Anda di halaman 1dari 63

PANDUAN MANAJEMEN NYERI

RSU DHARMA IBU


TERNATE

i
Penyusun:
-……………………..

ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa,Buku panduan
Manajemen Nyeri ini dapat terselesaikan dengan baik.
Buku panduan ini merupakan tuntunan bagi seluruh staf pelayanan di RSU
Dharma Ibu dalam melakukan manajemen nyeri pada pasien.Denagn buku panduan
ini diharapkan semua staf pelayanan RSU Dharma Ibu mendapat kemudahan dalam
menjalankan kegiatan pelayanan yang selalu berorientasi pada keselamataan pasien.
Namun demikian,demi perubahan kea rah yang lebih baik ,kami menyadari masih
terdapat kekurangan dalam penyusunan panduan ini.Oleh karena itu ,kami
mengharapkan saran dan kritik perbaikan atas panduan ini .
Semoga Buku Panduan Manajemen Nyeri ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan,serta tidak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan buku panduan ini.

Ternate,3 maret 2020

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………1


B. Tujuan………………………………………………………………………………….1
C. Pengertian…………………………………………………………………………… 1

BAB II TATA LAKSANA............................................................................................... 3

A. Anamnesa…………………………………………………………………………….3
B. Assesmen Awal………………………………………………………………………4
C. Tipe Nyeri……………………………………………………………………………..15
D. Respon Terhadap Nyeri……………………………………………………………..15
E. Hambatan Dalam memberikan Manajemen Nyeri Yang tepat………………….15
F. Manajemen Nyeri…………………………………………………………………...16
G. Implikasi Keperawatan………………………………………………………………56
H. Tips Mengatasi Nyeri………………………………………………………………..56

BAB III PENUTUP ......................................................................................................58

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluhan nyeri merupakan keluhan yang palin umum kita temukan ,dapakan
ketika kita sedang melakukan tugas sebagai bagian dari tim kesehatan.baik itu
ditataran pelayanan rawat jalan walaupun rawat inap,yang karena seringnya keluhan
itu kita temukan.kadang kala kita sering memanggap hal itu sebagai hal yang biasa
sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup memberikan hasil yang memuaskan
dimata pasien.Nyeri sesungguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi
tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis,psikologis,sosial,kognitif,emosi dan
prilaku sehingga dalam penanganannya pun memerlukan perhatian yang serius dari
semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan,untuk itu pemahaman
tentang nyeri dan penangannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga
kesehatan,terutama perawat yang dalam rentang waktu 24 jam sehari berinteraksi
dengan pasien.

B. Tujuan

1. Untuk menjaga pasien dalam kondisi senyaman mungkin.


2. Sebagai panduan bagi penyelenggara kesehatan RSU Dharma Ibu untuk
menghormati hak pasien dalam mendapatkan penanganan nyeri.
3. Sebagai panduan bagi penyelenggara kesehatan RSU Dharma Ibu dalam
pemberian therapy nyeri kepada pasien untuk menyelamatkan nyawa.
4. Pasien mengetahui tentang haknya untuk mendapatkan manajemen nyeri.
5. Pasien mendapatkan manajemen sesuai dengan haknya dalam mempertahankan
kelangsungan hidup.

C. Pengertian

1.Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kerusakan yang nyata atau yang berpotensi untuk
menimbulkan kerusakan jaringan.
2.Manajemen nyeri adalah cara meringankan atau mengurangi nyeri sampai ke tingkat
kenyamanan yang diterima pasien.
3.Kebijakan untuk memasukkan nyeri sebagai tanda vital ke lima ,jadi perawat tidak
hanya mengkaji suhu tubuh,nadi ,tekanan darah,dan resoirasi tetapi juga harus
mengkaji tentang nyeri.
4.Mengatakan nyeri sebagai “konsep yang abstrak” yang merujuk kepada sensasi
pribadi tentang sakit,suatu stimulasi yang berbahaya yang menggambarkan akan
terjadinya kerusakan jaringan ,dan suatu pola respon untuk melindungi organism dari
bahaya.
5.Mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia mengatakan
tentang nyeri ,apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika dia
mengatakan hal itu ada.

International Association for The Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan
dengan kondisi aktual atau potensial terjadinya kerusakan jaringan. Sementara itu,
teori nyeri menurut Descartes, mempengaruhi penelitian terhadap anatomi dan

1
fisiologi nyeri, dan ditandai dengan pencarian serabut nyeri yang spesifik, perjalanan
nyeri, dan pusat nyeri di otak.
Tipe nyeri :
a. Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor
(reseptor nyeri) sebagai respon terhadap stimuli yang berbahaya. Nyeri
nosiseptif terdiri dari nyeri somatik dan nyeri visera.
- Nyeri somatik : dideskripsikan sebagai nyeri tajam, panas atau
menyengat, yang dapat ditunjukkan lokasinya serta diasosiasikan
dengan nyeri tekan lokal di sekitarnya.
- Nyeri visera : dideskripsikan sebagai nyeri tumpul, kram atau kolik yang
tidak terlokalisir, yang dapat disertai dengan nyeri tekan lokal, nyeri
alih, mual, berkeringat dan perubahan kardiovaskular.
b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh sinyal yang diproses
di sistem saraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan sistem
saraf. Ciri khas nyeri neuropatik :
- Deskripsi nyeri seperti terbakar, tertembak atau tertusuk
- Nyeri terjadi secara paroksismal atau spontan serta tanpa terdapat
faktor presipitasi
- Terdapatnya diastesia (sensasi abnormal yang tidak menyenangkan
yang timbul spontan ataupun dipresipitasi), hiperalgesia (peningkatan
derajat respon terhadap stimulus nyeri normal), alodinia (nyeri yang
dirasakan akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak
menyebabkan nyeri), atau adanya hipoestesia
Perubahan sistem otonom regional (perubahan warna, suhu dan keringat) serta
phantom phenomena

2
BAB II
TATA LAKSANA

Pada tata laksana pelayanan pada pasien yang mengalami nyeri ini dapat dilihat hal-
hal yang berkaitan sebagai berikut :

A .ANAMNESA

1. Riwayat penyakit sekarang.


a. Onset nyeri: akut atau kronik,tarumatik atau non traumatic.
b. Karakter dan derajat keparahan nyeri : nyeri tumpul,nyeri tajam,rasa
terbakar,tidak nyaman,kesemutan dan neuralgia.
c. Pola penjalaran atau penyebaran nyeri.
d. Durasi dan lokasi nyeri.
e. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan ,baal,kesemutan
,mual/muntah,atau gangguan keseimbangan/control motorik.
f. Faktor yang memperberat dan memperingan.
g. Kronisitas.
h. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya termasuk respon
therapy.
i. Gangguan atau kehilangan fungsi akibat luka/nyeri.
j. Penggunaan alat bantu.
k. Perubahan fungsi mobilitas ,kognitif ,irama tidur,dan aktivitas hidup dasar
(activity of daily living)
l. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan ,seperti adanya
fraktur yang tidak stabil ,gejala neurologis progresif cepat yang
berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
2. Riwayat pembedahan/penyakit dahulu.
3. Riwayat psiko-sosial.
a. Riwayat konsumsi alcohol,merokok,atau narkotika.
b. Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien.
c. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri.
d. Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas social yang
berpotensi menimbulkan stress.Pertimbangan juga aktivitas penggantinya.
e. Maslah psikiatri(misalnya depresi ,cemas,ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negative terhadap motivasi dan kooperasi pasien
dengan program penanganan /manajemen nyeri kedepannya.Pada pasien
dengan ,maslah psikiatri,diperlukan dukungan psikotherapi/psikofarmaka.
f. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stress bagi
pasien/keluarga.
4. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang serta rutin ,seperti mengangkat
benda berat,membungkuk atau memutar,merupakan pekerjaan tersering yang
berhubungan dengan nyeri punggung.
5. Obat- obatan dan alergi.
a. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi rasa nyeri
(suatu studi menunjukkan bahwa 14 % populasi di AS mengkonsumsi
suplemen herbal,dan 36 % mengkonsumsi viatamin)
b. Cantumkan juga mengenai dosis ,tujuan minum obat,durasi ,efektifitas dan
efek samping.

3
c. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan
yang menimbulkan efek samping kognitif dan fisik.
6. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetic.
7. Assesmen sistem organ yang komprehensif
a. Evaluasi gejala
kardiovaskuler ,psikiatri,pulmoner,gastrointestinal,neurologi,reumatologi,gen
itourinaria,endokrin,dan musculoskeletal.
b. Gejala konstusional : penurunan berat badan,nyeri malam hari,keringat
malam dan sebagainya.

B .ASSESMEN AWAL NYERI.

Untuk melakukan manajemen nyeri yang baik, maka penilaian derajat nyeri
yang tepat sebaiknya dilakukan. Nyeri bersifat sangat subjektif dan alat ukurnya yang
paling reliabel dan valid adalah yang dikeluhkan oleh pasien sendiri. Yang menjadi
permasalahan adalah bila pasien tidak dapat secara langsung mengemukakan rasa
nyerinya misalnya pada kelompok pasien anak atau kelompok tertentu (misalnya
mereka dengan keterbatasan kognitif, mendapatkan obat anestesi, atau dalam
perawatan ICU (intensive care unit), dalam pengaruh obat-obatan hipnotik sedatif, dan
kondisi khusus lainnya).
Penilaian nyeri akut yang akurat pada pasien anak tidak mudah karena sifat
nyeri sendiri yang sangat subyektif dan keterbatasan komunikasi pada sebagian besar
anak. Untuk melakukan penilaian tersebut maka diperlukan suatu alat ukur yang
efektif. Pemahaman mengenai pengaruh tahapan perkembangan anak terhadap
kemampuannya mengekspresikan nyeri akan membantu klinisi untuk memilih skala
penilaian nyeri yang tepat dan kemudian menginterpretasikannya.Alat ukur nyeri yang
digunakan haruslah sesederhana mungkin sehingga dapat digunakan oleh klinisi
dengan cepat serta dipahami dengan mudah oleh anak-anak.
Tantangan yang paling jelas dalam melakukan penilaian akurat terhadap nyeri
pada bayi ialah ketidakmampuannya untuk berbicara sehingga digunakan ukuran
tingkah laku dan fisiologis. Seiring dengan semakin berkembangnya kemampuan
kognitif maka anak akan mampu mengekspresikan nyeri dengan menggunakan alat
bantu. Skala nyeri yang menggunakan gambar atau wajah yang mewakili gambaran
obyektif rasa nyeri dapat digunakan untuk anak-anak dengan usia di atas 4 tahun.
Skala ukur seperti ini memungkinkan anak untuk mengekspresikan pengalaman nyeri
dengan ukuran obyektif sebelum menunjukkannya dalam skala angka. Setelah
kemampuan berbahasa berkembang maka anak akan menggunakan kata-kata selain
dengan menangis misalnya “sakit” atau “pedih”. Selain itu juga telah ditunjukkan bahwa
anak-anak berumur 11 tahun dapat menunjukkan gejala bingung sebagai ungkapan
nyeri.

Tabel 1. Alat Ukur Berdasarkan Rentang Umur


Alat Ukur Rentang Usia Skor
NIPS 0-6 minggu 0-7
FLACC Semua umur 0-10
FPS-R 4-12 tahun 0-5
FPS (Bieri dkk) 4-18 tahun 0-5
Wong-Baker FACES 9 bulan-18 tahun 0-5
OUCHIER 3-18 tahun 0-5
VAS >8 tahun Bervariasi

4
VNS >8 tahun 0-10
Ceklist Nyeri Anak-
Anak yang 0-81
Berkomunikasi
FLACC yang
Direvisi untuk 4-18 tahun 0-10
Gangguan Kognitif
NIPS: Neonatas Infant Pain Scale
FLACC: Face, Legs, Activity, Cry, and Consolability
FPS-R: Faces Pain Scale
VAS: Visual Analogue Scale
VNS: Verbal Numeric Scale
Penilaian nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala di bawah ini:
1. Skala NIPS (Neonatal Infant Pain Scale)
Merupakan alat ukur tingkah laku untuk mengukur rasa nyeri pada neonatus
kurang bulan dan cukup bulan.Untuk mengukurnya bisa dibantu dengan alat
monitor sebelum, selama dan sesudah suatu rangsangan nyeri.Ini dikembangkan
oleh Rumah Sakit Anak di Ontario Timur.
Parameter ada enam dengan skor 0 (terendah) sampai dengan 7 (tujuh).Nilai 0-
2 untuk tidak nyeri atau nyeri ringan, 3-4 untuk nyeri ringan sampai moderat, >4
untuk nyeri berat. Keterbatasan skala ini bisa terjadi false skala yang rendah
apabila dilakukan pengukuran pada bayi yang terlalu sakit untuk merespon
rangsangan atau mendapat obat pelumpuh otot.

Tabel 2. Neonatas Infant Pain Scale (NIPS)

NIPS 0 1 2
Ekspresi wajah Relaks Kontraksi -
Menangis Tidak ada Mumbling Kuat
Berbeda dengan
Bernapas Relaks -
basal
Lengan Relaks Fleksi/teregang -
Tungkai Relaks Fleksi/teregang -
Allertness Tidur/tenang Tidak nyaman -

2. Skala CRIES
Biasa dipakai untuk bayi 0-6 bulan. Terdiri dari lima katagori dengan skor
masing-masing 0-2 (maksimal 10). Tim penilai dapat bekerjasama dengan keluarga
pasien (jika diperlukan).
Tabel 3. Skala CRIES
Crying – Characteristic cry of pain is high pitched
0. No cry that is not high-pitched
1. Cry high pitched but baby is easily consolable
2. Cry high pitched but baby is inconsolable
Require O2 for SaO2 <95% - Babies experiencing pain manifest decresed
oxygenation. Consider other causes of hypoxemia (oversedation, atelectasis,
pneumothorax)
0. No oxygen required
1. <30 % oxygen required

5
2. >30 % oxygen reuired
Increased vital signs (BP and HR) – Take BP last as this may awaken
child making other assessments difficult
0. Both HR and BP unchanged or less than baseline
1. HR or BP increased but increase in <20 % of baseline
2. HR or BP is increased >20 % over baseline
Expression – The facial expression most often associated with pain is a
grimace. A grimace may be characterized by brow lowering, eyes
squeezed shut, deepening naso-labiaal furrow, or open lips and mouth
0. No grimace present
1. Grimace alone is present
2. Grimace and non-cry vocalization grunt is present
Sleepless – Scored based upon the infant’s state during the hour
preceding this recorded score
0. Child has been continuously asleep
1. Child has awakened at the frequent intervals
2. Child has been awake constantly

3. Skala FLACC (Face Leg Activity Cry Consolability)


Skala FLACC adalah suatu alat pengukuran rasa nyeri unidimensi berdasarkan
tingkah laku pada periode post operasi pada anak kecil. Skala ini meliputi lima
unsur yaitu wajah (Face), tungkai (Leg), gerakan (Activity), tangisan (Cry) dan
dapat dihibur (Consolability). Skala FLACC dibuktikan lebih realistis untuk menilai
rasa nyeri pada anak dengan penyakit kritis.
Tabel 4. Skala FLACC
(Face, Legs, Activity, Cry, Consolability)

Wajah Tidak ada ekspresi yang khusus 0


(seperti senyum)

Kadang meringis atau mengerutkan 1


dahi, menarik diri

Sering / terus menerus mengerutkan 2


dahi, rahang mengatup, dagu bergetar

Ekstremitas Posisi normal / rileks 0

Tidak tenang, gelisah, tegang 1

Menendang atau menarik kaki 2

Gerakan Berbaring tenang, posisi normal, 0


bergerak mudah

Menggeliat-geliat, bolak-balik 1
berpindah, tegang
2
Posisi tubuh meringkuk, kaku / spasme
atau menyentak

6
Menangis Tidak menangis 0

Merintih, merengek, kadang mengeluh 1

Menangis tersedu-sedu, terisak-isak, 2


menjerit

Kemampuan Senang, rileks 0


Ditenangkan
Dapat ditenangkan dengan sentuhan, 1
pelukan, atau berbicara, dapat
dialihkan.
2
Sulit/ tidak dapat ditenangkan dengan
pelukan, sentuhan atau distraksi.

