Anda di halaman 1dari 54

BAB I

DEFINISI

1.1 Latar belakang


Keluhan nyeri merupakan keluhan yang paling umum kita temukan atau dapatkan ketika kita
sedang melakukan tugas sebagai bagian dari tim kesehatan, baik di pelayanan rawat jalan
maupun rawat inap, oleh karena seringnya keluhan nyeri kita temukan kadang kala kita sering
menganggap hal itu sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup
memberikan hasil yang memuaskan bagi pasien. Nyeri sesungguhnya tidak hanya melibatkan
persepsi dari suatu sensasi, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial,
kognitif, emosi dan perilaku, sehingga dalam penanganannyapun memerlukan perhatian yang
serius dari semua umur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, untuk itu pemahaman tentang
nyeri dan penangannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan, terutama
perawat yang.

1.2 Pengertian
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan
jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang
merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of
Pain).
Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan
temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik adalah
nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui
penyebabnya yang pasti.
Asesmen pasien terdiri atas 3 proses utama :
1. Mengumpulkan informasi dan data : dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang/pemeriksaan yang lain.
2. Melakukan analisis informasi dan data sehingga menghasilkan suatu diagnosa untuk
mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan pasien.
3. Membuat rencana pelayanan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien yang telah
diidentifikasi.
 Asesmen nyeri merupakan asesmen yang dilakukan terhadap pasien jika didapatkan data
subyektif dan/atau data obyektif bahwa pasien mengalami nyeri.

1
 Asesmen nyeri terdiri dari :
1. Asesmen awal
 Asesmen yang dilakukan pada awal ketika pasien datang ke rumah sakit.
 Asesmen yang dilakukan pada awal ketika pasien datang ke rumah sakit.
 Tujuan dilakukannya asesmen awal adalah:
a. Memahami pelayanan apa yang dicari pasien
b.Memilihjenis pelayanan yang terbaik bagi pasien.
c. Menetapkan diagnosis awal.
d.Memahami respon pasien terhadap pengobatan sebelumnya.
2. Asesmen ulang
 Asesmen yang dilakukan pada pasien selama proses pelayanan pada interval tertentu
berdasarkan kebutuhan dan rencana pelayanan atau sesuai kebijakan dan prosedur
rumah sakit.
 Asesmen ulang merupakan kunci untuk memahami apakah keputusan pelayanan
sudah tepat dan efektif.

2
BAB II
RUANG LINGKUP

2.1 Ruang lingkup


Ruang lingkup pelayanan nyeri yaitu semua pasien (rawat jalan maupun rawat inap)
dengan kondisi nyeri yang membutuhkan pelayanan manajemen nyeri, pengobatan dan
observasi nyeri.
Asesmen manajemen nyeri disesuaikan dengan kepribadian, budaya dan sosial
pasien yang didapat dari pemeriksaan awal nyeri sehingga pemeriksaan dan pengelolaan
nyeri bisa akurat,di samping itu.
a) Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Data pendidikan pegawai medis yang ada di RS dr. Etty Asharto Batu terdiri dari Dokter
Spesialis, Dokter Umum, S1 Keperawatan Profesi, dan D3 Keperawatan. Data status
kepegawaian pegawai medis yang terdiri dari TKK.
1) Dokter Spesialis, Dokter spesialis yang mempunyai kompetensi di bidang ilmu masing-
masing.
2) Dokter Umum, Dokter yang mempunyai kompetensi penanganan manajemen nyeri dll.
3) Tenaga Keperawatan, Petugas yang mempunyai kompetensi pelatihan manajemen nyeri
b) Distribusi Ketenagaan
1) Dokter spesialis anestesi sebagai penanggung jawab
2) D3 dan S1 Keperawatan Profesi bertugas sebagai petugas medis untuk pelayanan
manajemen nyeri.
3) Tenaga administrasi bertugas sebagai petugas yang mencatat administrasi berkaitan
dengan pelayanan manajemen nyeri.
c) Pengaturan Jaga
RS dr. Etty Asharto Batu memberikan pelayanan selama 24 jam yang terdiri dari tiga shift
kerja untuk perawat yaitu shift pagi mulai jam 07.00 – 14.00, shift sore mulai jam 14.00 – 21.00
dan shift malam mulai jam 21.00 – 07.00. Untuk dokter jaga shift pagi mulai jam 07.00 – 14.00,
shift sore dan shift malam mulai jam 21.00 – 07.00.
Asesmen dan manajemen nyeri ini dilakukan oleh dokter dan perawat yang kompeten sesuai
perizinan, undang-undang dan peraturan yang berlaku.

3
BAB III
TATA LAKSANA

3.1 Mengumpulkan informasi dan data


1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Keluhan utama nyeri sertakan data lamanya keluhan nyeri tersebut.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
 Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
 Karakter dan derajat keparahan nyeri : nyeri tumpul, nyeri taj am, rasa terbakar, tidak
nyaman, kesemutan, neuralgia.
 Pola penjalaran/penyebaran nyeri.
 Durasi dan lokasi nyeri.
 Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual/muntah, atau
gangguan keseimbangan/kontrol motorik.
 Faktor yang memperberat dan memperingan.
 Kronisitas.
 Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respons terapi.
 Gangguan/kehilangan fungsi akibat nyeri/luka.
 Penggunaan alat bantu.
 Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar {activity of
daily living).
 Singkirkan kemimgkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya ffaktur yang
tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom
kauda ekuina.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit dahulu.
 Riwayat pembedahan/operasi.
d. Riwayat Psikologis, Sosial, Ekonomi, Budaya
 Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika.
 Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien.
 Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri.
 Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi

