2
TENTANG PENULIS
Penulis buku berjudul “Demokrasi yang Ternodai” ini terdiri dari 9
mahasiswa UIN SunanGunung Djati Bandung yang tergabung dalam Kelompok
2 Mata Kuliah Sistem Politik Indonesia, kelas Humas 4A, diantaranya adalah :
4
kebebasan berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi
terhadap kelompok minoritas.
Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena
hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media
dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya
memilih untuk diam demi menghindari "stigma" berpihak kepada
kelompok intoleran yang anti-Pancasila dan anti-demokrasi.
5
DAFTAR ISI
6
DEFINISI DEMOKRASI
A. Negara dan Demokrasi
Negara merupakaan salah satu bentuk organisasi yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Pada prinsipnya setiaap warga mayaraka menjadi
anggota dari suatu negara dan harus tunduk pada kekuasaan negara.
Melalui kehidupan bernegara dengan pemerintah yang ada di dalamnya,
masarakat ingin mewujutkan tujuan tujuan tertentu sepertti teerwujudnya
kertentaraman, ketertiban, dan kesejahteraan masyrakat. Agar pemerintah
suatu negara memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan masayakat
tidak bertindak seenaknya, maka ada system aturan tersebut
menggambarakan suatu hierakhi atau pertindakan dalam aturan yang
paliing tinggi tingkatanya sampai pada aturan yng paling rendah. Negara
merupakan lembaga tertinggi dalam masyarakat atau bangsa yang
merupakan wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dan
keadilan secara utuh. Sebuah Negara harus memiliki unsur pokok yaitu
wilayah, rakyat, pemerintahan yang berdaulat baik keluar maupun
kedalam, kemudian mendapat pengkuan internasional.
Di dalam sebuah Negara juga terdapat sebuah pemerintahan
(Government) dan Tata pemerintahan (Governance) yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya bisa dikatakan jika menciptakan Tata
Pemerintahan (Governance) yang baik, maka pemerintah (Government)
yang baik juga akan tercipta. Dan di dalam suatu Negara juga terdapat
sebuah bentuk-bentuk pemerintahan yang sangat mempengaruhi
perkembangan Negara itu sendiri. Dan bentuk-bentuk pemerintahan di
dalam suatu Negara sangat identik dengan kekuasaan.
Negara dan konstitusi adalah dwitunggal. Jika diibaratkan bangunan,
negara sebagai pilar-pilar atau tembok tidak bisa berdiri kokoh tanpa
pondasi yang kuat, yaitu konstitusi Indonesia. Hampir setiap negara
mempunyai konstitusi, terlepas dari apakah konstitusi tersebut telah
dilaksanakan dengan optimal atau belum. Yang jelas, konstitusi adalah
perangkat negara yang perannya tak bisa dipandang sebelah mata.Teori-
teori bentuk Negara yang dikembangkan para ahli dan berkembang di
zaman modern bermuara pada dua paham yang mendasar. Pertama, paham
yang menggabungkan bentuk Negara dengan bentuk pemerintahan. Paham
7
ini menganggap bahwa bentuk Negara dengan bentuk pemerintahan, yang
dibagi dalam tiga macam , yaitu (1) bentuk pemerintahan dimana terdapat
hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif; (2) bentuk
pemerintahan dimana ada pemisahan yang tegas antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif; (3) bentuk pemerintahan dimana terdapat pegaruh
dan pegawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislatif. Kedua,
paham yang membahas bentuk Negara atas golongan demokrasi dan
diktator.36 Paham ini membahas bentuk Negara atas golongan demokrasi
dan diktator. Paham ini juga memperjelas bahwa demokrasi dibagi dalam
demokrasi Konstitusional (liberal) dan demokrasi rakyat.
8
(dikembangkan oleh Johannes Althusius, montesque, dan Jhon Locke),
teori kedaulatan Negara yaitu teori kedaulatan tertinggi ada pada
pemimpin Negara yang melekat sejak Negara itu ada (dikembangkan oleh
Paul Laband dan George Jelinek), dan teori kedaulatan Hukum yaitu teori
kedaulatan dimana kekuasaan dijalankan oleh pemimpin Negara
berdasarkan atas hukum dan yang berdaulat adalah hukum
Istilah demokrasi berasal dari dua asal kata bahasa Yunani, yaitu
“demos” dan “kratos” atau “kratein”. Menurut artinya secara harfiah yang
dimaksud dengan demokrasi, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan
“kratos” yang berarti pemerintahan, sehingga kata demokrasi berarti suatu
pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Demokrasi menyiratkan arti
kekuasaan itu pada hakikatnya yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Sekalipun sejelas itu arti istilah demokrasi menurut bunyi
kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek demokrasi itu dipahami dan
dijalankan secara berbeda-beda, bahkan perkembangannya sangat tidak
terkontrol. Menurut Munir Fuady dalam Konsep Negara Demokrasi,
sebenarnya yang dimaksud demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan
dalam suatu negara dimana warga negara secara memiliki hak, kewajiban,
kedudukan, dan kekuasaan yang baik dalam menjalankan kehidupannya
maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara, dimana rakyat
berhak untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi
jalannya kekuasaan baik secara langsung misalnya melalui ruang ruang
publik.
9
dilaksanakan menurut ketentuan hukum karena negara Indonesia adalah
negara hukum. Kedaulatan rakyat diterjemahkan sebagai suatu norma
hukum, menurut konstitusi, karena berisikan norma-norma kewenangan,
yaitu kewenangankenegaraan. Oleh karena itu, walaupun rakyat
merupakan sumber dari kedaulatan, pelaksanaan kedaulautan tersebut
harus diatur oleh konstitusi, dan dalam perubahan ini, dapat dibedakan
antara kedaulatan yang langsung dilakukan oleh rakyat dan kedaulatan
yang dilaksanakan oleh lembaga perwakilan. Memang dalam UUD yang
telah mengalami perubahan ini, tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai
perwujudan dari asas keadaulatan rakyat. Hak dari rakyat dalam
menyatakan pendapat dalam suatu pemilihan umumadalah merupakan ciri
yang esensial bagi perwujudan adanya pengakuan atas kedaulatanrakyat;
sebuah tatanan kenegaraan yang tidak memberikan hak bagi rakyat
untukmenyatakan pendapatnya melalui pemilihan umum adalah suatu
tatanan politik yang jauh dari nilai demokrasi.
B. Konsep-konsep Demokrasi
Negara yang menganut demokrasi khususnya ciri-ciri adanya
kebebasan pers dan media, adanya persamaan hak untuk semua warga
negara, adanya pemilihan langsung dan pemerintahan di tempat di tangan
rakyat. Sistem pemerintahan demokrasi memiliki dua bentuk, yaitu adanya
demokrasi demokrasi langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung
adalah demokrasi yang Setiap orang memberikan suara atau pendapat
untuk menentukan suatu keputusan. Setiap orang mewakili diri mereka
sendiri untuk memilih kebijakan sedemikian rupa sehingga mereka
mempengaruhi situasi politik yang terjadi. sistem demokrasi digunakan
secara langsung pada hari-hari awal demokrasi di Athena ketika ada
masalah yang harus diselesaikan, semua orang berkumpul Bahas.
10
anggaran yang cukup mahal atau tinggi, sering timbul konflik Masalah
sosial horizontal muncul di masyarakat karena elit politik kekhawatiran
dan kesulitan dalam menerapkannya ke negara dengan warga negara yang
banyak.
Demokrasi tidak langsung adalah konsep demokrasi yang
dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Gaya pemerintahan demokratis
melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih dan dipertanggungjawabkan
oleh rakyat diterima oleh rakyat. Penerapan demokrasi tidak langsung
biasanya dilakukan oleh negara dengan populasi yang terus bertambah,
wilayah yang terus berkembang dan permasalahan menjadi semakin
kompleks. Prinsip-prinsip demokrasi dan prasyarat untuk pembentukan
negara demokrasi telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Aturan demokrasi, hal ini muncul dari
pendapat Almadudi, yang disebut “Pilar demokrasi”, menurutnya, prinsip-
prinsip demokrasi yakni: Kedaulatan bangsa-bangsa. Pemerintah dengan
Ordonansi Persetujuan. Kekuatan Mayoritas . Hak Minoritas. Jaminan hak
asasi manusia kelima, Pemilu yang bebas, adil dan jujur. Persamaan di
depan hukum, Proses hukum yang adil depalan, Pembatasan pemerintah
dan konstitusional. Pluralisme sosial, ekonomi dan politik. Nilai toleransi,
pragmatisme, kerjasama dan mufakat Tujuan demokrasi adalah untuk
menciptakan masyarakat sejahtera, adil dan makmur dengan konsep yang
mengedepankan keadilan, kejujuran Secara teori, tujuan demokrasi dalam
kehidupan bernegara adalah juga termasuk kebebasan berbicara dan
kedaulatan rakyat.
11
dengan sistem pemisahan kekuasaan, yaitu demokrasi dalam arti
kekuasaan dipisahkan menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif
Demokrasi dengan sistem referendum, yaitu demokrasi perwakilan dengan
pengawasan rakyat langsung mewakili mereka di majelis wakil rakyat,
Ada dua jenis referendum, yaitu referendum wajib dan referendum
opsional. Di referendum wajib atas kebijakan atau undang-undang yang
diusulkan oleh pemerintah Dewan Perwakilan Rakyat dapat beroperasi
setelah mendapat persetujuan dari rakyat. dengan suara terbanyak.
Referendum opsional, undang-undang disahkan oleh dewan Wakil rakyat
hanya diundang untuk mendapatkan persetujuan rakyat jika dalam jangka
waktu tertentu yakin bahwa setelah undang-undang diumumkan, beberapa
orang memintanya.
Konsep demokrasi yang ada di Indonesia adalah demokrasi Pancasila
memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan ideologi Negara Pancasila,
yaitu adanya pertimbangkan dan setujui. Musyawarah itu sendiri dimulai
dengan sila keempat Pancasila. Niat adalah salah satu nilai luhur bangsa
Indonesia dikenal di seluruh wilayah Indonesia, meskipun dengan istilah
yang sama Berbeda, tidak salah jika menganggap bagian utama dari
demokrasi Pancasila. Diskusi sebagai proses menyatukan semua pihak
untuk berdiskusi masalah atau diskusi tentang rencana sangat ideal untuk
membuat keputusan yang tepat dan sejalan dengan kepentingan anggota
Penonton. Demokrasi Indonesia mengutamakan musyawarah dan
mufakat, yaitu dapat dilihat dari proses pengambilan keputusan baik dari
desa hingga Di tengah, Indonesia mewakili musyawarah dan mufakat,
bukan mayoritas. Dengan adanya pertimbangan ini terlibat langsung dalam
manajemen pemerintah. Saat ini, sistem demokrasi dianggap yang terbaik
dunia, itu karena sistem demokrasi hampir merupakan prinsip fundamental
dalam memfasilitasi peran masyarakat dalam menjalankan pemerintahan.
12
Menurut Plato, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang
dijalankan oleh rakyat yang memimimpin untuk kepentingan rakyat
banyak.
Menurut Abraham Lincoln, demokrasi menurut Abraham Lincol
adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.
13
Jika diperhatikan beberapa pandangan demokrasi yang
dikemukakan para ahli di atas, ternyata terdapat keragaman pemikiran
mereka, baik dikalangan pemikir politik Indonesia maupun dikalangan
para ahli dunia. Perbedaan pemikiran mereka mengenai pandangan
demokrasi disebabkan karna perbedaan sudut pandang mereka dalam
melihat konsepsi demokrasi. Perbedaan lingkungan dimana mereka hidup,
perbedaan situasi zaman dan kondisi polirik yang mengitari pemikiran
mereka, serta pengaruh keyakinan keagamaan yang dianutnya, yang
menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi mereka dalam
melihat ap aitu demokrasi.
14
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DUNIA
A. Sejarah Demokrasi Dunia
Demokrasi merupakan suatu sistem yang asasnya diterapkan oleh
hampir seluruh negara di dunia pada saat ini. Kebebasannya yang sangat
realistis meletakkan rakyat sebagai ujung tombak berdirinya suatu negara
membuat demokrasi mudah diterima masyarakat. Sejarah mengenai
demokrasi memiliki buntut yang sangat panjang dan membedah sejarah
demokrasi dunia. Suatu pemerintahan yang menggunakan prinsip
demokrasi akan menjadikan pemerintahannya dilaksanakan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Prinsip inilah yang mendasari demokrasi dan
menjadikan ciri khas terkenal dari sistem pemerintahan tandingan sosialis
– komunis ini. Sehingga, suatu negara yang demokratis memiliki tujuan ke
depan yang mengarah kepada kepentingan rakyat sebagai penduduk
sekaligus warga negara dari negara itu sendiri.
15
Sistem demokrasi perlahan-lahan menghapuskan sifat
kepemimpinan totaliter seperti yang terjadi pada sejarah keruntuhan uni
soviet. Demokrasi berusaha sebisa mungkin menyelenggarakan negara
secara terbuka dan partisipatif. Seluruh kritik, saran dan komentar yang
ditujukan kepada pemerintah atau pihak tertentu harus ditampung dan
boleh digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan
pembangunan negara. Alasan di atas menjadi dasar mengapa negara
demokrasi menyelenggarakan pemerintahan dari rakyat. Karena segala
sesuatunya selalu melibatkan rakyat. Bahkan pemerintah yang menduduki
kursi parlemen sebagai wakil rakyat tidak boleh menyimpan segala
permasalahan rakyat sendirian. Apabila ada kasus korupsi atau
perkembangan penting yang menyangkut kelangsungan hidup orang
banyak, mereka juga harus melaporkan perkembangan kepada rakyat.
Media massa dalam negara demokrasi selalu beruntung. Ia memiliki peran
penting dalam menyalurkan setiap informasi dan perkembangan yang ada
di kubu rakyat maupun pemerintah sebagai wakil rakyat. Karenanya,
demokrasi memiliki 2 jenis –langsung dan tidak langsung- yang terkait
dengan sejarah panjang antar negara.
16
berbicara dan memberi suara di majelis Athena. Meski dibuat oleh majelis,
demokrasi Athena berjalan dengan kontrol langsung dari rakyat. Rakyat
akan menyuarakan pendapatnya lewat majelis atau pengadilan untuk
membantu kendali politik. Hingga pada saat memasuki abad pertengahan
(6-15 M) di Eropa Barat, gagasan tersebut tidak digunakan lagi, ada
banyak sistem dimana pemilihan tetap dilakukan meskipun hanya
beberapa orang yang dapat bergabung. Parlemen Inggris sendiri dimulai
dari Magna Carta, sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kekuasaan
Raja terbatas dan melindungi hak-hak tertentu rakyat. Parlemen terpilih
pertama adalah Parlemen De Montfort di Inggris pada 1265. Namun hanya
beberapa orang yang benar-benar dapat bergabung sebab parlemen dipilih
oleh beberapa orang saja.
Yunani
Sejarah keberadaan demokrasi di dunia diawali dari negara Yunani
yang pada waktu itu memiliki banyak filsuf bijak. Yunani menerapkan
demokrasi langsung dimana kekuasaan ada di tangan mayoritas. Sampai
sekarang, Yunani dianggap sebagai negara pelahir demokrasi di dunia.
Setiap warga negara yang ada di Yunani bebas mengungkapkan
pendapatnya, namun keputusan akan tetap di tangan golongan mayoritas.
Perbedaan mendasar demokrasi yang diterapkan di Yunani sebagai negara
pelopor demokrasi terletak pada warga negaranya. Tidak setiap penduduk
dianggap sebagai warga negara. Dan status warga negara resmi ini sangat
penting jika kita ingin terlibat dalam proses demokrasi politik. Yunani
yang pada waktu itu masih tergolong negara kota yang hanya menganggap
orang-orang asli Yunani berkasta tinggi sebagai warga negara. Lapisan-
lapisan masyarakat yang sangat terasa sekali memang wajar dimaklumi.
Di masa lalu, perbudakan menjadi sangat biasa karena belum adanya
sejarah HAM yang menjadikan setiap manusia sama di mata hukum
masyarakat. Sistem kerajaan yang feodal turut pula melatarbelakangi
keputusan penggolongan masyarakat berdasarkan status dan pekerjaan.
Cerita mengenai demokrasi Yunani bahkan telah dimulai sejak
abad ke-5 SM. Di zaman itu, Yunani yang menjadi negara kota,
memusatkan diri di Athena. Karenanya, Bapak Demokrasi Yunani
bernama Cleisthenes lebih dikenal sebagai Bapak Demokrasi Athena.
17
Demokrasi di Yunani membebaskan warga negara untuk berbicara serta
bersuara di forum terbuka. Seperti telah disinggung sebelumnya, yang
termasuk warga negara di Yunani kuno hanya kaum tertentu saja.