Cara menggunakan skor FLACC:


 Pada pasien yang sadar/bangun: pengamatan pasien dilakukan selama 1-5
menit atau lebih. Bagian yang diamati adalah tungkai dan tubuh yang
terbuka/terlihat, perubahan posisi dan aktivitas, kemudian pemeriksa meraba
tubuh pasien untuk menilai ketegangan otot, dan melakukan intervensi atau
konseling jika diperlukan.
 Bila pasien tertidur: pengamatan dilakukan selama 5 menit atau lebih. Bagian
yang diamati adalah tubuh dan tungkai yang terbuka/terlihat. Jika
memungkinkan rubah posisi pasien, raba tubuh pasien, serta nilai ketegangan
otot.
Interpretasi hasil skala FLACC adalah: relaks dan nyaman (0), ketidaknyamanan
ringan (1-3), ketidaknyamanan sedang (4-6) dan ketidaknyamanan berat atau nyeri
atau keduanya (7-10).
4. Skala FPS-R (Faces Pain Scale-Revised)
Untuk anak sekolah berusia 4-12 tahun, skala pengukuran nyeri ini paling valid dan
mampu mengukur nyeri akut dimana pengertian terhadap kata atau angka tidak
diperlukan. Kriteria nyeri diwakilkan dalam enam sketsa wajah (dari tujuh / FPS
sebenarnya) yang mewakili angka 0-5 atau 0-10.Anak-anak memilih satu dari enam
sketsa muka yang mencerminkan nyeri yang mereka rasakan.Skor tersebut
dikelompokkan menjadi nyeri ringan (0-3), nyeri sedang (4-6), dan nyeri berat (7-
10).
Gambar 1. Faces Pain Scale-Revised

5. Skala Wong Baker FACES


Pengukuran nyeri ini menggunakan enam sketsa wajah kartun, jenis kelamin
netral dimana menggambarkan dari tanpa nyeri (wajah tersenyum) sampai nyeri
hebat (wajah menangis).Digunakan untuk anak-anak 3 tahun keatas. Skor nyeri
mulai dari nol sampai dengan lima. Skala pengukuran ini sangat mudah dan
sederhana, minimal instruksi, diterjemahkan dalam 10 bahasa, dan dipakai juga

7
dalam diagnosis di ruang darurat.Kelemahan skala ini bahwa sketsa muka
dianggap mewakili emosi yang berlebihan.
Gambar 2. Skala Nyeri Wong-Baker FACES

6. Skala OUCHER
Skala OUCHER adalah skala pengukuran nyeri dengan menggunakan kombinasi
foto jepretan muka dengan kombinasi ukuran angka berbentuk vertikal, dari 0 – 100
mm. Biasanya dipakai untuk anak berusia diatas 6 tahun. Foto jepretan kamera ini
terdiri dari enam wajah yang sensitif (termasuk kulit putih, afrika, amerika, dan
hispanik).Skoring dari 0 – 5.
Gambar 3. Skala Oucher

7. Skala VAS (Visual Analog Scale)


Skala ini menggunakan garis mendatar atau tegak lurus yang memiliki ukuran
(100 mm) untuk menggambarkan kualitas nyeri.Ujung akhir dari garis itu adalah
penjelasan verbal terhadap nyeri yang paling hebat.Anak menandai garis tersebut
untuk menyatakan besarnya nyeri yang dirasakan.Peneliti merekomendasikan
skala ini untuk anak diatas 8 tahun.
Gambar 4. Skala Analog Visual

8. Skala VNS (Visual Numeric Scale) / NRS (Numerical Rating Scale)

8
Skala ini menggunakan garis lurus mendatar dan memiliki angka 0 – 10, dari
tanpa nyeri sampai dengan nyeri sangat hebat.Anak diminta untuk memilih
beratnya nyeri sesuai dengan berat tingan nyeri yang mereka alami.
Gambar 5. Skala VNS

9. Skala nyeri anak yang tak bisa berkomunikasi (Noncommunicating Children’s Pain
Checklist)
Pengukuran nyeri untuk anak yang tidak bisa berkomunikasi dan variasinya
telah dibuat dan digunakan untuk anak-anak dengan keterbatasan seperti autisme
dan kelumpuhan otak (cerebral palsy), untuk anak dengan keterbatasan
kemampuan.Biasanya dipakai untuk anak umur 3-18 tahun.Digunakan untuk
menilai nyeri akut atau nyeri kronis anak dirumah. Cara menilainya, dilakukan
pengamatan terlebih dahulu anak yang hendak dinilai selama dua jam.Sebagai
catatan bahwa item makan/tidur tidak selalu terjadi sela dua jam pengamatan,
untuk itu pengukuran ini berdasarkan pengamatan tingkah laku anak seharian.
Skor antara 0 – 1, dalam enam subklas.Panjangnya daftar isian membuat skala ini
jarang digunakan di ruang gawat darurat.
Total nilai 7 atau lebih menunjukkan bahwa anak merasakan nyeri dan nilai 6
atau kurang tidak nyeri.
Gambar 6.Noncommunicating Children’s Pain Checklist

9
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadarn maka penilaian nyeri dilakukan
berdasarkan skala pengukuran sebagai berikut:
1. Comfort Scale
Pada pasien dengan penurunan kesadaran baik akibat dari penyakit yang
diderita, mendapat terapi analgetik atau pun sedasi tidak dapat mengeluhkan nyeri
yang dialami. Comfort scale dapat digunakan untuk menilai derajat nyeri pada
pasien dengan penurunan kesadaran. Skala ini memiliki 8 indikator (6 penilaian
perilaku dan 2 penilaian fisiologis), yaitu kewaspadaan (alertness), ketenangan
(calmness/agitation), distres pernafasan (respiratory distress) atau menangis
(crying), pergerakan (physical movement), tonus otot (muscle tone), tegangan
wajah (facial tension), tekanan darah basal (blood pressure) dan denyut jantung
basal (heart rate). Indikator distres pernafasan tidak digunakan pada pasien yang
bernafas spontan, sedangkan indikator menangis tidak digunakan pada pasien
dengan ventilasi mekanik.
Setiap indikator mempunyai nilai antara 1 dan 5. Nilai total antara 8 sampai 40.
Nilai 17 sampai 26 menunjukkan kontrol sedasi dan nyeri yang adekuat. Karena
pengukuran tekanan darah dan denyut jantung yang kompleks, skala ini terutama
digunakan pada pasien dalam perawatan intensif.
Prosedur Comfort scale:

10
1. Penilai memeriksa medical flow chart pasien dan menghitung baseline, batas
denyut jantung dan tekanan arteri rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai denyut
jantung dan tekanan arteri rata-rata terendah selama 24 jam dipakai sebagai
baseline, walaupun pasien diberikan sedasi.
2. Penilaian dimulai dengan periode observasi selama 2 menit dimana penilai
dapat mengamati wajah dan seluruh tubuh pasien serta monitor tanda vital.
Dilakukan penilaian secara cepat gerakan, posisi tubuh, ekspresi wajah, respon
terhadap stimulus eksternal, dan lain-lain berdasarkan Comfort scale.
3. Setiap 15-20 detik, penilai mengobservasi denyut jantung dan tekanan arteri
rata-rata dan menentukan bila terjadi perubahan 15% dari baseline.
4. Sekitar 10 detik sebelum akhir periode observasi, tonus otot dinilai dari respon
pasien terhadap fleksi ekstremitas secara cepat dan lambat (pada siku atau
lutut tanpa kateter intravena, plester, arterial line). Pergelangan tangan atau
tumit dapat digunakan bila sendi lain tidak dapat digunakan.
5. Penilai kemudian mencatat nilai pada setiap skala. Perilaku yang paling ekstrim
(distres) yang didapat selama observasi dinilai pada setiap variabel. Total nilai
dari setiap variabel dijumlahkan.

11
Tabel 5. Comfort Scale

Kategori Penilaian Nilai Skor

Tidur pulas/nyenyak 1

Tidur kurang nyenyak 2

Kewaspadaan Gelisah 3

Sadar sepenuhnya dan waspada 4

Hiper Alert 5

Tenang 1

Agak cemas 2

Ketenangan Cemas 3

Sangat cemas 4

Panik 5

Tidak ada respirasi spontan dan tidak ada batuk 1

Respirasi spontan dengan sedikit/tidak ada respon


2
terhadap ventilasi

Kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan


Distress 3
terhadap ventilasi
Pernafasan
Sering batuk, terdapat tahanan/perlawanan
4
terhadap ventilator

Melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk


5
terus menerus/tersedak

Bernapas dengan tenang, tidak menangis 1

Sering terisak-isak 2

Menangis Merengek 3

Menangis 4

Berteriak 5

Pergerakan Tidak ada pergerakan 1

Kadang-kadang bergerak perlahan 2

Sering bergerak 3

Pergerakan aktif terbatas 4

Pergerakan aktif termasuk kepala dan badan 5

12
Otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot 1

Penurunan tonus otot 2

Tonus otot normal 3


Tonus Otot
Peningkatan tonus otot dan fleksi jari tangan dan
4
kaki

Kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari tangan


5
tangan dan kaki

Otot relaks sepenuhnya 1

Tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan


2
otot wajah yang nyata
Tegangan
Wajah Tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata 3

Tegangan hampir di seluruh otot wajah 4

Seluruh otot wajah tegang, meringis 5

Tekanan darah di bawah batas normal 1

Tekanan darah berada di batas normal secara


2
konsisten

Tekanan Peningkatan tekanan darah sesekali ≥ 15% diatas


3
Darah Basal batas normal (1-3 kali)

Sering peningkatan tekanan darah ≥ 15% di atas


4
batas normal (>3 kali)

Peningkatan tekanan darah terus menerus ≥ 15% 5

Denyut jantung di bawah batas normal 1

Denyut jantung berada di batas normal secara


2
konsisten
Denyut
Peningkatan denyut jantung sesekali ≥15% di atas
Jantung 3
batas normal (1-3 kali)
Basal
Seringnya peningkatan denyut jantung ≥15% di
4
atas batas normal (>3 kali)

Peningkatan denyut jantung terus menerus ≥15% 5

Total Score

2. Non Verbal Pain Scale Revised

13
Skala ini digunakan untuk menilai nyeri pada pasien dengan penurunan
kesadaran.. Ada 5 kategori yang akan dinilai (wajah, aktifitas, posisi tubuh,
fisiologis, dan pernapasan). Skor 0-2 berarti tidak ada nyeri, 3-6 berarti nyeri
sedang, dan 7-10 berarti nyeri berat. Pasien dinilai tiap 4 jam pada nursingflow
sheet dan melakukan penilaian sebelum dan setelah intervensi untuk memastikan
kenyamanan pasien. Pasien dengan sepsis, hipoksia, hipovolemia perlu dieksklusi
terlebih dahulu sebelum melakukan intervensi.

Tabel 6. Non Verbal Pain Scale Revised


Kriteria Skor 0 Skor 1 Skor 2
Wajah Tidak ada Sesekali meringis, Sering meringis,
ekspresi mengeluarka air mata, mengeluarkan air
tertentu atau mengerutkan dahi. mata,
senyum mengerutkan dahi.
Aktifitas Berbaring Mencari perhatian Gerakan gelisah
tenang. Posisi dengan gerakan dan atau melawan
normal berhati-hati.
Posisi Berbaring Gerakan mengeliat, Kekakuan tubuh
Tubuh tenang, tidak ketegangan pada
ada posisi tubuh
tangan diatas
tubuh
Fisiologis TD dan nadi Perubahan dalam 4 Perubahan dalam
stabil, tidak ada jam dari salah satu: 4 jam dari salah
perubahan tekanan darah satu: tekanan
dalam 4 jam. sistolik>20, nadi>20, darah >30, nadi
laju pernafasan>10 >25, laju
pernapasan >20
Pernafasan Pernafasan RR>10 dia atas RR > 20 di atas
sesuai base baseline atau baseline atau
line, SpO2 penurunan SpO2 tidak penurunan SpO2
sesuai setting sinkronisasi ringan 10%, tidak
ventilator dengan ventilator. sinkronisasi berat
dengan ventilator

3. Behavioral Pain Scale (BPS)


Merupakan pengukuran nyeri berdasarkan tingkah laku, digunakan pada pasien
penyakit kritis yang dirawat di ICU.Terdiri dari tiga item penilaian dengan skor 3-12.
Nilai <5 berarti pasien bebas nyeri, >5 pasien mengalami nyeri yang perlu diterapi.

Tabel 7. Behavioral Pain Scale (BPS) untuk Menilai Nyeri pada Pasien
Nonverbal dengan Ventilasi Mekanik
Perilaku Deskripsi Skor
Relaksasi 1
Partially tightened (misalnya
Ekspresi 2
menggerakkan alis)
wajah
Fully tightened (misalnya menutup mata) 3
Menyeringai 4
Ekstremitas Tidak ada gerakan 1
atas Menekuk sebagian 2
Menekuk penuh dengan fleksi jari-jari 3

14
Retraksi permanen 4
Mentoleransi pergerakan 1
Batuk namun masih mentolerasi ventilasi
Komplian 2
sebagian besar waktu
dengan
Tidak bisa mengikuti ventilator (fighting
ventilasi 3
ventilator)
Tidak dapat mengonrrol ventilasi 4

4. Behavioral Indicators of Infant Pain (BIIP)


Adalah skala pengukuran nyeri dengan mengkombinasikan pengukuran saat
tidur dan bangun, lima mimik wajah, dua gerakan tangan.Skala ini dipakai untuk
bayi baru lahir baik cukup bulan atau kurang bulan hingga umur 18 bulan.
Tabel 8. Skala BIIP

Score State Skor


0 Deep sleep
0 Active sleep
0 Drowsy
0 Quiet awake
1 Active awake
2 Agitated crying
Face
1 Brow bulge
1 Eye squueze
1 Naso-labial furrow
1 Horizontal mouth strecth
1 Taut tongue
Hand
1 Finger splay
1 Fisting
Total Score

C .TIPE NYERI

Pada tahun 1986 ,The National Instutes of Health Consensus Confrence on Pain
mengkategorisasikan nyeri menjadi dua tipe yaitu
1. Injury akut,penyakit atau pembedahan.
2. Nyeri kronik non kegaanasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan ang
dalam masa penyembuhan atau tidak progresif dan nyeri kronik keganansan
adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang
progresif.

