Anda di halaman 1dari 162

PSIKOLOGI POSITIF

DALAM BERBAGAI KONTEKS


Prof. Dr. Dimyati, M.Si.
Prof. Dra. Yulia Ayriza, M.Si, Ph.D.
Dr. Farida Harahap, M.Si.
Dr. Farida Agus Setiawati, M.Si.
Dr. Kartika Nur Fathiyah, M.Si.
Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si.
Dr. Rosita Endang Kusmaryani, M.Si.
Dr. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si.

Diterbitkan oleh:
Bimedia Pustaka Utama
2022
PSIKOLOGI POSITIF
DALAM BERBAGAI KONTEKS
Copyrights©Dimyati et.al.

Penulis: Prof. Dr. Dimyati, M.Si.


Prof. Dra. Yulia Ayriza, M.Si, Ph.D.
Dr. Farida Harahap, M.Si.
Dr. Farida Agus Setiawati, M.Si.
Dr. Kartika Nur Fathiyah, M.Si.
Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si.
Dr. Rosita Endang Kusmaryani, M.Si.
Dr. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si.

Editor ahli:
Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S., Psikolog

Editor naskah:
Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si.

Desain sampul:
Anang Solihin W.

Penata letak:
Beni Subarna

Ilustrasi sampul:
https://simental.id/pengertian-psikologi-menurut-para-ahli/?amp=1

Diterbitkan oleh:
Bimedia Pustaka Utama
Jalan Babakan Loa Permai No. 13
Padalarang Bandung Barat 40553
Email: info@bimediapustaka.com
Web: www.bimediapustaka.com

Bekerja sama dengan:


Magister Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta

Cetakan Pertama, Oktober 2022


vi + 156 hlm. 15,5 cm x 23 cm
ISBN: 978-623-88135-7-5

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip


atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
KATA PENGANTAR

Psikologi Positif
Pada awalnya Ilmu Psikologi memiliki 3 tujuan utama1, yaitu 1)
Menyembuhkan terkait dengan kesehatan mental; 2) Mengidentifikasi
dan memelihara bakat, potensi, dan mengembangkan strengths; 3)
Membantu manusia untuk hidup lebih produktif dan bermakna.
Namun, setelah Perang Dunia Kedua, fokus Psikologi hanya pada
fungsi pertama (menyembuhkan terkait dengan kesehatan mental).
Kondisi tersebut berlangsung lama, sehingga tujuan kedua dan
ketiga tidak menjadi perhatian utama. Psikologi hanya berfokus
pada sebagian fungsi manusia.
Pada tahun 1998 saat Martin Seligman menjadi Presiden
American Psychological Association (APA) bersama beberapa koleganya
mendirikan Psikologi Positif. Tujuan mendirikan Psikologi Positif
adalah menginginkan manusia memiliki kehidupan yang baik,
kehidupan yang menyenangkan, dan kehidupan yang bermakna.
Tujuan dari Psikologi Positif adalah kesejahteraan tertinggi dalam
spektrum. Kesejahteraan dalam Psikologi Positif digambarkan dalam
flourishing yang merupakan kesehatan mental tertinggi.
Psikologi Positif menjembatani perubahan dalam Psikologi agar
tidak hanya memperbaiki hal-hal buruk saja dalam hidup tetapi juga
fokus ke arah membangun kualitas terbaik dalam hidup. Psikologi
Positif adalah studi ilmiah tentang fungsi manusia yang optimal
(virtues dan human strenghth). Tujuannya untuk menemukan dan
mempromosikan faktor yang memungkinkan individu, komunitas,
dan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang2. Pada Psikologi
Positif menemukan ada kekuatan/strengths pada manusia yang
bertindak sebagai buffer melawan mental illness1.


| iii
Intervensi pada Psikologi Positif bukan hanya pada terselesaikan
masalah, namun sampai mengoptimalkan fungsi manusia sehingga
menuju flourishing. Kajian Intervensi Psikologi Positif atau disebut
Positive Psychology Intervention (PPI) ada 5 kategori besar yaitu
savoring, gratitude, kindness, empathy, optimish, strengths, dan
meaning dengan metode bervariasi (misalnya: bookbased intervention,
classroom, self help berbasis digital, dll). Ada berbedaan konsep
intervensi dengan psikologi klinis, misalnya. Psikologi Positif dapat
diterapkan pada berbagai konteks kehidupan dan level.

Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Profesi di bidang psikologi bukan hanya bagian dari terapi
yang peduli dengan kesehatan, tetapi jauh lebih luas, mencakup
perilaku manusia dalam berbagai bidang kehidupan (dunia kerja,
pendidikan, insight, pertumbuhan, dll3. Pada Psikologi Positif juga
dapat diterapkan berbagai konteks kehidupan dan level. Baik pada
level pertama (materi, subject matter, menyangkut emosi positif),
pada level individual (mengarah individual trait yang positif, dan
pada level kelompok (kelembagaan positif)
Prodi Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) konsen
pada kesehatan mental tertinggi manusia yang merupakan tujuan
Psikologi Positif. Psikologi Positif juga sebagai scientific vision pada
prodi Magister Sain Psikologi. UNY termasuk yang aktif dalam
mengembangkan Psikologi Positif di Indonesia. Selain kurikulum
mengandung muatan psikologi positif, webinar-webiar, kuliah tamu,
buku adalah salah satu bentuk kajian yang penting bagi internal
maupun eksternal UNY.
Buku ini membedah berbagai konteks dari perspektif Psikologi
Positif, baik pada level subject matter, level individu, dan level
kelompok. Pembahasan dapat menjadi luas tetapi justru memberi
gambaran konteks dan level dalam Psikologi Positif.
Dengan memahami secara keseluruhan dari buku ini menjadi
dapat pemahaman Psikologi Positif yang memang berjenjang dan
berbagai konteks. Semoga buku ini dapat membawa wawasan
baru, insight, dan ide baru pada penerapan di kehidupan para
pembacanya.
Selamat menikmati buku yang penting bagi kehidupan manusia.

Surabaya, 26 September 2022


SAPOSE
Dr. Nurlaila Effendy, M.Si
Ketua Asosiasi Psikologi Positif Indonesia

iv | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................... iii


Daftar Isi................................................................................................. v
1
PSIKOLOGI POSITIF SEBAGAI KERANGKA KERJA BARU
DALAM PENGEMBANGAN KETANGGUHAN
MENTAL ATLET............................................................................ 1
A. Pendahuluan  ........................................................................... 1
B. Sekilas tentang Psikologi Positif........................................ 3
C. Psikologi Positif,  Olahraga dan Ketangguhan Mental 4
D. Pengertian dan Urgensi Ketangguhan Mental ............. 7
E. Faktor-Faktor yang Mendukung Ketangguhan Mental  8
F. Ketangguhan Mental dan Pendekatan Positif .............. 11
G. Kesimpulan............................................................................... 16
H. Daftar Pustaka........................................................................ 17
2 MEMBANGUN RESILIENSI PADA ANAK............................ 21
A. Pendahuluan .......................................................................... 21
B. Mengapa Menjadi Resilien Penting bagi Anak?........... 22
C. Mengenal Konsep Resiliensi ............................................. 23
D. Indikator Personal Individu yang Resilien..................... 24
E. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Resiliensi ............... 25
F. Membangun Resiliensi pada Anak ................................. 29
G. Penutup ................................................................................... 39
H. Daftar Pustaka ...................................................................... 40
3 ADA APA DENGAN CINTA?..................................................... 43
A. Pendahuluan  ........................................................................... 43
B. Cinta sebagai Kekuatan Karakter..................................... 44
C. Cinta sebagai Bagian dari Emosi  Positif ..................... 48
D. Membangun Cinta dalam Relasi Berpasangan ............ 54
E. Daftar Pustaka........................................................................ 58


| v
4 ANALISIS KONSTRUK ALAT UKUR KEBAHAGIAAN..... 61
A. Pendahuluan .......................................................................... 61
B. Analisis Konstruk Alat Ukur ............................................ 62
C. Studi Analisis Konstruk Kebahagiaan ........................... 64
D. Eksplorasi Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan................ 70
E. Penutup..................................................................................... 71
F. Daftar Pustaka ...................................................................... 71
5 MENGENAL PENDIDIKAN POSITIF...................................... 73
A. Pendahuluan............................................................................ 73
B. Sekilas Perjalanan Pendidikan Positif: Dulu dan Kini 75
C. Model-Model Pendidikan Positif........................................ 78
D. Riset-Riset Pendidikan Positif .......................................... 84
E. Penutup ................................................................................... 90
F. Daftar Pustaka........................................................................ 91
6 PENGASUHAN YANG MENSEJAHTERAKAN ANAK........ 95
A. Pendahuluan .......................................................................... 95
B. Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak ..................... 99
C. Dimensi Pengasuhan ........................................................... 105
D. Aktivitas Pengasuhan pada Anak...................................... 108
E. Penutup ................................................................................... 110
F. Daftar Pustaka ...................................................................... 111
7 KARAKTER POSITIF ORGANISASI...................................... 117
A. Pendahuluan .......................................................................... 117
B. Organisasi dan Manajemen................................................. 119
C. Organisasi Positif ................................................................. 123
D. Perilaku Organisasi................................................................ 125
E. Kebajikan Organisasi............................................................. 129
F. Implementasi Kebajikan dalam Organisasi.................... 132
G. Penutup ................................................................................... 132
H. Daftar Pustaka ...................................................................... 133
8 MARITAL FLOURISHING: KONSEP DAN APLIKASINYA 135
A. Pendahuluan .......................................................................... 135
B. Konsep Marital Flourishing................................................ 136
C. Marital Flourishing dalam Kehidupan Sehari-Hari... 141
D. Penutup ................................................................................... 150
E. Daftar Pustaka ...................................................................... 150

Tentang Penulis..................................................................................... 153

vi | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


1 PSIKOLOGI POSITIF SEBAGAI KERANGKA
KERJA BARU DALAM PENGEMBANGAN
KETANGGUHAN MENTAL ATLET
Dimyati
dimyati@uny.ac.id

A. Pendahuluan 
Dalam dunia olahraga kemunculan  seorang atlet juara merupakan
proses yang menarik dan kompleks. Proses ini seringkali ditandai
dengan momen atau titik balik yang signifikan dan menentukan.
Momen yang memberikan kearifan baru dan memicu perubahan,
pertumbuhan dan pembelajaran. Namun, pada awalnya momen-
momen yang menyulitkan dan penuh tekanan ini seringkali
tidak dihargai, hanya dikenali dikemudian hari. Setelah berbagai
kesuitan dan pengalaman yang merugikan dapat ditanggulangi
umumnya dapat  memberikan titik balik yang signifikan dalam
jalur karier seorang atlet. Sejauh ini terbukti bahwa untuk sukses
dalam dunia olahraga (olahraga prestasi) atlet membutuhkan
banyak tantangan dan kesulitan, semua itu harus dihadapai demi
kemenangan dalam kompetisi. Di sisi lain kapasitas untuk bertahan
dan berhasil mengatasi kesulitan adalah relevan bagi para atlet
untuk mempersiapkan diri pada even-even olahraga akbar seperti
Olimpiade, Kejuaraan Dunia, dll. sebagaimana halnya para pebisnis
yang maju dalam krisis keuangan global, atau keluarga yang hidup
dalam kesulitan. Dengan demikian, konsep ketangguhan mental
dapat digeneralisasikan untuk semua individu yang harus bertahan
dan berhasil dalam mengatasi kesulitan untuk menunjukkan potensi
mereka. Ketangguhan mental merupakan sebuah keterampilan yang
harus dimiliki atlet (Tenenbaum & Eklund , 2020; Kuan & Roy,
2007). Atlet yang memiliki ketangguhan mental berarti atlet tersebut
memiliki keterampilan mental yang baik untuk menghadapi berbagai
tekanan yang dihadapinya, terutama ketika dalam pertandingan.


| 1
Ketangguhan mental bukanlah sesuatu yang diwariskan kepada
atlet, tetapi aspek mental akan berkembang melalui pengalaman
dan pendidikan yang harus dipelajari.
Dalam tataran psikologi mainstream kajian kaitan antara
ketangguhan mental dengan  prestasi olahraga itu lebih dikekati
oleh bidang psikologi olahraga. Kajian psikologi olahraga telah
secara nyata dapat memberi kontribusi dalam perkembangan dan
peningkatan prestasi olahraga (Dosil, 2006; Weinberg & Gould, 2019;
Tenenbaum & Eklund,2020). Namun demikian, jika menelaah sejarah
perjalanan psikologi olahraga di Indonesia setidaknya sudah lebih
dari 54 tahun bidang ilmu itu mulai di kenal dan dikembangkan. 
Sayang selama periode waktu itu pula,  psikologi olahraga dalam
perkembangannya mengalami pasang surut. Semua ini tidak bisa
dilepaskan dari kondisi psikologi olahraga di Indonesia merupakan
ilmu pengetahuan yang baru. Psikologi olahraga sebenarnya sama
dengan psikologi mainstreams yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang
memang relatif masih  muda jika dibandingkan ilmu-ilmu lainnya 
Di tengah kondisi perkembangan psikologi olahraga seperti itu
kajian ini, diantaranya  akan menjelaskan bagaimana kaitan antara
psikologi positif sebagai kerangka baru dalam konteks olahraga
khususnya dalam upaya  mengembangkan ketangguhan mental atlet.
Psikologi positif dan psikologi olahraga, meskipun bidangnya berbeda
nama namun core business serupa, diantara keduanya bagaikan
teman tidur yang sebagian besar tetap asing satu sama lain hingga
bisa dipertemukan sekarang setelah sekian lama saling terpisah.
Sebagian besar teori dan asumsi dasar dari psikologi positif bukan
merupakan sesuatu yang baru bagi para praktisi psikologi olahraga
karena kedua bidang ini telah berkembang bersama yang memiliki
tugas memfasilitasi berfungsinya manusia secara optimal. Tulisan
ini akan membahas potensi pertukaran dalam konsep atau teori
antara dua disiplin dan membuat saran konkret, bagaimana psikologi
positif dapat menginformasikan praktik psikologi olahraga. Apa yang
dibahas dan disampiakan ini jauh dari lengkap, tetapi setidaknya
dapat mencerminkan harapan penulis bahwa kolaborasi kolegial
akan menghasilkan interdisipliner pendekatan dan meningkatkan
kekayaan dan kompleksitas kedua disiplin ilmu itu dalam upaya
untuk membangun ketangguhan mental atlet. 
Dalam konteks sebagaimana tersebut di atas psikologi
positif telah mendapatkan momentum dengan penekanannya pada
kesejahteraan pribadi, seperti konstruksi harapan dan optimisme,
dan fokus berbasis kekuatan untuk individu dan pengembangan
kelompok. Csikszentmihalyi (1990) mengatakan bahwa dalam

2 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


kajian olahraga, psikologi positif sering muncul dalam penelitian
tentang ketangguhan mental, optimisme, yang digambarkan sebagai
pengalaman mendalam di mana individu berpartisipasi dalam
tugas-tugas yang membutuhkan tantangan dan keterampilan tingkat
tinggi karena berkaitan dengan kinerja dan sukses. Massimiliano
(2019), menegaskan pelatihan fisik tidak cukup membuat atlet
unggul dalam sebuah kompetisi, jika elemen kunci lainnya yaitu
mental atlet tidak dipersiapkan dengan sempurna sesuai dengan
kebutahan dan tantangannya. Sehingga tujuan lain dari tulisan ini
adalah untuk memperkenalkan pendekatan  psikologi positif yang
telah dihasilkan terhadap  upaya pengembangan dan ketangguhan
mental atlet dalam dunia olahraga. Dengan harapan para pelatih
memperoleh  pengetahuan aplikasi praktis bagaimana menggunakan  
pendekatan psikologi positif sebagai kerangka kerja baru dalam
meningkatkan ketangguhan mental atlet. Atas dasar perimbangan ini
lah maka dirumuskan judul tuliasan sebagaimana tersebut di atas. 

