasien dilayani pertama kali di rawat jalan maupun Unit
Gawat Darurat.
Assesmen nyeri ulang adalah suatu tindakan melakukan penilaian ulang rasa sakit/
nyeri pada pasien dengan keluhan nyeri baik di rawat jalan, UGD, rawat inap maupun
rawat khusus sampai pasien terbebas dari rasa nyeri. Asesmen ulang nyeri dilakukan
pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa
nyeri, sebagai berikut:
Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik
pada pasien
Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri,
setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang menjalani
prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari
rumah sakit.
Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang
setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam setelah
pemberian obat nyeri.
1. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Onset nyeri : akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
2) Karakter dan derajat keparahan nyeri : nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
3) Pola penjalaran / penyebaran nyeri.
4) Durasi dan lokasi nyeri.
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / control motorik.
6) Faktor yang memperberat dan memperingan.
7) Kronisitas.
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respons terapi.
9) Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka.
10) Penggunaan alat bantu.
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur dan aktivitas hidup
dasar (activity of daily living).
12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat
yang berhubungan dengan sindrom kauda akuina.
b. Riwayat Pembedahan / Penyakit Dahulu
c. Riwayat Psiko Sosial
1) Riwayat konsumsi alcohol, merokok atau narkotik.
2) Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien.
3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri.
4) Pembatasan / retriksi partisipasi pasien dalam aktivitas social yang
berpotensi menimbulkan stress. Pertimbangkan juga aktivitas
penggantinya.
5) Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengarun negatif terhadap motivasi dan kooperasi
pasien dengan program penanganan / manajemen nyeri ke depannya.
Pada pasien dengan masalah psikiatri diperlukan dukungan prikoterapi
/ psikofarmaka.
6) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stress
bagi pasien / keluarga.
d. Riwayat Pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakkan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.
e. Obat-obatan dan alergi
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri
(suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi
suplemen / herbal dan 36% mengkonsumsi vitamin).
2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi
efektifitas dan efek samping.
3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-
obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.
f. Asessmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal,
neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin dan muskoloskeletal.
2) Gejala konstitusional : penurunan berat badan, nyeri malam hari,
keringat malam dan sebagainya.
2. Asessmen nyeri
a. Neonatus
Untuk asessmen nyeri pada pasien neonatus digunakan CRIES PAIN SCALE.
Instrumen ini hanya bisa digunakan pada pasien neonatus umur 0-6 bulan
terutama di kritikal area, dengan menilai 5 indikator kenyamanan, yaitu crying,
Requires, Increased, Expression, and Sleepless. Masing-masing indikator
memiliki skor 0-2, sehingga total skor adalah 0-10.
1) Crying adalah suatu karakteristik dari nyeri berupa tangisan melengking
(high pitched) dari pasien neonatus.
Kriteria Penilaian Tangisan:
0 = tidak ada tangisan atau tangisan yang tidak melengking
1 = tangisan melengking tetapi bayi mudah dihibur
2 = tangisan melengking tetapi bayi tidak mudah dihibur
2) Requires adalah kebutuhan akan oksigen (O 2) jika SaO2<95%. Bayi yang
mengalami rasa nyeri ditandai dengan penurunan oksigen, walaupun harus
tetap mempertimbangkan penyebab lain dari hypoxemia. Misalnya
oversedasi, atelectasis, dan pneumothorax.
Kriteria Penilaian:
0 = tidak memerlukan oksigen
1 = memerlukan oksigen <30%
2 = memerlukan oksigen >30%
3) Increased adalah peningkatan tanda-tanda vital khususnya denyut
jantung dan *tekanan darah (bagi neonatus yang menggunakan monitor
EKG). Jika melakukan pengukuran langsung denyut jantung atau tekanan
darah, hal ini dilakukan pada akhir prosedur pengukuran tanda vital karena
kemungkinan akan membuat anak terbangun sehingga pengukuran sulit
dilakukan.
Kriteria Penilaian:
0 = kedua denyut jantung dan tekanan darah tidak berubah atau kurang
dari nilai baseline
1 = denyut jantung atau tekanan darah meningkat <20% darinilai baseline
2 = denyut jantung atau tekanan darah meningkat >20% dari nilai
baseline
4) Expression adalah ekspresi, guratan ekspresi yang paling sering
berasosiasi dengan nyeri adalah suatu seringai. Suatu seringai mungkin
ditandai oleh penurunan kening, mata memejam, kerutan dalam pada
garisan naso-labial atau bibir dan mulut terbuka
Kriteria Penilaian:
0 = tidak seringai
1 = seringai ada
2 = seringai dan tidak ada suara tangisan dengkur
5) Sleepless adalah kondisi susah tidur, skor susah tidur dinilai pada saat
penilaian berlangsung.