4
menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
 Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
program penanganan/manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan
masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/psikofarmaka.
 Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat
benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering yang
berhubungan dengan nyeri punggung.
 Tidak dapat bekeijanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
f. Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan, obat, dan allergen yang lain jika ada.
g. Riwayat Pengobatan
 Daftar obat-obatan yang pemah dan sedang dikonsumsi pasien untuk mengurangi
nyeri.
 Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan efek
samping.
* Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan dengan efek
samping kognitif dan fisik.
h. Asesmen sistem organ yang komprehensif
 Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal.
*Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam,
dan sebagainya.
3.2 Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
 Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh.
 Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien.
 Periksa apakah terdapat lesi/luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik.
 Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang ( malalignment), atrofi otot, fasikulasi,
diskolorasi, dan edema.

5
b. Status Mental
 Nilai orientasi pasien.
 Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
 Nilai kemampuan kognitif.
 Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan,
atau cemas.
c. Pemeriksaan Sendi
 Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan.
 Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan gerak,
diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
 Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal/dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut
wajah meringis, atau asimetris.
 Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri.
 Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan Motorik
 Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini:

Deraj at Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat.

4 Mampu melawan tahanan ringan.


3 Mampu bergerak melawan gravitasi.
2 Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu melawan
gravitasi.
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi), tidak menghasilkan pergerakan.

0 Tidak terdapat kontraksi otot.

e. Pemeriksaan Sensorik
 Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum - pin prick), getaran, dan
suhu.
f. Pemeriksaan Neuroiogis lainnya
 Evaluasi nervus kranial I - XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau servikal

6
dan sakit kepala.
 Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus
membutuhkan kontraksi > 4 otot.

Refleks Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps Cl
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles SI

 Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi upper motor
neuron),
 Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan tes
dismetrik (tes pergerakan jari - ke - hidung, pergerakan tumit - ke - tibia), tes
disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
g. Pemeriksaan Khusus
 Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan
etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini ditemukan
mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
 Kelima tanda ini adalah :
1) Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik.
2) Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik.
3) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif).
4) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes/pemeriksaan nyeri.
5) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan yang
sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi).
2. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu mencari penyebab nyeri akut/kronik pasien.
b. Mengidentifikasi area persarafan/cedera otot fokal atau difus yang terkena.
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan dengan rehabilitasi,
injeksi, pembedahan, atau terapi obat.

7
d. Membantu menegakkan diagnosis.
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respons terhadap
terapi.
f. Indikasi: kecurigaan saraf teijepit, mono-/poli-neuropati, radikulopati.
g. Namun pemeriksaan ini belum tersedia di RS dr Etty Asharto.
3. Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi
4. Pemeriksaan Radiologi
a. lndikasi:
 Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang.
 Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit
inflamatorik, dan penyakit vascular.
 Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
 Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang.
 Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu.
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi:
Bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
 Foto polos : untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan
vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma).
 MRI : gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (hemiasi diskus, stenosis
spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang belakang,
infeksi). Namun pemeriksaan ini belum tersedia di RS dr Etty Asharto.
 CT-scan : evaluasi trauma tulang belakang, hemiasi diskus, stenosis spinal.
 Radionuklida bone-scan : sangat bagus dalam mendeteksi perubahan metabolisme
tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal, keganasan
primer, metastasis tulang). Namun pemeriksaan ini belum tersedia di RS dr Etty
Asharto.
5. Asesmcn Psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekeijaan.
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial.

8
3.3 Analisa informasi dan data
Setelah data komprehensif yang sudah dikumpulkan, baik berupa data subjektif maupun data
objektif, maka dilakukan analisa informasi dan data. Bagian ini terdiri dari : penulisan ringkasan,
penyusunan daftar masalah, membuat pengkajian dari masing- masing masalah (diagnosa dan
diagnosa banding).
Membuat rencana pelayanan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien yang telah
diidendfikasi.
Rencana pelayanan meliputi: rencana diagnosis, rencana terapi, rencana monitoring, dan rencana
edukasi.
3.4 Skala Nyeri
Indikator tunggal yang paling penting untuk mengetahui intensitas nyeri adalah keluhan
pasien. Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh pasien,
pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif, maka pendekatan obyektif yang paling mungkin
adalah dengan menggunakan skala nyeri.
Skala nyeri yang digunakan di RS dr Etty Asharto sebagai berikut:
1. Numeric Rating Scale
 Indikasi : digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
 Instruksi : pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan dilambangkan
dengan angka antara 0-10.
0 = tidak nyeri
1- 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4-6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
7-10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)

0 i: >345 678 9 10
A A AA AA A
J____. 1______________1 1_________________1 1_____________________1

None Mid Moderate Severe


Numeric Rating Scale

9
2 Wong Baker Faces Pain Scale
 Indikasi: pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan
intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen.
 Instruksi: pasien diminta untuk menunj uk/memilih gambar mana yang paling sesuai
dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri:
0-1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2-3 = sedikit nyeri
4-5 = cukup nyeri
6-7 = lumayan nyeri
8-9 = sangat nyeri
10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

3. Comfort Scale
 Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif/kamar operasi/ruang rawat
inap yang tidak dapat dinilai menggunakan Numeric Rating Scale dan Wong Baker Faces Pain
Scale.
 Instruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1 - 5 , dengan skor total
antara 9 - 45.
- Kewaspadaan
- Ketenangan
- Distress pemapasan
- Menangis
- Pergerakan
- Tonus otot
- Tegangan wajah
- Tekanan darah basal
- Denyut jantung basal