B. Sekilas tentang Psikologi Positif


Ilmu perilaku telah lama menjadi landasan bagi para psikolog, 
pendidik, untuk memahami pertumbuhan dan perkembangan
manusia dan perserta didik lebih dari sekedar untuk memperoleh
kesuksesan dalam hidup dan prestasi akademis. Selama hampir
satu abad terakhir ini, psikologi lebih memprioritaskan dan telah
menjadi ilmu yang membahas tentang bagaimana menyembuhkan
manusia yang secara psikologis bermasalah. Itu didasarkan pada
berbagai «model penyakit» pada fungsi psikologis manusia dan
tentang bagaimana orang bertahan hidup di bawah kondisi penuh
tekanan dan kesulitan. Dengan kata lain secara historis, berbagai
disiplin psikologi mainstreams telah berfokus pada diagnosis dan
perawatan psikopatologi, seperti gangguan kecemasan, depresi,
dan skizofrenia, dengan tujuan mulianya adalah  meringankan
penderitaan manusia. 
Paradigma dominan psikologi mainstreams sebagaimana
tersebut di atas memiiki tujuan untuk menyelesaikan masalah
kelemahan manusia dengan meningkatkan kualitas hidupnya,
tetapi menghasilkan satu sisi yang fundamental pada perspektif
kondisi manusia itu sendiri. Psikolog positif tidak menyangkal
adanya penyakit, penderitaan, atau tragedi, dan sangat memahami
bahwa dengan berbagai pendekatan psikologi, semua itu bertujuan
untuk mendevaluasi, menurunkan, atau saling mengecualikan dari 

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 3


berbagai pendekatan yang  berusaha meringankan berbagai masalah
manusia. Namun sebaliknya, psikologi positif memiliki sisi lain
dalam perspektif dari kondisi manusia itu, diantaranya kebaikan,
kekuatan, ketangguhan, kebahagiaan dan semua yang berjalan benar
dan postif dalam kehidupan  yang layak untuk dikaji dan dijelajahi
dengan sungguh-sungguh. 
Baru di era millennium ini, beberapa psikolog berusaha
untuk memulai mendirikan cabang bidang psikologi yang disebut
psikologi positif dengan berfokus pada pemenuhan individu, apa
yang hidup yang layak dijalani, dan penemuan mengapa beberapa
orang dan komunitas memiliki peningkatan kapasitas untuk
berkembang (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000; Seligman, Steen,
Park, & Peterson, 2005). Pada tingkat individu, psikologi positif
mengkaji tentang sifat-sifat individu yang positif, seperti: kapasitas
untuk menyayangi/cinta, keberanian, keterampilan interpersonal,
kepekaan estetika, ketekunan, pengampunan, orisinalitas, pikiran
masa depan, spiritualitas, bakat tinggi, dan kebijaksanaan” (Seligman
& Csikszentmihalyi, 2000). Bahkan menurut Diener (2000) trend
terbaru perkembangan  psikologi positif, telah menghasikan teori
kesejahteraan integratif yang mencakup temuan-temuan utama guna
membangun konstruksi kajian tentang kebahagiaan. Sedangkan
ketangguhan mental, sering dilihat sebagai produk sampingan dari
refleksi individu dan pengembangan kinerja, yang didefinisikan
sebagai, “karakteristik yang memungkinkan seseorang untuk bertahan”
di tengah kesulitan dan secara positif mengatasi stres” (Dugan,
Kodama, & Correia, 2013). Bisa dkatakan psikologi positif adalah
kerangka kerja dan pendekatan berbasis penelitian yang dapat
membantu memandu pekerjaan dan memberikan alasan untuk
membuat program yang membangun hubungan antara aktifitas
fisik, kesehatan, kesejahteraan, ketahanan, dan ketangguhan mental.

C. Psikologi Positif,  Olahraga dan Ketangguhan


Mental
Dasar-dasar yang menjadi standar untuk menanamkan kekuatan
dari  psikologi positif ke dalam olahraga memiliki potensi besar,
dan bahkan dapat diterima, karena psikologi positif dan olahraga
memiliki kesamaan, yaitu membangun dan mengembangkan aspek
positif kinerja manusia. Gould (2002) menyatakan dia menerima
panggilan dalam psikologi untuk pindah pada pekerjaan yang

4 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


parallel dan memiliki fungsi serupa untuk mengoptimalkan  apa
yang dilakukan psikologi olahraga selama 25 tahun terakhir. Lebih
lanjut dikatakan olehnya bahwa para peneliti telah memfokuskan
waktu dan tenaga untuk membuat atlet menjadi hebat dengan
mereplikasi kondisi yang mendukung penekanan pada hasil positif. 
Dewasa ini psikologi positif memiliki tantangan dalam
pengelolaan olahraga  agar bisa dipraktikan efektif pada berbagai
tingkatan. Mulai dari olahraga tingkat profesional, olahraga di
perguruan tinggi hingga olahraga di sekolah menengah. Atlet pada
berbagai level itu membutuhkan  berbagai faktor dalam upaya
meningkatkan kegairahan, optimisme, harapan, perhatian, ketahanan
dan ketangguhan mental yang bermuara pada pencapaian prestasi.
Salah satu contohnya seperti yang dilaporkan oleh Roenigk (2013)
bahwa dalam pelatihan Seattle Seahawks, staf pelatihnnya telah 
menambahkan meditasi dan yoga ke dalam rutinitas latihan sehari-
hari untuk membantu membangun ketahanan dalam menghadapi
stres, optimisme, dan kebahagiaan di antara pemain. Latihan ini
menjadi sorotan dalam komunitas olahraga waktu itu. Sesi meditasi
terpandu ini berupa latihan imajeri internal yang melihat ke dalam
dan fokus memvisualisasikan versi terbaik dari diri mereka sendiri,
atau dalam hal ini, keberhasilan di lapangan sepakbola. Meskipun
tidak wajib, lebih dari 20 pemain setiap minggu berkomitmen
untuk latihan meditasi dan perhatian ini yang dipandu oleh tim
psikolog (Roenigk, 2013).
Pendekatan Seahawks adalah salah satu contoh cerita singkat
untuk membantu menggambarkan sebuah gerakan dalam komunitas
olahraga yang mengambil ide-ide dari psikologi positif sebagai cara
yang valid dan efektif untuk membantu perkembangan pemain.
Contoh lain hasil  studi di Australia, model pembinaan olahraga
yang positif dilaksanakan pada sekelompok pemain sepakbola tim
utama di  tingkat sekolah menengah (Waters, Scholes, & White,
2011). Model positif ini menganalisis apa yang berjalan dengan baik
untuk atlet dalam latihan dan permainan mereka, diikuti dengan
mengolah dan memuji pengalaman masa lalu. Malalui proses
pengalaman itu, jika negatif atau tindakan non positif pun terjadi,
para pelatih bekerja kembali untuk menjelaskan mereka dengan
pola pikir optimis. Pelatih kemudian ditugasi untuk menguraikan
strategi «yang harus dilakukan» untuk perkembangan lebih lanjut.
Bagian akhir, pelatih meninjau kembali apa yang berjalan dengan
baik untuk atlet dalam pengalaman khusus itu (Waters dkk., 2011).
Hasil studi ini, menunjukkan bahwa terjadi penurunan ketegangan
saraf, peningkatan semangat belajar, dan terjadi perspektif positif

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 5


baik pada pelatih maupun atlet. Penelitian lebih lanjut melalui
quasi experimental dengan studi longitudinal yang telah diterapkan 
di sekolah yang sama untuk memperluas hasil dengan melibatkan
lebih dari 50 pelatih dan 600 atlet yang jadi responden (Scholes
& Waters, 2012).
Ide-ide dasar psikologi positif dalam kontek olahraga lebih
lanjut juga dikaji untuk  menjelaskan bagaimana konsep penting
tentang kesejahteraan hubungannya  dengan partisipasi olahraga,
dan bagaimana melalui olahraga staf di perguruan tinggi dapat
membantu mahasiswa berkembang baik sebagai atlet, melalui
peningkatan efikasi dirinya. Efikasi diri dapat dikembangkan melalui
penguasaan keterampilan dan kompetensi (Bandura, 1994). Dalam
komunitas olahraga, melalui aktivitas fisik akan menghasilkan
kekuatan atau kapasitas fisik yang dapat membantu siswa merasa
yakin diri dengan kemampuan yang mereka miliki dan keyakinan
diri ini bisa digeneralisasikan pada aspek kehidupan lainnya dan
terkait dengan kinerja (Mutrie & Faulkner, 2004). 
Membangun ketahanan pada hakikatnya merupakan sebuah
penekanan untuk menciptakan ruang dengan menggunakan prinsip-
prinsip psikologi berbasis kekuatan positif untuk mempengaruhi
proses pengembangan ketangguhan mental. Dalam penelitian olahraga,
mengembangkan ketahanan didefinisikan lebih sering sebagai
mengembangkan ketangguhan mental. Ketangguhan mental terdiri
dari beberapa atau seluruh kumpulan pengalaman mengembangkan
dan melekat pada individu seperti nilai, sikap, emosi, kognisi, dan
perilaku yang memengaruhi cara seseorang mendekati, merespons,
menilai tekanan, tantangan, dan kesulitan yang ditafsirkan secara
negatif atau positif, untuk secara konsisten mencapai tujuannya.
(Coulter, Mallett, & Gucciardi, 2010). Ketangguhan mental yang
didorong oleh partisipasi dalam olahraga tidak diragukan lagi
membantu peserta didik  untuk  membangun ketahanan dan
diterjemahkan ke dalam tantangan lain yang mereka hadapi seperti 
masalah akademik,  pekerjaan, atau dalam kehidupan pribadinya (De
Castella dkk., 2013; Yeager & Dweck, 2012). Seperti yang disebutkan
sebelumnya, ketahanan dalam pengembangan seorang atlet telah
terbukti memberikan kontribusi positif atas kemampuannya untuk
mengatasi tantangan dan stres. Ini akan menjadi sesuatu yang
berguna untuk pengembangan keterampilan yang dapat ditransfer
pada hal-hal lain dan peran positif dalam kehidupan sehari-hari
atlet di luar konteks olahraga.

6 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


D. Pengertian dan Urgensi Ketangguhan Mental 
Ketangguhan mental telah digambarkan sebagai salah satu istilah
yang paling banyak digunakan, tetapi paling tidak dipahami, dalam
psikologi olahraga (Jones, Hanton, & Connaughton, 2002). Ada
kesepakatan umum dalam literatur bahwa kinerja olahraga yang
sukses sangat terkait dengan ketangguhan mental, dan konstruksi
multidimensi ini terkait dengan motivasi, keterampilan koping,
kepercayaan diri, keterampilan kognitif, daya saing, dan banyak
lagi. Meskipun banyak penulis telah mengajukan definisi dan
karakteristik ketangguhan mental, tidak ada definisi yang seragam,
yang membuatnya sulit untuk menilai dasar genetiknya. Hanya
beberapa penelitian yang mempertimbangkan dasar genetik dari
ketangguhan mental dan melaporkan bahwa sebagian besar perbedaan
individu dalam ketangguhan mental dapat dikaitkan dengan genetika
dan lingkungan yang tidak memiliki keasamaan atau bersifat unik
(Horsburgh, Schermer, Veselka, & Vernon, 2009).
Dalam dunia olahraga dewasa ini terjadinya peningkatan
tekanan dan pengawasan yang dialami oleh atlet modern (misalnya
media, sponsor, eksposur publik) telah menyebabkan minat yang
lebih besar pada pemanfaatan ‘kekuatan’ pikiran untuk mencapai
kinerja olahraga yang unggul. Untuk mewujudkan potensi olahraga
itu, sesungguhnya atlet telah melengkapi pelatihan fisik dengan
instrumen pelatihan keterampilan psikologis seperti penetapan tujuan,
visualisasi dan relaksasi (Vealey, 2007). Dalam dua dekade terakhir,
para peneliti menjadi semakin tertarik untuk mengkaji bagaimana
faktor psikologis seperti kepribadian, dinamika kelompok dan kognisi
individu mempengaruhi kinerja olahraga (Tenenbaum &  Eklund,
2007). Bidang penelitian yang muncul diantaranya adalah peran
ketangguhan mental dalam kinerja manusia. Psikolog olahraga
(peneliti dan praktisi), pelatih, komentator olahraga, penggemar
olahraga dan atlet mengakui pentingnya ketangguhan mental dalam
kinerja olahraga.  
Dalam penelitian awal tentang masalah ini, Loehr (1986)
menekankan bahwa para atlet dan pelatih merasa bahwa setidaknya
50 % keberhasilan adalah karena faktor psikologis yang mencerminkan
ketangguhan mental. Kurangnya ketangguhan mental merupakan
fakta yang dialami beberapa atlet sehingga mereka mengalami
keterpurukan, ‹tersedak›, dan mengalami emosi yang tak terkendali;
mengapa mereka tampil lebih baik dalam praktik latihan daripada
dalam kompetisi; dan tidak berprestasi. Belajar tentang ketangguhan
mental akan membantu pelatih menjadi motivator yang lebih

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 7


baik, mengembangkan tim pemenang, mempersiapkan tim untuk
pertandingan besar, fokus pada kemenangan, menghentikan pukulan
beruntun, mengakhiri kemerosotan, dan mengajari atlet dalam
penguasaan diri yang tenang. 

