Anda di halaman 1dari 101

DEMOKRASI YANG TERNODAI

Membahas tentang rusaknya sistem demokrasi Indonesia yang tidak


mementingkan peran rakyat

Ahmad Faizal Al-Afghani, Annisa Febrianti, Antya Narda, Bilal Anugrah


Ditama, Fadhil Ramadhan, Faik Kotussyiah, Fani Alika Fatma Hidayat,
Feby Octaviani, Hanifa Ika Febrianti

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2
TENTANG PENULIS
Penulis buku berjudul “Demokrasi yang Ternodai” ini terdiri dari 9
mahasiswa UIN SunanGunung Djati Bandung yang tergabung dalam Kelompok
2 Mata Kuliah Sistem Politik Indonesia, kelas Humas 4A, diantaranya adalah :

Ahmad Faizal Annisa Febrianti Antya Narda


1204060004 1204060014 1204060015

Bilal Anugrah Ditama Fadhil Ramadhan Faik Kotussyaiah


1204060018 1204060027 1204060029

Fani Alika fatma H Feby Octaviani Hanifa Ika Febrianti


1204060030 1204060035 1204060043 3
LATAR BELAKANG

Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap


rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya atau
pemerintahan rakyat. Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Inti dari demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi merupakan satu dari beberapa faham yang dianut oleh
banyak negara, dari mulai negara berkembang hingga negara maju. Namun
tergantung dari Negara-negara tersebut apakah cocok menganut paham
demokrasi sebagai dasar negara mereka masing-masing atau tidak. Melihat
pada faktanya Indonesia saat ini, setelah merdeka pada 17 Agustus 1945,
Presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta telah
mendeklarasikan Indonesia merdeka sebagai sebuah negara yang
demokratis karena pada kalimat terakhirnya dikatakan dalam Teks
Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah “Atas nama bangsa Indonesia”, bila
dikaitkan dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud adalah seluruh
rakyat Indonesia. Jadi kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang
diperuntukkan bagi rakyat Indonesia sendiri.

Melihat perjalanan panjang sistem demokrasi yang sudah berjalan


puluhan tahun dinegara Indonesia, kita sebagai rakyat tentu bisa melihat
sekaligus merasakan bagaimana proses berjalanya sistem demokrasi ini,
salah satunya bagaimana berjalannya sistem pemilu, terbentuknya undang
undang dasar dari hasil musyawarah para wakil rakyat dan lain sebagainya.

Namun pada faktanya di Indonesia sendiri fungsi demokrasi malah


tidak berjalan sesuai dengan fungsinya, muncul berbagai macam masalah
seperti absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya
kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena
masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu,
rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi
manusia dimasa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media,

4
kebebasan berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi
terhadap kelompok minoritas.
Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena
hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media
dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya
memilih untuk diam demi menghindari "stigma" berpihak kepada
kelompok intoleran yang anti-Pancasila dan anti-demokrasi.

Sedikit-banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam


yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara
mengkritik pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti-pemerintah.
Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi
yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan.

5
DAFTAR ISI

TENTANG PENULIS .......................................................................................... 3


LATAR BELAKANG............................................................................................ 4
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 6
DEFINISI DEMOKRASI ...................................................................................... 7
A. Negara dan Demokrasi ........................................................................ 7
B. Konsep-konsep Demokrasi ................................................................ 10
C. Pandangan Demokrasi Menurut Para ahli ......................................... 12
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DUNIA ................................... 15
A. Sejarah Demokrasi Dunia .................................................................. 15
B. Perkembangan Demokrasi di Dunia ................................................... 21
SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI REPUBLIK INDONESIA .................... 24
A. Sejarah Sistem Demokrasi di Indonesia ............................................. 24
B. Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia ................................. 31
1. Era perjuangan Kemerdekaan (1945-1949) .................................... 36
2. Era Demokrasi Parlementer (1950-1959) ....................................... 39
3. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) ........................................... 44
4. Demokrasi Era Orde Baru (1966-1998) ........................................... 52
5. Era Reformasi (1999-sekarang) ...................................................... 60
DINAMIKA DEMOKRASI YANG TERJADI DI INDONESIA ................................. 76
A. Problematika Demokrasi di Indonesia ............................................... 76
B. Solusi Masalah Demokrasi di Indonesia dalam Berbagai Perspektif
84
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 96

6
DEFINISI DEMOKRASI
A. Negara dan Demokrasi
Negara merupakaan salah satu bentuk organisasi yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Pada prinsipnya setiaap warga mayaraka menjadi
anggota dari suatu negara dan harus tunduk pada kekuasaan negara.
Melalui kehidupan bernegara dengan pemerintah yang ada di dalamnya,
masarakat ingin mewujutkan tujuan tujuan tertentu sepertti teerwujudnya
kertentaraman, ketertiban, dan kesejahteraan masyrakat. Agar pemerintah
suatu negara memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan masayakat
tidak bertindak seenaknya, maka ada system aturan tersebut
menggambarakan suatu hierakhi atau pertindakan dalam aturan yang
paliing tinggi tingkatanya sampai pada aturan yng paling rendah. Negara
merupakan lembaga tertinggi dalam masyarakat atau bangsa yang
merupakan wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dan
keadilan secara utuh. Sebuah Negara harus memiliki unsur pokok yaitu
wilayah, rakyat, pemerintahan yang berdaulat baik keluar maupun
kedalam, kemudian mendapat pengkuan internasional.
Di dalam sebuah Negara juga terdapat sebuah pemerintahan
(Government) dan Tata pemerintahan (Governance) yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya bisa dikatakan jika menciptakan Tata
Pemerintahan (Governance) yang baik, maka pemerintah (Government)
yang baik juga akan tercipta. Dan di dalam suatu Negara juga terdapat
sebuah bentuk-bentuk pemerintahan yang sangat mempengaruhi
perkembangan Negara itu sendiri. Dan bentuk-bentuk pemerintahan di
dalam suatu Negara sangat identik dengan kekuasaan.
Negara dan konstitusi adalah dwitunggal. Jika diibaratkan bangunan,
negara sebagai pilar-pilar atau tembok tidak bisa berdiri kokoh tanpa
pondasi yang kuat, yaitu konstitusi Indonesia. Hampir setiap negara
mempunyai konstitusi, terlepas dari apakah konstitusi tersebut telah
dilaksanakan dengan optimal atau belum. Yang jelas, konstitusi adalah
perangkat negara yang perannya tak bisa dipandang sebelah mata.Teori-
teori bentuk Negara yang dikembangkan para ahli dan berkembang di
zaman modern bermuara pada dua paham yang mendasar. Pertama, paham
yang menggabungkan bentuk Negara dengan bentuk pemerintahan. Paham

7
ini menganggap bahwa bentuk Negara dengan bentuk pemerintahan, yang
dibagi dalam tiga macam , yaitu (1) bentuk pemerintahan dimana terdapat
hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif; (2) bentuk
pemerintahan dimana ada pemisahan yang tegas antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif; (3) bentuk pemerintahan dimana terdapat pegaruh
dan pegawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislatif. Kedua,
paham yang membahas bentuk Negara atas golongan demokrasi dan
diktator.36 Paham ini membahas bentuk Negara atas golongan demokrasi
dan diktator. Paham ini juga memperjelas bahwa demokrasi dibagi dalam
demokrasi Konstitusional (liberal) dan demokrasi rakyat.

Dari teori-teori tersebut kemudian berkembang di zaman modern


ini, yaitu bentuk Negara Kesatuan (unitarisme) dan Negara Serikat
(Federalisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi atau sistem
desentralisasi. Negara kesatauan adalah Negara yang tidak tersusun dari
beberapa Negara, melainkan hanya terdiri atas satu Negara, sehingga tidak
ada Negara di dalam Negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan
hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai
kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan Negara,
menetapkan kebjakan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan
Negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. Berbeda dengan Negara
Federasi, lebih lanjut Soehino menjelaskan, Negara Federasi adalah
Negara yang bersusunan jamak, maksudnya Negara ini tersusun dari
beberapa Negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai Negara yang
merdeka dan berdaulat, mempunyai Undang-Undang Dasar sendiri . tetapi
kemudian karena sesuatu kepentingan, Negara-Negara tesebut saling
menggabungkan diri untuk membentuk suatu ikatan kerja sama yang
efektif. Negara Kesatuan adalah Negara apabila kekuasaan tidak terbagi
dan Negara Serikat apabila kekuasaan di bagi antar Pemerintah Federal
dengan Negara Bagian. Bentuk Negara sesunguhnya berkaitan dengan
kekuasaan tertinggi pada suatu Negara yaiu kedaulatan. Dalam Negara,
kedaulatan merupakan esensi terpenting dalam menjalankan Negara dan
pemerintahan. Teori kedaulatan yang terkenal sampai sekarang , antara
lain teori kedaulatan Tuhan yaitu teori yang menganggap kekuasaan
tertinggi berasal dari Tuhan (dikembangkan oleh Agustinus dan Thomas
aquinas), teori kedaulatan rakyat yaitu kekuasaan berasal dari rakyat

8
(dikembangkan oleh Johannes Althusius, montesque, dan Jhon Locke),
teori kedaulatan Negara yaitu teori kedaulatan tertinggi ada pada
pemimpin Negara yang melekat sejak Negara itu ada (dikembangkan oleh
Paul Laband dan George Jelinek), dan teori kedaulatan Hukum yaitu teori
kedaulatan dimana kekuasaan dijalankan oleh pemimpin Negara
berdasarkan atas hukum dan yang berdaulat adalah hukum
Istilah demokrasi berasal dari dua asal kata bahasa Yunani, yaitu
“demos” dan “kratos” atau “kratein”. Menurut artinya secara harfiah yang
dimaksud dengan demokrasi, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan
“kratos” yang berarti pemerintahan, sehingga kata demokrasi berarti suatu
pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Demokrasi menyiratkan arti
kekuasaan itu pada hakikatnya yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Sekalipun sejelas itu arti istilah demokrasi menurut bunyi
kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek demokrasi itu dipahami dan
dijalankan secara berbeda-beda, bahkan perkembangannya sangat tidak
terkontrol. Menurut Munir Fuady dalam Konsep Negara Demokrasi,
sebenarnya yang dimaksud demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan
dalam suatu negara dimana warga negara secara memiliki hak, kewajiban,
kedudukan, dan kekuasaan yang baik dalam menjalankan kehidupannya
maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara, dimana rakyat
berhak untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi
jalannya kekuasaan baik secara langsung misalnya melalui ruang ruang
publik.

Kedaulatan rakyat diperkuat dengan adanya perubahan Undang Undang


Dasar pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan di tangan rakyat
dilaksanakan menurut Undang UndangDasar”, sehingga rumusan baru ini
mengandung ide , bahwa kedaulatan di tangan rakyat yaitu asas demokrasi
dan pelaksanaannya diatur dalam Undang Undang Dasar , padahal pada
rumusan Undang Undang Dasar yang lama, pada Pasal1 ayat (2) norma
hukumnya berisikan ketentuan transformatif atau pengalihan mutlak
darikedaulatan yang semula di tangan rakyat diberikan kepada lembaga
negara, yaitu : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), inilah yang
disebut transformasi demokrasi. Perumusan yang baru, asas
konstitusionalisme dalam pelaksanaan kekuasaan kenegaraan harus

9
dilaksanakan menurut ketentuan hukum karena negara Indonesia adalah
negara hukum. Kedaulatan rakyat diterjemahkan sebagai suatu norma
hukum, menurut konstitusi, karena berisikan norma-norma kewenangan,
yaitu kewenangankenegaraan. Oleh karena itu, walaupun rakyat
merupakan sumber dari kedaulatan, pelaksanaan kedaulautan tersebut
harus diatur oleh konstitusi, dan dalam perubahan ini, dapat dibedakan
antara kedaulatan yang langsung dilakukan oleh rakyat dan kedaulatan
yang dilaksanakan oleh lembaga perwakilan. Memang dalam UUD yang
telah mengalami perubahan ini, tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai
perwujudan dari asas keadaulatan rakyat. Hak dari rakyat dalam
menyatakan pendapat dalam suatu pemilihan umumadalah merupakan ciri
yang esensial bagi perwujudan adanya pengakuan atas kedaulatanrakyat;
sebuah tatanan kenegaraan yang tidak memberikan hak bagi rakyat
untukmenyatakan pendapatnya melalui pemilihan umum adalah suatu
tatanan politik yang jauh dari nilai demokrasi.

B. Konsep-konsep Demokrasi
Negara yang menganut demokrasi khususnya ciri-ciri adanya
kebebasan pers dan media, adanya persamaan hak untuk semua warga
negara, adanya pemilihan langsung dan pemerintahan di tempat di tangan
rakyat. Sistem pemerintahan demokrasi memiliki dua bentuk, yaitu adanya
demokrasi demokrasi langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung
adalah demokrasi yang Setiap orang memberikan suara atau pendapat
untuk menentukan suatu keputusan. Setiap orang mewakili diri mereka
sendiri untuk memilih kebijakan sedemikian rupa sehingga mereka
mempengaruhi situasi politik yang terjadi. sistem demokrasi digunakan
secara langsung pada hari-hari awal demokrasi di Athena ketika ada
masalah yang harus diselesaikan, semua orang berkumpul Bahas.

Di era modern, demokrasi langsung tidak praktis karena Secara umum,


jumlah penduduk suatu negara cukup besar dan mencakup semua orang
dalam sebuah forum adalah hal yang sangat sulit, dalam demokrasi
langsung ini membutuhkan partisipasi yang kuat dari orang-orang
sementara orang-orang modern cenderung Tidak ada waktu untuk
mempelajari semua masalah. Bangkit Salah satu keterbatasan demokrasi
langsung jika diterapkan di zaman modern ini adalah biaya waktu dan

10
anggaran yang cukup mahal atau tinggi, sering timbul konflik Masalah
sosial horizontal muncul di masyarakat karena elit politik kekhawatiran
dan kesulitan dalam menerapkannya ke negara dengan warga negara yang
banyak.
Demokrasi tidak langsung adalah konsep demokrasi yang
dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Gaya pemerintahan demokratis
melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih dan dipertanggungjawabkan
oleh rakyat diterima oleh rakyat. Penerapan demokrasi tidak langsung
biasanya dilakukan oleh negara dengan populasi yang terus bertambah,
wilayah yang terus berkembang dan permasalahan menjadi semakin
kompleks. Prinsip-prinsip demokrasi dan prasyarat untuk pembentukan
negara demokrasi telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Aturan demokrasi, hal ini muncul dari
pendapat Almadudi, yang disebut “Pilar demokrasi”, menurutnya, prinsip-
prinsip demokrasi yakni: Kedaulatan bangsa-bangsa. Pemerintah dengan
Ordonansi Persetujuan. Kekuatan Mayoritas . Hak Minoritas. Jaminan hak
asasi manusia kelima, Pemilu yang bebas, adil dan jujur. Persamaan di
depan hukum, Proses hukum yang adil depalan, Pembatasan pemerintah
dan konstitusional. Pluralisme sosial, ekonomi dan politik. Nilai toleransi,
pragmatisme, kerjasama dan mufakat Tujuan demokrasi adalah untuk
menciptakan masyarakat sejahtera, adil dan makmur dengan konsep yang
mengedepankan keadilan, kejujuran Secara teori, tujuan demokrasi dalam
kehidupan bernegara adalah juga termasuk kebebasan berbicara dan
kedaulatan rakyat.

Ada beberapa tujuan dari demokrasi, khususnya menjamin kebebasan


berpendapat dan berekspresi, mencegah konflik antar kelompok,
menciptakan keamanan dan ketertiban bersama-sama mendorong orang
untuk aktif dalam pemerintahan, membatasi kekuasaan pemerintah.
Demokrasi dibedakan dari pandangan tugas dan hubungan antara Status
perangkat, khususnya, Demokrasi dengan sistem parlementer, yaitu dalam
demokrasi ini terdapat hubungan dekat antara legislatif dan eksekutif,
hanya Cabang eksekutif, umumnya dikenal sebagai "kabinet", dipimpin
oleh perdana menteri dibentuk atas dasar dukungan suara sebanyak
mungkin dalam majelis wakil rakyat atau Majelis Nasional. Demokrasi

11
dengan sistem pemisahan kekuasaan, yaitu demokrasi dalam arti
kekuasaan dipisahkan menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif
Demokrasi dengan sistem referendum, yaitu demokrasi perwakilan dengan
pengawasan rakyat langsung mewakili mereka di majelis wakil rakyat,
Ada dua jenis referendum, yaitu referendum wajib dan referendum
opsional. Di referendum wajib atas kebijakan atau undang-undang yang
diusulkan oleh pemerintah Dewan Perwakilan Rakyat dapat beroperasi
setelah mendapat persetujuan dari rakyat. dengan suara terbanyak.
Referendum opsional, undang-undang disahkan oleh dewan Wakil rakyat
hanya diundang untuk mendapatkan persetujuan rakyat jika dalam jangka
waktu tertentu yakin bahwa setelah undang-undang diumumkan, beberapa
orang memintanya.
Konsep demokrasi yang ada di Indonesia adalah demokrasi Pancasila
memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan ideologi Negara Pancasila,
yaitu adanya pertimbangkan dan setujui. Musyawarah itu sendiri dimulai
dengan sila keempat Pancasila. Niat adalah salah satu nilai luhur bangsa
Indonesia dikenal di seluruh wilayah Indonesia, meskipun dengan istilah
yang sama Berbeda, tidak salah jika menganggap bagian utama dari
demokrasi Pancasila. Diskusi sebagai proses menyatukan semua pihak
untuk berdiskusi masalah atau diskusi tentang rencana sangat ideal untuk
membuat keputusan yang tepat dan sejalan dengan kepentingan anggota
Penonton. Demokrasi Indonesia mengutamakan musyawarah dan
mufakat, yaitu dapat dilihat dari proses pengambilan keputusan baik dari
desa hingga Di tengah, Indonesia mewakili musyawarah dan mufakat,
bukan mayoritas. Dengan adanya pertimbangan ini terlibat langsung dalam
manajemen pemerintah. Saat ini, sistem demokrasi dianggap yang terbaik
dunia, itu karena sistem demokrasi hampir merupakan prinsip fundamental
dalam memfasilitasi peran masyarakat dalam menjalankan pemerintahan.

C. Pandangan Demokrasi Menurut Para ahli


Demokrasi, yang secara sederhana berarti pemerintahan berada di
tangan rakyat ternyata memiliki beragam pengertian dari banyak ahli.
Salah satunya berasal dari Abraham Lincoln. Selain pengertian demokrasi
pandangan demokrasi dari Abraham Lincoln, disini juga akan membahas
beberapa tanggapan atau pemahaman para ahli tentang demokrasi ini.

12
Menurut Plato, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang
dijalankan oleh rakyat yang memimimpin untuk kepentingan rakyat
banyak.
Menurut Abraham Lincoln, demokrasi menurut Abraham Lincol
adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.

Menurut Charles Costello, demokrasi adalah sistem sosial dan


politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah
yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak
perorangan warga negara.

Menurut John L. Esposito, demokrasi pada dasarnya adalah


kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak
untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja
lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara
unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Menurut Hans Kelsen, demokrasi adalah pemerintahan oleh


rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara
ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Di mana rakyat telah yakin,
bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di
dalam melaksanakan kekuasaan Negara.

Pandangan demokrasi menurut Muhammad Yamin adalah


sebuah dasar yang ada didalam pembentukan pemerintahan dan
posisinya berada didalam atau masyarakat pada sebuah kekuasaan
untuk bisa memerintah dan mengatur supaya dapat dikendalikan
dengan sah pada setiap warga negara.Menurut

Definisi demokrasi yang diberikan oleh C. F. Strong adalah


suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari
masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan
yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan
tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.

13
Jika diperhatikan beberapa pandangan demokrasi yang
dikemukakan para ahli di atas, ternyata terdapat keragaman pemikiran
mereka, baik dikalangan pemikir politik Indonesia maupun dikalangan
para ahli dunia. Perbedaan pemikiran mereka mengenai pandangan
demokrasi disebabkan karna perbedaan sudut pandang mereka dalam
melihat konsepsi demokrasi. Perbedaan lingkungan dimana mereka hidup,
perbedaan situasi zaman dan kondisi polirik yang mengitari pemikiran
mereka, serta pengaruh keyakinan keagamaan yang dianutnya, yang
menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi mereka dalam
melihat ap aitu demokrasi.

Perbedaan pendapat para ahli diatas, tentu akan menambah was


anan dan pemikiran kita, sekaligus saling melengkapi dan
menyempurnakan persepsi kita tentang demokrasi, sehingga persepsi
tersebut akan menjadi semakin dinamis dan berkembang. Meskipun tidak
terdapat kesepakatan mereka dalam melihat pengertian dan konsepsi
demokrasi, namun mereka tetap sepakat akan perlunya demokrasi. Sebab
demokrasi merupakan instrument politik untuk mewujudkan kebaikan dan
kesejahteraan Bersama.

14
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DUNIA
A. Sejarah Demokrasi Dunia
Demokrasi merupakan suatu sistem yang asasnya diterapkan oleh
hampir seluruh negara di dunia pada saat ini. Kebebasannya yang sangat
realistis meletakkan rakyat sebagai ujung tombak berdirinya suatu negara
membuat demokrasi mudah diterima masyarakat. Sejarah mengenai
demokrasi memiliki buntut yang sangat panjang dan membedah sejarah
demokrasi dunia. Suatu pemerintahan yang menggunakan prinsip
demokrasi akan menjadikan pemerintahannya dilaksanakan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Prinsip inilah yang mendasari demokrasi dan
menjadikan ciri khas terkenal dari sistem pemerintahan tandingan sosialis
– komunis ini. Sehingga, suatu negara yang demokratis memiliki tujuan ke
depan yang mengarah kepada kepentingan rakyat sebagai penduduk
sekaligus warga negara dari negara itu sendiri.

Rakyat merupakan salah satu unsur negara yang harus dipenuhi


sebelum negara tersebut dapat diresmikan kedaulatannya dan
mendapatkan pengakuan dari negara lain di dunia internasional. Rakyat
bagi negara demokratis merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Segala
sesuatunya harus memprioritaskan kesejahteraan rakyat. Sementara itu,
unsur negara yang lain agar suatu wilayah berpenghuni dapat dikatakan
sebagai negara yaitu adanya pemerintahan yang berdaulat sekaligus
memiliki undang-undang negara sebagai pengatur ketertiban berbangsa
dan bernegara. Di negara non demokrasi, pemerintahan biasanya
didominasi oleh sebagian warga negara yang memiliki kekuasaan dari
garis keturunan. Sehingga dari waktu ke waktu terjadi stagnasi pewarisan
pemerintahan. Kemungkinan suatu negara diperintah oleh kaum tertentu
hanya terbuka lebar jika negara tersebut menggunakan sistem oligarki atau
monarki. Kebanyakan negara pada zaman dahulu sebelum terciptanya
sejarah HAM, memiliki bentuk monarki atau oligarki. Pemerintahannya
pun tertutup, hanya orang-orang dalam lingkup keluarga atau etnis tertentu
saja yang dapat menduduki kursi pemerintahan. Dan rakyat harus tunduk
kepada pemerintahan tersebut tanpa peduli kecakapan yang dimiliki oleh
pemimpin.

15
Sistem demokrasi perlahan-lahan menghapuskan sifat
kepemimpinan totaliter seperti yang terjadi pada sejarah keruntuhan uni
soviet. Demokrasi berusaha sebisa mungkin menyelenggarakan negara
secara terbuka dan partisipatif. Seluruh kritik, saran dan komentar yang
ditujukan kepada pemerintah atau pihak tertentu harus ditampung dan
boleh digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan
pembangunan negara. Alasan di atas menjadi dasar mengapa negara
demokrasi menyelenggarakan pemerintahan dari rakyat. Karena segala
sesuatunya selalu melibatkan rakyat. Bahkan pemerintah yang menduduki
kursi parlemen sebagai wakil rakyat tidak boleh menyimpan segala
permasalahan rakyat sendirian. Apabila ada kasus korupsi atau
perkembangan penting yang menyangkut kelangsungan hidup orang
banyak, mereka juga harus melaporkan perkembangan kepada rakyat.
Media massa dalam negara demokrasi selalu beruntung. Ia memiliki peran
penting dalam menyalurkan setiap informasi dan perkembangan yang ada
di kubu rakyat maupun pemerintah sebagai wakil rakyat. Karenanya,
demokrasi memiliki 2 jenis –langsung dan tidak langsung- yang terkait
dengan sejarah panjang antar negara.

Gagasan demokrasi sebagai sistem pemerintahan berasal dari


kebudayaan Yunani. Dengan sistem tersebut rakyat akan terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keberlangsungan
sebuah negara. Dalam buku berjudul Throes of Democracy yang ditulis
oleh Walter A. Mcdougall terdapat sejarah pergolakan demokrasi yang
terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1829 hingga 1877. Jika Grameds
tertarik untuk membeli, klik “beli sekarang” yang ada di atas. Jadi, seluruh
perkara kenegaraan harus dibicarakan langsung dengan rakyatnya.
Demokrasi murni atau demokrasi langsung adalah sistem yang diusung di
zaman tersebut. Ribuan tahun kemudian, pada abad ke-6 SM, bentuk
pemerintahan yang relatif demokratis diperkenalkan di negara-negara
bagian Athena oleh Cleisthenes pada 508 sebelum masehi. Kondisi
tersebut membuat Cleisthenes dikenal dengan panggilan bapak demokrasi
Athena. Saat itu, Athena menganut demokrasi langsung dan memiliki dua
ciri utama, yakni pemilihan warga secara acak untuk mengisi jabatan
administratif dan yudisial di pemerintahan, serta majelis legislatif yang
terdiri dari semua warga Athena. Kesemuanya saat itu memiliki hak

16
berbicara dan memberi suara di majelis Athena. Meski dibuat oleh majelis,
demokrasi Athena berjalan dengan kontrol langsung dari rakyat. Rakyat
akan menyuarakan pendapatnya lewat majelis atau pengadilan untuk
membantu kendali politik. Hingga pada saat memasuki abad pertengahan
(6-15 M) di Eropa Barat, gagasan tersebut tidak digunakan lagi, ada
banyak sistem dimana pemilihan tetap dilakukan meskipun hanya
beberapa orang yang dapat bergabung. Parlemen Inggris sendiri dimulai
dari Magna Carta, sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kekuasaan
Raja terbatas dan melindungi hak-hak tertentu rakyat. Parlemen terpilih
pertama adalah Parlemen De Montfort di Inggris pada 1265. Namun hanya
beberapa orang yang benar-benar dapat bergabung sebab parlemen dipilih
oleh beberapa orang saja.