10
Kategori Skor Tanggal / waktu

1 - tidur pulas/nyenyak
Kewaspadaan 2- tidur kurang nyenyak
3- gelisah
4 - tenang
1- sadar sepenuhnya dan waspada

Ketenangan 2 - agak cemas


3- cemas
41-- tidak
sangat cemas
ada respirasi spontan dan tidak ada batuk
2 - respirasi spontan dengan sedikit/tidak ada
Distress
respons terhadap ventilasi
pernapasan 3 - kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan
terhadap ventilasi
4 - sering batuk, terdapat tahanan/perlawanan
1- bemapas dengan tenang, tidak menangis
Menangis 2 - terisak-isak
3- meraung
41-- tidak
menangis
ada pergerakan
Pergerakan 2 - kedang-kadang bergerak perlahan
3 - sering bergerak perlahan
4 - otot
1- pergerakan aktif/gelisah tidak ada tonus otot
relaks sepenuhnya,
2 - penurunan tonus otot
Tonus otot
3 - tonus otot normal
4 - peningkatan tonus otot dan fleksi jari tangan dan
kaki
1- otot wajah relaks sepenuhnya
Tegangan wajah 2 - tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan
otot wajah yang nyata
■ Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang,
asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa
ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri.

11
Comfort Scale

Kategori Skor Tanggal/ waktu

4 - tegangan hampir di seluruh otot wajah


1- tekanan darah di bawah batas normal
2 - tekanan darah berada di batas normal secara
konsisten
Tekanan darah
3 - peningkatan tekanan darah sesekali > 15% di
basal
atas batas normal ( 1 - 3 kali dalam observasi
selama 2 menit)
4 - seringnya peningkatan tekanan darah > 15% di
1- denyut jantung di bawah batas normal
2 - denyut jantung berada di batas normal secara
konsisten
Denyut jantung
3 - peningkatan denyut jantung sesekali > 15% di
basal
atas batas normal ( 1 - 3 kali dalam observasi
selama 2 menit)
4 - seringnya peningkatan denyut jantung > 15% di
Skor total
Parasetamolmol tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
* Analgesik adjuvant
a. Analgesik multi- Merupakan obat yang memiliki indikasi primer
bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi
tertentu.
b. Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik
adjuvant sebagai level 1.

12
c. Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi
nyeri neuropatik.
d. Kategori:
1) tujuan : antidepresan, agonis adrenergic alfa-2, Kortikosteroid, anestesi topical
2) Analgesik untuk nyeri neuropatik : antidepresan, antikonvulsan, agonis GABA,
anestesi oral-lokal.
3) Analgesik untuk nyeri musculoskeletal : Relaksan otot,Benzodiazepine, inhibitor
osteoklas, radiofarmaka.
a. ‘By the clock5 : mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya : setiap 4 - 6 jam (disesuaikan
dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh
pm (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan
tidak dapat diprediksi.
b. ‘By the child* : mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masing-masing individu.
a. Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur.
b. Sesuaikan dosis analgesik jika perlu.
c. ‘By the mouth’ : mengacu pada jalur pemberian oral.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak
invasive, dan efektif; biasanya per oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung,
pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena
nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan i.m, i.v,
dan subkutan intermiten, yaitu :tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri
yang kontinu pada anak.
7) Indikasi : pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid
parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan,
adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral).

13
d. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang
sulit diatasi dengan terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik.
3) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan
segera obat- obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat
mengenai tanda vital/skor nyeri.
e. Manajemen nyeri kronik
Biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan komponen
nosiseptif dan neuropatik.
1) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai.
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi.
4) Program terapi : kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik, dan
perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin.
f. Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk anak:
3.5 Panduan penggunaan Opioid pada anak :
Obat-obatan Non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15 mg/kgBB oral, Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal dan
setiap 4-6 jam hematologi minimal
Ibuprofen 5-10 mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
6-8 jam gangguan hepar/renal, riwayat perdarahan
gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20 mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
terbagi dalam 2 dosis disfungsi renal. Dosis maksimal 1 g/hari.
Diklofenak 1 mg/kgBB oral, setiap 8 - Efek antiinflamasi. Efek samping sama dengan
12 jam ibuprofen dan naproksen. Dosis maksimal 50
mg/kali.

a. Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah jalur oral.
b. Pada penggunaan infus kontinu i.v, sediakan obat Opioid kerja singkat dengan dosis
50% - 200% dari dosis infus per jam kontinu pm.
c. Jika diperlukan > 6 kali opioid kerja singkat pm dalam 24 jam, naikkan dosis infus i.v per-

14
jam kontinu sejumlah : total dosis Opioid pm yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24.
Altematif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
d. Pilih Opioid yang sesuai dan dosisnya.
e. Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan dosis sebesar
50%.
f. Saat tapering-off atau penghentian obat : pada semua pasien yang menerima opioid > 1
minggu, harus dilakukan tapering-off (iintuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi
dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen
dengan dosis rnorfrn oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
g. Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan
menimbulkan mioklonus, hiper-refleks, dan kejang.
1. Terapi alternatif/tambahan:
a. Konseling
b. Manipulasi chiropractic
c. Herbal
3.6 Asesemen ulang
Asesmen ulang dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan
adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
a. Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan kunjungan/visite ke
pasien.
b. Dilakukan pada : pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap
empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
c. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5
menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena.
d. Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit - 1 jam setelah pemberian
obat nyeri.
e. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan
perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru
(misalnya komplikasi pasca-pembedahan,nyerineuropatik).