E. Faktor-Faktor yang Mendukung Ketangguhan


Mental 
Secara khusus, pelatih menanamkan kerja keras dan disiplin, melalui
program pelatihan individu, dan pengembangan keterampilan mental
untuk mendorong pola pikir sukses dan meningkatkan keyakinan
dan kepercayaan diri atlet. Teman anggota satu tim memberikan
dukungan dan dorongan emosional, dan persaingan yang sesuai
untuk lingkungan kompetitif yang sehat dalam pelatihan, sedangkan
lawan memberikan target untuk dihadapi. Baik teman satu tim
maupun lawan dianggap dapat mengembangkan dan meningkatkan
keterampilan koping dan fokus yang diperlukan untuk pola pikir
yang keras dalam menghadapai persaingan. Akhirnya, psikolog
olahraga memberikan pola pikir untuk sukses, penilaian yang tepat
dari situasi dan kinerja melalui perhatian dan dukungan individu,
dan instruksi tentang keterampilan melalui strategi psikologis dasar
dan lanjutan.
Personil non-olahraga seperti orang tua, saudara kandung, dan
orang penting lainnya memberikan kontribusi mendorong persaingan,
keinginan yang terinternalisasi untuk sukses, dan memberikan
dukungan ‘tanpa tekanan’ dalam bentuk umpan balik, bimbingan,
motivasi, rasionalisasi pikiran dan perasaan dan penguatan keyakinan
yang dirasakan para atlet senam (Thelwell, Richard, Weston,
Neil & Greenlees, 2010). Pengaruh lingkungan terdiri dari empat
mekanisme utama, yaitu (1) lingkungan pelatihan, (2) lingkungan
keluarga, (3) pemodelan dan (4) negara yang semuanya memfasilitasi
pengembangan ketangguhan mental melalui penanaman karakteristik
yang diperlukan untuk sukses diantaranya kerja keras, disiplin
dan tekad. Misalnya, lingkungan pelatihan yang menanamkan
ketekunan atau ‘sikap pantang menyerah saat menghadapi situasi
sulit’, sedangkan etos kerja keras dan tingkat kepercayaan diri yang
sangat tinggi dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Pemodelan,
seperti berkompetisi dan berlatih dengan pesenam yang lebih baik
dapat meningkatkan tekad pesenam untuk sukses, dan memberikan
keyakinan bahwa suatu hari mereka dapat maju ke peran mereka

8 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


prestasi model. Terakhir, negara memengaruhi perkembangan
ketangguhan mental melalui persepsi pemain tentang harapan,
reputasi, dan kesuksesan negara mereka di masa lalu, dan nilai
budaya tinggi yang ditempatkan pada kesuksesan dalam senam.
Negara menginspirasi para pesenam dan menanamkan kepercayaan
pada kemampuan mereka untuk melanjutkan tradisi sukses.
Thelwell, dkk. (2010) juga menyarankan bahwa perkembangan
ketangguhan mental dipengaruhi oleh pengalaman negatif dan positif,
dan tuntutan atau pengalaman olahraga dan gaya hidup tertentu
bertindak sebagai katalis perkembangan misalnya pindah rumah, 
perceraian orang tua, kehilangan dan kesulitan terkait dengan sekolah.
Akhirnya, beberapa perbedaan tentatif muncul antara pesenam
Amerika dan Inggris dalam penjelasannya tentang perkembangan
ketangguhan mental. Dalam keseluruhan program pelatihan, pesenam
Amerika menggambarkan keterlibatan dengan pelatih dan psikolog
olahraga dalam mempelajari keterampilan psikologis dasar dan
lanjutan sebagai cara untuk mengembangkan ketangguhan mental.
Kajian khusus wanita ini, yang meneliti pesenam Inggris dan
Amerika, memberikan banyak implikasi konseptual dan praktis, dan
menyoroti pentingnya mengkaji kemungkinan perbedaan gender dan
budaya dalam pengembangan ketangguhan mental. Namun, Thelwell
dkk., (2010) meneliti perkembangan ketangguhan mental secara
umum, dan tidak ada rincian yang diberikan tentang bagaimana
atribut spesifik dari ketangguhan mental dikembangkan. Selain itu,
pertanyaannya, apakah ketangguhan mental perlu dipertahankan
tidak dibahas. 
Gucciardi, Gordon, & Dimmock (2009c) juga mengeksplorasi
pengembangan ketangguhan mental dari perspektif olahraga
individual, tetapi secara unik dalam kaitannya dengan persepsi
pengembangan ketangguhan mental dari pelatih pria elit. Mereka
menyelidiki bagaimana pelatih dapat memfasilitasi dan menghambat
pengembangan ketangguhan mental, berdasarkan 11 karakteristik
ketangguhan mental utama Gucciardi, Gordon, & Dimmock (2008),
yaitu kepercayaan diri, motivasi, sikap tangguh, konsentrasi dan
fokus, ketahanan, penanganan tekanan, nilai-nilai pribadi, etos kerja,
kecerdasan emosional dan olahraga, dan ketangguhan fisik. Temuan
penelitian ini mengungkapkan banyak strategi dan mekanisme yang
pelatih dapat kembangkan  secara positif (dan negatif) mempengaruhi
perkembangan 11 karakteristik utama ketangguhan mental.
Enam kategori menyeluruh menyumbang strategi yang dirasakan,
pengalaman dan mekanisme yang digunakan oleh pelatih untuk
mengembangkan ketangguhan mental: pengalaman anak usia dini,

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 9


pengalaman sepakbola, hubungan pelatih-atlet, filosofi pembinaan,
lingkungan pelatihan dan strategi khusus.
Berdasarkan pandangan  para pelatih, perkembangan dimulai
dengan pengalaman anak usia dini, yang memainkan peran penting
dalam memelihara ‹bentuk umum› dari ketangguhan mental. Strategi
dan mekanisme yang digunakan dalam kategori pengalaman anak
usia dini termasuk dukungan emosional dan mendorong pemain
muda untuk belajar dari berbagai pengalaman, kesulitan, tantangan
dan tekanan. Orang tua dianggap memiliki peran sentral di sini;
Namun, setelah terlibat dalam sepakbola, remaja memperoleh
pengalaman sepakbola dari pelatih yang menggantikan orang
tua sebagai sumber paling berpengaruh dalam mengembangkan
ketangguhan mental. Selama pengalaman sepakbola, para pelatih
membantu pengembangan melalui hubungan yang mereka bentuk
dengan atlet (hubungan pelatih-atlet), dan filosofi pembinaan mereka,
lingkungan pelatihan dan strategi khusus yang mereka gunakan
untuk mengubah ‹bentuk umum› dari ketangguhan mental ke
dalam ‹bentuk olahraga khusus›. Hubungan pelatih-atlet yang positif
dan suportif memfasilitasi perkembangan kecerdasan emosional
sebagai karakteristik ketangguhan mental utama, melalui komponen
instruktif dan sosio-emosional yang terkait dengan aspek afektif,
kognitif dan kinerja. 
Filosofi pembinaan dianggap memainkan peran penting juga
dalam pengembangan tujuh karakteristik, yaitu: kepercayaan diri,
nilai-nilai pribadi, etos kerja, motivasi diri, kecerdasan emosional
dan ketangguhan fisik. Pelatih membantu pengembangan karakteristik
ini dengan mempromosikan ‘pengembangan holistik’ dari kecakapan
hidup misalnya pengembangan pribadi dan sosial atlet, di samping
keterampilan yang diperlukan untuk keunggulan kinerja seperti,
mengajarkan pemahaman tentang permainan, bagaimana permainan
itu dimainkan dan banyaknya rintangan, tantangan, dan tekanan
yang dihadapi pemain. Lingkungan pelatihan dianggap sebagai
sarana penting untuk mengembangkan ketangguhan mental melalui
pelatih yang mendorong pemain ke batas rasa sakit fisik selama
latihan, tekanan persaingan dan kecemasan yang disimulasikan,
dan memungkinkan pengalaman situasi yang sulit dan merugikan.
Akhirnya, strategi khusus untuk mengembangkan tiga karakteristik
yaitu nilai-nilai pribadi, konsentrasi dan fokus, serta mampu
menangani tekanan, melibatkan pelatih yang berkomunikasi dengan
para pemain mengenai implikasi latihan untuk kinerja kompetitif,
melihat kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar, mendorong

10 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


penilaian kinerja diri, memberikan penguatan positif dan mengekspos
pemain ke dalam berbagai simulasi tekanan.
Gucciardi, Gordon, Dimmock,. & Mallett (2009e) juga menyoroti
gagasan bahwa pelatih dapat menghambat perkembangan optimal
dari ketangguhan mental pada pemain mereka. Ini bisa terjadi
jika:  (a) pelatih membiarkan keinginan atlet untuk sukses dan
mengesampingkan kebutuhannya untuk pengembangan pemain
individu, (b) fokus dan terlalu menekankan pada kelemahan pemain,
(c) memaksakan ekspektasi yang rendah atau tidak realistis dan
(d) membina lingkungan pelatihan yang ‘mudah’ dengan menerima
alasan dari pemain dan tidak mendorongnya untuk mengambil
tanggung jawab pribadi atas tindakan para pemain. Pelatih
menjelaskan bahwa strategi dan mekanisme yang menghambat ini
tidak memaparkan pemain pada pengalaman yang penting untuk
mengembangkan aspek kunci dari ketangguhan mental seperti
aspek-aspek kepercayaan diri, kecerdasan olahraga, ketangguhan
fisik, dan kemampuan untuk menangani tekanan.

F. Ketangguhan Mental dan Pendekatan Positif 


Meskipun tidak secara khusus membahas ketangguhan mental, berbagai
literatur tentang pengembangan bakat dan keahlian menawarkan
beberapa petunjuk tentang bagaimana konstruksi yang diinginkan ini
dapat dikembangkan dan dipelajari. Penelitian tentang pengembangan
pemain kelas dunia dalam bidang olahraga dan non-olahraga,
seperti seniman, akademisi, musisi, matematikawan, perenang, dan
pemain tenis, mengidentifikasi bahwa individu berbakat akan maju
melalui tiga tahap perkembangan karier, yaitu awal, pertengahan
dan akhir, dan fokus mengapa individu terlibat dalam aktivitas
tertentu dan bagaimana mereka mengembangkan keterampilan
mereka berbeda untuk  setiap tahap. Selain itu, penelitian tentang
pengembangan keahlian (Ericsson, Charness, Feltovich, & Hoffman, 
2006) telah difokuskan pada sejumlah latihan yang dilakukan seorang
atlet dalam bentuk apa yang mereka sebut latihan yang disengaja.
Dalam pendekatan ini, kondisi latihan dan jumlah latihan sangat
penting untuk membangun keahlian, dengan sebagian besar ahli
telah berlatih setidaknya selama 10 tahun dan melakukan 10.000
jam latihan yang diprogram.
Selain membahas pentingnya pengaruh lingkungan seperti
jenis, frekuensi, dan intensitas praktik, literatur tentang keahlian
dan pengembangan bakat ini juga menggarisbawahi pentingnya

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 11


orang lain yang signifikan dalam pengembangan atlet berkinerja
tinggi. Sebagai model, penelitian (Gould, 2002) telah menemukan
bahwa orang lain yang signifikan termasuk pelatih, orang tua,
rekan satu tim, teman, dan anggota keluarga lainnya memainkan
peran penting dalam pengembangan bakat dan keterampilan mental.
Meskipun Gould, Greenleaf; Guinan, Chung (2002) menyatakan
lebih fokus pada pengembangan bakat psikologis, salah satu atribut
psikologis yang dikembangkan oleh peraih medali Olimpiade adalah
ketangguhan mental. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan
bahwa bakat psikologis dapat dikembangkan dalam jangka waktu
yang lama dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, pelatih,
orang tua, lingkungan kompetitif, dan pengalaman hidup.
Meskipun perdebatan yang sedang berlangsung tentang
bagaimana tepatnya ketangguhan mental dikembangkan, dari
penelitian yang ada (Connaughton, Wadey, Hanton, & Jones, 2008;
Gucciardi dkk., 2009c) tampak bahwa ketangguhan mental dapat
dikembangkan melalui pengaruh lingkungan yang ‹diajarkan› melalui
pelatihan. Sejauh mana ketangguhan mental bisa diajarkan masih
harus ditentukan (Crust, 2008). Meskipun demikian, tampaknya
pertanyaan yang lebih menonjol di masa depan untuk pengembangan
ketangguhan mental bukanlah bagimana aspek itu diajarkan, tapi
yang lebih penting adalah bagaimana hal itu dapat mempengaruhi
perkembangan. Temuan dari studi ini menyoroti bahwa ketangguhan
mental dapat dikembangkan melalui pengaruh lingkungan tertentu.
Misalnya, Bull, Shambrook, James, &  Brooks, (2005) melaporkan
pada atlet kriket elit bahwa pengaruh lingkungan memberikan
dasar untuk pengembangan karakter tangguh, misalnya daya saing,
sikap tangguh (pola pikir bekerja ekstra), dan pemikiran tangguh
(kepercayaan diri yang kuat). 
Ketika mengacu pada pengaruh lingkungan sebagimana tersebut
di atas, atlet yang secara retrospektif mengingat perkembangannya
tidak mengacu pada situasi di mana mereka sengaja menempatkan
dirinya untuk secara khusus mengembangkan ketangguhan mental,
tetapi mereka mengingat bagaimana lingkungan telah berdampak
padanya (Connaughton dkk., 2008). Pembedaan ini penting karena
berimplikasi pada perkembangan ketangguhan mental. Secara
khusus, ini akan membutuhkan praktisi untuk mendidik atlet dan
pelatih tentang cara menggunakannya. Membangun ketangguhan
mental dapat dilakukan dengan memanipulasi lingkungan praktik
pembinaan dengan cara mendidik orang tua dalam menciptakan
lingkungan rumah yang diinginkan untuk menciptakan iklim yang

12 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


paling efektif dalam mengembangkan ketangguhan mental pada
atlet usia muda. 
Pelatih dan orang tua memiliki peran penting dalam
mengembangkan ketangguhan mental. Dalam studi yang berfokus
pada atlet muda, misalnya, pelatih dilaporkan memiliki pengaruh
paling besar dalam mengembangkan ketangguhan mental atlet
(Butt, Weinberg & Culp, 2010). Tema yang muncul dari studi ini
termasuk praktik pelatih, misalnya menciptakan lingkungan praktik
yang menantang), atribut pelatih yang berperan sebagai model
penuh percaya diri, dan dukungan pelatih misalnya bersikap positif.
Connaughton dkk., (2008), menyatakan pelatih sebagai hal yang
penting dalam pengembangan ketangguhan mental, secara khusus
merujuk terutama ditentukan oleh gaya kepemimpinan pelatih.
Pada tahun-tahun awal, para atlet melaporkan bahwa keterampilan
kepemimpinan pelatih mendukung untuk membantu mereka dalam
perkembangan yang sukses dalam olahraganya. 
Pentingnya pelatih dalam perkembangan psikologis atlet telah
lama dibahas, tetapi baru belakangan ini dikonsolidasikan dalam
literatur kepelatihan. Sebuah edisi khusus The Sport Psychologist
(Gilbert, Côté, Mallett,   2006) berfokus pada pembinaan pendidikan
dalam kedua perspektif, yaitu penelitian dan terapan. Secara khusus,
peran pelatih sebagai fasilitator bagi atlet muda yang mempelajari
keterampilan mental dan meningkatkan perkembangan dan
kesejahteraan psikologis disorot dalam artikel dalam edisi khusus
ini. Peran dan strategi ini termasuk jenis dan kualitas umpan balik
yang diberikan, dorongan dan dukungan yang ditawarkan, penguatan
yang diberikan, dan gaya pembinaan. Meskipun tidak spesifik untuk
pengembangan ketangguhan mental, studi ini menggarisbawahi poin
penting pelatih dalam membimbing atlet muda dan membantu
mereka dalam mengembangkan keterampilan mental baik di dalam
maupun di luar lapangan.
Mengingat peran penting yang dimainkan oleh pelatih dalam
mengembangkan ketangguhan mental, namun sangat mengejutkan
bahwa pengetahuan dan pandangan pelatih tentang bagaimana
strategi membangun ketangguhan mental yang digunakan untuk
mengembangkannya masih terbatas. Satu studi yang berfokus pada
pandangan pelatih tentang ketangguhan mental dan bagaimana
hal itu dikembangkan dilakukan oleh Weinberg & Gould (2019).
Dalam studi ini para pelatih membahas ketangguhan mental
sebagai komponen kunci di tingkat pelatihan bagi atlet-atlet muda
dan menganggap diri mereka memainkan peran penting dalam

