Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN (PJB) SIANOTIK DAN SERANGAN


SIANOTIK

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan


Stase Ilmu Kesehatan Anak

Periode 5 September 2022 s.d. 19 September 2022

RSUD dr. Soedono Madiun

Disusun Oleh:

Alissa Anna Safira

21712041

Pembimbing:
dr. Meddy Romadhan, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD DR. SOEDONO MADIUN
2022
REFERAT
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN (PJB) SIANOTIK DAN SERANGAN
SIANOTIK

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan

Stase Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr. Soedono Madiun

Oleh:

Alissa Anna Safira

21712041

Telah dipresentasikan tanggal:

Oktober 2022

Dokter Pembimbing DM RSUD Dr. Soedono Madiun

dr. Meddy Romadhan, Sp.A, M.Kes Alissa Anna Safira


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jantung bawaan adalah suatu kelainan jantung yang sudah


diderita sejak bayi baru lahir, dimana hasil dari kegagalan
organogenesis(Varela-Chinchilla et al., 2022). Kelainan dapat berupa adanya
lubang atau defek pada tiap sekat ruang jantung, kelainan katup, pembuluh
darah, dan abnormalitas konfigurasi jantung. Angka kejadian PJB di seluruh
dunia diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus dari 135 juta kelahiran hidup setiap
tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 300.000 kasus dikategorikan PJB berat
yang membutuhkan operasi kompleks agar dapat bertahan hidup. Secara umum
PJB diklasifikasikan menjadi dua yaitu PJB sianotik dan PJB asianotik. PJB
sianotik menyebabkan warna kebiruan (sianosis) akibat kurangnya kadar
oksigen di dalam darah. Sementara PJB asianotik tidak menimbulkan warna
kebiruan pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Penyakit jantung bawaan adalah suatu kelainan jantung yang sudah diderita
sejak bayi baru lahir. Kelainan dapat berupa adanya lubang atau defek pada
tiap sekat ruang jantung, kelainan katup, pembuluh darah, dan abnormalitas
konfigurasi jantung. Kelainan tersebut dapat bersifat tunggal ataupun
kombinasi menjadi PJB kompleks. Adanya kelainan tersebut mengakibat
terjadi gangguan aliran darah di dalam tubuh pasien; misalnya terjadi sumbatan
aliran darah, atau darah mengalir ke jalur yang tidak semestinya. PJB dapat
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu sianotik dan non-sionatik(Puri et al., 2017).
B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian PJB di seluruh dunia diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus
dari 135 juta kelahiran hidup setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar
300.000 kasus dikategorikan PJB berat yang membutuhkan operasi kompleks
agar dapat bertahan hidup. Sementara di Indonesia, angka kejadian mencapai
8 tiap 1000 kelahiran hidup. Jika jumlah penduduk Indonesia 200 juta, dan
angka kelahiran 2%, maka jumlah penderita PJB di Indonesia bertambah 32000
bayi setiap tahun(Amal and Ontoseno, 2017).
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Etiologi PJB masih belum diketahui, dimana banyak kasus PJB bersifat
multifaktorial dan merupakan kombinasi predisposisi genetik dan faktor risiko
lingkungan. Penyebab umumnya ialah faktor genetik dan sindrom tertentu
seperti sindrom Down, Turner, dan lain-lain. Faktor eksogen seperti faktor
risiko lingkungan yaitu penyakit ibu, paparan ibu terhadap racun, obat-obatan,
alcohol, radiasi pengion dan infeksi virus selama kehamilan(Maria, 2022).
D. KLASIFIKASI