Yunani
Sejarah keberadaan demokrasi di dunia diawali dari negara Yunani
yang pada waktu itu memiliki banyak filsuf bijak. Yunani menerapkan
demokrasi langsung dimana kekuasaan ada di tangan mayoritas. Sampai
sekarang, Yunani dianggap sebagai negara pelahir demokrasi di dunia.
Setiap warga negara yang ada di Yunani bebas mengungkapkan
pendapatnya, namun keputusan akan tetap di tangan golongan mayoritas.
Perbedaan mendasar demokrasi yang diterapkan di Yunani sebagai negara
pelopor demokrasi terletak pada warga negaranya. Tidak setiap penduduk
dianggap sebagai warga negara. Dan status warga negara resmi ini sangat
penting jika kita ingin terlibat dalam proses demokrasi politik. Yunani
yang pada waktu itu masih tergolong negara kota yang hanya menganggap
orang-orang asli Yunani berkasta tinggi sebagai warga negara. Lapisan-
lapisan masyarakat yang sangat terasa sekali memang wajar dimaklumi.
Di masa lalu, perbudakan menjadi sangat biasa karena belum adanya
sejarah HAM yang menjadikan setiap manusia sama di mata hukum
masyarakat. Sistem kerajaan yang feodal turut pula melatarbelakangi
keputusan penggolongan masyarakat berdasarkan status dan pekerjaan.
Cerita mengenai demokrasi Yunani bahkan telah dimulai sejak
abad ke-5 SM. Di zaman itu, Yunani yang menjadi negara kota,
memusatkan diri di Athena. Karenanya, Bapak Demokrasi Yunani
bernama Cleisthenes lebih dikenal sebagai Bapak Demokrasi Athena.

17
Demokrasi di Yunani membebaskan warga negara untuk berbicara serta
bersuara di forum terbuka. Seperti telah disinggung sebelumnya, yang
termasuk warga negara di Yunani kuno hanya kaum tertentu saja.
Pembatasan ini bukan tanpa tujuan. Seorang warga negara yang diberi hak
leluasa berbicara juga dituntut untuk memberikan sesuatu pada negara,
terutama ketika Yunani terlibat dalam perang. Sehingga boleh dikatakan
gerakan bela negara di Yunani kuno dilaksanakan secara wajib militer dan
berlaku untuk setiap warga negara. Para saudagar asing dapat hidup di
Yunani dengan aman, namun tidak dapat ikut bersuara karena tidak
termasuk warga negara. Hanya sekitar 30.000 sampai 60.000 penduduk
Yunani yang menjadi warga negara. Padahal total jumlah penduduknya
masa itu mencapai 400.000 jiwa. Para wanita, para budak, anak-anak, dan
laki-laki di bawah 20 tahun tidak akan diwajibkan berperang karena tidak
menjadi warga negara.
Setelah menerapkan demokrasi sejak abad ke-5 SM, pemungutan
suara perdana baru dilakukan pada abad ke-7 SM. Tepatnya dengan
diselenggarakan Apella (nama pemungutan suara) di Sparta, Yunani
membuktikan pemilihan secara langsung, umum dan bebas rahasia dapat
diadakan dengan lancar. Tentunya sejarah demokrasi parlemen di Yunani
berbeda dengan sejarah DPR dan sejarah MPR di Indonesia abad 20.
Yunani identik dengan Romawi. Romawi kuno menyumbang banyak harta
dan sokongan orang-orang besar di Yunani. Hampir seluruh jajaran
pemerintahannya yang demokratis di Yunani diisi oleh orang-orang
Romawi. Namun, Romawi lebih terkenal akan kekuatan perangnya
daripada sejarah mewarnainya demokrasi di Yunani.

Eropa
Demokrasi di Eropa dimulai sekitar abad ke-6 hingga ke-15. Pada
masa inilah kekuasan di Eropa tergantung otoritas gereja dan Paus yang
sangat dihormati. Sama seperti negara-negara lain di dunia, Eropa –
terutama bagian barat selalu terkekang dengan posisi budak di bawah tuan.
Demokrasi tumbuh di Eropa bagian barat karena kebanyakan kaum budak
dan rakyat jelata ingin melepaskan diri dari kebiasaan adat. Kekuasaan
otoritas gereja yang tidak selalu adil dan menyejahterakan seluruh
masyarakat membuat orang-orang kecil merasa tidak dihargai. Mereka

18
bangkit dengan mengubah sistem menjadi demokrasi. Beberapa negara di
Eropa Barat telah mengaku menjadi negara demokratis, namun banyak
yang belum sepenuhnya menjalankan sistem demokrasi. Contoh negara
besar yang nyata beralih sistem ke demokrasi tercatat dalam sejarah
keruntuhan Uni Soviet. Setelah negara ini mengalami konflik sampai
pecah menjadi beberapa negara kecil, negara pecahan ini menerapkan
sistem demokratis karena tidak ingin mengulang lagi sejarah kelam
sosialis – komunis.

Inggris
Negara Inggris sangat erat dengan Magna Charta tahun 1215.
Namun bukan karena sejarah HAM yang diangkat oleh Magna Charta.
Lebih dari itu, Magna Charta 1215 juga menyangkut sejarah berdirinya
negara demokrasi di dunia. Piagam besar ini telah ditandatangani oleh
beberapa penguasa yang bersedia melaksanakan demokrasi di kalangan
sesamanya. Pemilihan parlementer pertama kali dilaksanakan di Inggris
tahun 1265. Sebelumnya, sejak dikeluarkannya Magna Charta, orang-
orang diluar golongan raja dan bangsawan merasa lebih terlindungi.
Kekuasaan raja yang sebelumnya tidak terbatas menjadi lebih sempir
karena diberlakukannya Magna Charta. Setiap orang berhak membela
dirinya sendiri dan memperjuangkan hak sebagai manusia. Memang pada
awalnya pemilihan parlementer hanya dilaksanakan oleh orang-orang
tertentu yang berjumlah 3 % dari total penduduk Inggris. Seiring
berkembangnya waktu, sistem Monarki yang mulanya sebagai sistem
resmi di Inggris menjadi lapuk dan diganti dengan sistem demokrasi.
Beberapa imigran dari daratan Inggris pergi ke Amerika Serikat. Di sana,
mereka mulai menyebarkan sistem demokrasi yang menggeser keberadaan
sistem lama yang mengedepankan keturunan. Sistem demokrasi diterima
masyarakat Amerika Serikat dengan diadakannya majelis umum Virginia.
Sehingga dapat dikatakan demokrasi Amerika Serikat dimulai oleh orang
Inggris yang bermukim di Virginia pada abad ke-16.
Mungkin kita pernah bertanya, bagaimana awal mulanya sistem
demokrasi dapat mendominasi sistem pemerintahan di dunia.
Mendunianya sistem ini dimulai di pertengahan abad ke-20. Abad ini
menjadi abad yang mengerikan dalam sejarah dunia. Pada abad ini, 2

19
paham besar berseteru. Antara kubu demokrasi yang digawangi Amerika
Serikat melawan kubu komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet.Pada awal
abad ke-20, sebenarnya demokrasi telah berkembang pesat. Sayangnya
pertumbuhan yang baik ini dihambat oleh kondisi depresi besar dunia.
Karena kondisi global yang sedang tidak aman, banyak negara yang mulai
merubah sistem pemerintahannya agar lebih mudah dikendalikan.
Beberapa pemimpin dunia mulai bergerak menjadi pemimpin
totalitarianis, fasis, dan kemudian memunculkan pemerintahan yang
diktator. Selama beberapa puluh tahun abad ke-20 berjalan mencekam,
selama itu pula rakyat biasa di dunia terkungkung oleh pemerintahan yang
diktator. Selanjutnya, semenjak perang dunia kedua berlangsung, dunia
terbagi menjadi blok barat dan blok timur. Kedua blok ini terus berusaha
menyebarkan paham masing-masing. Sampai pada akhirnya terjadi perang
dingin.
Puncak tumbuhnya demokrasi dengan leluasa adalah saat sejarah
keruntuhan Uni Soviet benar-benar terjadi. Selain negara yang hancur,
paham komunis yang dibanggakan Uni Soviet beserta sekutunya ikut
tenggelam. Mulai dari saat itulah banyak negara di dunia yang beralih
menganut sistem demokrasi. Walaupun demokrasi telah mendominasi
dunia, di awal perkembangannya selepas keruntuhan Uni Soviet, beberapa
negara belum dapat berdemokrasi total. Keadaan ini dapat dimaklumi
karena paham komunis pernah menjadi paham besar dunia. Walaupun
telah hancur, namun sisa kekuatan komunis belum hilang sepenuhnya.
Negara-negara bekas negara komunis banyak yang beralih ke demokrasi.
Namun pada prakteknya, mereka masih terpengaruh sisa kekuatan
komunisme. Misalkan saja ketika diselenggarakan pemilihan umum,
banyak negara yang dapat menyelenggarakan tetapi tidak dapat berjalan
sesuai tuntunan demokrasi. Artinya, unsur demokrasi berupa transparan,
terbuka, langsung, bebas rahasia belum dapat sepenuhnya dipraktekkan.
Pada akhirnya, waktu yang mengajari negara bekas komunis beralih
menjadi negara demokrasi penuh. Sampai sekarang, banyak negara yang
masih berusaha menegakkan demokrasi. Beberapa negara di dunia yang
sejak 2011 dianggap sebagai negara demokrasi penuh adalah Amerika
Serikat, Jepang, Irlandia, dan Spanyol. Sementara itu, negara demokrasi
yang lain termasuk ke dalam golongan negara demokrasi tidak sempurna.

20
Ada survei yang mendasari penjenisan ini. Namanya ialah Democracy
Index. Berdasarkan jenis demokrasinya, penerapan prinsip demokrasi dan
terpenuhinya asas-asas demokrasi, hasil survei tersebut menjadi parameter
negara untuk menyempurnakan kedemokrasiannya.

B. Perkembangan Demokrasi di Dunia


Pada permulaan pertumbuhan demokrasi telah mencakup beberapa
asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu
gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan
mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran Reformasi
serta perang-perang agama yang menyusul. Mulai dari zaman Yunani
Kuno, demokrasi sebagai asas dan yang dipergunakan dalam kehidupan
ketata-negaraan yang bersejarah dan dengan demikan mulailah juga
apayang disebut orang sejarah demokrasi. Pada mulanya di zaman Yunani
Kuno mulailah timbul demokrasi langsung atau demokrasi kuno sampai
pada perkembangannya mencapai demokrasi tidak langsung, demokrasi
perwakilan sampai demokrasi modren yang mulai lahir sekitar abad ke-17
dan ke-18, yaitu masa perkembangan ajaran para sarjana Hukum Alam.
Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota Yunani Kuno abad ke-
6 sampai Abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung, yaitu suatu
bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang
bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi
Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam
kondisi yang sederhana, wilayah yang terbatas (negara yang terdiri dari
kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk (300.000
pendudukdalam satu negara). Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi
hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan
bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri atas budak
belian dan pedang asing demokrasi tidak berlaku.
Dalam negara modren demokrasitidak lagi bersifat langsung, tetapi
merupakan demokrasi berdasarkan perwakilan. Gagasan demokrasi
Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Baratwaktu bangsa
romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani, dikalahkan
oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad

21
pertengahan (600-1400). Masyarakat abad pertengahan dicirikan oelh
struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord), yang
kehidupan sosial serta spritualnya dikuasai oleh Paus dan para pejabat-
pejabat agama lainnya yang kehidupan politik ditandai oleh perebutan
kekuasaan antara para bangsawansatusama lainnya. Dilihat dari sudut
perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu
dokumen yang penting yaitu Magna Charta(piagam besar). Magna Charta
merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawandan Raja Jhon dari
Inggris dimana untuk pertama kalinya seorang raja yang berkuasa
mengikat diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak danprivilages
dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahandana bagi keperluan
perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan
tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam
perkembangan gagasan demokrasi.
Pada hakikatnya teori-teori kontak sosial merupakan usaha untuk
mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak
politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini diantaranya
Jhon Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-
1755). Menurut Jhon Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak
atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and
property). Montesquieu mencoba dan menyusun suatu sistem yang dapat
menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah Trias
Politika. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak poltik menimbulkan
revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan
Inggris.
Sebagai akibat dari pergolakan tersebut maka pada akhir abad ke-19
gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai
program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat
politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan namun
dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
individu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga
negara.Dalam bukunya yang berjudul politik, Aristoteles (384-322 SM)
menyebut demokrasi sebagai “Politea atau republik”.Politea dipandang
sebagai bentuk negara paling baik dalam politik. Adapun yang

22
dimaksudkan dengan polititea adalah “demokrasi moderat”, yaitu
demokrasi dengan undang-undang dasar atau demokrasi konstitusional.
Tiga sumbangan Aristoteles yang tertanam di jantung demokrasi adalah
kebebasan pribadi, pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar
(konstitusi), dan pentingnya kelas menengah yang besar sebagai pemegang
tampuk kekuasaan.
Dari sini bisa kita tangkap bahwa pemerintahan oleh rakyat yang
dimaksud adalah pemerintahan oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan
(demokrasi delegatif) sebab tidak mungkin semua orang menjadi
pemerintah dalam waktu bersamaan, kemungkinan ia hanya bisa
menduduki satu posisi tertentu dalam waktu yang tertentu (terbatas) pula.
Sebab, bila semua orang berhak untuk menjadi pemerintah maka
diperlukan adanya pembatasan masa jabatan sehingga memungkinkan
bagi setiap orang menjadi pemerintah. Aristoteles memandang bahwa
orang yang bersal dari kelas menengahlah yang paling tepat untuk
menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sebab, menurut orang-
orang dari kelas menengah mempunyai kecakapan lebih dibanding kelas-
kelas lain. Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan
kekuasaan inilah muncul ide pemerintahan rakyat (demokrasi). Kemudian
lahirlah demokrasi ke dunia ini sebagai salah satu dari ketidakpuasan
rakyat terhadap pemerintahanyang memegang monarki absolut di berbagai
negara.

23
SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI REPUBLIK
INDONESIA
A. Sejarah Sistem Demokrasi di Indonesia
Upaya pertama kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II digunakan
oleh Indonesia untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Sebuah negara baru
lahir dan demokrasi yang diinginkan sedang dalam perjalanan. Indonesia
kemudian bergulat dengan cobaan, rumitnya hubungan dialektika antara
gagasan demokrasi, kondisi aktual bahkan realitas kembalinya Belanda
yang masih ingin mempertahankan jajahan lama mereka. Yang menarik,
dan mungkin beruntung, adalah bahwa sejak awal, Indonesia membuka
pintu demokrasi tanpa penolakan keras dari para founding fathers karena
latar belakang mereka yang sangat sederhana. Bahkan Muslim dari tradisi
Santri yang padat tidak menunjukkan penolakan yang kuat. Padahal di
tempat lain, Islam dan demokrasi seringkali tidak dapat didamaikan
Sejak dini, Indonesia sudah berani mencoba menganut sistem
demokrasi parlementer. Kabinet yang bertanggung jawab atas parlemen
tidak dibentuk melalui pemilihan umum. Situasinya masih terlalu
mengerikan untuk mengadakan pemilihan nasional. Indonesia tampaknya
masih penuh dengan semangat sebagai negara yang baru merdeka.
Pengalamannya sungguh tidak mudah. Situasinya terlalu rumit dan sulit,
ada konflik internal, keadaan infrastruktur dan suprastruktur, rakyat
hampir tidak memiliki pengalaman politik yang matang, masih harus
menambah upaya untuk bertahan melawan musuh, tentara Belanda.
Demokrasi parlementer sangat bagus. Naik turun dengan cepat sebelum
Anda melakukan banyak hal dengannya. Kabinet seringkali tidak berdaya
sampai presiden dan wakil presiden harus turun tangan, membentuk
badan-badan untuk membantu kabinet menangkis serangan kongres.
Meski sangat sulit, Indonesia akhirnya mampu melewati masa sulit
tersebut. Belanda siap mengakui Indonesia.

Penolakan kedaulatan tentu saja tidak bebas dan tidak tulus. Tapi
setidaknya Indonesia akan punya lebih banyak waktu untuk berorganisasi.
Pada tahun 1950, Konstitusi Sementara dirancang untuk mendukung
sistem parlementer yang ada. Perlu dicatat bahwa UUD 1945 sebenarnya
tidak cocok untuk republik parlementer. Indonesia memasuki babak baru
24
yang dikenal dengan demokrasi parlementer. Saat itu memang naik turun
kabinet masih berlangsung. Tidak ada perusahaan yang bisa bertahan dua
tahun. Namun, ada juga prestasi yang bisa dibanggakan, yakni Pemilu
1955. Pemilu yang dikenang sebagai salah satu yang paling demokratis
dalam sejarah Indonesia. Setelah pemilu, parlemen baru benar-benar
terbentuk. Hasil pemilu parlemen ini juga beragam dan seringkali sangat
kontradiktif. Kabinet masih tidak bertahan lama. Menurut Hatta, krisis ini
dipicu oleh keinginannya untuk "berbagi makanan" dan mengutamakan
kelompoknya. Kelompok-kelompok, partai-partai, menjadi tujuan, bukan
sarana atau instrumen untuk menjalankan kehidupan bernegara guna
mencapai tujuan negara.
Sementara itu, UUD 1950 sementara sebenarnya berlangsung hampir
sepuluh tahun. Majelis Konstituante sebagai suatu badan yang dibentuk
atas dasar kekuatan partai-partai yang diperoleh dari pemilu dengan tugas
menyusun undang-undang dasar yang baru, belum melaksanakan
tugasnya. Militer, yang sejak awal tidak menyukai demokrasi parlementer,
menjadi tidak sabar dan mendesak presiden untuk segera mengakhirinya.
17 Oktober 1952 Meriam diratakan di istana tetapi pemerintah masih
berhasil mengatasi situasi tersebut. Soekarno jelas terlalu kuat, terlalu
populer untuk ditentang di depan umum. Demokrasi parlementer berlanjut,
tetapi Soekarno sendiri tidak setuju dengan sistem itu dan mulai mencari
desain baru. Desain-desain baru mulai samar-samar muncul pada tahun
1957. Pada tahun 1959, Soekarno merasa telah tiba waktunya dan
desainnya telah memperoleh bentuk yang matang. Maka dimulailah apa
yang disebut Soekarno sebagai penemuan kembali jalan revolusi Indonesia
yang akan berlangsung di bawah panji Demokrasi Terpimpin dan lebih
tepat untuk dilakukan.
Soekarno mendasarkan rancangannya pada tradisi-tradisi yang
berkembang di desa-desa jauh sebelum Indonesia merdeka. Demokrasi
yang dipimpin oleh seorang ayah tua. Jalan yang lebih baik, di mana tidak
akan ada tikungan dan belokan, konflik kekerasan yang tidak dapat
didamaikan berkat kehadiran seorang pemimpin yang mampu menengahi.
Koki akan merebus semua jenis bahan dari bagian yang berbeda menjadi
hidangan yang lezat dan konsisten. Soekarno memperkenalkan demokrasi

25
terkelola dan mengakhiri demokrasi parlementer dengan dekrit 5 Juli
1959. Selanjutnya, tak lama kemudian, presiden membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat yang dibentuk berdasarkan pemilihan 1955 karena
perselisihan anggaran negara. oleh banyak pihak, tetapi Keppres itu tetap
berjalan terutama karena didukung penuh oleh militer. Militer dengan
senang hati mendukung keputusan presiden karena sudah bosan dengan
sistem parlementer. Padahal, penentangan terkuat terhadap konsep
demokrasi terpimpin justru datang dari mantan tokoh kedua di Indonesia
itu. Hatta, yang mengundurkan diri karena perbedaan pendapat yang tidak
dapat didamaikan dengan Soekarno, menjadi kritikus sengit. Hatta
mengkritisi dan merekomendasikan desainnya dalam artikel berjudul
"Demokrasi Kita". Artikel tersebut dimuat di majalah Pandji Masyarakat
oleh seorang tokoh Muslim terkenal Hamka. Dua orang, Hatta dan
Soekarno, yang sebelumnya mampu berkompromi dan membangun
bangsa bersama, kini benar-benar bercerai. Kita melihat bahwa konflik
antara Soekarno dan Hatta telah benar-benar mencapai klimaksnya.
Dwitunggal telah menjadi ganda Hatta mengkritik keras Soekarno, yang
ia percaya telah jatuh ke kediktatoran.

Demokrasi terpimpin bagi Hatta tidak akan hidup lebih lama dari
Soekarno sendiri. Rancangan Soekarno membutuhkan pemimpin yang
kuat. Padahal, selain Soekarno, tidak ada yang mampu menduduki posisi
kepemimpinan. Tidak ada yang mampu sekaliber Soekarno. Bagaimana
jika sewaktu-waktu Soekarno tidak bisa tinggal dan harus diganti total?
Soekarno telah menempatkan Indonesia dalam krisis demokrasi. Memang
proses demokrasi parlementer tidak memuaskan, tetapi bukan berarti
demokrasi bisa dikebiri. Hatta menyadari bahwa sudah menjadi hukum
besi, hukum sejarah bahwa jika demokrasi mengarah pada pertikaian, ego
individu dan kelompok bahkan anarki, maka akan muncul kediktatoran.
Namun, Hatta tetap optimis bahwa kemunduran demokrasi hanya bersifat
sementara karena baginya "hilangnya demokrasi berarti hilangnya
Indonesia merdeka". Menariknya, baik Hatta maupun Soekarno juga
memberikan contoh implementasi demokrasi di desa. Baik Soekarno
maupun Hatta percaya bahwa demokrasi telah menjadi bagian integral dari
kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, kita akan melihat bahwa desain
yang mereka bangun justru sebaliknya. Soekarno lebih menekankan pada

26
keberadaan kepala, sesepuh atau kepala desa sedangkan Hatta lebih
menekankan pada proses mufakat melalui proses pertemuan tanpa ada
penonjolan yang tidak semestinya dari seorang individu, apakah dia kepala
desa maupun tidak.
Hatta dalam pembangunan rancangannya melangkah lebih jauh dari
Soekarno. Hatta juga terinspirasi oleh demokrasi di Eropa. Hatta
menyinggung konsep Rousseau dan Revolusi Prancis. Namun, Hatta
mengkritik keduanya karena terjerumus ke dalam individualisme dan
menyebabkan tumbuhnya kapitalisme. Model demokrasi Hatta ini pada
akhirnya hanya menguntungkan pihak tertentu yaitu kapitalis, dan
menindas pihak lain. Demokrasi Indonesia seharusnya tidak dalam
keadaan seperti itu. Bagi Hatta, demokrasi Indonesia harus sosial
demokrasi. Demokrasi di bidang politik saja tidak cukup, tetapi juga harus
berjalan beriringan dengan demokrasi di bidang ekonomi. Demokrasi
seperti itu sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan
masyarakat adil sosial yang adil, yang meliputi segala aspek kehidupan.
Lebih lanjut Hatta menjelaskan bahwa konsep sosial demokrasi Indonesia
berasal dari tiga sumber. Ketiga sumber tersebut adalah paham sosialis
Barat, ajaran Islam dan masyarakat Indonesia yang berbasis kolektivisme.
Demokrasi seperti itu bagi Hatta hanya dapat berjalan dalam kondisi
tertentu. Menurut Hatta, kondisi tersebut merupakan rasa tanggung jawab
dan toleransi serta kemauan untuk melaksanakan prinsip "orang yang tepat
di tempat yang tepat - orang yang tepat di tempat yang tepat". Hatta dalam
rancangannya telah menunjukkan kemampuan berpikir. Dia tidak hanya
menyesuaikan dengan pendapat atau gagasan yang ada, tetapi juga
mengkritik dan merumuskan sendiri. Upaya panjang dengan tradisi
ideologis di dunia Barat. Memasuki tahun 1965, prediksi Hatta semakin
menjadi kenyataan. Kubu-kubu utama tentara yang dulunya bisa berjalan
beriringan saat dipimpin oleh Soekarno semakin berubah menjadi konflik
yang tidak bisa didamaikan. Mereka mulai meragukan fungsi Soekarno
sebagai penyeimbang. Dua kutub utama yang tampaknya semakin tidak
dapat didamaikan adalah PKI dan sayap di militer. Keduanya mulai
membayangkan situasi tanpa Soekarno. Teriakan ini akhirnya
menyebabkan ledakan besar, menyebabkan ledakan berturut-turut yang
menggulingkan Soekarno dan meruntuhkan seluruh bangunan yang

27
dirancangnya. Pada titik ini, penilaian dan prediksi Hatta dapat dianggap
sangat tepat. Namun, setelah implementasinya, konsep demokrasi
terpimpin Soekarno terwujud sepenuhnya seperti yang diharapkan
Soekarno sendiri. Apakah Soekarno benar-benar punya waktu untuk
mengumpulkan kekuasaan di tangannya dan menjadi diktator?
Banyak yang percaya bahwa Soekarno menjadi diktator yang
mengumpulkan kekuasaan di tangannya. Soekarno hampir selalu dalam
keadaan darurat. Militerlah yang mengambil inisiatif paling banyak.
Memang benar bahwa ia mampu menggalang massa dan kemudian
mengekspresikan pandangannya dengan cara yang mengesankan, dan
tidak mungkin ada orang yang secara terbuka menentang pandangan
Soekarno. Namun di luar itu, Soekarno memiliki kekuasaan. Pram lebih
lanjut menunjukkan bahwa di luar itu, militer memiliki kekuatan lebih.
Tentara sering berpindah-pindah bahkan melakukan penangkapan dan
penahanan paksa tanpa seizin dan sepengetahuan Soekarno. Pram sendiri
pernah menjadi korban penangkapan dan penahanan tanpa dakwaan dan
proses hukum yang menurutnya terjadi di luar kendali Soekarno.
Demokrasi Pancasila Gaya Orde Baru Runtuhnya demokrasi terpimpin
membawa harapan baru, kehidupan demokrasi yang lebih baik. Banyak
pihak, termasuk kaum intelektual dan mahasiswa, menaruh harapan pada
aktor baru yang kemudian menyebut dirinya “Orde Baru” untuk
membedakannya dengan Demokrasi Terpimpin Soekarno, yang kemudian
sering disebut sebagai “Orde Baru” yang disebut “Orde Lama”. ". Para
mahasiswa dengan antusias ikut serta dalam penghancuran sisa-sisa yang
tersisa pada desain bangunan yang dirancang oleh Soekarno. Bahkan Hatta
sendiri awalnya mengharapkan orde baru, pertemuan itu diadakan untuk
membahas konsep baru, konsep Lot 66 untuk membangun orde baru. Orde
Baru berusaha tampil meyakinkan sebagai penyelamat dan pembela
Pancasila murni dan UUD 1945. Mereka lahir karena "orde lama" sudah
terlalu jauh dari Pancasila murni dan UUD 1945. Begitu pula dengan
demokrasi. Demokrasi harus dibangun di atas asas Pancasila dan UUD
1945. Padahal, segala upaya untuk menggulingkan atau mengubah
Pancasila dan UUD 1945 harus diminimalisir sesegera mungkin, sesegera

28
mungkin. Sekalipun ditujukan untuk memanipulasi Kongres, harapan
tidak bisa dihindari. Tapi harapan itu memudar.
Orde Baru segera berkembang sebagai penafsir tunggal Pancasila dan
UUD 1945. Orde Baru mulai berkembang sebagai kekuatan yang ingin
menguasai segalanya, bahkan ingatan dan penafsiran oleh Pancasila.
Padahal, setiap kebijakan Orde Baru, terutama upaya membangun
demokrasi Pancasila, dilandasi oleh sikap yang benar-benar otoriter.
Demokrasi Pancasila hanyalah sketsa tipis dari perkembangan demokrasi
yang notabene untuk kepentingan golongan penguasa. Parodi demokrasi
di tengah politik, parlemen lumpuh dan masih banyak orang yang setuju,
hasil pemilu sudah diketahui bahkan sebelum dimulai. Orang-orang
didorong keluar dari politik, keluar dari proses demokrasi yang sebenarnya
atas nama hal-hal seperti stabilitas, keamanan dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai pemimpin Orde Baru, Suharto semakin memantapkan dirinya
sebagai pemimpin tunggal dan membiarkannya tetap berkuasa selama 32
tahun.
Semua ini telah dikonfirmasi dan diapresiasi oleh negara Demokrat,
para pembela dunia bebas (dari kebebasan) yang dipimpin oleh Amerika
Serikat. Bukankah modelnya terlalu mirip dengan praktik pemerintah
Belanda yang disinggung di awal artikel ini?? Tidak bisakah kita
mengatakan bahwa ini adalah perkembangan baru dari gaya kolonial yang
telah kita kenal di masa lalu? Itu adalah pola yang ditentang keras oleh
Soekarno dan diteruskan secara terbuka dalam pidato-pidato di PBB.
Tantangan dan Harapan Baru Setelah sekian lama berdiri, orde baru
akhirnya kehilangan daya pikatnya. Para pemimpin kehilangan
kepercayaan mayoritas rakyat. Tekanan krisis ekonomi, bencana alam dan
berbagai gerakan yang terutama dimotori oleh mahasiswa dan banyak
faktor lainnya akhirnya berhasil menggulingkan Suharto. Reformasi telah
menjadi tren, dengan banyak pejabat dan selebritas bersaing untuk
menyebut diri mereka reformis, sama seperti mereka bersaing untuk
menyebut diri mereka massa. Sebuah harapan baru berhembus. Kebebasan
telah mulai terbuka dan demokrasi tampaknya telah menarik napas.
Pemilihan umum pertama setelah Orde Baru mempertemukan banyak
pihak, seringkali membingungkan masyarakat.