Pembatasan ini bukan tanpa tujuan. Seorang warga negara yang diberi hak
leluasa berbicara juga dituntut untuk memberikan sesuatu pada negara,
terutama ketika Yunani terlibat dalam perang. Sehingga boleh dikatakan
gerakan bela negara di Yunani kuno dilaksanakan secara wajib militer dan
berlaku untuk setiap warga negara. Para saudagar asing dapat hidup di
Yunani dengan aman, namun tidak dapat ikut bersuara karena tidak
termasuk warga negara. Hanya sekitar 30.000 sampai 60.000 penduduk
Yunani yang menjadi warga negara. Padahal total jumlah penduduknya
masa itu mencapai 400.000 jiwa. Para wanita, para budak, anak-anak, dan
laki-laki di bawah 20 tahun tidak akan diwajibkan berperang karena tidak
menjadi warga negara.
Setelah menerapkan demokrasi sejak abad ke-5 SM, pemungutan
suara perdana baru dilakukan pada abad ke-7 SM. Tepatnya dengan
diselenggarakan Apella (nama pemungutan suara) di Sparta, Yunani
membuktikan pemilihan secara langsung, umum dan bebas rahasia dapat
diadakan dengan lancar. Tentunya sejarah demokrasi parlemen di Yunani
berbeda dengan sejarah DPR dan sejarah MPR di Indonesia abad 20.
Yunani identik dengan Romawi. Romawi kuno menyumbang banyak harta
dan sokongan orang-orang besar di Yunani. Hampir seluruh jajaran
pemerintahannya yang demokratis di Yunani diisi oleh orang-orang
Romawi. Namun, Romawi lebih terkenal akan kekuatan perangnya
daripada sejarah mewarnainya demokrasi di Yunani.
Eropa
Demokrasi di Eropa dimulai sekitar abad ke-6 hingga ke-15. Pada
masa inilah kekuasan di Eropa tergantung otoritas gereja dan Paus yang
sangat dihormati. Sama seperti negara-negara lain di dunia, Eropa –
terutama bagian barat selalu terkekang dengan posisi budak di bawah tuan.
Demokrasi tumbuh di Eropa bagian barat karena kebanyakan kaum budak
dan rakyat jelata ingin melepaskan diri dari kebiasaan adat. Kekuasaan
otoritas gereja yang tidak selalu adil dan menyejahterakan seluruh
masyarakat membuat orang-orang kecil merasa tidak dihargai. Mereka
18
bangkit dengan mengubah sistem menjadi demokrasi. Beberapa negara di
Eropa Barat telah mengaku menjadi negara demokratis, namun banyak
yang belum sepenuhnya menjalankan sistem demokrasi. Contoh negara
besar yang nyata beralih sistem ke demokrasi tercatat dalam sejarah
keruntuhan Uni Soviet. Setelah negara ini mengalami konflik sampai
pecah menjadi beberapa negara kecil, negara pecahan ini menerapkan
sistem demokratis karena tidak ingin mengulang lagi sejarah kelam
sosialis – komunis.
Inggris
Negara Inggris sangat erat dengan Magna Charta tahun 1215.
Namun bukan karena sejarah HAM yang diangkat oleh Magna Charta.
Lebih dari itu, Magna Charta 1215 juga menyangkut sejarah berdirinya
negara demokrasi di dunia. Piagam besar ini telah ditandatangani oleh
beberapa penguasa yang bersedia melaksanakan demokrasi di kalangan
sesamanya. Pemilihan parlementer pertama kali dilaksanakan di Inggris
tahun 1265. Sebelumnya, sejak dikeluarkannya Magna Charta, orang-
orang diluar golongan raja dan bangsawan merasa lebih terlindungi.
Kekuasaan raja yang sebelumnya tidak terbatas menjadi lebih sempir
karena diberlakukannya Magna Charta. Setiap orang berhak membela
dirinya sendiri dan memperjuangkan hak sebagai manusia. Memang pada
awalnya pemilihan parlementer hanya dilaksanakan oleh orang-orang
tertentu yang berjumlah 3 % dari total penduduk Inggris. Seiring
berkembangnya waktu, sistem Monarki yang mulanya sebagai sistem
resmi di Inggris menjadi lapuk dan diganti dengan sistem demokrasi.
Beberapa imigran dari daratan Inggris pergi ke Amerika Serikat. Di sana,
mereka mulai menyebarkan sistem demokrasi yang menggeser keberadaan
sistem lama yang mengedepankan keturunan. Sistem demokrasi diterima
masyarakat Amerika Serikat dengan diadakannya majelis umum Virginia.
Sehingga dapat dikatakan demokrasi Amerika Serikat dimulai oleh orang
Inggris yang bermukim di Virginia pada abad ke-16.
Mungkin kita pernah bertanya, bagaimana awal mulanya sistem
demokrasi dapat mendominasi sistem pemerintahan di dunia.
Mendunianya sistem ini dimulai di pertengahan abad ke-20. Abad ini
menjadi abad yang mengerikan dalam sejarah dunia. Pada abad ini, 2
19
paham besar berseteru. Antara kubu demokrasi yang digawangi Amerika
Serikat melawan kubu komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet.Pada awal
abad ke-20, sebenarnya demokrasi telah berkembang pesat. Sayangnya
pertumbuhan yang baik ini dihambat oleh kondisi depresi besar dunia.
Karena kondisi global yang sedang tidak aman, banyak negara yang mulai
merubah sistem pemerintahannya agar lebih mudah dikendalikan.
Beberapa pemimpin dunia mulai bergerak menjadi pemimpin
totalitarianis, fasis, dan kemudian memunculkan pemerintahan yang
diktator. Selama beberapa puluh tahun abad ke-20 berjalan mencekam,
selama itu pula rakyat biasa di dunia terkungkung oleh pemerintahan yang
diktator. Selanjutnya, semenjak perang dunia kedua berlangsung, dunia
terbagi menjadi blok barat dan blok timur. Kedua blok ini terus berusaha
menyebarkan paham masing-masing. Sampai pada akhirnya terjadi perang
dingin.
Puncak tumbuhnya demokrasi dengan leluasa adalah saat sejarah
keruntuhan Uni Soviet benar-benar terjadi. Selain negara yang hancur,
paham komunis yang dibanggakan Uni Soviet beserta sekutunya ikut
tenggelam. Mulai dari saat itulah banyak negara di dunia yang beralih
menganut sistem demokrasi. Walaupun demokrasi telah mendominasi
dunia, di awal perkembangannya selepas keruntuhan Uni Soviet, beberapa
negara belum dapat berdemokrasi total. Keadaan ini dapat dimaklumi
karena paham komunis pernah menjadi paham besar dunia. Walaupun
telah hancur, namun sisa kekuatan komunis belum hilang sepenuhnya.
Negara-negara bekas negara komunis banyak yang beralih ke demokrasi.
Namun pada prakteknya, mereka masih terpengaruh sisa kekuatan
komunisme. Misalkan saja ketika diselenggarakan pemilihan umum,
banyak negara yang dapat menyelenggarakan tetapi tidak dapat berjalan
sesuai tuntunan demokrasi. Artinya, unsur demokrasi berupa transparan,
terbuka, langsung, bebas rahasia belum dapat sepenuhnya dipraktekkan.
Pada akhirnya, waktu yang mengajari negara bekas komunis beralih
menjadi negara demokrasi penuh. Sampai sekarang, banyak negara yang
masih berusaha menegakkan demokrasi. Beberapa negara di dunia yang
sejak 2011 dianggap sebagai negara demokrasi penuh adalah Amerika
Serikat, Jepang, Irlandia, dan Spanyol. Sementara itu, negara demokrasi
yang lain termasuk ke dalam golongan negara demokrasi tidak sempurna.
20
Ada survei yang mendasari penjenisan ini. Namanya ialah Democracy
Index. Berdasarkan jenis demokrasinya, penerapan prinsip demokrasi dan
terpenuhinya asas-asas demokrasi, hasil survei tersebut menjadi parameter
negara untuk menyempurnakan kedemokrasiannya.
21
pertengahan (600-1400). Masyarakat abad pertengahan dicirikan oelh
struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord), yang
kehidupan sosial serta spritualnya dikuasai oleh Paus dan para pejabat-
pejabat agama lainnya yang kehidupan politik ditandai oleh perebutan
kekuasaan antara para bangsawansatusama lainnya. Dilihat dari sudut
perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu
dokumen yang penting yaitu Magna Charta(piagam besar). Magna Charta
merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawandan Raja Jhon dari
Inggris dimana untuk pertama kalinya seorang raja yang berkuasa
mengikat diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak danprivilages
dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahandana bagi keperluan
perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan
tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam
perkembangan gagasan demokrasi.
Pada hakikatnya teori-teori kontak sosial merupakan usaha untuk
mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak
politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini diantaranya
Jhon Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-
1755). Menurut Jhon Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak
atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and
property). Montesquieu mencoba dan menyusun suatu sistem yang dapat
menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah Trias
Politika. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak poltik menimbulkan
revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan
Inggris.
Sebagai akibat dari pergolakan tersebut maka pada akhir abad ke-19
gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai
program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat
politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan namun
dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
individu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga
negara.Dalam bukunya yang berjudul politik, Aristoteles (384-322 SM)
menyebut demokrasi sebagai “Politea atau republik”.Politea dipandang
sebagai bentuk negara paling baik dalam politik. Adapun yang
22
dimaksudkan dengan polititea adalah “demokrasi moderat”, yaitu
demokrasi dengan undang-undang dasar atau demokrasi konstitusional.
Tiga sumbangan Aristoteles yang tertanam di jantung demokrasi adalah
kebebasan pribadi, pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar
(konstitusi), dan pentingnya kelas menengah yang besar sebagai pemegang
tampuk kekuasaan.
Dari sini bisa kita tangkap bahwa pemerintahan oleh rakyat yang
dimaksud adalah pemerintahan oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan
(demokrasi delegatif) sebab tidak mungkin semua orang menjadi
pemerintah dalam waktu bersamaan, kemungkinan ia hanya bisa
menduduki satu posisi tertentu dalam waktu yang tertentu (terbatas) pula.
Sebab, bila semua orang berhak untuk menjadi pemerintah maka
diperlukan adanya pembatasan masa jabatan sehingga memungkinkan
bagi setiap orang menjadi pemerintah. Aristoteles memandang bahwa
orang yang bersal dari kelas menengahlah yang paling tepat untuk
menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sebab, menurut orang-
orang dari kelas menengah mempunyai kecakapan lebih dibanding kelas-
kelas lain. Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan
kekuasaan inilah muncul ide pemerintahan rakyat (demokrasi). Kemudian
lahirlah demokrasi ke dunia ini sebagai salah satu dari ketidakpuasan
rakyat terhadap pemerintahanyang memegang monarki absolut di berbagai
negara.
23
SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI REPUBLIK
INDONESIA
A. Sejarah Sistem Demokrasi di Indonesia
Upaya pertama kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II digunakan
oleh Indonesia untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Sebuah negara baru
lahir dan demokrasi yang diinginkan sedang dalam perjalanan. Indonesia
kemudian bergulat dengan cobaan, rumitnya hubungan dialektika antara
gagasan demokrasi, kondisi aktual bahkan realitas kembalinya Belanda
yang masih ingin mempertahankan jajahan lama mereka. Yang menarik,
dan mungkin beruntung, adalah bahwa sejak awal, Indonesia membuka
pintu demokrasi tanpa penolakan keras dari para founding fathers karena
latar belakang mereka yang sangat sederhana. Bahkan Muslim dari tradisi
Santri yang padat tidak menunjukkan penolakan yang kuat. Padahal di
tempat lain, Islam dan demokrasi seringkali tidak dapat didamaikan
Sejak dini, Indonesia sudah berani mencoba menganut sistem
demokrasi parlementer. Kabinet yang bertanggung jawab atas parlemen
tidak dibentuk melalui pemilihan umum. Situasinya masih terlalu
mengerikan untuk mengadakan pemilihan nasional. Indonesia tampaknya
masih penuh dengan semangat sebagai negara yang baru merdeka.
Pengalamannya sungguh tidak mudah. Situasinya terlalu rumit dan sulit,
ada konflik internal, keadaan infrastruktur dan suprastruktur, rakyat
hampir tidak memiliki pengalaman politik yang matang, masih harus
menambah upaya untuk bertahan melawan musuh, tentara Belanda.
Demokrasi parlementer sangat bagus. Naik turun dengan cepat sebelum
Anda melakukan banyak hal dengannya. Kabinet seringkali tidak berdaya
sampai presiden dan wakil presiden harus turun tangan, membentuk
badan-badan untuk membantu kabinet menangkis serangan kongres.
Meski sangat sulit, Indonesia akhirnya mampu melewati masa sulit
tersebut. Belanda siap mengakui Indonesia.
Penolakan kedaulatan tentu saja tidak bebas dan tidak tulus. Tapi
setidaknya Indonesia akan punya lebih banyak waktu untuk berorganisasi.
Pada tahun 1950, Konstitusi Sementara dirancang untuk mendukung
sistem parlementer yang ada. Perlu dicatat bahwa UUD 1945 sebenarnya
tidak cocok untuk republik parlementer. Indonesia memasuki babak baru
24
yang dikenal dengan demokrasi parlementer. Saat itu memang naik turun
kabinet masih berlangsung. Tidak ada perusahaan yang bisa bertahan dua
tahun. Namun, ada juga prestasi yang bisa dibanggakan, yakni Pemilu
1955. Pemilu yang dikenang sebagai salah satu yang paling demokratis
dalam sejarah Indonesia. Setelah pemilu, parlemen baru benar-benar
terbentuk. Hasil pemilu parlemen ini juga beragam dan seringkali sangat
kontradiktif. Kabinet masih tidak bertahan lama. Menurut Hatta, krisis ini
dipicu oleh keinginannya untuk "berbagi makanan" dan mengutamakan
kelompoknya. Kelompok-kelompok, partai-partai, menjadi tujuan, bukan
sarana atau instrumen untuk menjalankan kehidupan bernegara guna
mencapai tujuan negara.
Sementara itu, UUD 1950 sementara sebenarnya berlangsung hampir
sepuluh tahun. Majelis Konstituante sebagai suatu badan yang dibentuk
atas dasar kekuatan partai-partai yang diperoleh dari pemilu dengan tugas
menyusun undang-undang dasar yang baru, belum melaksanakan
tugasnya. Militer, yang sejak awal tidak menyukai demokrasi parlementer,
menjadi tidak sabar dan mendesak presiden untuk segera mengakhirinya.
17 Oktober 1952 Meriam diratakan di istana tetapi pemerintah masih
berhasil mengatasi situasi tersebut. Soekarno jelas terlalu kuat, terlalu
populer untuk ditentang di depan umum. Demokrasi parlementer berlanjut,
tetapi Soekarno sendiri tidak setuju dengan sistem itu dan mulai mencari
desain baru. Desain-desain baru mulai samar-samar muncul pada tahun
1957. Pada tahun 1959, Soekarno merasa telah tiba waktunya dan
desainnya telah memperoleh bentuk yang matang. Maka dimulailah apa
yang disebut Soekarno sebagai penemuan kembali jalan revolusi Indonesia
yang akan berlangsung di bawah panji Demokrasi Terpimpin dan lebih
tepat untuk dilakukan.
Soekarno mendasarkan rancangannya pada tradisi-tradisi yang
berkembang di desa-desa jauh sebelum Indonesia merdeka. Demokrasi
yang dipimpin oleh seorang ayah tua. Jalan yang lebih baik, di mana tidak
akan ada tikungan dan belokan, konflik kekerasan yang tidak dapat
didamaikan berkat kehadiran seorang pemimpin yang mampu menengahi.
Koki akan merebus semua jenis bahan dari bagian yang berbeda menjadi
hidangan yang lezat dan konsisten. Soekarno memperkenalkan demokrasi
25
terkelola dan mengakhiri demokrasi parlementer dengan dekrit 5 Juli
1959. Selanjutnya, tak lama kemudian, presiden membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat yang dibentuk berdasarkan pemilihan 1955 karena
perselisihan anggaran negara. oleh banyak pihak, tetapi Keppres itu tetap
berjalan terutama karena didukung penuh oleh militer. Militer dengan
senang hati mendukung keputusan presiden karena sudah bosan dengan
sistem parlementer. Padahal, penentangan terkuat terhadap konsep
demokrasi terpimpin justru datang dari mantan tokoh kedua di Indonesia
itu. Hatta, yang mengundurkan diri karena perbedaan pendapat yang tidak
dapat didamaikan dengan Soekarno, menjadi kritikus sengit. Hatta
mengkritisi dan merekomendasikan desainnya dalam artikel berjudul
"Demokrasi Kita". Artikel tersebut dimuat di majalah Pandji Masyarakat
oleh seorang tokoh Muslim terkenal Hamka. Dua orang, Hatta dan
Soekarno, yang sebelumnya mampu berkompromi dan membangun
bangsa bersama, kini benar-benar bercerai. Kita melihat bahwa konflik
antara Soekarno dan Hatta telah benar-benar mencapai klimaksnya.
Dwitunggal telah menjadi ganda Hatta mengkritik keras Soekarno, yang
ia percaya telah jatuh ke kediktatoran.