Secara umum PJB diklasifikasikan menjadi dua yaitu PJB sianotik dan
PJB asianotik. PJB sianotik menyebabkan warna kebiruan (sianosis) akibat
kurangnya kadar oksigen di dalam darah. Sementara PJB asianotik tidak
menimbulkan warna kebiruan pada anak.
A. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) non sianotik atau tanpa disertai sianosis
akibat darah yang kaya oksigen mengalir ke sirkulasi darah yang miskin
oksigen. Kelainan dapat berupa lubang di sekat jantung sehingga terjadi
pirau (shunt) dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan
penyempitan pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat jantung.
Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari
ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta
tahanan vaskuler paru. Diantaranya yaitu:
1) Ventricular Septal Defect (VSD)
Kelainan ini merupakan bentuk paling sering dari PJB non-sianotik
ditandai dengan adanya defek di antara kedua ventrikel jantung.
Adanya pirau dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan, menyebabkan
terdengarnya bising pansistolik di ICS III-IV PSL kiri, menyebar
sepanjang tepi sternum. Pada VSD yang besar dapat terdengar bising
diastolik di daerah apeks (diastolic flow murmur) akibat stenosis relatif
katup mitral. Hal ini disebabkan oleh beban volume yang berlebihan
pada atrium kiri(Bielefeld et al., 2018).
2) Patent Ductus Arteriosus (PDA)
kelainan jantung ini ialah terbukanya duktus arteriosus, yang
menghubungkan arteri pulmonalis dan aorta desenden setelah bayi
lahir. Secara fisiologis duktus pada bayi aterm akan menutup spontan
tidak lebih dari 15 jam setelah lahir, karena satu dan lain hal penutupan
mengalami keterlambatan sampai beberapa hari. Terbukanya duktus
secara persisten pada bayi aterm disebabkan oleh kelainan struktur pada
duktus tersebut. Pada bayi preterm, duktus seringkali masih terbuka.
Semakin preterm bayi tersebut, maka semakin besar kemungkinannya
masih terbuka. Hal ini disebabkan karena fungsi paru yang belum
sempurna(Bielefeld et al., 2018).
3) Atrial Septal Defect (ASD)
Gangguan septum atau sekat antara rongga atrium kanan dan kiri.
Septum tersebut tidak menutup secara sempurna dan membuat aliran
darah atrium kiri dan kanan bercampur. Patologi dapat berupa defek
Sinus venosus yang terletak di atas foramen ovale dekat dengan vena
cava superior, sering disertai Partial Anomalous Pulmonary Venous
Return (PAPVR). Selain itu pada osteum sekundum, dimana defek
terletak persis di foramen ovale; Osteum primum tepat di bawah
foramen ovale, disertai celah katup mitral; Defek Septum Atrio
Ventrikularis (DSAV, Common A-V canal, Endocardial cushion defect)
di bawah foramen ovale, disertai defek septum ventrikel dan celah pada
katup mitral maupun trikuspid. Selain itu dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu ASD sederhana (Osteum sekundum dan sinus
venosus.) dan DSA kompleks (Osteum primum dan DSAV)(Bellsham-
Revell and Burch, 2014). Adanya pirau dari atrium kiri ke kanan
menyebabkan beban volume atrium dan ventrikel kenan, sehingga
memperpanjang waktu ejeksi ventrikel kanan. Oleh sebab itu, dapat
terdengar suara splitting S2 atau wide fixed splitting. Selain itu, dapat
terdengar mur-mur diastole akibat terjadinya stenosis pulmonal
relatif(Bielefeld et al., 2018).
4) Aorta Stenosis (AS)
Gangguan pada pembukaan katup aorta jantung yang tidak terbuka
secara penuh atau menyempit, sehingga membuat aliran darah dari
jantung tidak lancar(Bielefeld et al., 2018).
5) Coarctatio Aorta (CoA)
Ialah penyempitan aorta, dimana dengan penyempitan tersebut akan
mengganggu distribusi oksigen ke seluruh tubuh(Bielefeld et al., 2018).
