DEFINISI
1.2 Pengertian
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan
jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang
merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of
Pain).
Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan
temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik adalah
nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui
penyebabnya yang pasti.
Asesmen pasien terdiri atas 3 proses utama :
1. Mengumpulkan informasi dan data : dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang/pemeriksaan yang lain.
2. Melakukan analisis informasi dan data sehingga menghasilkan suatu diagnosa untuk
mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan pasien.
3. Membuat rencana pelayanan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien yang telah
diidentifikasi.
Asesmen nyeri merupakan asesmen yang dilakukan terhadap pasien jika didapatkan data
subyektif dan/atau data obyektif bahwa pasien mengalami nyeri.
1
Asesmen nyeri terdiri dari :
1. Asesmen awal
Asesmen yang dilakukan pada awal ketika pasien datang ke rumah sakit.
Asesmen yang dilakukan pada awal ketika pasien datang ke rumah sakit.
Tujuan dilakukannya asesmen awal adalah:
a. Memahami pelayanan apa yang dicari pasien
b.Memilihjenis pelayanan yang terbaik bagi pasien.
c. Menetapkan diagnosis awal.
d.Memahami respon pasien terhadap pengobatan sebelumnya.
2. Asesmen ulang
Asesmen yang dilakukan pada pasien selama proses pelayanan pada interval tertentu
berdasarkan kebutuhan dan rencana pelayanan atau sesuai kebijakan dan prosedur
rumah sakit.
Asesmen ulang merupakan kunci untuk memahami apakah keputusan pelayanan
sudah tepat dan efektif.
2
BAB II
RUANG LINGKUP
3
BAB III
TATA LAKSANA
4
menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
program penanganan/manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan
masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/psikofarmaka.
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat
benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering yang
berhubungan dengan nyeri punggung.
Tidak dapat bekeijanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
f. Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan, obat, dan allergen yang lain jika ada.
g. Riwayat Pengobatan
Daftar obat-obatan yang pemah dan sedang dikonsumsi pasien untuk mengurangi
nyeri.
Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan efek
samping.
* Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan dengan efek
samping kognitif dan fisik.
h. Asesmen sistem organ yang komprehensif
Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal.
*Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam,
dan sebagainya.
3.2 Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh.
Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien.
Periksa apakah terdapat lesi/luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik.
Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang ( malalignment), atrofi otot, fasikulasi,
diskolorasi, dan edema.
5
b. Status Mental
Nilai orientasi pasien.
Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
Nilai kemampuan kognitif.
Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan,
atau cemas.
c. Pemeriksaan Sendi
Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan.
Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan gerak,
diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal/dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut
wajah meringis, atau asimetris.
Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri.
Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan Motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini:
Deraj at Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat.
e. Pemeriksaan Sensorik
Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum - pin prick), getaran, dan
suhu.
f. Pemeriksaan Neuroiogis lainnya
Evaluasi nervus kranial I - XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau servikal
6
dan sakit kepala.
Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus
membutuhkan kontraksi > 4 otot.
Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi upper motor
neuron),
Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan tes
dismetrik (tes pergerakan jari - ke - hidung, pergerakan tumit - ke - tibia), tes
disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
g. Pemeriksaan Khusus
Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan
etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini ditemukan
mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
Kelima tanda ini adalah :
1) Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik.
2) Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik.
3) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif).
4) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes/pemeriksaan nyeri.
5) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan yang
sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi).
2. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu mencari penyebab nyeri akut/kronik pasien.
b. Mengidentifikasi area persarafan/cedera otot fokal atau difus yang terkena.
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan dengan rehabilitasi,
injeksi, pembedahan, atau terapi obat.
7
d. Membantu menegakkan diagnosis.
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respons terhadap
terapi.
f. Indikasi: kecurigaan saraf teijepit, mono-/poli-neuropati, radikulopati.
g. Namun pemeriksaan ini belum tersedia di RS dr Etty Asharto.
3. Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi
4. Pemeriksaan Radiologi
a. lndikasi:
Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang.
Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit
inflamatorik, dan penyakit vascular.
Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang.
Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu.
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi:
Bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
Foto polos : untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan
vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma).
MRI : gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (hemiasi diskus, stenosis
spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang belakang,
infeksi). Namun pemeriksaan ini belum tersedia di RS dr Etty Asharto.