Demokrasi terpimpin bagi Hatta tidak akan hidup lebih lama dari
Soekarno sendiri. Rancangan Soekarno membutuhkan pemimpin yang
kuat. Padahal, selain Soekarno, tidak ada yang mampu menduduki posisi
kepemimpinan. Tidak ada yang mampu sekaliber Soekarno. Bagaimana
jika sewaktu-waktu Soekarno tidak bisa tinggal dan harus diganti total?
Soekarno telah menempatkan Indonesia dalam krisis demokrasi. Memang
proses demokrasi parlementer tidak memuaskan, tetapi bukan berarti
demokrasi bisa dikebiri. Hatta menyadari bahwa sudah menjadi hukum
besi, hukum sejarah bahwa jika demokrasi mengarah pada pertikaian, ego
individu dan kelompok bahkan anarki, maka akan muncul kediktatoran.
Namun, Hatta tetap optimis bahwa kemunduran demokrasi hanya bersifat
sementara karena baginya "hilangnya demokrasi berarti hilangnya
Indonesia merdeka". Menariknya, baik Hatta maupun Soekarno juga
memberikan contoh implementasi demokrasi di desa. Baik Soekarno
maupun Hatta percaya bahwa demokrasi telah menjadi bagian integral dari
kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, kita akan melihat bahwa desain
yang mereka bangun justru sebaliknya. Soekarno lebih menekankan pada
26
keberadaan kepala, sesepuh atau kepala desa sedangkan Hatta lebih
menekankan pada proses mufakat melalui proses pertemuan tanpa ada
penonjolan yang tidak semestinya dari seorang individu, apakah dia kepala
desa maupun tidak.
Hatta dalam pembangunan rancangannya melangkah lebih jauh dari
Soekarno. Hatta juga terinspirasi oleh demokrasi di Eropa. Hatta
menyinggung konsep Rousseau dan Revolusi Prancis. Namun, Hatta
mengkritik keduanya karena terjerumus ke dalam individualisme dan
menyebabkan tumbuhnya kapitalisme. Model demokrasi Hatta ini pada
akhirnya hanya menguntungkan pihak tertentu yaitu kapitalis, dan
menindas pihak lain. Demokrasi Indonesia seharusnya tidak dalam
keadaan seperti itu. Bagi Hatta, demokrasi Indonesia harus sosial
demokrasi. Demokrasi di bidang politik saja tidak cukup, tetapi juga harus
berjalan beriringan dengan demokrasi di bidang ekonomi. Demokrasi
seperti itu sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan
masyarakat adil sosial yang adil, yang meliputi segala aspek kehidupan.
Lebih lanjut Hatta menjelaskan bahwa konsep sosial demokrasi Indonesia
berasal dari tiga sumber. Ketiga sumber tersebut adalah paham sosialis
Barat, ajaran Islam dan masyarakat Indonesia yang berbasis kolektivisme.
Demokrasi seperti itu bagi Hatta hanya dapat berjalan dalam kondisi
tertentu. Menurut Hatta, kondisi tersebut merupakan rasa tanggung jawab
dan toleransi serta kemauan untuk melaksanakan prinsip "orang yang tepat
di tempat yang tepat - orang yang tepat di tempat yang tepat". Hatta dalam
rancangannya telah menunjukkan kemampuan berpikir. Dia tidak hanya
menyesuaikan dengan pendapat atau gagasan yang ada, tetapi juga
mengkritik dan merumuskan sendiri. Upaya panjang dengan tradisi
ideologis di dunia Barat. Memasuki tahun 1965, prediksi Hatta semakin
menjadi kenyataan. Kubu-kubu utama tentara yang dulunya bisa berjalan
beriringan saat dipimpin oleh Soekarno semakin berubah menjadi konflik
yang tidak bisa didamaikan. Mereka mulai meragukan fungsi Soekarno
sebagai penyeimbang. Dua kutub utama yang tampaknya semakin tidak
dapat didamaikan adalah PKI dan sayap di militer. Keduanya mulai
membayangkan situasi tanpa Soekarno. Teriakan ini akhirnya
menyebabkan ledakan besar, menyebabkan ledakan berturut-turut yang
menggulingkan Soekarno dan meruntuhkan seluruh bangunan yang
27
dirancangnya. Pada titik ini, penilaian dan prediksi Hatta dapat dianggap
sangat tepat. Namun, setelah implementasinya, konsep demokrasi
terpimpin Soekarno terwujud sepenuhnya seperti yang diharapkan
Soekarno sendiri. Apakah Soekarno benar-benar punya waktu untuk
mengumpulkan kekuasaan di tangannya dan menjadi diktator?
Banyak yang percaya bahwa Soekarno menjadi diktator yang
mengumpulkan kekuasaan di tangannya. Soekarno hampir selalu dalam
keadaan darurat. Militerlah yang mengambil inisiatif paling banyak.
Memang benar bahwa ia mampu menggalang massa dan kemudian
mengekspresikan pandangannya dengan cara yang mengesankan, dan
tidak mungkin ada orang yang secara terbuka menentang pandangan
Soekarno. Namun di luar itu, Soekarno memiliki kekuasaan. Pram lebih
lanjut menunjukkan bahwa di luar itu, militer memiliki kekuatan lebih.
Tentara sering berpindah-pindah bahkan melakukan penangkapan dan
penahanan paksa tanpa seizin dan sepengetahuan Soekarno. Pram sendiri
pernah menjadi korban penangkapan dan penahanan tanpa dakwaan dan
proses hukum yang menurutnya terjadi di luar kendali Soekarno.
Demokrasi Pancasila Gaya Orde Baru Runtuhnya demokrasi terpimpin
membawa harapan baru, kehidupan demokrasi yang lebih baik. Banyak
pihak, termasuk kaum intelektual dan mahasiswa, menaruh harapan pada
aktor baru yang kemudian menyebut dirinya “Orde Baru” untuk
membedakannya dengan Demokrasi Terpimpin Soekarno, yang kemudian
sering disebut sebagai “Orde Baru” yang disebut “Orde Lama”. ". Para
mahasiswa dengan antusias ikut serta dalam penghancuran sisa-sisa yang
tersisa pada desain bangunan yang dirancang oleh Soekarno. Bahkan Hatta
sendiri awalnya mengharapkan orde baru, pertemuan itu diadakan untuk
membahas konsep baru, konsep Lot 66 untuk membangun orde baru. Orde
Baru berusaha tampil meyakinkan sebagai penyelamat dan pembela
Pancasila murni dan UUD 1945. Mereka lahir karena "orde lama" sudah
terlalu jauh dari Pancasila murni dan UUD 1945. Begitu pula dengan
demokrasi. Demokrasi harus dibangun di atas asas Pancasila dan UUD
1945. Padahal, segala upaya untuk menggulingkan atau mengubah
Pancasila dan UUD 1945 harus diminimalisir sesegera mungkin, sesegera
28
mungkin. Sekalipun ditujukan untuk memanipulasi Kongres, harapan
tidak bisa dihindari. Tapi harapan itu memudar.
Orde Baru segera berkembang sebagai penafsir tunggal Pancasila dan
UUD 1945. Orde Baru mulai berkembang sebagai kekuatan yang ingin
menguasai segalanya, bahkan ingatan dan penafsiran oleh Pancasila.
Padahal, setiap kebijakan Orde Baru, terutama upaya membangun
demokrasi Pancasila, dilandasi oleh sikap yang benar-benar otoriter.
Demokrasi Pancasila hanyalah sketsa tipis dari perkembangan demokrasi
yang notabene untuk kepentingan golongan penguasa. Parodi demokrasi
di tengah politik, parlemen lumpuh dan masih banyak orang yang setuju,
hasil pemilu sudah diketahui bahkan sebelum dimulai. Orang-orang
didorong keluar dari politik, keluar dari proses demokrasi yang sebenarnya
atas nama hal-hal seperti stabilitas, keamanan dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai pemimpin Orde Baru, Suharto semakin memantapkan dirinya
sebagai pemimpin tunggal dan membiarkannya tetap berkuasa selama 32
tahun.
Semua ini telah dikonfirmasi dan diapresiasi oleh negara Demokrat,
para pembela dunia bebas (dari kebebasan) yang dipimpin oleh Amerika
Serikat. Bukankah modelnya terlalu mirip dengan praktik pemerintah
Belanda yang disinggung di awal artikel ini?? Tidak bisakah kita
mengatakan bahwa ini adalah perkembangan baru dari gaya kolonial yang
telah kita kenal di masa lalu? Itu adalah pola yang ditentang keras oleh
Soekarno dan diteruskan secara terbuka dalam pidato-pidato di PBB.
Tantangan dan Harapan Baru Setelah sekian lama berdiri, orde baru
akhirnya kehilangan daya pikatnya. Para pemimpin kehilangan
kepercayaan mayoritas rakyat. Tekanan krisis ekonomi, bencana alam dan
berbagai gerakan yang terutama dimotori oleh mahasiswa dan banyak
faktor lainnya akhirnya berhasil menggulingkan Suharto. Reformasi telah
menjadi tren, dengan banyak pejabat dan selebritas bersaing untuk
menyebut diri mereka reformis, sama seperti mereka bersaing untuk
menyebut diri mereka massa. Sebuah harapan baru berhembus. Kebebasan
telah mulai terbuka dan demokrasi tampaknya telah menarik napas.
Pemilihan umum pertama setelah Orde Baru mempertemukan banyak
pihak, seringkali membingungkan masyarakat.
29
Sampai saat ini, demokrasi politik prosedural berkembang sangat
pesat. Demokrasi prosedural di Indonesia telah berkembang menjadi
demokrasi liberal. Seiring dengan demokrasi Indonesia yang semakin
liberal, sistem ekonominya juga berubah. Negara ini terus-menerus
membuat kemajuan (atau didorong oleh kekuatan) menuju negara pasar
terbuka. William Lidle, seorang Indonesia yang terkenal, berpendapat
bahwa demokrasi dan kapitalisme pasar tidak dapat dipisahkan seperti
anak kecil dan bak mandinya. Liddle percaya bahwa demokrasi hanya
dapat menemukan tempatnya di negara yang menggunakan ekonomi pasar
kapitalis. Memang, sejak berakhirnya perang dingin, tampaknya sistem
politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme pasar ala Amerika telah
menjadi pemenang mutlak. Gaya alternatif lain, terutama varian kiri
(komunisme, sosialisme dan semua cabangnya) tampaknya telah
kehilangan daya tarik dan vitalitasnya. Namun, tidak sulit bagi kita untuk
melihat bahwa capaian demokrasi kita saat ini masih banyak lubangnya.
Apalagi jika yang kita bicarakan adalah pemilu.
30
kembali. Pemikiran Hatta akan membimbing kita untuk membangun
demokrasi yang lebih baik. Demokrasi Pancasila dalam tafsir baru untuk
menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
31
Komite Nasional mengusulkan untuk memberinya kekuatan untuk
membuat undang-undang dan mematuhi GBHN dan ini harus disetujui
oleh pemerintah. Atas desakan itu, Wakil Presiden Muhammad Hatta atas
nama Presiden mengeluarkan Keputusan Pemerintah Nomor X Tahun
1945. Pernyataan pemerintah itu memuat pernyataan yang pada pokoknya
berbunyi sebagai berikut: a) Komite Nasional Pusat sebelum dibentuk dari
MPR dan DPR (hasil pemilu legislatif) diberi kekuasaan legislatif dan
menetapkan arah – garis besar kebijakan negara; b) Disepakati bahwa
pekerjaan sehari-hari Komite Sentral Nasional karena keadaan mendesak
akan dilakukan oleh badan kerja yang dipilih oleh mereka dan bertanggung
jawab kepada Komite Sentral Nasional. Dikeluarkannya SK Pemerintah X
pada tahun 1945 merupakan perwujudan dari perubahan praktek
ketatanegaraan (konvensi) tanpa adanya amandemen terhadap UUD. Arti
Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 telah berubah. Komite Sentral
Nasional akan menjadi badan pembantu Presiden dalam menjalankan
kekuasaannya. Sejak pengumuman pemerintah, Komite Pusat Nasional
telah berubah fungsi menggantikan MPR dan DPR dan kekuasaan presiden
telah berkurang. Selain itu, pada tanggal 14 November 1945, pemerintah
mengeluarkan pernyataan pemerintah atas usul kelompok kerja Komite
Pusat Nasional.
Gagasan demokrasi pluralistik atau pluralis diwujudkan dalam
proklamasi pemerintah pada 14 November 1945. Kedua dekrit tersebut
secara mendasar mengubah sistem ketatanegaraan dengan mendelegasikan
sebagian besar peran rakyat dalam pembangunan kebijakan pemerintah.
Gagasan pendirian partai politik sebagai bentuk pemberian kesempatan
yang seluas-luasnya bagi partisipasi massa melalui sistem multi partai
menemukan tempatnya ketika Proklamasi Wakil Presiden dikeluarkan
pada tanggal 3 November 1945. Proklamasi Wakil Presiden dilakukan di
Gedung usulan Badan Kerja Komite Pusat Nasional. Kenyataannya,
pemerintah menyetujui munculnya partai politik karena dengan mereka
dimungkinkan untuk menertibkan semua gerakan sosial yang diharapkan
pemerintah agar partai politik dibentuk terlebih dahulu, ketika memilih
anggota badan perwakilan rakyat. diadakan pada bulan Januari 1946.
Kuatnya pemahaman demokrasi pluralis pada tahun 1945-1949 yang
ditandai dengan sistem multipartai mampu menekan sistem politik otoriter
32
dengan peran dominan pemerintahan negara. Terbukti parpol berhasil
menjatuhkan kabinet yakni kabinet Syahrir I, II, III, kabinet Syarifuddin
menggantikan kabinet Syahrir II. Situasi ini berlangsung sejak 8 hingga
1947. Setelah penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda pada 27
Desember 1949 (KMB), UUD 1945 diganti dengan UUD RIS.
Republik Indonesia menjelma menjadi negara kesatuan dengan
sistem politik parlementer. Secara konstitusional, pemerintahan dengan
sistem parlementer dikenal dengan istilah konstitusional parlementer.
Selama diundangkannya UUD RIS, tidak banyak insiden terkait demokrasi
dan peran negara. Karena keberadaan RIS hanya 8 bulan, sudah waktunya
untuk mentransfer kedaulatan. Terhitung sejak 17 Agustus 1945, UUD
RIS diganti dengan UUD 1950. bentuk negara serikat ditransisikan ke
negara kesatuan. Sistem demokrasi liberal yang sesungguhnya dimulai
ketika RI dimasukkan ke dalam UUD 1950. Dengan demikian, naik turun
kabinet menjadi hal yang lumrah. Menurut Rusdi Kartaprawira, pada
periode 1950-1959 ada 7 kabinet. Itu berarti usia rata-rata 9 kabinet kurang
dari 15 bulan. Fakta bahwa kabinet sering dirotasi telah menyebabkan
ketidakpuasan di kalangan politisi. Demikian pula, pemerintah Jawa yang
terpusat telah menyebabkan banyak kecemburuan di masyarakat di bagian
lain negara ini. Berbagai bentuk pemberontakan seperti: PRRI Permesta,
Kahar Muzakar, DI/TII, Andi Azis dan Andi Selle mencontohkan situasi
tersebut. Majelis Konstitusi yang bertugas membentuk konstitusi negara,
gagal ketika dalam persidangan kelompok pro-Pancasila dan pro-Islam
tidak setuju. Ketidaksepakatan mereka didasarkan pada usulan untuk
memasukkan Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945, dan Pasal 29
ayat (1) UUD 1945 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban untuk
menerapkan hukum Islam kepada pemeluknya”.
Dugaan bahwa Indonesia akan menjadi negara Islam menghalangi
Majelis Konstituante membuat 10 keputusan tentang rancangan konstitusi
baru. Menyadari bahwa lembaga-lembaga negara tidak aktif pada saat
Undang-Undang Dasar diundangkan, Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang mengatur kembalinya UUD
1945 ke dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Konstruksi
33
mekanisme perlindungan konstitusi kembali sama seperti ketika UUD
1945 diundangkan pada 18 Agustus 1945. Tentang peran (pemerintah)
negara dalam melaksanakan demokrasi, terjadi perubahan mendasar, yaitu
ketika Ketetapan VIII MPRS/ MPRS/1965 menetapkan bahwa demokrasi
terpimpin, menurut Soekarno, adalah demokrasi yang dipandu oleh
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan sebagai dasar
penyelenggaraan rakyat pemilik di Indonesia. Ide demokrasi terpimpin
banyak ditentang oleh pihak oposisi. Mereka menolak gagasan demokrasi
seperti itu karena konsepsi terpimpin bertentangan dengan demokrasi.
Klaim mutlak demokrasi adalah kebebasan, sedangkan instruksi yang
diucapkan justru akan meniadakan atau menghilangkan kebebasan.