15
D . RESPON TERHADAP NYERI

Respon terhadap nyeri meliputi respon fisiologis dan respon perilaku


1. Nyeri akut respon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanna darah awal
,peningkatan denyut nadi,peningkatan pernafasan,dilatasi pupil,dan keringat
dinginrespon prilakunya adalah gelisah,ketidakmampuan
berkonsentrasi,ketakutan dan distress.
2. Nyeri kronis respon fisiologisnya adalah tekanan darah normal,denyut nadi
normal,respirasi normal,pupil normal,kulit kering dan respon prilakunya berupa
imobilisasi atau ketidak aktifan fisik,menarik diri,putus asa,karena tidak
ditemukan gejala dan tanda yang mencolok dari nyeri kronis ini maka tugas tim
kesehatan,perawat khususnya menjadi tidak mudah untuk mengidentifikasinya.

E . HAMBATAN DALAM MEMBERIKAN MANAJEMEN NYERI YANG TEPAT

Menurut Blumenfield (2003) secara garis besar ada 2 hambatan dalam manajemen
nyeri,yaitu :
1. Ketakutan akan timbulnya adiksi,seringkali pasien,keluarga,bahkan tenaga
kesehatanpun mempunyai asumsi akan terjadinya adiksi terhadap penggunaan
analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri,adiksi sering persepsikan sama
dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik.Ketergantungan fisik
adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat psikoaktif atau
penghentian secara mendadak zat psikoaktif.
Toleransi adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan zat psikoaktif guna
mendapatkan efek yang sama.
Adiksi adalah suatu prilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang
dari suatu zat psikoaktif ,meskipun telah diketahuai adanya efek yang
merugikan.Ketakutan tersebut akan lebih nyata kepada pasien atau keluarga
dengan riwayat penyalahgunaan alcohol atau zat psikoaktif lainnya.mereka
biasanya takut untuk mendapatkan pengobatan nyeri dengan menggunakan
analgetik apalagi bila obat tersebut merupakan golongan narkotik.Hal ini salah
satunya disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan mengenai
hal itu,sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan
perawat semestinya mempunyai kapasitas yang cukup tentang hal tersebut
diatas.
2. Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri merupakan alas an
yang paling umum yang memicu terjadinya manajemen nyeri yang
memadai.Untik itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga
terciptanya tenaga kesehatan yang handal.
Perangkat yang dipakai untuk menilai nyeri yaitu Simple Descriptive Pain
Distress Scale,Visual Analog Scale(VAS), Pain Relief Visual Analog
Scale,Percent Relief Scale serta 0-10 Numeric Pain Distres Scale yang paling
sering digunakan ,dimana pasien diminta untuk merating rasa nyeri tersebut
berdasarkan skala penilaian numeric mulai angka 0 yang berarti tidak ada nyeri
sampai angka 10 yang berarti pucak dari rasa nyeri,sedangkan 5 adalah nyeri
yang dirasakan sudah bertaraf sedang.

F. MANAJEMEN NYERI

16
Nyeri secara umum dibedakan menjadi akut atau kronik. Nyeri akut diartikan sebagai
nyeri yang berlangsung kurang dari 30 hari dan kronis lebih dari 30 hari.
Bagaimanapun juga definisi berdasarkan durasi tersebut tidak mutlak dan tidak terlalu
bermakna dalam menentukan strategi manajemen. Nyeri akut biasanya dikaitkan
dengan kerusakan / cedera jaringan yang baru terjadi dan durasi yang singkat.Nyeri
menghilang setelah kerusakan sembuh. Nyeri ini menyebabkan penderita waspada
untuk menghindari kerusakan / cedera lebih lanjut dengan aktivasi sistem saraf
simpatis (vasokonstriksi, nadi cepat, terkadang menjadi agitasi). Nyeri kronis atau nyeri
persisten terjadi lama setelah kerusakan / cedera jaringan sembuh (penyebab nyeri
tidak jelas). Pasien dengan nyeri kronis dapat mengalami perubahan fisiologi dengan
gejala: depresi, withdrawal (menarik diri), anorexia, fatique (lemah), hipersomnolen
atau insomnia, irritabilitas atau ketidakstabilan emosi, kurang inisiatif dan inaktifitas.
Perubahan tersebut dapat ringan dan memerlukan observasi keluarga, kerabat, dan
tenaga sosial. Pasien mungkin sepertinya tidak merasakan nyeri (nadi dan ekspresi
wajah tidak menunjukkan rasa sakit). Nyeri kronis ini cenderung sulit untuk diatasi
karena dipengaruhi oleh faktor fisiologi dan psikologi. Manajemen yang ideal
memerlukan multidisiplin, whole-person approach dan waktu yang panjang.
Tabel 9. Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis
Nyeri Akut Nyeri Kronis
Terjadi segera setelah terjadi kerusakan / Terjadi setelahkerusakan / cedera jaringan
cedera jaringan hilang atau sembuh
Dianggap sebagai peringatan kerusakan / Tidak memiliki fungsi proteksi
cedera jaringan; proteksi kerusakan
jaringan lebih lanjut
Aktivasi nosiseptos Melibatkan sensitisasi sentral dan
kelainan struktur permanen susunan saraf
pusat
Aktivasi sistem saraf simpatis Adaptasi fisiologis
Durasi singkat Durasi lama
Hilang setelah kerusakan jaringan hilang Terjadi lama setelah resolusi kerusakan /
cedera jaringan
Secara langsung berkaitan dengan Tidak berkaitan secara langsung dengan
kerusakan / cedera, kondisi postoperasi, kerusakan / cedera jaringan, prosedur
dan proses penyakit operasi, dan proses penyakit
Respon terhadap terapi Sulit respon terhadap terapi

MANAJEMEN NYERI PEDIATRI


Pada awalnya diyakini bahwa bayi tidak memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan nyeri sehingga tidak memerlukan obat antinyeri namun sekarang
diketahui bahwa struktur nosiseptif telah berfungsi sejak janin (fetus). Bayi, meskipun
memiliki susunan saraf pusat yang sedang berkembang, juga merasakan nyeri
sehingga memerlukan penilaian dan tatalaksana lebih lanjut. Kenyataan yang
ditemukan kemudian ialah bahwa nyeri yang tidak teratasi saat neonatus telah
dikaitkan dengan efek terapi antinyeri yang kurang baik di usia dewasa.
Untuk merespon dan mengatasi rasa nyeri pada bayi dan anak yang belum
bisa diajak berkomunikasi,seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk
menangkap segala hal atau tanda yang berkaitan dengan rasa nyeri berdasarkan hasil
pengamatan secara seksama. Manajemen nyeri pediatri:
1. Pasien berusia <17 tahun
2. Manajemen nyeri pada pasien pediatri dapat dilakukan dengan pendekatan
multimodal menggunakan farmakologi dan nonfarmakologi
3. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatri:

17
Gambar 7. Algoritme Nyeri pada Pediatri

18
4. Pemberian analgesik:
a. By the ladder (pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri
anak (ringan, sedang, berat)):
 Awalnya berikan analgesik ringan sedang
 Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik tersebut, berikan
analgesik yang lebih poten
 Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap
dilakukan sebagai analgesik adjuvant
 Analgesik adjuvant merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan
untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu
 Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant
pada awal terapi karena lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri
neuropati:
1) Analgesik multimodal: anti depresant, agonis adrenergic alfa-2,
kortikosteroid, anestesi topical
2) Analgesik untuk nyeri neuropati: antidepresant, antikonvulsi, agonis
GABA, anestesioral lokal
3) Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot, benzodiazepin,
inhibitor osteoklas, radiofarmaka
b. By the clock (mengacu pada waktu pemberian analgesik):
 Pemberian haruslah teratur, misalnyasetiap 4-6 jam (disesuaikan dengan
masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien, tidak boleh (jika
perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak
dapat diprediksi
c. By the child (mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi
masing-masing individu):
 Lakukan monitor dan asesment nyeri secara teratur
 Sesuaikan dosis analgesik jika perlu
d. By the mouth mengacu pada jalur pemberian obat:
 Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasif,
dan efektif, biasanya per oral
 Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan
 Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian
parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien
 Opioid kurang poten jika diberikan per oral
 Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri
dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan
 Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM,IV, dan
subkutan intermiten, yaitu:tidak nyeri,mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri
yang kontinu pada anak.
 Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid parenteral
intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah
hebat (tidak dapat memberikan obat per oral)
e. Analgesik dan anestesi regional: epidural
 Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit
diatasi dengan terapi konservatif.
 Harus dipantau dengan baik

19
 Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-
obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda
vital/ skor nyeri
5. Penggunaan opioid pada pediatri:
 Pilih rute yang paling sesuai untuk pemberian jangka panhjang,pilihlah jalur
oral.
 Pada penggunaan infus kontiyu IV, sediaan obat kerja singkat dengan dosis
50%-200% dari dosis infus perjam koniyu (bila perlu).
 Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat dalam 24 jam maka dibagi 24.
Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50 %.
 Jika efek analgetiknya tidak adekuat dan tidak ada toksisitas, tingkatkan
sebesar 50%.
 Saat tapering off atau penghentian obat pada semua pasien yang menerima
opoid >1 minggu. Harus dilakukan tapering off ( untuk menghindari withdrawal).
Kurangi dosis 50% selama 2 hari,lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika
dosis ekuiovalen dengan dosis morfin oral ( 0,6mg/kgBB/hari), opioid dapat
dihentikan.
 Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi
dan menimbulkan mioklonus, hipereflek, dan kejang.
6. Terapi nonfarmakologi meliputi:
a. Terapi kognitif: merupakan terapibyang paling bermanfaat dan memilikinefek
yang besar dalam menajeman nyeri non-obat untuk anak.
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain sperti musik,
cahaya, warna, permainan, permen , komputer, permainan, film, dan
sebagainnya.
c. Terapi perilaku: bertujuan untuk menguirangi perilaku yang dapat meningkatkan
nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari
tangan,menggerakkan kaki sesuai irama,tarik nafas dalam.
Tabel 10. Terapi Nonfarmakologi

Kognitif Perilaku Fisik


 Informasi  Latihan  Pijat
 Pilihan dan kontrol  Terapi relaksasi  Fisioterapi
 Distraksi dan atensi  Um[pan balik positif  Stimulasi termal
 Hypnosis  Modifikasi gaya  Stimilasi sensorik
 Psikoterapi hidup/perilaku  Akupuntur
 TENS
(transcutaneous
elektrical nerve
stimulation )

20
7. Melakukan manajemen efek samping opioid
Tabel 11. Manajemen Efek Samping Opioid
Efek samping Tatalaksana

Pruritus Difenhidramin (0,5 mg/kg tiap 6 jam PRN)


Atau
Nalokson gtt (0,5-2 ug/kg/jam)
Atau
Nalmefen (0,25-0,5 ug/kg tiap 8 jam)

Nausea/vomitus Ondansteron (0,15 mg/kg tiap 6 jam PRN sampai maksimal 4


mg/kali)
Atau
Narcan gtt (0,5-2 ug/kg/jam)
Atau
Nalmefene (0,25-0,5 ug/kg/kali tiap 8 jam)

Somnolen Metilfenidat (0,1 mg/kg/kali); pikirkan preparat lepas lambat

Retensi urin Nalokson gtt (0,5-2 ug/kg/jam)


Atau
Nalmefene (0,25-0,5 ug/kg/kali tiap 8 jam).
Dapat diperlukan pemasangan kateter urin.

Seringkali gejala dapat diatasi dengan mengurangi dosis opioid 20-25%. Meskipun
begitu, tindakan ini dapat mengurangi efek analgesia dan terapi adjuntif sebaiknya
dipertimbangkan.

MANAJEMEN NYERI DEWASA


A. MANAJEMEN NYERI AKUT DEWASA
1. Melakukan penilaian nyeri melalui anamnesis sampai pemeriksaan penunjang
2. Menentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik
a. Nyeri dengan onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat
tajam, menusuk, atau seperti ditikam
b. Penyebab: kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kimia
dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor
kulit.
c. Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi
b. Nyeri viseral
a. Nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan
benda berat.
b. Nyeri ini disebabkan oleh iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament,
spasme otot polos, distensi organ berongga/lumen
c. Nyeri neuropatik
a. Nyeri yang dirasakan seperti rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan,
alodinia (nyeri saat disentuh), atau hiperalgesia

21
b. Gejala nyeri biasanya dialami dari bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cedera)
c. Berasal dari cedera jaringan saraf
d. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi
diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi.

3. Melakukan penilaian derajat nyeri ringan (VAS 1-3), sedang (VAS 4-6) , dan berat
(VAS 7-10)
4. Memberikan analgetika sesuai dengan Step-Ladder WHO:

OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan opioid
efektif untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10)
5. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah
6. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian ulang
derajat nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif / nyeri
menjadi sedang sampai berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid kuat
7. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan
8. Rute pemberian obat analgetika adalah sebagai berikut:
 Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik, kortikosteroid,
anestetika lokal, OAINS, opioid
 Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid
 Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan epidural):
Anestetika oral, Opioid
 Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan
 Topikal: Anestetika lokal
 Infiltrasi: Anestetika lokal
 Subkutan: Anestetika lokal, Opioid
 Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid
9. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan
 Opioid
a. Mual dan muntah: memberikan anti emetik
b. Konstipasi: memberikan stimulant buang air besar, menghindari laksatif
yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas
c. Pruritus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain atau dapat
juga menggunakan antihistamin.
d. Mioklonus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid atau memberikan
benzodiazepin
e. Depresi pernapasan: memberikan nalokson ( campur 0,4 mg nalokson
dengan NaCl 0,9 % sehingga total volume mencapai 10ml).Berikan 0,02 mg

22
( 0,5 ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat.Dapat
diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang
 OAINS
a. Gangguan gastrointestinal: memberikan AH2 antagonis atau PPI (proton
pump inhibitor)
b. Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti
OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet
10. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi nonfarmakologi
berupa:
a. Heat / cold pack
b. Melakukan reposisi, immbolisasi
c. Latihan relaksasi seperti menarik napas, bernapas dengan irama / pola
teratur, dan atau meditasi pernapasan yang menenangkan
d. Distraksi / pengalih perhatian
e. Analgesia neuraksial
f. Blok perifer
11. Melakukan penilaian talaksana

23
Gambar 8. Algoritme Manajemen Nyeri Akut

24
Gambar 9. Algoritme Pemberian Opioid Intermitten Intravena Untuk Nyeri Akut

B.MANAJEMEN NYERI PADA GERIATRI


1. Lanjut usia ( lansia ) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia > 65 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan
dewasa muda.
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neiralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit
degeratif.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung,
tungkai bawah,dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai mamajemen nyeri pada
geriatri.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat.
c. Keenganan dokter untuk memerapkan opoid.
6. Asesmen nyeri pada geriatri yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan
menggunakan Functional and Pain Scale seperti dibawah ini:
Tabel 12. Functional Pain Scale

25
Skala nyeri Keterangan
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi ( aktivitas tidak terganggu )
Tidak dapat ditoleransi ( tetapi masih dapat menggunakan
3
telepon,menonton TV, atau membaca )
Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat menggunakan telepon,
4
menonton tv, atau membaca
5 Tidak dapt ditoleransi ( dan tidak dapt berbicara karena nyeri )
Skor normal / yang diinginkan: 2

7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nonseptif
untuk menginduksi pelepasan opoid endogen
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur.
c. Blok saraf atau radiasi tumor.
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif : terapi relaksasi,
umpan balik positif,hypnosis.
e. Fisioterapi dan okupasi.
8. Inervensi farmakologi ( tekanan pada keamanan pasien )
a. Non-opoid: OAINS, p aracetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisiklik,
amitriptilin, ansiolitik.
b. Opoid :
 Resiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut ( jangka pendek).
 Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah
konstipasi (preparat senna, sorbitol)
 Berikan opoid jangka pendek.
 Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesikbyang lebih baik
daupada pemberian intermiten.
 Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikan dengan berlahan
 Jika efek analgesia mesih kurang adekuat, dapat menaikkan opoid sebesar
50-100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
 OAINS dan amfetamin : meningkatkan toleransi opoid dan resolusi nyeri
 Notriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapntin, tramadol,
mexiletiline,: efektif untuk nyeri neuropatik
 Antikonvulsan :untuk neuralgia trigeminal.
 Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1-3x100mg sehari dan dapat
ditingkatkan menjadi 300 mg/hari.
9. Resiko efek samping OAINS meningkatk pada lansia. Insidens perdarahan
gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien >65 tahun
10. Semua fase farmakokinetikdipengaruhi oleh penuaan, termasuk aborsi,distribusi,
metabolisme, dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs
sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom
malabsorbsi
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan
15. Efek samping penggunaan opoid yang paling sering dialami konstipasi

26
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antidepresant,dasn sedasi secara rutin harian)
17. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah,lalu dinaikkan
perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.