6) Pulmonal Stenosis (PS)
Penyempitan katup atau arteri paruparu yang mengakibatkan
terhambatnya aliran darah dari jantung ke paru-paru. Kondisi ini
memaksa otot jantung bekerja lebih keras untuk memompa lebih
banyak darah. Seiring waktu, hal ini dapat menyebabkan penebalan otot
jantung, yang meningkatkan risiko pasien gagal jantung(Bielefeld et
al., 2018).
B. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Berikut ialah beberapa kelainan PJB yang menyebabkan klinis sianosis
diantarany adalah:
1) Tetralogy of Fallot (ToF)
Merupakan bentuk PJB sianotik yang paling umum, dimana defek
primer berupa deviasi anterior septum infundibular. Konsekuensi
deviasi ini adalah stenosis pulmoner, defek septum ventrikel (VSD),
overriding aorta, dan hipertrofi ventrikuler kanan(RVH(Puri et al.,
2017)). Pada ToF dapat ditemukan mur-mur sistolik pada area
pulmonal, dimana menandakan adanya stenosis pulmonal. Mur-mur
terdengar memendek akibat menurunnya aliran darah pulmonal.
Indikasi klinis dari ToF adalah saturasi oksigen dan ada atau tidaknya
hypercyanotic spell atau Tet Spell. Tingginya saturasi oksigen
mendandakan semakin rendahnya obstruksi aliran darah pada ventrikel
kanan.
2) Transposisi arteri besar (d-TGA)
Transposisi arteri besar merupakan bentuk kedua paling umum dari PJB
sianotik, dimana terjadi perubahan posisi 2 arteri besar yaitu aorta dan
arteri pulmonal. Aorta berada pada ventrikel kanan sedangkan arteri
pulmonal pada ventrikel kiri(Puri et al., 2017). Oleh karenanya,
sirkulasi sistemik dan pulmonal menjadi parallel atau terpisah jika
dengan septum ventrikel yang intak. Klinis dari sianosis akan sangat
jelas terlihat segera setelah lahir. Pada kondisi ini pencampuran darah
hanya melalui foramen ovale (PFO) dan ductus arteriosus yang paten
(PDA). Jika tidak cukup darah yang teroksigenasi mengalir dari atrium
kiri ke atrium kanan, lalu aorta dan kemudian ke sirkulasi sistemik,
maka Prostaglandin E-1 (PGE-1) akan menurunkan curah jantung yang
akan memperburuk oksigenasi dengan cara menginduksi edema
pulmo(Maria, 2022).
Pada kondisi ini, pasien akan memperlihatkan sianosis pada 12 jam
pertama setelah lahir dan tidak berespon terhadap terapi oksigen dan
ventilasi mekanik. Adanya VSD akan memperlambat perburukan
pasien. Manajemen dari kondisi ini memerlukan arterial switch
procedure. Pemberian terapi suportif seperti oksigen, ventilasi
mekanik, dan inisiasi pemberian PGE-1 diperlukan untuk mejada
ductus arteriosus tetap terbuka, sehinga darah dari aorta tetap menuju
ke sirlukasi pulmonal. Hal ini memungkinkan darah akan menuju
kembali ke atrium kiri dan bercampur dengan darah dari atrium kanan
melalui PFO. Beberapa pasien juga memerlukan prosedur berupa
balloon atrial septostomy untuk membuat sekat antar atrium (ASD)
sembari menunggu operasi(Puri et al., 2017).
3) Trunkus arteriosus
Kelainan ini berupa hanya ada satu arteri besar, dimana karena tidak
sempurnanya pembentukan septum aorticopulmonal, sehingga tidak
terpisahnya aorta dan arteri pulmonal. Kelainan ini biasanya idsertai
dengan VSD, dan terjadi delesi pada kromosom 22q11.2 atau sindrom
DiGeorge or velocardiofacal)(Puri et al., 2017). Adanya oversirkulasi
pada pulmonal dapat diatasi dengan pemberian diuresis dan restriksi
carian. Anak dengan kelainan ini dilakukan pembedahan pada 2
minggu setelah lahir(Maria, 2022).
4) Total Anomalous Pulmonary Venous Return (TAPVR)
Kelainan ini berupa darah dari vena pulmonal tidak mengalir ke atrium
kiri, melainkan ke atrium kanan akibat tidak adanya hubungan antara
vena pulmonal dengan atrium kiri, sehingga darah mengalir melalui
vena innominate untuk menuju ke atrium kanan(Mai, 2022).