Demokrasi terpimpin mengarah pada praktik otoriter dalam pembentukan
12 negara demokrasi. Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno, Suharto
digantikan oleh Suharto pada tahun 1968. Selama 2 tahun, Suharto
menerima mandat dari Soekarno untuk menyelesaikan kekacauan
pemberontakan PKI berbasis gerakan/pesanan 30 September 11 Maret
1966.
34
dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan “yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat
para penyelenggara negara.” Namun sayangnya kepercayaan tersebut 15
tidak dikawal dengan sistem yang ketat. Mengenai pelaksanaan demokrasi
setelah amandemen UUD 1945 menunjukkan suatu kemajuan. Terbukti
bahwa sebagian besar aspirasi rakyat tentang penyelenggaraan
pemerintahan negara telah terakomodir.
35
(check and balance). Perkembangan demokrasi di Indonesia dilihat dari
segi waktu dibagi dalam beberapa periode, yaitu:
1. Demokrasi Era Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)
2. Demokrasi Era Parlementer (1950-1959)
3. Demokrasi Era Terpimpin (1959-1966)
4. Demokrasi Era Orde Baru (1966-1998)
5. Demokrasi Era Reformasi (1966-Sekarang)
36
Berasarkan maklumat 3 November tersebut, banyak partai politik
yang bermunculan. Maklumat Pemerintah Republik Indonesia 3
November 1945 menatakan bahwa "Berhubung dengan usul Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat kepada Pemerintah, supaya
diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan
partai-partai politik, dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu
hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan
dan menjamin keamanan masyarakat, Pemerintah menegaskan
pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang lalu, bahwa:
37
8. PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia), yang dipimpin oleh
I.J. Kasimo, berdiri 8 Desember 1945.
9. Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), yang dipimpin
oleh J.B. Assa, berdiri 17 Desember 1945.
10. PNI (Partai Nasional Indonesia), yang dipimpin oleh Sidik
Djojosukarto, berdiri 29 Januari 1946. PNI didirikan sebagai hasil
penggabungan antara PRI (Partai Rakyat Indonesia), Gerakan
Republik Indonesia, dan Serikat Rakyat Indonesia, yang
masing-masing telah berdiri antara bulan November dan
Desember 1945.
38
1. Perbedaan mendasar berkenaan dengan Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahannya. Sistem pemerintahan Presidensil, Presiden
sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.
Sedangkan pada sistem pemerintahan Parlementer, Presiden
berperan sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri.
2. Sistem pemerintahan Presidensil yang ada di Indonesia tidak
berlangsung lama. Hanya di awal kemerdekaan, yaitu sejak 12
September 1945 sampai 14 November 1945. Sementara sejak 14
November 1945, dengan dikeluarkannya maklumat tersebut,
secara gamblang Indonesia menjadikan dirinya sebagai negara
kabinet Parlementer di mana Presiden bertanggung jawab kepada
Parlemen (KNIP) yang berfungsi sebagai badan Legislatif, sesuai
dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945 (sebelum
amandemen) & Maklumat Wakil Presiden No.X 16 Oktober 1945
yang menyebutkan KNIP sebagai fungsi Legislatif.
3. Perdana Menteri pertama Indonesia adalah Sutan Syahrir.
4. Dalam kabinet ini Menteri-Menteri tidak lagi menjadi
pembantu dan bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi
bertanggung jawab kepada KNIP
5. KNIP menjadi lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang
berfungsi sebagai badan Legislatif
39
2. Kedua, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi pada umumnya
sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen
dan juga sejumlah media massa sebagai alat kontrol sosial.
3. Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh
peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara
maksimal. Dalam masa ini Indonesia menganut
sistem banyak partai. Ada hampir 40 partai politik yang dibentuk
dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses
rekruitmen. Campur tangan pemerintah bisa dikatakan tidak ada
sama sekali.
4. Keempat, sekalipun Pemilu hanya dilaksanakan satu kali, yaitu
pada 1955, tetapi
pemilu tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip
demokrasi.
5. Kelima, masyarakat pada umunya dapat merasakan bahwa hak-hak
dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua
warga negara dapat memenfaatkannya
dengan maksimal (Afan Gaffar, 2001: 30).
40
Jika kabinet bubar, presiden akan menunjuk formatur kabinet
untuk menyusun kabinet baru.
Jika DPR mengajukan mosi tidak percaya kepada kabinet baru
maka bisa dibubarkan.
1. Kabinet Natsir
2. Kabinet Sukiman
3. Kabinet Wilopo
4. Kabinet Ali – Wongso – Arifin (Kabinet Ali)
7. Kabinet Juanda
Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi selama Indonesia pada
masa demokirasi parlementer. Pertama adalah pemilu pertama pada tahun
1955 yang menjadi tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Kedua
adalah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang
41
memberikan beberapa keuntungan bagi Indonesia. Ketiga adalah
pengakuan atas Deklarasi Djuanda yang menyebabkan luas wilayah
Republik Indonesia bertambah hingga 2,5 kali lipat.
42
Konferensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan di Bandung pada
tanggal 18–24 April 1955. Negara yang menghadiri konferensi ini
sebanyak 29 negara. Hasil sidang dari KAA berupa sepuluh prinsip yang
dikenal dengan Dasasila Bandung. Penyelenggraan KAA memberikan
keuntungan bagi Indonesia karena berhasil menyelenggarakan konferensi
tingkat nasional. Selain itu, Indonesia juga mendapat dukungan bagi
pembebasan Irian Barat yang pada waktu itu masih diduduki Belanda.
KAA juga memberikan beberapa pengaruh terhadap dunia. Setelah KAA
berakhir, beberapa negara di Asia dan Afrika mulai mempejuangkan
kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat penuh. KAA juga menjadi
awal bagi lahirnya gerakan non blok.
- Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda memuat hukum teritorial yang mengatur wilayah laut-
laut bebas pemisah pulau di wilayah Indonesia. Hukum tentang wilayah
laut Indonesia ini diperjuangkan pada masa pemerintahan Kabinet
Djuanda. Sebelumnya, kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan
Indonesia. Kondisi tersebut menyulitkan Indonesia dalam melakukan
pengawasan wilayah Indonesia. Pengakuan atas Deklarasi Djuanda dalam
Konvensi Hulum Laut PBB membuat wilayah Republik Indonesia menjadi
semakin luas. Wilayah Indonesia bertambah hingga 2,5 kali lipat setelah
adanya deklarasi tersebut.
Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa demokrakasi
parlementer belum pernah mencapai kestabilan secara nasional. Selain itu,
dewan konstituante yang bertugas menyusun UUD baru tidak berhasil
melaksanakan tugasnya. Pada tanggal 5 Juli 1959, presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit presiden untuk mengatasi permasalahan yang sedang
dihadapi.
43
3. Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota DPR ditambah
dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
44
yang awalnya hanya sebatas kepala negara menjadi pemegang kekuasaan
tertinggi. Seperti kita ketahui bahwa sistem pemerintahan Indonesia
mengalami perubahan sistem pemerintaahan pada tanggal 14 November
1945 dari sistem presidensil ke sistem parlementer, sebagai upaya untuk
menghapus kesan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta bukanlah boneka
Jepang. Akibatnya kedudukan Presiden Soekarno berubah tidak lagi
sebagai kepala pemerintahan tetapi hanya sebagai kepala negara,
kedudukan kepala pemerintahan di pegang oleh Perdana Menteri, sampai
saat pembentukan Republik Indonesia Serikat, ada tiga Perdana Menteri
yaitu Sutan Syahrir, Amir Syarifudin, dan Hatta (Magenda, 2005).
Kedudukan Soekarno yang bersifat simbolis berlangsung lama,
kendatipun kemerdekaan Indonesia telah diakui oleh dunia internasional.
Dalam tahun 1950 terjadi perubahan konstitusi, dimana UUD 1945 diganti
dengan UUDS 1950. UUDS 1950 ini berlaku sampai dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945 pada pertengahan tahun 1959. Sistem
politik yang dianut oleh UUDS 1950 ini merupakan demokrasi
parlementer sama dengan ketika pada berlakunya sistem parlementer pada
tanggal 14 November 1945. Dalam sistem yang demikian, presiden praktis
hanya berpangkutangan; posisi inilah yang sering dinamakan Seokarno
sebagai tukang stempel. Tentu saja Soekarno tidak menyukai kedudukan
demikian, walau itu sesuai dengan konstitusi yang berlaku (Syamsudin,
1988). Berlakunya sistem parlementer di Indonesia pada tahun 1950
melalui UUDS 1950, ternyata memiliki dua kelemahan pokok. Kelemahan
pertama adalah fragmentasi perlemen Indonesia, dimana tidak ada partai
mayoritas yang menguasai lebih dari separoh jumlah kursi DPR. akibatnya
terjadi proses “coalition building” yang mudah pecah karena perbedaan
suatu kebijaksanaan. Ini terjadi pada masa revolusi kemerdekaan maupun
pada masa DPR sementara, 1950. Hanya setelah terbetuknya DPR hasil
pemilu 1955 dapat dibentuk koalisi besar yang terdiri dari PNI, Masyumi
dan Nahdatul Ulama. Tetapi karena mudahnya koalisi kabinet pecah, maka
umur kabinet juga tidak terlalu lama, antar 6 bulan sampai yang paling
lama 2 tahun (Magenda, 2005).
Lebih lanjut Magenda (2005) menjelaskan kelemahan lainnya
yakni ketika Presiden Soekarno yang sudah tidak sabar kepada kabinet-
45
kabinet yang tidak fokus lagi pada pembangunan nasional, Presiden
Soekarno menunjuk dirinya sebagai formatur dan membentuk kabinet
karya yang dipimpin Ir. Djuanda. Situasi politik yang bisa dikatakan kacau
saat itu terjadi, hampir di setiap daerah timbul pemberontakan akibat
ketidakpuasan kepada pemerintahan pusat. Konflik kekuasaan antara
partai-partai politik di parlemen yang saling menjatuhkan satu sama lain,
menimbulkan kerisauan dan ketidakpuasan pada Angkatan Darat pada
tanggal 17 Oktober 1952 Angkatan Darat dengan mengarahkan
meriamnya ke arah Istana Negara. Pimpinan AD saat itu Kolonel A.H.
Nasution dalam aksinya tersebut mendesak Soekarno untuk membubarkan
parlemen dan mengambil alih kekuasaan; tetapi Soekarno menolaknya,
karena Soekarno tidak suka untuk didesak-desak (Syamsudin, 1988).
Menurut Syamsudin (1988) masih terdapat kemungkinan lain
kenapa Soekarno tidak mau mengambil kekuasaan selain karena dipaksa.
Pertama, ada kemungkinan Soekarno bilaia mengambil alih kekuasaan
maka Soekarno khawatir ia akan mengalami hal yang sama. Kemungkinan
tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin, karena AD saat itu dipengaruhi
oleh perwira-perwira yang dikenal tidak dekat dengan Soekarno. Kedua,
walaupun ada keinginan untuk menguasai panggung politik ketika itu,
tetapi tampaknya Soekarno belun begitu yakin akan kekuatannya sendiri.
Disatu pihak, pada waktu itu Soekarno belum memiliki pengaruh yang
cukup luas di kalangan AD, sehingga sangat kecil kemungkinan baginya
untuk menguasai organisasi militer ini. Pada pidatonya tertanggal 21
Febuari 1957 dengan Judul “Menyelamatkan Republik Proklamasi”,
Soekarno mengeluarkan gagasan yang disebut konsepsi presiden.
Soekarno menyatakan bahwa pengalaman selama 11 tahun dengan sistem
demokrasi liberal atau parlementer menunjukkan bahwa demokrasi tidak
cocok dengan kepribadian Indonesia. Demokrasi tersebut adalah
demokrasi Import yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia
sehingga kita mengalami ekses-ekses dalam penyelenggaraannya. Dalam
demokrasi parlementer yang datang dari barat terdapat satu pengertian
yang dinamakan oposisi. Oposisi inilah yang membuat kita menderita
karena prinsip oposisi diartikan dengan menentang pemerintah secara
hebat-hebatan. Kabinet yang sesuai dengan kepribadian Indonesia adalah
kabinet gotong royong yang akan terdiri dari semua unsur-unsur golongan
46
yang ada dalam masyarakat. Soekarno juga menyatakan bahwa pemaksaan
mayoritas atas minoritas tidak sesuai dengan cara Indonesia, dimana dalam
mengambilan keputusan dengan melalui jalan musyawarah untuk mufakat.
Selama ada golongan minoritas yang belum yakin akan suatu usul maka
musyawarah harus diteruskan dibawah tuntunan seorang pemimpin
sampai ditemukan kata sepakat, hal ini memungkinkan semua pendapat
dipertimbangkan dengan memperhatikan pendapat minoritas. Inilah yang
oleh Soekarno dianggap sebagai model demokrasi Indonesi (Mar’iyah,
1988).
Disini dapat dilihat bagaimana Presiden Soekarno memperlihatkan
ketidaksukaannya terhadap demokrasi parlementer yang diterapkan di
Indonesia ternyata tidak berjalan secara mulus karena malah menimbulkan
ketidakstabilan pada pemerintahan. Soekarno melihat posisi oposisi hanya
sebagai penganggu terhadap kabinet karena hanya melakukan
penentangan-penentangan tanpa memberikan solusi atau kesempatan
kepada kabinet yang memerintah. Untuk menghindari terjadinya oposisi
yang tidak sehat, Soekarno menginginkan terbentuknya suatu kabinet yang
di isi oleh semua unsur golongan masyarakat sehingga semua golongan
dapat terakomodasi.
Soekarno berusaha mengintepretasikan atau menerjemahkan demokrasi
berdasarkan pemahamannya yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Soekarno menginginkan suatu konsep demokrasi ala Indonesia yang lebih
mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan gotong royong dibawah
tuntunan seorang pemimpin. Bisa dikatakan apa yang di ungkapkan oleh
Presiden Soekarno ada benarnya karena menurut MacPherson (Suhelmi,
2001, p. 316) demokrasi liberal hanya akan tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yang tingkat perkembangan kapitalismenya relatif
tinggi dan suatu negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi liberal
pada mulanya harus bersifat liberala terlebih dahulu baru kemudian
demokratis. Ini berlainan dengan kondisi di negara-negara Barat karena
nilai-nilai liberalisme telah dianut lebih dahulu oleh masyarakatnya
sebelum nilai-nilai demokrasi sehingga negara barat tidak mengalami
kesulitan dalam melaksananakan demokrasi.
47
Sebelum Presiden Soekarno berpidato tanggal 21 Febuari 1957 tentang
konsepsinya mengenai demokrasi, Presiden Soekarno pada pidatonya
tanggal 27 Januari 1957 di rapat umum ”Merah Putih” di Bandung, sudah
memberikan isyarat dan mengungkapkan keinginannya untuk mencampuri
urusan pemerintahan pada masa peralihan sebelum konstituante selesai
kerja sampai konstituante dapat direalisir. Soekarno juga
mengekemukakan bahwa ia akan mencetuskan konsepsi yang akan
memungkinkan ia turut serta dalam pemerintahan (Noer, 1987).
Konsepsi Presiden Soekarno tentang demokrasi, sebenarnya
memuat tiga hal pokok yang terkandung didalamnya. Pertama, adalah
diperkenalkannya gaya kepemimpinan dan sistem pemerintahan baru yang
kemudian dikenal dengan sistem demokrasi terpimpin. Kedua untuk
mewujudkan konsepsi baru tersebut maka ia mengusulkan pembentukan
kabinet gotong royong seperti sudah disinggung diatas dengan memasukan
seluruh partai politik termasuk Partai Komunis Indonesia. Ketiga
dibentuknya Dewan Nasional yang terdiri dari sebagian besar golongan
fungsional, yang dimaksud golongan fungsional adalah golongan
karyawan yang terdiri dari wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha
nasional, golongan agama, pemuda, angkatan bersenjata, wanita dan juga
wakil-wakil daerah. Dewan Nasional adalah pencerminan dari masyarakat
secara keseluruhan (Mar’iyah, 1988). Usulan pembentukan kabinet gotong
royong adalah membentuk kabinet dengan menyertakan seluruh partai
termasuk PKI. Karena menurut Soekarno partai ini adalah satu bagian
yang sah dari revolusi dan PKI seharusnya diberi kesempatan untuk ikut
serta dalam pembentukan suatu kesepakatan nasional. Dengan demikian
akan terbentuk suatu pemerintahan yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU
dan PKI, dan mungkin akan dibantu oleh partai-partai kecil yang lain. Jadi
kabinet yang terbentuk menurut Soekarno akan lebih mampu menjalankan
kebijaksanaan politik nasional yang dapat diterima dan meningkatkan
kerukunan persatuan nasional daripada suatu kabinet koalisi yang terus
diganggu oleh oposisi. Gotong royong menurut Soekarno adalah perkataan
asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-
murninya (Mar’iyah, 1988). Salah satu gagasan Soekarno yang lain yaitu
penguburan partai-partai politik pada pidatonya tahun 1956 di nuka
pertemuan delegasi pemuda dari semua parti dan di muka semua Persatuan
48
Guru-guru ia menyatakan bahwa tak seorangpun dapat membenarkan
adanya 40 buah partai di negeri ini, dan mengajak kita untuk mengubur
paretai-partai. Soekarno tidak suka pada sistem multi partai karena terlalu
banyak partai malah menimbulkan ketidakstabilan di kabinet dan
parlemen. Sebenarnya Soekarno lebih menginginkan terbentuknya satu
pertai tunggal atau partai pelopor pada awal kemerdekaan tetapi tidak
mendapatkan persetujuan dari KNIP karena dikhawtirkan menjadi pesaing
KNIP, ditambah munculnya maklumat pemerintah No. X tanggal 3
November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik membuat usulan
Soekarno menjadi gagal. Gagasan ini ditentang oleh M. Natsir ketua
Masyumi, Natsir menolak pandangan Presiden Soekarno tentang sistem
partai dan demokrasi pada umumnya serta konsepsi kepala negara. Dengan
perkataannya “bahwa selama demokrasi masih ada, selam itu pula partai-
partai terus ada, dengan atau tidak dengan keputusan pemerintah pada
bulan November 1945. Sebaliknya, dikatakannya pula, selama masih ada
kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan. Kalau partai-partai
dikubur. Demokrasi otomatis akan terkubur. Dan diatas kuburan ini hanya
dikatator yang memerintah. Pada bulan November 1956 Kiai Dahlan
menyatakan bahwa penguburan partai-partai bertentangan dengan
semangat Islam. Penguburan partai-partai bisa menimbulkan dikataor.