18. Nyeri yang tidak terkontrol dengan baik dapt mengakibatkan:


a. Penurunan/keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapt mengarah ke depresi
karena frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya
kemampuan funsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan
imunitas tubuh
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi
dan gelisah
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih
banyak.polifarmasi dapat meningkatkan resiko jatuh dan delirium.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada geriatri:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)
b. Opoid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuaran anatagonis dan
agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon,
levorphanol (waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresen: tertiary amine trycylics (efek samping anrikolinergik)
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opoid, sebelumnya harus diberikan kombinasi
preparat senna dan obat pelunak feces (buliking agents)
21. Pemilihan analgesik menggunakan 3-step ladder WHO( sama dengan manajemen
pada nyeri akut)
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opoid
b. Nyeri sedang: opoid minor,dapat dikombinasikan dengan OAINS dan analgesik
adjuvant.
c. Nyeri berat: opoid poten

Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan
hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.

C.MANAJEMEN NYERI PADA PERSALINAN PERVAGINAM


1. Nyeri Pada Persalinan
Nyeri pada persalinan primipara merupakan salah satu pengalaman nyeri yang
hebat tinggi yang pernah dialami. Sekitar 50% wanita selama persalinan
mengalami nyeri hebat atau sangat hebat. Jaras nyeri pada persalinan cukup luas,
diantaranya serabut aferen dari T10 sampai S4.
Uterus, segmen bawah uterus dan serviks dipersarafi oleh serabut aferen Aδ
dan C, yang bersamaan dengan keluarnya simpatis torakolumbal dan sakral. Nyeri
pada persalinan kala 1 berasal dari dermatom pada uterus dan serviks (T10-L1)
kemudian meluas ke dermatom lumbal dan sakral seiring dengan proses
persalinan.
Persalinan kala 2 melibatkan nyeri somatik yang diakibatkan oleh distensi dan
robekan struktur pelvis dan tekanan abnormal pada otot perineal.
2. Analgesia Epidural Pada Persalinan
Analgesia dengan tehnik epidural dapat dicapai dengan 2 cara, yaitu tehnik
blok segmental dan blok komplit.

27
Tehnik blok segmental dapat digunakan pada kala 1 untuk membatasi
penyebaran analgesia sensorik pada segmen T10-L1. Ketika persalinan memasuki
kala 2, analgesia dapat ditambah untuk memblok persarafan sakral. Dosis penuh
top-up diberikan pada posisi duduk selama 5 menit. Konsentrasi anestetik lokal yg
lebih besar dapat diberikan pada kala 2 untuk memblok motorik dan relaksasi
perineal jika direncanakan untuk ekstraksi forceps atau seksio sesaria. Kekurangan
tehnik ini adalah tidak selalu dapat memblok nyeri perineal (S2-S5).
Tehnik blok komplit (T10-S5) menghasilkan analgesia sensorik dari T10 sampai
S5 saat diberikan dosis awal. Namun, insiden hipotensi lebih besar dibandingkan
dengan blok segmental. Selama analgesia epidural, diperlukan monitoring rutin
terhadap tanda vital maternal, denyut jantung fetus dan kontraksi uterus. Tehnik
blok komplit dapat dicapai dengan tehnik intermiten atau infus kontinyu. Tehnik
intermiten memerlukan pemberian anestetik lokal setiap 11/2 sampai 2 jam atau jika
pasien mulai merasa tidak nyaman. Analgesia sensorik dijaga dari T10 sampai S5.
Anestetik lokal yang biasa digunakan adalah bupivakain 0,0625%, 0,125%, dan
0,25%.
Tehnik analgesia epidural lumbal:
 Posisi duduk atau lateral dekubitus
 Aseptik dan antiseptik antara L2 dan S1
 Identifikasi ruang epidural, arah bevel ke sefalad
 Bila telah mencapai ruang epidural, masukkan kateter epidural 2-6 cm
 Lakukan aspirasi. Jika negatif, berikan test dose
 Dosis inisial dengan dosis terbagi (5 ml):
 0,9%-2,0% lidokain (total 10-12 ml)
 0,0625%-0,25% bupivakain (total 10-12 ml)
 0,1%-0,2% ropivakain (total 10-12 ml)
 0,0625%-0,25% ropivakain (total 10-12 ml)
 Adjuvan: fentanil (total 50μg), epinefrin (1:200.000-400.000)
 Dosis pemeliharaan:
 Intermiten: bolus bupivakain 0,1-0,25% + fentanil 3 μg/ml,10 ml (5 ml + 5
ml) jika diperlukan
 Infus kontinyu: bupivakain 0,04%-0,125% + fentanil 1,5-2 μg/ml, 12-16
ml/jam
 Patient-controlled epidural analgesia (PCEA):
o Kecepatan basal: 8-10 ml/jam
o Dosis bolus 5 ml
o Lockout 10 menit
o Batas tiap jam 30 ml
 Jika nyeri menetap setelah 15 menit dari saat injeksi, tarik kateter sampai 3-4
cm di dalam ruang epidural dan berikan tambahan anestetik lokal
 Jika nyeri masih menetap selama 5 menit, cabut dan pasang kembali kateter
epidural
3. Combined Spinal Epidural (CSE) Analgesia Pada Persalinan
Tehnik CSE mengkombinasikan one-shot spinal dan epidural kontinyu menjadi
satu prosedur yang memiliki keuntungan dari kedua tehnik dan risiko yang lebih
minimal. CSE semula dianggap bermanfaat hanya pada saat awal atau akhir
persalinan. Karena opioid spinal menghasilkan analgesia tanpa memblok motorik,
pasien diberikan opioid spinal pada awal persalinan agar dapat berjalan dan
diberikan analgesia epidural bila memerlukan tambahan analgesia. Pada pasien
dengan fase akhir persalinan, dengan CSE diharapkan dapat mengurangi

28
kebutuhan analgesia epidural karena pada pasien ini dapat melahirkan dengan
analgesia spinal.

Tehnik CSE:
 Posisi duduk
 Aseptik dan antiseptik antara L2 dan S1
 Identifikasi ruang epidural, kemudian jarum spinal dimasukkan ke dalam lumen
jarum epidural.
 Pastikan ujung jarum spinal melebihi 11-15 mm dari ujung jarum epidural
 Injeksi pada jarum spinal, bupivakain 0,25% 1,75 mg (0,7 ml) + fentanil 15 μg
(0,3 ml) + epinefrin 50 μg (0,05 ml)
 Jika mungkin, aspirasi LCS sampai total 2 ml sebelum injeksi
 Cabut jarum spinal, masukkan kateter epidural 5-6 cm, cabut jarum epidural
 Amankan kateter
 Pindahkan pasien ke posisi lateral
 Berikan test dose
 Dosis pemeliharaan:
 Infus kontinyu: bupivakain 0,04%-0,125% + fentanil 1,5-2 μg/ml, 12-16
ml/jam
 Patient-controlled epidural analgesia (PCEA):
o Kecepatan basal: 6-10 ml/jam
o Dosis bolus 5 ml
o Lockout 10 menit
o Batas tiap jam 30 ml
4. Analgesia Spinal Pada Persalinan
Analgesia spinal dosis tunggal jarang digunakan pada persalinan karena
durasinya yang lebih singkat dibandingkan dengan proses persalinan. Namun,
dosis tunggal ini bermanfaat pada fase akhir persalinan.
Penggunaan kateter intratekal kontinyu menghasilkan onset yang cepat dan
analgesia dapat dititrasi sesuai dengan kondisi persalinan, namun memiliki
komplikasi yang lebih sering seperti terjadinya injuri neurologik permanan atau blok
spinal tinggi.
Dosis pemeliharaan analgesia spinal:
 Bolus intermiten: bupivakain 0,25% 2,5 mg + fentanil 15 μg jika diperlukan
 Infus kontinyu: bupivakain 0,125% + fentanil 2 μg/ml, 0,5-2 ml/jam dan dititrasi
sampai blok setinggi T10

D.MANAJEMEN NYERI KRONIS DEWASA


1. Melakukan penilaian nyeri melalui anamnesis sampai pemeriksaan penunjang
2. Menentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri neuropatik
a. Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem
somatosensorik.
b. Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik.
c. Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, penjalaran nyeri sesuai
dengan persarafannya, baal, kesemutan, atay alodinia.
d. Fibromyalgia: gatal, kaku,dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu,
ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3bulan
b. Nyeri otot
a. Nyeri yang mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah,

29
panggul, dan ekstremitas bawah.
b. Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat
kelemahan, keterbatasan gerak.
c. Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan
manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitif, faktor
pekerjaan)
c. Nyeri inflamasi
a. Gontoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-operasi
b. Karakteristik: pembengkalcan, kemerahan, panas pada tempat nyeri.
Terdapat riwayat cedera / luka.
c. Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotic / antirenatik,
OAINS, kortikosteroid.
d. Nyeri mekanis / kompresi
a. Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
b. Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain;
ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi,
fraktur. Merupakan nyeri nosiseptif
c. Tatalaksana: beberapa kasus memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
3. Tatalaksana nyeri sesuai dengan mekanisme nyeri
4. Melakukan penilaian derajat nyeri: ringan (VAS 1-3), sedang (VAS 4-6) dan berat
(VAS 7-10)
5. Memberikan analgetika sesuai dengan Step-Ladder WHO:

OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan
opioid efektif untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10)

6. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah
7. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian ulang
derajat nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif / nyeri
menjadi sedang sampai berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid kuat
8. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan
9. Rute pemberian obat analgetika adalah sebagai berikut:
 Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik, kortikosteroid,
anestetika lokal, OAINS, opioid
 Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid
 Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan epidural):
Anestetika oral, Opioid

30
 Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan
 Topikal: Anestetika lokal
 Infiltrasi: Anestetika lokal
 Subkutan: Anestetika lokal, Opioid
 Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid
10. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan
11. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi nonfarmakologi
12. Melakukan pelilaian lain:
a. Masalah pekerjaan dan disabilitas
b. Psikologi (apakah pasien mengalami masalah psikiatri seperti depresi, cemas,
riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan, atau gangguan
tidur)
c. Spiritual
d. Faktor yang mempengaruhi dan hambatan
13. Melakukan penilaian talaksana

31
Gambar 10. Algoritme Manajemen Nyeri Kronik

32
Gambar 11. Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik

33
Tabel 13. Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) untuk menilai kesesuaian
aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker
Skor Faktor Penjelasan
1= Kondisi kronik ringan dengan
temuan objektif minimal atau tidak
adanya diagnosis medis yang pasti.
Misalnya: fibromyalgia, migraine,
nyeri punggung tidak spesifik.
2= Kondisi progresif perlahan dengan
nyeri sedang atau kondisi nyeri
Diagnosis sedang menetap dengan temuan
objektif medium. Misalnya: nyeri
punggung dengan perubahan
degeneratif medium, nyeri neuropatik
3= Kondisi lanjut dengan nyeri berat
dan temuan objektif nyata. Misalnya:
penyakit iskemik vaskular berat,
neuropati lanjut, stenosis spinal berat
1= Pemberian terapi minimal dan
pasien terlibat secara minimal dalam
manajemen nyeri
2= Beberapa terapi telah dilakukan
tetapi pasien tidak sepenuhnya
Intractibility
terlibat dalam manajemen nyeri, atau
(keterlibatan)
terdapat hambatan (finansial,
transportasi, penyakit medis)
3= Pasien terlibat sepenuhnya dalam
manajemen nyeri tetapi respons
terapi tidak adekuat
Risiko (R) R= jumlah skor P+K+R+D
1= Disfungsi kepribadian yang berat
atau gangguan jiwa yang
mempengaruhi terapi. Misalnya:
gangguan kepribadian, gangguan
aferk berat
Psikologi 2=Gangguan jiwa/ kepribadian
medium/ sedang. Misalnya: depresi,
gangguan cemas
3=Komunikasi baik. Tidak ada
disfungsi kepribadian atau gangguan
jiwa yang signifikan
1=Penggunaan obat akhir-akhir ini,
alkohol berlebihan, penyalahgunaan
obat
Kesehatan 2=Medikasi untuk mengatasi stress,
atau riwayat remisi psikofarmaka
3=Tidak ada riwayat penggunaan
obat-obatan
Reliabilitas 1=Banyak masalah: penyalahgunaan
obat, bolos kerja/ jadwal kontrol,
komplians buruk
2=Terkadang mengalami kesulitan

34
dalam komplians, tetapi secara
keseluruhan dapat diandalkan
3=Sangat dapat diandalkan
(medikasi, jadwal kontrol, dan terapi)
1=Hidup kacau, dukungan keluarga
minimal, sedikit teman dekat,
kehilangan peran dalam kehidupan
normal
Dukungan sosial 2=Kurangnya hubungan dengan oral
dan kurang berperan dalam sosial
3=Keluarga mendukung, hubungan
dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah,
tidak ada isolasi sosial
1=Fungsi buruk atau pengurangan
nyeri minimal meski dengan
penggunaan dosis obat sedang-tinggi
2=Fungsi meningkat tetapi kurang
Edukasi efisien (tidak menggunakan opioid
dosis sedang-tinggi)
3=Perbaikan nyeri signifikan, fungsi
dan kualitas hidup tercapai dengan
dosis yang stabil
Skor total =D+I+R+E
Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

FARMAKOLOGI OBAT ANALGETIKA

Kombinasi obat-obatan penghilang nyeri sering dipakai untuk memberi rasa nyaman
kepada pasien. Obat-obat penghilang nyeri dapat diklasifikasikan menjadi Obat Anti
Inflamasi Non Steroid (OAINS), opioid, dan obat adjuvant.