5) Atresia Trikuspid
Kelainan ini terjadi akibat kegagalan total agenesis katup tricuspid,
sehingga tidak ada hubungan antara atrium dan ventrikel kanan. Pada
kelainan ini biasanya juga disertai ventrikel kanan yang tidak
berkembang/hipoplastik, ASD dan VSD. Akibatnya, terjadi pirau
absolut kanan ke kiri karena tidak ada aliran darah ke depan melintasi
katup trikuspid. Selain itu, terjadi percampuran darah vena sistemik dan
darah vena pulmonalis di atrium kiri. Jumlah darah jenuh oksigen yang
mencapai ventrikel kiri, aorta, dan oleh karena itu, bagian tubuh lainnya
bergantung pada volume relatif aliran balik vena pulmonal dan
sistemik.
Selain itu , berdasarkan tingkat kegawatan dari kondisi klinis, PJB
dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, diantaranya yaitu:
1) PJB Kritis
PJB kritis merupakan bentuk PJB yang memerlukan intervensi
segera dalam 1 tahun kehidupan. Sirkulasi tergantung duktus arteriosus
merupakan bentuk PJB kritis. Terdapat dua tipe sirkulasi tergantung
duktus, yaitu sirkulasi sistemik tergantung duktus (lesi obstruktif jantung
kiri) dan sirkulasi pulmonal tergantung duktus (lesi obstruktif jantung
kanan). Kelainan tersebut memerlukan patensi duktus arteriosus untuk
menjaga perfusi paru atau seluruh tubuh tetap terpenuhi. Secara alami,
duktus arteriosus akan menutup secara fungsional dalam 10 – 15 jam
setelah kelahiran melalui konstriksi otot polos lapisan medial. Penutupan
anatomis duktus arteriosus akan terjadi setelah usia 2 – 3 minggu dengan
perubahan permanen lapisan endotel dan subintima menjadi ligamentum
arteriosum. Penutupan duktus arteriosus pada PJB dengan sirkulasi
sistemik tergantung duktus akan menyebabkan kolaps sirkulasi dan gagal
jantung berat. Sedangkan pada PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung
duktus akan menyebabkan kolaps sirkulasi dan sianosis berat(Amal and
Ontoseno, 2017).
2) PJB Klinis Signifikan
PJB kategori ini merupakan malformasi struktural jantung yang
menimbulkan gangguan fungsi yang bermakna, tetapi kemungkinan
perburukan tidak terlalu besar. Kelainan yang termasuk dalam kategori PJB
klinis signifikan adalah ventricular septal defect (VSD)(Amal and
Ontoseno, 2017).
3) PJB Klinis Non-Signifikan
PJB yang termasuk dalam kategori ini adalah malformasi jantung
secara anatomis tetapi tidak signifikan secara fungsional dan klinis.
Kelainan tersebut antara lain VSD atau ASD kecil, dan stenosis pulmonal
ringan, yang hanya terdeteksi dengan ekokardiografi dan sering tidak
memerlukan terapi khusus(Amal and Ontoseno, 2017).