Kriteria Penilaian:
0 = anak secara terus menerus tertidur
1 = anak terbangun pada interval berulang
2 = anak terjaga terbangun secara terus menerus
Indikator CRIES dan Penilaian:
Indikator kenyamanan: Nilai Keterangan
1. Crying: tangisan (skor 0-2)
2. Requires: kebutuhan O2 (skor 0-2) 0-3 nyeri ringan
3. Increased: peningkatan tanda vital (skor 4-7 nyeri sedang
0-2) 8-10 nyeri berat
4. Expression: ekspresi (skor 0-2)
5. Sleepless: susah tidur (skor 0-2)
Intervensi Nyeri:
Untuk dapat menentukan intervensi dalam merespon skor CRIES, perawat
harus bekerjasama dengan pasien dan keluarga. Adapun tatalaksana intervensi
nyeri dibedakan berdasarkan skor atau tingkatan nyeri, yaitu:
Skor nyeri Intervensi yang diharapkan
0–3 1. Lanjutkan observasi
2. Koordinasi dengan medis untuk pemberian
analgetik
3. Tindakan keperawatan untuk mengurangi nyeri
(contoh, pengaturan posisi, tarik nafas dalam)
4–7 Pertimbangkan pemberian analgesia
8 – 10 Berikan analgetik sesuai instruksi medik
b. Anak-anak
Untuk asessmen nyeri pada pasien anak digunakan FLACC PAIN SCALE, yaitu
skala nyeri dengan menilai 5 indikator kenyamanan, yang terdir dari Face,
Legs, Activity, Cry, and Consolability. Instrumen ini hanya bisa digunakan untuk
usia < 3 tahun atau anak dengan gangguan kognitif atau pasien-pasien anak
yang tidak dapat dinilai dengan skala lain. Masing-masing indikator memiliki
skor 0-2, sehingga total skor adalah antara 0-10.
1) Face: wajah
0 = tidak ada ekspresi tertentu atau seyum
1 = sering sekali-kali atau kerutkan dahi, muram, ogah ogahan
2 = dagu gemetar dan rahang diketap berulang
2) Legs: kaki
0 = posisi normal atau santai
1 = gelisah, resah, tegang
2 = penendangan atau kaki ke atas
3) Activity: aktivitas
0 = rebahan dengan tenang, posisi normal, bergerak dengan mudah
1 = mengerang atau merengek,
2 = menekuk, kaku atau menghentak
4) Cry: tangisan
0 = tidak ada tangisan
1 = mengerang atau merengek menggerutu sekali-kali
2 = menangis dengan kuat, menjerit atau terisak-isak, menggerutu berula
5) Consolability: kemampuan consol/nyaman
0 = konten, santai
1 = dipastikan dengan sentuhan sesekali, pelukan atau diajak
2 = sulit melakukan konsol atau nyaman
Indikator kenyamanan: Nilai Keterangan
1. Face: wajah (skor 0-2)
2. Legs: kaki (skor 0-2) 0-3 nyeri ringan
3. Activity: aktivitas (skor 0-2) 4-7 nyeri sedang
4. Cry: tangisan (skor 0-2) 8-10 nyeri berat
5. Consolability: kemampuan
consol/nyaman (skor 0-2)
Intervensi nyeri
Adapun tatalaksana intervensi nyeri :
Skor nyeri Intervensi yang diharapkan
0–3 1. Lanjutkan observasi
2. Koordinasai dengan medis untuk pemberian
analgetik
3. Tindakan keperawatan untuk mengurangi
nyeri (contoh, pengaturan posisi, tarik nafas
dalam)
4–7 Pertimbangkan pemberian analgesik
Keterangan:
0–1 : sangat bahagia karena tidak merasakan nyeri
2–3 : sedikit nyeri
4–5 : cukup nyeri
6–7 : lumayan nyeri
8 – 9 : sangat nyeri
10 : amat sangat nyeri (tak tertahankan)
Keterangan:
0 tidak ada nyeri
1-3 nyeri ringan
4-6 nyeri sedang
7-10 nyeri berat
d. Asessmen nyeri pada pasien tersedasi
Instrumen COMFORT Scale digunakan untuk menilai derajat sedasi pada
anak dan dewasa dengan terapi sedasi, yang dirawat di ruang rawat intensif /
kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai menggunakan Numeric
Rating Scale atau Wong-Baker FACES Pain Scale. Instrumen terdiri dari 9
indikator dengan total skor 45, masing-masing indikator terdiri dari lima kriteria
dan masing – masing kriteria diberi skor 1 sampai 5.
Keterangan:
9-18 nyeri terkontrol
19-26 nyeri ringan
27-35 nyeri sedang
>35 nyeri berat
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan Umum
1) Tanda vital : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien.
3) Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut
akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik.
4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang ( malalignment), atrofi
otot, fasikulasi, diskolorasi dan edema.
b. Status Mental
1) Nilai orientasi pasien.
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek dan segera.
3) Nilai kemampuan kognitif.
4) Nilai kondisi emosional pasien , termasuk gejala-gejala depresi, tidak
ada harapan, atau cemas
c. Pemeriksaan Sendi
1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi , perhatikan adanya
keterbatasan gerak , diskinesis , araut wajah, meringis, atau asimetris
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dilakukan oleh pasien ( saat menilai pergerakan aktif ). Perhatikan
adanya limitai gerak raut wajah meringis, atau asimetris
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya sedera
ligament
d. Pemeriksaaan Motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan criteria
dibawah ini :
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan
kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak/ bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot ( inspeksi / palpasi ), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan Sensorik
Lakukan pemeriksaan sentuhan ringan , nyeri ( tusukan jarum – pin prick),
getaran dan suhu
f. Pemeriksaan Neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus cranial 1 – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri
wajah atau servikal dan sakit kepala
2) Periksa reflex otot , nilai adnya asimetris dan klonus . untuk
mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot
Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon Patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1
7. Asessmen Psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, maslah terkait pekerjaan.
c. Nilai adanya dukungan social, interaksi sosial.
8. Penatalaksanaan nyeri yang dapat dilakukan antara lain:
A. Secara non-farmakologi yaitu:
1) Stimulasi kulit merupakan rangsangan pengendalian gerbang pada
stimulasi nyeri dan merangsang tubuh mengeluarkan endorphin dan
neurotransmitter lain yang menghambat nyeri:
Massage
kompres hangat
Kompres dingin
2) Tehnik Immobilisasi memberikan pembatasan gerak, terutama pada
nyeri akut. Dapat diberikan bebat atau alat penyangga untuk nyeri akut
pada area persendian
3) Tehnik relaksasi merupakan strategis yang efektif pada pasien yang
mengalami nyeri kronis .Ada tiga hal utama yang diperlukan untuk
relaksasi yaitu:
Posisi yang tepat
Fokus pikiran untuk benar-benar beristirahat
Lingkungan yang tenang untuk mengurangi nyeri
4) Tehnik relaksasi nafas dalam bertujuan untuk meningkatkan fungsi
paru-paru, memelihara pertukaran gas, meningkatkan efisiensi batuk,
mengurangi stress fisik dan emosional, menurunkan kecemasan dan
mengurangi nyeri.
Tehnik relaksasi dilakukan dengan cara:
Ciptakan suasana tenang
Usahakan rileks dan tenang
Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan
udara melalui hitungan 1, 2, 3
Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan
kedua tangan dan kaki rileks
Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
Relaksasi nafas dalam bisa disertai dengan iringan musik
5) Distraksi
Dengan tehnik distraksi sel-sel reseptor yang menerima stimuli nyeri
periferal dihambat oleh stimuli dari serabut saraf yang lain. Karena
pesan-pesan nyeri menjadi lebih lambat daripada pesan-pesan
diiversional maka pintu spinal cord yang mengontrol jumlah input
keotak menutup dan pasien merasa nyerinya berkurang. Adapun tehnik
distraksi yang dapat dilakukan antara lain:
Distraksi visual : membaca, nonton TV
Distraksi auditori: mendengarkan musik, humor
Distraksi Taktil: massage, memegang/menggerakkan boneka atau
mainan
Distraksi Intelektual: mengerjakan TTS, main kartu, dll
6) Psikologis, pendampingan keluarga (orangtua, anak, kakak-adik dan
semua famili) sangat membantu dan mensupport pasien dalam
kecemasan, ketakutan dan rasa depresi yang dialami
7) Edukasi, tingkat pengetahuan pasien didukung melalui penatalaksanaan
nyeri yang telah diberikan dan selalu mensupport pasien
f. Pemberian Oral :
Sama efektifnya dengan pemberian parenteral pada dosis yang
sesuai.
Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi
oral.
g. Injeksi intramuscular.
Merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya
tidak dapat diandalkan.
Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan.
Injeksi intravena :
Pilihan parenteral utama setelah pembedahan major.
Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus menerus
(melalui infuse).
Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak
sesuai dosis.
i. Injeksi Supraspinal :
Lokasi mikroinjeksi terbaik :mesencephalic periaqueductal gray
(PAG).
Mekanisme kerja : memblok respons nosiseptif di otak.
Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri
pasien kanker.
j. Injeksi spinal (epidural, intratekal) :
Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron
kormu dorsalis spinal.
Sangat efektif sebagai anagesik.