1 .OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID (OAINS)


Golongan obat ini merupakan analgetik yang paling sering dipakai. Walau
dikategorikan sebagai analgetik lemah, OAINS sering dipakai untuk mengobati sakit
kepala, nyeri menstruasi, artritis, nyeri ringan sampai menengah dan nyeri kronis.
Obat ini bekerja lebih dominan pada perifer. Pada nyeri berat, baik akut maupun
kronis, obat ini sering dikombinasikan dengan analgetik yang bekerja sentral seperti
opioid.
OAINS merupakan asam organic lemah (pKa 3 - 5,5), bekerja dominan di
perifer, berikatan kuat dengan albumin plasma (95-99%), tidak melewati sawar otak,
dimetabolisme utama di hati dan dikeluarkan diginjal dalam jumlah kecil (<10%).
Parasetamol bukan merupakan obat antiinflamasi tapi dimasukkan dalam kategori
obat ini karena memiliki kemiripan dengan OAINS walaupun merupakan derivate
fenol, non acid, dapat melewati sawar otak, dan bekerja lebih banyak di saraf pusat.
Klasifikasi obat-obat OAINS yaitu:
1. Grup asam karbosilik dan asam enolat (pKa 3,0-5,5)
 Mengandung asam karbosilik

35
1) Salisilat: aspirin, diflunisal, asam salisilat, salsalate, sodium salisilat, kolin
magnesium trisalisilat.
2) Derivat asam propionat: naproxen, ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen,
fenoprofen, carprofen, nabumeton.
3) Derivat asam indoleasetik: indometasin, suldinak
4) Derivat asam fenilasetik: diklofenak, alklofenak, fenclofenak
5) Derivat asam pyroleasetik: ketorolac, tolmetin
6) Derivat asam N-fenilantranilik: asam mefenamat
 Mengandung asam enolik
1) Derivat asam enolik pyrazolon: fenilbutazon, aminopirin, antipirin,
piroxicam
2. Derivat asam benzenesulfonat: celecoxib, rofecoxib, valecoxib
3. Grup fenol (pKa 9 – 10)
Derivat para amino fenol: paracetamol/asetaminofen, fenacetin

OAINS adalah obat penghambat sintesis asam arakhidonat menjadi prostaglandin


dan tromboksan poten melalui jalur cyclooxygenase (COX). Prostaglandin ini tidak
berperan sebagai mediator nyeri yang penting, melainkan efek hiperalgesia dengan
merangsang nosiseptor perifer mengeluarkan berbagai mediator nyeri seperti
somatostatin, bradikinin dan histamin. Jadi, OAINS memperbaiki hiperalgesia atau
nyeri sekunder, terutama nyeri karena peradangan.
Ada dua COX yang diidentifikasi, suatu isoenzim yang dapat disensitasi (COX-2)
dan enzin konstitutif (COX-1). COX-1 dicetuskan oleh banyak jaringan pada kondisi
fisiologis, sedangkan COX-2 dimediasi oleh mediator radang pada kondisi patologis.
COX-2 tidak memiliki efek protektif pada jaringan dan berperan pada invasi tumor,
angiogenesis dan metastasis. Suatu subklas OAINS telah diperkenalkan yaitu selektif
penghambat COX-2 yang dikembangkan untuk mengurangi efek samping OAINS,
terutama efek gastrointestinal. Obat ini tidak mempengaruhi efek samping terhadap
ginjal dan pada pemakaian lama akan meningkatkan resiko infark jantung dan stroke.
OAINS memiliki efek terhadap berikut:
1. Terhadap gastrointestinal : OAINS menghambat prostaglandin sehingga
menghambat produksi mukus protektif di gaster. Pemakaian lama bisa memicu
lesi mukosa dan tukak lambung. Gejala lain berupa gasritis, nyeri perut, mual
muntah, diare, perdarahan usus,
2. Terhadap hemostasis: menyebabkan gangguan trombosit. Waktu perdarahan
memanjang pada pemakaian obat OAINS yang lama. Obat COX-2 tidak
berpengaruh pada disfungsi trombosit. Ada yang meneliti bahwa obat OAINS
meningkatkan jumlah perdarahan pasien yang menjalani operasi.

36
3. Terhadap renal: obat OAINS akan menurunkan GFR, menyebabkan pelepasan
renin dan menganggu fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal bisa berupa retensi
natrium dan air, hiperkalemia, hipertensi, nekrosis papiler, dan sindroma nefrotik.
Obat COX2 juga memiliki efek yang sama terhadap ginjal.
4. Terhadap kardiovaskuler: protektif efek, menghambat lepasnya plug
aterosklerosis.
5. Interaksi obat: dosis walfarin perlu dikurangi, dosis OAINS perlu dikurangi pada
pasien hipoalbuminemia berat. OAINS mengurangi efek obat diuretik (furosemid),
ACE inhibitor.
6. Lain-lain: OAINS kadang menimbulkan reaksi alergi imunologi (rendah),
menghambat perbaikan kartilago tulang rawan, gangguan hati, asma, rinitis,
edema laring, hipotensi bahkan syok.
Obat OAINS digolongkan menjadi dua golongan yaitu obat penghambat COX
nonspesifik (COX1 dan COX2, seperti ibuprofen, naproxen, aspirin, acetaminofen,
ketorolac) dan obat penghambat selektif (COX2 seperti celecoxib, rofecoxib,
valdecoxib, parecoxib). Semua golongan OAINS memiliki efek ceiling dan
peningkatan dosis hanya akan meningkatkan resiko efek samping dan keracunan.
Penggunaan obat profilaksis gatrointestinal diantaranya analog prostaglandin
seperti misoprostol, penghambat sel parietal/ penghasil asam lambung seperti
omeprazole, antagonis histamin seperti ranitidin, simetidin, dapat mengurangi
mengurangi gejala gastrointestinal akibat obat OAINS.

ASPIRIN (Asam Asetil Salisilat)


Obat ini bekerja dengan proses asetilasi enzim COX secara irreversibel
sehingga menurunkan sintesis dan pelepasan prostaglandin. Penghambatan lemah
terhadap sintesis prostaglandin di ginjal, tidak mengganggu jalur leukotrien, dan
menimbulkan sedikit pelepasan histamin dan serotonin. Digunakan sebagai analgetik
pada nyeri ringan, sakit kepala, gangguan otot dan tulang seperti osteoartritis dan
rhematoid arthritis; penurun demam dan obat anti trombosit untuk mencegah infak
jantung dan stroke iskemik.
Obat ini diabsopsi dengan baik lewat usus, absopsi menurun karena makanan
atau asam lambung tinggi. Dihidroksilasi di hati dan dieksresikan di ginjal.
Konsentrasi di plasma meningkat pada pasien dengan gangguan ginjal. Waktu paruh
sekitar 2-3 jam. Efek samping berupa tukak lambung, perdarahan lambung,
memperpanjang waktu perdarahan, stimulasi saraf pusat seperti hiperventilasi,
kejang, tinitus, peningkatan enzim hati, hiperglikemi, memperpanjang waktu
persalinan dan perdarahan sehabis melahirkan, reaksi alergi dan asma. Dosis 75 –
325 mg perhari.

DERIVAT ASAM PROPIONAT (Ibuprofen, Naproksen)


Obat ini memiliki efek analgetik, antipiretik, dan efek anti radang. Digunakan
untuk pengobatan artritis (rhematoid artritis, osteoartritis, artritis gout akut).
Ibuprofen dimetabolisme dihati melalui proses hidroksilasi dan karboksilasi.
Naproksen mengalami dealkilasi oleh sitokrom P450 dan dikeluarkan lewat urin. Efek
samping berupa iritasi lambung, tukak lambung, mangganggu fungsi trombosit,
supressi hemopoesis, dan gangguan fungsi ginjal. Bisa menimbulkan reaksi alergi
terutama riwayat alergi salisilat.

INDOMETASIN
Merupakan derivat metil indol yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan
antiinflamasi. Ini merupakan obat penghambat COX yang paling poten. Digunakan
untuk pengobatan spondilitis ankilosing, artritis, dismenorrea, Efek antiinflamasinya

37
setara dengan kolkisin. Obat ini tidak tepat diberikan untuk mengobati gout artritis
kronis dan hiperurikemia.
Efek samping berupa gangguan gastrointestinal, nyeri kepala bagian depan
yang kuat, menghambat aggregasi trombosit, reaksi alergi, kenaikan enzim hati,
gangguan fungsi ginjal. Bisa juga menimbulkan neutropeni, trombositopeni bahkan
anemia aplastik (jarang terjadi).

DIKLOFENAK
Biasa digunakan untuk mengobati nyeri sendi terutama rhematoid artritis,
osteoartritis dan arthritis gout. Dimetabolisme di hati melalui proses glukoronidase,
hidroksilasi dan konyugasi dengan sulfat dan dieksresikan lewat empedu dan urine.
Eliminasi cepat hingga 90% dalam waktu 3-4 jam. Efek samping sama seperti
golongan OAINS lainnya seperti iritasi lambung, gangguan trombosit, gangguan hati
dan ginjal.

KETOROLAK
Merupakan obat analgesik poten dengan antiinflamasi sedang. Dipakai untuk
analgetik pasca operasi baik tunggal maupun kombinasi dengan opioid. Ketorolac
memperkuat efek antinosiseptif opioid. Ketorolac 30 mg im setara dengan 10 mg
morfin atau 100 mg meperidine. Keunggulan keterolac adalah tidak menimbulkan
depresi pernafasan dan kardiovaskuler, tidak menyebabkan spasme sistem bilier.
Setelah pemberian im, konsentrasi puncak dicapai dalam 45-60 menit, waktu
paruh sekitar 4-5 jam. 99% berikatan dengan protein plasma, dimetabolisme dengan
konyugasi dihati dan dikeluarkan di ginjal. Efek samping berupa menghambat
produksi tromboksan trombosit, menghambat aggregasi platelet yang bersifat
reversibel, bisa memperpanjang masa perdarahan, alergi, bronkospasme pada kasus
alergi, gangguan ginjal bila aliran darah ginjal menurun, iritasi lambung, mual, ngantuk
dan edema perifer.

ASETAMINOFEN (PARASETAMOL)
Digunakan luas sebagai obat penghilang nyeri dan penurun demam terutama
untuk anak-anak. Obat ini bukan lah obat OAINS sejati karena efek antiinflamasi nya
rendah (tidak signifikan). Menyebabkan penghambatan sedang sintesis prostaglandin
di perifer dan penghambatan kuat sintesis prostaglandin di pusat sehingga
menimbulkan efek analgetik dan antipiretik. Obat ini tidak mengganggu aggregasi
trombosit, tidak menimbulkan iritasi lambung.
Diabsopsi dengan baik lewat usus, sedikit berikatan dengan protein plasma.
Obat ini mengalami proses konyugasi dan hidroksilasi di hati dan dieksresikan di
ginjal. Dosis 325-650 mg setiap 4-6 jam oral. Efek samping berupa analgesi
mencetuskan nefropati, nekrosis hati bahkan kematian (4-15 gram), hemolisis (pada
pasien dengan gangguan defisiensi G6PD) dan gangguan ginjal.

SELEKTIF PENGHAMBAT COX-2


Digunakan sebagai analgetik setara dengan obat OAINS lainnya. Obat ini tidak
mengganggu fungsi trombosit, protektif terhadap gastrointestinal, meningkatkan resiko
infak jatung akut dan gangguan serebrovaskuler. Diabsorpsi baik di usus,
dimetabolisme di hati dan berikatan tinggi dengan plasma albumin, bersifat lipofilik,
netral tidak asam, jadi mudah bermigrasi ke jaringan. Di metabolisme oleh sitokrom
P450 di hati (hidroksilasi, karboksilasi, glukoronidase) lalu dieksresi di ginjal.
Digunakan untuk managemen nyeri pasien osteoartritis, rhematoid artritis, gout
akut, dismenore, nyeri muskulosketal, nyeri gigi, nyeri post operasi ortopedi dan
artroskopi. Efek samping berupa iritasi gastrointestinal (menurun hingga 50%),

38
meningkatkan kejadian trombosis (dibanding OAINS regular), meningkatkan resiko
infark akut dan CVA, gangguan fungsi hati (ikterik), alergi, bronkokonstriksi,
mengganggu penyembuhan tulang, dengan obat antikoagulan akan memperpanjang
perdarahan dan tukak lambung.
Celecoxib merupakan obat penghambat COX-2 pertama. Digunakan untuk
mengobati nyeri dan radang yang disebabkan osteoartritis dan rematoid artritis. Dosis
dimulai 200 mg sehari bisa ditingkatkan menjadi 100 mg – 200 mg tiga kali sehari.
Rofecoxib digunakan untuk nyeri akut pasca operasi. Dosis dimulai dengan
loading 50 mg diikuti dengan 25 mg perhari. Dosis yang dianjurkan 12,5 mg – 25 mg
perhari. Dipakai untuk nyeri gigi, osteoartritis, nyeri haid.
Valdecoxib digunakan untuk nyeri post operasi. Biasanya diberikan satu jam
sebelum operasi selesai dengan dosis 40 mg. Bisa juga untuk nyeri osteoarthritis dan
rhematoid artritis (2x10 mg sehari) atau nyeri haid (2x20 mg sehari).
Parecoxib merupakan satu-satunya sediaan penghambat COX-2 parenteral.
Digunakan untuk menghilangkan nyeri post operasi, diberikan satu jam sebelum
operasi selesai (40 mg) dan bisa diulang 40 mg setelah operasi (bila dibutuhkan).
Didalam tubuh paracoxib dubah menjadi valdecoxib.

Tabel 14. Panduan Penggunaan OAINS Pasien Dewasa


Nama Obat Dosis Dosis maksimal / hari
Asam asetat
Diklofenak 50 mg, PO, bid – tid 200 mg
100 MG, PO, qd – bid
Etodolak 200-400 mg, PO, q6-8h 1200 mg
400-1000 mg, PO, qd 1200 mg
Indometasin 25-50 mg, PO / per rectum, tid 200 mg
75 mg, PO, qd-bid 150 mg
Ketorolak 10 mg, PO, q4-6h 40 mg
30 mg, IM / IV, q4-6h (15 mg 120 mg; tidak lebih
jika pasien >65 tahun) dari 5 hari
Sulindac 150-200 mg, PO, bid 400 mg
Tolmetin 200-600 mg, PO, tid 1800 mg
400 mg, PO, tid 1600 mg
Fenamat
Meklofenamat 50-100 mg, PO, q4-6h 400 mg
Asam mefenamat 50-100 mg, PO, tid – qid 400 mg
Naftilalkanon
Nabumetone 1 g, PO, qd – bid 2g
Oxikam
Meloksikam 7,5-15 mg, PO, qd 15 mg
Piroksikam 10-20 mg, PO, qd 20 mg
p-Aminofenol
Asetaminofen 500-1000 mg, PO, IV, q4h 1200-4000 mg
Asam propionat
Fenoprofen 200-600 mg, PO, tid – qid 1200 mg
Flurbiprofen 50-100 mg, PO, bid – tid 300 mg
Ibuprofen 200-800 mg, PO, q4-6h 3200 mg
Ketoprofen 25-75 mg, PO, q6-8h 300 mg

39
Ketoprofen SR 200 mg, PO, qd 200 mg
Naproxen 200-400 mg, PO, q8-12h 1200 mg
Naproxen sodium 275-550 mg, PO, q6-8h 1375 mg
Oksaprozin 600-1800 mg, PO, qd 1800 mg
Salisilat
Aspirin 325-650 mg, PO, q4h 4000 mg
300-600 mg, Per rectal, q4h
Diflunisal 250-500 mg, PO, q8-12h 1500 mg
500-1000 mg, PO, tid 3000 mg
Kolin magnesium 500-1000 mg, PO, q12h 2000 – 3000 mg
triisalisilat
COX-2 Inhibitor
Celecoxib 100-200 mg, PO, bid 400 mg
Rofecoxib 12,5-25 mg, PO, qd 50 mg, tidak lebih 5
hari
Valdecoxib 10-20 mg, qd – bid 40 mg
Parecoxib 40 mg, IM, IV, q6-12h 80 mg