CT-scan : evaluasi trauma tulang belakang, hemiasi diskus, stenosis spinal.
Radionuklida bone-scan : sangat bagus dalam mendeteksi perubahan metabolisme
tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal, keganasan
primer, metastasis tulang). Namun pemeriksaan ini belum tersedia di RS dr Etty
Asharto.
5. Asesmcn Psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekeijaan.
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial.
8
3.3 Analisa informasi dan data
Setelah data komprehensif yang sudah dikumpulkan, baik berupa data subjektif maupun data
objektif, maka dilakukan analisa informasi dan data. Bagian ini terdiri dari : penulisan ringkasan,
penyusunan daftar masalah, membuat pengkajian dari masing- masing masalah (diagnosa dan
diagnosa banding).
Membuat rencana pelayanan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien yang telah
diidendfikasi.
Rencana pelayanan meliputi: rencana diagnosis, rencana terapi, rencana monitoring, dan rencana
edukasi.
3.4 Skala Nyeri
Indikator tunggal yang paling penting untuk mengetahui intensitas nyeri adalah keluhan
pasien. Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh pasien,
pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif, maka pendekatan obyektif yang paling mungkin
adalah dengan menggunakan skala nyeri.
Skala nyeri yang digunakan di RS dr Etty Asharto sebagai berikut:
1. Numeric Rating Scale
Indikasi : digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
Instruksi : pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan dilambangkan
dengan angka antara 0-10.
0 = tidak nyeri
1- 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4-6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
7-10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)
0 i: >345 678 9 10
A A AA AA A
J____. 1______________1 1_________________1 1_____________________1
9
2 Wong Baker Faces Pain Scale
Indikasi: pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan
intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen.
Instruksi: pasien diminta untuk menunj uk/memilih gambar mana yang paling sesuai
dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri:
0-1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2-3 = sedikit nyeri
4-5 = cukup nyeri
6-7 = lumayan nyeri
8-9 = sangat nyeri
10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)
3. Comfort Scale
Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif/kamar operasi/ruang rawat
inap yang tidak dapat dinilai menggunakan Numeric Rating Scale dan Wong Baker Faces Pain
Scale.
Instruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1 - 5 , dengan skor total
antara 9 - 45.
- Kewaspadaan
- Ketenangan
- Distress pemapasan
- Menangis
- Pergerakan
- Tonus otot
- Tegangan wajah
- Tekanan darah basal
- Denyut jantung basal
10
Kategori Skor Tanggal / waktu
1 - tidur pulas/nyenyak
Kewaspadaan 2- tidur kurang nyenyak
3- gelisah
4 - tenang
1- sadar sepenuhnya dan waspada
11
Comfort Scale
12
c. Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi
nyeri neuropatik.
d. Kategori:
1) tujuan : antidepresan, agonis adrenergic alfa-2, Kortikosteroid, anestesi topical
2) Analgesik untuk nyeri neuropatik : antidepresan, antikonvulsan, agonis GABA,
anestesi oral-lokal.
3) Analgesik untuk nyeri musculoskeletal : Relaksan otot,Benzodiazepine, inhibitor
osteoklas, radiofarmaka.
a. ‘By the clock5 : mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya : setiap 4 - 6 jam (disesuaikan
dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh
pm (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan
tidak dapat diprediksi.
b. ‘By the child* : mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masing-masing individu.
a. Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur.
b. Sesuaikan dosis analgesik jika perlu.
c. ‘By the mouth’ : mengacu pada jalur pemberian oral.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak
invasive, dan efektif; biasanya per oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung,
pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena
nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan i.m, i.v,
dan subkutan intermiten, yaitu :tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri
yang kontinu pada anak.
7) Indikasi : pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid
parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan,
adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral).
13
d. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang
sulit diatasi dengan terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik.
3) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan
segera obat- obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat
mengenai tanda vital/skor nyeri.
e. Manajemen nyeri kronik
Biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan komponen
nosiseptif dan neuropatik.
1) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai.
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi.
4) Program terapi : kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik, dan
perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin.
f. Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk anak:
3.5 Panduan penggunaan Opioid pada anak :
Obat-obatan Non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15 mg/kgBB oral, Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal dan
setiap 4-6 jam hematologi minimal
Ibuprofen 5-10 mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
6-8 jam gangguan hepar/renal, riwayat perdarahan
gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20 mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
terbagi dalam 2 dosis disfungsi renal. Dosis maksimal 1 g/hari.