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 13


mengembangkan atlet yang tangguh secara mental. Temuan juga
menunjukkan bahwa pelatih cenderung merekrut atlet dengan
pertimbangan ‘karakter mental’ selain keterampilan fisiknya, dengan
demikian pemahaman pelatih tentang ketangguhan mental  adalah
sesuatu yang urgen pada pembinaan karir atlet. 
Terdapat beberapa strategi atau pendekatan kunci yang
mengambil dari ide-ide psikologi positif yang dilaporkan oleh
para pelatih sebagai cara membangun ketangguhan mental pada
atlet. Strategi atau pendekatan itu, diantaranya (1) menciptakan
lingkungan latihan fisik yang keras, misalnya latihan kompetitif
yang intens, (2) kondisi fisik yang keras, (3) lingkungan mental
yang positif, misalnya membangun kepercayaan diri atau suasana
positif, (4) harapan yang tinggi, dan (5) memberikan kesadaran
atau kesempatan belajar misalnya mengamati orang lain yang
tangguh secara mental. 
Menerapkan pengondisian fisik yang tangguh muncul dalam
literatur sebagai salah satu cara untuk membangun lingkungan
praktik yang sulit. Latihan ini dilakukan sebagai upaya untuk
membentuk kebugaran yang prima pada atlet.  Butt dkk., (2005)
menyatakan pentingnya kebugaran karena memungkinkan mereka
untuk mendorong lebih keras dan mengatasi kesulitan selama
situasi stres, serta memberikan keunggulan mental yang kuat.
Sejauh mana ketangguhan mental memiliki komponen fisik tidak
sepenuhnya dipahami, meskipun temuan yang konsisten menyatakan
bahwa kesiapan secara fisik terkait dengan menunjukkan tingkat
kepercayaan diri yang tinggi (Butt dkk., 2010; Gucciardi dkk., 2008).
Jadi, tampaknya kondisi fisik yang baik dianggap sebagai prasyarat
untuk menunjukkan ketangguhan mental. Dari perspektif praktis,
hubungan antara aspek fisik dan mental harus ditekankan saat
membangun ketangguhan mental dan merancang sesi pelatihan.
Memanipulasi lingkungan latihan untuk menciptakan situasi
yang kompetitif, sulit dan memicu tekanan adalah strategi penting
untuk membangun atlet yang tangguh secara mental. Namun,
lingkungan ini harus positif dan membangun kepercayaan sebagai
lawan dari negatif dan berorientasi pada hukuman (Butt dkk., 2010;
Connaughton dkk., 2008). Misalnya, atlet elit telah melaporkan
bahwa berada dalam lingkungan yang memberi penghargaan,
misalnya kesempatan untuk mendemonstrasikan kemampuan dan
menyenangkan, misalnya kesempatan untuk menguasai keterampilan
telah mempengaruhi perkembangan ketangguhan mental mereka, dan
tampaknya yang sangat menonjol dalam mengembangkan atribut

14 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


motivasi (Connaughton dkk., 2008). Demikian pula, atlet muda
menganggap pelatih mereka menciptakan lingkungan praktik yang
menggembirakan, seperti, latihan berorientasi instruksi langsung
bervariasi dan latihan berorientasi pemecahan masalah, sambil
tetap menjunjung tinggi harapan bagi mereka untuk mempelajari
keterampilan yang menjadi pusat pengembangan ketangguhan mental
(Butt dkk., 2010). Temuan ini adalah konsisten dengan literatur
pengembangan bakat (Gould dkk., 2002) dan dengan banyak penelitian
psikologi olahraga baru-baru ini tentang penguatan dan umpan
balik, yang menekankan pendekatan positif untuk pembelajaran dan
kinerja keterampilan dan kompetisi (Smith, 2006). Dari perspektif
terapan, menciptakan iklim motivasi yang positif sama pentingnya
dengan menciptakan lingkungan yang kompetitif dan tangguh untuk
membangun ketangguhan mental. Untuk membantu menciptakan
iklim positif ini, pelatih harus mempertimbangkan memberikan
penguatan dan umpan balik yang menekankan pendekatan positif
selama pembelajaran dan kinerja keterampilan dan kompetisim
seperti memberikan dorongan, memberikan umpan balik positif dan
instruksional, mengatur praktik yang menyenangkan, mempertimbangkan
perbedaan individu.
Secara kolektif, temuan ini menunjukkan bahwa, dengan
dukungan dan dorongan yang tepat, orang tua dapat mempengaruhi
perkembangan ketangguhan mental, khususnya atribut motivasi.
Penting untuk dicatat bahwa literatur psikologi olahraga yang
ada di bidang ini, seperti ketangguhan mental, pengembangan
bakat psikologis, olahraga remaja yang biasanya mengakui bahwa
orang tua harus mengadopsi tingkat keterlibatan yang tepat dalam
mendukung perkembangan olahraga anak mereka (Connaughton
dkk., 2008; Gould dkk., 2008). Secara khusus, orang tua yang
mempertahankan perspektif yang tepat tentang keterlibatan anak
mereka dalam olahraga, mendorong kepemilikan dan tanggung
jawab, serta menjadi bagian dari jaringan dukungan sosial yang
mendukung, dianggap sebagai perilaku orang tua yang penting
untuk mengembangkan karakteristik psikologis atlet elit (Gould dkk.,
2002) dan ketangguhan mental (Connaughton dkk., 2008). Perilaku
ini akan menjadi dasar bagi lokakarya pendidikan yang dirancang
untuk orang tua atlet yang berpotensi untuk membantu menciptakan
lingkungan pengembangan ketangguhan mental yang efektif.
Selain memanipulasi lingkungan pelatihan untuk mengembangkan
ketangguhan mental seperti yang telah dibahas sebelumnya, latihan
keterampilan mental (LKM) tampaknya memiliki peran penting

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 15


untuk dimainkan dalam melatih atlet yang akan tangguh secara
mental. Untuk mendukung pandangan ini, atlet elit telah melaporkan
keberhasilan penggunaan LKM seperti  persiapan mental, imajeri,
penetapan tujuan, bicara sendiri dalam membantu mereka tidak
hanya untuk mengembangkan ketangguhan mental tetapi juga
sebagai strategi untuk mempertahankannya (Connaughton dkk.,
2008). Penelitian intervensi telah memberikan dukungan awal untuk
kegunaan LKM yang menargetkan atribut ketangguhan mental
tertentu untuk peningkatannya pada atlet muda (Gucciardi, Gordon,
Dimmock, 2009b). Secara kolektif, penelitian yang muncul (misalnya
Connaughton dkk., 2008; Gucciardi dkk., 2009b) menunjukkan bahwa
strategi fisik dan mental dapat digunakan untuk mengembangkan
ketangguhan mental. Lebih lanjut dikatan olehnya bahwa, ketika
menerapkan strategi untuk mengembangkan ketangguhan mental,
baik pengetahuan dari pengaruh lingkungan maupun LKM
tertentu dapat digabungkan untuk efektivitas yang optimal dalam
mengembangkan ketangguhan mental. Menggunakan empat pilar
model ketangguhan mental merupakan kerangka kerja yang positif
(Jones & Moorhouse, 2007).

G. Kesimpulan
Atlet yang secara mental tangguh adalah atlet yang memiliki
keterampilan mental yang baik untuk menghadapi berbagai tekanan
dan ancaman yang dihadapinya, terutama ketika dalam pertandingan.
Ketangguhan mental merupakan aspek psikologis yang penting
bagi atlet untuk berprestasi optimal. Ketangguhan mental bukanlah
sesuatu yang diwariskan kepada atlet, tetapi aspek mental akan
berkembang melalui pengalaman dan pendidikan. Selama ini dalam
tataran psikologi mainstream untuk mengembangkan ketangguhan
mental lebih dikekati oleh bidang psikologi olahraga. Sejalan
dengan perkembangan waktu ketangguhan mental juga menjadi
kajian dari psikologi positif,  hal ini tidak bisa dipisahkan karena,
psikologi positif pada tingkat individu mengkaji tentang sifat-sifat
atau sisi positif dari manusia termasuk ketangguhan mental atlet.
Sehingga pendekatan  psikologi positif dapat dijadikan sebagai
kerangka kerja baru dalam  upaya mengembangkan ketangguhan
mental atlet. Banyak ide-ide yang bisa digunakan dari psikologi
positif untuk mengembangkan aspek-aspek psikologis termasuk
ketangguhan mental atlet.  Begitu juga dengan berbagai strategi
atau pendekatan psikologi positif dalam tataran implementasi sudah

16 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


digunakan untuk meningkatkan aspek-aspek psikologis diantaranya
ketangguhan mental atlet. Strategi itu, diantaranya (1) menciptakan
lingkungan latihan fisik yang keras, misalnya latihan kompetitif
yang intens, (2) kondisi fisik yang keras, (3) lingkungan mental
yang positif, misalnya membangun kepercayaan diri atau suasana
positif, (4) harapan yang tinggi, dan (5) memberikan kesadaran
atau kesempatan belajar misalnya mengamati orang lain yang
tangguh secara mental. Atas dasar ini lah maka psikologi positif
merupakan kerangka baru yang bisa digunakan dalam upaya untuk
mengembangkan ketangguhan mental atlet dalam dunia olahraga,
khususnya pembinaan olahraga prestasi. 

H. Daftar Pustaka
Bull, S. J., Shambrook, C. J., James, W., & Brooks, J. (2005).
Towards an understanding of mental toughness in elite English
cricketers. Journal of Applied Sport Psychology, 17, 209–227.
Butt J., Weinberg R., Culp B. (2010). Exploring Mental Toughness
in NCAA Athletes. Journal of Intercollegiate Sport, 3(2):316-332,
DOI:10.1123/jis.3.2.316.
Connaughton, D., Wadey, R., Hanton, S., & Jones, G. (2008) ‘The
development and maintenance of mental toughness: Perceptions
of elite performers’, Journal of Sports Sciences, 26, 83–95.
Coulter, T. J., Mallett, C. J., & Gucciardi, D. F. (2010). Understanding
mental toughness in Australian soccer: Perceptions of players,
parents, and coaches. Journal of Sports Sciences, 28, 699–716.
Crust, L. (2008) ‘A review and conceptual re-examination of mental
toughness: Implications for future researchers’, Personality and
Individual Differences, 45, 576–83
Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The psychology of optimal
experience. NewYork, NY: HarperCollins.
De Castella, K., Goldin, P., Jazaieri, H., Ziv,M., Dweck, C. S.,&Gross,
J. J. (2013). Beliefs about emotion: Links to emotion regulation,
well-being, and psychological distress. Basic and Applied Social
Psychology, 35, 497–505.
Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness
and a proposal for a national index. American Psychologist,
55(1), 34–43.
Dosil. J., (2006). The sport psychologist’s handbook: a guide for
sport‐specific performance enhancemen. New York: John Wiley
& Sons Ltd

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 17


Dugan, J. P., Kodama, C., Correia, B., & Associates. (2013). Multi-
Institutional Studyof Leadership insight report: Leadership
program delivery. College Park, MD: National Clearinghouse
for Leadership Programs.
Ericsson, K. A., Charness, N.., Feltovich, P. J. & Hoffman,  R. R.
(Eds.) (2006). Cambridge handbook of expertise and expert
performance. New York, NY: Cambridge University Press.
Gilbert, W, Côté, J., Mallett,  C., (2010). Developmental Paths and
Activities of Successful Sport Coaches. International Journal of Sports
Science & Coaching, Mach, 1(1) DOI:10.1260/174795406776338526
Goldberg, A.S. (1998). Sports slump bursting: 10 steps to mental 
toughness and peak performance. Champaign, IL: Human Kinetics.
Gould, D. C. Greenleaf; D. Guinan, Y. Chung, (2002). “A survey of
U.S. olympic coaches: Variables perceived to have influenced
athlete prestasinces and coach effectiveness”, The Sport
Psychologist, vol. 16(3), pp.229-250.
Gould, D. (2002). Sport psychology in the new millennium: The
psychology of athletic excellence and beyond. Journal of Applied
Sport Psychology, 14, 137–139.
Gucciardi, D. F., Gordon, S., and Dimmock, J. A. (2008). ‘Towards
an understanding of mental toughness in Australian football’,
Journal of Applied Sport Psychology, 20, 261–81.
Gucciardi, D. F., Gordon, S. D., and Dimmock, J. A. (2009b).
‘Development and preliminary validation of a mental toughness
inventory for Australian football’, Psychology of Sportand Exercise,
10, 201–209
Gucciardi, D. F., Gordon, S., and Dimmock, J. A. (2009c). ‘Evaluation
of a mentaltoughness training program for youth aged Australian
footballers: II. A qualitativeanalysis’, Journal of Applied Sport
Psychology, 21, 324–39
Gucciardi, D.F.; Gordon, S.; Dimmock, J.A. & Mallett, C.J. (2009e).
Understanding  the  coach’s  role  in  the  development  of 
mental  toughness: Perspectives of elite Australian football
coaches.  Journal of Sports Sciences, 27: 1483-96.
Horsburgh, V. A., Schermer, J. A., Veselka, L., and Vernon, P. A.
(2009) ‘A behavioural genetic study of mental toughness and
personality’, Personality and Individual Differences, 46, 100–5.
Jones, G., Hanton, S., & Connaughton, D. (2002) ‘What is this
thing called mental toughness? An investigation of elite sport
performers’, Journal of Applied Sport Psychology, 14, 205–18.

18 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Jones, G., & Moorhouse, A. (2007). Developing mental toughness: Gold
medal strategies for transforming your business performance.
Oxford, UK: Spring.
Kuan, Garyy, & Roy, Jolly. (2007). Goal profiles, mental toughness
and its influence on prestasince outcome among wushu athletes.
Journal of Sport Science and Medicine, 6 (ICSSI-2), 28-33
Massimiliano L. C. (2019). Handbook of embodied cognition and
sport psychology. Cambridge USA: The MIT Press.
Mutrie, N., & Faulkner, G. (2004). Physical activity: Positive
psychology in motion. In P. A. Linley, & S. Joseph (Eds.),
Positive psychology in practice (pp. 146–164). Hoboken, NJ:
John Wiley & Sons.
Roenigk, A. (2013). Lotus pose on two. Diakses 10 September
2021,jam 21.15 wib. dari http://espn.go.com/nfl/story/_/id/9581925/
seattle-seahawks-use-unusual-techniques-practice-espn-magazine
Scholes, M.,& Waters, L. (2012). Creating a positive sports
organization. Presentation at the First Canadian Conference
on Positive Psychology, Toronto University, Canada.
Seligman, M. E., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive psychology:
An introduction. American Psychologist, 55, 1–14.
Seligman, M. E., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005).
Positive psychology progress: Empirical validation of interventions.
American Psychologist, 60, 410–421.
Smith, R. E. (2006) ‘Understanding sport behaviour: A cognitive-
affective processingsystems approach’, Journal of Applied Sport
Psychology, 18, 1–27
Tenenbaum, G & Eklund, R.C. (2020). Handbook of sport psychology
This edition first. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Tenenbaum, G., & Eklund, R.C. (2007). Handbook of sport psychology,
Third Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Thelwell, Richard, Weston, Neil and Greenlees, I. (2010) Examining
the use of psychological skills throughout soccer performance.
Journal of Sport Behavior, 33 (1). pp. 109-127. 
Vealey, R.S. (2007). Mental skills training in sport. In G. Tenen-
baum & R. Eklund (Eds.), Handbook of sport psychology(3rd
ed., pp. 287–309). New York: Wiley.
Waters, L., Scholes, M., & White, M. (2011). Using positive psychology
to promote wellbeing in student athletes: A pilot evaluation at
St. Peters College, Adelaide. Poster session presented at the
APS College of Educational and Developmental Psychologists
National Conference, Melbourne, Australia.