Tabel 15. Obat-Obatan Non-Opioid Pada Pediatri


Obat Kelompok Usia Dosis Keterangan
Paracetamol Prematur Load: 20 mg/kg, 15 Efek antiinflamasi, efek
mg/kg (PO), 20 gastrointestinal dan hematogi
mg/kg (PR) setiap
12 jam
Lebih dari 3 Load: 20-30 mg/kg,
bulan 20 mg/kg (PO)
setiap 8 jam
Load: 20 mg/kg
(PO); 15 mg/kg
setiap 4 jam
40 mg/kg (PR); 20
mg/kg (PR) setiap 6
jam
Diklofenac >1 tahun 1 mg/kg BB (PO), Efek antiinflamasi. Hati-hati
setiap 8 jam pada pasien dengan ganguan
hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal
atau hipertensi
Ibuprofen >6 bulan 10-15 g/kgBB (PO), Efek antiinflamasi. Hati-hati
setiap 6 jam pada pasien dengan ganguan
hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal
atau hipertensi
Ketorolak >6 bulan 0,25-0,5 mg/kg (IM, Efek antiinflamasi. Hati-hati
IV) setiap 6 jam pada pasien dengan ganguan
hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal
atau hipertensi
Naproksen >6 bulan 5-10 mg /kgBB/ Efek antiinflamasi.hati-hati
(PO) setiap 8-12 pada pasien dengan
jam disfungsi renal dosis
maksimal 1gr/hari

40
Celecoxib >1 tahun 1,5-3 mg/kg (PO) Efek antiinflamasi.

2 .OPIOID
Golongan opioid adalah obat utama dalam pengobatan nyeri sedang sampai
berat. Obat ini digunakan sebagai obat utama nyeri akut maupun nyeri kanker,
bahkan untuk nyeri kronis (kontroversi). Obat ini satu-satunya obat tanpa ceiling
effect. Definisi golongan opioid adalah substansi atau bahan yang menyerupai kerja
morfin, baik alamiah maupun sintesis. Sedang pengertian endorfin adalah peptida
opioid endogen, dimana di dalam tubuh berupa endorfin, enkefalin dan dinorfin.
Opioid endogen ini memiliki prekursor biologis inaktif yang menjadi aktif setelah
dipecah oleh enzim. Contoh prekursor seperti proopiomelanocortin, yang merupakan
bagian rangkaian dari hormon ACTH dan MSH, sehingga tergambar hubungan antara
opioid endogen dengan sistem hormon.
Opioid dapat dibedakan menjadi:
1. Berdasarkan bahan:
 Alamiah: morfin, papaverin, kodein, tebain
 Semisintetis: heroin, hidromorfon, hidrokodon, buprenorfin, oksikodon
 Sintetis: turunan morfin (seperti levofanol, butorfanol), turunan difenilpropilamin
(seperti metadon), turunan benzomorfin (seperti pentazosin) dan turunan
fenilpiperidine (seperti meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil)
2. Berdasarkan kerja obat:
 Agonis: obat yang berikatan dan menstimulasi reseptor hingga batas
maksimal. Contoh morfin, kodein, hidromorfon, oksikodon, heroin, meperidine,
methadon, fentanyl.
 Antagonis:obat yang berikatan dengan reseptor namun gagal menstimulasi
nya. Contoh nalokson, naltrekson.
 Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun tidak dapat
menstimulasi reseptor hingga ambang maksimal contoh buprenorfin,
pentazosin.
 Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan berbagai subtipe
reseptor dan menghasilkan stimulasi bubtipe reseptor yang berbeda-beda
(bisa agonis atau antagonis). Contoh nalbufine
Reseptor yang menjadi target obat opioid yaitu:
1. Reseptor µ (mu) : Obat morfin dan sejenis morfin banyak berikatan dengan
reseptor ini dan sebagian besar tersebar di periaquaductal gray matter (otak) dan
substansia gelatinosa (saraf spinalis). Rangsangan pada reseptor ini menimbulkan
efek analgetik, euforia, depresi pernapasan, mual muntah, penurunan gerakan
dan peristaltik gastrointestinal. Reseptor µ ada dua macam yaitu µ1 dan µ2.
Reseptor µ1 bila diduduki akan memberikan manfaat analgetik yang poten tanpa
menimbulkan depresi pernapasan.
2. Reseptor ơ (sigma): aktivasi reseptor ơ menimbulkan analgesi, efek depresi
pernapasan sedikit dibanding reseptor µ, efek disforia dan halusinasi dibanding
euforia.
3. Reseptor δ (delta) dan ķ (kappa): aktivasi ini akan menimbulkan efek analgesia (δ
dan ķ), sedasi dan miosis (ķ)
4. Reseptor menyerupai reseptor opioid (ORL) / orphan reseptor: reseptor ini
memiliki kemiripan dengan reseptor opioid klasik namun tidak memiliki kemiripan
farmakologis. Efek farmakologi yang tampak sangat beragam berupa
antinosisepsi, pronosisepsi/ hiperalgesia, allodinia, bahkan tanpa efek sama
sekali.

41
Opioid bekerja pada presinaptik dan postsinaptik dengan reaksi fosforilasi pada
protein G, menimbulkan gangguan konduksi kanal ion. Hal ini mengakibatkan
penghambatan pelepasan neurotransmitter, termasuk substansi P dan glutamat.
Postsinaptik, mereka menghambat hantaran saraf dengan membuka kanal kalium
sehingga terjadi hiperpolarisasi. Tidak semua mekanisme nosisepsi dimediasi oleh
reseptor opioid. Reseptor NMDA sensitif glutamat berperan dalam transmisi sinyal
pada saraf spinal bagian dorsalis. Norepinefrin, serotonin, dan kanal natrium juga
berperan pada penghantaran nosisepsi. Sebagai contoh metadon, meperidin, dan
tramadol menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin. Metadon, meperidin, dan
opioid lain antagonis jalur NMDA. Meperidin menghambat kanal natrium dan memiliki
efek anestesi lokal.
Efek obat opioid pada tubuh yaitu:
1. Sistem saraf pusat:
1. Secara selektif menghilangkan nyeri atau mengganggu sensasi nyeri (nyeri
masih terasa namun pasien merasa lebih nyaman), kadang menimbulkan
euforia, disforia, tanpa kehilangan kesadaran (dosis rendah). Pada dosis
tinggi bisa terjadi kehilangan kesadaran dan mengantuk.
2. Menekan pusat respirasi pada batang otak sehingga bisa menimbulkan
bradypneu bahkan apneu, menekan respon CO2. Depresi pernapasan
terjadi tergantung pada dosis obat dalam darah, pemakaian obat lain
bersamaan, dan derajat nyeri dan stimulasi. Nalokson dipakai untuk
mengembalikan keadaan ini.
3. Sering menimbulkan mual muntah. Hal ini disebabkan opioid langsung
menstimulasi pusat kemo reseptor (chemoreceptor trigger zone/crtz) yang
berada di medulla keempat area postrema. Efek mual ini diperberat
dengan gerakan karena opioid meningkatkan sensitivitas vestibuler. Untuk
menghilangkan gejala ini bisa dengan mengurangi dosis opioid,
antidopaminergik (droperidol, compazine, metoclopramide), antikolinergik
(scopolamin), atau antagonis serotonin (ondansentron).
4. Opioid menekan pusat batuk sehingga sering menimbulkan batuk. Perlu
diketahui bahwa tidak ada hubungan antara penekanan respirasi dengan
penekanan batuk, dan dapat dikurangi dengan pemberian obat antitusif
seperti dekstrometorphan.
5. Reseptor µ dan ơ akan menyebabkan kontriksi pupil melalui perangsangan
pada nukleus Edinger Westphal (parasimpatis) pada nervus
occulomotorius.
6. Pada percobaan binatang, dosis tinggi opioid dapat menimbulkan kejang.
Hal ini terjadi akibat perangsangan sel piramid hippokampus, terjadi
penghambatan pelepasan GABA pada sinaptik. Pada manusia jarang
terjadi karena dibutuhkan dosis yang sangat tinggi untuk menimbulkan
kejang. Meperidine paling sering menimbulkan kejang dibanding morfin.
Pemberian nalokson dapat membantu dalam pengobatan kejang ini.
7. Opioid juga menurunkan temperatur tubuh dengan cara mengganggu
keseimbangan mekanisme regulasi panas hipothalamus. Gejala nya
adalah menggigil (shivering), dan sering terjadi pada kombinasi anestesi
inhalasi dengan opioid tinggi.
2. Neuroendokrin
Opioid dosis tinggi menghambat pelepasan hormon stressor seperti
glukokortikoid, katekolamin, menekan respon imun, menekan hipotalamus
melepas hormon LH, FSH, ACTH, GH dan F-endorfin. Hal ini menyebabkan
rendahnya kadar kortisol dan testosteron, Pada wanita bisa mengganggu
menstruasi.
3. Gastrointestinal

42
1. Menurunkan motilitas lambung, memperlama masa pengosongan lambung
dan meningkatkan resiko refluk esofagus, memperlambat hantaran isi
lambung ke usus halus. Opioid juga mengurangi sekresi asam lambung,
meningkatkan sekresi somatostatin pankreas.
2. Mengganggu sekresi bilier, pankreas dan usus, dan memperlambat
pencernaan makanan, absopsi air lebih banyak sehingga konsistensi BAB
lebih padat.
3. Gerakan peristaltik usus besar menurun, absorpsi air lebih banyak sehingga
BAB lebih padat, sering menimbulkan sembelit dan sering membutuhkan
pelancar BAB.
4. Opioid sering menimbulkan kontraksi pada spingter oddi sehingga tekanan
duktus biliaris meningkat, namun jarang menimbulkan gejala klinis. Untuk
melawan efek tersebut bisa diberikan nalokson. Atropin dan nitrogliserin
kadang bisa melawan efek tersebut.
4. Kardiovaskuler
Menimbulkan pelepasan histamin dan menimbulkan vasodilatasi pembuluh
darah. Pada dosis tinggi akan mengurangi respon simpatis, dan menyebabkan
efek parasimpatis lebih dominan. Denyut nadi lebih melambat karena stimulasi
pusat vagal, terutama dosis tinggi.
Efek terhadap jantung berupa mengurangi komsumsi oksigen miokard,
mengurangi tekanan LVED dan kerja jantung. Dosis tinggi akan menurunkan
volume darah dan menimbulkan hipotensi.
5. Toleransi, dependensi dan addiksi
Toleransi ditandai dengan adanya peningkatan dosis untuk mendapatkan efek
analgesi yang sama, merupakan suatu bentuk dari takifilaksis. Mengganti jenis
obat opioid dapat mengurangi efek toleransi. Menghentikan opioid harus perlahan
untuk menghindari efek ketergantungan. Addiksi atau kecanduan biasanya
ditandai dengan perubahan perilaku dan keinginan mencari obat tersebut. Efek ini
jarang terjadi pada pengobatan nyeri akut atau nyeri kanker, namun bisa terjadi
pada terapi nyeri kronis bukan keganasan.
6. Lainnya
 Pemberian cepat opioid dapat meningkatkan tonus otot, terutama pada
dinding dada dan abdomen (fentanil, alfentanil, sufentanil). Mekanisme terjadi
nya rigiditas belum jelas namun dapat dihilangkan dengan pemberian
pelemas otot atau antagonis opioid.
 Frekuensi dan tonus otot ureter mungkin akan meningkat, terjadi
penghambatan reflek ingin BAK, peningkatan tonus otot spingter uri, volume
kandung kemih dan retensi urine bisa saja terjadi. Gejala ini akan hilang
seiring dengan waktu.
 Pada dosis terapi terjadi dilatasi pembuluh darah kulit akibat pelepasan
histamin. Pelepasan ini juga berakibat urtika kadang kemerahan. Nalokson
tidak menghilangkan efek histamin namun menghilangkan gatal.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemakaian opioid yaitu


1. Pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal, dengan adanya penurunan fungsi
metabolisme dan penurunan eliminasi di ginjal, bisa terjadi akumulasi metabolit
aktif morfin dan kodein. Akumulasi normeperidine bisa menimbulkan rangsangan
CNS berupa tremor atau kejang.
2. Hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi paru seperti empisema,
kiposkoliosis, sangat gemuk karena opioid bisa mendepressi pernapasan.

43
Pelepasan histamin dapat mencetuskan spasme bronkus dan serangan asma.
Penekanan reflek batuk dapat menyebabkan penimbunan sekret.
3. Pada pasien trauma kepala, depresi pernapasan dapat meningkatkan PCO2 yang
mencetuskan peningkatan tekanan intrakranial. Efek opioid yang dapat
menimbulkan miosis, muntah, dan perubahan status psikis bisa mengacaukan
evaluasi monitor pasien trauma kepala.
4. Interaksi dengan obat-obat sedasi akan semakin menguatkan efek sedasi dan
depressi pernapasan. Interaksi yang berbahaya antara meperidine dengan obat
golongan Monoamine Oksidase Inhibitor (MAOI) karena dapat menyebabkan
reaksi eksitasi yang berat seperti delirium, hiperpireksia dan kejang (akibat
perangsangan berlebihan dari pusat serotonik sampai dengan hambatan
pengambilan serotonin oleh saraf).
Opioid dapat diberikan dalam berbagai cara, bisa dengan oral, parenteral,
transdermal, neuroaksial, rektal dan transmukosa. Manfaat anti nyeri dari opioid
tergantung pada besar nya dosis yang diberikan (hati-hati efek samping yang tidak
diinginkan) dan kombinasi dengan obat analgetik lain.

MORFIN
Morfin merupakan obat standard untuk pembanding obat opioid. Obat ini
banyak dipakai karena baik dan murah. 33% terikat pada plasma protein dan sangat
hidrofilik, kemampuan penetrasi jaringan rendah. Kadar puncak dalam plasma dicapai
dalam waktu singkat pada pemberian intravena, sedang kadar puncak di otak dan
saraf dicapai dalam 15-30 menit, dengan waktu paruh dalam plasma 2-3 jam.
Dimetabolisme di hati menghasilkan metabolit morfin-6-glukoronid dan morfin-3-
glukoronid yang lebih poten dan masa kerja yang lebih lama. Metabolit ini dieksresi di
ginjal sehingga pada kasus gangguan ginjal kerja morfin lebih lama. Berbeda pada
pasien gangguan hati, tidak begitu berdampak pada metabolisme morfin karena
glukoronidase jarang terganggu. Penambahan morfin 1-4 mg untuk epidural, 0,1-0,4
mg untuk intratekal dapat memperpanjang durasi analgesia hingga 12-24 jam.

KODEIN
Kodein kurang poten dibanding morfin, namun potensi tinggi via oral. 10
persen kodein diubah menjadi morfin dan menimbulkan efek analgesia. Efek
utamanya adalah anti batuk, dengan waktu paruh 2-4 jam. Sediaan sering
dikombinasi dengan parasetamol atau aspirin.