Diklofenak 1 mg/kgBB oral, setiap 8 - Efek antiinflamasi. Efek samping sama dengan
12 jam ibuprofen dan naproksen. Dosis maksimal 50
mg/kali.
a. Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah jalur oral.
b. Pada penggunaan infus kontinu i.v, sediakan obat Opioid kerja singkat dengan dosis
50% - 200% dari dosis infus per jam kontinu pm.
c. Jika diperlukan > 6 kali opioid kerja singkat pm dalam 24 jam, naikkan dosis infus i.v per-
14
jam kontinu sejumlah : total dosis Opioid pm yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24.
Altematif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
d. Pilih Opioid yang sesuai dan dosisnya.
e. Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan dosis sebesar
50%.
f. Saat tapering-off atau penghentian obat : pada semua pasien yang menerima opioid > 1
minggu, harus dilakukan tapering-off (iintuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi
dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen
dengan dosis rnorfrn oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
g. Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan
menimbulkan mioklonus, hiper-refleks, dan kejang.
1. Terapi alternatif/tambahan:
a. Konseling
b. Manipulasi chiropractic
c. Herbal
3.6 Asesemen ulang
Asesmen ulang dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan
adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
a. Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan kunjungan/visite ke
pasien.
b. Dilakukan pada : pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap
empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
c. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5
menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena.
d. Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit - 1 jam setelah pemberian
obat nyeri.
e. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan
perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru
(misalnya komplikasi pasca-pembedahan,nyerineuropatik).
15
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut
16
Keterangan :
Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh • Jika tekanan darah sistolik
1- 3 =nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang <100 mmHg : haruslah dalam
4 - 6 = nyeri sedang mengantuk,mudah rentang 30% tekanan darah
7 - 10 = nyeri berat dibangunkan sistolik normal pasien (jika
2 = sedasi sedang, sering secara diketahui), atau carilah
konstan mengantuk, mudah saran/bantuan.
dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar
Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan).
17
2. Imobilisasi
3. Pijat
4. Relaksasi
5. Stimulasi saraf transkutan elektrik8
18
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy)
Misalnya : penyakit iskemik vascular berat, neuropati lanjut, stenosis spinal berat.
Intractability 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal dalam manajemen
nyeri.
(keterlibatan) 2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak sepenuhnya terlibat dalam
manajemen nyeri, atau terdapat hambatan ( finansial, transportasi, penyakit medis ).=
pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respons terapi tidak
adekuat.
19
Dukungan 0 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat, kehilangan peran
Sosial dalam kehidupan normal.
20
Keterangan :
Skor 7-13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
1) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi
intra-sendi, injeksi epidural.
2) Terapi pelengkap / tambahan : akupuntur, herbal,
a. Manajemen Level 2
1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya
atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
2) Indikasi : pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif/manajemen level 1.
3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan
dengan manajemen level 1
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik :
21
3.9 Menejemen nyeri pada pediatric
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah : sakit kepala kronik, trauma,
sakit perut dan faktor psikologi.
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap
kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri.
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik :
22
Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik
a. Asesmen nyeri pada anak
1) Nilai karakteristik nyeri
2) Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
3) Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif dan neuropatik
4) Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak
Obat Non-obat
• Analgesik • Kognitif
• Analgesik adjuvant • Fisik
• anestesi • perilaku
4. Impiementasi rencana manajemen nyeri
23
Terapi Non-Obat
Kognitif Perilaku Fisik
• Informasi • Latihan • pijat
• Filihan dan kontrol • terapi relaksasi • flsioterapi
• Distraksi dan atensi • umpan balik positif • stimulasi termal
• Hipnosis • modifikasi gaya • stimulasi sensorik
hidup/perilaku • akupuntur
• Psikoterapi
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV,
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
*Skor normal / yang diinginkan : 0 - 2
7. Intervensi non-farmakologi:
24
a. Terapi termal : pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif
untuk menginduksi pelepasan Opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan/perkutan, dan akupuntur.
c. Blok saraf dan radiasi area tumor.
d. Intervensi medis pelengkap/tambahan atau altematif: terapi relaksasi, umpan
balik positif, hipnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien):
a. Non-opioid : OAINS, Parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisiklik,
Amitriptilin, Ansiolitik.
b. Opioid:
1) Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
2) Hidrasi yang cukup dan konsumsi seratfbulking agent untuk mencegah konstipasi
(preparat Senna, Sorbitol).