Psikologi Positif sebagai Kerangka Kerja Baru | 19


Weinberg, R., & Gould, D. (2019). Foundations of sport and exercise
psychology, 6th. edition, Human Kinetics , Champaign, IL.
Yeager, D. S., & Dweck, C. S. (2012). Mindsets that promote
resilience: When students believe that personal characteristics can
be developed. Educational Psychologist, 47,302–314.

20 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


2
MEMBANGUN RESILIENSI PADA ANAK
Yulia Ayriza
yulia_ayriza@uny.ac.id

A. Pendahuluan
Ada orang yang bisa melewati berbagai kesulitan dan bangkit
kembali seperti keadaan semula, tetapi ada orang yang tak mampu
menghadapi tantangan dan kesulitan, bahkan hidupnya makin terpuruk
setelah kegagalannya menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.
Dari antara yang berhasil bangkit kembali, seberapa banyakkah
kemampuan mereka bertahan hidup (survive) dipengaruhi oleh
faktor genetik, parenting, pendidikan dan/atau kesehatan mental? Di
dunia ini, stres dan kesulitan berlipat ganda terjadi dari generasi
ke generasi, maka penelitian-penelitian untuk menjawab pertanyaan
ini menjadi sangat penting (Goldstein & Brooks, 2005).
Beberapa anak berada dalam kondisi beresiko mengalami
gangguan untuk mampu menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi, misalnya anak yang mengalami bullying di sekolah atau
kondisi rumah tangga yang tidak harmoni. Prediktor yang terbaik
bagi keberfungsian anak-anak hingga masa dewasanya bukanlah
bagaimana membantu meringankan gejala-gejala bermasalah yang
mereka alami, tetapi lebih pada bagaimana memahami, mengapresiasi,
serta memelihara kekuatan-kekuatan (strengths) dan kelebihan-
kelebihan atau aset yang mereka miliki. Banyak anak menderita
gangguan karena orang tua dan para profesional yang bermaksud
membantu lebih banyak mencurahkan perhatian pada memperbaiki
kekurangan-kekurangannya, dan kurang fokus memperhatikan pada
pengembangan-pengembangan kelebihan atau asset yang dimiliki
anak-anak.


| 21
Dari hasil-hasil penelitian tentang kualitas-kualitas resiliensi
serta membagikan strategi pengembangannya kepada makin
banyak orang, maka hal ini akan berguna untuk diterapkan secara
general, bahkan bagi mereka yang memiliki anak-anak yang belum
menghadapi kesulitan-kesulitan hidup yang rumit sekalipun. Oleh
karena itu tulisan ini penting karena kualitas resiliensi pada anak
tidak berkembang begitu saja, melainkan memerlukan strategi
pengembangan tertentu dengan melibatkan kolaborasi multi dimensi,
baik internal maupun eksternal, agar resiliensi yang dimiliki
anak mampu menciptakan pola pikir optimis dan menjaga tetap
berfungsi baik dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup hingga
perkembangannya menuju masa dewasa.

B. Mengapa Menjadi Resilien Penting bagi


Anak?
Hasil penelitian tentang resiliensi di masa kanak-kanak menunjukkan
dengan kuat pentingnya beberapa pengaruh, antara lain dosis
paparan masalah pada anak, sistem adaptif mendasar yang tertanam
dalam kehidupan anak dan interaksinya dengan sistem lain, masa
perkembangan, juga peran penting praktisi kesehatan dan pendidik
serta pengasuh keluarga dalam membangun dan memelihara
resiliensi sebagai fungsi pertahanan penting menghadapi masalah
selama masa kanak-kanak. Resiliensi memungkinkan dikembangkan
karena ilmu dan hasil studi yang membahas resiliensi menunjukkan
bahwa resiliensi manusia bersifat umum, dinamis, dihasilkan melalui
interaksi berbagai sistem dari biologis hingga sosiokultural, dan
dapat berubah melalui strategi yang dijalankan sesuai target dan
waktu yang berlaku (Masten & Barnes, 2018). Bahkan menurut
Ginsburg (2011), resiliensi perlu diajarkan sebagai “R” ke empat
(the fourth “R”) yang sama pentingnya bagi anak untuk belajar tiga
“R” (The three “R”) yaitu Reading, wRiting, aRithmatic.
Ada hubungan antara budaya dengan resiliensi; beberapa
budaya lebih percaya pada faktor nasib ketika menghadapi masalah
atau kesulitan, sementara budaya yg lain lebih mengandalkan
pada pemecahan masalah dalam menghadapi kesulitan; beberapa
budaya lebih mementingkan hukuman dan rasa bersalah, sementara
yang lain mendisiplinkan dan mendamaikan; beberapa budaya
membiasakan anak-anak menjadi lebih bergantung pada orang
lain untuk mananti bantuan dalam situasi kesulitan daripada
menjadi mandiri dan lebih menggantungkan dirinya sendiri; orang

22 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


tua di beberapa negara mempertahankan hubungan dekat dengan
anak-anak mereka sementara pada budaya yang lain orang tua
membuat jarak antara hubungan mereka dengan anak-anak pada
usia sekitar lima tahun, akibat yang ditimbulkan dari perbedaan
perlakuan ini ialah bahwa anak-anak yang resilien dapat mengelola
pemberian jarak dari orang tua mereka di usia yg masih sangat
muda, sementara anak-anak yang tidak resilien akan menarik diri,
mudah menyerah dan tertekan (Grotberg, 1995). Dari paparan yang
sudah dikemukakan ini, dapat disimpulkan bahwa semua perbedaan
budaya ini ada konsekuensinya pada persepsi anak-anak tentang
perlakuan lingkungan pada diri mereka, serta ada kontribusinya
pada perkembangan kekuatan karakter anak, salah satu diantaranya
ialah pada kualitas resilienasi anak-anak.
Resiliensi diperlukan semua anak sebagai kemampuan untuk
menghadapi, mengatasi dan beradaptasi terhadap kesulitan hidup,
karena tidak ada orang yang dapat terbebas dari kesuitan hidup
siapapun dia tanpa kecuali. Dengan resiliensi anak dapat mengatasi
kesulitan dan kembali bangkit seperti keadaan semula serta terus
berkembang; sementara tanpa resiliensi, maka kesulitanlah yang
justru akan mengalahkan anak dan membuatnya terpuruk serta
mengalami kesulitan dalam perjalanan selanjutnya menuju tahap
perkembangan dewasa.

C. Mengenal Konsep Resiliensi


Banyak konsep resiliensi yang diberikan beberapa ahli, definisinya
sangat bervariasi dari berbagai perpektif, karena memang istilah
resiliensi dalam perpekstif psikologis pada awalnya diperoleh dari
penggabungan beberapa perspektif, antara lain dari tinjauan sistem
fisik, ekologi, sosio-ekologi, manajemen bencana, individual maupun
organisasional (Bhamra dkk., 2011).
Dengan berbasis pada pendapat beberapa ahli, Cahill dkk.
(2014) membatasi resiliensi sebagai kapasitas koping individu
yang dinamis dan berkelanjutan untuk mengatasi, belajar dan
berkembang ketika menghadapi perubahan, tantangan, atau kesulitan.
Masih berbasis referensi yang sama, Cahill dkk. (2014) di bagian
lain juga menyimpulkan batasan resiliensi secara lebih lengkap
sebagai kemampuan koping adaptif atau “bangkit kembali” setelah
menghadapi peristiwa negatif, situasi sulit, atau tantangan, serta
mampu kembali ke kondisi kesejahteraan emosional yang hampir
sama dengan semula dan tetap berkembang.

Membangun Resiliensi pada Anak | 23


Masten dan Barnes (2018, h. 1) membatasi resiliensi sebagai
kapasitas dari suatu sistem untuk beradaptasi secara berhasil
terhadap tantangan yang dapat mengancam fungsi, daya tahan hidup
(survival), serta perkembangan masa depan dari sistem tersebut.
Sementara Luthans dkk. (2006) secara singkat mendefinisikan
resiliensi sebagai kapasitas yang dapat dikembangkan untuk bangkit
kembali setelah menghadapi kesulitan. Sejalan dengan batasan yang
diberikan Luthans dkk., Reivich dan Shatte (2002 : 26) menyatakan
bahwa resiliensi merupakan kapasitas individu untuk merespon
pengalaman sengsara atau kejadian traumatik dengan cara-cara
yang sehat dan produktif; resiliensi mengubah kesulitan menjadi
tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan, dan ketidakberdayaan
menjadi kekuatan. Lebih lanjut, ahli lain membatasi pengertian
resiliensi sebagai proses adaptasi yang dinamis terhadap kondisi
beresiko dengan melibatkan interaksi antara berbagai fakor risiko
dan faktor pelindung baik dari individu yang bersangkutan maupun
lingkungan sosialnya (Olsson dkk., 2003).
Dari berbagai definisi yang sudah disampaikan beberapa ahli,
resiliensi dapat disimpulkan sebagai kemampuan koping yang adaptif
dan dinamis terhadap masalah, kesulitan, atau tantangan yang
dihadapi individu dengan melibatkan interaksi antara berbagai fakor
risiko dan faktor pelindung secara personal maupun lingkungan,
sehingga ia mampu mengalahkan kesulitannya dan kembali ke
keadaan kesejahteraan emosional semula.

D. Indikator Personal Individu yang Resilien


Dengan merangkum dari berbagai sumber, Olson dkk., (2003)
menyatakan bahwa individu yang resilien memiliki: 1) toleransi
terhadap pengaruh negatif, 2) efikasi diri, 3) harga diri, 4) perasaan
diri/self yang hakiki, 5) lokus kontrol internal, 6) selera humor, 7)
harapan, 8) strategi untuk mengatasi stres, 9) pedoman nilai-nilai
yang kuat, 10) sikap bijaksana dengan berbagai perpektif, 11)
sikap lunak dan fleksibel, dan 12) ketabahan, keyakinan, keuletan,
serta ketetapan hati.
Demikian juga dengan mensintesis penelitian tentang resiliensi,
Bernard (2004) menyatakan indikator individu yang resilien memiliki:
1. Tingkat kompetensi sosial yang lebih tinggi: anak yang dapat
berinteraksi baik dengan teman-temannya.
2. Keterampilan penyelesaian masalah: anak yang dapat berpikir
matang mengelola tantangannya, serta mampu mengahadapi
tantangan, perubahan dan kesulitan dengan lebih baik.

24 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


3. Perasaan autonomi atau efikasi diri: anak yang memiliki
kemandirian, tanggung jawab dan kepercayaan diri untuk
menghadapi lebih baik tangtangan-tantangan dalam kehidupannya.
4. Perasaan akan tujuan, harapan atau bermakna: anak yang
memiliki perasaan optimis terhadap masa depannya, serta
keyakinan tentang makna dan tujuan akan apa yang dia
inginkan untuk belajar dan berkembang.
Dari pendapat-pendapat yang dideskripsikan, dapat disimpulkan
bahwa pada umumnya individu yang resilien memiliki karakteristik
personal yang positif atau unggul dalam hal kompetensi kognitif yang
dicerminkan dalam keterampilan pemecahan masalah, kompetensi
sosial yang diindikasikan dengan keterampilan interaksi sosial, serta
kompetensi sosial kognitif yang diindikasikan dengan perasaan
autonomi, efikasi diri serta perasaan akan tujuan dan makna hidup.

E. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Resiliensi


Resiliensi dipandang sebagai adaptasi yang berhasil bagi individu
yang mampu mengatasi keadaan hidup yang sulit, menantang dan
mengandung faktor risiko (Sun & Stewart, 2010). Terkait dengan
adanya faktor resiko dan factor protektif, resiliensi digambarkan
sebagai interaksi antara kedua faktor tersebut, berupa proses yang
dihasilkan dari reaksi individu terhadap kerentanan yang ada di
lingkungannya (Luthar, 2003). Faktor protektif bekerja melawan
efek faktor risiko yang terjadi pada diri anak dan lingkugannya
(Sun & Stewart, 2010). Berikut akan diuraikan pengertian beserta
isi dari fakor protektif dan faktor resiko terhadap resiliensi anak.

1. Faktor Protektif
Faktor protektif merupakan faktor dalam diri individu atau
lingkungan yang meningkatkan kemampuannya untuk melawan
masalah dan mengatasi tekanan hidup. Faktor ini bermanfaat untuk
mengkompensasi risiko, atau untuk menghadapi efek risiko pada
perkembangan anak (Sun & Stewart, 2010).
a. Faktor-faktor protektif yang berada di dalam diri individu
mencakup berbagai keterampilan koping; misalnya efikasi diri,
penghargaan diri, kemampuan penyelesaian masalah, komunikasi
dan kerjasama.
b. Faktor-faktor protektif di luar diri individu termasuk dukungan
orang tua, pendampingan guru, atau dukungan sekolah yang
mendorong perkembangan yang positif.