MEPERIDINE
Obat ini terikat tinggi dengan plasma protein (sekitar 70%). Dosis parenteral
dan oral hampir sama. Efek analgetik sudah terlihat setelah 15 menit apabila diberikan
secara oral, dan kadar puncak dicapai dalam dua jam. Secara intravena mulai
bekerja setelah 10 menit dan mencapai puncak dalam satu jam dan memiliki durasi
sekitar 2-4 jam. Dosis awal sekitar 50-100 mg.
Obat ini memiliki efek vagolitik, dan satu-satunya obat opioid yang
menimbulkan takikardi. Metabolit inaktif berupa normeperidine dan memiliki waktu
paruh 15-20 jam dan dieliminasi di hati dan ginjal. Efek memanjang pada pasien
dengan gangguan hati, ginjal, pasien berusia lanjut. Efek toksik metabolit nya berupa
tremor, kejang otot, pupil dilatasi, hiperreflek dan kejang umum. Memiliki efek lokal
anestesi ringan dan jarang dipakai untuk penggunaan jangka pendek.

FENTANIL
Merupakan golongan fenilpiperidine, memiliki kekuatan 50-80 kali dari morfin.
Dapat digunakan sebagai analgetik (2-10 ug/kg) atau sebagai anestesi (20-100
ug/kg). Waktu mulai kerja obat sangat cepat, waktu puncak didapat dalam 20-30

44
menit (im) dan beberapa menit (iv). Obat ini dapat diberikan juga secara intratekal,
epidural, membran mukosa, atau kulit. Beberapa derivat fentanyl (sufentanyl,
alfentanyl, remifentanyl) digunakan untuk anestesi bukan untuk managemen nyeri.

TRAMADOL
Obat opioid sintetis bekerja sentral dan bersifat analgetik dengan cara kerja
yang agak berbeda. Memiliki aktivitas yang lemah terhadap reseptor ķ, reseptor ơ dan
δ tapi 20 kali terhadap reseptor µ. Memiliki efek analgetik non opioid melalui
penghambatan pengambilan norepinefrin dan serotonin. Potensi addiksi rendah,
depressi pernapasan juga rendah. Dosis nya 25 – 100 mg setiap 4-6 jam per oral,
dengan dosis maksimum 400 mg per hari. Efek samping berupa kelemahan dan
vertigo.

REMIFENTANIL
Obat opioid sintesis dan agonis µ, dan mempunyai ikatan ester. Karena
memiliki ikatan ester maka obat ini bisa di hidrolisis di darah dan esterase jaringan
non spesifik. Ini merupakan opioid kerja sangat singkat pertama dari golongan opioid.
Obat ini hanya digunakan untuk nyeri akut.

NALOKSON
Merupakan obat antagonis opioid dengan afinitas yang paling kuat terhadap
reseptor µ. Obat ini dipakai untuk melawan efek agonis reseptor µ.
Efek perbaikan pernapasan, sedasi dan penurunan tekanan darah akibat
opioid akan terlihat dalam 1-2 menit setelah pemberian obat. Waktu kerja obat sekitar
1-4 jam dan waktu paruh sekitar 1 jam. Pada pemakaian yang banyak dapat
menimbulkan mual, muntah, takikardi, berkeringat, hipertensi, tremor, kejang dan
henti jantung. Ada juga yang melaporkan terjadi hipotensi, ventrikular takikardi,
fibrilasi dan edema paru. Untuk menghindari hal tersebut disarankan menggunakan
dosis kecil berulang, secara titrasi. Caranya dengan mengencerkan 0,4 mg (per
ampul) nalokson menjadi 10 cc dan diberikan 1-2 cc setiap 1-2 menit. Nalokson harus
diberikan via parenteral karena apabila dengan oral, hampir seluruhnya
dimetabolisme oleh hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik.

45
Tabel 16Sediaan Kombinasi NSAID dan OpioidUntuk Nyeri Moderat
Obat Generik Obat Paten Sediaan (mg)
Asetaminofen / Kodein Tylenol (300/15)
Tylenol (300/30)
Tylenol (300/60)
Asetaminofen / Hidrokodon Hycopap (500/5)
Lorcet HD (500/5)
Lorcet Plus (650/7,5)
Lorcet (650/10)
Lortab (500/2,5)
Lortab Elixir (500/7,5 per 15 ml)
Maxidone (750/10)
Norco (325/5)
(325/7,5)
(325/10)
Vicodin (500/5)
Vicodin ES (750/7,5)
Vicodin HP (660/10)
Zydone (400/5)
(400/7,5)
(400/10)
Asetaminofen/Oksikodon Endocet (325/5)
(325/7,5)
(325/10)
(500/7,5)
(650/10)
Percocet (325/2,5)
(325/5)
(325/7,5)
(325/10)
(500/7,5)
(650/10)
Roxicet (325/5)
(500/5)
Roxicet eliksir (325/5 per 5 ml)
Tylox (500/5)
Asetaminofen/Tramadol Ultracet (325/37,5)
Ibuprofen/Hidrokodon Vicoprofen (200/7,5)
Tramadol Ultram (50)
Tablet di atas diberikan 1-2, PO, tiap 4-6 jam sebanyak yang diinginkan.

Tablet 17. Opioid Oral


Opioid Waktu Onset Durasi Dosis inisial Interval
paruh (jam) (mg) Dosis
(jam)
Kodein 3 0,25-1 3-4 30-60 4
Hidromorfon 2-3 0,3-0,5 2-3 2-4 4
Hidrokodon 1-3 0,5-1 3-6 5-7,5 4-6
Oksikodon 2-3 0,5 3-6 5-10 6
Levorfanol 12-16 1-2 6-8 4 6-8
Metadon 15-30 0,5-1,0 4-6 20 6-8

46
Propoxifen 6-12 1-2 3-6 100 6
Tramadol 6-7 1-2 3-6 50 4-6
Morfin 2-4 0,5-1 4 10 3-4
solusio
Morphine 2-4 1 8-12 15 8-12
controlled-
release (MS
Contin)

Tabel 18. Penggunaan Opioid dalam Anestesi


Obat Penggunaan Rute Dosis
0,05-0,2
Premedikasi IM
mg/kg
0,1-1
Anestesi intraoperatif IV
mg/kg
Morfin
0,05-0,2
IM
mg/kg
Analgesia postoperatif
0,03-0,15
IV
mg/kg
0,5-1
Premedikasi IM
mg/kg
2,5-5
Anestesi intraoperatif IV
mg/kg
Meperidin
0,5-1
IM
mg/kg
Analgesia postoperatif
0,2-0,5
IV
mg/kg
2-150
Anestesi intraoperatif IV
ug/kg
Fentanil
0,5-1,5
Analgesia postoperatif IV
ug/kg
0,25-30
Sufentanil Anestesia intraoperatif IV
ug/kg
Anestesia intraoperatif
8-100
Alfentanil Loading dose IV
ug/kg
0,5-3
Infus maintenans IV
ug/kg/menit
Anestesia intraoperatif

Loading dose IV 1,0 ug/kg


Remifentanil 0,5-20
Infus maintenans IV
ug/kg/menit
Analgesia 0,05-0,3
IV
postoperatif/sedasi ug/kg/menit

Tabel 19. Opioid Pada Pediatri


Obat Dosis Ekuivale Dose IV Dosis Interval Keterangan
IV nsi (mg/kg) PO minimu

47
ekuipot IV:PO (mg/kg) m
en
(mg/kg
)
Kodein 1 1:1,5 NA 0,5-1,0 Tiap 3 Biasanya
jam diberikan
dengan
asetaminofe
n, analgesia
terbatas
pada pasien
defisiensi
isozim P450
2D6
Fentanil 0,001 1:10 0,001- Transm Tiap 1 Rigiditas
0,002 ukosa: jam (IV) dinding
200 ug dada pada
unit dosis
yang >0,005
terkecil mg/kg; juga
yang tersedia
tersedia; dalam
titrasi bentuk
sampai transdermal
dosis (12,5-100
efektif ug ) untuk
nyeri kronik,
neuraksial
Hidromorf 0,02 1:5 0,015- 0,1 Tiap 3 Jarang
on 0,02 jam menyebabk
an pruritus
dan
nausea;
tidak ada
metabolit
aktif; baik
pada pasien
dengan
gagal ginjal;
neuraksial
Meperidin 1,0 1:4 1,0 4 Tiap 3 Hindarii
jam pemberian
MAO
inhibitor;
normoperidi
n
(metabolit)
menyebabk
an kejang;
hanya untuk
jangka
pendek

48
Metadon 0,1 1:2 0,1-0,2 0,1-0,2 Tiap 12 Masa kerja
(load0 jam sangat
panjang
Morfin 0,1 1:3 0,1 0,3 Tiap 3 Histamin
jam release;
beberapa
tersedia
bentuk oral
lepas
lambat
(slow
release)
(MS Contin;
Kadian:
Avinza,
Oramorph
SR);
neuraksial
Oksikodo 0,2 0,1-0,2 Tiap 3 Nausea
ne jam atau
pruritus
ringan;
tersedia
bentuk oral
lepas
lambat
(slow
release)
(OxyContin)
; tersedia
dalam
bentuk
kombinasi
dengan
asetaminofe
n atau
ibuprofen

3 .ANALGETIK TAMBAHAN
Diberikan pada diagnosis tanpa nyeri atau efek analgetiknya merupakan
pertimbangan kedua. Contoh diagnosis tanpa nyeri seperti epilepsi, depresi dan
aritmia jantung. Ciri obat ini adalah tidak meredakan nyeri segera, baru terlihat efek
nya setelah beberapa hari sampai minggu pengobatan. Yang termasuk dalam
golongan obat ini adalah antidepresan trisiklik, penghambat pengambilan kembali
serotonin secara selektive (SSRI), blokade kanal natrium, GABA, benzodiazepin dan
adrenergik.

ANTI KEJANG
Obat anti kejang sudah dipakai untuk managemen nyeri sejak tahun 1960,
segera setelah diperkenalkannya pengobatan epilepsi. Obat ini dipakai untuk

49
gangguan nyeri neuropati seperti nyeri trigeminal atau nyeri seperti disayat atau nyeri
luka bakar.
Obat yang sering dipakai diantarnya karbamazepin, oxcarbamazepin,
topiramate, levetiracetam, pregabalin, zonisamide, gabapentin, dan lamotrigine.
Indikasi penggunaan obat anti epilepsi adalah nyeri trigeminal, glossofaringeal, dan
post herpes; nyeri sekunder akibat kanker, nyeri sentral, nyeri post trauma, porfiria,
neuropati diabetikum, nyeri migrain, nyeri perifer sekunder karena penyakit seperti
DM, HIV, dan keracunan.
Karbamazepin adalah obat yang menghambat uptake norepinefrin, mencegah
perubahan pada saraf, memblokade kanal natrium. Obat ini diserap perlahan via oral,
konsentrasi puncak diperoleh dalam waktu 2-8 jam, waktu paruh 10-20 jam (rata-rata
14 jam), berikatan sedang dengan protein, dimetabolisme di hati, dieksresikan di
ginjal.
Dosis nya dimulai 200 mg per hari (biasanya 800-1200 mg perhari) maksimal
1,5 g perhari. Efek samping adalah sedasi, mual, diplopia, vertigo. Kadang ditemukan
kelainan darah seperti anemia aplastik, agranulositosis, pansitopeni, dan
trombositopenia; kuning (jaundice), oliguri, hipertensi, dan gagal jantung kiri akut.
Gabapentin adalah obat yang meningkatkan total GABA di dalam otak
(dengan mekanisme yang belum jelas) dan berikatan dengan kanal kalsium. Obat ini
sangat sedikit terikat dengan plasma protein (<3%), dieksresikan di ginjal dalam
bentuk yang tidak berubah, waktu paruh 5-7 jam. Dosis dimulai dosis 300 mg 1-3 kali
sehari. Efek samping berupa mengantuk, lemah, ataksia, lesu, konsentrasi terganggu,
gangguan pencernaan, nistagmus. Obat ini sering dipakai sebagai terapi lini pertama
untuk managemen nyeri pada nyeri postherpes, neuropati diabetikum, multipel
sklerosis dan nyeri pinggang.
Pregabalin adalah analog dari GABA. Ini merupakan S-enansiomer dari 3-
isobutil GABA tikus. Cara kerja nya tidak diketahui secara jelas, namun menggantikan
posisi gabapentin pada tempat ikatannya, dan meningkatkan konsentrasi GABA saraf.
90% obat diserap melalui usus, dengan waktu paruh 5,8 jam dan tidak terpengaruh
oleh makanan. Obat tidak diubah dan dikeluarkan utuh melalui ginjal. Dosis obat 150-
600 mg per hari dalam 2-3 dosis terbagi. Toleransi obat ini baik, kadang dapat
menimbulkan mengantuk, gelisah dan sakit kepala. Obat ini biasanya dipakai untuk
neuropati perifer diabetikum, neuralgia post herpes, fibromialgia dan gangguan
kecemasan.

50
OBAT ANESTESI LOKAL
Penggunaan anestesi lokal sebagai tambahan analgesik jarang dipergunakan.
Mekanisme kerja obat ini adalah menstabilkan membran saraf sebagai hasil dari
blokade kanal natrium, terjadi hambatan natrium masuk ke dalam sel saraf (masuknya
natrium secara cepat ke dalam sel saraf diduga bertanggung jawab terhadap inisiasi
dan propagasi depolarisasi sel saraf yang mencetuskan sensasi nyeri).
Lidokain intravena diketahui dapat digunakan untuk mengobati nyeri neuropati,
berupa nyeri seperti diiris; nyeri neuropati karena herpes zoster, nyeri pinggang,
neuropati diabetikum dan nyeri neuropati lainnya. Dosis lidokain 1-2 mg/kgbbb.

KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid merupakan adjuvan analgetik yang penting, baik diberikan
sendiri atau dikombinasikan opioid. Efek yang terlihat berupa pengurangan reaksi
radang, mengurangi eksitabilitas saraf, mengurangi nyeri.
Obat yang sering dipakai berupa prednison (100 mg per hari), metilprednisolon
(100 mg per hari), atau prednisolone (7,5 mg per hari). Pemakaian jangka lama dapat
menimbulkan efek samping berupa osteoporosis, infeksi, tukak lambung, cushing, dan
gejala psikis. Kombinasi obat ini dengan analgetik golongan OAINS tidak
direkomendasikan.

ANTISPASMODIK
Antispasmodik yang sering dipakai untuk mengobati nyeri kronis adalah
baclofen, siklobenzaprine, tizanidine, yang sering digunakan untuk mengobati nyeri
simpatik. Mekanisme kerjanya mirip seperti klonidin.
Baclofen, suatu agonis GABA-B yang digunakan untuk mengobati nyeri
spastik, nyeri neuropatik dan nyeri seperti diiris. Efek samping pemakaian berupa
lesu, lemah, vertigo, hipotensi ortostatik, sakit kepala, hipotoni, gangguan mental, sulit
tidur, kemerahan, sering BAK. Dosis tiga kali sehari 5 mg, maksimal 80 mg per hari.
Siklobenzaprine adalah obat untuk menghilangkan spasme otot setempat
tanpa mengganggu fungsi otot secara keseluruhan. Obat ini tidak efektif untuk
spasme otot karena penyakit saraf pusat. Digunakan untuk menghilangkan spasme
otot akibat dari nyeri, kekakuan, keterbatasan gerak, dan keterbatasan aktivitas. Mirip
dengan antidepresan trisiklik dengan efek samping yang mirip pula (lemah, mulut
kering, pusing, takikardi, hipertensi, sinkope). Obat ini tidak boleh dikombinasikan
dengan penghambat MAO. Kontaindikasi berupa aritmia jantung, hipertiroid, dan
obstruksi urin. Dosis 10 mg tiga kali sehari, atau 20-40 mg perhari dalam dua dosis
terbagi.
Tizanidine bekerja dengan menurunkan transmisi simpatis, mengurangi efek
perangsangan motor neuron. Diabsorpsi hampir sepenuhnya lewat oral, waktu paruh
sekitar 2,5 jam denga durasi 3-5 jam. Digunakan untuk mengurangi nyeri simpatis
seperti nyeri seperti disayat, terbakar, disetrum. Efek samping obat berupa
kelemahan, ngantuk, dan kelelahan. Dosis 2 mg dua kali sehari maksimal 8 mg setiap
6 – 8 jam sekali.