3) Berikan opioid j angka pendek.
a. Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik daripada
pemberian intermiten.
4) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
5) Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan Opioid sebesar 50 -
100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant:
1) OAINS dan Amfetamin : meningkatkan toleransi Opioid dan resolusi nyeri.
2) Nortriptilin, Klonazepam, Karbamazepin, Fenitoin, Gabapentin, Tramadol, Mexiletine :
efektif untuk nyeri neuropatik.
3) Antikonvulsan : untuk neuralgia trigeminal.
4) Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1 - 3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan
menjadi 300 mg/hari.
25
BAB V
ASESMEN NYERI ULANG
Asesmen ulang dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan adanya
rasa nyeri, sebagai berikut:
1. Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan kunjungan/visite ke
pasien.
2. Dilakukan pada : pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap
empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
3. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5
menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena.
4. Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit - 1 jam setelah
26
pemberian obat nyeri.
BAB VI
MANAJEMEN NYERI
27
menusuk, atau seperti ditikam.
Contoh : nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri visceral:
Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika
terstimulasi akan menimbuikan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat
difus, tumpul, seperti ditekan benda berat
Penyebab : iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot
polos, distensi organ berongga/lumen.
Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi,
bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik:
Berasal dari cedera jaringan saraf.
Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat
disentuh), hiperalgesia.
Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya).
Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, hemiasi
diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi.
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinva. a.
Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang -
berat.
Mulailah dengan pemberian OAINS/opioid lemah (langkah 1 dan 2) dengan
pemberian intermiten {pro re nata - pm) opioid kuat yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif/nyeri menjadi sedang - berat, dapat
ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan pm analgesik
dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
Penggunaan opioid hams dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan
adalah Morfin, Codein.
Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid
ringan.
Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara
bertahap:
28
Intravena : antikonvulsan, Ketamine, OAINS, Opioid.
Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, Kortikosteroid,
anestesi lokal, OAINS, Opioid, Tramadol.
Rektal (supositoria): Parasetamol, Aspirin, Opioid, Fenotiazin.
Topical : Lidokain patch, EMLA.
Subkutan : Opioid, anestesi local.
29
3- *Keterangan:
* Patch Fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai indikasi
dan onset keijanya lama.
■ Untuk nyeri kronik : pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvan (misalnya :
Amitriptilin, Gabapentin).
Istilah:
NS AID : non-steroidal anti-inflammatory drug.
S/R : slow release.
PRN : when required.
b. Berikut adalah algoritma pemberian Opioid intermiten (pm) intravena untuk nyeri akut,
dengan syarat:
Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi.
Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap
biasa.
30
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut
31
REFERENSI
32
Pijat
Relaksasi
Stimulasi saraf transkutan elektrik8
5. Follow-up/Asesmen Ulang
a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan u m u m :
Pemberian parenteral: 30 menit
Pemberian oral: 60 menit
Intervensi non-farmakologi: 30 - 60 menit.
6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.
Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki
pertanyaan/ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.
7. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti
biasa/normal.
b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.
33
ALGORITMA ASESMEN NYERI AKUT
D. MANAJEMEN NYERIKRONIK
34
3. Menentukan mekanisine nyeri:
a. Manaj emen bergantung pada j enis/klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis :
1) Nyeri neuropatik:
- Disebabkan oleh kerusakan/disfungsi sistem somatosensorik.
- Contoh : neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca- herpetik.
- Karakteristik : nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai
dengan persarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
- Fibromyalgia : gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu,
ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3 bulan.
2) Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial
- Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan ekstremitas
bawah.
- Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat kelemahan,
keterbatasan gerak.
- Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive. Tatalaksana :
mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor
yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan).
35
riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik, verbal,
gangguan tidur).
b. Masalah pekeijaan dan disabilitas.
c. Faktor yang mempengaruhi:
Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk.
Penyakit lain yang memperburuk/memicu nyeri kronik pasien.
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
1) Hambatan komunikasi/bahasa.
2) Faktor finansial.
3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan.
4) Kepatuhan pasien yang buruk.
5) Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman.