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis dari PJB bergantung dari kelainan anatomisnya, diantaranya
adalah:
1. Sianosis
Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah,
dimana terlihat jelas jika saturasi oksigen turun di bawah 80% atau
konsentrasi hemoglobin ter-deoksigenasi sebesar 5 g/dL atau lebih..
Sianosis akibat kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada
sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Ketika
bayi kedinginan, terjadi vasokonstriksi sehingga berkurangnya darah yang
mengalir ke kulit, terutama pada tangan dan kaki, mengakibatkan
munculnya kebiruan pada kulit yang disebabkan oleh penurunan aliran
darah vena. Fenomena ini dikenal sebagai akrosianosis, dimana terjadi
bahkan ketika saturasi arteri normal (mendekati 100%), dan tidak
menunjukkan adanya penyakit jantung sianotik(Bielefeld et al., 2018).
Sianosis sentral yang tidak membaik dengan pemberian oksigen
100% mengindikasikan adanya PJB sianotik. Sianosis sentral terjadi pada
PJB kritis dengan aliran darah pulmonal berkurang dan bila terjadi
percampuran darah arteri-vena. Tes hiperoksia dengan pemberian oksigen
100% dapat dilakukan jika terdapat fasilitas analisis gas darah. Jika kadar
PaO2 <100 mmHg menunjukkan adanya PJB sianotik, jika PaO2 > 220
mmHg menunjukkan adanya penyakit pernapasan. Sianosis diferensial
yaitu sianosis pada tubuh bagian bawah tetapi tidak pada tubuh bagian atas
merupakan gejala PJB kritis seperti pada coarctatio aorta atau interrupted
aortic arch(Willim et al., 2020).
Kompensasi dari sianosis akut pada jaringan perifer dapat berupa
meningkatnya curah jantung dan kadar hemoglobin. Pada sianosis yang
persisten jangka panjang menyebabkan kondisi polisitemia hingga beresiko
terjadi tromboemboli dan stroke(Bielefeld et al., 2018).
Pada keadaan biru yang menjadi semakin biru atau yang disebut
hypercyanotic spell/ Tet Spells, pasien dapat disertai dengan gelisah, sesak
napas, suara mur-mur menurun, kemudian bisa diikuti dengan kejadian
kejang atau penurunan kesadaran. Pada anak dengan PJB sianotik yang
tidak terdiagnosis pada masa prenatal, terutama untuk ToF dapat
menunjukkan kondisi hypercyanotic spell, dimana muncul saat periode
agitasi, menangis, demam, dehidrasi, asidosis, dan kondisi lainnya(Amal
and Ontoseno, 2017).
2. Bising jantung
Bising jantung dapat bersifat fisiologis atau patologis. Terdapat 6 tanda
murmur patologis murmur pansistolik, intensitas 3/6 atau lebih, punctum
maximum di parasternal kiri atas, klik midsistolik awal, dan suara jantung
kedua abnormal. Murmur yang terdengar setelah lahir umumnya
menandakan obstruksi pada jalan keluar ventrikel, hal ini dapat ditemukan
pada TOF atau stenosis pulmonal kritikal dengan septum ventrikel intak
(critical PS/IVS)(Amal and Ontoseno, 2017).
3. Dispnea dan toleransi latihan
Dispnea dapat terjadi pada PJB kritis dengan gagal jantung kongestif akibat
obstruksi pada sisi kiri jantung dan bila terjadi peningkatan aliran darah
pulmonal. Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan
berkurang. Gangguan toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua
dengan membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien cepat
lelah, dispnea dengan napas cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa,
atau sesak napas dalam keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditemukaan
minum asi dalam jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap,