KLONIDIN
Merupakan agonis adrenoreseptor pada batang otak, menurunkan rangsangan
simpatis dari sistem saraf pusat sehingga menurunkan resistensi perifer, denyut nadi
dan tekanan darah. Biasanya diberikan dalam bentuk sediaan oral atau tempel kulit
(didaerah bebas rambut di lengan atas atau dada). Efek samping obat berupa mulut
kering, kelemahan, kelelahan, sakit kepala, letargi dan mengantuk.

51
OBAT TOPIKAL
Gangguan nyeri yang biasa diobati secara topikal berupa polineuropati perifer
dan nyeri kronis. Ada tiga kategori obat yang sering dipakai preparat capsaisin,
anestesi lokal dan OAINS. Lidokain tempel kulit bisa dipakai untuk polineuropati
perifer dan nyeri otot luar dengan hasil yang baik. Diberikan 2-3 kali sehari, dapat
bekerja maksimal 12 jam. Sediaan lain berupa campuran obat-obat dalam bentuk
kream atau salep. Misalnya campuran ketoprofen 100 mg/cc dan bupivakain 50 mg/cc
dan ketamin 50 mg/cc. Kombinasi ini akan memberikan manfaat yang lebih besar,
namun tetap perlu berhati-hati, penggunaan yang terlalu sering dan terlalu luas bisa
menimbulkan efek samping.

52
Tabel 20. Panduan Adjuvant Analgetika
Obat Dosis Dosis maksimal perhari
Antidepresan Trisiklik
Amitriptilin 10-15 mg, PO, qhs 150 mg
Nortriptilin 10-150 mg, PO, qhs 150 mg
Desipramin 10-150 mg, PO, qhs 150 mg
SNRIs
Duloxetine 60 mg/d, PO 60 mg
Venlafaxine 37,5-75 mg, PO, bid – tid 375 mg
Antikonvulsan
Gabapentin 100-1200 mg, PO, tid 3600 mg
(juga tersedia dalam 50
mg/ml eliksir)
Pregabalin 25-200 mg, PO, tid 600 mg
Karbamazepin 200-800 mg, PO, bid 1600 mg
Okskarbazepin 150-600 mg, PO, bid 2400 mg
Lamotrigin 25-200 mg, PO, bid 400 mg
Asam valproat 10-15 mg/kg/d (juga 60 mg/kg/d
tersedia dalam 250 mg/5
ml eliksir)
Topiramat 25-200 mg, PO, bid 400 mg
Sodium Channel Blockers
Lidokain parenteral 1 mg/kg/jam infus Harus monitor kadar
serum; Target 3-5 mg/L
Lidokain 5% patch 1-3 patches q12-24h Not applicable
Mexiletine 150-250 mg, PO, qd – tid 10 mg/kg/hari
Antagonis Reseptor NMDA
Dekstrometorfan 20-90 mg tid (tersedia 120 mg
juga dalam 30 mg/5 ml
atau 10 mg/5 ml eliksir)
Ketamin Mulai dengan 0,1 Titrasi sampai efek yang
mg/kg/jam infus dinginkannya atau apabila
ada efek samping
α2 –agonis
Klonidin 0,1-0,3 mg, PO, tid 2,4 mg
0,1-0,3 mg/24 jam patch
tiap minggu
Kortikosteroid
Deksametason 2-20 mg/hari, PO, SC, IV Bervariasi
(Juga tersedia dalam 4
mg/ml eliksir)
Prednison 5-60 mg/hari, PO Bervariasi

Tabel 21. Analgetika Lain Pada Pediatri


Obat Dosis Interval Dosis Keterangan
Amitriptilin Inisial: 0,2 Sekali setiap Menyebabkan
mg/kg/hari Target: malam; 1-2 jam sedasi, konstipasi,
0,5-1,0 mg/kg/hari sebelum tidur kekeringan pada
mulut, monitor
EKG, mungkin
diperlukan untuk

53
memonitor kadar
plasma
Nortriptilin Lihat amitriptilin Lihat amitriptilin Kurang
menyebabkan
sedasi dan sedikit
efek antikolinergik
Karbamazepin Inisial: 5-10 Dibagi dalam 2 Diskrasia darah;
mg/kg/hari atau 3 dosis harus memonitor
Target: 15-30 kadar plasma
mg/kg/hari
Gabapentin Inisial: 5 Dibagi dalam 3 Dapat
mg/kg/hari dosis menyebabkan
Target: 15-30 sedasi; dapat
mg/kg/hari mempengaruhi
memori
Sodium valproat Inisial: 10 Dibagi dalam 3 Diskrasia darah;
mg/kg/hari dosis hepatotoksik; monitor
kadar plasma,
complete blood cell
count, tes fungsi
hepar

4. BLOK NERVUS PERIFER


Yang termasuk blok nervus perifer untuk analgesia meliputi interkostal,
interpleural, brakial, dan femoral. Pemasangan kateter memungkinkan pemberian
anestetika lokal intermiten atau kontinyu (bupivakain 0,125% atau ropivakain 0,125%).

5 .BLOK NEURAKSIAL
Pemberian anestetika lokal dan atau opioid secara neuraksial merupakan
teknik yang baik untuk nyeri di daerah thoraks, abdominal, pervis, atau ekstremitas.
Tabel 22. Opioid Epidural
Opioid Solubilita Dosi Onset Peak Duras Infusion Dosi PCA
s Lipid s (menit (menit i (jam) Rate s Lockou
Relatif ) ) PCA t
(menit)
Morfin 1 2-5 15-30 60-90 4-24 0,3-0,9 0,2- 30
mg mg/jam 0,3
mg
Fentanil 600 50- 5-10 10-20 1-3 25-50 20- 15
100 ug/jam 30
ug ug
Hidromorfo 1,5 0,75- 10-15 20-30 6-18 0,1-0,2 0,15 30
n 1,5 mg/jam ug
mg
Sufentanil 0,03- 7 20-30 2-3
0,05
mg
Metadon 100 15-20 2-3 2 1 15
ug/k hari ug/kg/ja ug/k
g m g

Tabel 23. Anastesi Lokal Epidural

54
Sediaan Kecepata (ml/kg/jam)
Bupivakain 1/16% (0,0625%) + Fentanil 1 ug/ml 0,1-0,2
Bupivakain 1/32% (0,03125%) + Fentanil 2 ug/ml + 0,1-0,2
Epinefrin ug/ml
Bupivakain 1/32% (0,03125%) + Hidromorfon 5 ug/ml + 0,1-0,2
Epinefrin ug/ml
Bupivakain 1/16% (0,0625%) – 1/8% (0,125%) + Fentanil 0,1-0,2
1-2 ug/ml
Bupivakain 1/32% + Fentanil 2 ug/ml + Epinefrin 2 ug/ml 0,1-0,4
Ropivakain 0,2% + Klonidin 5 ug/ml 0,3-0,5 ug/kg/jam
Bupivakain 1/5% (0,2%) ± Dilaudid 0,01-0,02 mg/ml 4-12 ml/jam
Bupivakain 1/8% (0,125%) ± Dilaudid 0,01-0,02 mg/ml
Bupivakain 1/16% (0,0625%) ± Dilaudid 0,01-0,02 mg/ml

Tabel 24. Analgesia Epidural Untuk Pediatri


Obat Loadi Epidural PCEA Onset Dura Lepask Berikan
ng infusion Doses (meni si an analgeti
doses (ml/kg/ja (ug/kg/dos t0 (jam) Foley ka IV
m) is) (jam) atau PO
Morfin 10 10-30 0,1–0,3 NA 20-30 6-12 4 Segera
ug/ml + ug/kg berikan
Bupivakai + 0,3- bila
n 1/16% 0,5 pasien
ml/kg merasa
(0,25 tidak
%) nyaman
Hidromorf 1-3 0,1-0,3 NA 15 4-6 4 `
on 3 ug/kg
ug/ml + + 0,3-
Bupivakai 0,5
n 1/16 % ml/kg
(0,25
%)
Fentanil 1 0,5-1 0,1–0,2 NA 10 2-3 4
ug/ml + ug/kg (neonatus
Bupivakai + 0,3- ; <6
n 1/16 % 0,5 bulan; tip
at site)
ml/kg
(0,25
%)
Morfin 20 25-50 0,1-0,3 1/6 – ¼ 20 6-12 12
ug/ml + ug/kg kecepatan
Bupivakai + 0,3- perjam
n 1/16 % 0,5
ml/kg
(0,25
%)
Hidromorf 5-10 0,1-0,3 1/6 – ¼ 15 4-6 4
on 5-10 ug/kg kecepatan

55
ug/ml + + 0,3- perjam
Bupivakai 0,5
n 1/16 % ml/kg
(0,25
%)
Fenatnil 2 1-2 0,1-0,3 1/6 – ¼ 10 2-3 0-2
ug/ml + ug/kg kecepatan
Bupivakai + 0,3- perjam
n 1/16 % 0,5
ml/kg
(0,25
%)
Dosis maksimum bupivakain adalah 0,2 mg/kg/jam pada bayi baru lahir (0,4
mg/kg/jam untuk nayi yang lebih besar dan anak-anak).
Dosis epidural thorak sebaiknya dipiliih dosis terkecil dari rentang ini (0,1-0,15
ml/kg/jam maksimal).
Dosis morfin biasanya 3-5 ug/kg/jam; dapat ditingkatkan bila pasien tidak cukup
tersedasi.
Ropivakain dapat menggantikan bupinakain. Pertimbangkan untuk melakukan
loading 0,1 dan 0,2% untuk pemberian infus.
Klonidin dapat ditambahkan. Pertimbangkan menggunakan 1 ug/ml dan
mengurangi dosis opioid 50%. Hindari pada neonatus (apnea).
Untuk pasien dengan nyeri yang tidak terkontrol, pertimbangkan bolus dengan
volume infus 1 jam dan kemudian tingkatkan kecepatannya 20%. Jika ragu
apakan epidural berjalan baik atau tidak lakukan tes dengan 3-5 ml/kg lidokain
(0,5-1%). Hindari melakukan tes dengan bupivakain 0,25% karena dapat
menyebabkan kolaps kardiovaskular.
Analgesia kaudal single-shot dengan bupivakain sangat aman bertahan selama 6-8
jam.

G. IMPLIKASI KEPERAWATAN

56
1. Perawat dituntun untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya
untuk memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang
dirasakan oleh pasien. Untuk itu diperlukan suatu pendiidkan khusus mengenai
nyeri dan penangannya dimana hal ini bias dilakukan dalam masa pendidikan
maupun dalam bentuk pelatihan pelatihan secara terpadu.
2. Mengingat kompleknya aspek nyeri,dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada
pasien maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang
khsuus menangani nyeri baik ditatanan rawat jalan maupun rawat inap.
3. Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait
dengan nyeri dan penangannya sesuai dengan kebutuhan pasien.
4. Pengetahuan dan keterampilan menegni penanganan nyeri baik pendekatan
non farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak
diperlukan dan dikuasai oleh perawat.

H .TIPS MENGATASI NYERI

1. Lakukan pijat massage pada pinggul kanan. Langkah ini bertujuan member
rangsangan menyeluruh pada saraf,urat dan otot pinggul,serta melancarkan
peredaran darah agar seluruh jaringan menjadi lentur.
2. Lakukan pijit massage pada bagian paha belakang.Langkah ini bertujuan
menghentikan atau menghilangkan rasa nyeri.
Itulah kegunaan rasa nyeri,rasa yang tidak enak itu merupakan signal dari
jaringan tubuh untuk minta diperhatikan atau minta penanganan khusus.
Prinsipnya,rasa nyeri bias diobati dengan tiga cara :
a. Menghilangkan penyebabnya

Nyeri akibat infeksi atau bacterial dapat dihilangkan dnegan mengobati atau
melenyapkan factor penyebabnya,yakni dengan pemberian obat guna
membunuh kuman/bakteri

b. Miningkatkan daya tahan tubuh.

Nyeri juga dapat ditekan dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit.ini dapat dilakukan dengan pemberian terapi,misalnya memberikan
vitamin,terapi media,massage dan lain lain.

c. Memotong transimi nyeri.

Pada dasarnya segala bentuk pengobatan terhadap nyeri adalah dengan


melakukan blockade syaraf sensorik.ini dapat dilakukan dengan pemberian
obat-obatan yang sifatnya menekan fungsi nociceptor ( saraf nyeri)
Sedangakan untuk menekan peningkatan aliran pembuluh darah pada saraf
vasomotopr (saraf penggerak) dapat dilakukan dengan pelepasan adrenalin
neurogenik (kepala kelenjar yang member perintah) yang mengakibatkan
getaran ( Vasokonstriksi) dan dapat dibantu dengan depresi emosi ( penurunan
kadar emosi).

57
Menurunkan rasa nyeri dengan massage contohnya nyeri akibat sakit gigi atau
odontalgin yaitu nyeri gigi atau geraham bias dilakukan pemijitan pada urat otot
bahu dan leher,lenturkan dan hancurkan Kristal Kristal pada jaringan tubuh
agar larut dalam peredaran darah.
Rahang atas dan bawah rawat dengan pijat,rangsang urat dan saraf rahang
atas serta bawaah sampai lentur dan rileks sehingga saraf dapat berfungsi
dengan baik.
Ada tiga kelenjar yang ditherapi yaitu kelenjar pituilarian ( memproduksi lender
dan air ludah ),kelenjar tyroid (kelenjar gondok) dan kelenjar adrenalin
( generator syaraf sensorik) karena itu rawatlah tubuh agar tidak terjadi infeksi
dan tahan terhadap gangguan penyakit.

58
BAB IV
PENUTUP

Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistic/


menyeluruh ,hal ini dikarenakan nyeri mempengaruhi keseluruhan aspekkehidupan
manusia.Oelh karena itu ,kita tidak boleh hanya terpaku pada satu penedekatan saja
tetapi juga menggunakan pendekatan-pendekatan yang lain yang mengacu pada
aspek kehidupan manusia yaitu biopsikososialkultural dan spiritual.Pendekatan non
farmakologi dan pendekatan farmakologi tidak akan efektif bila digunakan secara
sendiri sendiri ,keduanya harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangka
mengatasi nyeri pasien.Pasien adalah individu individu yang berbeda yang berespon
secara berbeda terhadap nyeri sehingga penanganannya pun tidak bisa disamakan
antar individu yang satu dengan yang lainnya .Pengkajian yang tepat dan akurat
tentang nyeri snagat diperlukan sebagai upaya untuk mencari solusi yang tepat untuk
menanganinya.untuk itu pengkajian harus selalu dilakukan secraa
berkesinambungan ,sehingga upaya mencari gambaran yang terbaru dari nyeri
dirasakan pasien.

59

Anda mungkin juga menyukai