36
5. Manajemen nyeri kronik
b. Prinsip Level 1 :
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur,
tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres, kurangi nyeri).
2) Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fimgsi.
3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi
untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
- Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan
kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi
relaksasi, dan sebagainya.
- Beritahukan pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyerinya. Ajaklah
pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri.
- Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol.
- Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk control
dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
- Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien.
- Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap.
- Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
4) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien).
37
- anestesi regional : blok simpatik, blok epidural/intratekal, infus
epidural/intratekal.
- terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat. rehabilitasi fisik :
bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis.
prosedur ablasi : kordomiotomi, ablasi saraf dengan
radioffekuensi.
- terapi lainnya : hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan
toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan
terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis).
2) Nyeri otot
Lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang
dapat menghambat pemulihan.
Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar/awal dan
ditingkatkan secara bertahap.
Rehabilitasi fisik:
- Fitness : angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan
- Mekanik
Pijat, terapi akuatik
Manajemen perilaku:
- stress/depresi
- teknik relaksasi
- perilaku kognitif
- ketergantungan obat
- manajemen amarah
Terapi obat:
- analgesik dan sedasi
- antidepresan
opioid j arang dibutuhkan
3) Nyeri inflamasi
Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya.
Obat anti-inflamasi utama : OAINS, Kortikosteroid.
4) Nyeri mekanis/kompresi
Penyebab yang sering : tumor/kista yang menimbulkan kompresi pada struktur
yang sensitif dengan nyeri, dislokasi, fraktur.
38
Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat
bantu.
Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat
terapi lain diaplikasikan.
d. Manajemen Level 1 lainnya :
3) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan - sedang atau nyeri non- neuropatik.
4) Skor DIRE : digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi Opioid jangka panjang
untuk nyeri kronik non-kanker.
39
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy)
Intractability nyata.
3 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara
40
Skor Faktor Penjelasan
2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan
dalam sosial.
3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam
Efikasi 1 - fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski
dengan penggunaan dosis obat sedang-tinggi.
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak
menggunakan opioid dosis sedang-tinggi).
Skor total 3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup
=D+I+R+E
Keterangan :
Skor 7-13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
5) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-
sendi, injeksi epidural.
6) Terapi pelengkap / tambahan : akupuntur, herbal,
e. Manajemen Level 2
4) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau
pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
5) Indikasi : pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif/manajemen level 1.
6) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan
manajemen level 1.
41
ALGORITMA MANAJEMEN NYERI KRONIK
42
mekanisme nosiseptif dan neuropatik
• Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak
Obat Non-obat
• Analgesik • Kognitif
• Analgesik adjuvant • Fisik
• • anestesi
Berikan umpan balik mengenai penyebab idan faktor• perilaku
yang mempengaruhi
nyeri kepada orang tua (dan anak)
• Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
• Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
• Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
43
9. Pemberian analgesik:
h. ‘By the ladder5 : pemberian analgesik secara bertahap sesuai
dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat).
Awalnya, berikan analgesik ringan - sedang (level 1).
Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1,
naiklah ke level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten).
Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap
diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
* Analgesik adjuvant:
• Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan
untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi
tertentu.
• Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan
analgesik adjuvant sebagai level 1.
• Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk
mengatasi nyeri neuropatik.
• Kategori:
- Analgesik multi-tujuan : antidepresan, agonis adrenergic alfa-2,
Kortikosteroid, anestesi topical. Analgesik untuk nyeri neuropatik :
antidepresan, antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal.
Analgesik untuk nyeri musculoskeletal :relaksan otot,
Benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
44
k. ‘By the mouth’ : mengacu pada jalur pemberian oral.
Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana,
tidak invasive, dan efektif; biasanya per oral.
Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat
menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak
memerlukan pengobatan.
* Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan
langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur
yang paling efisien.
Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
* Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular
karena nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan i.m, i.v, dan
subkutan intermiten, yaitu : tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri
yang kontinu pada anak.
Indikasi : pasien nyeri di mana pemberian per oral dan
opioid parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang
memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat
memberikan obat per oral).
l. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium
lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatif.
Harus dipantau dengan baik.
Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan
segera obat- obatan dan peralatan resusitasi, dan
pencatatan akurat mengenai tanda vital/skor nyeri.
m. Manajemen nyeri kronik
Biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan komponen
nosiseptif dan neuropatik.