15
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut

16
Keterangan :
Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh • Jika tekanan darah sistolik
1- 3 =nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang <100 mmHg : haruslah dalam
4 - 6 = nyeri sedang mengantuk,mudah rentang 30% tekanan darah
7 - 10 = nyeri berat dibangunkan sistolik normal pasien (jika
2 = sedasi sedang, sering secara diketahui), atau carilah
konstan mengantuk, mudah saran/bantuan.
dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar
Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan).

Teruskan penggunaan OAINS i.v jika diresepkan bersama dengan opioid.

3.7 Manajemen efek samping :


1. Opioid
a. Mual dan muntah : antiemetic
b. Konstipasi : berikan stimulan buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat
karena dapat menyebabkan produksi gas- kembung-kram perut.
c. Gatal : pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan
antihistamin.
d. Mioklonus : pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan Benzodiazepine
untuk mengatasi mioklonus.
e. Depresi pemapasan akibat Opioid : berikan Nalokson (campur 0,4 mg Nalokson
dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10 ml). Berikan 0,02 mg (0,5 ml)
bolus setiap menit hingga kecepatan pemapasan meningkat. Dapat diulang jika
pasien mendapat terapi Opioid jangka panjang.
2. OAINS:
a. Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor).
b. Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang
tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
c. Pembedahan : injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.
3. Non-farmakologi:
1. Olah raga

17
2. Imobilisasi
3. Pijat
4. Relaksasi
5. Stimulasi saraf transkutan elektrik8

3.8 Follow-up/Asesmen Ulang


1. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
2. Panduan umum:
a. Pemberian parenteral: 30 menit
b. Pemberian oral: 60 menit
c. Intervensi non-farmakologi: 30 - 60 menit.
A. Pencegahan
1. Edukasi pasien:
a. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
b. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.
c. Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki
pertanyaan/ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
d. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol).
1) Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.
B. Medikasi saat pasien pulang
1. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti
biasa/normal.
2. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.

18
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy)

Skor Faktor Penjelasan


1 = kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimalatau tidak adanya
Diagnosis
diagnosis medis yang pasti. Misalnya : fibromyalgia, migraine, nyeri punggung tidak
spesifik.
2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri sedang
menetap dengan temuan objektif medium. Misalnya : nyeri punggung dengan
perubahan degenerative medium, nyeri neuropatik.
3= kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata.

Misalnya : penyakit iskemik vascular berat, neuropati lanjut, stenosis spinal berat.
Intractability 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal dalam manajemen
nyeri.
(keterlibatan) 2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak sepenuhnya terlibat dalam
manajemen nyeri, atau terdapat hambatan ( finansial, transportasi, penyakit medis ).=
pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respons terapi tidak
adekuat.

Risiko (R ) R = jumlah skor P + K + R + D


1. disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yangmempengaruhi terapi.
Psikologi
Misalnya : gangguan kepribadian, gangguan afek berat.
1 - gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang. Misalnya : depresi, gangguan
cemas.
2 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau gangguan jiwa yang
signifikan
1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat.
Kesehatan
2 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi psikofarmaka.= tidak ada
riwayat penggunaan obat-obatan.
1 = banyak masalah : penyalahgunaan obat, bolos kerja/jadwal kontrol, komplians
Reliabilitas
buruk.
2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi secara keseluruhan
dapat diandalkan.
3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal kontrol, dan terapi).

19
Dukungan 0 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat, kehilangan peran
Sosial dalam kehidupan normal.

20
Keterangan :
Skor 7-13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
1) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi
intra-sendi, injeksi epidural.
2) Terapi pelengkap / tambahan : akupuntur, herbal,
a. Manajemen Level 2
1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya
atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
2) Indikasi : pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif/manajemen level 1.
3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan
dengan manajemen level 1
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik :

21
3.9 Menejemen nyeri pada pediatric
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah : sakit kepala kronik, trauma,
sakit perut dan faktor psikologi.
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap
kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri.
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik :

22
Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik
a. Asesmen nyeri pada anak
1) Nilai karakteristik nyeri
2) Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
3) Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif dan neuropatik
4) Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

b. Diagnosis penyebab primer dan sekunder


1)Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini
2)Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada
3)Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

Obat Non-obat

• Analgesik • Kognitif
• Analgesik adjuvant • Fisik
• anestesi • perilaku
4. Impiementasi rencana manajemen nyeri

c. Pilih terapi yang sesuai


1. Pemberian analgesik:
g. ‘By the ladder5 : pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan
level nyeri
d. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek
yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti
musik, cahaya, warna, mainan, permen, komputer, permainan, film, dan
sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan
nyeri.
d. Terapi relaksasi : dapat bempa mengepalkan dan mengendurkan jari
tangan, menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam.