Membangun Resiliensi pada Anak | 25


Sun dan Steward (2010) secara lebih terperinci menyatakan ada
kesepakatan umum mengenai komponen protektif dari konstruksi
resiliensi yang mencakup level personal, level keluarga, dan level
sekolah:
a. Pada level personal, anak yang resilien memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1) otonomi tingkat tinggi,
2) empati,
3) keterampilan pemecahan masalah yang lebih baik, dan
4) mampu berhubungan dengan teman secara baik.
b. Pada level keluarga, karakteristik yang menjadi faktor protektif
meliputi:
1) kehangatan,
2) kasih sayang,
3) kohesi,
4) komitmen, dan
5) dukungan emosional satu sama lain.
c. Pada level sekolah, khusus untuk lingkungan eksternal anak
masih dibatasi pada lingkungan sekolah karena lingkungan anak
masih bersifat terbatas. Adapun faktor protektifnya memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1) lingkungan yang aman dan mendukung,
2) hubungan teman yang positif,
3) pengaruh guru yang positif, dan
4) peluang untuk sukses,
Dengan berbasis literatur anak yang ter update mengenai
resiliensi keluarga (yang ditunjukkan dalam kurung), Masten dan
Barnes (2018, h. 6) membuat daftar pendek tentang faktor-faktor
protektif atau promotif bagi perkembangan resiliensi pada proses
perkembangan anak.
a. Keluarga yang peduli, pengasuhan yang sensitif (anggota
keluarga yang penuh perhatian)
b. Hubungan dekat, rasa aman secara emosional, rasa memiliki
(kohesi keluarga, rasa memiliki)
c. Skilled parenting/pengasuhan yang terampil (skilled family
management)
d. Agency, motivasi untuk beradaptasi (Koping yang aktif, mastery)
e. Keterampilan pemecahan masalah, perencanaan, keterampilan
fungsi eksekutif (pemecahan masalah kolaboratif, fleksibilitas
keluarga)

26 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


f. Keterampilan regulasi diri, regulasi emosi (co-regulation,
keseimbangan kebutuhan keluarga)
g. Efikasi diri, pandangan positif tentang diri atau identitas
(pandangan positif tentang keluarga dan identitas keluarga)
h. Harapan, iman, optimisme (harapan, iman, optimisme, pandangan
keluarga yang positif)
i. Pemaknaan hidup, keyakinan bahwa hidup memiliki makna
(koherensi, tujuan keluarga, pembuatan makna secara kolektif)
j. Rutinitas dan ritual (rutinitas dan ritual keluarga, organisasi
peran keluarga)
k. Keterlibatan di sekolah dengan sekolah yang fungsionalnya
baik
l. Hubungan dengan komunitas yang fungsionalnya baik
Dengan gaya pengkategorian yang sedikit berbeda, Grotberg
menyebut faktor protektif sebagai sumber resiliensi, yang terdiri
dari aspek I have, I am, dan I can. Ketiga sumber resiliensi ini
digambarkan sebagai berikut.
a. I have: dalam hal ini umumnya menunjukkan dirinya memiliki
orang-orang yang mencintainya, melidunginya ketika menghadapi
bahaya, merawatnya ketika sakit, dan mengajarkannya untuk
melakukan hal-hal tertentu secara mandiri.
b. I am: umumnya menunjukkan dirinya ialah orang yang bisa
menyukai dan mencintai orang lain, membantu dan menghargai
orang, bertanggung jawab dan meyakini semua akan baik-baik
saja.
c. I can: berisi penggambaran bahwa dirinya mampu asertif
memberitahu orang tentang hal-hal yang membuatnya takut
dan terganggu, mampu menemukann cara untuk menyelesaikan
masalah, mampu mengendalikan diri ketika ingin melakukan
hal yang tidak benar dan bahaya, mengetahui kapan harus
berbicara dan bertindak, serta mampu menemukan orang yang
dibutuhkan untuk membantunya.
Dengan pengambaran diri sebagai I have, I am dan I can,
Grotberg (1995) ingin menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi
resiliensi berasal dari karakteristik personal dengan digambarkan
sebagai “I am” dan “I can”, serta factor eksternal yang digambarkan
dengan “I have” sebagai lingkungan yang mendukungnya di kala
anak mengalami kesulitan atau tantangan.

Membangun Resiliensi pada Anak | 27


2. Faktor Resiko
Yaitu faktor-faktor yang membuat individu rentan mengalami
hambatan bagi berkembangnya resiliensi (Bhamra dkk., 2011;
Masten & Barnes, 2018). Sun dan Strewart (2010) mendefinisikan
faktor risiko sebagai bahaya yang berkaitan dengan individu, atau
lingkungan individu yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
masalah.
Menurut Sun dan Stewart (2010), gejala-gejala depresi dan
kecemasan individu terkait dengan rendahnya tingkat dukungan
teman sebaya, keluarga, sekolah dan komunitas ditemukan sebagai
faktor resiko bagi hambatan perkembangan resiliensi anak.
Dengan mengutip beberapa sampel faktor resiko yang terdapat
pada Tabel faktor resiko yang disusun Cahill dkk. (2014), dapat
diidentifikasi beberapa resiko baik yang terkait faktor internal dari
personal anak itu sendiri maupun dari factor eksternal yang meliputi
lingkungan keluarga maupun sekolah sebagai berikut.
a. Temperamen anak yang sulit
b. Sakit yang bersifat kronis
c. Keterampilan sosial rendah
d. Penghargaan diri rendah
e. Perceraian orang tua dan pecahnya keluarga
f. Kekerasan dalam rumah tangga
g. Penyalahgunaaan (abuse) secara fisik, seksual maupun emosi
h. Perundungan (bullying) di sekolah
i. Penolakan teman sebaya
j. Kegagalan akademik
k. Mengalami perlakuan rasisme
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi upaya membangunan
resiliensi anak meliputi fakror protektif dan faktor resiko. Baik faktor
protektif maupun faktor resiko terdiri dari faktor internal yaitu
karakteristik personal anak, serta faktor eksternal yang terdiri dari
dukungan lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun komunitas,
meski untuk faktor komunitas belum begitu berpengaruh pada masa
kanak-kanak. Adapun cara kerja faktor protektif berupa menahan
atau mengkompensasi efek dari faktor resiko yang dihadapi anak
di lingkungannya, artinya pada saat menghadapi faktor resiko,
apabila faktor protektifnya mampu mengkompensir resiko-resiko
yang dialami anak, maka akan teraktualisasi perilaku resiliensi,
sehingga anak akan memenangkan kesulitan yang dihadapi, kembali
ke keadaan semula, dan terus berkembang.

28 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


F. Membangun Resiliensi pada Anak
Shiner dan Masten (2012) yang mengikuti histori perkembangan
205 anak dari masa kanak-kanak hingga awal masa dewasa dan
dewasa muda menemukan bahwa anak-anak secara potensial
dapat berubah menjadi resilien baik secara alami maupun melalui
intervensi, sehingga mereka mampu bertahan ketika pada masa
dewasa dihadapkan pada kesulitan dan tekanan.
Ungar (2013) menemukan bahwa anak yang mengalami
penganiayaan, trauma, pelecehan dan penelantaran dapat bangkit
kembali disebabkan oleh selain strategi koping pribadi yang mereka
miliki, juga karena adanya layanan sosial yang diberikan kepada
mereka seperti misalnya dari sekolah atau pengasuhan orang tua
mereka. Para guru di sekolah anak-anak Afrika-Amerika mengatakan
bahwa apabila guru-guru mengerahkan upaya terbaik mereka
untuk mendidik anak-anak di sekolah, maka resiliensi anak-anak
akan mampu dikembangkan dan dipupuk untuk melawan segala
rintangan yang mereka hadapi (Masten, 2009).
Menurut Masten (2015), hubungan yang bersifat mendukung
sangat besar peranannya dalam membangun resiliensi sepanjang
perkembangan hidup manusia. Ikatan attachment yang erat dengan
orang yang mengasuh serta pengasuhan yang efektif terbukti
melindungi anak dengan berbagai cara dari tantangan yang dihadapi,
artinya fasilitas untuk membangun resiliensi tidak ditemukan dalam
diri anak itu sendiri, tetapi lebih ditentukan hubungannya dengan
pengasuh yang terdapat di luar diri anak (Masten & Barnes, 2018).
Resiliensi individu pada masa berkembang tidak tergantung
pada kondisi tubuh dan pikiran dari anak tersebut, melainkan
kapasitas untuk beradaptasi dengan tantangan lebih ditentukan
oleh hubungannya dengan orang-orang lain di lingkungannya serta
sistem di luar diri individu melalui hubungan dan proses-proses
lainnya (Masten & Barnes, 2018). Menurut Reivich dan Shatte
(2002), resiliensi merupakan strength yang bersifat kontinum, di
manapun seorang individu berada di garis kontinum itu pada hari
ini, ia akan bisa mengembangkan strength tersebut keesokan harinya
untuk menghadapi tantangan yang datang dengan keteguhan dan
semangat, dengan kata lain reliensi dapat dibangun menjadi lebih
kuat dari kondisi sebelumnya.
Ada bermacam-macam intervensi untuk membangun resiliensi
anak, baik intervensi yang berorientasi pada kekuatan (strength)
anak maupun intervensi yang beroriensi pada faktor risiko yang
dihadapinya (Masten & Barnes, 2018; Bhamra, dkk., 2011). Hal

Membangun Resiliensi pada Anak | 29


ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Eppler (2008) bahwa
membangun resiliensi dapat dilakukan dengan berbasis kekuatan
(strength) yang dimiliki anak-anak, hal ini dilakukan agar mereka
merasa dihargai atas kekuatannya serta membangun resiliensi dengan
kekuatan-kekuatan tersebut sebagai fondasi.
Dengan berbasis teori resiliensi dan pengalaman-pengalaman
praktik terbaiknya, Petty (2014) mengajukan 10 cara untuk membangun
resiliensi pada anak-anak, mengajarkan mereka bagaimana cara
untuk bangkit kembali.

1. Membangun Empati
Salah satu cara mengembangkan resiliensi ialah melatih anak mampu
memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan menggunakan
cerita anak-anak (Petty, 2012). Misal anak didongengkan sebuah
cerita, kemudian diajak diskusi tentang tokoh-tokoh dalam cerita
dan ditanya bagaimana perasaan anak-anak apabila mereka menjadi
salah satu tokoh yang spesifik dalam cerita tersebut. Anak-anak
diajak bicara tentang perasaan-perasaan seperi takut, marah,
frustrasi, lapar, sedih, lapar dan sebagainya, setelah itu anak-anak
diminta mengubah cerita dengan berperan pada setiap tokoh serta
menceritakan apa yang mereka rasakan. Sebagai contoh: “Saya
tidak mau berenang karena takut” anak diminta mengubah cerita
dengan diijinkan mengubah frase-frase dalam kalimat, misalnya
“….karena saya merasa …..”. Ketika anak-anak mengetahui bahwa
beberapa anak memiliki perasaan yang sama dengan yg mereka
alami, berarti mereka mulai mampu mengidentifikasi perasaan
orang lain dan merasakan perasaan anak lain, mampu mengambil
sudut pandang orang lain atau dengan kata lain memiliki empati.
Dengan strategi ini, anak bisa dilatih mengalami rintangan dengan
membayangkan apabila ia berperan menjadi tokoh tertentu yang
sedang mengalami peristiwa tersebut, sehingga resiliensi dibangun
dalam proses kognitifnya.

2. Mengidentifikasi Orang yang Bisa Diandalkan


ketika Mengalami Kesulitan (Identify a Go-To
Person)
Dalam kehidupan sehari-hari anak, setidaknya perlu ada seorang
dewasa yang dapat mendampingi ketika anak mengalami kesulitan.
Orang ini bisa guru atau pengasuh mereka, keberadaan orang
dewasa yang bisa diandalkaan ketika dibutuhkan dukungannya sangat

30 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


membantu dalam menjamin kesuksesan. Bagi orang dewasa yang
mendampingi anak membangun resiliensinya, perlu menyisihkan
waktu setidaknya beberapa menit untuk memperhatikan mereka
dengan mengadakan kontak secara langsung. Sebagai contoh dengan
menanyakan: “Saya melihat Anda mengalami kesulitan membangun
menara, apakah boleh saya bantu?” “Ketika Anda mengalami
kemacetan atau tidak tahu harus berbuat apa, ingatlah bahwa saya
ada di sini untuk Anda” (Petty, 2014, h. 36). Apabila strategi ini
dihubungkan dengan dimensi resiliensi yang digunakan Grotberg
(1999), maka hal ini dapat ditemui pada dimensi “I have”, yaitu
individu merasa memiliki orang yang dapat diandalkan setiap saat
untuk mendukung dirinya ketika menghadapi kesulitan agar bisa
bertahan. Apabila anak sudah mampu mengidentifikasi orang-orang
yang dapat dituju untuk mendukung dirinya menghadapi dan
melewati kesulitan, maka resiliensi anak akan mudah terbangun
atau dikembangkan.

3. Mendengarkan
Perhatian yang disengaja dengan mendengarkan baik-baik ucapan
anak-anak merupakan faktor protektif dalam membangun resiliensi
anak. Oleh karena itu sebaiknya kita mendengarkan dengan sungguh-
sungguh apa yang diucapkan anak-anak, terutama ketika mereka
menghadapi kesulitan. Kalimat seperti “Saya mempunyai waktu
yang cukup untuk mendengarkan Anda”, “Saya sungguh ingin
mendengarkan cerita dari Anda tentang kejadian yang Anda alami”
dapat disampaikan kepada anak-anak. Ketika mendengarkan anak
bicara, kita dapat melakukan kontak mata sambil mendekatkan diri
pada diri anak pada jarak yang cukup dekat. Dengan mengetahui
bahwa kita benar-benar memerhatikan mereka, maka hal ini sangat
membantu anak dalam membangun resiliensi. Prinsip yang diterapkan
sama dengan poin 2, yaitu “I have”, sehingga anak merasa memiliki
orang yang mendukung dalam menghadapi kesulitannya.

4. Belajar Melihat Apa yang Terjadi Berikutnya


Anak-anak sebaiknya diajarkan untuk selalu memikirkan apa yang
akan terjadi ke depannya, berarti mengantisipasi kejadian yang
akan datang berbasis pengalaman masalah masa lampau yang
dialami sebagai pelajaran, agar dapat belajar lebih tangguh atau
bangkit lebih cepat ketika mengalami kesulitan yang serupa. Coba
bantu anak menentukan tujuan mereka, menyusun rencana jangka
pendek untuk anak yang lebih kecil, seperti misalnya “Apa yang

Membangun Resiliensi pada Anak | 31


akan kamu lakukan untuk kegiatan besuk hari Minggu?”, dan
menstimuli anak yang lebih besar menyusun rencana untuk jangka
yang lebih panjang, seperti misalnya “Bagaimana rencanamu untuk
meningkatkan nilaimu pada mata pelajaran Bahasa Inggris menjadi
lebih baik? Dengan pengantisipasian apa yang akan terjadi ke depan,
memberi peluang untuk merespon dengan resiliensi yang lebih kuat.
Dalam hal ini startegi intervensi yang digunakan dapat dikatakan
berbasis pada faktor resiko yang dialami anak, yaitu kesulitan yang
pernah dialami di masa lampau untuk dipelajari hikmahnya. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikatakan Masten dan Barnes (2018)
serta Bhamra, dkk. (2011) bahwa resiliensi dapat pula dibangun
dengan strategi intervensi yang berbasis pada faktor resiko.

5. Menerima Anak Sebagaimana Keadaan Dirinya


Menerima (acceptance) berarti memahami watak dan temperamen
anak-anak yang berada dalam pengasuhan kita. Dari pemahaman
inilah Langkah membangun resiliensi bermula, apa yang sebenarnya
anak-anak butuhkan? Ada anak yang lebih membutuhkan
dikembangkan keterampilan sosialnya, ada pula anak yang lebih
penting dikembangkan pengetahuan kognitifnya, semua sama
pentingnya sesuai kondisi kebutuhan anak yang sebenarnya. Orang
dewasa harus mengetahui apa yang diharapkan pada setiap tahap
perkembangan anak-anak dalam kaitannya untuk membangun
resiliensi mereka. Perhatikan pengaruh perbedaan budaya pada
anak-anak, dan bantu mereka lebih mampu beradaptasi dengan
tuntutan budaya yang ada. Apabila anak-anak merasa diterima
lingkungannya, maka mereka akan merasa dihargai sehingga dapat
meningkatkan perasaan harga dirinya sebagai indikator personal
dari resiliensi. Hal ini juga berhubungan dengan karakteristik “I
am” dari dimensi resiliensi menurut Grotberg (1999).