Imron Rosyadi, Ketua Pemuda Ansor (NU) mengatakan bahwa dikator
berlawanan dengan Islam. Ia juga menambahkan bahwa sistem
pemerintahan harus dikembangkan lepas dari soal siapa Presidennya.
Imron Rosyadi juga menuduh bahwa Dewan Nasional hanya dibentuk
untuk kepentingan Soekarno (Noer, 1987).
Setelah seringnya Soekarno mengkritik demokrasi parlementer dan
sistem multi partai dengan pidato-pidatonya. Situasi politik yang makin
kritis dalam masa tersebut seperti pergolakan dalam badan konstituante
dan parlemen, membuka kesempatan bagi Soekarno untuk ikut
menyelesaikan masalah yang dihadapi, dengan mengambil tindakan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut: 1.
Pembubaran Konstituante 2. Berlakunya Kembali UUD 1945 3. Tidak
berlakunya UUDS 1950 4. Pembentukan MPRS dan DPAS
Akibatnya terjadi pembubaran DPR dan MPR hasil pemilu 1955,
digantikan dengan MPR Sementara dan DPR Gotong Royong yang
49
anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno. Demikian juga pimpinan
MPR Sementara dan DPR Gotong Royong diangkat sebagai menteri
kordinator dan menteri dalam kabinet. Sedangkan usaha Presiden
Soekarno untuk menyederhanakam sistem partai politik dengan
mengurangi jumlah partai politik melalui Perpres No. 7/1959 yang
membatalkan maklumat pemerintah tentang pembentukan partai politik
tanggal 3 November 1945, diganti dengan partai-partai politik harus
memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi agar diakui pemerintah.
Hanya 10 partai yang memenuhi sayarat tersebut yaitu PKI, PNI, NU,
Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai
Islam Perti, sedangkan partai lain tidak memenuhi syarat, termasuk PSI
dan Masyumi yang dituduh terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA
(Budiardjo, 1998).
Untuk mewadahi 10 partai tersebut maka dibentuklah Front
Nasional, yang berdasarkan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan
Komunis) ditambah golongan fungsional termasuk militer. PKI berhasil
mengembangkan pengaruhnya untuk melemahkan kedudukan partai
politik. Tetapi akibatnya dalam perpolitikan nasional malah terjadi
persaingan baru dan sebuah segitiga kekuatan politik yaitu Presiden
Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI.
Antara Angkatan Darat dan PKI memiliki tujuan yang berbeda,
Presiden Soekarno turun sebagai kekuatan penyeimbang diantar
persaingan tersebut untuk menjaga agar konsep demokrasi terpimpinnya
dan nasakom tetap berjalan. Tetapi tidak berhasil karena adanya upaya PKI
melalui Gestapu untuk menyingkir Angkatan Darat, tapi Angkatan Darat
lebih siap menghadapinya, malah menyebabkan demokrasi terpimpin
gagal dan Presiden Soekarno tersingkir dari kekuasaan (Budiardjo, 1998).
Konsep demokrasi terpimpin Soekarno menurut Takashi Shirasi (Sularta,
2001, p. 70) dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang pada nasionalis
generasi pertama seperti yang diwakili Soetatmo, Tjipto, dan Ki Hajar
Dewantara. Pengaruh Tjipto terhadap Soekarno adalah perlunya national
spirit menjadi national will yang akhirnya akan mewujud dalam bentuk
aksi nasional. Sedangkan pengaruh Soetatmo di dapatnya dari konsep
demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan) dari Ki Hadjar Dewantara,
50
yang sangat dipengaruhi oleh visi Soetatmo mengenai negara
kekeluargaan di bawah kendali Bapak/yang bijaksana/pandhita ratu.
Soetatmo adalah seorang anggota Budi Oetomo, yang dalam bukunya
“Sabdo Pandito Ratu” Soetatmo menuliskan bahwa sistem politik yang
sedang berjalan di Indies (Sebutan Indonesia ketika masih di jajah
Belanda) tidak benar. Ia membandingkan negara Indies dengan sebuah
keluarga yang “bapaknya cerewet dan ibunya sibuk mengurus diri sendiri,
sehingga lupa tugasnya terhadap anak-anak”. “Jika ibu terus menerus
menolak tugasnya, kecelakaan tidak terhindarkan. Dan ketika kecelakaan
terjadi, anak-anak adalah pemenangnya. Aturan akan kacau, sebagai
akhir bapak dan ibu harus menaatinya. Dan itulah gambaran negara yang
berlandaskan demokrasi” (Sularta, 2001, p. 70).
Soetatmo sangat mengerti bahwa gelombang yang menuju negara
demokratis tak terhindarkan. Ia juga memperhatikan dengan sedih orang-
orang menerima dengan penuh antusias datangnya demokrasi. Namun dia
percaya bahwa volksregeering atau pemerintahan rakyat yaitu demokrasi
adalah ilusi. Karena ”Jika setiap individu memiliki hak yang sama, mereka
tak punya tugas untuk dipenuhi, setiap individu bersandar pada dirinya,
haknya sendiri dan tak ada masyarakat yang mungkin bertahan. Anak-
anak akan mengurus dirinya sendiri, karena mereka menekankan bahwa
setiap orang harus menghormati haknya. Tak akan ada persatuan sama
sekali, tetapi hanya perbedaan, tak ada keteraturan tetapi kekacauan”
(Sularta, 2001, p. 70).
Jalan keluar dari semua itu menurut Soetatmo melalui pembinaan
moral adalah kuncinya. Ia melihat opvoeding yang diberikan pandita-ratoe
sebagai jalan dan kunci untuk perkembangan kebudayaan Jawa maupun
jawaban atas demokrasi. Ia mengatakan bahwa pembina moral harus
diarahkan oleh pandita yang sangat mengerti aturan tertinggi, demokrasi
harus diarahkan pandita-ratu yang bijaksana. Atau dengan kata lain, ”apa
yang dikatakan bapak itu baik, karena bapak itu benar! Itulah keluarga
ideal, begitu juga negara.” Adalah Bapak/yang bijaksana/pandita ratoe/
yang mesti mengarahkan demokrasi dan perkembangan kebudayaan Jawa.
Pemikiran Soetatmo inilah yang mempengaruhi Ki Hajar Dewantara
mengenai opvoeding (pembinaan/tut wuri handayani). Negara
kekeluargaan dan pandita ratu yang bijaksana memberi landasan pada teori
51
Ki Hajar Dewantara tentang demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan),
yang kemudian diwarisi oleh Soekarno dalam rumusannya yang tertuang
dalam demokrasi terpimpin (Sularta, 2001, p. 71).
Tetapi Tjipto Mangoenkosoemo sebagai demokrat sejati tidak
setuju dengan pendapat Soetatmo, dalam pandan Tjipto, Soetatmo tidak
mengerti sejarah perkembangan dunia. Tidak diragukan bahwa Indies
terdiri dari berbagai kelompok etnis yang berbeda dalam budaya dan
bahasanya seperti yang dikatakan Soetatmo. Tetapi Jawa sudah lama
kehilangan kedaulatannya dan menjadi bagian dari Hindia Belanda yaitu
Indies. Tanah air orang Jawa bukan lagi Jawa, tetapi Indies dan adalah
tugas pemimpin nasional untuk merumuskan nasionalisme Indies. Tjipto
lantas menggambarkan nation untuk Indiers (sebutan untuk orang Indies)
sebagai landasan masa depan Indies merdeka (Sularta, 2001, p. 72). Inilah
yang mengilhami Soekarno dengan national spirit yang kemudian menjadi
national will dalam bentuk aksi nasional.
52
merupakan harapan yang memiliki dasar-dasar argumentasi empirik yang
memadai, antara lain menyangkut tiga hal berikut ini. Pertama, berbeda
dengan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno yang lahir sebagai produk
rekayasa elit, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan
arus keinginan dari bawah.
Hal tersebuat menjadi menjadi dasar atau latar belakang yang kuat
bagi terjadinya pembesaran pluralisme dan penumbuhan demokrasi,
sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh dari bawah Orde Baru
seharusnya dapat memberikan tempat bagi aktualisasi politik bagi
masyarakat. Kedua, pemilihan serta pengambilan elit politik di tingkat
nasional yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada saat
pembentukannya memperlihatkan adanya kesejajaran dengan gagasan
yang dikemukakan oleh Daniel Bell yang sangat popular pada saat itu.
Sebagaimana dikutip oleh Mochtar Mas’oed, menyebut bahwa formulasi
kebijakan-kebijakan politik tidak lagi diserahkan pada peran politisi dan
ideolog, melainkan kepada para teknokrat (Mas’oed 1989:136). Perluasan
serta reorientasi dalam pemilihan elit politik yang mengintegrasikan
kalangan teknokrat ke dalam struktur kekuasaan ini dianggap
mengindikasikan akan terjadinya suatu akhir politik dikalangan penguasa
sejalan dengan komitmen para teknorat (ahli/pakar) yang waktu itu dikenal
egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok para ahli ke dalam
struktur kekuasaan diharapkan akan memberikan pengaruh kepada kinerja
negara dalam hal ini Orde Baru dan kebijakan-kebijakannya sehingga
lebih mementingkan proses politik yang menggunakan pendekatan atas-
bawah dan lebih berorientasi kepada publik.
Ketiga, periode pertama Orde Baru ditandai dengan perubahan
besar dalam keseimbangan politik dalam bernegara dan bermasyarakat.
Ada tiga pusat kekuasaan pada masa Orde Lama, yaitu Presiden, militer
(khususnya militer) dan PKI, yang digantikan oleh pusat kekuasaan baru,
yaitu militer, teknokratis, dan birokrasi. Kekuatan politik masyarakat pada
masa Orde Lama mengalami kendala dalam realisasinya. Meskipun militer
menjadi andalan kekuasaan, kekuatan penyeimbang juga berkembang
selama masa ini, yang kemudian dikenal sebagai "bulan madu" singkat
antara negara dan kekuatan sosial Orde. Ketiga basis tersebut masih
53
bersifat sementara, tetapi pada saat itu cukup menjadi alasan tumbuhnya
harapan demokratisasi. Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang
surut tergantung pada derajat perkembangan ekonomi, politik dan ideologi
yang temporer atau temporer. Tahun-tahun pertama pemerintahan Orde
Baru ditandai dengan kebebasan politik yang besar, yang digambarkan
Mochtar Loebis sebagai "sumber kebebasan" (Kompas, 8 Maret 1992).
Dalam jangka waktu tidak lebih dari tiga tahun, tampaknya kekuasaan
akan didistribusikan di antara kekuatan-kekuatan sosial.
Orde Baru muncul sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom,
sementara masyarakat semakin terlepas dari lingkaran kekuasaan dan
pembuatan kebijakan. Situasi ini merupakan hasil akumulasi dari berbagai
faktor, antara lain: (1) kemenangan mutlak Golkar dalam pemilihan
54
legislatif memberikan arti-penting politik Negara yang lebih kuat; (2)
implementasi regulasi politik seperti birokrasi, depolitisasi dan
institusionalisasi; (3) menggunakan pendekatan yang aman; (4) intervensi
negara dalam ekonomi dan pasar agar negara bebas mengakumulasi modal
dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya pembiayaan pembangunan, baik
dari eksplorasi migas maupun komoditas non migas dan pajak dalam
negeri, serta bantuan luar negeri; dan (6) keberhasilan Orde Baru dalam
melaksanakan kebijakan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar
rakyat untuk mencegah keresahan sosial yang dapat timbul karena alasan
struktural (Fatah 2000: 24).
55
menilai kinerja negara dan kebijakannya. Jika dilakukan secara konsisten,
berpotensi mendorong pergeseran persepsi masyarakat tentang kekuasaan
dan negara ke arah persepsi yang lebih objektif dan rasional. Kelima,
munculnya perubahan-perubahan besar dalam politik internasional turut
menyulut agenda demokratisasi masyarakat nasional, termasuk Indonesia
(Fatah 2000). Keunikan praktik demokrasi Orde Baru dapat dijelaskan
dengan menyatakan dua hal berikut. 1. Kepemimpinan politik,
pelaksanaan demokrasi dan keadilan sosial dalam pembangunan orde baru
Arah politik Orde Baru tidak terlepas dari citra Presiden Suharto
sebagai orang kuat pada masanya. Sebagai orang Jawa, Suharto sangat
mengagumi kepemimpinan politik raja-raja Jawa karena pengaruhnya
sangat kuat terhadap ideologi dan kepribadian politik Suharto. Oleh karena
itu, pembahasan mengenai hal ini akan dilakukan dengan menggunakan
kriteria yang telah digunakan untuk memahami kepribadian
kepemimpinan politik Raja Jawa. Konsepsi dan praktik politik yang
dibentuk oleh konsepsi Jawa tentang kekuasaan diklasifikasikan oleh Ben
Anderson ke dalam empat visi kekuasaan (Anderson 1998: 51-52).
Pertama, bagi orang Jawa, kekuasaan itu konkret. Kedua, kekuasaan itu
seragam. Ketiga, jumlah kekuasaan di alam semesta selalu tetap, dan
keempat, kekuasaan itu tidak mempersoalkan legitimasinya. Kriteria yang
digunakan untuk memahami kepemimpinan politik adalah:
56
politik Orde Baru, wakil presiden hanya dipandang sebagai “roda
cadangan”. Wakil Presiden bertugas membantu Presiden dalam
menjalankan tugas politik dan pemerintahan sehari-hari. Meskipun Wakil
Presiden saat itu ditugaskan untuk mengawasi pembangunan, tugas khusus
ini tidak diberkahi dengan properti kekuasaan atau kebebasan untuk
menentukan dan menjatuhkan sanksi, tetapi belum lagi secara mandiri.
Kedua, “eksklusivitas” presiden di hierarki atas juga dibentuk oleh
keberhasilan presiden mengatur alur kerja para pembantunya, dari tingkat
menteri ke bawah. Presiden Soeharto sendiri mengakui hal ini dalam
otobiografinya, berdasarkan dua faktor, yaitu: (1) Undang-undang dasar
yang resmi sebenarnya menempatkan menteri dan pejabat pemerintah
lainnya sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden; (2) Presiden Soeharto berhasil mengatur dan mengurus
pembantunya (teknokrat dan militer) dengan sistem kerja yang ketat dan
terkendali (Soeharto 1989: 426) Sulit ditemukan Dapat dikatakan bahwa
Presiden Suharto secara harfiah telah mencapai puncak kekuasaan di
Sistem politik Indonesia, dan pada saat yang sama berhasil menempatkan
para pembantunya pada posisi yang terpusat dan “melayani” dia. Dapat
dikatakan bahwa arah tindakan setiap orang di sekitar Presiden Suharto
secara halus dikendalikan oleh Presiden. Fakta ini tercermin dalam
ungkapan yang sangat umum di antara para menteri, yaitu “atas arahan
Presiden”. Sementara itu, posisi dan kesendirian presiden di puncak
hierarki juga sangat halus dan kompleks sehingga tidak menjadi isu politik
yang ringkas. Hanya ada satu kesempatan di mana presiden memamerkan
citranya yang kuat, dan saat itulah dia mengucapkan kalimat 'pukulan'
selama konferensi pers di pesawat yang membawanya pulang dari
kunjungannya ke Uni Soviet pada tahun 1989.
- Kontrol dan Partisipasi Politik.
