Anda di halaman 1dari 4

KASUS BULLYING DI SEKOLAH DASAR

Pada era sekarang ini kasus bullying telah menjamur baik dikalangan anak kecil, remaja, dewasa maupun
lansia dan tidak mengenal entah dari kalangan bawah atas maupun menengah dan dapat terjadi di
lingkungan mana saja. Ironisnya kebanyakan dari mereka tidak sadar bahwa mereka telah melakukan
tindakan bullying. Bullying adalah isitlah yang digunakan untuk menunjuk perilaku agresif sesorang atau
sekelompok orang yang dilakukan secara berulang-ulang terhadaap orang atau sekelompok orang lain
yang lebih lemah untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental, yang berupa kekerasan dalam
bentuk fisik, verbal, maupun mental atau gabungan dari ketiganya (Olweus, 1933 dalam el-tarbawj
jurnal pendidikan islam 2011). Padahal dampak dari perilaku bullying sangat mengancam bagi korban
bahkan sifatnya tidak hanya sementara. Karena tentu si korban akan merasakan cemas, merasa tidak
aman, merasa rendah diri atau bahkan merasa terisolasi dan dari semua itu bisa bermuara ke tindaakan
bunuh diri. Efek jangka panjang dari bullying bisa saja tidak disadari baik oleh pelaku, korban maupun
korban, karena dampaknya lebih bersifat psikis dan emosi yang tidak terlihat dan prosesnya sangat
perlahan (Baliyo, 2011).

Adinda Nur Fadillah siswi kelas anak kelas 3 SDN Pelita 169 yang memiliki trauma yang mendalam
terhadap temannya. Bermula dari dirinya mendapatkan hadiah karena menjadi bintang kelas, Kemudian
Adinda selalu diejek oleh temannya. mereka melabeli bahwasannya Adinda adalah anak kesayangan
gurunya, mereka beranggapan kalau Adinda selalu dipilih kasih. Tindakan agresi semacam itu terus
menerus dilakukan oleh temannya. Setiap kali Adinda mendapatkan kebaikan di sekolahnya beberapa
temannya selalu mengejeknya selalu mengatakan yang tidak semestinya kepada Adinda. Setiap kali
diperlakukan seperti itu Adinda hanya diam saja, Adinda tidak berani melawannya karena Adinda ini tipe
anak yang pendiam tapi sekalinya diusik dia sabar. Sehingga Adinda munculah rasa takut kepada
temannya, awalnya efek yang mucul dari bullying tersebut hanya berupa menangis kalau sampai
dirumah. Setelah lama kemudian dampak yang timbul adalah sahrul selalu sesak nafas ketika si teman
tadi mengejek dirinya. Dan ketika mau berangkat sekolah pun raut wajahnya kelihatan ketakutan dan
selalu menghela nafas, nampaknya dia mengangap sekolahan itu adalah tempat yang menyeramkan, dia
tidak lagi nyaman dengan keadaan lingkungan yang sekarang. Parahnya lagi dampak dari tindakan
tersebut saat ini Adinda sering murung dan melamun.

Kenapa hal semacam itu bisa terjadi? Dimana peran guru? Perlu ditandaskan lagi sebagai tenaga
kependidikan guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi pelajaran tetapi juga berperan
sebagai pendidik (Maria, 2014). Guru seharusnya selalu menanamkan pada anak didiknya supaya bisa
percaya diri berani dalam kebenaran. Sehingga ketika anak didiknya dalam posisi yang benar kemudian
dibully temannya, dia bisa melawan, dan hasilya kegiatan bullying tersebut tidak terjadi lagi. Kebanyakan
guru sekarang ini menngabaikan tentang kewajibannya sebagai pendidik dan tidak sedikit pula mereka
yang mengabaikan tentang dampak bulyying atau mereka menganggap bahwa seperti itu adalah hal
yang wajar bahkan tanpa disadari terkadang gurunya juga melakukan tindakan tidak terpuji semacam
itu. Anak didik itu perlu diajari tidak hanya dimarahi. Jadi jangan hanya memarahi anak didiknya yang
sering menakali temannya tapi sebagai guru juga harus mengajari anak didiknya untuk tidak melakukan
bullying, paling tidak dengan menerapkan pada diriya sendiri dengan cara tidak melakukan bullying
kepada anak didiknya. Banyak kasus yang terjadi guru biasanya mengatakan kepada anak didiknya hal
yang yang kurang pas. Misalnya mengatakan “kamu itu selalu terlambat masuk kelas”, “kamu itu
pemalas” dan lain lain. Hal semacam itu sudah termasuk bullying kalau itu dilakukan secara berulang-
ulang, dan perkataan tadi akan termindset di fikiran anak dan mereka akan merasa “oh iya aku itu
pemalas” sehigga jadilah mereka pemalas yang sesungguhnya.