6. Mengidentifikasi Kekuatan-Kekuatan atau “Islands


of Competence” (Brooks and Goldstein, 2003
dalam Petty, 2014)
Mencoba mengidentifikasi kelebihan potensi anak dan bidang
minatnya, serta berusaha mengembangkannya melalui pelatihan
baik di bawah bimbingan profesional ataupun autodidak. Misalnya
menemukan kelebihan dan kesenangan anak dalam melukis,
maka anak bisa diikutsertakan di sanggar lukis untuk mendapat
bimbingan pengembangan potensinya sebagai pelukis, atau anak

32 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


lain teridentifikasi memiliki kelebihan dalam kekuatan fisik dan
kesenangannya bermain bola, maka anak dapat diikutkan dalam
klub sepak bola agar mendapat pelatihan bermain bola dari pelatih
profesional sesuai dengan bakat dan bidang minatnya. Tujuan
dari pengembangan bakat sesuai bidang minat anak diharapkan
membuahkan keberhasilan, dan keberhasilan demi keberhasilan akan
berakibat pada meningkatnya self-esteem atau penghargaan diri anak.
Dengan demikian membangun resiliensi anak berbasis kekuatan
anak akan lebih besar peluangnya. Dalam istilah Grotberg (1999),
tujuan dari strategi intervensi ini ialah membangun karakteritik
resiliensi dari dimensi “I am”.

7. Mengulang-ulang (Do-Overs)
Melakukan kesalahan bukanlah hal besar dan fatal, bahkan pengalaman
melakukan kesalahan bisa menjadi pengalaman belajar bagi anak
untuk berkembang menjadi lebih baik. Yang penting anak diberi
kesempatan untuk melakukan pengulangan perilaku yang salah, agar
kemudian menemukan perilaku yang lebih memadai dan adaptif.
Selain itu pada anak akan tumbuh rasa percaya pada orang yang
sudah memberi kesempatan kepadanya untuk mengulang perbuatan
sampai menemukan perbuatan yang lebih sesuai. Dengan memberi
kesempatan mengulang perbuatan sampai menemukan perbuatan
yang lebih tepat secara tidak langsung melatih anak bertahan ketika
melakukan kesalahan, serta berusaha terus menemukan perbuatan
yang benar, atau dengan kata lain kita sudah melatih membangun
resiliensi anak memahami kesalahan dan memperbaikinya.

8. Mengembangkan Tanggung Jawab


Anak-anak perlu diajarkan dan diberi kesempatan untuk bertanggung
jawab terhadap kebutuhan dirinya sendiri dan orang lain, caranya
antara lain dengan mendorong mereka membuat lingkungan
mereka menjadi lebih baik, misalnya membersihkan ruang mereka
sendiri, melakukan tugas-tugas harian di rumah, saling membantu
satu sama lain, serta bertanggung jawab atas hak kepemilikan
mereka sendiri. Di samping itu, anak-anak juga diajarkan untuk
memperhatikan dan membuat komunitas mereka menjadi lebih
baik, memberikan layanan dan barang-baraang yang dibutuhkan
oleh mereka. Dengan diajarkan bertanggung jawab terhadap diri
sendiri dan orang lain, anak terbiasa berkomitmen melakukan
tugasnya secara tuntas, baik tugas pribadi maupun tugas sosial,
yang berarti pula sudah mengajarkan mereka membangun resiliensi

Membangun Resiliensi pada Anak | 33


dengan menuntaskan tanggung jawabnya. Hal ini sejalan dengan
pengembangan karakteristik resiliensi “I can” dari dimensi yang
dikembangkan Grotberg.

9. Menawarkan Partisipasi yang Bermakna (Benard,


2004, dalam Petty 2014)
Berikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti kegiatan-
kegiatan yang bermakna, misalnya berpartisipasi pada organisasi
sosial seperti kelompok-kelompok pengasuhan yang membuat
mereka merasa bermakna, selain itu juga kegiatan-kegiatan yang
menyenangkan seperti mengisi teka-teki silang, melibatkan mereka
pada penyiapan menu snack atau makan pada acara-acara khusus,
juga libatkan mereka ikut memutuskan tentang rencana perjalanan
kunjungan kerja lapangan dan kegiatan lainnya. Apabila kita dapat
menciptakan lingkungan dengan anak merasa menjadi salah satu
bagian daripadanya, maka anak akan terhindar dari situasi stress
dan cemas yang mampu membantu membangun resiliensi anak,
anak merasakan dimensi “I am” dengan karakteristik personal “saya
akan baik-baik saja”.

10. Mengajarkan Penyelesaian Masalah (Brooks, 2007,


dalam Petty, 2014)
Memberi model cara penyelesaian masalah kepada anak dapat
berkontribusi pada pembangunan resiliensi anak. Ajarkan 3
langkah strategi pemecahan masalah berikut kepada anak, yaitu: 1)
mengidentifikasi masalah, 2) pikirkan dua atau tig acara pemecahan
masalah dan diskusikan dengan orang-orang yang terlibat dalam
pemecahan masalah tersebut untuk mendapat kesepakatan, 3) pikirkan
suatu reminder seperti isyarat non-verbal atau tanda dari cara-cara
tersebut agar bisa digunakan dengan mudah saat dibutuhkan,
serta bagikan hal tersebut pada orang-orang yang terlibat dalam
pemecahan masalah.
Setelah anak terbiasa belajar memecahkan masalah dengan
mengadopsi model strategi yang efektif, biarkan mereka bekerja
memecahkan masalahnya sendiri. Anak-anak akan menjadi resilien
kalau bisa memecahkan masalahnya sendiri dengan cara yang mereka
pikirkan dan putuskan sendiri. Keberhasilan-keberhasilan dalam
pemecahan masalah dengan cara seperti ini akan menumbuhkan
perasaan “I have” karena dukungan sosial dengan pemberian model,
serta “I can” dan “I am” karena bisa menyelesaikan sendiri masalah

34 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


yang dihadapi dan menjadi dirinya yang memiliki harga diri dan
kepercayaan diri, sehingga akan terbangun resiliensi yang diharapkan.
Langkah-langkah yang sudah diuraikan ini sebaiknya diajarkan
dalam proses kehidupan anak sedikit demi sedikit dan secara rutin,
hingga suatu saat mereka terbiasa menghadapi kesulitan dari masalah
yang berskala kecil ke masalah yang berskala makin besar. Dengan
menghargai perasan dan kemampuan mereka ketika menghadapi
kesulitan atau kemunduran, berarti kita sudah memanfaatkan faktor
protektif dan mengurangi peran faktor resiko yang terdapat pada
lingkungan anak-anak untuk membangun resiliensi mereka, sehingga
mereka akan berkembang menjadi tangguh dan mampu bangkit
kembali ketika terjatuh atau megalami kemunduran.
Selain sepuluh cara yang sudah dideskripsikan, pada subbagian
ini akan diuraikan juga cara membangun resiliensi anak berdasarkan
tahap perkembangan psikososial Erikson dari usia 0-9 tahun dengan
pendekatan yang dikembangkan Grotberg berdasar dimensi “ I have,
I am, dan I can” (Grotberg, 1995).
a. Usia 0-3 tahun
Selama tiga tahun permulaan kehidupannya, anak belajar tentang
kepercayaan (trust) dan autonomi. Dia belajar untuk mempercayai
orang-orang sekitar yang merawatnya dan dirinya sendiri. Anak akan
memperoleh kepercayaan pada lingkungannya apabila lingkungannya
berhasil memenuhi kebutuhan fisik dan emosinya, misalnya ketika
lapar, haus, kedinginan, takut, maka orang yang mengasuhnya dapat
memenuhi apa yang mereka butuhkan. Seiring dengan pertambahan
usia, anak belajar untuk mempercayai kemampuannya sendiri untuk
mengatur waktu kapan harus makan, tidur, mencuci, dll., serta
untuk menenangkan dirinya sendiri dan mengendalikan perilakunya
dengan lebih baik. Bagi anak-anak, melakukan kesalahan dapat
menjadi pengalaman belajar dan memperoleh autonomi, tetapi
sebaliknya apabila anak memperoleh rasa malu karena kesalahan
akibat dihukum oleh orang yang mengasuhnya, maka anak akan
belajar untuk tidak mempercayai dirinya sendiri, pengasuh, dan
dunia. Jika anak tidak dapat menjadi mandiri, tidak diperbolehkan
melakukan kesalahan, atau dikritik karena mencoba melakukan
sesuatu oleh dirinya sendiri, maka anak akan merasa malu dan
mulai meragukan kemampuannya (Grotberg, 1995). Dengan latar
belakang perkembangan Erikson, Grotberg secara implisit ingin
menggambarkan bahwa pembangunan resiliensi terkait dengan tugas
perkembangan menyesaikaan krisis sesuai tahap usianya. Apabila
anak berhasil menyelesaikan krisis pada tahap usia 0-3 tahun,

Membangun Resiliensi pada Anak | 35


dia akan menjadi resilien dan memperoleh status perkembangan
psikososialnya yang positif yaitu trust dan autonomi, tetapi apabila
anak gagal menyelesaikan krisis, maka anak akan memperoleh
status perkembangan psikososial mistrust serta malu dan ragu-ragu.
Berikut Grotberg (1995) memberikan contoh respon pengasuh
yang mendukung untuk membangun resiliensi anak sesuai tahap
perkembangan psikososialnya dengan konsep I have, I am, dan I can.
Contoh situasi:
“Bayi itu berada di buaian dan berbaring telentang sambil berteriak-
teriak dan menendang-nendang. Anda tidak tahu apa yang salah,
dia terus saja berteriak dan menendang”.
Respon pengasuh yang sesuai dengan tujuan membangun resiliensi
anak:
Pengasuh dapat membangun resiliensi anak jika mengangkat
anak tersebut, menenangkannya sambil mencari tahu penyebab
dia rewel, apakah dia ngompol, merasa terlalu dingin atau terlalu
panas, perlu ditepuk punggungnya untuk mengeluarkan udara, atau
perlu dihibur sebagai upaya yang paling penting (I have: anak
memiliki orang yang mencintai dan peduli pada dia). Pengasuh
dapat membantunya menjadi tenang jika dia merasa dicintai dan
diperhatikan (I can: anak dapat mengendalikan emosi negatifnya),
dan jika anak mulai menjadi tenang atau terkenadali, (I am: anak
sebagai individu yang baik), maka upaya membantu membangun
resiliensi dapat dikatakan berhasil. Dengan cara perlakuan seperti
ini, anak merasa secure karena beranggapan dicintai lingkungannya,
serta mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan menjadi anak
yang resilien.
b. Usia 4-7 tahun
Pada rentang usia ini, menurut tahap perkembangan psikosial
Erikson anak mengembangkan inisiatif vs rasa bersalah. Pada tahap
ini anak sibuk melakukan berbagai eksperimen ersamapa saja yang
ditemui, anak yang sangat aktif ini juga mulai memahami dunia
simbol dan mengajukan pertanyaan tanpa akhir. Apabila inisiatif
anak melakukan berbagai percobaan dan pengajuan pertanyaan
yang bertubi-tubi memperoleh layanan yang memuaskan, maka
anak akan tumbuh inisitiatifnya; tetapi apabila pertanyaan anak
ditolak, dan apabila anak dihukum karena melakukan berbagai
percobaan yang kadang membuat kacau keadaan, serta dilarang
untuk mengambil inisiatif menyelesaikan sesuatu, maka anak akan
merasa bersalah, tidak layak, atau nakal (Grotberg, 1995). Dengan
rentang usia 4-7 tahun dan dengan inisiatif vs rasa bersalah sebagai

36 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


tahap perkembangan psikososial anak, Grotberg memberikan contoh
riil respon pengasuh yang dapat menstimulasi untuk membangun
resiliensi anak sebagai berikut.
Contoh situasi:
“Ibu dari anak harus pergi ke kota lain untuk mencari pekerjaan
dan tidak dapat membawa putrinya yang berusia empat tahun
karena tidak ada yang merawatnya selama sang ibu bekerja, dan
juga tidak mampu membayar biaya penitipan anak”.
Respon pengasuh yang membangun resiliensi:
Ibu dapat menjelaskan kepada putrinya bahwa ia akan pergi
mencari pekerjaan sehingga dapat memiliki uang guna menyewa
tempat yang bagus untuk tinggal ersama. Beritahu anak betapa
ibu sangat mencintainya dan bahwa dia akan tinggal bersama
saudara perempuan ibu selama ibu pergi (I have: anak memiliki
orang yang bisa diandalkan ketika dibutuhkan). Ibu membiarkan
anak memprotes dan meyakinkannya bahwa Ibu mencintainya (I
am: anak sebagai individu yang dicintai ibunya) dan berjanji akan
mengiriminya berita dengan gambar-gambar cantik. Ibu meyakinkannya
bahwa semuanya akan baik-baik saja dan akan segera bersamanya
lagi. Ibu juga mengijinkan anak mengajukan pertanyaan dan
mengungkapkan perasaannya (I can: anak dapat dan dibolehkan
mengajukan berbagai pertanyaan dan mengungkapkan apapun
yang dirasakan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya),
tetapi bantu dia memahami bahwa ini adalah langkah yang perlu.
Penekanan pada pengembangan inisiatif di sini terlihat pada anak
diijinkan bertanya apa saja dan mengungkapkan perasaannya agar
bisa mengatasi masalahnya. Upaya membantu anak membangun
resiliensi dilakukan dengan mengijinkan anak mengungkapkan protes
dan berbagai pertanyaan ketika ia menghadapi situasi sulit, serta
menyediakan lingkungan yang mendukung dengan memberitahukan
adanya saudara ibu yang akan menggantikan peran ibunya selama
ibunya pergi meninggalkannya.
c. Usia 8-11 tahun
Pada rentang usia 8-11 tahun, anak belajar menjadi rajin/
industrious. Anak aktif belajar menguasai keterampilan hidup,
terutama dalam tugas sekolah. Anak ingin sukses dan memiliki
citra diri yang positif sebagai orang yang berprestasi, disamping
juga menginginkan penerimaan dari teman sebayanya. Jika anak
berhasil menyelesaikan krisis pada tahap perkembangan psikososial
ini, anak akan berkembang menjadi anak yang rajin; tetapi apabila
gagal, anak akan merasa rendah diri dan menjadi sangat sensitif

Membangun Resiliensi pada Anak | 37


terhadap keterbatasannya. Anak akan merasa tidak aman dan
mungkin mulai meragukan harga dirinya dan kemampuannya
untuk berhasil di dunia (Grotberg, 1995), dengan kata lain anak
berkembang menjadi pribadi yang tidak resilien. Contoh riil yang
diajukan Grotberg dapat diihat seperti berikut.
Contoh situasi:
“Seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun pergi keluar rumah
meski ayahnya telah melarangnya untuk keluar. Sang ayah tidak
mengetahui hal ini dan baru menyadari bahwa anak itu tidak ada
di rumah Ketika hari sudah malam”.
Respon pengasuh yang dapat membangun resiliensi anak.
Ketika anak kembali, ayah mengajak anak diskusi dan bertanya
mengapa dia melanggar aturan (I have: anak memiliki orang yang
memberitahu dia ketika berbuat salah); Ayah menjelaskan bahwa
perilakunya tidak dapat diterima bahkan dengan alasan apapun,
dan bahwa anak bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan(I
am: anak belajar bertang jawab atas segala perbuatannya); Ayah
berbicara lebih lanjut dengan anak tentang apa yang perlu dilakukan
untuk mencegah perilaku seperti ini di masa depan (I can: anak
dapat mengantisipasi apa yang perlu diperbuat apabila menghadapi
situasi serupa pada masa yang akan datang). Dia akan belajar dari
pengalamannya untuk menggunakan resiliensi menghadapi kesulitan
tersebut, belajar darinya, dan berperilaku lebih bertanggung jawab
di masa depan.
Dari contoh-contoh sampel situasi sulit yang dihadapi anak pada
berbagai tahapan perkembangan psikososial, dapat disimpulkan bahwa
Grotberg mencoba membangun resiliensi anak dengan pendekatan
konsep I have, I am dan I can, agar anak dapat menyelesaikan
kesulitan yang dihadapi dan mengatasi krisis perkembangan
psikososial untuk menjadi resilien dan terus berkembang (thrive)
mencapai tahap perkembangan selanjutnya.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa strategi intervensi
yang digunakan untuk membangun resiliensi anak dapat dilakukan
dengan dua cara: 1) berbasis kekuatan-kekuatan yang dimiliki anak
agar anak tumbuh karakteristik resilien secara personal, serti menjadi
anak yang memiliki kepercayaan diri dan penghargaan diri; dan 2)
berbasis situasi beresiko yang dihadapi anak agar anak belajar dari
kesulita atau kesalahannya, mengambil hikmahnya, serta mampu
mengantisipasi respon yang lebih efektif untuk menghadapi situasi
serupa di masa yang akan datang. Tentunya baik cara pertama
maupun kedua semuanya membutuhkan lingkungan yang mendukung.