Kepemimpinan Orde Baru muncul menggantikan suatu masa
dimana kekuasaan terdistribusi diantara tiga kekuatan utama, yaitu
Presiden, Partai Komunis Indonesia dan Angkatan Darat. Dalam formasi
itu Presiden menjadi sentral. Masa ini yang kemudian dikenal sebagai
Demokrasi Terpimpin. Ketika Orde Baru muncul distribusi kekuasaan
mengalami perubahan besar. Angkatan Darat dan militer secara umum
57
muncul sebagai kekuatan politik utama. Sepanjang sejarah politik Orde
Baru, kita dapat mengidentifikasikan adanya dua pola distribusi kekuasaan
yang berbeda. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi awal Orde
Baru, pada saat Presiden belum muncul sebagai kekuatan politik mandiri
dan masih terkolektifikasi di dalam Angkatan Darat atau militer. Pola
kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar) memenangkan
dua kali Pemilu sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi politik
yang konkret dan kokoh. Pada ploa kedua, Presiden perlahan namun pasti
mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi
pusat kekuasaan. Baik pada pola pertama terlebih lagi pada pola kedua,
Presiden memainkan peranannya dengan pemilikan kekuasaan yang besar.
Dalam keadaan ini praktis tidak tersedia kontrol politik yang efektif
terhadap Presiden, baik dari dalam lingkaran kekuasaan negara maupun
dari luar.
Ketidakefektifan kontrol ini terjadi baik dari lembaga formal, yaitu
legislatif, maupun yang datang dari kelompok-kelompok oposisi. Pada
saat yang sama, lembaga yudikatifpun praktis tidak memainkan peranan
kontrol yang substansial, mengingat keterbatasan-keterbatasan struktural
yang dimilikinya. Ketidakefektifan kontrol legislatif dibentuk oleh
keberhasilan Golkar menjadikan dirinya sebagi kekuatan politik
hegemonik dan dominan di DPR, sementara partai politik lain menjadi
partai gurem. Kekuatan politik Golkar semakin menghegemonik dengan
adanya “duet-historis” Golkar-ABRI di lembaga legislatif. Melalui
prosedur pengangkatan, ABRI mewakilkan anggotanya di dalam lembaga
legislatif dalam jumlah yang signifikan. Kedua kekuatan politik besar ini
merupakan duet politik yang terbukti solid dengan orientasi politik yang
sulit dibedakan. Dalam tataran praksis, dominasi kuantitatif Golkar-ABRI
di dalam lembaga legislatif tersebut didukung pula oleh tata tertib DPR
yang cenderung membatasi aktualisasi kekuatan-kekuatan politik—
terutama aktualisasi individu dan satu fraksi mandiri— didalamnya.
58
Presiden, yaitu Mandataris MPR yang mengepalai kekuasaan eksekutif,
Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Ketua Dewan Pembina
Golkar. Ketiga posisi strategis yang menyatu pada Presiden tersebut
menjadikan Presiden sebagi sumber aliran kekuasaan baik dalam elemen
legislatif maupun eksekutif. Hal ini terjadi terutama setelah Presiden
didudukan sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, sebuah jabatan dalam
Golkar yang semenjak Munas II Golkar 1978 di Denpasar Bali diberi
kedudukan dan otoritas tertinggi dalam organisasi Golkar. Sebagai Ketua
Dewan Pembina, Presisen praktis memegang kekuasaan prinsipil dan luas
di dalam Golkar, sementara DPP Golkar diposisikan sebagai pemegang
kekuasaan operasional yang terbatasi.
Ketika otoritas Presiden di dalam Golkar itu berpadu dengan
kekuatan konkret Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata yang memiliki garis komando ke Mabes ABRI dan akhirnya
Fraksi ABRI di DPR-MPR, maka dapat dikatakan aliran kekuasaan di
lembaga legislatif menjadi benar-benar bersumber pada tangan Presiden.
Mengingat Presiden merupakan penguasa puncak eksekutif, maka secara
struktural kontrol politik terhadap eksekutif dan Presidenpun terhambat.
Keadaan ini yang menjadikan Presiden sebagai pemegang kekuasaan
tanpa kontrol yang efektif. Sementara itu kontrol politik dari oposisi juga
tidak terlihat efektif sepanjang masa Orde Baru. Di satu sisi keadaan ini
tercipta akibat kelemahan utama oposisi yang tidak terorganisasi dengan
baik sehingga gerakan oposisi berada dalam keadaan timbul tenggelam,
berserakan, sporadis, serta bersifat parsial dan temporal—dengan sedikit
mengecualikan Kelompok Kerja Petisi 50. Selain itu oposisi Orde Baru
terjerat pada karakternya yang elitis sehingga tidak pernah mampu
memberi tekanan politik yang efektif karena tidak termassalisasi. Namun
demikian, sebab utama dari ketidakefektifan kontrol politik oposisi
sepanjang masa Orde Baru terletak pada faktor struktur politik makro.
Kelembagaan oposisi tidak diakui keberadaannya dalam struktur
kelembagaan politik formal sehuingga tidak memiliki saluran politik. Dan
lebih jauh sikap-sikap oposisional pun menjadi tidak terakomodasikan
dalam struktur dan proses formulasi kebijakan politik. Ketidakefektifan
kontrol politik terhadap Presiden didukung pula oleh adanya kondisi
partisipasi politik Orde Baru yang khas. Dilihat dari proses politik di atas
59
permukaan, partisipasi politik masyarakat sebenarnya berjalan cukup baik
selama masa Orde Baru. Dalam empat kali Pemilu yang diadakan, angka
partisipasi masyarakat senantiasa di atas 90 %.
- Pengendalian dalam Proses Pengambilan Keputusan.
60
UU yang disetujui parlemen dan disahkan Presiden Indonesia di tahun
1999 yang menyerukan transfer kekuasaan pemerintahan dari Pemerintah
Pusat ke pemerintah-pemerintah daerah.
Peran Pemerintah Pusat dibatasi untuk menangani hanya hal-hal
yang berhubungan dengan pertahanan, kebijakan luar negeri, kebijakan
fiskal-moneter dan makroekonomi, peradilan dan agama. Yang tidak kalah
penting adalah bahwa Daerah menerima bagian pendapatan yang lebih
besar dari produksi sumber daya alam lokal. Sebelumnya, Daerah selalu
merasa tidak nyaman melihat mayoritas pendapatan dari sumber daya alam
lokal mengalir kepada para pemangku kepentingan di Ibukota Jakarta.
Namun, karena tidak setiap daerah di Indonesia diberkati dengan sumber
daya alam yang melimpah, kesenjangan di antara daerah kaya dan miskin
meningkat.
61
Reformasi merupakan bentuk meletusnya masalah-masalah yang
telah terjadi di Indonesia sebelumnya, yang telah banyak membuat
masyarakat Indonesia menderita dengan berbagai masalah yang terjadi,
dan reformasi ini lah yang menurut masyarakat waktu itu dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang telah terjadi. Kerusuhan yang
diduga berasal dari SARA, terutama dalam hal agama yang masyarakat
Indonesia merupakan mayotitas beragama Islam, tetapi hal ini dangat tidak
mungkin karena menang kerukunan antar umat beragama di Indonesia
sangat luar biasa. Tentu saja kerusuhan terjadi akibat adanya kesenjangan
sosial yang terjadi.
62
cita-cita demokrasi, kaum pengkritik dan pemprotes menggalang kekuatan
dalam gerakan demokratisasi. Tuntutan pembaharuan atau perubahan
politik menjadi salah satu agenda utama yang dilakukan. Perkembangan
tuntutan pembaharuan politik dan mendesaknya kebutuhan akan
penegakan kepercayaan politik masyarakat, merupakan alasan kuat bagi
menentukan langkah-langkah yang diperlukan. Karena langkah perubahan
yang diperlakukan itu adalah untuk mengoreksi sistem kekuasaan yang
disentralisasikan, maka sudah pasti arahnya menuju demokratisasi.
63
dan bukan hanya reformasi di bidang politik namun juga melingkupi
bidang ekonomi serta sosial. Melalui Amien Rais yang kala itu merupakan
ketua umum Muhammadiyah menuntut pemerintah agar menjadikan
reformasi sebagai sebuah keharusan yang memang harus segera dilakukan
agar masalah yang terjadi serta tuntutan masyarakat terkait KKN
(korupsi,kolusi dan nepotisme) segera diberantas di dalam pemerintahan.
Dalam melakukan sebuah reformasi tentunya ada hal-hal yang memang
harus dipersiapkan serta ada langkah yang tepat yang harus dilakukan oleh
negara.
64
sebagian pengamat yang mengatakan, bahwa managemen perekonomian
Orde Baru mirip managemen krisis, akan terbukti kembali. Apabila krisis
yang kita alami sekarang tidak disertai dengan usaha-usaha reformasi
jangka panjang.
Kronologi
Pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto mengatakan reformasi baru
dapat dilaksanakan pada 2003, pernyataan tersebut disampaikan melalui
Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Dachlan. Sehari
kemudian, 2 Mei 1998, pernyataan yang mendapat respons keras dari
sejumlah kalangan, termasuk mahasiswa saat itu, diralat oleh Presiden
Soeharto, pihaknya kemudian menyatakan reformasi dapat dilakukan
sejak saat itu, yakni 1998.
65
MPR. Pertemuan dilakukan di kantor Presiden Soeharto di Bina Graha,
Kompleks Istana Merdeka selama 90 menit.
Hasil pertemuan itu disampaikan Menteri Dalam Negeri Hartono
dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan. Hartono mengatakan, dalam
pertemuan tersebut Soeharto menyampaikan keinginannya supaya DPR
menggunakan hak inisiatif, untuk itu Soeharto meminta DPR untuk
menyiapkan perangkat sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk
mereformasi sejumlah rambu-rambu politik.
Naiknya harga BBM di tengah ekonomi masyarakat sedang
terpuruk memicu demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota di Indonesia,
pada 4 Mei 1998 Mahasiswa di Medan, Bandung serta Yogyakarta
melakukan aksi demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan saat para
demonstran bentrok dengan aparat keamanan. Demonstrasi besar-besaran
masih berlanjut hingga 5 Mei 1998 di Medan, demonstrasi ini juga
berujung kerusuhan.
Pada 9 Mei 1998, Soeharto menghadiri pertemuan Konferensi
Tingkat Tinggi atau KTT G-15 di Kairo, Mesir, sekaligus kali terakhir
lawatan Soeharto ke luar negeri sebagai presiden. Kemudian pada 12 Mei
1998, bertepatan dengan hari Selasa pukul 16.30 WIB, ribuan mahasiswa
Universitas Trisakti melakukan aksi damai untuk menyampaikan aspirasi
ke DPR/MPR. Namun aksi pawai tersebut dihadang oleh aparat keamanan.
Peristiwa tersebut berujung pada penembakan aparat keamanan
terhadap demonstran yang mengakibatkan empat orang mahasiswa
Trisakti tewas. Mereka adalah Hafidin Royan, Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, dan Hendryawan, keempat mahasiswa ini dikenang sebagai
pahlawan reformasi dan peristiwa tersebut dinamai Tragedi Trisakti.
Sehari setelah peristiwa berdarah tersebut, sejumlah mahasiswa
dari berbagai Universitas di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang
mendatangi Kampus Universitas Trisakti untuk menyampaikan duka cita.
Namun, secara tiba-tiba menjelang tengah hari sekelompok masa datang
dari Jalan Daan Mogot menuju Kampus Universitas Trisakti dan bentrok
dengan aparat keamanan. Peristiwa tersebut terjadi di bawah jembatan
66
layang Grogol, Jakarta Barat. Hari itu disebut juga dengan Hari Rabu
Kelabu 13 Mei 1998, yang menyebabkan Jakarta jadi kota berdarah.
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 semakin menjadi pada 14 Mei
1998, penjarahan dan perusakan toko dan rumah etnis Tionghoa terjadi di
sejumlah kota di Indonesia. Bahkan penjarahan juga terjadi di sejumlah
pusat perbelanjaan di Jakarta dan sekitarnya, di antaranya Supermarket
Hero, Superindo, Makro, Goro dan Ramayana serta Borobudur. Selain
dijarah dan dirusak, beberapa toko tersebut dibakar oleh massa yang
mengamuk.
Sekitar 288 orang tewas dan 101 mengalami luka-luka akibat
peristiwa itu, data tersebut dicatat oleh Palang Merah Indonesia. Kerugian
DKI Jakarta akibat kerusuhan tersebut diperkirakan mencapai Rp2.5
triliun dengan perincian sebanyak 4.939 bangunan rusak, 21 di antaranya
merupakan bangunan milik pemerintah. Informasi tersebut disampaikan
oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso. Di hari yang sama, Soeharto
yang tengah berada di Mesir, mengatakan di depan masyarakat Indonesia
di Kairo, dirinya bersedia mengundurkan diri apabila rakyat Indonesia
memang benar-benar menginginkan hal tersebut.
67
Kemudian pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa dan delegasi
mendatangi gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi agar
Soeharto mundur dari jabatan presiden, mereka menyebut diri sebagai
delegasi Gerakan Reformasi Nasional. Di depan massa, Ketua DPR/MPR
Harmoko didampingi sejumlah wakilnya mengadakan siaran pers. Dalam
siaran pers tersebut, Harmoko menyampaikan bahwa dirinya dan juga
jajaran DPR lainnya juga menghendaki serta menyarankan agar Presiden
Soeharto mengundurkan diri.
Mendengar kabar tersebut, 19 Mei 1998, Soeharto kemudian
memanggil sejumlah tokoh Islam yang terdiri dari sembilan orang. Di
antaranya yaitu Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan
KH Ali Yafie. Dalam pertemuan tersebut berlangsung selama dua jam
lebih, para tokoh agama ini menyampaikan bahwa rakyat Indonesia tetap
menginginkan Soeharto mundur dari jabatan presiden. Namun Soeharto
tetap kukuh bahwa dirinya tetap bisa mengatasi keadaan saat itu, ia
menolak mundur dan mengusulkan pembentukan Komite Reformasi.
Sehari sebelum mundurnya Soeharto, 20 Mei 1998, malam hari
Soeharto menerima surat hasil keputusan dari 14 Menteri Koordinator
Kabinet Pembangunan VII yang menyatakan sikap tidak bersedia
menjabat sebagai menteri dalam kabinet mendatang yakni Kabinet
Reformasi maupun reshuffle Kabinet Reformasi. Soeharto merasa
terpukul dan ditinggalkan oleh orang-orang kepercayaannya. Malam itu,
setelah berdiskusi dengan sejumlah pejabat, di antaranya Wiranto,
akhirnya Soeharto bersedia melengserkan jabatannya kepada Wakil
Presiden B.J. Habibie dan akan diumumkan keesokan harinya.
68
Awal Mula Kemunculan Reformasi
69
Indonesia memasuki masa peningkatan kekerasan di daerah. Jawa
Timur dilanda pembunuhan misterius (yang mungkin dilakukan oleh unit-
unit tentara) sementara kekerasan agama berkobar di Jakarta, Ambon
(Maluku), Kupang (Nusa Tenggara Timur) beserta Kalimantan Barat.
Selain itu, ada tiga daerah yang memberontak terhadap Pemerintah Pusat:
Aceh (Sumatera), Irian Jaya (Papua) dan Timor Timur.
Lalu pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa
Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang
dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi
yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan
munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai
dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat,
kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang
merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap
reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi
demokrasi.
Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini (Aspinall,
2004), yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2)
Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada korupsi dan
kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga
reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di
kalangan elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi
yang penuh akselerasi tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-
kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk
menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan
demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi
masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih
mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan
ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks
yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk
berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan kritis: Apakah masa
transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk consolidated
democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah
70
consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada sistem
otoritarian dan militeristik?
Menurut Suharso (2002) setidaknya tercatat berbagai paradoks
demokrasi yang patut dikritisi saat ini. Pertama, berkembangnya kekerasan
politik, anarki, radikalisme, percekcokan massal yang sering dilanjutkan
dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai
perilaku menyimpang lainnya yang justru mencerminkan perilaku anti
demokrasi. Politik zero sum game (dan bukan win-win) dalam rangka
menenggelamkan lawan politik menjadi praktek-praktek lazim yang
menumbuhkan rasa takut untuk berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-
diam di berbagai kalangan masyarakat, termasuk mereka yang kritis,
hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan politik yang ada.
Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan kearifan untuk
toleran terhadap perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri mulai
marak, bahkan sampai ke bentuk fisik, dengan menggunakan simbul-
simbul milik partai, kendati harus memakai berbagai fasilitas publik.
Kedua, berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis
dengan mereka yang dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat
kental hanya sekedar demi meraih kemenangan Pemilu tanpa
menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan demokrasi. Ketiga,
demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik
ketimbang sebagai sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde
Baru dihujat habis-habisan, kini sebagian kekuatan demokratik
berargumentasi bahwa demokrasi tidak harus selalu berisi perbedaan tetapi
juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde Lama digugat, kini juga
tumbuh retorika bahwa pilihan tunggal itu juga demokratik. Kesan yang
tumbuh ialah bahwa demokrasi bukan lagi sebagai idealisme dan agenda
yang harus diperjuangkan untuk mencerahkan kehidupan berbangsa dan
bernegara, tetapi lebih sebagai alat dan isu untuk meraih kekuasaan.