29
Sampai saat ini, demokrasi politik prosedural berkembang sangat
pesat. Demokrasi prosedural di Indonesia telah berkembang menjadi
demokrasi liberal. Seiring dengan demokrasi Indonesia yang semakin
liberal, sistem ekonominya juga berubah. Negara ini terus-menerus
membuat kemajuan (atau didorong oleh kekuatan) menuju negara pasar
terbuka. William Lidle, seorang Indonesia yang terkenal, berpendapat
bahwa demokrasi dan kapitalisme pasar tidak dapat dipisahkan seperti
anak kecil dan bak mandinya. Liddle percaya bahwa demokrasi hanya
dapat menemukan tempatnya di negara yang menggunakan ekonomi pasar
kapitalis. Memang, sejak berakhirnya perang dingin, tampaknya sistem
politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme pasar ala Amerika telah
menjadi pemenang mutlak. Gaya alternatif lain, terutama varian kiri
(komunisme, sosialisme dan semua cabangnya) tampaknya telah
kehilangan daya tarik dan vitalitasnya. Namun, tidak sulit bagi kita untuk
melihat bahwa capaian demokrasi kita saat ini masih banyak lubangnya.
Apalagi jika yang kita bicarakan adalah pemilu.

Faktanya, pemilu kita telah gagal mengeluarkan faktor-faktor terbaik


dan menempatkannya pada tempatnya. Banyak pejabat terpilih terjerat
kasus korupsi, kolusi, dan otokrasi. Tidak dapat disangkal bahwa salah
satu penyebab utamanya adalah mahalnya biaya demokrasi. Mendaftar
untuk memilih mungkin memang gratis, tetapi biaya kampanye, bahkan
membangun citra untuk memenangkan hati orang, yang mengarah pada
pengumpulan jumlah suara maksimum, sering kali harus dibayar dengan
biaya paling rendah. Akibatnya, kesenjangan bahkan lebih besar karena
pejabat terpilih sering memprioritaskan pengembalian investasi, bahkan
membangun lingkaran kekuasaan dengan menarik orang tua dan rekan
demi kekuasaan jangka panjang. Sementara itu, di sisi lain, negara diminta
untuk tetap terbuka, mengubah dirinya menjadi wilayah kapitalisme pasar.
Privatisasi, deregulasi dan pengurangan subsidi atas nama efisiensi dan
persaingan yang sehat sangat dianjurkan, terutama oleh negara-negara
kaya melalui lembaga donor. Pengelolaan negara dan sumber daya alam,
bahkan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, semakin menjadi
tanggung jawab pihak swasta, yang seringkali merupakan pihak swasta
asing. Jadi bagaimana kita harus memperbaiki demokrasi kita? Di sini,
menurut saya, pemikiran Hatta dalam "Demokrasi Kita" perlu dievaluasi

30
kembali. Pemikiran Hatta akan membimbing kita untuk membangun
demokrasi yang lebih baik. Demokrasi Pancasila dalam tafsir baru untuk
menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

B. Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia


Sepanjang sejarah ketatanegaraannya, Indonesia secara teratur
menyaksikan perubahan dalam pemberlakuan UUD.Di awali dari UUD
1945, Konstitusi RIS, UUD 1950, kembalinya UUD 1945 dan sampai
dengan UUD 1945 setelah diamandemen pada tahun 2002. Secara
konseptual, masing-masing konstitusi dibentuk menjadi makna dan
susunan esensi demokrasi menurut untuk visi. konstituen konstitusi yang
bersangkutan. Pada awal kemerdekaan, ketika UUD 1945 menjadi dasar
hukum tertulis bagi seluruh bangsa Indonesia, muncul perubahan
pemikiran konstitusional yang mendominasi pemikiran semua pemimpin
agama di Indonesia. Pada awalnya, masyarakat mengemukakan gagasan
tentang peran negara dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
negara. Gagasan tersebut merupakan gagasan pluralisme. Selanjutnya,
melihat kenyataan bahwa tidak mungkin mendirikan lembaga negara
sebagaimana disyaratkan oleh UUD 1945 sebagai aparatur demokrasi
yang pluralistik, maka muncullah gagasan satu badan. Gagasan ini
melegitimasi munculnya lembaga MPR, DPR, dan DPA yang dibentuk
oleh Presiden untuk sementara dengan bantuan Komite Nasional.

Anehnya, tindakan darurat sementara dan pragmatis ini


dirumuskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Jangka waktu
tersebut membatasi kekuasaan Presiden dan Komite Nasional untuk
melaksanakannya. perang Asia Timur. Selanjutnya, MPR, yang dibentuk
berdasarkan hasil pemilihan umum konstitusional, diperintahkan untuk
bertemu untuk menetapkan konstitusi abadi yang sah. Tindakan ini harus
diambil oleh MPR dalam waktu enam bulan sejak pembentukan yang
bersangkutan. Diketahui bahwa UUD 1945 pada masa awal kemerdekaan
disusun oleh suatu panitia yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Secara konstitusional, UUD seharusnya disahkan oleh MPR dan
bukan oleh PPKI. Ia sepakat, jika berdasarkan sejarah penyusunan dan
penyuntingan Pasal II Peraturan Peralihan, UUD 1945 adalah konstitusi
sementara.

31
Komite Nasional mengusulkan untuk memberinya kekuatan untuk
membuat undang-undang dan mematuhi GBHN dan ini harus disetujui
oleh pemerintah. Atas desakan itu, Wakil Presiden Muhammad Hatta atas
nama Presiden mengeluarkan Keputusan Pemerintah Nomor X Tahun
1945. Pernyataan pemerintah itu memuat pernyataan yang pada pokoknya
berbunyi sebagai berikut: a) Komite Nasional Pusat sebelum dibentuk dari
MPR dan DPR (hasil pemilu legislatif) diberi kekuasaan legislatif dan
menetapkan arah – garis besar kebijakan negara; b) Disepakati bahwa
pekerjaan sehari-hari Komite Sentral Nasional karena keadaan mendesak
akan dilakukan oleh badan kerja yang dipilih oleh mereka dan bertanggung
jawab kepada Komite Sentral Nasional. Dikeluarkannya SK Pemerintah X
pada tahun 1945 merupakan perwujudan dari perubahan praktek
ketatanegaraan (konvensi) tanpa adanya amandemen terhadap UUD. Arti
Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 telah berubah. Komite Sentral
Nasional akan menjadi badan pembantu Presiden dalam menjalankan
kekuasaannya. Sejak pengumuman pemerintah, Komite Pusat Nasional
telah berubah fungsi menggantikan MPR dan DPR dan kekuasaan presiden
telah berkurang. Selain itu, pada tanggal 14 November 1945, pemerintah
mengeluarkan pernyataan pemerintah atas usul kelompok kerja Komite
Pusat Nasional.
Gagasan demokrasi pluralistik atau pluralis diwujudkan dalam
proklamasi pemerintah pada 14 November 1945. Kedua dekrit tersebut
secara mendasar mengubah sistem ketatanegaraan dengan mendelegasikan
sebagian besar peran rakyat dalam pembangunan kebijakan pemerintah.
Gagasan pendirian partai politik sebagai bentuk pemberian kesempatan
yang seluas-luasnya bagi partisipasi massa melalui sistem multi partai
menemukan tempatnya ketika Proklamasi Wakil Presiden dikeluarkan
pada tanggal 3 November 1945. Proklamasi Wakil Presiden dilakukan di
Gedung usulan Badan Kerja Komite Pusat Nasional. Kenyataannya,
pemerintah menyetujui munculnya partai politik karena dengan mereka
dimungkinkan untuk menertibkan semua gerakan sosial yang diharapkan
pemerintah agar partai politik dibentuk terlebih dahulu, ketika memilih
anggota badan perwakilan rakyat. diadakan pada bulan Januari 1946.
Kuatnya pemahaman demokrasi pluralis pada tahun 1945-1949 yang
ditandai dengan sistem multipartai mampu menekan sistem politik otoriter

32
dengan peran dominan pemerintahan negara. Terbukti parpol berhasil
menjatuhkan kabinet yakni kabinet Syahrir I, II, III, kabinet Syarifuddin
menggantikan kabinet Syahrir II. Situasi ini berlangsung sejak 8 hingga
1947. Setelah penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda pada 27
Desember 1949 (KMB), UUD 1945 diganti dengan UUD RIS.
Republik Indonesia menjelma menjadi negara kesatuan dengan
sistem politik parlementer. Secara konstitusional, pemerintahan dengan
sistem parlementer dikenal dengan istilah konstitusional parlementer.
Selama diundangkannya UUD RIS, tidak banyak insiden terkait demokrasi
dan peran negara. Karena keberadaan RIS hanya 8 bulan, sudah waktunya
untuk mentransfer kedaulatan. Terhitung sejak 17 Agustus 1945, UUD
RIS diganti dengan UUD 1950. bentuk negara serikat ditransisikan ke
negara kesatuan. Sistem demokrasi liberal yang sesungguhnya dimulai
ketika RI dimasukkan ke dalam UUD 1950. Dengan demikian, naik turun
kabinet menjadi hal yang lumrah. Menurut Rusdi Kartaprawira, pada
periode 1950-1959 ada 7 kabinet. Itu berarti usia rata-rata 9 kabinet kurang
dari 15 bulan. Fakta bahwa kabinet sering dirotasi telah menyebabkan
ketidakpuasan di kalangan politisi. Demikian pula, pemerintah Jawa yang
terpusat telah menyebabkan banyak kecemburuan di masyarakat di bagian
lain negara ini. Berbagai bentuk pemberontakan seperti: PRRI Permesta,
Kahar Muzakar, DI/TII, Andi Azis dan Andi Selle mencontohkan situasi
tersebut. Majelis Konstitusi yang bertugas membentuk konstitusi negara,
gagal ketika dalam persidangan kelompok pro-Pancasila dan pro-Islam
tidak setuju. Ketidaksepakatan mereka didasarkan pada usulan untuk
memasukkan Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945, dan Pasal 29
ayat (1) UUD 1945 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban untuk
menerapkan hukum Islam kepada pemeluknya”.
Dugaan bahwa Indonesia akan menjadi negara Islam menghalangi
Majelis Konstituante membuat 10 keputusan tentang rancangan konstitusi
baru. Menyadari bahwa lembaga-lembaga negara tidak aktif pada saat
Undang-Undang Dasar diundangkan, Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang mengatur kembalinya UUD
1945 ke dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Konstruksi

33
mekanisme perlindungan konstitusi kembali sama seperti ketika UUD
1945 diundangkan pada 18 Agustus 1945. Tentang peran (pemerintah)
negara dalam melaksanakan demokrasi, terjadi perubahan mendasar, yaitu
ketika Ketetapan VIII MPRS/ MPRS/1965 menetapkan bahwa demokrasi
terpimpin, menurut Soekarno, adalah demokrasi yang dipandu oleh
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan sebagai dasar
penyelenggaraan rakyat pemilik di Indonesia. Ide demokrasi terpimpin
banyak ditentang oleh pihak oposisi. Mereka menolak gagasan demokrasi
seperti itu karena konsepsi terpimpin bertentangan dengan demokrasi.
Klaim mutlak demokrasi adalah kebebasan, sedangkan instruksi yang
diucapkan justru akan meniadakan atau menghilangkan kebebasan.
Demokrasi terpimpin mengarah pada praktik otoriter dalam pembentukan
12 negara demokrasi. Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno, Suharto
digantikan oleh Suharto pada tahun 1968. Selama 2 tahun, Suharto
menerima mandat dari Soekarno untuk menyelesaikan kekacauan
pemberontakan PKI berbasis gerakan/pesanan 30 September 11 Maret
1966.

Perubahan hanya menyangkut sistematika pengaturan, tidak


mengenai substansi materi pengaturannya. Hakikatnya DPR mempunyai
fungsi legislasi (pengaturan), pengawasan dan budgeting (anggaran). Ada
kritik mengenai sistem pemerintahan negara. Sistem pemerintahan
presidensiil yang dipertahankan dalam UUD 1945 setelah amandemen
oleh Yusril Ihza Mahendra dan beberapa tokoh lain dipandang perlu
diubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Alasannya untuk
memberi tempat kepada orang yang mempunyai kharisma dan pengikut
tetapi kurang kapabel untuk mengantisipasi sistem multi partai yang tak
mungkin menghasilkan pemenang mayoritas utuh. Sementara ada
pendapat lain yang tetap menghendaki sistem pemerintahan presidensiil.
Menurut pendapat tersebut otoritarisme yang menggejala selama ini,
bukan disebabkan oleh sistem pemerintahan yang dianut tetapi oleh tidak
dielaborasikannya secara ketat prinsipprinsip konstitusionalisme didalam
UUD 1945. Diakui bahwa UUD 1945 memang membangun sistem
executive heavy, mengandung ambigu, terlalu banyak atribusi
kewenangan sehingga seringkali penguasa negara menggunakannya guna
mengakumulasikan kekuasaannya secara terus-menerus. Tepatlah kalau

34
dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan “yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat
para penyelenggara negara.” Namun sayangnya kepercayaan tersebut 15
tidak dikawal dengan sistem yang ketat. Mengenai pelaksanaan demokrasi
setelah amandemen UUD 1945 menunjukkan suatu kemajuan. Terbukti
bahwa sebagian besar aspirasi rakyat tentang penyelenggaraan
pemerintahan negara telah terakomodir.

Sistem kontrol, pengaturan, dan anggaran DPR berjalan tanpa


campur tangan atau ancaman dari pemerintah atau rezim yang berkuasa.
Hal ini menunjukkan semangat penyelenggara pemerintahan negara untuk
tidak melangkah keluar dari ruang konstitusi dengan menyatakan
demokrasi. Check and balances diperlukan dalam pengelolaan negara.
Kedudukan DPR yang terlalu kuat dalam hubungannya dengan pemerintah
akan membuat pemerintah tidak berdaya menjalankan fungsinya. Di sisi
lain, ketika pemerintah terlalu kuat dalam menangani DPR, justru
melemahkan fungsi manajemen, pengawasan, dan penganggaran. Untuk
menciptakan suasana dinamis dalam penyelenggaraan negara, diperlukan
tidak hanya konstitusi yang memberikan kerangka hukum bagi demokrasi,
tetapi juga perlu disadari bahwa pemerintah dan DPR tidak boleh saling
bersaing. Niat baik kedua belah pihak sangat diperlukan, yang terpenting
adalah tercapainya tujuan membentuk masyarakat adil dan makmur
sesegera mungkin.

Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam dua


tahap yaitu tahapan pra kemerdekaan dan tahapan pasca kemerdekaan.
Perkembangan demokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan mengalami
pasang-surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan sampai saat ini, selama 55
tahun perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang
dihadapi merupakan bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam
berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dalam bidang
politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Sebagai tatanan kehidupan,
inti tatanan kehidupan demokratis secara empiris terkait dengan persoalan
pada hubungan antar negara atau pemerintah dengan rakyat, atau
sebaliknya hubungan rakyat dengan negara atau pemerintah dalam posisi
keseimbangan (aquilibrium potition) dan saling melakukan pengawasan

35
(check and balance). Perkembangan demokrasi di Indonesia dilihat dari
segi waktu dibagi dalam beberapa periode, yaitu:
1. Demokrasi Era Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)
2. Demokrasi Era Parlementer (1950-1959)
3. Demokrasi Era Terpimpin (1959-1966)
4. Demokrasi Era Orde Baru (1966-1998)
5. Demokrasi Era Reformasi (1966-Sekarang)

1. Era perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)


Para penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan
mempunyai komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan demokrasi
politik di Indonesia. Hal itu terjadi karena latar belakang pendidikan
mereka. Mereka percaya bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu
yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi juga merupakan sesuatu yang
perlu diwujudkan.
Pada awal periode kemerdekaan Muhammad Yamin dengan
berani memasukkan asas peri kerakyatan dalam usulan dasar negara
Indonesia merdeka. Yang kemudian digabungkan dengan asas mufakat
atau demokrasi usulan Ir. Soekarno tentang dasar negara Indonesia
merdeka dan kemudian diberi nama Pancasila. Pada saat itu pelaksanaan
demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih
adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi
kekuasaan, hal ini terlihat pada Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang
berbunyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini
segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan dibantu oleh KNIP.
Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang
absolut pemerintah mengeluarkan :

1. Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP


berubah menjadi lembaga legislatif.
2. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang
Pembentukan Partai Politik.
3. Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 tentang
perubahan system pemerintahn presidensil menjadi parlementer

36
Berasarkan maklumat 3 November tersebut, banyak partai politik
yang bermunculan. Maklumat Pemerintah Republik Indonesia 3
November 1945 menatakan bahwa "Berhubung dengan usul Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat kepada Pemerintah, supaya
diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan
partai-partai politik, dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu
hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan
dan menjamin keamanan masyarakat, Pemerintah menegaskan
pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang lalu, bahwa:

1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena


dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun,
sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan
Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.

Setelah dikeluakannya maklumat itu, secara resmi muncul 10 partai


politik, diantaranya :

1. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang dipimpin


oleh Dr. Soekiman Wirjosandjoyo, berdiri 7 November 1945.
2. PKI (Partai Komunis Indonesia), yang dipimpin oleh Mr. Moch.
Yusuf, berdiri 7 November 1945.
3. PBI (Partai Buruh Indonesia), yang dipimpin oleh Njono, berdiri 8
November 1945.
4. Partai Rakyat Jelata, yang dipimpin oleh Sutan Dewanis, berdiri 8
November 1945.
5. Parkindo (Partai Kristen Indonesia), yang dipimpin oleh Ds.
Probowinoto, berdiri 10 November 1945.
6. PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang dipimpin oleh Mr. Amir
Sjarifuddin, berdiri 10 November 1945.
7. PRS (Partai Rakyat Sosialis), yang dipimpin oleh Sutan Syahrir,
berdiri 20 November 1945. PSI dan PRS kemudian bergabung
dengan nama Partai Sosialis, yang dipimpin oleh Sutan Syahrir,
Amir Sjarifuddin, dan Oei Hwee Goat, pada Desember 1945.

37
8. PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia), yang dipimpin oleh
I.J. Kasimo, berdiri 8 Desember 1945.
9. Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), yang dipimpin
oleh J.B. Assa, berdiri 17 Desember 1945.
10. PNI (Partai Nasional Indonesia), yang dipimpin oleh Sidik
Djojosukarto, berdiri 29 Januari 1946. PNI didirikan sebagai hasil
penggabungan antara PRI (Partai Rakyat Indonesia), Gerakan
Republik Indonesia, dan Serikat Rakyat Indonesia, yang
masing-masing telah berdiri antara bulan November dan
Desember 1945.

Maksud dikeluarkannya maklumat tersebut yakni memberitahukan


bahwa pemerintah menyetujui adanya kemunculan berbagai partai politik
asalkan fungsi utamanya adalah ikut serta memenangkan revolusi
kemerdekaan dengan menanamkan kesadaran untuk bernegara serta
menanamkan semangat anti penjajahan.

Usulan dari BP-KNIP kepada pemerintah yang disiarkan dalam


pengumuman Badan Pekerja KNIP No. 5 tahun 1945 tanggal 11
November 1945 yang berbunyi : “Supaya lebih tegas adanya kedaulatan
rakyat dalam susunan pemerintahan Republik Indonesia, maka
berdasarkan pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar yang
dirubah, badan Pekerja dalam rapatnya telah membicarakan soal
pertanggung jawaban para Menteri kepada Badan perwakilan Rakyat
(menurut sistem sementara kepada Komite Nasional Pusat)”

“Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang


hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya
menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk
menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata
usaha Negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam
perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggungjawab
adalah di dalam tangan Menteri.”

38
1. Perbedaan mendasar berkenaan dengan Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahannya. Sistem pemerintahan Presidensil, Presiden
sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.
Sedangkan pada sistem pemerintahan Parlementer, Presiden
berperan sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri.
2. Sistem pemerintahan Presidensil yang ada di Indonesia tidak
berlangsung lama. Hanya di awal kemerdekaan, yaitu sejak 12
September 1945 sampai 14 November 1945. Sementara sejak 14
November 1945, dengan dikeluarkannya maklumat tersebut,
secara gamblang Indonesia menjadikan dirinya sebagai negara
kabinet Parlementer di mana Presiden bertanggung jawab kepada
Parlemen (KNIP) yang berfungsi sebagai badan Legislatif, sesuai
dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945 (sebelum
amandemen) & Maklumat Wakil Presiden No.X 16 Oktober 1945
yang menyebutkan KNIP sebagai fungsi Legislatif.
3. Perdana Menteri pertama Indonesia adalah Sutan Syahrir.
4. Dalam kabinet ini Menteri-Menteri tidak lagi menjadi
pembantu dan bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi
bertanggung jawab kepada KNIP
5. KNIP menjadi lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang
berfungsi sebagai badan Legislatif

2. Era Demokrasi Parlementer (1950-1959)


Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950-
1959. Dengan menggunakan UUD Sementara sebagai landasan
konstitusionalnya. Periode ini disebut pemerintahan parlementer. Masa ini
merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua
elemen demokrasi dapat ditemukan dalam kehidupan politik di Indonesia.
1. Pertama, lembaga perwakilan rakyat memainkan peranan yang
sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan
kekuasaan parlemen itu diperlihatkan dengan sejumlah mosi tidak
percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet
harus meletakkan jabatannya.

39
2. Kedua, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi pada umumnya
sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen
dan juga sejumlah media massa sebagai alat kontrol sosial.
3. Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh
peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara
maksimal. Dalam masa ini Indonesia menganut
sistem banyak partai. Ada hampir 40 partai politik yang dibentuk
dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses
rekruitmen. Campur tangan pemerintah bisa dikatakan tidak ada
sama sekali.
4. Keempat, sekalipun Pemilu hanya dilaksanakan satu kali, yaitu
pada 1955, tetapi
pemilu tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip
demokrasi.
5. Kelima, masyarakat pada umunya dapat merasakan bahwa hak-hak
dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua
warga negara dapat memenfaatkannya
dengan maksimal (Afan Gaffar, 2001: 30).

Pada sistem pemerintahan ini, kabinet disusun menurut


perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen. Sedangkan kedudukan
presiden hanya sebagai lambang kesatuan Parlemen pada sistem
demokrasi liberal memiliki kedudukan dengan sangat berkuasa. Jika
kabinet dipandang tidak mampu menjalankan tugas maka parlemen segera
membubarkannya. Adapun cara kerja sistem pemerintahan parlementer
adalah sebagai berikut.

 Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR yang dibentuk melalui


pemilu multipartai.
 Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet/dewan menteri yang
dipimpin oleh seorang perdana menteri.
 Presiden berperan sebagai kepala negara bukan kepala
pemerintahan.
 Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas.
 DPR dapat memberi mosi tidak percaya kepada menteri yang
kinerjanya dinilai kurang/tidak baik.

40
 Jika kabinet bubar, presiden akan menunjuk formatur kabinet
untuk menyusun kabinet baru.
 Jika DPR mengajukan mosi tidak percaya kepada kabinet baru
maka bisa dibubarkan.

Pada masa berlakunya demokrasi parlementer atau liberal, konstitusi


Indonesia mengalami beberapa kali perubahan, yaitu dari UUD 1945
menjadi Konstitusi RIS pada tahun 1949, bentuk negara Indonesia juga
mengalami perubahan dari negara kesatuan menjadi negara serikat, dan
UUDS pada tahun 1950 bentuk negara Indonesia kembali menjadi
berbentuk kesatuan.