Harus dipantau dengan ketat.
k. Injeksi Perifer.
Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan
anastesi local (pada konsentrasi tinggi)
Sering digunakan pada : sendi lutut yang mengalami inflamasi.
C. MANAJEMEN NYERI AKUT
1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu.
2. Lakukan asessmennyeri : mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang.
3. Tentukan mekanisme nyeri :
a. Nyeri somatik.
Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi
inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.
Karakteristik : onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri
bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
Contoh : nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri Visceral :
Nosiseptor visceral lebih sedikit dibandingkan somatic, sehingga
jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa
dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
Penyebab : iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament,
spasme otot polos, distensi organ berongga/lumen.
Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah,
hipotensi, bradikardia, berkeringa.
c. Nyeri Neuropatik :
Berasal dari cedera jaringan saraf.
Sifat nyeri : rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia
(nyeri saat disentuh), hiperalgesia.
Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat
cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada
tempat cederanya).
Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis,
herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani
kemoterapi/radioterapi.
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya :
a. Farmakologi : gunakan Step-Ladder WHO
OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk
nyeri sedang-berat.
Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan
2) dengan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat
yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien .
Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat,
dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat
dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering
digunakan adalah morfin, kodein.
Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat
diberikan opioid ringan.
Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan
dosis secara bertahap.
Intravena : antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid.
Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi local, OAINS, opioid, tramadol.
Rektal (supositoria) : paracetamol, aspirin, opioid,
fenotiazin.
Topical : Lodikain patch, EMLA.
Subkutan : opioid, anestesi local.
Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn)
intravena untuk nyeri akut, dengan syarat :
Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi.
Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di
ruang rawat inap biasa.
Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15
menit sehingga semua pasien harus diobservasi dengan
ketat selama fase ini.
Terapi non-obat
Skala Keterangan
Nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan
telepon, menonton tv, atau membaca).
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon,
menonton tv, atau membaca).
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri).
*Skor normal / yang diinginkan : 0-2
7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal : pemberian pendinginan atau pemanasan di area
nosiseptif untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan dan akupuntur.
c. Blok saraf dan radiasi area tumor.
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternative : terapi
relaksasi, umpan balik positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi akupasi.
8. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternative : terapi relaksasi,
umpan balik positif, hypnosis.
a. Non-opioid: OAINS, paracetamol, COX-2 inhibitor, antidepressant
trisiklik, amitriptilin, ansiolitik.
b. Opioid :
Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka
pendek).
Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk
mencegah konstipasi )preparat senna, sorbitol).
Berikan opioid jangka pendek.
Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesic yang lebih baik
daripada pemberian intermiten.
Milailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan
opioid sebesar 50-100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant.
OAINS dan amfetamin : meningkatkan toleransi opioid dan
resolusi nyeri.
Nortriptilin, Klonazepam, Karbamazepin, Fenitoin, Gabafentin,
Tramadol, Mexiletine : efektif untuk nyeri neuropatik.
Antikonvulsan : untuk neuralgia trigeminal.
Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari
dan dapat ditingkatkan menjadi 300mg/hari.
9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan
gastrointestinal meningkat hamper dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbs,
distribusi, metabolisme dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik.
Absorbs sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau
sindrom malabsorbsi.
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13. Lebih disarankan mengunakan obat dengan waktu paruh yang lebih
singkat.
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis
pengobatan.
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami : konstipasi.
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat :polifarmasi (misalnya
pasien mengkonsumsi analgesic, antidepressant dan sedasi secara rutin
harian).
17. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah, lalu
naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan :
a. Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mengarah
ke depresi karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya
dan menurunnya kemampuan fungsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan menurunkan
imunitas tubuh.
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya
agitasi dan gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.
Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia.
a. OAINS : indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan
efek samping gastrointestinal lebih besar).
b. Opioid :pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis
dan agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada
lansia), metadon, levorphanol (waktu paruh panjang).
c. Propoxyphene : neurotoksik.
d. Antidepresan : tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik).
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan
kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).
21. Pemilihan analgesic : menggunakan 3 step ladder WHO (sama dengan
manajemen pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang : analgesic non-opioid.
b. Nyeri sedang : opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS dan
analgesik adjuvant.
c. Nyeri berat : opioid poten.
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesic ini adalah penyesuaian
dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.
BAB IV
DOKUMENTASI
Semua rangkaian pelayanan pada pasien yang mengalami nyeri dilakukan secara
terkoordinasi dan terintegrasi dalam suatu rekam medik agar asuhan yang diterima oleh
pasien terencana dengan baik, terpantau sehingga pelayanan yang diberikan dapat secara
optimal dan sesuai dengan kebutuhan asuhan pasien.