71
dibangkitkan kembali, seakan merupakan potret kehidupan politik yang
benar. Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan
mobilisasi simbolsimbol kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka
memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah potensi kepemimpinan baru
yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Tidak jadi soal
apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang
ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik.
Fenomena Pilkada
Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu
dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu
sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Pemilu,
terutama yang baru saja dilaksanakan pada tahun 2004, dan pilkada
langsung yang akan dimulai pada tahun 2005 untuk memilih gubernur,
bupati atau walikota mempunyai makna strategis, tidak saja karena
sifatnya yang berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya, namun yang
lebih penting adalah bahwa dengan Pemilu 2004 dan Pilkada secara
langsung itulah masa depan politik Indonesia dipertaruhkan.
72
masyarakat sebagai hasil aplikasi ideologi pembangunanisme yang
melahirkan sikap apolitik, permisif, ekspresif dan hedonistic.
Setelah kita melewati Pemilu 1999 yang oleh sebagian besar
masyarakat, tidak saja nasional tetapi juga internasional, diakui sebagai
pemilu yang paling demokratis di Indonesia, di kalangan sebagian dari kita
seakan berkembang harapan baru bahwa di negeri kita ini akan segera
terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul dengan sistem
politik yang benar-benar demokratis. Harapan ini nampaknya bagaikan
mimpi di siang hari bolong. Yang terjadi adalah bukannya konsolidasi
demokrasi tetapi justru perkembangan ke arah apa yang disebut frozen
democracy yang antara lain ditandai dengan berkembangnya konflik etnis,
maraknya kekerasan politik secara kolektif, dan lokalitas politik yang
berlebihan.
73
pemerintahan dan masyarakat kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh
politik bertindak hanya bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan
bagi kepentingan rakyat yang mereka wakili. Yang terjadi semakin
transparan di hadapan mata publik bahwa "seni memerintah" (the art of
governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk menipu"(the art of
deceiving) rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan
realitas politik yang tengah kita hadapi saat ini, realitas yang bukan tidak
mungkin akan mendorong terciptanya alienasi politik masyarakat dan
kehidupan politik yang liar, sangat subur bagi persemaian anarkhi dan
kekerasan politik apabila para elit dan tokoh politik gagal untuk mengelola
itu semua.
74
Namun aspirasi mereka seringkali tidak diperdulikan.
Pemerintahan memutuskan sendiri mengenai segala sesuatu yang harus
dilakukan tanpa mendengarkan aspirasi rakyat. Pelaksanaan demokrasi
tersebut semakin dirasa tidak sejalan dengan konsep yang seharusnya dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seringnya tindakan pemerintah yang
mengabaikan aspirasi dari rakyat, akhirnya dapat membuat rakyat kecewa
yang kemudian berakhir dengan hilangnya kepercayaan rakyat pada
pemerintah. Selain itu, rakyat juga dapat melakukan berbagai upaya agar
sebisa mungkin aspirasi dan pendapat yang mereka berikan dapat dilihat
dan didengar oleh pemerintah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
rakyat ketika suaranya tidak didengar adalah dengan melakukan
demonstrasi. Demonstrasi memang menjadi salah satu sarana untuk
menyalurkan suara rakyat.
Namun, rakyat yang ikut berdemonstrasi seringkali tidak
menyalurkan aspirasi mereka dengan baik. Mereka terkadang juga
melakukan perusakan fasilitas umum sebagai tanda protes kepada
pemerintah. Juga ketika pelaksanaan demonstrasi, tidak jarang rakyat
mendapatkan perlawanan dari aparat keamanan karena mengancam
keamanan publik. Sehingga seringkali pelaksanaan demonstrasi ini
berakhir dengan menimbulkan kericuhan publik atau menimbulkan
konflik baru antar kelompok bahkan antar perseorangan.
75
DINAMIKA DEMOKRASI YANG TERJADI DI INDONESIA
A. Problematika Demokrasi di Indonesia
76
Kedua, partai politik merupakan andalan demokrasi. Fungsi partai
politik pasca reformasi menjadi semakin penting karena rotasi elit dalam
pemilu legislatif “mengharuskan” calon didukung oleh partai politik.
Artinya, siapa pun yang ingin menjadi bupati, walikota, atau wakil
presiden harus diangkat melalui partai politik. Memang, dalam rezim
Pilkada, calon independen dimungkinkan untuk mencalonkan diri, tetapi
skalanya masih kecil dan tidak diatur secara konstitusional dalam
pemilihan presiden. Namun, ada kesenjangan besar antara kondisi ideal
(das sollen) dan kenyataan (das sein). Masih banyak partai politik yang
terjebak dalam oligarki dan kegagalan politik, sehingga mengutamakan
kepentingan elit dan pertimbangan finansial dalam perayaan demokrasi
seperti pemilu. Partai politik selalu mementingkan preferensi elit, serta
mempertimbangkan kualifikasi dan kemampuan finansial para kandidat
untuk mengikuti pemilihan umum, daripada aspek kapasitas dan ideologi,
visi, misi, dan integritas kandidat.
77
kehidupan sosial politik dan ekonomi di Papua. Meski sudah diberikan
otonomi khusus, bahkan diberi kebebasan untuk membentuk Majelis
Rakyat Papua (MRP), wilayah Indonesia bagian timur ini masih
bergejolak. Beberapa permintaan perpisahan itu diungkapkan karena
faktor ekonomi dan kesejahteraan yang belum membaik. Tentu saja, fakta
ini harus dibedah dari perspektif demokrasi untuk mengurai kekusutan dan
mencari solusi untuk masalah yang tersisa.
Money Politic
78
kampanye. Politik uang sering dilakukan oleh para pendukung, eksekutif,
atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari-H pemilu umum.
Maraknya kasus money politik sendiri menunjukkan bahwa negeri ini
sedang dilanda krisis kepercayaan diri terutama yang dialami oleh para
kandidat.
Intimidasi
79
Pemilihan Kepala Daerah di Aceh 2017 tidak lepas dari adanya
gangguan berupa intimidasi. Hal itu terungkap dari pantauan langsung
sejumlah forum yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Pilkada Aceh
2017. Salah satu bentuk gangguan intimidasi adalah seperti yang terjadi di
Aceh Barat. Anggota Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi
Kholilullah mengatakan, sehari sebelum pencoblosan, seorang pegawai
Bappeda Aceh Barat menemukan sebuah kotak yang diduga bom.
Pasalnya, di dalam kotak barang itu terdapat kabel. "Pegawai itu curiga,
kemudian lapor polisi. Tidak lama kemudian, tim gegana kepolisian
datang," katanya, Jumat, 17 Februari 2017. Kotak mencurigakan itu, kata
dia, akhirnya diledakkan pada saat itu juga. Tidak terkonfirmasi dari
kepolisian apakah kotak mencurigakan itu bom karena, menurut
Kholilullah, tim gegana keburu meledakkannya pada saat itu juga.
Tragedi Trisakti
80
Sudah bukan rahasia lagi jika ketika masa orde baru demokrasi
adalah sesuatu yang mahal harganya, bahkan untuk menebusnya harus
dibayar dengan nyawa. Sebagaimana yang terjadi pada tragedi trisakti.
Dilatarbelakangi oleh kondisi Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal
1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997-1999.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung
Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
81
untuk disoroti, khususnya kericuhan dalam pendaftaran pemilih, tindakan
manipulasi dalam penghitungan suara, ketidaknetralan birokrasi sipil,
tetap merajalela nya politik uang serta aroma politik uang yang justru
menyelimuti KPU itu sendiri.
82
massa bayaran maka jutaan masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput
adalah saksi-saksi yang niscaya tidak bisa ditutup-tutupi lagi.
Masih banyak lagi kendala demokrasi yang hingga kini masih belum
terselesaikan, seperti persoalan pelanggaran HAM yang belum
terselesaikan di masa lalu, kecenderungan peningkatan TNI dalam
kehidupan politik hingga dinilai membahayakan demokrasi, legitimasi
ganda antara eksekutif dan legislatif, yang menyebabkan inefisiensi dalam
pembuatan kebijakan, dimana semua permasalahan tersebut berujung pada
batalnya demokrasi yang layak dan penerapan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar negara dan konstitusi.
83
B. Solusi Masalah Demokrasi di Indonesia dalam Berbagai
Perspektif
Seberapa kokoh demokrasi Indonesia? Ini pertanyaan kritis,
sekaligus menggambarkan kegalauan menyaksikan arus perkembangan
politik Indonesia yang tidak mencerminkan peningkatan kualitas.
Sekalipun penyelenggaraan demokrasi secara formal prosedural dapat
digolongkan lancar, damai, bahkan kian “mapan”. Akan tetapi, proses dan
capaian perubahan tidak sesuai yang diharapkan. Corak reformasi politik
justru makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan
manuver politik dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa
kuasa yang menyertai hingar bingar demokrasi. Di situlah muncul gejala,
mungkin bisa disebut sinyalemen, bahwa demokrasi Indonesia terasa
goyah. Jika demokrasi itu diibaratkan rumah atau bangunan, maka pilar
penyangganya adalah parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum.
Karena itu kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu, apakah
bangunan demokrasi itu akan kokoh dan kuat, atau sebaliknya rentan dan
potensial roboh. Dari refleksi atas perjalanan sejauh ini menunjukkan,
bahwa ketiga pilar itu sedang mengalami proses perapuhan serius.
84
Sayangnya, perwujudan kebebasan masyarakat sipil itu terus
terganggu. Gejala keterancaman itu terus bermunculan yang nampaknya
berproses dan bersumber dari dua kutub selama lima tahun terakhir. Pada
kutub negara muncul sejumlah regulasi dan instrumen kebijakan yang
orientasinya mengekang kebebasan masyarakat sipil. Sementara pada
kutub masyarakat sendiri berlangsung fenomena dominasi baru kelompok
kuat pada golongan minoritas. Ada gejala kecenderungan menebalnya
sentimen identitas yang secara sepihak mengambil alih peran negara
seolah merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan pengatur.
85
was, galau, atau kekhawatiran akan masa depan demokrasi. Bangunan
demokrasi begitu rentan, dan bisa saja setiap saat terancam roboh jika
diterpa gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Atau peristiwa-
peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibanding kekuatan
bangunan sehingga dapat saja meluluhlantakkan demokrasi Indonesia.
Kalau hingga hari ini kita masih mampu menyelenggarakan
pemilu, pemilukada, persidangan parlemen, serta kerja pemerintahan,
namun kesemua itu dapat dianggap bagian saja dari ornamen
kelangsungan sistem politik dan pemerintahan yang memang
dilangsungkan secara formal. Padahal, demokrasi yang demikian tidak
akan menghasilkan tenaga untuk menggapai tujuan bernegara
sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Kita memerlukan demokrasi
yang substantif. Melampaui dari sekadar ritual, rutinitas atau
instrumentatif belaka. Sekarang solusinya adalah bagaimana
menghadirkan corak bernegara yang mampu menjamin sistem
pemerintahan akuntabel dan responsif, perlindungan hak-hak warga
negara dari negara, serta penegakan hukum demi mewujudkan keadilan
secara nyata.
Oleh karena itulah, tantangan terbesar mencegah robohnya
demokrasi, bagaimana memperbaiki dan memperkuat kembali pilar-pilar
itu sesuai prinsip demokrasi yang benar, di atas fondasi cita-cita
keindonesiaan. Sudah terlalu banyak politisi dihukum, baik oleh hakim
karena urusan korupsi dan masalah pidana lainnya, maupun oleh rakyat
dalam pemilu karena mengabaikan amanat. Namun demikian belum juga
jera. Sekalipun kita menghujat dan mencaci maki politisi dan parpol, kita
tidak mungkin mengingkari betapa pentingnya posisi dan peran parpol jika
kita bersepakat dengan demokrasi.
Oleh karena itulah, tantangan kita adalah di satu sisi harus selalu
mengingatkan dan mengontrol parpol untuk segera berbenah, mereformasi
organisasi mesin kekuasaan ini agar dikembalikan ke jalan yang benar.
Sebegitu besarnya otoritas atau kuasa politik yang digenggamnya di dalam
mengoperasikan kewenangannya tentu harus diimbangi komitmen
membangun etika berpolitik, kemampuan organisasi dalam mencetak
pemimpin, serta ketrampilan mengolah aspirasi rakyat menjadi kebijakan.
86
Tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi kompatibel dengan tugas
dan fungsinya menjalankan sistem bernegara.
Sementara pada sisi lain, upaya pendidikan politik, pencerahan dan
pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlementaris
sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang parpol. Masyarakat yang
cerdas dan berdaya jangan dianggap sebagai ancaman parpol. Tetapi perlu
dibaca sebagai partner, atau bagian dari kontestasi perebutan pengaruh.
Bahkan, warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong parpol
untuk makin kompetitif dan berbenah diri. Di situ kita akan menyehatkan
dua pilar: parpol danmasyarakat sipil.
Jikalau kita memiliki parpol yang kredibel dalam membentuk
struktur parlemen, masyarakat yang kritis membentuk struktur
pemerintahan, maka akan menghasilkan hukum yakni regulasi, produk
perundangan serta kebijakan yang akuntabel sebagaimana dikerangkai
dalam sistem demokrasi. Sejak presiden Joko Widodo menggemakan
istilah “Revolusi Mental”, kata revolusi menjadi lebih sering muncul ke
permukaan. Meminjam istilah yang digunakan Jokowi, bahwa revolusi
diartikan sebagai terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-
tuntasnya segala praktik buruk yang sudah ada sejak era orde baru. Dilihat
dari sisi etimologis, revolusi berasal dari kata “to revolve” yang berarti
“kembali lagi”. Revolusi berusaha mengembalikan suatu kondisi yang
dirasa sudah tidak ideal agar sesuai dengan nilai ideal yang telah
dicitacitakan. Singkatnya, Revolusi merupakan suatu perubahan mendasar
dalam ranah mental maupun materiil yang bertujuan untuk memperbaiki
tatanan agar sesuai dengan konstruksi ideal. Revolusi juga tidak selalu
berlangsung secara cepat. Revolusi Industri di Eropa misalnya,
berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun.
87
menjadi hal yang patut dipandang positif. Namun demikian, demokrasi
bukanlah tujuan akhir dari reformasi. Demokrasi hanyalah sebuah alat
menuju cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Menilai pelaksanaan
demokrasi di Indonesia dapat diukur melalui ketercapaian cita-cita bangsa
ini. Sayangnya, bangsa ini justru terlihat semakin jauh dari cita-cita
kemerdekaan yang telah dirumuskan oleh para founding father. Salah satu
penyebabnya adalah pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang masih jauh
dari ideal. Pelaksanaan demokrasi di negeri ini mulai memunculkan rasa
kecewa pada masyarakat luas. Revolusi demokrasi merupakan langkah
yang harus segera diambil untuk memperbaiki demokrasi sekaligus
menyelamatkan bangsa ini. Bagaimana melaksanakan revolusi demokrasi
di Indonesia? Berbagai persoalan pelaksanaan demokrasi di Indonesia
tentu perlu dikupas secara lebih mendalam agar ditemukan titik pangkal
persoalannya. Berbagai macam karya ilmiah maupun opini di surat kabar
telah muncul untuk menjawab persoalan ini. Meskipun demikian, fakta
tersebut tidak membuat topik ini menjadi tidak menarik untuk dikaji.
Karya-karya tersebut perlu didiskusikan lebih lanjut secara terusmenerus.
Sintesa dari proses dialektis ini yang nantinya diharapkan memunculkan
gagasan baru guna memperbaiki pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Sebuah Paradoks Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang
disepakati oleh founding father bangsa Indonesia. Soekarno dengan tegas
menyampaikan hal tersebut dalam pidatonya dalam sidang pertama
BPUKI tanggal 1 Juni 1945. Soekarno mengusulkan “mufakat dan
demokrasi” sebagai prinsip penyelenggaraan negara Indonesia. Usulan
Soekarno tersebut mendapat persetujuan dari anggota sidang. Prinsip
“mufakat dan demokrasi” ini akhirnya disahkan pada sidang kedua
BPUPKI tanggal 22 Juni 1945. Prinsip demokrasi yang disepakati ini
sejalan dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia yang dijabarkan oleh Hatta
sebelumnya. Prinsip demokrasi Indonesia ini mengalami pasang surut
dalam penerapannya. Pemerintah Indonesia sempat menerapkan sistem
demokrasi parlementer pada tahun 1945-1959. Pada era ini, kabinet silih
berganti memegang pucuk pimpinan pemerintahan. Instabilitas politik ini
menimbulkan kekecewaan dimana-mana.