Pada masa demokrasi parlementer di Indonesia memiliki ciri


banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang
kekuasaan. Kondisi tersebut menyebabkan sering terjadi pergantian
kabinet. Ada 7 kabinet yang tercatat pernah mengisi pemerintahan masa
demokrasi parlementer dalam selang tahun 1950–1959. Di mana hampir
setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Akibatnya, program-program
kabinet tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Tujuh kabinet pada masa demokrasi parlementer meliputi:

1. Kabinet Natsir
2. Kabinet Sukiman

3. Kabinet Wilopo
4. Kabinet Ali – Wongso – Arifin (Kabinet Ali)

5. Kabinet Burhannuddin Harahap


6. Kabinet Ali II

7. Kabinet Juanda
Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi selama Indonesia pada
masa demokirasi parlementer. Pertama adalah pemilu pertama pada tahun
1955 yang menjadi tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Kedua
adalah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang

41
memberikan beberapa keuntungan bagi Indonesia. Ketiga adalah
pengakuan atas Deklarasi Djuanda yang menyebabkan luas wilayah
Republik Indonesia bertambah hingga 2,5 kali lipat.

- Pemilihan Umum (Pemilu) 1955


Pemilihan umum (pemilu) pada tahun 1955 menjadi tonggak
demokrasi pertama di Indonesia. Rakyat yang berpartisipasi dalam pemiliu
pertama sebanyak 39 juta suara. Pelaksanaan pemilu 1955 terbagi dalam 2
tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada 29 September 1955 untuk
memilih anggota DPR yang berjumlah 250 orang. Perolehan suara
terbanyak pada Pemilu ini dimenangkan oleh empat partai politik yaitu
PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Anggota DPR hasil Pemilu 1955 dilantik
pada 20 Maret 1956.

Tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan


Konstituante. Tugas dari Dewan Konstituante adalah untuk membuat
Undang-undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUD Sementara
1950. Pelantikan anggota Konstituante dilaksanakan pada 10 November
1956. Meskipun pemilu tahun 1955 berhasil diselenggarakan dengan
lancar, namun tidak dapat memenuhi harapan rakyat yang menghendaki
pemerintah yang stabil. Dalam perjalanannya, pemerintahan masa
demokrasi parlementer mengalami beberapa pemberontakan. Beberapa
gangguan keamanan yang terjadi pada masa demokrasi parlementer:
 Gerakan Ankatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung yang
dipimpin oleh Kapten Raymon Westerlilng.

 Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) dipimpin oleh


Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil

 Pemberontakan Andi Azis di Makassar, Sulawesi Selatan

 Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau


Permesta terjadi di Sulawesi

- Konferensi Asia Afrika (KAA)

42
Konferensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan di Bandung pada
tanggal 18–24 April 1955. Negara yang menghadiri konferensi ini
sebanyak 29 negara. Hasil sidang dari KAA berupa sepuluh prinsip yang
dikenal dengan Dasasila Bandung. Penyelenggraan KAA memberikan
keuntungan bagi Indonesia karena berhasil menyelenggarakan konferensi
tingkat nasional. Selain itu, Indonesia juga mendapat dukungan bagi
pembebasan Irian Barat yang pada waktu itu masih diduduki Belanda.
KAA juga memberikan beberapa pengaruh terhadap dunia. Setelah KAA
berakhir, beberapa negara di Asia dan Afrika mulai mempejuangkan
kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat penuh. KAA juga menjadi
awal bagi lahirnya gerakan non blok.

- Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda memuat hukum teritorial yang mengatur wilayah laut-
laut bebas pemisah pulau di wilayah Indonesia. Hukum tentang wilayah
laut Indonesia ini diperjuangkan pada masa pemerintahan Kabinet
Djuanda. Sebelumnya, kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan
Indonesia. Kondisi tersebut menyulitkan Indonesia dalam melakukan
pengawasan wilayah Indonesia. Pengakuan atas Deklarasi Djuanda dalam
Konvensi Hulum Laut PBB membuat wilayah Republik Indonesia menjadi
semakin luas. Wilayah Indonesia bertambah hingga 2,5 kali lipat setelah
adanya deklarasi tersebut.
Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa demokrakasi
parlementer belum pernah mencapai kestabilan secara nasional. Selain itu,
dewan konstituante yang bertugas menyusun UUD baru tidak berhasil
melaksanakan tugasnya. Pada tanggal 5 Juli 1959, presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit presiden untuk mengatasi permasalahan yang sedang
dihadapi.

Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959:


1. Menetapkan pembubaran Dewan Konstituante
2. Menetapkan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara dan tidak
berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).

43
3. Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota DPR ditambah
dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kemudian mengakhir masa demokrasi


parlementer di Indonesia. Sistem pemerintahan selanjutnya yang
menggantikan demokrasi parlementer adalah demokrasi terpimpin.

3. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)


Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin adalah sebuah
sistem pemerintahan, di mana segala kebijakan atau keputusan yang
diambil dan dijalankan berpusat kepada satu orang, yaitu pemimpin
pemerintahan. Demokrasi terpimpin dikenal dengan pemerintahan
terkelola dengan peningkatan otokrasi, dalam artian lain negara yang
menganut sistem demokrasi terpimpin adalah di bawah pemerintahan
penguasa tunggal.
Indonesia era demokrasi terpimpin adalah sebuah periode dalam
sejarah peradaban Indonesia modern. Praktik secara resmi demokrasi
terpimpin berlangsung di Indonesia dari tanggal 5 Juli 1959 hingga 11
Maret 1966, periode ini juga disebut dengan istilah Orde Lama. Dalam
sistem politik demokrasi terpimpin, negara menggunakan prinsip-prinsip
demokrasi beserta nilainya namun dengan satu pengecualian. Negara
dibuat dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat secara umum dan
juga untuk melindungi segenap bangsa yang ada di dalamnya. Namun
tugas negara harus berada dalam panduan dan pimpinan seorang tokoh
pusat, yakni presiden.
Ciri yang paling khas dari konsep demokrasi terpimpin adalah
kehadiran peran dan campur tangan presiden selaku pemimpin tertinggi
demokrasi dan revolusi. Terdapat lembaga tinggi negara yang ada saat
periode Indonesia era demokrasi terpimpin, yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Tujuan dari sistem demokrasi terpimpin di antaranya adalah Untuk
mengganti demokrasi liberal yang dianggap tidak stabil untuk negara
Indonesia dan Untuk meningkatkan kekuasaan presiden pada masa itu

44
yang awalnya hanya sebatas kepala negara menjadi pemegang kekuasaan
tertinggi. Seperti kita ketahui bahwa sistem pemerintahan Indonesia
mengalami perubahan sistem pemerintaahan pada tanggal 14 November
1945 dari sistem presidensil ke sistem parlementer, sebagai upaya untuk
menghapus kesan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta bukanlah boneka
Jepang. Akibatnya kedudukan Presiden Soekarno berubah tidak lagi
sebagai kepala pemerintahan tetapi hanya sebagai kepala negara,
kedudukan kepala pemerintahan di pegang oleh Perdana Menteri, sampai
saat pembentukan Republik Indonesia Serikat, ada tiga Perdana Menteri
yaitu Sutan Syahrir, Amir Syarifudin, dan Hatta (Magenda, 2005).
Kedudukan Soekarno yang bersifat simbolis berlangsung lama,
kendatipun kemerdekaan Indonesia telah diakui oleh dunia internasional.
Dalam tahun 1950 terjadi perubahan konstitusi, dimana UUD 1945 diganti
dengan UUDS 1950. UUDS 1950 ini berlaku sampai dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945 pada pertengahan tahun 1959. Sistem
politik yang dianut oleh UUDS 1950 ini merupakan demokrasi
parlementer sama dengan ketika pada berlakunya sistem parlementer pada
tanggal 14 November 1945. Dalam sistem yang demikian, presiden praktis
hanya berpangkutangan; posisi inilah yang sering dinamakan Seokarno
sebagai tukang stempel. Tentu saja Soekarno tidak menyukai kedudukan
demikian, walau itu sesuai dengan konstitusi yang berlaku (Syamsudin,
1988). Berlakunya sistem parlementer di Indonesia pada tahun 1950
melalui UUDS 1950, ternyata memiliki dua kelemahan pokok. Kelemahan
pertama adalah fragmentasi perlemen Indonesia, dimana tidak ada partai
mayoritas yang menguasai lebih dari separoh jumlah kursi DPR. akibatnya
terjadi proses “coalition building” yang mudah pecah karena perbedaan
suatu kebijaksanaan. Ini terjadi pada masa revolusi kemerdekaan maupun
pada masa DPR sementara, 1950. Hanya setelah terbetuknya DPR hasil
pemilu 1955 dapat dibentuk koalisi besar yang terdiri dari PNI, Masyumi
dan Nahdatul Ulama. Tetapi karena mudahnya koalisi kabinet pecah, maka
umur kabinet juga tidak terlalu lama, antar 6 bulan sampai yang paling
lama 2 tahun (Magenda, 2005).
Lebih lanjut Magenda (2005) menjelaskan kelemahan lainnya
yakni ketika Presiden Soekarno yang sudah tidak sabar kepada kabinet-

45
kabinet yang tidak fokus lagi pada pembangunan nasional, Presiden
Soekarno menunjuk dirinya sebagai formatur dan membentuk kabinet
karya yang dipimpin Ir. Djuanda. Situasi politik yang bisa dikatakan kacau
saat itu terjadi, hampir di setiap daerah timbul pemberontakan akibat
ketidakpuasan kepada pemerintahan pusat. Konflik kekuasaan antara
partai-partai politik di parlemen yang saling menjatuhkan satu sama lain,
menimbulkan kerisauan dan ketidakpuasan pada Angkatan Darat pada
tanggal 17 Oktober 1952 Angkatan Darat dengan mengarahkan
meriamnya ke arah Istana Negara. Pimpinan AD saat itu Kolonel A.H.
Nasution dalam aksinya tersebut mendesak Soekarno untuk membubarkan
parlemen dan mengambil alih kekuasaan; tetapi Soekarno menolaknya,
karena Soekarno tidak suka untuk didesak-desak (Syamsudin, 1988).
Menurut Syamsudin (1988) masih terdapat kemungkinan lain
kenapa Soekarno tidak mau mengambil kekuasaan selain karena dipaksa.
Pertama, ada kemungkinan Soekarno bilaia mengambil alih kekuasaan
maka Soekarno khawatir ia akan mengalami hal yang sama. Kemungkinan
tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin, karena AD saat itu dipengaruhi
oleh perwira-perwira yang dikenal tidak dekat dengan Soekarno. Kedua,
walaupun ada keinginan untuk menguasai panggung politik ketika itu,
tetapi tampaknya Soekarno belun begitu yakin akan kekuatannya sendiri.
Disatu pihak, pada waktu itu Soekarno belum memiliki pengaruh yang
cukup luas di kalangan AD, sehingga sangat kecil kemungkinan baginya
untuk menguasai organisasi militer ini. Pada pidatonya tertanggal 21
Febuari 1957 dengan Judul “Menyelamatkan Republik Proklamasi”,
Soekarno mengeluarkan gagasan yang disebut konsepsi presiden.
Soekarno menyatakan bahwa pengalaman selama 11 tahun dengan sistem
demokrasi liberal atau parlementer menunjukkan bahwa demokrasi tidak
cocok dengan kepribadian Indonesia. Demokrasi tersebut adalah
demokrasi Import yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia
sehingga kita mengalami ekses-ekses dalam penyelenggaraannya. Dalam
demokrasi parlementer yang datang dari barat terdapat satu pengertian
yang dinamakan oposisi. Oposisi inilah yang membuat kita menderita
karena prinsip oposisi diartikan dengan menentang pemerintah secara
hebat-hebatan. Kabinet yang sesuai dengan kepribadian Indonesia adalah
kabinet gotong royong yang akan terdiri dari semua unsur-unsur golongan

46
yang ada dalam masyarakat. Soekarno juga menyatakan bahwa pemaksaan
mayoritas atas minoritas tidak sesuai dengan cara Indonesia, dimana dalam
mengambilan keputusan dengan melalui jalan musyawarah untuk mufakat.
Selama ada golongan minoritas yang belum yakin akan suatu usul maka
musyawarah harus diteruskan dibawah tuntunan seorang pemimpin
sampai ditemukan kata sepakat, hal ini memungkinkan semua pendapat
dipertimbangkan dengan memperhatikan pendapat minoritas. Inilah yang
oleh Soekarno dianggap sebagai model demokrasi Indonesi (Mar’iyah,
1988).
Disini dapat dilihat bagaimana Presiden Soekarno memperlihatkan
ketidaksukaannya terhadap demokrasi parlementer yang diterapkan di
Indonesia ternyata tidak berjalan secara mulus karena malah menimbulkan
ketidakstabilan pada pemerintahan. Soekarno melihat posisi oposisi hanya
sebagai penganggu terhadap kabinet karena hanya melakukan
penentangan-penentangan tanpa memberikan solusi atau kesempatan
kepada kabinet yang memerintah. Untuk menghindari terjadinya oposisi
yang tidak sehat, Soekarno menginginkan terbentuknya suatu kabinet yang
di isi oleh semua unsur golongan masyarakat sehingga semua golongan
dapat terakomodasi.
Soekarno berusaha mengintepretasikan atau menerjemahkan demokrasi
berdasarkan pemahamannya yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Soekarno menginginkan suatu konsep demokrasi ala Indonesia yang lebih
mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan gotong royong dibawah
tuntunan seorang pemimpin. Bisa dikatakan apa yang di ungkapkan oleh
Presiden Soekarno ada benarnya karena menurut MacPherson (Suhelmi,
2001, p. 316) demokrasi liberal hanya akan tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yang tingkat perkembangan kapitalismenya relatif
tinggi dan suatu negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi liberal
pada mulanya harus bersifat liberala terlebih dahulu baru kemudian
demokratis. Ini berlainan dengan kondisi di negara-negara Barat karena
nilai-nilai liberalisme telah dianut lebih dahulu oleh masyarakatnya
sebelum nilai-nilai demokrasi sehingga negara barat tidak mengalami
kesulitan dalam melaksananakan demokrasi.

47
Sebelum Presiden Soekarno berpidato tanggal 21 Febuari 1957 tentang
konsepsinya mengenai demokrasi, Presiden Soekarno pada pidatonya
tanggal 27 Januari 1957 di rapat umum ”Merah Putih” di Bandung, sudah
memberikan isyarat dan mengungkapkan keinginannya untuk mencampuri
urusan pemerintahan pada masa peralihan sebelum konstituante selesai
kerja sampai konstituante dapat direalisir. Soekarno juga
mengekemukakan bahwa ia akan mencetuskan konsepsi yang akan
memungkinkan ia turut serta dalam pemerintahan (Noer, 1987).
Konsepsi Presiden Soekarno tentang demokrasi, sebenarnya
memuat tiga hal pokok yang terkandung didalamnya. Pertama, adalah
diperkenalkannya gaya kepemimpinan dan sistem pemerintahan baru yang
kemudian dikenal dengan sistem demokrasi terpimpin. Kedua untuk
mewujudkan konsepsi baru tersebut maka ia mengusulkan pembentukan
kabinet gotong royong seperti sudah disinggung diatas dengan memasukan
seluruh partai politik termasuk Partai Komunis Indonesia. Ketiga
dibentuknya Dewan Nasional yang terdiri dari sebagian besar golongan
fungsional, yang dimaksud golongan fungsional adalah golongan
karyawan yang terdiri dari wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha
nasional, golongan agama, pemuda, angkatan bersenjata, wanita dan juga
wakil-wakil daerah. Dewan Nasional adalah pencerminan dari masyarakat
secara keseluruhan (Mar’iyah, 1988). Usulan pembentukan kabinet gotong
royong adalah membentuk kabinet dengan menyertakan seluruh partai
termasuk PKI. Karena menurut Soekarno partai ini adalah satu bagian
yang sah dari revolusi dan PKI seharusnya diberi kesempatan untuk ikut
serta dalam pembentukan suatu kesepakatan nasional. Dengan demikian
akan terbentuk suatu pemerintahan yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU
dan PKI, dan mungkin akan dibantu oleh partai-partai kecil yang lain. Jadi
kabinet yang terbentuk menurut Soekarno akan lebih mampu menjalankan
kebijaksanaan politik nasional yang dapat diterima dan meningkatkan
kerukunan persatuan nasional daripada suatu kabinet koalisi yang terus
diganggu oleh oposisi. Gotong royong menurut Soekarno adalah perkataan
asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-
murninya (Mar’iyah, 1988). Salah satu gagasan Soekarno yang lain yaitu
penguburan partai-partai politik pada pidatonya tahun 1956 di nuka
pertemuan delegasi pemuda dari semua parti dan di muka semua Persatuan

48
Guru-guru ia menyatakan bahwa tak seorangpun dapat membenarkan
adanya 40 buah partai di negeri ini, dan mengajak kita untuk mengubur
paretai-partai. Soekarno tidak suka pada sistem multi partai karena terlalu
banyak partai malah menimbulkan ketidakstabilan di kabinet dan
parlemen. Sebenarnya Soekarno lebih menginginkan terbentuknya satu
pertai tunggal atau partai pelopor pada awal kemerdekaan tetapi tidak
mendapatkan persetujuan dari KNIP karena dikhawtirkan menjadi pesaing
KNIP, ditambah munculnya maklumat pemerintah No. X tanggal 3
November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik membuat usulan
Soekarno menjadi gagal. Gagasan ini ditentang oleh M. Natsir ketua
Masyumi, Natsir menolak pandangan Presiden Soekarno tentang sistem
partai dan demokrasi pada umumnya serta konsepsi kepala negara. Dengan
perkataannya “bahwa selama demokrasi masih ada, selam itu pula partai-
partai terus ada, dengan atau tidak dengan keputusan pemerintah pada
bulan November 1945. Sebaliknya, dikatakannya pula, selama masih ada
kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan. Kalau partai-partai
dikubur. Demokrasi otomatis akan terkubur. Dan diatas kuburan ini hanya
dikatator yang memerintah. Pada bulan November 1956 Kiai Dahlan
menyatakan bahwa penguburan partai-partai bertentangan dengan
semangat Islam. Penguburan partai-partai bisa menimbulkan dikataor.
Imron Rosyadi, Ketua Pemuda Ansor (NU) mengatakan bahwa dikator
berlawanan dengan Islam. Ia juga menambahkan bahwa sistem
pemerintahan harus dikembangkan lepas dari soal siapa Presidennya.
Imron Rosyadi juga menuduh bahwa Dewan Nasional hanya dibentuk
untuk kepentingan Soekarno (Noer, 1987).
Setelah seringnya Soekarno mengkritik demokrasi parlementer dan
sistem multi partai dengan pidato-pidatonya. Situasi politik yang makin
kritis dalam masa tersebut seperti pergolakan dalam badan konstituante
dan parlemen, membuka kesempatan bagi Soekarno untuk ikut
menyelesaikan masalah yang dihadapi, dengan mengambil tindakan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut: 1.
Pembubaran Konstituante 2. Berlakunya Kembali UUD 1945 3. Tidak
berlakunya UUDS 1950 4. Pembentukan MPRS dan DPAS
Akibatnya terjadi pembubaran DPR dan MPR hasil pemilu 1955,
digantikan dengan MPR Sementara dan DPR Gotong Royong yang

49
anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno. Demikian juga pimpinan
MPR Sementara dan DPR Gotong Royong diangkat sebagai menteri
kordinator dan menteri dalam kabinet. Sedangkan usaha Presiden
Soekarno untuk menyederhanakam sistem partai politik dengan
mengurangi jumlah partai politik melalui Perpres No. 7/1959 yang
membatalkan maklumat pemerintah tentang pembentukan partai politik
tanggal 3 November 1945, diganti dengan partai-partai politik harus
memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi agar diakui pemerintah.
Hanya 10 partai yang memenuhi sayarat tersebut yaitu PKI, PNI, NU,
Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai
Islam Perti, sedangkan partai lain tidak memenuhi syarat, termasuk PSI
dan Masyumi yang dituduh terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA
(Budiardjo, 1998).
Untuk mewadahi 10 partai tersebut maka dibentuklah Front
Nasional, yang berdasarkan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan
Komunis) ditambah golongan fungsional termasuk militer. PKI berhasil
mengembangkan pengaruhnya untuk melemahkan kedudukan partai
politik. Tetapi akibatnya dalam perpolitikan nasional malah terjadi
persaingan baru dan sebuah segitiga kekuatan politik yaitu Presiden
Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI.
Antara Angkatan Darat dan PKI memiliki tujuan yang berbeda,
Presiden Soekarno turun sebagai kekuatan penyeimbang diantar
persaingan tersebut untuk menjaga agar konsep demokrasi terpimpinnya
dan nasakom tetap berjalan. Tetapi tidak berhasil karena adanya upaya PKI
melalui Gestapu untuk menyingkir Angkatan Darat, tapi Angkatan Darat
lebih siap menghadapinya, malah menyebabkan demokrasi terpimpin
gagal dan Presiden Soekarno tersingkir dari kekuasaan (Budiardjo, 1998).
Konsep demokrasi terpimpin Soekarno menurut Takashi Shirasi (Sularta,
2001, p. 70) dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang pada nasionalis
generasi pertama seperti yang diwakili Soetatmo, Tjipto, dan Ki Hajar
Dewantara. Pengaruh Tjipto terhadap Soekarno adalah perlunya national
spirit menjadi national will yang akhirnya akan mewujud dalam bentuk
aksi nasional. Sedangkan pengaruh Soetatmo di dapatnya dari konsep
demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan) dari Ki Hadjar Dewantara,

50
yang sangat dipengaruhi oleh visi Soetatmo mengenai negara
kekeluargaan di bawah kendali Bapak/yang bijaksana/pandhita ratu.
Soetatmo adalah seorang anggota Budi Oetomo, yang dalam bukunya
“Sabdo Pandito Ratu” Soetatmo menuliskan bahwa sistem politik yang
sedang berjalan di Indies (Sebutan Indonesia ketika masih di jajah
Belanda) tidak benar. Ia membandingkan negara Indies dengan sebuah
keluarga yang “bapaknya cerewet dan ibunya sibuk mengurus diri sendiri,
sehingga lupa tugasnya terhadap anak-anak”. “Jika ibu terus menerus
menolak tugasnya, kecelakaan tidak terhindarkan. Dan ketika kecelakaan
terjadi, anak-anak adalah pemenangnya. Aturan akan kacau, sebagai
akhir bapak dan ibu harus menaatinya. Dan itulah gambaran negara yang
berlandaskan demokrasi” (Sularta, 2001, p. 70).
Soetatmo sangat mengerti bahwa gelombang yang menuju negara
demokratis tak terhindarkan. Ia juga memperhatikan dengan sedih orang-
orang menerima dengan penuh antusias datangnya demokrasi. Namun dia
percaya bahwa volksregeering atau pemerintahan rakyat yaitu demokrasi
adalah ilusi. Karena ”Jika setiap individu memiliki hak yang sama, mereka
tak punya tugas untuk dipenuhi, setiap individu bersandar pada dirinya,
haknya sendiri dan tak ada masyarakat yang mungkin bertahan. Anak-
anak akan mengurus dirinya sendiri, karena mereka menekankan bahwa
setiap orang harus menghormati haknya. Tak akan ada persatuan sama
sekali, tetapi hanya perbedaan, tak ada keteraturan tetapi kekacauan”
(Sularta, 2001, p. 70).
Jalan keluar dari semua itu menurut Soetatmo melalui pembinaan
moral adalah kuncinya. Ia melihat opvoeding yang diberikan pandita-ratoe
sebagai jalan dan kunci untuk perkembangan kebudayaan Jawa maupun
jawaban atas demokrasi. Ia mengatakan bahwa pembina moral harus
diarahkan oleh pandita yang sangat mengerti aturan tertinggi, demokrasi
harus diarahkan pandita-ratu yang bijaksana. Atau dengan kata lain, ”apa
yang dikatakan bapak itu baik, karena bapak itu benar! Itulah keluarga
ideal, begitu juga negara.” Adalah Bapak/yang bijaksana/pandita ratoe/
yang mesti mengarahkan demokrasi dan perkembangan kebudayaan Jawa.
Pemikiran Soetatmo inilah yang mempengaruhi Ki Hajar Dewantara
mengenai opvoeding (pembinaan/tut wuri handayani). Negara
kekeluargaan dan pandita ratu yang bijaksana memberi landasan pada teori

51
Ki Hajar Dewantara tentang demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan),
yang kemudian diwarisi oleh Soekarno dalam rumusannya yang tertuang
dalam demokrasi terpimpin (Sularta, 2001, p. 71).
Tetapi Tjipto Mangoenkosoemo sebagai demokrat sejati tidak
setuju dengan pendapat Soetatmo, dalam pandan Tjipto, Soetatmo tidak
mengerti sejarah perkembangan dunia. Tidak diragukan bahwa Indies
terdiri dari berbagai kelompok etnis yang berbeda dalam budaya dan
bahasanya seperti yang dikatakan Soetatmo. Tetapi Jawa sudah lama
kehilangan kedaulatannya dan menjadi bagian dari Hindia Belanda yaitu
Indies. Tanah air orang Jawa bukan lagi Jawa, tetapi Indies dan adalah
tugas pemimpin nasional untuk merumuskan nasionalisme Indies. Tjipto
lantas menggambarkan nation untuk Indiers (sebutan untuk orang Indies)
sebagai landasan masa depan Indies merdeka (Sularta, 2001, p. 72). Inilah
yang mengilhami Soekarno dengan national spirit yang kemudian menjadi
national will dalam bentuk aksi nasional.