23
Terapi Non-Obat
Kognitif Perilaku Fisik
• Informasi • Latihan • pijat
• Filihan dan kontrol • terapi relaksasi • flsioterapi
• Distraksi dan atensi • umpan balik positif • stimulasi termal
• Hipnosis • modifikasi gaya • stimulasi sensorik
hidup/perilaku • akupuntur
• Psikoterapi

3.10 Menejemen Nyeri pada pasien lansia (GERIATRI)


1. Lanjut usia (lansia) didefmisikan sebagai orang-orang yang berusia > 65 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya
dibandingkan dewasa muda.
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit
degenerative.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri : sendi utama/penyangga tubuh, punggung,
tungkai bawah, dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah :
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatrik.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat.
c. Keengganan dokter untuk meresepkan Opioid.
6. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan
menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah ini:

Functional Pain Scale


Skala Keterangan

0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV,
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
*Skor normal / yang diinginkan : 0 - 2

7. Intervensi non-farmakologi:

24
a. Terapi termal : pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif
untuk menginduksi pelepasan Opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan/perkutan, dan akupuntur.
c. Blok saraf dan radiasi area tumor.
d. Intervensi medis pelengkap/tambahan atau altematif: terapi relaksasi, umpan
balik positif, hipnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien):
a. Non-opioid : OAINS, Parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisiklik,
Amitriptilin, Ansiolitik.
b. Opioid:
1) Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
2) Hidrasi yang cukup dan konsumsi seratfbulking agent untuk mencegah konstipasi
(preparat Senna, Sorbitol).
3) Berikan opioid j angka pendek.
a. Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik daripada
pemberian intermiten.
4) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
5) Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan Opioid sebesar 50 -
100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant:
1) OAINS dan Amfetamin : meningkatkan toleransi Opioid dan resolusi nyeri.
2) Nortriptilin, Klonazepam, Karbamazepin, Fenitoin, Gabapentin, Tramadol, Mexiletine :
efektif untuk nyeri neuropatik.
3) Antikonvulsan : untuk neuralgia trigeminal.
4) Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1 - 3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan
menjadi 300 mg/hari.

25
BAB V
ASESMEN NYERI ULANG

Asesmen ulang dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan adanya
rasa nyeri, sebagai berikut:
1. Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan kunjungan/visite ke
pasien.
2. Dilakukan pada : pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap
empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
3. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5
menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena.
4. Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit - 1 jam setelah

26
pemberian obat nyeri.

BAB VI
MANAJEMEN NYERI

C. MANAJEMEN NYERI AKUT


1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu.
2. Melakukan asesmen nyeri : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, dan asesmen nyeri menggunakan skala nyeri.
3. Menentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik:
 Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat
kima dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui
nosiseptor kulit.
 Karakteristik : onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam,

27
menusuk, atau seperti ditikam.
 Contoh : nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri visceral:
 Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika
terstimulasi akan menimbuikan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat
difus, tumpul, seperti ditekan benda berat
 Penyebab : iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot
polos, distensi organ berongga/lumen.
 Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi,
bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik:
 Berasal dari cedera jaringan saraf.
 Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat
disentuh), hiperalgesia.
 Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya).
Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, hemiasi
diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi.
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinva. a.
Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
 OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang -
berat.
 Mulailah dengan pemberian OAINS/opioid lemah (langkah 1 dan 2) dengan
pemberian intermiten {pro re nata - pm) opioid kuat yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
 Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif/nyeri menjadi sedang - berat, dapat
ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan pm analgesik
dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
 Penggunaan opioid hams dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan
adalah Morfin, Codein.
 Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid
ringan.
 Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara
bertahap:

28
 Intravena : antikonvulsan, Ketamine, OAINS, Opioid.
 Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, Kortikosteroid,
anestesi lokal, OAINS, Opioid, Tramadol.
 Rektal (supositoria): Parasetamol, Aspirin, Opioid, Fenotiazin.
 Topical : Lidokain patch, EMLA.
 Subkutan : Opioid, anestesi local.

29
3- *Keterangan:
* Patch Fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai indikasi
dan onset keijanya lama.
■ Untuk nyeri kronik : pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvan (misalnya :
Amitriptilin, Gabapentin).
Istilah:
 NS AID : non-steroidal anti-inflammatory drug.
 S/R : slow release.
 PRN : when required.
b. Berikut adalah algoritma pemberian Opioid intermiten (pm) intravena untuk nyeri akut,
dengan syarat:
 Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi.
 Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap
biasa.

30
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut

31
REFERENSI

Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:


1 = tidak nyeri 0 = sadar penuh Jika tekanan darah sistolik < 1 0 0
2 - 3 - nyeri ringan 4 - 6 = 1 = sedasi ringan, kadang mmHg : haruslah dalam
nyeri sedang .7 - 10 = nyeri mengantuk, rentang 30% tekanan darah
berat mudah dibangunkan sistolik normal pasien (jika
2 = sedasi sedang, sering secara diketahui), atau carilah
konstan mengantuk, mudah saran/bantuan.
dibangunkan

Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan).

c. Manajemen efek samping :


 Opioid
- Mual dan muntah : antiemetic
- Konstipasi : berikan stimulan buang air besar, hindari laksatif yang mengandung
serat karena dapat menyebabkan produksi gas- kembung-kram perut.
- Gatal : pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga
menggunakan antihistamin.
- Mioklonus : pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan
Benzodiazepine untuk mengatasi mioklonus.
- Depresi pemapasan akibat Opioid : berikan Nalokson (campur 0,4 mg Nalokson
dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10 ml). Berikan 0,02 mg (0,5
ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pemapasan meningkat. Dapat diulang
jika pasien mendapat terapi Opioid jangka panjang.
 OAINS:
Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor).
- Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS
yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
d. Pembedahan : injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat
nyeri.
e. Non-farmakologi:
 Olah raga
 Imobilisasi

32
 Pijat
 Relaksasi
 Stimulasi saraf transkutan elektrik8
5. Follow-up/Asesmen Ulang
a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan u m u m :
 Pemberian parenteral: 30 menit
 Pemberian oral: 60 menit
 Intervensi non-farmakologi: 30 - 60 menit.
6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
 Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
 Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.
 Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki
pertanyaan/ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
 Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.
7. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti
biasa/normal.
b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.