dan berkeringat banyak. Pada anak yang lebih besar terjadi penurunan
kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Selain itu, pada kasus
ToF anak lebih sering berjongkok(Amal and Ontoseno, 2017).
4. Gangguan pertumbuhan
Ganggung pertumbuhan timbul akibat adanya hipoksemia kronis pada PJB
sianotik, sedangkan pada PJB nonsianotik disebabkan karena berkurangnya
curah jantung akibat pirau kiri ke kanan. Selain itu, gangguan pertumbuhan
ini juga dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien PJB(Amal
and Ontoseno, 2017).
F. DIAGNOSIS
Deteksi dini bayi dengan PJB dapat penggunakan pemeriksaan pulse
oxymetri yang sederhana. Jika didapatkan bayi dengan SpO2 ≤90% atau
terdapat selisih ≥3%, maka patut dicurigai adanya PJB dan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut dengan ekokardiografi(Amal and Ontoseno,
2017).
Pada PJB kritis, diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti foto x-ray toraks dan
elektrokardiografi, tanpa menunda proses tatalaksana serta rujukan ke
fasilitas yang lebih memadai. Pada foto x-ray thorax dapat dievaluasi
adanya kardiomegali, bentuk jantung khas, corakan paru meningkat
(plethora) atau menurun (oligemia). Plethora tampak pada PJB dengan
aliran pulmonal meningkat, seperti trunkus arteriosus atau TAPVR.
Oligemia terdapat pada PJB dengan aliran pulmonal menurun, seperti ToF
atau atresia pulmonal. Bentuk jantung khas seperti sepatu boot pada ToF,
sedangkan bentuk “egg on string” atau bulat terlihat pada TGA(Willim et
al., 2020).
Pada EKG dapar menunjukkan kelainan berupa p pulmonal yang
menunjukkan anomali ebstein, dan deviasi aksis ke kiri menunjukkan
atresia tricuspid dan defek septum atrioventrikuler (AVSD). Selain itu,
deviasi aksis ke kanan disertai RVH merupakan klinis dari ToF(Willim et
al., 2020).
G. TATALAKSANA
Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan ialah mengoptimalkan
hemodinamik dan respirasi. Suhu lingkungan dipertahankan hangat,
misalnya menempatkan neonatus dalam inkubator, untuk mengurangi
kebutuhan oksigen. Mengatur posisi kepala ekstensi untuk mempertahankan
patensi jalan napas, bila perlu dilakukan intubasi endotrakeal dini dan
ventilasi mekanik(Willim et al., 2020).
Pemberian oksigen dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
penutupan duktus arteriosus, dengan mempertahankan saturasi oksigen
antara 75-85%. Status perfusi yang buruk menandakan syok atau kolaps
sirkulasi. Akses vena harus segera dilakukan untuk pemberikan cairan
parenteral dan mengatasi gangguan asam basa. Pada konsidi asidosis
metabolik dapat dikoreksi dengan 4,2% natrium bikarbonat (2
mEq/kg/dosis) secara IV sangat lambat, setara 2-4 mL/kg/ dosis. Selain itu,
infus prostaglandin E (PGE) diberikan segera untuk membuka dan
mempertahankan patensi duktus arteriosus(Amal and Ontoseno, 2017).
Terbukanya duktus arteriosus akan meningkatkan curah jantung dan
memperbaiki keadaan asidosis metabolik akibat hipoksemia berat atau
kolaps sirkulasi. Dosis awal PGE 5 nanogram/kg/menit, dimana jika tidak
tersedia preparat injeksi, PGE oral dapat diberikan 10 – 65
microgram/kg/dosis tiap 2 jam. Efek samping utama apnea harus diawasi
secara ketat. Kadar hemoglobin harus dipertahankan > 15 g/dL pada
neonatus(Willim et al., 2020).
Saat terjadi serangan sianotik atau kondisi Tet Spells, langkah
pertama yang dilakukan ialah menenangkan anak, dimana dapat diberikan
sedasi jika diperlukan. Anak diposisikan knee-to-chest untuk meningkatkan
resistensi vaskular sistemik dan meingkatkan aliran darah balik ke vena.