4. Demokrasi Era Orde Baru (1966-1998)


Setelah berakhirnya kekuasaan rezim Orde Lama yang kurang
lebih selama 20 tahun berkuasa, di penghujung tahun 1960-an kemudian
lahirlah Orde Baru, yang menumbuhkan harapan-harapan akan perbaikan
keadaan sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal ini, banyak kalangan
berharap akan terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah
demokratisasi. Salah satu harapan besar yang berkembang saat itu adalah
bergesernya hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat. Kekuatan
politik diharapkan oleh masyarakat meningkat dan memperoleh tempat
yang proporsional dalam proses politik dan pemerintahan, terutama dalam
mengimplementasikan formulasi kebijakan-kebijakan politik baru.
Namun, akumulasi dan sentralisasi kekuasaan selama Orde Lama begitu
jelas terkonstruksikan, diharapkan cepat berganti dengan pluralisme
kekuasaan. Keadaan ini membuat, demokratisasi diharapkan tumbuh dan
terwujud, tidak sekedar menjadi retorika politik pemerintah Orde Baru
yang sedang bertumbuh. Harapan akan tumbuhnya demokrasi di awal
Orde dimiliki oleh berbagai kalangan secara luas. Sebuah studi oleh
Francois Raillon menunjukkan bahwa para mahasiswa di kampus-kampus,
memiliki harapan besar terhadap tumbuhnya suasana politik baru yang
lebih segar dan demokratis (Raillon 1985:163). Harapan tersebut

52
merupakan harapan yang memiliki dasar-dasar argumentasi empirik yang
memadai, antara lain menyangkut tiga hal berikut ini. Pertama, berbeda
dengan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno yang lahir sebagai produk
rekayasa elit, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan
arus keinginan dari bawah.
Hal tersebuat menjadi menjadi dasar atau latar belakang yang kuat
bagi terjadinya pembesaran pluralisme dan penumbuhan demokrasi,
sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh dari bawah Orde Baru
seharusnya dapat memberikan tempat bagi aktualisasi politik bagi
masyarakat. Kedua, pemilihan serta pengambilan elit politik di tingkat
nasional yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada saat
pembentukannya memperlihatkan adanya kesejajaran dengan gagasan
yang dikemukakan oleh Daniel Bell yang sangat popular pada saat itu.
Sebagaimana dikutip oleh Mochtar Mas’oed, menyebut bahwa formulasi
kebijakan-kebijakan politik tidak lagi diserahkan pada peran politisi dan
ideolog, melainkan kepada para teknokrat (Mas’oed 1989:136). Perluasan
serta reorientasi dalam pemilihan elit politik yang mengintegrasikan
kalangan teknokrat ke dalam struktur kekuasaan ini dianggap
mengindikasikan akan terjadinya suatu akhir politik dikalangan penguasa
sejalan dengan komitmen para teknorat (ahli/pakar) yang waktu itu dikenal
egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok para ahli ke dalam
struktur kekuasaan diharapkan akan memberikan pengaruh kepada kinerja
negara dalam hal ini Orde Baru dan kebijakan-kebijakannya sehingga
lebih mementingkan proses politik yang menggunakan pendekatan atas-
bawah dan lebih berorientasi kepada publik.
Ketiga, periode pertama Orde Baru ditandai dengan perubahan
besar dalam keseimbangan politik dalam bernegara dan bermasyarakat.
Ada tiga pusat kekuasaan pada masa Orde Lama, yaitu Presiden, militer
(khususnya militer) dan PKI, yang digantikan oleh pusat kekuasaan baru,
yaitu militer, teknokratis, dan birokrasi. Kekuatan politik masyarakat pada
masa Orde Lama mengalami kendala dalam realisasinya. Meskipun militer
menjadi andalan kekuasaan, kekuatan penyeimbang juga berkembang
selama masa ini, yang kemudian dikenal sebagai "bulan madu" singkat
antara negara dan kekuatan sosial Orde. Ketiga basis tersebut masih

53
bersifat sementara, tetapi pada saat itu cukup menjadi alasan tumbuhnya
harapan demokratisasi. Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang
surut tergantung pada derajat perkembangan ekonomi, politik dan ideologi
yang temporer atau temporer. Tahun-tahun pertama pemerintahan Orde
Baru ditandai dengan kebebasan politik yang besar, yang digambarkan
Mochtar Loebis sebagai "sumber kebebasan" (Kompas, 8 Maret 1992).
Dalam jangka waktu tidak lebih dari tiga tahun, tampaknya kekuasaan
akan didistribusikan di antara kekuatan-kekuatan sosial.

Dengan demikian, di kalangan elit perkotaan dan organisasi sosial-


politik yang bersedia menjadi tuan rumah pemilihan umum 1971, ada
antusiasme yang besar untuk bergabung mendukung program reformasi
baru pemerintah (Raillon 1985). Tetapi pola dasar demokrasi dengan cepat
memudar ketika bulan madu negara-masyarakat mulai berkurang dan
berakhir. Titik awalnya adalah kemenangan Golkar dalam pemilihan
umum 1971 dengan mayoritas 62,8% (Liddle 1992: 31). Pemerintah Orde
Baru yang didukung oleh militer memperoleh legitimasi politik yang
konkrit melalui kemenangan ini dan segera menerapkan berbagai regulasi
ekonomi dan politik yang ketat. Saat itulah keretakan antara negara dan
masyarakat mulai terbentuk, ditandai dengan gelombang demonstrasi dan
protes terhadap pelaksanaan Orde Baru dan kebijakannya, yang berujung
pada bencana yang terjadi pada 15 Januari (Malari). Para pengamat politik
berpendapat bahwa kecenderungan Orde Baru untuk memperketat
peraturan ekonomi dan politik dibentuk oleh kebutuhan jangka pendek
yang timbul dari krisis ekonomi dan politik yang diwarisi dari Orde Lama,
serta kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang
kuat. mampu melaksanakan pembangunan. Kebutuhan ini kemudian
diterjemahkan oleh Orde Baru dengan mengembangkan model rekayasa
politik ketimbang model partisipatif (Mas'oed 1989). Perkembangan yang
terlihat kemudian adalah semakin melebarnya jurang pemisah antara
negara dan masyarakat.

Orde Baru muncul sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom,
sementara masyarakat semakin terlepas dari lingkaran kekuasaan dan
pembuatan kebijakan. Situasi ini merupakan hasil akumulasi dari berbagai
faktor, antara lain: (1) kemenangan mutlak Golkar dalam pemilihan

54
legislatif memberikan arti-penting politik Negara yang lebih kuat; (2)
implementasi regulasi politik seperti birokrasi, depolitisasi dan
institusionalisasi; (3) menggunakan pendekatan yang aman; (4) intervensi
negara dalam ekonomi dan pasar agar negara bebas mengakumulasi modal
dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya pembiayaan pembangunan, baik
dari eksplorasi migas maupun komoditas non migas dan pajak dalam
negeri, serta bantuan luar negeri; dan (6) keberhasilan Orde Baru dalam
melaksanakan kebijakan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar
rakyat untuk mencegah keresahan sosial yang dapat timbul karena alasan
struktural (Fatah 2000: 24).

Masalahnya kemudian, Orde Baru telah berhasil mendorong


pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas, tetapi dengan biaya sosial,
pembangunan yang adil dan demokratis belum tercapai secara
mengesankan. Disparitas distribusi kekuasaan menciptakan situasi yang
berbeda dengan ekspektasi yang berkembang di awal Orde Baru. Namun,
dalam perkembangan politik yang mengikutinya, terutama sejak akhir
1980-an, kita dapat melihat bahwa harapan bagi perkembangan demokrasi
telah muncul kembali sebagai tren umum. Harapan ini tampaknya
dimotivasi oleh faktor-faktor berikut (Fatah 2000). Pertama, perbaikan
struktur sosial ekonomi masyarakat sebagai hasil konkrit pembangunan
Orde Baru dalam kerangka yang stabil. Dengan latar belakang ini, kritik
baru muncul di masyarakat, terutama yang dibentuk oleh kelas menengah
yang tumbuh secara ekonomi, tetapi tidak secara politik. Kedua,
tumbuhnya Orde Baru yang menimbulkan disparitas ekonomi dan politik,
ironisnya juga berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat kelas
bawah yang terpinggirkan, margin proses pembangunan dan hasilnya.
Akibatnya, kelompok-kelompok kritis baru juga muncul dari komunitas
ini, meskipun kekuatan politik mereka tetap tidak signifikan. Ketiga,
adanya keseimbangan dan komposisi baru di tingkat elit politik negara
berpotensi memperbaharui pendekatan negara terhadap masyarakat dan
kantong-kantong oposisi di dalamnya. Dalam konteks ini, seseorang dapat
lebih memahami sikap keadaan adaptif. Keempat, pembangunan dan
transformasi struktural di bidang ekonomi dan sosial juga berperan dalam
pematangan budaya politik di tingkat negara dan masyarakat. Gejala ini
terutama ditandai dengan meningkatnya keberanian masyarakat dalam

55
menilai kinerja negara dan kebijakannya. Jika dilakukan secara konsisten,
berpotensi mendorong pergeseran persepsi masyarakat tentang kekuasaan
dan negara ke arah persepsi yang lebih objektif dan rasional. Kelima,
munculnya perubahan-perubahan besar dalam politik internasional turut
menyulut agenda demokratisasi masyarakat nasional, termasuk Indonesia
(Fatah 2000). Keunikan praktik demokrasi Orde Baru dapat dijelaskan
dengan menyatakan dua hal berikut. 1. Kepemimpinan politik,
pelaksanaan demokrasi dan keadilan sosial dalam pembangunan orde baru

Arah politik Orde Baru tidak terlepas dari citra Presiden Suharto
sebagai orang kuat pada masanya. Sebagai orang Jawa, Suharto sangat
mengagumi kepemimpinan politik raja-raja Jawa karena pengaruhnya
sangat kuat terhadap ideologi dan kepribadian politik Suharto. Oleh karena
itu, pembahasan mengenai hal ini akan dilakukan dengan menggunakan
kriteria yang telah digunakan untuk memahami kepribadian
kepemimpinan politik Raja Jawa. Konsepsi dan praktik politik yang
dibentuk oleh konsepsi Jawa tentang kekuasaan diklasifikasikan oleh Ben
Anderson ke dalam empat visi kekuasaan (Anderson 1998: 51-52).
Pertama, bagi orang Jawa, kekuasaan itu konkret. Kedua, kekuasaan itu
seragam. Ketiga, jumlah kekuasaan di alam semesta selalu tetap, dan
keempat, kekuasaan itu tidak mempersoalkan legitimasinya. Kriteria yang
digunakan untuk memahami kepemimpinan politik adalah:

- Hirarki, pengaturan posisi, dan peran pembantu rumah tangga.


Secara struktural, presiden adalah orang yang duduk dalam hierarki
pemerintahan tertinggi. Selain dijamin oleh konstitusi, posisi hierarkis ini
dibentuk oleh praktik politik yang dipraktikkan di negara mana pun di
mana eksekutif mengontrol kegiatan pemerintah dan pemilik kekuasaan.
Namun, eksekutif adalah inti dari pemerintahan. Presiden Orde Baru,
sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, tidak bisa berbuat
apa-apa selain menempati urutan pertama dalam hierarki politik dan
kekuasaan. Dalam praktik politik Orde Baru, posisi puncak hierarki yang
dijabat Presiden justru diduduki olehnya “sendirian”. Hal ini dilakukan
setidaknya oleh dua hal. Pertama, sistem politik Indonesia pada masa Orde
Baru tidak menempatkan wakil presiden pada posisi kunci dalam
pemerintahan. orang dengan kekuatan nyata dan utama. Dalam praktik

56
politik Orde Baru, wakil presiden hanya dipandang sebagai “roda
cadangan”. Wakil Presiden bertugas membantu Presiden dalam
menjalankan tugas politik dan pemerintahan sehari-hari. Meskipun Wakil
Presiden saat itu ditugaskan untuk mengawasi pembangunan, tugas khusus
ini tidak diberkahi dengan properti kekuasaan atau kebebasan untuk
menentukan dan menjatuhkan sanksi, tetapi belum lagi secara mandiri.
Kedua, “eksklusivitas” presiden di hierarki atas juga dibentuk oleh
keberhasilan presiden mengatur alur kerja para pembantunya, dari tingkat
menteri ke bawah. Presiden Soeharto sendiri mengakui hal ini dalam
otobiografinya, berdasarkan dua faktor, yaitu: (1) Undang-undang dasar
yang resmi sebenarnya menempatkan menteri dan pejabat pemerintah
lainnya sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden; (2) Presiden Soeharto berhasil mengatur dan mengurus
pembantunya (teknokrat dan militer) dengan sistem kerja yang ketat dan
terkendali (Soeharto 1989: 426) Sulit ditemukan Dapat dikatakan bahwa
Presiden Suharto secara harfiah telah mencapai puncak kekuasaan di
Sistem politik Indonesia, dan pada saat yang sama berhasil menempatkan
para pembantunya pada posisi yang terpusat dan “melayani” dia. Dapat
dikatakan bahwa arah tindakan setiap orang di sekitar Presiden Suharto
secara halus dikendalikan oleh Presiden. Fakta ini tercermin dalam
ungkapan yang sangat umum di antara para menteri, yaitu “atas arahan
Presiden”. Sementara itu, posisi dan kesendirian presiden di puncak
hierarki juga sangat halus dan kompleks sehingga tidak menjadi isu politik
yang ringkas. Hanya ada satu kesempatan di mana presiden memamerkan
citranya yang kuat, dan saat itulah dia mengucapkan kalimat 'pukulan'
selama konferensi pers di pesawat yang membawanya pulang dari
kunjungannya ke Uni Soviet pada tahun 1989.
- Kontrol dan Partisipasi Politik.
Kepemimpinan Orde Baru muncul menggantikan suatu masa
dimana kekuasaan terdistribusi diantara tiga kekuatan utama, yaitu
Presiden, Partai Komunis Indonesia dan Angkatan Darat. Dalam formasi
itu Presiden menjadi sentral. Masa ini yang kemudian dikenal sebagai
Demokrasi Terpimpin. Ketika Orde Baru muncul distribusi kekuasaan
mengalami perubahan besar. Angkatan Darat dan militer secara umum

57
muncul sebagai kekuatan politik utama. Sepanjang sejarah politik Orde
Baru, kita dapat mengidentifikasikan adanya dua pola distribusi kekuasaan
yang berbeda. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi awal Orde
Baru, pada saat Presiden belum muncul sebagai kekuatan politik mandiri
dan masih terkolektifikasi di dalam Angkatan Darat atau militer. Pola
kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar) memenangkan
dua kali Pemilu sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi politik
yang konkret dan kokoh. Pada ploa kedua, Presiden perlahan namun pasti
mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi
pusat kekuasaan. Baik pada pola pertama terlebih lagi pada pola kedua,
Presiden memainkan peranannya dengan pemilikan kekuasaan yang besar.
Dalam keadaan ini praktis tidak tersedia kontrol politik yang efektif
terhadap Presiden, baik dari dalam lingkaran kekuasaan negara maupun
dari luar.
Ketidakefektifan kontrol ini terjadi baik dari lembaga formal, yaitu
legislatif, maupun yang datang dari kelompok-kelompok oposisi. Pada
saat yang sama, lembaga yudikatifpun praktis tidak memainkan peranan
kontrol yang substansial, mengingat keterbatasan-keterbatasan struktural
yang dimilikinya. Ketidakefektifan kontrol legislatif dibentuk oleh
keberhasilan Golkar menjadikan dirinya sebagi kekuatan politik
hegemonik dan dominan di DPR, sementara partai politik lain menjadi
partai gurem. Kekuatan politik Golkar semakin menghegemonik dengan
adanya “duet-historis” Golkar-ABRI di lembaga legislatif. Melalui
prosedur pengangkatan, ABRI mewakilkan anggotanya di dalam lembaga
legislatif dalam jumlah yang signifikan. Kedua kekuatan politik besar ini
merupakan duet politik yang terbukti solid dengan orientasi politik yang
sulit dibedakan. Dalam tataran praksis, dominasi kuantitatif Golkar-ABRI
di dalam lembaga legislatif tersebut didukung pula oleh tata tertib DPR
yang cenderung membatasi aktualisasi kekuatan-kekuatan politik—
terutama aktualisasi individu dan satu fraksi mandiri— didalamnya.

Postur Golkar dan ABRI yang hegemonik dalam lembaga legislatif


memiliki implikasi yang luas terhadap penguatan kekuasaan Presiden dan
melemahnya kontrol politik terhadapnya. Implikasi ini dimungkinkan
mengingat bersatunya tiga posisi kekuasaan strategis pada tangan

58
Presiden, yaitu Mandataris MPR yang mengepalai kekuasaan eksekutif,
Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Ketua Dewan Pembina
Golkar. Ketiga posisi strategis yang menyatu pada Presiden tersebut
menjadikan Presiden sebagi sumber aliran kekuasaan baik dalam elemen
legislatif maupun eksekutif. Hal ini terjadi terutama setelah Presiden
didudukan sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, sebuah jabatan dalam
Golkar yang semenjak Munas II Golkar 1978 di Denpasar Bali diberi
kedudukan dan otoritas tertinggi dalam organisasi Golkar. Sebagai Ketua
Dewan Pembina, Presisen praktis memegang kekuasaan prinsipil dan luas
di dalam Golkar, sementara DPP Golkar diposisikan sebagai pemegang
kekuasaan operasional yang terbatasi.
Ketika otoritas Presiden di dalam Golkar itu berpadu dengan
kekuatan konkret Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata yang memiliki garis komando ke Mabes ABRI dan akhirnya
Fraksi ABRI di DPR-MPR, maka dapat dikatakan aliran kekuasaan di
lembaga legislatif menjadi benar-benar bersumber pada tangan Presiden.
Mengingat Presiden merupakan penguasa puncak eksekutif, maka secara
struktural kontrol politik terhadap eksekutif dan Presidenpun terhambat.
Keadaan ini yang menjadikan Presiden sebagai pemegang kekuasaan
tanpa kontrol yang efektif. Sementara itu kontrol politik dari oposisi juga
tidak terlihat efektif sepanjang masa Orde Baru. Di satu sisi keadaan ini
tercipta akibat kelemahan utama oposisi yang tidak terorganisasi dengan
baik sehingga gerakan oposisi berada dalam keadaan timbul tenggelam,
berserakan, sporadis, serta bersifat parsial dan temporal—dengan sedikit
mengecualikan Kelompok Kerja Petisi 50. Selain itu oposisi Orde Baru
terjerat pada karakternya yang elitis sehingga tidak pernah mampu
memberi tekanan politik yang efektif karena tidak termassalisasi. Namun
demikian, sebab utama dari ketidakefektifan kontrol politik oposisi
sepanjang masa Orde Baru terletak pada faktor struktur politik makro.
Kelembagaan oposisi tidak diakui keberadaannya dalam struktur
kelembagaan politik formal sehuingga tidak memiliki saluran politik. Dan
lebih jauh sikap-sikap oposisional pun menjadi tidak terakomodasikan
dalam struktur dan proses formulasi kebijakan politik. Ketidakefektifan
kontrol politik terhadap Presiden didukung pula oleh adanya kondisi
partisipasi politik Orde Baru yang khas. Dilihat dari proses politik di atas

59
permukaan, partisipasi politik masyarakat sebenarnya berjalan cukup baik
selama masa Orde Baru. Dalam empat kali Pemilu yang diadakan, angka
partisipasi masyarakat senantiasa di atas 90 %.
- Pengendalian dalam Proses Pengambilan Keputusan.

Struktur dan proses pengambilan keputusan—sebagai salah satu dari


karakter kepemimpinan politik—di masa Orde Baru tentu saja amat
berkaitan erat dengan sifat kekuasaan Presiden sebagaimana telah
digambarkan sebelumnya. Alfian menggambarkan bahwa pengambilan
keputusan-keputusan politik dimasa Orde Baru boleh dikatakan hampir
seluruhnya tidak bisa keluar dari jangkauan peran penting Presiden
Soeharto. Sekalipun terdapat peran dari para pembantu Presiden dalam
proses dan struktur pengambilan keputusan itu namun peranan mereka
terbatas menjadi input bagi pematangan sikap Presiden belaka (Alfian
1986:190). Presiden Orde Baru memiliki kekuasaan yang konkret, luas dan
cenderung memusat. Hal ini dibentuk oleh tiga faktor, yaitu: Pertama,
Presiden Soeharto telah mampu memanfaatkan program pembangunan
ekonominya sebagai simbol politik baru yang efektif sekaligus sebagai
legitimasi paling penting terhadap pemerintahannya. Kedua, terjadinya
disintegrasi terus menerus diantara kekuatankekuatan politik sipil telah
memberikan kepada Presiden Soeharto dan ABRI ruang dan kebebasan
bergerak yang luas. Ketiga, falsafah jalan tengah dan falsafah sentrisme
yang dimiliki Presiden Soeharto yang menandainya sebagai pemimpin
yang lebih mengutamakan kestabilan dari pada perubahan radikal telah
membantu Presiden menjalankan tugas dan fungsi politiknya (Alfian
1986:190).

5. Era Reformasi (1999-sekarang)


Pada saat Presiden Suharto turun dari jabatannya pada Mei 1998,
peristiwa ini menandai awal dari sebuah era baru dalam sejarah Indonesia.
Setelah dikuasai oleh rezim otoriter Orde Baru Suharto selama lebih dari
tiga dekade, Indonesia memulai fase baru yang dikenal sebagai Reformasi.
Era ini dipandang sebagai awal periode demokrasi dengan perpolitikan
yang terbuka dan liberal. Dalam era baru ini, otonomi yang luas kemudian
diberikan kepada daerah dan tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh
Pemerintah Pusat (desentralisasi). Dasar dari transisi ini dirumuskan dalam

60
UU yang disetujui parlemen dan disahkan Presiden Indonesia di tahun
1999 yang menyerukan transfer kekuasaan pemerintahan dari Pemerintah
Pusat ke pemerintah-pemerintah daerah.
Peran Pemerintah Pusat dibatasi untuk menangani hanya hal-hal
yang berhubungan dengan pertahanan, kebijakan luar negeri, kebijakan
fiskal-moneter dan makroekonomi, peradilan dan agama. Yang tidak kalah
penting adalah bahwa Daerah menerima bagian pendapatan yang lebih
besar dari produksi sumber daya alam lokal. Sebelumnya, Daerah selalu
merasa tidak nyaman melihat mayoritas pendapatan dari sumber daya alam
lokal mengalir kepada para pemangku kepentingan di Ibukota Jakarta.
Namun, karena tidak setiap daerah di Indonesia diberkati dengan sumber
daya alam yang melimpah, kesenjangan di antara daerah kaya dan miskin
meningkat.

Seiring dengan kekuasaan, korupsi juga terdesentralisasikan ke


tingkat daerah. Muncul “negara-negara bayangan” tempat elit daerah
memegang kendali kekuasaan, bisnis dan aliran dana. Salah satu korban
dari era baru ini adalah lingkungan hidup Indonesia. Izin-izin penebangan
dan pertambangan dalam skala besar diberikan oleh otoritas lokal
(terutama di pulau-pulau yang kaya sumber daya seperti Sumatera dan
Kalimantan) sebagai ganti bayaran uang yang besar. Pemberian izin ini
biasanya dilakukan tanpa proses administratif maupun pengawasan yang
layak. Sekarang, hampir 20 tahun kemudian, konsekuensi dari tindakan-
tindakan ini masih tetap terasa karena sering ada ketidakjelasan tentang
ukuran wilayah konsesi karena pemerintahan yang lemah di era pasca-
Suharto.

KONDISI MENJELANG REFORMASI


Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan
suatu gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan dan juga
pembaharuan. Terutama perbaikan tatanan kehidupan dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial dan agama. Dengan hal ini reformasi telah
memiliki formula baru untuk tatanan kehidupan masyarakat Indonesia ke
arah yang lebih baik lagi. Reformasi yang akan dimulai dari bidang politik.

61
Reformasi merupakan bentuk meletusnya masalah-masalah yang
telah terjadi di Indonesia sebelumnya, yang telah banyak membuat
masyarakat Indonesia menderita dengan berbagai masalah yang terjadi,
dan reformasi ini lah yang menurut masyarakat waktu itu dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang telah terjadi. Kerusuhan yang
diduga berasal dari SARA, terutama dalam hal agama yang masyarakat
Indonesia merupakan mayotitas beragama Islam, tetapi hal ini dangat tidak
mungkin karena menang kerukunan antar umat beragama di Indonesia
sangat luar biasa. Tentu saja kerusuhan terjadi akibat adanya kesenjangan
sosial yang terjadi.

Serangkaian kerusuhan massal bernuansa SARA, yang pecah pada


tahun 1995, 1996, dan 1997 memang telah menjadi lembaran kelabu bagi
rakyat Indonesia. Hubungan antar umat beragama sempat terganggu dan
warga keturunan Cina harus semakin berhati-hati. Sebab, merekalah yang
biasanya paling dirugikan tiap kali terjadi kerusuhan, walaupun boleh jadi
pemicu kerusuhan itu sebenarnya bukan mereka. Terdengar dari sudut
pandang kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh adanya kesenjangan
ekonomi sebagai biang keladi kerusuhan (Amien Rais, 1998). Rambut
boleh sama hitam, tapi ketika disuruh menjabarkan pengertian reformasi,
bisa keluar pendapat berbeda-beda. Mulai dari yang mengartikannya
sebagai kembali ke bentuk awal, meluruskan sesuatu yang bengkok, atau
menuju ke bentuk yang lebih baik. Seorang pejabat tinggi dengan nada
yang makin malah mengutip sebuah kamus yang menyatakan bahwa
reformasi adalah perubahan dalam waktu cepat dan radikal. Karena itu,
pejabat tersebut emoh menggunakan kata-kata reformasi. Perdebatan
istilah yang terasa berteletele itu memang menunjukkan bahwa perlu atau
tidaknya reformasi bagi kehidupan politik di Indonesia adalah sesuatu
yang menimbulkan pro dan kontra.
Agenda reformasi yang akan direncanakan khususnya dalam
bidang politik, yang direncanakan oleh pemerintah lambat laun semakin
menemui titik terang untuk segera melaksanakannya, agenda tersebut
untuk merubah sistem perpolitikan di Indonesia, khususnya dalam sistem
yang digunakan dalam pemilu. Kini rencana tersebut telah menyebar dan
sampai di tangan DPR, yang merupakan wakil masyarakat. Dilandasi oleh

62
cita-cita demokrasi, kaum pengkritik dan pemprotes menggalang kekuatan
dalam gerakan demokratisasi. Tuntutan pembaharuan atau perubahan
politik menjadi salah satu agenda utama yang dilakukan. Perkembangan
tuntutan pembaharuan politik dan mendesaknya kebutuhan akan
penegakan kepercayaan politik masyarakat, merupakan alasan kuat bagi
menentukan langkah-langkah yang diperlukan. Karena langkah perubahan
yang diperlakukan itu adalah untuk mengoreksi sistem kekuasaan yang
disentralisasikan, maka sudah pasti arahnya menuju demokratisasi.