33
ALGORITMA ASESMEN NYERI AKUT

D. MANAJEMEN NYERIKRONIK

1. Nyeri kronik : nyeri yang persisten/berlangsung > 6 minggu.

2. Melakukan asesmen nyeri:

a. Anamnesis, pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri

sebelumnya), pemeriksaan penunjang, dan asesmen nyeri dengan skala nyeri.


b. Asesmen fungsional:
 nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan/disabilitas.
 buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien.
 nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan.

34
3. Menentukan mekanisine nyeri:
a. Manaj emen bergantung pada j enis/klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis :
1) Nyeri neuropatik:
- Disebabkan oleh kerusakan/disfungsi sistem somatosensorik.
- Contoh : neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca- herpetik.
- Karakteristik : nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai
dengan persarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
- Fibromyalgia : gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu,
ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3 bulan.
2) Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial
- Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan ekstremitas
bawah.
- Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat kelemahan,
keterbatasan gerak.
- Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive. Tatalaksana :
mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor
yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan).

3) Nyeri inflam asi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif) :


- Contoh : artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-operasi.
- Karakteristik : pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat
riwayat cedera/luka.
- Tatalaksana : manajemen proses inflamasi dengan
anti bio tik/antirematik, OAINS, kortikosteroid.
4) Nyeri mekanis/kompresi:
- Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
- Contoh : nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain ligamen/otot),
degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur.
- Merupakan nyeri nosiseptif.
- Tatalaksana : beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
4. Asesmen lainnya
a. Asesmen psikologi : nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi, cemas,

35
riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik, verbal,
gangguan tidur).
b. Masalah pekeijaan dan disabilitas.
c. Faktor yang mempengaruhi:
 Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk.
 Penyakit lain yang memperburuk/memicu nyeri kronik pasien.
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
1) Hambatan komunikasi/bahasa.
2) Faktor finansial.
3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan.
4) Kepatuhan pasien yang buruk.
5) Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman.

36
5. Manajemen nyeri kronik
b. Prinsip Level 1 :
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur,
tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres, kurangi nyeri).
2) Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fimgsi.
3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi
untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
- Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan
kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi
relaksasi, dan sebagainya.
- Beritahukan pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyerinya. Ajaklah
pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri.
- Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol.
- Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk control
dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
- Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien.
- Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap.
- Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
4) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien).

c. Manajemen Level 1 : menggunakan pendekatan standar dalam


penatalaksanaan nyeri kronik termasuk farmakologi, intervensi, non- farmakologi, dan
terapi pelengkap/tambahan.
1) Nyeri Neuropatik
■ Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
- Kontrol gula darah pada pasien DM.
- Pembedahan. kemoterapi, radioterapi untuk pasien tumor dengan kompresi
saraf.
Kontrol infeksi (antibiotik).
 Terapi simptomatik :
- antidepresan trisiklik (Amitriptilin).
- antikonvulsan : Gabapentin, Karbamazepin.
- obat topical (Lidocaine patch 5%, krim anestesi).
- OAINS, Kortikosteroid, Opioid.

37
- anestesi regional : blok simpatik, blok epidural/intratekal, infus
epidural/intratekal.
- terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat. rehabilitasi fisik :
bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis.
prosedur ablasi : kordomiotomi, ablasi saraf dengan
radioffekuensi.
- terapi lainnya : hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan
toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan
terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis).
2) Nyeri otot
 Lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang
dapat menghambat pemulihan.
 Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar/awal dan
ditingkatkan secara bertahap.
 Rehabilitasi fisik:
- Fitness : angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan
- Mekanik
Pijat, terapi akuatik
 Manajemen perilaku:
- stress/depresi
- teknik relaksasi
- perilaku kognitif
- ketergantungan obat
- manajemen amarah
 Terapi obat:
- analgesik dan sedasi
- antidepresan
opioid j arang dibutuhkan
3) Nyeri inflamasi
 Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya.
 Obat anti-inflamasi utama : OAINS, Kortikosteroid.
4) Nyeri mekanis/kompresi
 Penyebab yang sering : tumor/kista yang menimbulkan kompresi pada struktur
yang sensitif dengan nyeri, dislokasi, fraktur.

38
 Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat
bantu.
 Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat
terapi lain diaplikasikan.
d. Manajemen Level 1 lainnya :
3) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan - sedang atau nyeri non- neuropatik.
4) Skor DIRE : digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi Opioid jangka panjang
untuk nyeri kronik non-kanker.

39
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy)

Skor Faktor Penjelasan


Diagnosis 4 = kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimal
atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya : fibromyalgia,
migraine, nyeri punggung tidak spesifik.
5 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau
kondisi nyeri sedang menetap dengan temuan objektif medium.
Misalnya : nyeri punggung dengan perubahan degenerative medium,
nyeri neuropatik.
6 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif

Intractability nyata.
3 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara

(keterlibatan) minimal dalam manajemen nyeri.


4 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak
sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat hambatan
( finansial, transportasi, penyakit medis ).
Risiko (R ) R = jumlah skor P + K + R + D
Psikologi 3 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang
mempengaruhi terapi.
Misalnya : gangguan kepribadian, gangguan afek berat.
4 - gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang.
Misalnya : depresi, gangguan cemas.
Kesehatan 3 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan,
penyalahgunaan obat.
4 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi
psikofarmaka.
Reliabilitas 4 = banyak masalah : penyalahgunaan obat, bolos kerja/jadwal
kontrol, komplians buruk.
5 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi
secara keseluruhan dapat diandalkan.
Dukungan 61 = hidup
sangatkacau,
dapat dukungan
diandalkankeluarga
(medikasi, jadwalsedikit
minimal, kontrol,teman
dan dekat,
kehilangan peran dalam kehidupan normal.