Penting untuk disampaikan pengetahuan tentang bullying kepada guru dan peserta didik. Supaya
mereka sama-sama sadar bahwasanya hal seremeh itu menyebabkan akibat yang sangat fatal. Seorang
pendidik harus mengerti bagaimana mengatasi siswa yang suka membully. Seorang pendidik harus tahu
bagaimana latar belakang siswa yang memiliki “perilaku yang berbeda” sehingga bisa menerapkan
metode yang tepat untuk mengatasi siswa tersebut. Sebagai peserta didik juga jangan sampai
memeberikan peluang untuk di bully, karena kasus bullying bisa terjadi jika ada celah di dalamnya. Selagi
dalam koridor kebenaran jangan takut, harus berani melawan untuk menegakkan kebenaran.

Pada tanggal 19 Desember 2022 saya mendatangi Sekolah Dasar Pelita 169 yang berlokasi di Jalan Desa
Cipadung , saya melakukan identifikasi siapa anak yang beresiko mengalami trauma atau sedang
mengalami trauma. saya mengamati perubahan perilaku dan gejala emosional anak yang menjadi
indikator terjadinya reaksi stress traumatik. Selanjutnya, yang saya lalukan ialah memberikan Bantuan
Psikologis Pertama (Psychological First Aid) bagi anak dengan trauma. Psychological First Aid bertujuan
untuk membangun resiliensi anak menghadapi traumanya, dengan juga mengakui pengalaman
traumatik yang dialaminya. Hal yang penting dilakukan Guru dalam Psychological First Aid adalah
membangun persepsi anak bahwa ia berada dalam lingkungan yang sungguh aman. Selanjutnya, anak
akan diajak untuk memahami apa saja reaksi alamiah manusia menghadapi stress/trauma, lalu anak
dibantu untuk mengekspresikan perasaannya dan membantu anak untuk bisa mengidentifikasi pemicu
traumanya serta cara-cara untuk mengelola kecemasannya tersebut. Proses ini sering berlanjut dengan
konseling. Guru dapat merujuk anak yang membutuhkan bantuan konseling lanjutan pada professional,
seperti: konselor sekolah, psikolog klinis, atau terapis trauma anak dan remaja. Jika anak mendapatkan
bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya, maka dapat menurunkan munculnya perilaku bermasalah
pada anak dengan trauma (NCTSN, 2016).

Pemulihan trauma di Sekolah

Sebagian besar anak akan pulih dari trauma secara alamiah, dengan proses dan kecepatan pemulihan
yang berbeda-beda satu dengan yang lain (dipengaruhi oleh bentuk trauma, kemampuan
coping/pengelolaan masalah, usia, pengalaman trauma sebelumnya, temperamen anak, dll.)

Namun Guru dapat membantu proses alamiah ini agar dapat berlangsung secara lebih optimal. Berikut
adalah beberapa hal yang perlu dilakukan untuk pemulihan anak dengan trauma:

1. Menjaga rutinitas: pada usia sekolah, rutinitas sekolah memberikan rasa aman yang besar bagi
anak yang mengalami trauma. Karena dengan rutinitas aktivitas sekolah anak mendapatkan
perasaan “normal”. Aktivitas sekolah juga dapat menjadi wadah berbagi pengalaman bagi anak
dan saling memberikan dukungan antara satu dengan yang lain. Hal-hal ini dapat mendukung
terjadinya pemulihan bagi anak.
2. Menggunakan dukungan komunitas: sekolah dapat bekerjasama dengan komunitas untuk
menciptakan lingkungan yang aman bagi anak. Contohnya: pembangunan kembali lingkungan
dapat memberikan perasaan aman bagi anak yang trauma pasca bencana; atau berkembangnya
sistem buddy dan pengawasan Guru selama jam bermain yang mencegah terjadinya bullying di
sekolah dapat menumbuhkan perasaan aman bagi anak yang mengalami trauma bullying.

Simpulan

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendampingan anak dengan trauma di sekolah
adalah hal yang penting. Baik guru ataupun orang tua perlu menguasai strategi pendampingan anak
dengan trauma di sekolah, terutama agar anak merasa aman dan nyaman belajar dan beraktivitas di
sekolah. Oleh karena itu, sudah selayaknya layanan pendampingan dan pemulihan trauma
dikembangkan dan disiapkan di setiap sekolah. Layanan pendampingan dan pemulihan trauma bisa
diperuntukkan bagi anggota sekolah yang membutuhkan (misal: murid, Guru, keluarga dan staf di
sekolah).

Lebih lanjut, perlu dipahami walau Guru adalah orang diandalkan untuk berhadapan secara langsung
dengan anak, namun Guru tidak harus memberikan treatmen psikis pada anak. Treatment psikis khusus
harus diberikan oleh tenaga kesehatan mental profesional (konselor sekolah, psikolog, terapis trauma
anak dan remaja). Guru bisa melakukan perujukan pada kasus-kasus yang membutuhkan penanganan
intensif.

Terakhir, sekolah juga perlu membangun kerjasama internal (dengan sesama staf sekolah) dan eksternal
(keluarga, komunitas) untuk mempersiapkan dan melakukan pendampingan pemulihan trauma. Hanya
dengan kerjasama demikian, maka anak akan mendapatkan bantuan yang komprehensif untuk
melanjutkan hidup dan belajar pasca trauma.
Meutia Annastiti

1214040054

Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Anda mungkin juga menyukai