Tersebar kabar bahwasannya reformasi hanya bisa dilakukan


setelah tahun 2003, kabar ini banyak diberitakan oleh banyak mediamedia
kala itu. Dan hal ini tentu saja langsung mendapat kecaman dari berbagai
masyarakat, sebab kabar ini telah dimuat oleh beragama media massa dan
banyak yang menyampaikan bahwa reformasi tidak ada sebelum tahun
2003. Selain mendapat kecaman dari banyak masyarakat Indonesia, yang
lebih gawat adalah berbagai kelompok mahasiswa melakukan monitoring
terhadap penjelasan dari menteri yang menyampaikan terkait rencana
reformasi.
Salah satu agenda reformasi yang drencanakan adalah reformasi
dalam bidang politik, terutama yang dibahas dalam agenda reformasi ini
adalah pergantian sistem pemilu dari sistem proporsional menjadi sistem
distrik. Tentu saja hal ini langsung mendapat sorotan dari berbagai partai
politik yang akan bertarung dalam pemilu berikutnya pada tahun 2003.
Rencana tersebut tentu saja mendapat menjadi pro kontra di
kalangan politisi. Wajar bila memang ada pro kontra terhadap rencana
reformasi ini, hal ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa pihak yang
memang menghendaki adanya reformasi ini yang menilai bahwa adanya
kecurangan di dalam pemilu dan ada juga pihak yang memang tidak
menghendaki atau sepakat dengan adanya reformasi ini, karena mungkin
saja dengan adanya sebuah reformasi ini pihaknya merasa dirugikan dan
membuat partainya kalah dalam pemilu berikutnya.
Muhammadiyah yang kala itu merupakan salah satu organisasi
besar dan juga memiliki pengaruh penting di setiap lapisan masyarakat,
menganggap negara Indonesia perlu segera melakukan sebuah reformasi

63
dan bukan hanya reformasi di bidang politik namun juga melingkupi
bidang ekonomi serta sosial. Melalui Amien Rais yang kala itu merupakan
ketua umum Muhammadiyah menuntut pemerintah agar menjadikan
reformasi sebagai sebuah keharusan yang memang harus segera dilakukan
agar masalah yang terjadi serta tuntutan masyarakat terkait KKN
(korupsi,kolusi dan nepotisme) segera diberantas di dalam pemerintahan.
Dalam melakukan sebuah reformasi tentunya ada hal-hal yang memang
harus dipersiapkan serta ada langkah yang tepat yang harus dilakukan oleh
negara.

Menurut Amin Rais yang merupakan ketua umum


Muhammadiyah, ada dua langkah yang harus segera pemerintah lakukan
dalam mewujudkan sebuah reformasi. Langkah pertama yaitu, melakukan
sebuah reformasi jangka pendek, adalah penanganan krisis. Bahwa
perekonomian Indonesia saat ini sedang mengalami krisis, bukanlah hal
yang sulit dipahami oleh rakyat awam. Harga-harga yang membumbung
tinggi, nilai rupiah yang fluktuatif terhadap dolar, dan inflasi dua digit,
telah menjadi bagian dari pengalaman keseharian bangsa kita dalam bulan-
bulan terakhir ini. Berita-berita mengenai pemutusan hubungan kerja dan
prospek pemutusan hubungan kerja di masa mendatang, telah menghantui
para pekerja di kota- kota. Di tengah-tengah nestapa perekonomian ini,
pemerintah malah memberi khutbah tentang perlunya mengencangkan ikat
pinggang dan mencintai rupiah. Seolah-olah, kesulitan ekonomi terjadi
karena ulah masyarakat luas. Masyarakat internasional dan lembaga-
lembaganya juga telah menyadarkan kita mengenai besarnya skala dan
magnitude krisis perekonomian yang sedang kita alami. (Suara
Muhammadiyah 1-15 Mei 1998:9)
Langkah kedua adalah dalam situasi krisis politik dan
perekonomian sekarang, penanganan dan pengelolaan yang bersifat jangka
pendek, memang merupakan keharusan sebagai jalan keluar. Akan tetapi,
kesibukan melaksanakan reformasi jangka pendek, jangan sampai
mengabaikan reformasi jangka panjang. Pembinaan daya tanggap dan
fleksibilitas ekonomi dan politik jangka panjang, merupakan langkah
kedua reformasi yang tidak kalah pentingnya. Jika tidak, maka penanganan
krisis tersebut akan menjadi pola utama dan melembaga. Penilaian

64
sebagian pengamat yang mengatakan, bahwa managemen perekonomian
Orde Baru mirip managemen krisis, akan terbukti kembali. Apabila krisis
yang kita alami sekarang tidak disertai dengan usaha-usaha reformasi
jangka panjang.

Akhir Dari Rezim Soeharto


Krisis moneter inilah satu dari beberapa faktor yang
melatarbelakangi runtuhnya kekuasaan Soeharto di era Orde Baru yang
telah bertahan selama 32 tahun. Ekonomi jatuh dan kepercayaan rakyat
Indonesia terhadap pemerintah hilang, demonstrasi besar-besaran terjadi
di mana-mana dan kerusuhan akibat kecemburuan sosial pun tak dapat
dielakkan. Peristiwa rusuh yang identik dengan penjarahan dan perusakan
toko dan rumah, serta beberapa kasus pelecehan seksual terhadap
perempuan, peristiwa tersebut dikenang sebagai Peristiwa Kerusuhan Mei
1998 dan mendapat banyak kecaman dari berbagai negara.

Kronologi
Pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto mengatakan reformasi baru
dapat dilaksanakan pada 2003, pernyataan tersebut disampaikan melalui
Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Dachlan. Sehari
kemudian, 2 Mei 1998, pernyataan yang mendapat respons keras dari
sejumlah kalangan, termasuk mahasiswa saat itu, diralat oleh Presiden
Soeharto, pihaknya kemudian menyatakan reformasi dapat dilakukan
sejak saat itu, yakni 1998.

Di hari yang sama, Presiden Soeharto memangkas subsidi energi


mengikuti saran dari International Monetery Fund atay IMF. Karuan saja
keputusan tersebut menyulut aksi penolakan dari mahasiswa di beberapa
wilayah di Indonesia. Sebab, akibat kebijakan tersebut harga Bahan Bakar
Minyak atau BBM naik dari Rp700 menjadi Rp1.200 per liternya.

Pada 3 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang pimpinan DPR,


partai politik, dan partai Golongan Karya atau Golkar. Meskipun
pertemuan tersebut tidak lazim, Presiden Soeharto berdalih acara tersebut
merupakan pertemuan silaturahmi dan konsultasi setelah sidang umum

65
MPR. Pertemuan dilakukan di kantor Presiden Soeharto di Bina Graha,
Kompleks Istana Merdeka selama 90 menit.
Hasil pertemuan itu disampaikan Menteri Dalam Negeri Hartono
dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan. Hartono mengatakan, dalam
pertemuan tersebut Soeharto menyampaikan keinginannya supaya DPR
menggunakan hak inisiatif, untuk itu Soeharto meminta DPR untuk
menyiapkan perangkat sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk
mereformasi sejumlah rambu-rambu politik.
Naiknya harga BBM di tengah ekonomi masyarakat sedang
terpuruk memicu demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota di Indonesia,
pada 4 Mei 1998 Mahasiswa di Medan, Bandung serta Yogyakarta
melakukan aksi demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan saat para
demonstran bentrok dengan aparat keamanan. Demonstrasi besar-besaran
masih berlanjut hingga 5 Mei 1998 di Medan, demonstrasi ini juga
berujung kerusuhan.
Pada 9 Mei 1998, Soeharto menghadiri pertemuan Konferensi
Tingkat Tinggi atau KTT G-15 di Kairo, Mesir, sekaligus kali terakhir
lawatan Soeharto ke luar negeri sebagai presiden. Kemudian pada 12 Mei
1998, bertepatan dengan hari Selasa pukul 16.30 WIB, ribuan mahasiswa
Universitas Trisakti melakukan aksi damai untuk menyampaikan aspirasi
ke DPR/MPR. Namun aksi pawai tersebut dihadang oleh aparat keamanan.
Peristiwa tersebut berujung pada penembakan aparat keamanan
terhadap demonstran yang mengakibatkan empat orang mahasiswa
Trisakti tewas. Mereka adalah Hafidin Royan, Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, dan Hendryawan, keempat mahasiswa ini dikenang sebagai
pahlawan reformasi dan peristiwa tersebut dinamai Tragedi Trisakti.
Sehari setelah peristiwa berdarah tersebut, sejumlah mahasiswa
dari berbagai Universitas di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang
mendatangi Kampus Universitas Trisakti untuk menyampaikan duka cita.
Namun, secara tiba-tiba menjelang tengah hari sekelompok masa datang
dari Jalan Daan Mogot menuju Kampus Universitas Trisakti dan bentrok
dengan aparat keamanan. Peristiwa tersebut terjadi di bawah jembatan

66
layang Grogol, Jakarta Barat. Hari itu disebut juga dengan Hari Rabu
Kelabu 13 Mei 1998, yang menyebabkan Jakarta jadi kota berdarah.
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 semakin menjadi pada 14 Mei
1998, penjarahan dan perusakan toko dan rumah etnis Tionghoa terjadi di
sejumlah kota di Indonesia. Bahkan penjarahan juga terjadi di sejumlah
pusat perbelanjaan di Jakarta dan sekitarnya, di antaranya Supermarket
Hero, Superindo, Makro, Goro dan Ramayana serta Borobudur. Selain
dijarah dan dirusak, beberapa toko tersebut dibakar oleh massa yang
mengamuk.
Sekitar 288 orang tewas dan 101 mengalami luka-luka akibat
peristiwa itu, data tersebut dicatat oleh Palang Merah Indonesia. Kerugian
DKI Jakarta akibat kerusuhan tersebut diperkirakan mencapai Rp2.5
triliun dengan perincian sebanyak 4.939 bangunan rusak, 21 di antaranya
merupakan bangunan milik pemerintah. Informasi tersebut disampaikan
oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso. Di hari yang sama, Soeharto
yang tengah berada di Mesir, mengatakan di depan masyarakat Indonesia
di Kairo, dirinya bersedia mengundurkan diri apabila rakyat Indonesia
memang benar-benar menginginkan hal tersebut.

Pada 15 Mei 1998, Soeharto balik ke Indonesia, setibanya di


Jakarta ia memanggil Wakil Presiden B.J. Habibie, Wiranto, Kepala Staf
Angkatan, Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoeddin untuk mengevaluasi situasi.
Selama di Kairo, Soeharto mendapatkan informasi terkait perkembangan
situasi kerusuhan dari putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana. Dalam
pertemuan bersama Wakil Presiden dan sejumlah pejabat tersebut,
Soeharto membantah bahwa dirinya telah mengatakan bersedia
mengundurkan diri.

Suasana Jakarta semakin mencekam, 16 Mei 1998, warga asing


secara massal kembali ke negara mereka dan berusaha secepat mungkin
meninggalkan Jakarta, menyebabkan Bandara penuh sesak. Soeharto
kembali memanggil Wiranto bersama KSAD Jenderal Subagyo dan
Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid. Soeharto menginstruksikan
kepada mereka untuk membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban atau Kopkamtib.

67
Kemudian pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa dan delegasi
mendatangi gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi agar
Soeharto mundur dari jabatan presiden, mereka menyebut diri sebagai
delegasi Gerakan Reformasi Nasional. Di depan massa, Ketua DPR/MPR
Harmoko didampingi sejumlah wakilnya mengadakan siaran pers. Dalam
siaran pers tersebut, Harmoko menyampaikan bahwa dirinya dan juga
jajaran DPR lainnya juga menghendaki serta menyarankan agar Presiden
Soeharto mengundurkan diri.
Mendengar kabar tersebut, 19 Mei 1998, Soeharto kemudian
memanggil sejumlah tokoh Islam yang terdiri dari sembilan orang. Di
antaranya yaitu Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan
KH Ali Yafie. Dalam pertemuan tersebut berlangsung selama dua jam
lebih, para tokoh agama ini menyampaikan bahwa rakyat Indonesia tetap
menginginkan Soeharto mundur dari jabatan presiden. Namun Soeharto
tetap kukuh bahwa dirinya tetap bisa mengatasi keadaan saat itu, ia
menolak mundur dan mengusulkan pembentukan Komite Reformasi.
Sehari sebelum mundurnya Soeharto, 20 Mei 1998, malam hari
Soeharto menerima surat hasil keputusan dari 14 Menteri Koordinator
Kabinet Pembangunan VII yang menyatakan sikap tidak bersedia
menjabat sebagai menteri dalam kabinet mendatang yakni Kabinet
Reformasi maupun reshuffle Kabinet Reformasi. Soeharto merasa
terpukul dan ditinggalkan oleh orang-orang kepercayaannya. Malam itu,
setelah berdiskusi dengan sejumlah pejabat, di antaranya Wiranto,
akhirnya Soeharto bersedia melengserkan jabatannya kepada Wakil
Presiden B.J. Habibie dan akan diumumkan keesokan harinya.

Kamis, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, tepat pukul 09.05,


Soeharto mengumumkan mundur dari jabatan presiden dan digantikan B.J.
Habibie sebagai presiden ketiga RI. Dengan begitu, dimulainya era
reformasi.

68
Awal Mula Kemunculan Reformasi

Pemerintahan B.J Habibie


Bacharuddin Jusuf Habibie, adalah wakil presiden selama masa
jabatan presiden sebelumnya, Suharto. Dia menggantikan Suharto pada
tahun 1998 ketika Suharto turun dari kursi kepresidenan. Namun, hal ini
tidak mengakhiri sistem politik yang telah diterapkan selama Orde Baru.
Banyak orang Indonesia sangat mencurigai Habibie karena kedekatannya
dengan Suharto (yang telah menjadi sosok ayah bagi Habibie) dan fakta
bahwa dia adalah pemain penting dalam sistem patronase politik Suharto.
Penolakan Habibie untuk memerintahkan penyelidikan menyeluruh
terhadap harta kekayaan Suharto hanya memperkuat rasa
ketidakpercayaan ini.

Habibie tidak memiliki pilihan lain selain meluncurkan program-


program reformasi. Dia akan melakukan "bunuh diri politik" jika tidak
mematuhi tuntutan masyarakat Indonesia itu. Selama masa kepresidenan
Habibie, 30 undang-undang (UU) baru disetujui oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), beberapa di antaranya ditandai dengan
perbedaan-perbedaan fundamental dengan perpolitikan di masa lampau.

Sejumlah tindakan reformasi penting adalah:


 Dimulainya kebebasan pers

 Pemberian izin pendirian partai-partai politik dan serikat-serikat


buruh baru
 Pembebasan tahanan-tahanan politik

 Pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun


 Desentralisasi kekuasaan ke daerah

Keputusan penting lainnya adalah penjadwalan pemilihan umum baru,


yang diselenggarakan pada bulan Juni 1999. Kendati begitu, parlemen
belum mempunyai niat untuk mengurangi pengaruh politik militer dan
memerintahkan penyelidikan terhadap kekayaan Suharto.

69
Indonesia memasuki masa peningkatan kekerasan di daerah. Jawa
Timur dilanda pembunuhan misterius (yang mungkin dilakukan oleh unit-
unit tentara) sementara kekerasan agama berkobar di Jakarta, Ambon
(Maluku), Kupang (Nusa Tenggara Timur) beserta Kalimantan Barat.
Selain itu, ada tiga daerah yang memberontak terhadap Pemerintah Pusat:
Aceh (Sumatera), Irian Jaya (Papua) dan Timor Timur.
Lalu pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa
Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang
dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi
yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan
munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai
dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat,
kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang
merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap
reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi
demokrasi.
Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini (Aspinall,
2004), yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2)
Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada korupsi dan
kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga
reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di
kalangan elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi
yang penuh akselerasi tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-
kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk
menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan
demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi
masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih
mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan
ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks
yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk
berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan kritis: Apakah masa
transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk consolidated
democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah

70
consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada sistem
otoritarian dan militeristik?
Menurut Suharso (2002) setidaknya tercatat berbagai paradoks
demokrasi yang patut dikritisi saat ini. Pertama, berkembangnya kekerasan
politik, anarki, radikalisme, percekcokan massal yang sering dilanjutkan
dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai
perilaku menyimpang lainnya yang justru mencerminkan perilaku anti
demokrasi. Politik zero sum game (dan bukan win-win) dalam rangka
menenggelamkan lawan politik menjadi praktek-praktek lazim yang
menumbuhkan rasa takut untuk berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-
diam di berbagai kalangan masyarakat, termasuk mereka yang kritis,
hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan politik yang ada.
Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan kearifan untuk
toleran terhadap perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri mulai
marak, bahkan sampai ke bentuk fisik, dengan menggunakan simbul-
simbul milik partai, kendati harus memakai berbagai fasilitas publik.
Kedua, berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis
dengan mereka yang dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat
kental hanya sekedar demi meraih kemenangan Pemilu tanpa
menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan demokrasi. Ketiga,
demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik
ketimbang sebagai sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde
Baru dihujat habis-habisan, kini sebagian kekuatan demokratik
berargumentasi bahwa demokrasi tidak harus selalu berisi perbedaan tetapi
juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde Lama digugat, kini juga
tumbuh retorika bahwa pilihan tunggal itu juga demokratik. Kesan yang
tumbuh ialah bahwa demokrasi bukan lagi sebagai idealisme dan agenda
yang harus diperjuangkan untuk mencerahkan kehidupan berbangsa dan
bernegara, tetapi lebih sebagai alat dan isu untuk meraih kekuasaan.

Keempat, ketika kultus individu yang diperagakan oleh rezim


Soeharto dengan berbagai simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, kini
sebagian masyarakat politik malahan memperagakan simbolisasi-
simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa warna kultus individu
dalam bentuk lain. Simbol-simbol budaya politik Orde Baru bahkan mulai

71
dibangkitkan kembali, seakan merupakan potret kehidupan politik yang
benar. Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan
mobilisasi simbolsimbol kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka
memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah potensi kepemimpinan baru
yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Tidak jadi soal
apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang
ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik.

Sejumlah ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di


permukaan era reformasi ini menunjukkan, betapa terjal jalan yang harus
ditempuh oleh bangsa ini menuju demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa,
ternyata tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi secara jujur, jernih
dan bertanggung jawab, baik pada tingkat alam pikiran maupun lebih-lebih
sebagai politik yang tersistem. Perjuangan demokrasi akhirnya harus
berhadapan dengan godaan-godaan kekuasaan di tengah sejumlah jerat
politik yang sebenarnya adalah anti demokrasi.

Fenomena Pilkada
Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu
dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu
sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Pemilu,
terutama yang baru saja dilaksanakan pada tahun 2004, dan pilkada
langsung yang akan dimulai pada tahun 2005 untuk memilih gubernur,
bupati atau walikota mempunyai makna strategis, tidak saja karena
sifatnya yang berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya, namun yang
lebih penting adalah bahwa dengan Pemilu 2004 dan Pilkada secara
langsung itulah masa depan politik Indonesia dipertaruhkan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu


memahami dengan baik kompetisi dan konflik politik sejak runtuhnya
rezim Soeharto. Pemahaman itu pada gilirannya paling sedikit menuntut
pemahaman lebih khusus terhadap tiga hal yang sangat penting, yaitu: (1)
Dinamika proses politik yang terjadi menyusul jatuhnya Soeharto; (2)
Konfigurasi konflik politik di antara berbagai kekuatan politik yang
dihasilkan oleh praktik politik Orba, dan (3) Berkembangnya kebudayaan

72
masyarakat sebagai hasil aplikasi ideologi pembangunanisme yang
melahirkan sikap apolitik, permisif, ekspresif dan hedonistic.
Setelah kita melewati Pemilu 1999 yang oleh sebagian besar
masyarakat, tidak saja nasional tetapi juga internasional, diakui sebagai
pemilu yang paling demokratis di Indonesia, di kalangan sebagian dari kita
seakan berkembang harapan baru bahwa di negeri kita ini akan segera
terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul dengan sistem
politik yang benar-benar demokratis. Harapan ini nampaknya bagaikan
mimpi di siang hari bolong. Yang terjadi adalah bukannya konsolidasi
demokrasi tetapi justru perkembangan ke arah apa yang disebut frozen
democracy yang antara lain ditandai dengan berkembangnya konflik etnis,
maraknya kekerasan politik secara kolektif, dan lokalitas politik yang
berlebihan.

Masa transisi demokrasi menjadi titik krusial yang membuat kita


semua menjadi masyarakat yang oleh Turner dinamakan sebagai
liminality, suatu masyarakat yang digambarkan "tidak berada di sana dan
tidak pula berada di sini". Atau dengan bahasa sosiologis sebagai
masyarakat yang anomali, yaitu suatu masyarakat yang tidak lagi
mempunyai pegangan nilainilai. Berkembangnya masyarakat liminalitas
atau anomali di satu sisi adalah karena mereka menjadi anti struktur, dan
di sisi lain masyarakat tidak lagi dapat melihat dan menemukan
keteladanan, panutan, atau pengamanan-pengalaman baik pada struktur
politik maupun perilaku elite politik yang pantas dijadikan model dan
acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam kondisi demikian kesediaan kita untuk menyerahkan semua
proses politik pada serangkaian prosedur dan aturan main yang disepakati
bersama menjadi cukup merepotkan. Lebih-lebih masyarakat banyak
menyaksikan para elit politik melakukan berbagai pelanggaran terhadap
aturan-aturan main dan prosedur yang disepakati bersama. Yang kita
saksikan kemudian adalah berbagai penyimpangan yang dilakukan secara
kolektif, baik dalam aras politik maupun ekonomi.
Dalam kondisi masa transisi yang demikian muncul keyakinan
publik bahwa satu kesalahan yang sangat serius telah terjadi di dalam

73
pemerintahan dan masyarakat kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh
politik bertindak hanya bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan
bagi kepentingan rakyat yang mereka wakili. Yang terjadi semakin
transparan di hadapan mata publik bahwa "seni memerintah" (the art of
governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk menipu"(the art of
deceiving) rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan
realitas politik yang tengah kita hadapi saat ini, realitas yang bukan tidak
mungkin akan mendorong terciptanya alienasi politik masyarakat dan
kehidupan politik yang liar, sangat subur bagi persemaian anarkhi dan
kekerasan politik apabila para elit dan tokoh politik gagal untuk mengelola
itu semua.

Perkembangan Demokrasi di Era Reformasi saat ini


Seperti yang kita tahu, hingga saat ini Indonesia masih menganut
paham demokrasi. Namun, perkembangan demokrasi hingga saat ini justru
dirasa menurun. Seperti halnya dalam pelaksanaan pemilu yang dirasa
semakin tidak demokratis. Dalam pelaksanaan pemilu, banyak calon
pejabat pemerintahan negara yang mengerahkan segala sesuatu dan
berusaha sebisa mungkin agar bisa menang dalam pemilihan tersebut.

Salah satunya mereka akan mengeluarkan banyak uang untuk


mencapai kemenangan. Akibatnya pihak yang memiliki cukup uang,
mereka lebih berpeluang memenangkan pemilu dibandingkan dengan
yang lainnya. Tidak jarang semakin lama banyak anggota pemerintahan
yang hanya mengejar kekuasaan. Ketika mereka sudah terpilih untuk
melalui pemilu, tidak jarang mereka menjadi seseorang yang tidak amanat
pada tugasnya dan seringkali ditemukan anggota pemerintahan yang
melakukan tindakan tidak bermoral seperti korupsi. Selain itu, pada masa
sekarang apabila warga negara memberikan pendapat dan aspirasinya
kepada pemerintah, seringkali suara mereka diabaikan. Kelompok
minoritas yang ingin menyampaikan aspirasi mereka kepada kelompok
yang lebih besar juga seringkali mengalami hal yang sama. Para wakil
rakyat yang saat ini berada pada posisi mereka memiliki tugas tidak lain
adalah untuk membantu warga negara dalam menyalurkan aspirasinya
pada pemerintah.

74
Namun aspirasi mereka seringkali tidak diperdulikan.
Pemerintahan memutuskan sendiri mengenai segala sesuatu yang harus
dilakukan tanpa mendengarkan aspirasi rakyat. Pelaksanaan demokrasi
tersebut semakin dirasa tidak sejalan dengan konsep yang seharusnya dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seringnya tindakan pemerintah yang
mengabaikan aspirasi dari rakyat, akhirnya dapat membuat rakyat kecewa
yang kemudian berakhir dengan hilangnya kepercayaan rakyat pada
pemerintah. Selain itu, rakyat juga dapat melakukan berbagai upaya agar
sebisa mungkin aspirasi dan pendapat yang mereka berikan dapat dilihat
dan didengar oleh pemerintah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
rakyat ketika suaranya tidak didengar adalah dengan melakukan
demonstrasi. Demonstrasi memang menjadi salah satu sarana untuk
menyalurkan suara rakyat.
Namun, rakyat yang ikut berdemonstrasi seringkali tidak
menyalurkan aspirasi mereka dengan baik. Mereka terkadang juga
melakukan perusakan fasilitas umum sebagai tanda protes kepada
pemerintah. Juga ketika pelaksanaan demonstrasi, tidak jarang rakyat
mendapatkan perlawanan dari aparat keamanan karena mengancam
keamanan publik. Sehingga seringkali pelaksanaan demonstrasi ini
berakhir dengan menimbulkan kericuhan publik atau menimbulkan
konflik baru antar kelompok bahkan antar perseorangan.

Pelaksanaan demokrasi di masa kini dirasa kurang mampu


memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara menyeluruh meskipun
rakyat sudah sering memberikan aspirasi mereka. Oleh karena itu
seharusnya peranan dari pemerintah untuk mendengarkan aspirasi yang
diberikan oleh rakyat juga penting. Para wakil rakyat juga harus
menjalankan tugasnya dengan baik dan maksimal untuk mewakili setiap
aspirasi dari rakyat dan menyalurkannya kepada pemerintah.

75
DINAMIKA DEMOKRASI YANG TERJADI DI INDONESIA
A. Problematika Demokrasi di Indonesia

Reformasi politik tahun 1998 membawa sejumlah perubahan


konstitusi dan peraturan penting yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas demokrasi. Namun perlu ditekankan bahwa mandat konstitusional
dan regulasi ini tidak serta merta dipenuhi. Dengan kata lain, hasil dari
implementasi perubahan yang teridentifikasi belum tentu ideal. Masih
banyak permasalahan yang dapat mengganggu atau menghambat
terwujudnya cita-cita demokrasi, yaitu bahwa bangsa Indonesia aman, adil
dan hidup sejahtera. Masalah dan hambatan yang ada perlu dipetakan,
apalagi diselesaikan dengan cepat dan tepat agar tidak menghambat
konsolidasi demokrasi, apalagi jika berpeluang mendorong Indonesia
maju ke arah kediktatoran, yaitu demokrasi yang kacau balau.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sekalipun demokrasi berkembang dalam


garis lurus ke arah yang benar, Indonesia belum berada dalam situasi dan
kondisi demokrasi yang ideal. Beberapa kalangan, termasuk pemikir
Demokrat terkemuka Samuel P. Huntington, menyebut fenomena ini
sebagai transisi demokrasi. Ada banyak fakta yang mendukung klaim ini.