40
Skor Faktor Penjelasan
2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan
dalam sosial.
3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam
Efikasi 1 - fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski
dengan penggunaan dosis obat sedang-tinggi.
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak
menggunakan opioid dosis sedang-tinggi).
Skor total 3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup
=D+I+R+E

Keterangan :
Skor 7-13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
5) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-
sendi, injeksi epidural.
6) Terapi pelengkap / tambahan : akupuntur, herbal,
e. Manajemen Level 2
4) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau
pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
5) Indikasi : pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif/manajemen level 1.
6) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan
manajemen level 1.

Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik :

41
ALGORITMA MANAJEMEN NYERI KRONIK

C. MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK


5. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah : sakit kepala
kronik, trauma, sakit perut dan faktor psikologi.
6. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang
berbeda terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
7. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri.
8. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik :
Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik
1. Asesmen nyeri pada anak

• Nilai karakteristik nyeri


• Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
• Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan

42
mekanisme nosiseptif dan neuropatik
• Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder

• Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini


• Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada
• Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

3. Pilih terapi yang sesuai

Obat Non-obat

• Analgesik • Kognitif
• Analgesik adjuvant • Fisik
• • anestesi
Berikan umpan balik mengenai penyebab idan faktor• perilaku
yang mempengaruhi
nyeri kepada orang tua (dan anak)
• Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
• Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
• Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri

4. Impiementasi rencana manajemen nyeri

43
9. Pemberian analgesik:
h. ‘By the ladder5 : pemberian analgesik secara bertahap sesuai
dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat).
 Awalnya, berikan analgesik ringan - sedang (level 1).
 Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1,
naiklah ke level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten).
 Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap
diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
* Analgesik adjuvant:
• Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan
untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi
tertentu.
• Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan
analgesik adjuvant sebagai level 1.
• Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk
mengatasi nyeri neuropatik.
• Kategori:
- Analgesik multi-tujuan : antidepresan, agonis adrenergic alfa-2,
Kortikosteroid, anestesi topical. Analgesik untuk nyeri neuropatik :
antidepresan, antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal.
Analgesik untuk nyeri musculoskeletal :relaksan otot,
Benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.

i. ‘By the clock5 : mengacu pada waktu pemberian analgesik.


Pemberian haruslah teratur, misalnya : setiap 4 - 6 jam
(disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat keparahan
nyeri pasien), tidak boleh pm (jika perlu) kecuali episode nyeri
pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi.
j. ‘By the child* : mengacu pada peemberian analgesik yang
sesuai dengan kondisi masing-masing individu.
 Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur.
 Sesuaikan dosis analgesik jika perlu.

44
k. ‘By the mouth’ : mengacu pada jalur pemberian oral.
 Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana,
tidak invasive, dan efektif; biasanya per oral.
 Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat
menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak
memerlukan pengobatan.
* Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan
langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur
yang paling efisien.
 Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
* Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular
karena nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
 Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan i.m, i.v, dan
subkutan intermiten, yaitu : tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri
yang kontinu pada anak.
 Indikasi : pasien nyeri di mana pemberian per oral dan
opioid parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang
memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat
memberikan obat per oral).
l. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
 Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium
lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatif.
 Harus dipantau dengan baik.
 Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan
segera obat- obatan dan peralatan resusitasi, dan
pencatatan akurat mengenai tanda vital/skor nyeri.
m. Manajemen nyeri kronik
Biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan komponen
nosiseptif dan neuropatik.
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
 Pemeriksaan penunjang yang sesuai.
 Evaluasi faktor yang mempengaruhi.
 Program terapi : kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik, dan

45
perilaku).
 Lakukan pendekatan multidisiplin.

n. Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering


Obat-obatan Non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15 mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal
4-6 jam dan hematologi minimal
Ibuprofen 5-10 mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
6-8 jam dengan gangguan hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20 mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
terbagi dalam 2 dosis dengan disfungsi renal. Dosis maksimal 1
Diklofenak g/hari.antiinflamasi. Efek samping sama dengan
1 mg/kgBB oral, setiap 8 - Efek
12 jam ibuprofen dan naproksen. Dosis maksimal 50
mg/kali.
digunakan untuk anak:

o. Panduan penggunaan Opioid pada anak :


 Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka
panjang, pilihlah jalur oral.
 Pada penggunaan infus kontinu i.v, sediakan obat Opioid
kerja singkat dengan dosis 50% - 200% dari dosis infus per
jam kontinu pm.
 Jika diperlukan > 6 kali opioid kerja singkat pm dalam 24
jam, naikkan dosis infus i.v per-jam kontinu sejumlah : total
dosis Opioid pm yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24.
Altematif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus
sebesar 50%.
 Pilih Opioid yang sesuai dan dosisnya.
 Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas ,
tingkatkan dosis sebesar 50%.
 Saat tapering-off atau penghentian obat : pada semua
pasien yang menerima opioid > 1 minggu, harus dilakukan
tapering-off (iintuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi

46
dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2
hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis rnorfrn oral (0,6
mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
 Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena
dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiper-
refleks, dan kejang.
p. Terapi alternatif/tambahan:
 Konseling
 Manipulasi chiropractic
 Herbal
10. Terapi non-obat
e. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan
memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non-obat
untuk anak
f. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain
seperti musik, cahaya, warna, mainan, permen, komputer,
permainan, film, dan sebagainya.
g. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat
menurunkan nyeri.
h. Terapi relaksasi : dapat bempa mengepalkan dan
mengendurkan jari tangan, menggerakkan kaki sesuai irama,
menarik napas dalam.