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
Pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Evaluasi faktor yang mempengaruhi.
Program terapi : kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik, dan
45
perilaku).
Lakukan pendekatan multidisiplin.
46
dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2
hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis rnorfrn oral (0,6
mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena
dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiper-
refleks, dan kejang.
p. Terapi alternatif/tambahan:
Konseling
Manipulasi chiropractic
Herbal
10. Terapi non-obat
e. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan
memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non-obat
untuk anak
f. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain
seperti musik, cahaya, warna, mainan, permen, komputer,
permainan, film, dan sebagainya.
g. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat
menurunkan nyeri.
h. Terapi relaksasi : dapat bempa mengepalkan dan
mengendurkan jari tangan, menggerakkan kaki sesuai irama,
menarik napas dalam.
Terapi Non-Obat
Kognitif Perilaku Fisik
• Informasi • latihan
• pijat
• Filihan dan kontrol • terapi relaksasi
• flsioterapi
• Distraksi dan atensi • umpan balik positif
• stimulasi termal
• Hipnosis • modifikasi gaya
• stimulasi sensorik
hidup/perilaku
• Psikoterapi • akupuntur
47
D. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI)
9. Lanjut usia (lansia) didefmisikan sebagai orang-orang yang berusia > 65 tahun.
10. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali
lipatnya dibandingkan dewasa muda.
11. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis,
kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika
polimialgia, dan penyakit degenerative.
12. Lokasi yang sering mengalami nyeri : sendi utama/penyangga
tubuh, punggung, tungkai bawah, dan kaki.
13. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah :
d. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatrik.
e. Asesmen nyeri yang tidak adekuat.
f. Keengganan dokter untuk meresepkan Opioid.
14. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat
diaplikasikan menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah
ini:
48
g. Stimulasi listrik pada saraf transkutan/perkutan, dan akupuntur.
h. Blok saraf dan radiasi area tumor.
i. Intervensi medis pelengkap/tambahan atau altematif: terapi
relaksasi, umpan balik positif, hipnosis.
j. Fisioterapi dan terapi okupasi.
49
Absorbs sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit
atau sindrom malabsorbsi.
20. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
21. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang
lebih singkat.
22. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis
pengobatan.
23. Efek samping penggunaan Opioid yang paling sering dialami:
konstipasi.
24. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat : polifarmasi
(misalnya pasien mengkonsumsi analgesik, antidepresan, dan
sedasi secara rutin harian).
25. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah, lalu
naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.
26. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan/keterbatasan mobilitas. Pada akhimya dapat
mengarah ke depresi karena pasien frustasi dengan
keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan
fimgsional.
b. Dapat memmmkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat
menurunkan imunitas tubuh.
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab
munculnya agitasi dan gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih
banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan
delirium.
27. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia :
a. OAINS : Indometasin dan Piroksikam (waktu paruh yang
panjang dan efek samping gastrointestinal lebih besar).
b. Opioid : Pentazocine, Butorphanol (merupakan campuran
antagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek
psikotomimetik pada lansia); Metadon, Levorphanol (waktu
paruh panjang).
c. Propoxyphene : neurotoksik.
50
d. Antidepresan : tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik).
28. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus
diberikan kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking
agents).
29. Pemilihan analgesik : menggunakan 3 - step ladder WHO (sama
dengan manajemen pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan - sedang : analgesik non-opioid.
b. Nyeri sedang : opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan
OAINS dan analgesik adjuvant.
c. Nyeri berat: opioid poten.
30. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah
penyesuaian dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.
BAB VII
51
DOKUMENTASI
BAB VI
PENUTUP
52
Panduan asesmen dan manajemen nyeri dibuat dengan tujuan sebagai pedoman para tenaga
kesehatan RS dr Etty Asharto agar dalam proses assesmen pasien di RS dr Etty Asharto dapat sesuai
dengan panduan yang berlaku sehingga dengan proses asesmen yang efektif akan menghasilkan
keputusan pelayanan pengobatan pasien yang sesuai dengan kebutuhan pengobatan pasien.
Revisi sebagai bentuk perbaikan dan penyempurnaan akan dilakukan secara periodik, sehingga
panduan ini dapat disesuaikan dengan keadaan dan kondisi perkembangan Rumah Sakit.
53
54