Pertama, meskipun pemilihan umum (Pilpres dan Pilkada)


diselenggarakan secara langsung dengan menempatkan rakyat sebagai
pemilih langsung, proses dan hasilnya tidak mengikuti prinsip-prinsip
demokrasi. Apa yang terjadi dalam Pilpres langsung sejak diselenggarakan
pada tahun 2004, serta Pilkada, adalah merasuknya operasi oligarki
partisan, politik penggalangan suara, produksi massal hoax, ujaran
kebencian dan kampanye hitam, serta penggunaan politik identitas sebagai
strategi untuk memecah belah masyarakat. Belum lagi adanya kecurangan
dalam proses pemilihan umum saat ini. Intinya, banyak bupati yang
merupakan produk langsung Pilkada yang terjerat kasus korupsi. Merujuk
pada catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak Pilkada
langsung digelar pada 2005, sedikitnya 300 kepala daerah Pilkada
langsung menjadi tersangka korupsi. 12 diantaranya dikelola KPK.

76
Kedua, partai politik merupakan andalan demokrasi. Fungsi partai
politik pasca reformasi menjadi semakin penting karena rotasi elit dalam
pemilu legislatif “mengharuskan” calon didukung oleh partai politik.
Artinya, siapa pun yang ingin menjadi bupati, walikota, atau wakil
presiden harus diangkat melalui partai politik. Memang, dalam rezim
Pilkada, calon independen dimungkinkan untuk mencalonkan diri, tetapi
skalanya masih kecil dan tidak diatur secara konstitusional dalam
pemilihan presiden. Namun, ada kesenjangan besar antara kondisi ideal
(das sollen) dan kenyataan (das sein). Masih banyak partai politik yang
terjebak dalam oligarki dan kegagalan politik, sehingga mengutamakan
kepentingan elit dan pertimbangan finansial dalam perayaan demokrasi
seperti pemilu. Partai politik selalu mementingkan preferensi elit, serta
mempertimbangkan kualifikasi dan kemampuan finansial para kandidat
untuk mengikuti pemilihan umum, daripada aspek kapasitas dan ideologi,
visi, misi, dan integritas kandidat.

Ketiga, kunci utama untuk mencegah demokrasi jatuh ke dalam


kediktatoran adalah penguatan sistem hukum dan peradilan. Artinya,
segala bentuk proses politik dan pemerintahan, termasuk sistem ekonomi
yang diatur, tunduk pada hukum aktif yang berlaku, khususnya Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19 5. Indonesia adalah
sumber hukum tertinggi. Namun, kenyataannya masih jauh dari citra ideal.
Masih banyaknya regulasi yang tumpang tindih antara pusat dan daerah,
menunjukkan aspirasi masyarakat terhambat. Tumpang tindih peraturan
ini tidak akan mungkin terjadi jika konstruksinya melibatkan suara dan
kepentingan rakyat. Pemerintah pusat dan daerah juga sering tidak
konsisten dalam penanganan masalah, seperti terlihat dalam penanganan
pandemi COVID-19 belakangan ini. Hal paling mematikan yang terjadi
saat ini adalah aparat penegak hukum yang melanggar hukum itu sendiri.
Keterlibatan pejabat tinggi dan Kejaksaan Agung dalam kasus Djoko
Tjandra merupakan "tamparan" keras bagi demokrasi saat ini.

Keempat, kehidupan yang lebih demokratis tidak selalu berkorelasi


langsung dengan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah demokrasi mampu
mencapai kesejahteraan? Atau apakah model pemerintahan lain yang
dapat mencapai harapan tersebut? Permasalahan tersebut ditemukan dalam

77
kehidupan sosial politik dan ekonomi di Papua. Meski sudah diberikan
otonomi khusus, bahkan diberi kebebasan untuk membentuk Majelis
Rakyat Papua (MRP), wilayah Indonesia bagian timur ini masih
bergejolak. Beberapa permintaan perpisahan itu diungkapkan karena
faktor ekonomi dan kesejahteraan yang belum membaik. Tentu saja, fakta
ini harus dibedah dari perspektif demokrasi untuk mengurai kekusutan dan
mencari solusi untuk masalah yang tersisa.

Kelima, eksistensi civil society atau masyarakat sipil mulai


teralihkan oleh kepentingan elit dan politik. Masyarakat sipil merupakan
kunci penting bagi proses pembersihan demokrasi yang sedang
berlangsung. Keberadaan masyarakat sipil yang fokus pada isu-isu
reformasi seperti peradilan yang bersih, pemilihan umum LUBER dan
JURDIL, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan pemerintahan
yang demokratis adalah kunci penting dalam arah gerakan gerakan
reformasi. Namun, keberadaan masyarakat sipil saat ini perlahan tapi pasti
mulai kehilangan momentum vitalnya. Semakin banyak tokoh masyarakat
sipil yang masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, yang berdampak pada
melemahnya kelompok-kelompok masyarakat sipil tersebut. Tak kalah
pentingnya adalah jumlah kelompok masyarakat sipil yang berhenti
beroperasi karena masalah pendanaan. Fenomena ini penting untuk dikaji
dari sudut pandang demokrasi.

Money Politic

Money Politic merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pasangan


calon (partai) untuk mempengaruhi masyarakat untuk memilih mereka
dengan imbalan berupa uang maupun barang yang tidak sesuai ketentuan
perundang-undangan. Di Indonesia money politik ini selalu menyertai
dalam setiap pelaksanaan pemilu. Dengan memanfaatkan masalah
ekonomi masyarakat yang cenderung lemah, mereka dapat dengan mudah
dimanfaatkan. Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk memberi
atau menjanjikan untuk menyuap seseorang agar tidak menggunakan hak
pilihnya atau agar dapat menggunakan haknya dengan cara tertentu pada
saat berlangsungnya pemilihan umum. Pembelian dapat dilakukan dengan
cash atau merchandise. Politik uang sebuah bentuk pelanggaran

78
kampanye. Politik uang sering dilakukan oleh para pendukung, eksekutif,
atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari-H pemilu umum.
Maraknya kasus money politik sendiri menunjukkan bahwa negeri ini
sedang dilanda krisis kepercayaan diri terutama yang dialami oleh para
kandidat.

Politik uang juga tergolong kedalam kasus pelanggaran. hal ini


tertuang jelas dalam Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999
berbunyi:

“Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum


menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap
seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara
tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama
tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang
menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.”

Intimidasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Intimidasi


merupakan tindakan yang berkaitan dengan perilaku menakut-nakuti
untuk memaksa orang atau pihak lain agar berbuat sesuatu. Hal tersebut
dapat disertai dengan gertakan atau ancaman. Tujuan intimidasi tersebut
biasanya meliputi tujuan agama, politik, maupun ideologi. Intimidasi
seringkali dilakukan sebagian orang untuk mendapatkan kekuasaan dan
legitimasi atas korbannya. Jadi intimidasi ini juga sangat berbahaya.
Sebagai contoh, seringkali ada oknum yang melakukan intimidasi terhadap
warga agar mencoblos salah satu calon. Intimidasi juga disebut (crowing)
yang artinya adalah perilaku “yang akan menyebabkan seseorang yang ada
pada umumnya akan merasakan “takut cedera” atau berbahaya. Ini tidak
diperlukan untuk membuktikan bahwa perilaku tersebut sehingga
menimbulkan kekerasan sebagai teror atau korban yang sebenarnya takut.
Adapun kasus intimidasi dalam pelaksanaan demokrasi sebagai berikut.

79
Pemilihan Kepala Daerah di Aceh 2017 tidak lepas dari adanya
gangguan berupa intimidasi. Hal itu terungkap dari pantauan langsung
sejumlah forum yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Pilkada Aceh
2017. Salah satu bentuk gangguan intimidasi adalah seperti yang terjadi di
Aceh Barat. Anggota Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi
Kholilullah mengatakan, sehari sebelum pencoblosan, seorang pegawai
Bappeda Aceh Barat menemukan sebuah kotak yang diduga bom.
Pasalnya, di dalam kotak barang itu terdapat kabel. "Pegawai itu curiga,
kemudian lapor polisi. Tidak lama kemudian, tim gegana kepolisian
datang," katanya, Jumat, 17 Februari 2017. Kotak mencurigakan itu, kata
dia, akhirnya diledakkan pada saat itu juga. Tidak terkonfirmasi dari
kepolisian apakah kotak mencurigakan itu bom karena, menurut
Kholilullah, tim gegana keburu meledakkannya pada saat itu juga.

Namun, dia mengatakan, kejadian tersebut menunjukkan bahwa


Pilkada Aceh 2017 tidak lepas dari intimidasi. Selain Aceh Barat,
menurutnya, Koalisi Pemantau Pilkada Aceh 2017 juga mendeteksi 19
pelanggaran selama masa pemantauan periode 14 – 15 Februari 2017.
Berdasarkan jenisnya, bentuk-bentuk pelanggaran yang ditemukan dan
dicatat oleh relawan pemantau adalah intimidasi dan teror, money politik,
pencoblosan ganda, dan penghilangan hak pilih.

Tragedi Trisakti

Demokrasi sendiri memiliki dua sisi yang berbeda, Sebagaimana pada


Tragedi Trisakti yang merupakan sebuah peristiwa kelam dalam sejarah
demokrasi Indonesia. Dimana hal ini merupakan sebuah peristiwa
penembakan, yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa
pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian
ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di
Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah
Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 – 1998), Hafidin
Royan (1976 – 1998 ), dan Hendriawan Sie (1975 – 1998). Mereka tewas
tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital
seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

80
Sudah bukan rahasia lagi jika ketika masa orde baru demokrasi
adalah sesuatu yang mahal harganya, bahkan untuk menebusnya harus
dibayar dengan nyawa. Sebagaimana yang terjadi pada tragedi trisakti.
Dilatarbelakangi oleh kondisi Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal
1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997-1999.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung
Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.

Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju


Gedung Nusantara pada pukul 12.30 aksi ini sendiri adalah perwujudan
dari implementasi demokrasi yang seharusnya berlaku di Indonesia.
Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang
kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak
Polri. Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur,
diikuti bergerak majunya aparat keamanan.

Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah


mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar
berlindung di Universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus
melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS
Sumber Waras.

Kasus Pemilu 2004

Berbagai bentuk pelanggaran telah ditemukan pada pemilihan


umum 2004, dari pelanggaran untuk mencuri awal kampanye, memasang
properti pada tempat terlarang, politik uang (dalam berbagai bentuk seperti
sembako, uang tunai, memberi shodaqoh atau sumbangan, membagikan
paket lebaran seperti sarung, doorprize untuk yang menghadiri kampanye,
serta iming-iming hadiah yang lainnya, uang suap dari caleg DPD dan
caleg partai politik, penggunaan ijazah palsu, intimidasi, menggunakan
fasilitas negara untuk kampanye, pelanggaran waktu kampanye para
pejabat, memberikan suara di dua tempat, memobilisasi warga untuk
mencoblos di dua tempat, petugas KPPS banyak yang memilih partai
tertentu, membagikan kartu pemilih yang palsu, dsb. Dari berbagai bentuk
pelanggaran, empat kasus tercatat jenis pelanggaran yang paling penting

81
untuk disoroti, khususnya kericuhan dalam pendaftaran pemilih, tindakan
manipulasi dalam penghitungan suara, ketidaknetralan birokrasi sipil,
tetap merajalela nya politik uang serta aroma politik uang yang justru
menyelimuti KPU itu sendiri.

Dalam Pemilu 2004, praktik politik uang terkesan dilakukan secara


kian masif dan terang-terangan, khususnya oleh partai-partai seperti Partai
Golkar, PDIP, maupun partai yang baru memiliki dana besar yakni Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengusung nama anak mantan
Presiden Soeharto sebagai calon presiden, serta politik uang yang secara
individu dilakukan oleh para caleg partai. Praktek tersebut lah yang
demikian membuat Nurcholis Madjid menyebut sukses pemilu legislatif
2004 baru sebatas keberhasilan prosedural, pemilu yang demokratis secara
prosedural, tanpa diikuti keberhasilan substansial. Hal ini karena siapa
yang terpilih masih belum sepenuhnya dipilih rakyat secara murni tanpa
adanya unsur money politics.

Perilaku ini juga melanggar sila pertama yaitu Ketuhanan yang


maha esa,kejujuran yang merupakan hal penting dikalahkan oleh
kepentingan individu demi mendapatkan kekuasaan yang diinginkan. Dan
juga melanggar sila ke 5 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hal
ini terjadi karena banyak suara masyarakat dibeli oleh pihak pihak tertentu
untuk mewujudkan keinginannya, kembali iming-iming uang dan urusan
perut menjadi hitungan masyarakat menjual suaranya. Di sana-sini masih
terjadi pelanggaran, dari soal money politics (pemberian uang, sembako),
intimidasi politik, teror politik sampai manipulasi perhitungan suara.

Panwaslu secara khusus gagal melakukan pengawasan secara


efektif terhadap pelanggaran politik uang dan manipulasi perhitungan
suara. Selama berlangsungnya proses pemilihan umum, di berbagai daerah
di penjuru Tanah Air bagaikan sudah menjadi rahasia umum bahwa partai-
partai besar (yakni PDIP dan Golkar) ditambah PKPB (partai yang
mengusung nama Siti Hardiyanti Rukmana sebagai capres) gencar
melakukan praktik politik uang. Dalam beberapa kejadian, kasus politik
uang yang dilakukan secara transparan, di mana untuk praktek pengerahan

82
massa bayaran maka jutaan masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput
adalah saksi-saksi yang niscaya tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

Terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh parpol tanpa dibarengi


oleh penyelesaian hukum yang signifikan terhadap para pelaku
pelanggaran, semakin mengukuhkan bukti bahwa persoalan penegakkan
hukum di Indonesia memang baru sebatas lips Service. Bahkan ketika ada
sebuah kasus yang oleh panwas Pemilu setempat sudah diteruskan ke
kepolisian, namun ketika polisi tidak menindaklanjutinya maka panwas
Pemilu di daerah biasanya merasa bahwa kasus tersebut sudah bukan lagi
urusan mereka. Dinamika suasana Pemilu 2004 tidak terlepas dari peranan
massa yang di era keterbukaan secara terus-menerus melakukan
pemberitaan mengenai berbagai kecurangan di segenap pelosok Tanah
Air. Hanya sayang nya liputan media massa ini kurang disikapi secara
relatif layak oleh pihak KPU, yang justru terkesan di sana-sini bersikap
defensif. Sementara itu, pihak Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang
diharapkan mampu mengawasi Pemilu, ternyata tidak punya cukup
kewenangan karena keberadaan nya di bawah KPU. Hal ini terbukti dari
ribuan kasus yang ada, tidak ditanggapi KPU secara memadai.

Hal ini membuat masyarakat mendapat informasi yang simpang


siur dan tidak jelas keberagamannya, perpecahan tidak akan bisa dihindari.
Dengan demikian persatuan bangsa bisa terpecah belah oleh kabar yang
pemecah belah, seharusnya media massa bukan menggunakan
kemampuannya untuk memberikan kabar pemecah belah bangsa,
melainkan data real yang dapat membuat masyarakat bersatu.

Masih banyak lagi kendala demokrasi yang hingga kini masih belum
terselesaikan, seperti persoalan pelanggaran HAM yang belum
terselesaikan di masa lalu, kecenderungan peningkatan TNI dalam
kehidupan politik hingga dinilai membahayakan demokrasi, legitimasi
ganda antara eksekutif dan legislatif, yang menyebabkan inefisiensi dalam
pembuatan kebijakan, dimana semua permasalahan tersebut berujung pada
batalnya demokrasi yang layak dan penerapan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar negara dan konstitusi.

83
B. Solusi Masalah Demokrasi di Indonesia dalam Berbagai
Perspektif
Seberapa kokoh demokrasi Indonesia? Ini pertanyaan kritis,
sekaligus menggambarkan kegalauan menyaksikan arus perkembangan
politik Indonesia yang tidak mencerminkan peningkatan kualitas.
Sekalipun penyelenggaraan demokrasi secara formal prosedural dapat
digolongkan lancar, damai, bahkan kian “mapan”. Akan tetapi, proses dan
capaian perubahan tidak sesuai yang diharapkan. Corak reformasi politik
justru makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan
manuver politik dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa
kuasa yang menyertai hingar bingar demokrasi. Di situlah muncul gejala,
mungkin bisa disebut sinyalemen, bahwa demokrasi Indonesia terasa
goyah. Jika demokrasi itu diibaratkan rumah atau bangunan, maka pilar
penyangganya adalah parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum.
Karena itu kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu, apakah
bangunan demokrasi itu akan kokoh dan kuat, atau sebaliknya rentan dan
potensial roboh. Dari refleksi atas perjalanan sejauh ini menunjukkan,
bahwa ketiga pilar itu sedang mengalami proses perapuhan serius.

Pilar pertama, soal peran Partai politik misalnya. Sebagai kekuatan


penting penyangga bangunan demokrasi, hari demi hari makin digerus
oleh rayap-rayap yang membuat lapuk dan keropos, sehingga mudah patah
dan hancur. Organisasi penghimpun kekuasaan bernama parpol masih
dihinggapi problem feodalisme atau oligarki, yang membuat tidak
berkembang. Parpol makin dirusak oleh ulah politisinya yang terjerat
skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri.
Akibatnya, parpol diidentikkan dengan keculasan, justeru karena ulah
politisi tersebut. Karenanya perlu direformasi serta dikuatkan untuk
menumbuhkan derajat legitimasi dan trust dari masyarakat.
Sementara itu pilar kedua menyangkut kebebasan sipil. Ukuran
penting suatu demokrasi bekerja adalah ketersediaan ruang bagi
masyarakat atau warga negara dalam mengartikulasikan pendapat dan
pikiran, mengorganisir diri, serta bertukar atau mengakses informasi. Jika
masyarakat sipil dapat tumbuh berkembang dan kuat maka akan mampu
mengimbangi negara dengan elemen-elemen masyarakat politiknya.

84
Sayangnya, perwujudan kebebasan masyarakat sipil itu terus
terganggu. Gejala keterancaman itu terus bermunculan yang nampaknya
berproses dan bersumber dari dua kutub selama lima tahun terakhir. Pada
kutub negara muncul sejumlah regulasi dan instrumen kebijakan yang
orientasinya mengekang kebebasan masyarakat sipil. Sementara pada
kutub masyarakat sendiri berlangsung fenomena dominasi baru kelompok
kuat pada golongan minoritas. Ada gejala kecenderungan menebalnya
sentimen identitas yang secara sepihak mengambil alih peran negara
seolah merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan pengatur.

Akibat dari semua itu, sebagian elemen-elemen masyarakat sipil


tidak mendapatkan ruang aman dan nyaman di saat mengekspresikan
kebebasannya. Sebut saja misalnya, peristiwa pembubaran diskusi oleh
kelompok milisi, penyerangan tempat ibadah, sengketa antar etnik, atau
ragam bentuk konflik identitas. Semua itu merupakan contoh-contoh nyata
yang menggambarkan situasi memburuk di masyarakat sipil. Kemudian
pilar ketiga, penegakan hukum. Secara normatif, hukum
merepresentasikan garis batas dan hubung dalam kelola kekuasaan, baik
di aras negara maupun masyarakat. Melalui hukum, kekuasaan demokratis
itu diabsahkan. Karena itu hukum dipercaya sebagai salah satu instrumen
pokok untuk mengatasi sengketa, agar mencapai keadilan.
Namun praktiknya, apa mau dikata, publik terlalu mudah
menunjukkan fakta dan praktik-praktik kebobrokan hukum yang justru itu
bersumber dari perilaku buruk aparat penegak hukum. Alih-alih menjadi
penegak, justru yang terjadi meruntuhkan hukum itu sendiri. Misalnya
oknum polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara di mana mereka itu
diberikan mandat sebagai penjaga nilai dan kewibawaan hukum malah
terjebak dalam mafia kasus berkonspirasi dengan dengan elit ekonomi atau
politik. Cerita-cerita buruk semacam itu berdampak pada rusaknya
demokrasi Indonesia. Kelangsungan peristiwa yang menandai
digerogotinya sendi-sendi hukum oleh aparat itulah yang memunculkan
sindiran bahwa mempercayai hukum berarti merayakan ketidakpastian,
atau mendukung kepalsuan.
Membayangkan demokrasi Indonesia dengan pilar-pilar rapuh
sebagaimana digambarkan di atas, maka wajar saja jika muncul sikap was-

85
was, galau, atau kekhawatiran akan masa depan demokrasi. Bangunan
demokrasi begitu rentan, dan bisa saja setiap saat terancam roboh jika
diterpa gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Atau peristiwa-
peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibanding kekuatan
bangunan sehingga dapat saja meluluhlantakkan demokrasi Indonesia.
Kalau hingga hari ini kita masih mampu menyelenggarakan
pemilu, pemilukada, persidangan parlemen, serta kerja pemerintahan,
namun kesemua itu dapat dianggap bagian saja dari ornamen
kelangsungan sistem politik dan pemerintahan yang memang
dilangsungkan secara formal. Padahal, demokrasi yang demikian tidak
akan menghasilkan tenaga untuk menggapai tujuan bernegara
sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Kita memerlukan demokrasi
yang substantif. Melampaui dari sekadar ritual, rutinitas atau
instrumentatif belaka. Sekarang solusinya adalah bagaimana
menghadirkan corak bernegara yang mampu menjamin sistem
pemerintahan akuntabel dan responsif, perlindungan hak-hak warga
negara dari negara, serta penegakan hukum demi mewujudkan keadilan
secara nyata.
Oleh karena itulah, tantangan terbesar mencegah robohnya
demokrasi, bagaimana memperbaiki dan memperkuat kembali pilar-pilar
itu sesuai prinsip demokrasi yang benar, di atas fondasi cita-cita
keindonesiaan. Sudah terlalu banyak politisi dihukum, baik oleh hakim
karena urusan korupsi dan masalah pidana lainnya, maupun oleh rakyat
dalam pemilu karena mengabaikan amanat. Namun demikian belum juga
jera. Sekalipun kita menghujat dan mencaci maki politisi dan parpol, kita
tidak mungkin mengingkari betapa pentingnya posisi dan peran parpol jika
kita bersepakat dengan demokrasi.

Oleh karena itulah, tantangan kita adalah di satu sisi harus selalu
mengingatkan dan mengontrol parpol untuk segera berbenah, mereformasi
organisasi mesin kekuasaan ini agar dikembalikan ke jalan yang benar.
Sebegitu besarnya otoritas atau kuasa politik yang digenggamnya di dalam
mengoperasikan kewenangannya tentu harus diimbangi komitmen
membangun etika berpolitik, kemampuan organisasi dalam mencetak
pemimpin, serta ketrampilan mengolah aspirasi rakyat menjadi kebijakan.

86
Tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi kompatibel dengan tugas
dan fungsinya menjalankan sistem bernegara.
Sementara pada sisi lain, upaya pendidikan politik, pencerahan dan
pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlementaris
sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang parpol. Masyarakat yang
cerdas dan berdaya jangan dianggap sebagai ancaman parpol. Tetapi perlu
dibaca sebagai partner, atau bagian dari kontestasi perebutan pengaruh.
Bahkan, warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong parpol
untuk makin kompetitif dan berbenah diri. Di situ kita akan menyehatkan
dua pilar: parpol danmasyarakat sipil.
Jikalau kita memiliki parpol yang kredibel dalam membentuk
struktur parlemen, masyarakat yang kritis membentuk struktur
pemerintahan, maka akan menghasilkan hukum yakni regulasi, produk
perundangan serta kebijakan yang akuntabel sebagaimana dikerangkai
dalam sistem demokrasi. Sejak presiden Joko Widodo menggemakan
istilah “Revolusi Mental”, kata revolusi menjadi lebih sering muncul ke
permukaan. Meminjam istilah yang digunakan Jokowi, bahwa revolusi
diartikan sebagai terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-
tuntasnya segala praktik buruk yang sudah ada sejak era orde baru. Dilihat
dari sisi etimologis, revolusi berasal dari kata “to revolve” yang berarti
“kembali lagi”. Revolusi berusaha mengembalikan suatu kondisi yang
dirasa sudah tidak ideal agar sesuai dengan nilai ideal yang telah
dicitacitakan. Singkatnya, Revolusi merupakan suatu perubahan mendasar
dalam ranah mental maupun materiil yang bertujuan untuk memperbaiki
tatanan agar sesuai dengan konstruksi ideal. Revolusi juga tidak selalu
berlangsung secara cepat. Revolusi Industri di Eropa misalnya,
berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Dengan demikian, revolusi bisa saja berlangsung dalam waktu


yang lama bergantung pada skala perubahan yang diinginkan. Situasi
Indonesia dalam dasawarsa kedua abad 21 ini menjadi semakin rumit.
Bangsa ini seolah kesulitan lepas dari cengkeraman Kapitalisme global.
Demokratisasi masyarakat pasca reformasi 1998 juga mengalami stagnasi.
Reformasi memang berhasil mewujudkan pemerintahan yang lebih
demokratis. Partisipasi aktif rakyat di bidang politik melalui partai politik

87
menjadi hal yang patut dipandang positif. Namun demikian, demokrasi
bukanlah tujuan akhir dari reformasi. Demokrasi hanyalah sebuah alat
menuju cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Menilai pelaksanaan
demokrasi di Indonesia dapat diukur melalui ketercapaian cita-cita bangsa
ini. Sayangnya, bangsa ini justru terlihat semakin jauh dari cita-cita
kemerdekaan yang telah dirumuskan oleh para founding father. Salah satu
penyebabnya adalah pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang masih jauh
dari ideal. Pelaksanaan demokrasi di negeri ini mulai memunculkan rasa
kecewa pada masyarakat luas. Revolusi demokrasi merupakan langkah
yang harus segera diambil untuk memperbaiki demokrasi sekaligus
menyelamatkan bangsa ini. Bagaimana melaksanakan revolusi demokrasi
di Indonesia? Berbagai persoalan pelaksanaan demokrasi di Indonesia
tentu perlu dikupas secara lebih mendalam agar ditemukan titik pangkal
persoalannya. Berbagai macam karya ilmiah maupun opini di surat kabar
telah muncul untuk menjawab persoalan ini. Meskipun demikian, fakta
tersebut tidak membuat topik ini menjadi tidak menarik untuk dikaji.
Karya-karya tersebut perlu didiskusikan lebih lanjut secara terusmenerus.
Sintesa dari proses dialektis ini yang nantinya diharapkan memunculkan
gagasan baru guna memperbaiki pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Sebuah Paradoks Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang
disepakati oleh founding father bangsa Indonesia. Soekarno dengan tegas
menyampaikan hal tersebut dalam pidatonya dalam sidang pertama
BPUKI tanggal 1 Juni 1945. Soekarno mengusulkan “mufakat dan
demokrasi” sebagai prinsip penyelenggaraan negara Indonesia. Usulan
Soekarno tersebut mendapat persetujuan dari anggota sidang. Prinsip
“mufakat dan demokrasi” ini akhirnya disahkan pada sidang kedua
BPUPKI tanggal 22 Juni 1945. Prinsip demokrasi yang disepakati ini
sejalan dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia yang dijabarkan oleh Hatta
sebelumnya. Prinsip demokrasi Indonesia ini mengalami pasang surut
dalam penerapannya. Pemerintah Indonesia sempat menerapkan sistem
demokrasi parlementer pada tahun 1945-1959. Pada era ini, kabinet silih
berganti memegang pucuk pimpinan pemerintahan. Instabilitas politik ini
menimbulkan kekecewaan dimana-mana.