88
Salah satu peristiwa penting yang menjadi ekspresi kekecewaan rakyat
terhadap sistem demokrasi pada masa ini adalah Peristiwa 17 Oktober
1952. Sekalipun pada era ini pemerintah berhasil menyelenggarakan
pemilihan umum tahun 1955, namun era parlementer ini gagal dalam
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Wakil rakyat yang duduk
di parlemen lebih memilih untuk memperjuangkan kepentingan golongan
daripada kepentingan rakyat. Soekarno yang geram akan peristiwa tersebut
akhirnya mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi tentang
pembubaran parlemen. Dekrit tersebut menjadi penanda berakhirnya era
parlementer sekaligus menjadi awal dimulainya era demokrasi terpimpin.
Pelaksanaan demokrasi terpimpin didominasi oleh gagasan dan
kepribadian Soekarno.
Bagi Soekarno, Demokrasi terpimpin merupakan satu kesatuan
yang tidak boleh dipisahkan. Demokrasi saja bisa menyeleweng menjadi
liberalisme, sementara terpimpin saja bisa menyeleweng ke diktatur fasis.
Sistem demokrasi terpimpin yang pada awalnya dianggap lebih baik dari
sistem parlementer ternyata berubah menjadi sistem pemerintahan yang
cenderung otoriter. Parlemen serta Konstituante hasil pemilihan umum
1955 dibubarkan, beberapa partai dan organisasi yang dianggap tidak
sejalan dengan gagasan Soekarno dibubarkan. Akibatnya, lembaga politik
yang ada pada masa tersebut gagal melaksanakan fungsi politiknya. Sistem
ini akhirnya mengalami kejatuhan pasca peristiwa Gerakan 30 September
1965.
89
diselenggarakan penuh dengan manipulasi dan kecurangan. Hak-hak
politik rakyat dipasung dan kebebasan berpendapat menjadi hal yang sulit
ditemukan. Mekanisme politik tersebut yang membuat proses politik tidak
berlangsung demokratis. Segala tindak represif ini mencapai
antiklimaksnya pada tahun 1997-1998 saat krisis ekonomi melanda
beberapa negara di Asia termasuk Indonesia.
Melemahnya perekonomian Indonesia secara drastis menjadi dalih
utama untuk menurunkan Soeharto dari jabatannya sekaligus menandai
berakhirnya era Orde Baru. Gelombang demokratisasi menjadi hal yang
tidak terelakkan lagi. Reformasi 1998 menjadi antiklimaks pemerintahan
Orde Baru. Pelaksanaan demokrasi Indonesia di era reformasi juga tidak
luput dari sejumlah hambatan. Hambatan utama pelaksanaan demokrasi
pada saat ini adalah sistem Kapitalisme yang dianut oleh Indonesia.
Kapitalisme menciptakan ketidaksetaraan dalam bidang ekonomi. Sejalan
dengan hal tersebut, ketidaksetaraan dalam akses politik juga terjadi pada
masyarakat. Sumber daya politik tidak dapat didistribusikan secara merata
dalam sistem Kapitalisme. Akses terhadap pemerintahan kini hanya
dimiliki oleh orang-orang kaya yang memiliki modal. Kebijakan yang
muncul dalam sistem ini seringkali tidak mengindahkan kepentingan
rakyat banyak karena terfokus pada kepentingan para pemilik modal.
Singkatnya, penyelenggaran pemerintahan selama ini hanya
didasarkanpada kepentingan segelintir golongan elit. Pola kekuasaan ini
yang oleh Richard Robinson dan Vedi Hadiz disebut sebagai oligarki
kompleks. Oligarki kompleks merupakan suatu sistem pemerintahan yang
seluruh kekuasaan politiknya dipegang oleh segelintir elit untuk
kepentingan golongan elit itu sendiri. 1 Golongan elit tersebut terdiri dari
pejabat negara, keluarga pejabat, serta para konglomerat bisnis. Sistem
oligarki kompleks ini berkembang sejak era Orde Baru.
Ketika Orde Baru runtuh, sistem ini tidak serta merta ikut hilang
begitu saja. Sistem ini mampu bertransformasi untuk mempertahankan
hegemoni yang telah lama terbentuk. Desentralisasi pemerintahan ternyata
masih belum cukup ampuh untuk menghapus oligarki tersebut. Terbukti,
para pemegang kekuasaan saat ini baik di pusat maupun daerah merupakan
representasi dari golongan elit tersebut. Sistem oligarki kompleks ini
90
memperkuat jurang ketidaksetaraan dalam masyarakat yang inheren dalam
masyarakat kapitalis. Hak-hak ekonomi dan politik rakyat banyak yang
tidak terpenuhi. Golongan elit telah merampas hak-hak rakyat tersebut.
Kebijakan yang pro-rakyat semakin sulit terealisasikan. Demokrasi
sebagai sistem seolah tidak mampu memberikan tempat bagi rakyat untuk
merealisasikan keinginan mereka. Secara substantif, ketidaksetaraan ini
jelas sangat berlawanan dengan prinsip dasar demokrasi yang
mengedepankan kesetaraan. Paradoks inilah yang terjadi dalam
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Siapa yang harus bertanggung jawab
untuk menyelesaikan persoalan tersebut? Pemerintah serta masyarakat
luas harus bertanggung jawab untuk menghapus paradoks tersebut.
Pemerintah sejauh ini masih gagal mengambil tindakan maupun membuat
regulasi yang menjamin kesetaraan dalam masyarakat. Ironisnya para
pemangku kebijakan merupakan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu
yang demokratis. Demokrasi seolah tidak dapat lepas dari misrepresentasi.
Kegagalan wakil rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat
mengakibatkan banyak kepentingan rakyat tidak terakomodir.
Misrepresentasi demokrasi telah melahirkan kekecewaan pada rakyat
Indonesia. Persoalan tersebut harus segera dicari solusinya untuk
menghapus kekecewaan rakyat sekaligus memperbaiki demokrasi
Indonesia. Jalan yang saya tawarkan untuk menyelesaikan persoalan
tersebut adalah revolusi demokrasi.
Dari mana revolusi itu dimulai? Siapa pula aktor yang akan
melaksanakan revolusi tersebut? Bagaimana pelaksanaannya? Sederet
pertanyaan tersebut yang mungkin akan hadir dalam pikiran kita saat
muncul wacana revolusi demokrasi. Satu hal yang pasti adalah revolusi
tersebut harus dimulai sejak saat ini. Pelaksanaan demokrasi Indonesia
tidak boleh lepas dari konteks sosiohistoris bangsa Indonesia. Demokrasi
yang berkembang di Indonesia merupakan hasil peleburan nilai-nilai
positif yang diserap dan diolah secara kreatif sehingga memunculkan
demokrasi Indonesia. Sekalipun pada perkembangannya terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
hal tersebut tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk berhenti berusaha
merealisasikan demokrasi Indonesia dalam bentuk nyata. Kapitalisme
global melahirkan kesenjangan ekonomi-politik dan hegemoni segelintir
91
elit terhadap masyarakat. Hal tersebut menjadi realita yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia saat ini.
Demokrasi Indonesia sejatinya menentang keras hal tersebut.
Demokrasi Indonesia mengidealkan sinergi antara demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Soekarno menyebut perpaduan keduanya dengan
istilah sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi merupakan demokrasi yang
menekankan kemerataan dalam bidang politik dan juga ekonomi. Hal ini
yang membedakan demokrasi Indonesia dengan demokrasi Barat yang
mengagungkan kebebasan individu diatas segalanya. Kebebasan individu
mutlak inilah yang menjadi titik pangkal kemunculan penindasan dan
ketidaksetaraan dalam masyarakat. Sosio-demokrasi inilah yang harus
diwujudkan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Rakyat pada saat ini
memang memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Pemilu yang
dilaksakan juga relatif berjalan lebih demokratis bila dibandingkan era
sebelumnya, tetapi hal tersebut tidaklah cukup. Rakyat tidak hanya
diberikan kebebasan atas hak politik tetapi juga hak ekonomi. Rakyat
harus menikmati kesetaraan dalam bidang ekonomi. Tanpa hal tersebut,
demokrasi politik tidak akan berarti banyak. Sesungguhnya dasar negara
dan konstitusi kita telah menjamin hal tersebut. Meskipun demikian hal
tersebut ternyata belum mampu diwujudkan kedalam ranah praktis
kehidupan rakyat Indonesia. Sosio-demokrasi ini hanya bisa terwujud
apabila ada partisipasi aktif dari seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi
bagaimanapun merupakan alat untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur. Seluruh rakyat harus menggunakan alat tersebut secara
gotong-royong hingga terciptanya masyarakat yang adil dan makmur
tersebut. Rakyat harus terlibat secara aktif dalam bidang politik dan
ekonomi tanpa ada kesenjangan didalamnya. Nilai-nilai kolektif,
kesetaraan, serta kemanusiaan yang diuraikan Hatta sebagai paradigma
mentalkultural demokrasi Indonesia harus dihayati dan dilaksanakan
secara penuh dalam proses ini. Singkatnya, mewujudkan sosio-demokrasi
sama artinya dengan melaksanakan revolusi demokrasi.
92
Edward Said merupakan individu yang dikaruniai bakat untuk
merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan,
pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada publik.Kaum
intelektual harus terlibat aktif dalam ranah politik ataupun kultural dalam
memajukan bangsa. Hal tersebut telah dibuktikan dalam sejarah bangsa
Indonesia ketika para pribumi terpelajar menjadi pelopor kebangkitan
nasional. Singkatnya, kaum intelektual memiliki tanggung jawab historis
untuk memperbaiki kondisi bangsa yang karut-marut. Pada masa kini,
kaum intelektual harus mampu mengubah struktur sosial yang secara
terselubung menindas hak- hak politik dan ekonomi rakyat. Dengan
demikian, kaum intelektual harus dapat menunjukkan perannya sebagai
agen perubahan untuk mengakomodir kepentingan rakyat banyak. Ide-ide
kerakyatan harus diperjuangkan secara serius sehingga hak-hak sosial,
ekonomi, serta politik rakyat dapat terpenuhi.
Langkah kedua adalah mendorong negara agar mampu
menciptakan regulasi yang melindungi hak-hak ekonomi rakyat.
Kapitalisme global telah membuat para pemilik modal memonopoli
sumber daya ekonomi yang tersedia. Sistem ini yang kemudian melahirkan
eksploitasi dalam masyarakat. Eksploitasi ini membuat bagitu banyak
rakyat jatuh miskin. Negara harus hadir dan menyelesaikan persoalan ini.
Regulasi terhadap pengelolaan ekonomi harus dibuat agar rakyat tidak
semakin hidup sengsara dalam sistem ekonomi Kapitalis. Negara harus
menerapkan menyelenggarakan perekonomian yang berjiwa kooperasi.
Perekonomian yang berjiwa kooperasi dicirikan pelaksanaan roda
perekonomian yang melibatkan rakyat secara aktif sejak proses produksi
hingga hasil akhir.Negara harus menjamin rakyat memiliki hak yang setara
untuk mengelola sumber daya alam dan faktor-faktor produksi. Negara
juga harus menjamin pemanfaatan sumber daya alam digunakan seluas-
luasnya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak sesuai dengan amanat
UUD 1945. Hal ini hanya dapat terwujud apabila pemerintah baik
eksekutif maupun legislatif peka terhadap permasalahan rakyat dan
memiliki keberanian untuk memperjuangkan hal tersebut. Negara harus
mampu mengedepankan kepentingan rakyat dan tidak tunduk kepada
kepentingan para pemilik modal. Jika hal ini terwujud, kesejahteraan
rakyat dapat tercipta dan hak-hak ekonomi rakyat dapat terpenuhi.
93
Langkah terakhir adalah menjadikan rakyat sebagai subyek demokrasi
penuh. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melibatkan rakyat dalam
keputusan-keputusan strategis negara. Salah satu contohnya ialah dengan
melakukan referendum untuk memutuskan kenaikan harga BBM.
Keterlibatan langsung rakyat melalui referendum ini penting karena
pemerintah harus memastikan kebijakan yang diambilnya didukung penuh
oleh rakyat. Apabila hasil referendum ternyatan rakyat menolak kenaikan
harga BBM, maka pemerintah harus mencari opsi kebijakan lain. Hal
tersebut juga berlaku dalam kebijakan strategis lain. Langkah ini secara
praktis akan meminimalisir kepentingan golongan elit terhadap kebijakan
strategis negara karena harus berhadapan langsung dengan suara rakyat.
Dengan demikian rakyat benar-benar terlibat aktif dalam proses
penyelenggaraan negara karena segala kebijakan pemerintah harus
mendapatkan persetujuan dari rakyat. Kedaulatan rakyat dapat terwujud
melalui langkah ini. Revolusi demokrasi merupakan jalan yang bisa
ditempuh untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Rakyat Indonesia
tentu sudah mulai jenuh dan kecewa melihat pelaksanaan demokrasi yang
didominasi oleh golongan elit sehingga membutuhkan perubahan. Disisi
lain melaksanakan demokrasi revolusi tentu tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Kita perlu belajar kembali menggali nilai-nilai demokrasi
Indonesia. Nilai-nilai tersebut mencakup nilai kolektivisme, kesamaan
derajat, serta kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut harus dihayati dan
diamalkan untuk melaksanakan dan mewujudkan sosio-demokrasi. Pada
akhirnya untuk menjawab pertanyaan saya diatas, saya berkeyakinan
bahwa revolusi bisa dimulai dari mana saja dan aktor utama revolusi
merupakan rakyat yang memiliki kesadaran serta keberanian untuk
mengubah karut-marut demokrasi Indonesia. Kita harus mampu menjadi
aktor revolusi tersebut
Demokrasi merupakan pemerintahan yang berasal dari, oleh, dan
untuk rakyat. Kedaulatan rakyat merupakan hal terpenting dalam
demokrasi. Demokrasi harus mampu memberi perlindungan kepada
seluruh anggota masyarakat tanpa memandang latar belakang anggota
masyarakat tersebut. Demokrasi selalu mengidealkan kesetaraan seluruh
anggota masyarakat. Hal inilah yang kiranya menjadi alasan utama
founding father bangsa Indonesia memilih demokrasi sebagai sistem
94
pemerintahan negara Indonesia yang multikultur. Konsep demokrasi
Indonesia dirumuskan secara apik dalam sila keempat dasar negara
Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sejarah mencatat
bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia selalu gagal merealisasikan
cita-cita luhur sila keempat Pancasila tersebut. Indonesia pernah terjebak
pada sistem demokrasi liberal antara tahun 1945-1959. Era selanjutnya
ditandai dengan pemerintahan semi otoriter selama era Orde Lama (1959-
1965) dan Orde Baru (1966-1998). Pengalaman pahit pelaksanaan
demokrasi tersebut kiranya menjadi stimulus bagi golongan reformis kala
melancarkan aksi Reformasi tahun 1998. Sayangnya reformasi 1998 masih
belum mampu mewujudkan demokrasi Indonesia yang sesungguhnya.
Dominasi Kapitalisme global dan hegemoni golongan elit dalam bidang
politik-ekonomi menjadi hambatan utama realisasi demokrasi Indonesia
yang ideal. Demokrasi telah melahirkan kekecewaan. Rakyat mulai jenuh
terhadap segala sistem yang tidak peka terhadap kepentingan mereka. Dari
sinilah revolusi dilahirkan. Revolusi demokrasi merupakan hal yang harus
segera dilaksanakan di negeri ini. Secara sederhana, revolusi demokrasi
sama artinya dengan melaksanakan demokrasi di bidang politik dan bidang
ekonomi, sesuai dengan yang konsep sosio-demokrasi Soekarno.
Melaksanakan revolusi demokrasi berarti menerapkan sosio-
demokrasi. Ada tiga langkah yang bisa diambil, pertama mendorong
keterlibatan aktif kaum intelektual sebagai agen perubahan, kedua negara
harus mampu menciptakan regulasi yang melindungi hak-hak ekonomi
rakyat, dan ketiga menjadikan rakyat sebagai subyek demokrasi penuh.
Ketiga langkah tersebut harus segera diwujudkan agar cita-cita bangsa
Indonesia yang dirumuskan oleh founding father bangsa ini dapat
terwujud.
95
DAFTAR PUSTAKA
96
Amien Rais, Pengantar Dalam Demokrasi dan Proses Politik,
LP2ES, Jakarta.1986.
Apter, David. 1990. The Politics of Modernization. Chicago:
University of Chicago Press.
97
Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Masalah dan Masa Depan Demokrasi
Terpimpin Konstitusional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Feith, Herbert. 1971. The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia. Ithaca: Cornell
98
Lombard, Dennys., Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I: Batas-batas
Pembaratan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Lutfi Wahyudi, DEMOKRASI ORDE BARU: Sebuah Catatan
Bagi Masa Depan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 05 Juli 2022
pada 09.00
99
Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek
Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif Dan Legislatif Negara
Indonesia, UGM, Yogyakarta.1970.
100
Soebiantoro, M. dkk. (1998). Pengantar ilmu politik. Purwokerto:
Unsoed.
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta, 1965).
Sorensen, George. (2003). Demokrasi dan demokratisasi proses
dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah. Terj. I Made
Krisna, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharso. 2000. "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud
MD (eds), Wacana Politik,
101