Selanjutnya dapat diberikan suplementasi okisigen 100% melalui non re-
breathing mask dan sediakan akses intravena sekalogus untuk dilakukan
pengecekan analisis gas darah. Jika pasien stabil, dapat diberikan morphine
oral 0.1 – 0.2 mg/kg atau bolus. dimana morfin diberikan untuk menurunkan
nyeri dan gelisah, menurunkan denyut jantung dan frekuensi nafas.
Selanjutnya diberikan NaCL 0.9% 20 ml/kg dalam aliquot 10
ml/kg(Stimson and Magee, 2018), dimana dapat juga diberikan dextrose NS
10 ml/kg(Gawalkar, 2021). Jika tidak berespon dapat diberikan propranolol
0.1 mg/kg bolus iv untuk menurunkan denyut jantung, selian itu jika terjadi
perburukan dapat juga diberikan bolus phenylephrine 0.005-0.01 mg/kg
untuk meningatkan resitensi vaskular sistemik serta menurunkan pirau
kanan ke kiri(Puri et al., 2017).
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit jantung bawaan adalah suatu kelainan jantung yang sudah diderita
sejak bayi baru lahir. Secara umum PJB diklasifikasikan menjadi dua yaitu PJB
sianotik dan PJB asianotik. PJB sianotik menyebabkan warna kebiruan (sianosis)
akibat kurangnya kadar oksigen di dalam darah seperti pada ToF, TGA, trunkus
arteriosus, TAPVR, dan atresia trikuspid. Sementara PJB asianotik tidak
menimbulkan warna kebiruan pada anak seperti pada VSD, ASD, PDA, dan
sebagainya. Serangan sianotik pada anak yang tidak terdiagnosis saat prenatal
memerlukan manajemen yang tepat dan segera, seperti menenangkan pasien,
memposisikan anak knee-to-chest, oksigenasi, pemberian terapi intravena berupa
morphine, propranolol, dan jika perburukan dapat diberikan phenylephrine.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, I., Ontoseno, T., 2017. Tatalaksana dan Rujukan Awal Penyakit Jantung
Bawaan Kritis. Cdk 44, 667–669.
Bellsham-Revell, H., Burch, M., 2014. Congenital heart disease in infancy and
childhood. Med. (United Kingdom) 42, 650–655.
https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2014.08.004
Bielefeld, M.R., Morales, J.M., Clarke, D.R., 2018. Cyanotic congenital heart
disease, Surgical Decision Making. Elsevier Inc.
https://doi.org/10.1016/B978-0-7216-0290-5.50033-3
Gawalkar, A.A., 2021. Management of Tet Spell –an updated Review. Curr. Res.
Emerg. Med. 1, 1–2. https://doi.org/10.54026/crem/1002
Mai, C., 2022. Facts about Total Anomalous Pulmonary Venous Return or TAPVR
[WWW Document]. CDC. URL
https://www.cdc.gov/ncbddd/heartdefects/tapvr.html#:~:text=Total
anomalous pulmonary venous return (TAPVR) is a birth defect,mixes with
oxygen-poor blood.
Maria, M., 2022. Cyanotic Heart Disease [WWW Document]. NCBI. URL
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK500001/
Puri, K., Allen, H.D., Qureshi, A.M., 2017. Congenital heart disease. Pediatr. Rev.
38, 471–484. https://doi.org/10.1542/pir.2017-0032
Stimson, K., Magee, A., 2018. Medical management of Hypercyanotic spells in
neonates , infants with Tetralogy of Fallot. Paediatr. Educ. Innov. Res. Netw.
1–6.
Varela-Chinchilla, C.D., Sánchez-Mejía, D.E., Trinidad-Calderón, P.A., 2022.
Congenital Heart Disease: The State-of-the-Art on its Pharmacological
Therapeutics. J. Cardiovasc. Dev. Dis. 9. https://doi.org/10.3390/jcdd9070201
Willim, H.A., Cristianto, Alice Inda Supit, 2020. Critical Congenital Heart Disease
in Newborn: Early Detection, Diagnosis, and Management. Biosci. Med. J.
Biomed. Transl. Res. 5, 107–116. https://doi.org/10.32539/bsm.v5i1.180

Anda mungkin juga menyukai