88
Salah satu peristiwa penting yang menjadi ekspresi kekecewaan rakyat
terhadap sistem demokrasi pada masa ini adalah Peristiwa 17 Oktober
1952. Sekalipun pada era ini pemerintah berhasil menyelenggarakan
pemilihan umum tahun 1955, namun era parlementer ini gagal dalam
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Wakil rakyat yang duduk
di parlemen lebih memilih untuk memperjuangkan kepentingan golongan
daripada kepentingan rakyat. Soekarno yang geram akan peristiwa tersebut
akhirnya mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi tentang
pembubaran parlemen. Dekrit tersebut menjadi penanda berakhirnya era
parlementer sekaligus menjadi awal dimulainya era demokrasi terpimpin.
Pelaksanaan demokrasi terpimpin didominasi oleh gagasan dan
kepribadian Soekarno.
Bagi Soekarno, Demokrasi terpimpin merupakan satu kesatuan
yang tidak boleh dipisahkan. Demokrasi saja bisa menyeleweng menjadi
liberalisme, sementara terpimpin saja bisa menyeleweng ke diktatur fasis.
Sistem demokrasi terpimpin yang pada awalnya dianggap lebih baik dari
sistem parlementer ternyata berubah menjadi sistem pemerintahan yang
cenderung otoriter. Parlemen serta Konstituante hasil pemilihan umum
1955 dibubarkan, beberapa partai dan organisasi yang dianggap tidak
sejalan dengan gagasan Soekarno dibubarkan. Akibatnya, lembaga politik
yang ada pada masa tersebut gagal melaksanakan fungsi politiknya. Sistem
ini akhirnya mengalami kejatuhan pasca peristiwa Gerakan 30 September
1965.

Kegagalan Soekarno mengelola konflik politik antara PKI dan


Angkatan Darat menjadi sebab utama kejatuhan dirinya. Rakyat kembali
dikecewakan oleh pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Soeharto
kemudian menjabat sebagai presiden yang sekaligus menandai kelahiran
Orde Baru (1966-1998). Orde Baru muncul dengan gagasan Demokrasi
Pancasila. Demokrasi yang dilaksanakan pada masa ini secara formal
didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi pelaksanaan aturan
ini justru melenceng dari yang diharapkan. Orde Baru justru menjelma
menjadi sebuah negara pretorian. Militer menjelma menjadi kekuasaan
mutlak selama era Orde Baru. Demokrasi yang dilaksanakan pada masa
ini hanya berfungsi sebagai formalitas belaka. Pemilu yang

89
diselenggarakan penuh dengan manipulasi dan kecurangan. Hak-hak
politik rakyat dipasung dan kebebasan berpendapat menjadi hal yang sulit
ditemukan. Mekanisme politik tersebut yang membuat proses politik tidak
berlangsung demokratis. Segala tindak represif ini mencapai
antiklimaksnya pada tahun 1997-1998 saat krisis ekonomi melanda
beberapa negara di Asia termasuk Indonesia.
Melemahnya perekonomian Indonesia secara drastis menjadi dalih
utama untuk menurunkan Soeharto dari jabatannya sekaligus menandai
berakhirnya era Orde Baru. Gelombang demokratisasi menjadi hal yang
tidak terelakkan lagi. Reformasi 1998 menjadi antiklimaks pemerintahan
Orde Baru. Pelaksanaan demokrasi Indonesia di era reformasi juga tidak
luput dari sejumlah hambatan. Hambatan utama pelaksanaan demokrasi
pada saat ini adalah sistem Kapitalisme yang dianut oleh Indonesia.
Kapitalisme menciptakan ketidaksetaraan dalam bidang ekonomi. Sejalan
dengan hal tersebut, ketidaksetaraan dalam akses politik juga terjadi pada
masyarakat. Sumber daya politik tidak dapat didistribusikan secara merata
dalam sistem Kapitalisme. Akses terhadap pemerintahan kini hanya
dimiliki oleh orang-orang kaya yang memiliki modal. Kebijakan yang
muncul dalam sistem ini seringkali tidak mengindahkan kepentingan
rakyat banyak karena terfokus pada kepentingan para pemilik modal.
Singkatnya, penyelenggaran pemerintahan selama ini hanya
didasarkanpada kepentingan segelintir golongan elit. Pola kekuasaan ini
yang oleh Richard Robinson dan Vedi Hadiz disebut sebagai oligarki
kompleks. Oligarki kompleks merupakan suatu sistem pemerintahan yang
seluruh kekuasaan politiknya dipegang oleh segelintir elit untuk
kepentingan golongan elit itu sendiri. 1 Golongan elit tersebut terdiri dari
pejabat negara, keluarga pejabat, serta para konglomerat bisnis. Sistem
oligarki kompleks ini berkembang sejak era Orde Baru.
Ketika Orde Baru runtuh, sistem ini tidak serta merta ikut hilang
begitu saja. Sistem ini mampu bertransformasi untuk mempertahankan
hegemoni yang telah lama terbentuk. Desentralisasi pemerintahan ternyata
masih belum cukup ampuh untuk menghapus oligarki tersebut. Terbukti,
para pemegang kekuasaan saat ini baik di pusat maupun daerah merupakan
representasi dari golongan elit tersebut. Sistem oligarki kompleks ini

90
memperkuat jurang ketidaksetaraan dalam masyarakat yang inheren dalam
masyarakat kapitalis. Hak-hak ekonomi dan politik rakyat banyak yang
tidak terpenuhi. Golongan elit telah merampas hak-hak rakyat tersebut.
Kebijakan yang pro-rakyat semakin sulit terealisasikan. Demokrasi
sebagai sistem seolah tidak mampu memberikan tempat bagi rakyat untuk
merealisasikan keinginan mereka. Secara substantif, ketidaksetaraan ini
jelas sangat berlawanan dengan prinsip dasar demokrasi yang
mengedepankan kesetaraan. Paradoks inilah yang terjadi dalam
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Siapa yang harus bertanggung jawab
untuk menyelesaikan persoalan tersebut? Pemerintah serta masyarakat
luas harus bertanggung jawab untuk menghapus paradoks tersebut.
Pemerintah sejauh ini masih gagal mengambil tindakan maupun membuat
regulasi yang menjamin kesetaraan dalam masyarakat. Ironisnya para
pemangku kebijakan merupakan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu
yang demokratis. Demokrasi seolah tidak dapat lepas dari misrepresentasi.
Kegagalan wakil rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat
mengakibatkan banyak kepentingan rakyat tidak terakomodir.
Misrepresentasi demokrasi telah melahirkan kekecewaan pada rakyat
Indonesia. Persoalan tersebut harus segera dicari solusinya untuk
menghapus kekecewaan rakyat sekaligus memperbaiki demokrasi
Indonesia. Jalan yang saya tawarkan untuk menyelesaikan persoalan
tersebut adalah revolusi demokrasi.
Dari mana revolusi itu dimulai? Siapa pula aktor yang akan
melaksanakan revolusi tersebut? Bagaimana pelaksanaannya? Sederet
pertanyaan tersebut yang mungkin akan hadir dalam pikiran kita saat
muncul wacana revolusi demokrasi. Satu hal yang pasti adalah revolusi
tersebut harus dimulai sejak saat ini. Pelaksanaan demokrasi Indonesia
tidak boleh lepas dari konteks sosiohistoris bangsa Indonesia. Demokrasi
yang berkembang di Indonesia merupakan hasil peleburan nilai-nilai
positif yang diserap dan diolah secara kreatif sehingga memunculkan
demokrasi Indonesia. Sekalipun pada perkembangannya terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
hal tersebut tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk berhenti berusaha
merealisasikan demokrasi Indonesia dalam bentuk nyata. Kapitalisme
global melahirkan kesenjangan ekonomi-politik dan hegemoni segelintir

91
elit terhadap masyarakat. Hal tersebut menjadi realita yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia saat ini.
Demokrasi Indonesia sejatinya menentang keras hal tersebut.
Demokrasi Indonesia mengidealkan sinergi antara demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Soekarno menyebut perpaduan keduanya dengan
istilah sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi merupakan demokrasi yang
menekankan kemerataan dalam bidang politik dan juga ekonomi. Hal ini
yang membedakan demokrasi Indonesia dengan demokrasi Barat yang
mengagungkan kebebasan individu diatas segalanya. Kebebasan individu
mutlak inilah yang menjadi titik pangkal kemunculan penindasan dan
ketidaksetaraan dalam masyarakat. Sosio-demokrasi inilah yang harus
diwujudkan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Rakyat pada saat ini
memang memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Pemilu yang
dilaksakan juga relatif berjalan lebih demokratis bila dibandingkan era
sebelumnya, tetapi hal tersebut tidaklah cukup. Rakyat tidak hanya
diberikan kebebasan atas hak politik tetapi juga hak ekonomi. Rakyat
harus menikmati kesetaraan dalam bidang ekonomi. Tanpa hal tersebut,
demokrasi politik tidak akan berarti banyak. Sesungguhnya dasar negara
dan konstitusi kita telah menjamin hal tersebut. Meskipun demikian hal
tersebut ternyata belum mampu diwujudkan kedalam ranah praktis
kehidupan rakyat Indonesia. Sosio-demokrasi ini hanya bisa terwujud
apabila ada partisipasi aktif dari seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi
bagaimanapun merupakan alat untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur. Seluruh rakyat harus menggunakan alat tersebut secara
gotong-royong hingga terciptanya masyarakat yang adil dan makmur
tersebut. Rakyat harus terlibat secara aktif dalam bidang politik dan
ekonomi tanpa ada kesenjangan didalamnya. Nilai-nilai kolektif,
kesetaraan, serta kemanusiaan yang diuraikan Hatta sebagai paradigma
mentalkultural demokrasi Indonesia harus dihayati dan dilaksanakan
secara penuh dalam proses ini. Singkatnya, mewujudkan sosio-demokrasi
sama artinya dengan melaksanakan revolusi demokrasi.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melaksanakan


revolusi demokrasi. Langkah pertama dengan mewujudkan kaum
intelektual sebagai agen perubahan. Kaum intelektual, meminjam istilah

92
Edward Said merupakan individu yang dikaruniai bakat untuk
merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan,
pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada publik.Kaum
intelektual harus terlibat aktif dalam ranah politik ataupun kultural dalam
memajukan bangsa. Hal tersebut telah dibuktikan dalam sejarah bangsa
Indonesia ketika para pribumi terpelajar menjadi pelopor kebangkitan
nasional. Singkatnya, kaum intelektual memiliki tanggung jawab historis
untuk memperbaiki kondisi bangsa yang karut-marut. Pada masa kini,
kaum intelektual harus mampu mengubah struktur sosial yang secara
terselubung menindas hak- hak politik dan ekonomi rakyat. Dengan
demikian, kaum intelektual harus dapat menunjukkan perannya sebagai
agen perubahan untuk mengakomodir kepentingan rakyat banyak. Ide-ide
kerakyatan harus diperjuangkan secara serius sehingga hak-hak sosial,
ekonomi, serta politik rakyat dapat terpenuhi.
Langkah kedua adalah mendorong negara agar mampu
menciptakan regulasi yang melindungi hak-hak ekonomi rakyat.
Kapitalisme global telah membuat para pemilik modal memonopoli
sumber daya ekonomi yang tersedia. Sistem ini yang kemudian melahirkan
eksploitasi dalam masyarakat. Eksploitasi ini membuat bagitu banyak
rakyat jatuh miskin. Negara harus hadir dan menyelesaikan persoalan ini.
Regulasi terhadap pengelolaan ekonomi harus dibuat agar rakyat tidak
semakin hidup sengsara dalam sistem ekonomi Kapitalis. Negara harus
menerapkan menyelenggarakan perekonomian yang berjiwa kooperasi.
Perekonomian yang berjiwa kooperasi dicirikan pelaksanaan roda
perekonomian yang melibatkan rakyat secara aktif sejak proses produksi
hingga hasil akhir.Negara harus menjamin rakyat memiliki hak yang setara
untuk mengelola sumber daya alam dan faktor-faktor produksi. Negara
juga harus menjamin pemanfaatan sumber daya alam digunakan seluas-
luasnya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak sesuai dengan amanat
UUD 1945. Hal ini hanya dapat terwujud apabila pemerintah baik
eksekutif maupun legislatif peka terhadap permasalahan rakyat dan
memiliki keberanian untuk memperjuangkan hal tersebut. Negara harus
mampu mengedepankan kepentingan rakyat dan tidak tunduk kepada
kepentingan para pemilik modal. Jika hal ini terwujud, kesejahteraan
rakyat dapat tercipta dan hak-hak ekonomi rakyat dapat terpenuhi.

93
Langkah terakhir adalah menjadikan rakyat sebagai subyek demokrasi
penuh. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melibatkan rakyat dalam
keputusan-keputusan strategis negara. Salah satu contohnya ialah dengan
melakukan referendum untuk memutuskan kenaikan harga BBM.
Keterlibatan langsung rakyat melalui referendum ini penting karena
pemerintah harus memastikan kebijakan yang diambilnya didukung penuh
oleh rakyat. Apabila hasil referendum ternyatan rakyat menolak kenaikan
harga BBM, maka pemerintah harus mencari opsi kebijakan lain. Hal
tersebut juga berlaku dalam kebijakan strategis lain. Langkah ini secara
praktis akan meminimalisir kepentingan golongan elit terhadap kebijakan
strategis negara karena harus berhadapan langsung dengan suara rakyat.
Dengan demikian rakyat benar-benar terlibat aktif dalam proses
penyelenggaraan negara karena segala kebijakan pemerintah harus
mendapatkan persetujuan dari rakyat. Kedaulatan rakyat dapat terwujud
melalui langkah ini. Revolusi demokrasi merupakan jalan yang bisa
ditempuh untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Rakyat Indonesia
tentu sudah mulai jenuh dan kecewa melihat pelaksanaan demokrasi yang
didominasi oleh golongan elit sehingga membutuhkan perubahan. Disisi
lain melaksanakan demokrasi revolusi tentu tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Kita perlu belajar kembali menggali nilai-nilai demokrasi
Indonesia. Nilai-nilai tersebut mencakup nilai kolektivisme, kesamaan
derajat, serta kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut harus dihayati dan
diamalkan untuk melaksanakan dan mewujudkan sosio-demokrasi. Pada
akhirnya untuk menjawab pertanyaan saya diatas, saya berkeyakinan
bahwa revolusi bisa dimulai dari mana saja dan aktor utama revolusi
merupakan rakyat yang memiliki kesadaran serta keberanian untuk
mengubah karut-marut demokrasi Indonesia. Kita harus mampu menjadi
aktor revolusi tersebut
Demokrasi merupakan pemerintahan yang berasal dari, oleh, dan
untuk rakyat. Kedaulatan rakyat merupakan hal terpenting dalam
demokrasi. Demokrasi harus mampu memberi perlindungan kepada
seluruh anggota masyarakat tanpa memandang latar belakang anggota
masyarakat tersebut. Demokrasi selalu mengidealkan kesetaraan seluruh
anggota masyarakat. Hal inilah yang kiranya menjadi alasan utama
founding father bangsa Indonesia memilih demokrasi sebagai sistem

94
pemerintahan negara Indonesia yang multikultur. Konsep demokrasi
Indonesia dirumuskan secara apik dalam sila keempat dasar negara
Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sejarah mencatat
bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia selalu gagal merealisasikan
cita-cita luhur sila keempat Pancasila tersebut. Indonesia pernah terjebak
pada sistem demokrasi liberal antara tahun 1945-1959. Era selanjutnya
ditandai dengan pemerintahan semi otoriter selama era Orde Lama (1959-
1965) dan Orde Baru (1966-1998). Pengalaman pahit pelaksanaan
demokrasi tersebut kiranya menjadi stimulus bagi golongan reformis kala
melancarkan aksi Reformasi tahun 1998. Sayangnya reformasi 1998 masih
belum mampu mewujudkan demokrasi Indonesia yang sesungguhnya.
Dominasi Kapitalisme global dan hegemoni golongan elit dalam bidang
politik-ekonomi menjadi hambatan utama realisasi demokrasi Indonesia
yang ideal. Demokrasi telah melahirkan kekecewaan. Rakyat mulai jenuh
terhadap segala sistem yang tidak peka terhadap kepentingan mereka. Dari
sinilah revolusi dilahirkan. Revolusi demokrasi merupakan hal yang harus
segera dilaksanakan di negeri ini. Secara sederhana, revolusi demokrasi
sama artinya dengan melaksanakan demokrasi di bidang politik dan bidang
ekonomi, sesuai dengan yang konsep sosio-demokrasi Soekarno.
Melaksanakan revolusi demokrasi berarti menerapkan sosio-
demokrasi. Ada tiga langkah yang bisa diambil, pertama mendorong
keterlibatan aktif kaum intelektual sebagai agen perubahan, kedua negara
harus mampu menciptakan regulasi yang melindungi hak-hak ekonomi
rakyat, dan ketiga menjadikan rakyat sebagai subyek demokrasi penuh.
Ketiga langkah tersebut harus segera diwujudkan agar cita-cita bangsa
Indonesia yang dirumuskan oleh founding father bangsa ini dapat
terwujud.

95
DAFTAR PUSTAKA

_____ . 2002. Perilaku Elit Politik Berkeadaban.


_______, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, (Jakarta: Yayasan Abad
Demokrasi, 2012).
________, Revolusi Pancasila. (Jakarta: Mizan, 2015). Zulfikri
Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta,
(Jakarta: Kompas, 2010).

Achmad Azhar Ar Ridho & Farida Nurani, Demokrasi dan


Problematika terhadap Persatuan Bangsa Indonesia, (Malang: Journal,
2019)

Adara Primadia, Sejarah Demokrasi di Dunia – Awal Berdiri dan


Dampaknya, (Indonesia: sejarahlengkap.com, 2016)

Adminyl, Ini Contoh Pelanggaran Demokrasi di Indonesia,


(Kepulauan Riau: Tribrata News, 2021)

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di


Indonesia, Studi Sosio Legal Atas Konstituante 19561959, Grafiti,
Jakarta.2001.
Afif Rizki, Sejarah Demokrasi Indonesia, (Pahamify, 2020)
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Historis, (Bandung: Mizan, 2015)
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta:
Gramedia. Budiardjo, Miriam, ed. 1982. Masalah Kenegaraan. Jakarta:
Gramedia.

Almond, Gabriel. and Sydney Verba. 1963. The Civic Culture.


Princeton: NJ. Princeton

96
Amien Rais, Pengantar Dalam Demokrasi dan Proses Politik,
LP2ES, Jakarta.1986.
Apter, David. 1990. The Politics of Modernization. Chicago:
University of Chicago Press.

Aspinall, Edward. 2000. "Bagaimana Peluang Demokratisasi?"


dalam Edward Aspinall (eds).
Benny Bambang Irawan, PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI
NEGARA INDONESIA, 2007. Diakses pada 05 Juli pada 02.00

Boy Anugerah, Problematika Demokrasi Indonesia, (Jakarta:


Kumparan, 2021)

Budiardjo, Miriam (Editor). (1998). Partisipasi dan partai politik,


edisi revisi. Jakarta: YOI.
Bulkin, Farhan, Politik Orde Baru, Prisma, Vol.8, 1984

Carey, Peter., Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855),


(Jakarta: Kompas, 2015).
Carter, April. 1985. Otoritas dan Demokrasi (Penerjemah: Sahat
Simamora). Jakarta: Rajawali Pers.

Dahl, Robert A. 1985. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara


Otonomi dan Kontrol. Demokrasi (Penerjemah: Sahat Simamora). Jakarta:
Rajawali Pers.
Deddy Ismatullah, Perbandingan Hukum Tatanegara, h. 82.

Diana Revitch dan Abigail Therstorm, Demokrasi: Klasik dan


Modren, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan
Djawatan Penerangan Republik Indonesia, Tudjuh Bahan Pokok
Indoktrinasi, (Surabaya: Pertjetakan Negara, 1963).
Ebenstein, W. dan Edwin F. 1987. Isme-isme Dewasa ini
(Penerjemah: Alex Jemadu). Jakarta: Airlangga.

97
Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Masalah dan Masa Depan Demokrasi
Terpimpin Konstitusional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Feith, Herbert. 1971. The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia. Ithaca: Cornell

ffivenet net, Pelaksanaan Demokrasi Dari 1945-1949 (Idoc.pub,


May 2020)
Fukuyama,Francis. (2004),The End History and the Last Man.
Yogyakarta : Penerbit Qalam

Gaffar, Afan. (1999) Politik Indonesia transisi menuju demokrasi.


Yogyakarta: Pustaka
Geertz, Clifford. 1980. Negara dan Penjaja. Jakarta: PT.Gramedia.

Gould, Charles. 1998. Demokrasi Ditinjau Kembali. Jakarta:


PT.Gramedia.
Hukum dan Demokrasi. Yogyakarta: LkiS.

Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Bandung.1982.


Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru,
Jakarta.1981.

J. Kansil, Kumpulan UUD di Indonesia, Bina Aksara,


Jakarta.2003.
Jenkins, David., Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim

Militer Indonesia 1975-1983, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010).


Kristina, 8 Macam Demokrasi dan Penjelasannya yang Perlu
Diketahui Siswa, (Jakarta: DetikEdu, 2021)

Liddle, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru; Pasang Surut


Kekuasaan Politik (Penerjemah: Nug Katjasungkana). Jakarta: LP3ES.
Liddle, R. William., Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia:
Sebuah Perdebatan, (Jakarta: PUSAD Paramadina, 2012).

98
Lombard, Dennys., Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I: Batas-batas
Pembaratan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Lutfi Wahyudi, DEMOKRASI ORDE BARU: Sebuah Catatan
Bagi Masa Depan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 05 Juli 2022
pada 09.00

Madina Qudsia Lubis, Sejarah Demokrasi Di Indonesia (Medan:


Academia, 2016)
Magenda, Burhan DR. (5 April 2005) Makalah hubungan eksekutif
dan legislatif yang kondusif untuk stabilitas politik dan pembangunan
nasional (kuliah dan ceramah umum pada kursus singkat angkatan XIII
LEMHANAS di Jakarta).
Marbun, Peradilan Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta.2003.

Mas Pur, Kabinet Inonesia Paa Masa Demokrasi Liberal (Jakarta:


Freedomsiana, 5 Januari 2022)
Mas Pur, Masa Demokrasi Parlementer (Jakarta: Freedomsiana, 5
Oktober 2020)

Mas’oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru


1966-1971. Jakarta: LP3ES.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT.
Gramedia pustaka Utama, 2008), h. 108.

Moh. Mahfud MD , Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,


Gama Media, Jakarta. 1999.
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,
Rineka, Jakarta.2003
Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.1971.

99
Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek
Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif Dan Legislatif Negara
Indonesia, UGM, Yogyakarta.1970.

Muhammad Ashari, Pilkada Aceh Diwarnai Gangguan Intimidasi,


(Jakarta: Pikiran Rakyat, 2017)

Muhammad Izzatullah, S. H., Menjadi Budaya rakyat Indonesia,


Money Politic menghancurkan demokrasi secara Substansial (Kabupaten
Berau: Bawaslu, 2021)

Mutia Anggraini, Intimidasi Adalah Bentuk Perilaku yang


Mengancam, Kenali Bentuk Hingga Tanda-tandanya (Jakarta: Merdeka,
2020)

Nazir, M. (1988). Metode penelitian. Jakarta: PT. Ghalia.


Nblsselima, Makalah Demokrasi- Periode Demokrasi Indonesia
1945-1949 Dan 1949-1959 (Porwodadi: 2019)

Noer, Delia. (1987). Partai Islam di pentas nasional. Jakarta: PT.


Pustaka Utama Grafiti.
Prisma. 1986. Jakarta: LP3ES.

Przeworski. 1991. The Democracy and Organization of Political


Parties. London: McMillan.
Rahman Yasir, Gagasan Islam Tentang Demorasi, (Yogyakarta: A
KA Group, 2006), h.27.

Raillon, Francois. 1985. Politik dan Ideologi Mahasiswa


Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974
(Penerjemah: Nasir Tamara). Jakarta: LP3ES

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, ((Yogyakarta: UGM


Press, 2012). Said, Edward., Peran Intelektual, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor, 2014).
Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV Armico, 2002) h. 251.

100
Soebiantoro, M. dkk. (1998). Pengantar ilmu politik. Purwokerto:
Unsoed.
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta, 1965).
Sorensen, George. (2003). Demokrasi dan demokratisasi proses
dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah. Terj. I Made
Krisna, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharso. 2000. "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud
MD (eds), Wacana Politik,

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.
Sularta, ST (Editor). (2001). Soekarno dalam dialog dengan sejarah
Soekarno seratus tahun. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Syamsudin, Nazarudin Editor. (1988). Soekarno pemikiran politik


kenyataan dan praktek. Jakarta: CV. Rajawali.
Theo Yonathan Simon Laturiuw, Rangkuman Lengkap Hasil
Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja
Bundar, (Jakarta: Wartakota, 2021)
Titik Tolak Reformasi: Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto.
Yogyakarta: LkiS.

Turner, Jonathan. 1995. The Structural of Sociological Theory.


Toronto: Wiley
University Press.

Yudi Latif, Negara Paripurna, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


2012).

101

Anda mungkin juga menyukai