Terapi Non-Obat
Kognitif Perilaku Fisik
• Informasi • latihan
• pijat
• Filihan dan kontrol • terapi relaksasi
• flsioterapi
• Distraksi dan atensi • umpan balik positif
• stimulasi termal
• Hipnosis • modifikasi gaya
• stimulasi sensorik
hidup/perilaku
• Psikoterapi • akupuntur

47
D. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI)
9. Lanjut usia (lansia) didefmisikan sebagai orang-orang yang berusia > 65 tahun.
10. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali
lipatnya dibandingkan dewasa muda.
11. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis,
kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika
polimialgia, dan penyakit degenerative.
12. Lokasi yang sering mengalami nyeri : sendi utama/penyangga
tubuh, punggung, tungkai bawah, dan kaki.
13. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah :
d. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatrik.
e. Asesmen nyeri yang tidak adekuat.
f. Keengganan dokter untuk meresepkan Opioid.
14. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat
diaplikasikan menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah
ini:

Functional Pain Scale


Keterangan
Skala
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV,
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
*Skor normal / yang diinginkan : 0 - 2

15. Intervensi non-farmakologi:


f. Terapi termal : pemberian pendinginan atau pemanasan di area
nosiseptif untuk menginduksi pelepasan Opioid endogen.

48
g. Stimulasi listrik pada saraf transkutan/perkutan, dan akupuntur.
h. Blok saraf dan radiasi area tumor.
i. Intervensi medis pelengkap/tambahan atau altematif: terapi
relaksasi, umpan balik positif, hipnosis.
j. Fisioterapi dan terapi okupasi.

16. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien):


d. Non-opioid : OAINS, Parasetamol, COX- 2 inhibitor, antidepresan
trisiklik, Amitriptilin, Ansiolitik.
e. Opioid:
 Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
 Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat fbulking agent untuk
mencegah konstipasi (preparat Senna, Sorbitol).
 B erikan opioid j angka pendek.
* Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih
baik daripada pemberian intermiten.
 Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
 Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan
Opioid sebesar 50 - 100% dari dosis semula.
f. Analgesik adjuvant:
 OAINS dan Amfetamin : meningkatkan toleransi Opioid dan
resolusi nyeri.
 Nortriptilin, Klonazepam, Karbamazepin, Fenitoin,
Gabapentin, Tramadol, Mexiletine : efektif untuk nyeri
neuropatik.
 Antikonvulsan : untuk neuralgia trigeminal.
• Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1 - 3 x 100 mg
sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari.
17. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insiden
perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada
pasien > 65 tahun.
18. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi.
19. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik.

49
Absorbs sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit
atau sindrom malabsorbsi.
20. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
21. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang
lebih singkat.
22. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis
pengobatan.
23. Efek samping penggunaan Opioid yang paling sering dialami:
konstipasi.
24. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat : polifarmasi
(misalnya pasien mengkonsumsi analgesik, antidepresan, dan
sedasi secara rutin harian).
25. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah, lalu
naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.
26. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan/keterbatasan mobilitas. Pada akhimya dapat
mengarah ke depresi karena pasien frustasi dengan
keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan
fimgsional.
b. Dapat memmmkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat
menurunkan imunitas tubuh.
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab
munculnya agitasi dan gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih
banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan
delirium.
27. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia :
a. OAINS : Indometasin dan Piroksikam (waktu paruh yang
panjang dan efek samping gastrointestinal lebih besar).
b. Opioid : Pentazocine, Butorphanol (merupakan campuran
antagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek
psikotomimetik pada lansia); Metadon, Levorphanol (waktu
paruh panjang).
c. Propoxyphene : neurotoksik.

50
d. Antidepresan : tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik).
28. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus
diberikan kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking
agents).
29. Pemilihan analgesik : menggunakan 3 - step ladder WHO (sama
dengan manajemen pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan - sedang : analgesik non-opioid.
b. Nyeri sedang : opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan
OAINS dan analgesik adjuvant.
c. Nyeri berat: opioid poten.
30. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah
penyesuaian dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.

BAB VII

51
DOKUMENTASI

 Asesmen nyeri di rawat jalan didokumentasikan dalam rekam medis


pasien rawat jalan.
 Asesmen nyeri di rawat inap didokumentasikan dalam rekam medis pasien rawat inap.
 Catatan perkembangan pasien didokumentasikan dalam lembar Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)

BAB VI
PENUTUP

52
Panduan asesmen dan manajemen nyeri dibuat dengan tujuan sebagai pedoman para tenaga
kesehatan RS dr Etty Asharto agar dalam proses assesmen pasien di RS dr Etty Asharto dapat sesuai
dengan panduan yang berlaku sehingga dengan proses asesmen yang efektif akan menghasilkan
keputusan pelayanan pengobatan pasien yang sesuai dengan kebutuhan pengobatan pasien.
Revisi sebagai bentuk perbaikan dan penyempurnaan akan dilakukan secara periodik, sehingga
panduan ini dapat disesuaikan dengan keadaan dan kondisi perkembangan Rumah Sakit.

53
54

Anda mungkin juga menyukai