38 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


G. Penutup
Dalam menghadapi kesulitan, tantangan dan perubahan, tidak
semua anak menunjukkan respon yang efektif; ada anak yang
bertahan mengatasi kesulitan yang dihadapi, bangkit kembali seperti
keadaan semula, dan terus berkembang dengan lancar ke tahap-
tahap perkembangan selanjutnya; sebaliknya ada anak yang ketika
menghadapi kesulitan dan tantangan, ia dengan mudah terjatuh
dalam kegagalan, terpuruk, dan sulit meneruskan tugas-tugas
perkembangan berikutnya. Dua respon tersebut dibedakan oleh
ada atau tidaknya resiliensi, yaitu kemampuan koping adaptif dan
dinamis terhadap masalah, kesulitan dan tantangan yang dihadapi,
sehingga ia mampu mengatasi kesulitannya serta kembali ke keadaan
kesejahteraan emosional semula. Oleh karena itu membangun
resiliensi pada anak menjadi sangat penting agar anak memiliki
“senjata” untuk bertahan hidup dalam menghadapi dunia yang
penuh dengan masalah tanpa kecuali bagi siapapun. Karakteristik
resiliensi terdapat pada level personal maupun lingkungan yang
terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan komunitas; pada
level personal dapat disetarakan dengan dimensi “I am” seperti
saya percaya diri dan memiliki harga diri, dan “I can” seperti
saya dapat melakukan berbagai hal secara mandiri; sementara
pada level lingkungan dapat disetarakan dengan dimensi “I have”
seperti saya dapat menemukan orang-orang yang siap membantu
setiap saat saya butuhkan. Adapun faktor yang memengaruhi dalam
membangun resiliensi anak terdiri dari faktor protektif dan faktor
resiko yang terdapat dalam lingkungan anak, kedua faktor ini
bekerjanya bersifat interaktif dan saling mengkompensir, apabila
faktor protektif mampu mengkompensir efek dari faktor resiko
yang dialami anak, maka akan terbangun karakter resilien anak,
demikian pula sebaliknya. Strategi intervensi yang digunakan untuk
membantu membangun resiliensi anak dapat berbasis pada faktor
protektif berupa kekuatan-kekuatan (strength) anak maupun berbasis
pada faktor resiko yang dialami anak, operasionalisasi dari kedua
strategi intervensi ini sangat membutuhkan pemberdayaan lingkungan,
terutama dari orang-orang yang mengasuh anak maupun guru-guru
dan otorita di lingkungannya.

Membangun Resiliensi pada Anak | 39


H. Daftar Pustaka
Bernard, B. (2004). Resiliency: What we have learned. San Francisco,
CA: WestEd.
Bhamra, R., Dani, S., & Burnard, K. (2011) Resilience: the
concept, a literature review and future directions, International
Journal of Production Research, 49 (18), 5375-5393, DOI:
10.1080/00207543.2011.563826
Cahill, H., Beadle, S., Farrelly, A., Forster, R., & Smith, K. (2014).
Building resilience in children and young people: A literature
review for the Department of Education and Early Childhood
Development (DEECD). Melbourne: University of Melbourne.
Melbourne Graduate School of Education
Eppler, C. (2008). Exploring themes of resiliency in children after
the death of a parent. Professional School Counseling. 11(3).
189-196.
Ginsburg, K. R (2011). Building resilience in children and teens:
Giving kids roots and wings. Elk Grove, Ill: American Academy
of Pediatrics.
Goldstein, S., & Brooks, R.B. (2005). “Why study resilience?” in S.
Goldstein and R.B. Brooks (Eds.), Handbook of resilience in
children. USA: Springer Science+Business Media, Inc.
Grotberg, E. (1995). A guide to promoting resilience in children:
Strengthening the human spirit. Early Childhood Development:
Practice And Reflections Number 8, pp 1-39. The International
Resilience Project, sponsored by Bernard van Leer Foundation.
Grotberg, E. (1999). Tapping your inner strength. Oakland: New
Harbinger Publication, Inc
Luthans, F., Vogelgesang, G.R., and Lester, P.B. (2006). Developing
the psychological capital of resiliency. Human Resource
Development Review, 5 (1), 25.
Luthar, S. S. (Ed.). (2003). Resilience and vulnerability: Adaptation
in the context of childhood adversities. New York: Cambridge
University Press.
Masten, A. S. (2009). Ordinary magic: Lessons from research on
resilience in human development. Education Canada. 49 (3):
28-32.
Masten, A.S. (2015). Ordinary magic: Resilience in development. New
York: Guilford Publications: pp. 1–370.
Masten, A.S., & Barnes, A.J. (2018). Resilience in Children:
Developmental Perspectives. Children, 5, 98; doi:10.3390/
children5070098

40 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Olsson, C.A., Bond, L., Burns, J.M., Vella-Brodrick, D.A., & Sawyer,
S.M. (2003). Adolescent resilience: A concept analysis. Journal
of Adolescence, 26(1), 1–11. Retrieved from https://dx.doi.
org/10.1016/S0140-1971(02)00118-5
Petty, K. (2012). Using books to foster resilience in young children.
Texas Child Care Quarterly. Fall.
Petty, K. (2014). Ten ways to foster resilience in young children –
teaching kids to “bounce back”. Dimensions of Early Childhood,
42 (3), 35-39.
Reivich, K. and Shatté, A. (2002). The resilience factor: 7 keys to
finding your inner strengths and overcoming life’s hurdles.
New York: Three Rivers Press.
Shiner, R. L. & Masten, A. S. (2012). Childhood personality as a
harbinger of competence and resilience in adulthood. Development
and Psychopathology, 24, 507-528.
Sun, J., & Stewart, D.E. (2010). Promoting student resilience and
wellbeing: Asia-Pacific Resilient Children and Communities
Project. International research handbook on values education
and student wellbeing, p. 409-426.
Ungar, M. (2013). Resilience after maltreatment: The importance
of social services as facilitators of positive adaptation. Child
Abuse & Neglect, 37(2-3), 110-115.

Membangun Resiliensi pada Anak | 41


42 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks
3
ADA APA DENGAN CINTA?
Farida Harahap
farida_harahap@uny.ac.id

A. Pendahuluan 
Apa itu cinta? Hampir sebagian besar orang di dunia menghabiskan
hidupnya untuk mencari cinta sejatinya dan makna cinta yang
sesungguhnya. Biasanya kita mengenal cinta sebagai bagian dari
relasi romantis atau cinta orang tua kepada anaknya. Tulisan ini
mencoba menggali perpektif cinta yang berbeda yaitu cinta dari
pandangan psikologi positif. Ada 3 konteks cinta yang akan dibahas
yaitu cinta sebagai kekuatan karakter, dan cinta sebagai emosi 
positif dan cinta dalam relasi dengan pasangan.
Untuk memahami cinta dari perspektif psikologi positif, ada
istilah dasar yang penting untuk dipahami yaitu the red cape (jubah
merah) atau the green cape (jubah hijau). Istilah ini diperkenalkan
oleh Pawelski (2016) untuk menjelaskan apa yang dimaksud positif
dalam psikologi positif. Menurut Pawelski (2016), ada dua jenis
pahlawan super. Pahlawan dengan jubah merah adalah orang
yang berjuang untuk memerangi hal-hal negatif dan melawan
semua yang buruk di dunia, misalnya: menangkap orang jahat,
melawan penindasan, kemiskinan dan penyakit. Pahlawan berjubah
hijau adalah orang yang berjuang untuk membawa lebih banyak
kebaikan ke dunia, membangun komunitas, memberi makan yang
lapar, dan membawa harapan, kesehatan dan kebahagiaan bagi
banyak orang. Pejuang berjubah hijau ini adalah pejuang cahaya
yang membawakan semua hal yang baik dan adil. 
Tim pahlawan jubah merah akan mencari masalah – sehingga
menemukan masalah - untuk memperbaikinya sedangkan tim
pahlawan jubah hijau akan mencari peluang – sehingga menemukan


| 43
peluang - untuk membuat hal hal menjadi lebih baik. Kedua tim
dapat bekerja sendiri sendiri sesuai posisinya tetapi akan lebih baik
bekerja bersama sama. Pawelski (2016) menggunakan metafora
ini untuk menjelaskan di mana posisi psikologi positif di antara
perspektif psikologi secara keseluruhan, dan untuk menghilangkan
anggapan bahwa sesuatu hal yang tidak disebut «positif» pada
dasarnya adalah bukan lawan atau kebalikannya. 
Untuk waktu yang lama bidang psikologi fokus pada pengobatan
penyakit mental dan psikopatologi. Ahli psikologi berusaha
menemukan teori dan intervensi untuk segala macam gangguan
mental dan perilaku, sehingga penderitanya bisa kembali ‹normal›
(functioning). Dalam bekerja, seorang terapis membantu orang yang
memiliki kecemasan atau skizofrenia dengan cara menghilangkan
kecemasannya. Ini adalah kerja tim jubah merah. Psikolog positif
mengalihkan fokusnya dari ‘berfungsi’ menjadi ‘berkembang’. Alih-alih
mencoba melawan yang buruk, para psikolog positif bertanya “apa
yang membuat hidup manusia menjadi baik? Apa itu kebahagiaan
dan pemenuhan diri? Bagaimana psikologi positif dapat membantu
manusia tidak hanya berfungsi secara normal, tetapi menjadi benar-
benar flourishing dan thriving dalam hidup?
Tindakan tim jubah merah merupakan suatu tindakan positif,
bukan kebalikan atau lawan dari psikologi positif. Menurut Pawelski
(2016), perbedaannya adalah tindakan positif ada yang langsung dan
tidak langsung. Pawelski (2016) menjelaskan bahwa menciptakan
peluang adalah tindakan positif yang langsung sedangkan mengurangi
masalah adalah tindakan yang tidak langsung.
Kembali ke topik, untuk memahami ada apa dengan cinta
dalam perspektif psikologi positif maka pembaca harus berada dalam
tim hijau. Pembaca bersiap siap untuk memahami bagaimana cinta
membawa individu menjadi tumbuh dan berkembang menjadi lebih
baik, membangun kebaikan dan sekaligus menjadi bahagia. Tulisan
ini mencoba menjelaskan cinta sebagai bagian dari kualitas paling
positif dari seorang individu: sebagai kekuatan intrapersonal dan
sebagai bekal interpersonal dalam membangun relasi yang positif
dengan orang lain. 

B. Cinta sebagai Kekuatan Karakter


Studi tentang sifat-sifat positif sebagian besar telah diabaikan dalam
psikologi kepribadian untuk waktu yang lama. Sejak Allport (1921)
menyarankan bahwa psikologi harus berfokus pada deskripsi perilaku

44 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


yang netral, tidak banyak riset yang menggali sifat-sifat positif pada
manusia. Psikologi positif mendobrak pandangan tersebut dengan
mengemukakan pentingnya menggali dan mengembangkan kekuatan
karakter sebagai sifat sifat yang baik pada manusia. 
Martin Seligman dan rekan-rekannya mempelajari semua
agama besar dan tradisi filosofis dan menemukan bahwa bahwa
beberapa  kebajikan hampir sama di berbagai budaya. Misalnya:
keberanian, kemanusiaan, keadilan dimiliki hampir di semua budaya
selama tiga milenium. Temuannya menyimpulkan bahwa budaya
di seluruh dunia menghargai kekuatan dan kebajikan manusia.
Karena kebajikan ini dianggap terlalu abstrak untuk dipelajari secara
ilmiah, praktisi psikologi positif memusatkan perhatian mereka pada
kekuatan karakter yang diciptakan oleh kebajikan dan menciptakan
alat untuk pengukurannya.
Definisi kekuatan karakter adalah sifat yang stabil dan mewakili
bagian kepribadian yang bernilai positif. Berdasarkan definisi ini,
kekuatan karakter diharapkan dapat berkontribusi pada kehidupan
yang baik, untuk diri sendiri dan orang lain (Peterson & Seligman
2004). Peterson dan Seligman (2004) mengembangkan model
karakter yang disusun berdasarkan klasifikasi kekuatan Values-in-
Action (VIA). Klasifikasi VIA ini mencakup 24 sifat positif, yang
disebut kekuatan karakter (character strengths). Kekuatan karakter
merupakan perwujudan dari enam kebajikan (virtues) yang dirangkum
dari berbagai penjuru dunia. Virtues atau kebajukan tersebut
adalah:  wisdom (kebijaksanaan), courage (keberanian), humanity
(kemanusiaan), justice (keadilan), temperance (kesederhanaan), dan
trancendence (transendensi).

1. Definisi dan Indikator Cinta sebagai Kekuatan


Karakter
Love dan the Capacity to Love adalah satu dari dua puluh empat
kekuatan karakter yang diidentifikasi dalam buku Character Strengths
and Virtues karya Peterson dan Seligman (2004). Cinta dan Kapasitas
untuk Mencintai didefinisikan sebagai menghargai hubungan dekat
dengan orang lain, saling berbagi dan peduli, serta kedekatan dengan
orang lain. Cinta dan kapasitas untuk mencintai bersama kindness
(kebaikan) dan social intelegence (kecerdasan sosial) merupakan
unsur dari humanity virtue (kebajikan kemanusiaan) yaitu virtue
positif berupa kepedulian dan kecenderungan untuk berteman
dengan orang lain. 

Ada Apa dengan Cinta? | 45


Humanity (kemanusiaan) sebagai kebajikan kemanusiaan
merupakan sifat positif dalam hubungan interpersonal yang intim
dan hangat yang terjalin antara satu orang dengan satu orang
yang lain (one to one relationship) bukan hubungan satu orang
dengan banyak orang yang lain (one to many people relationship).
Cinta sebagai kekuatan karakter, bukan sebagai emosi, mengacu
pada sejauh mana individu menghargai hubungan dekatnya dengan
seorang individu yang lain, dan berkontribusi pada kedekatan itu
dengan cara yang hangat dan tulus. Cinta sebagai kekuatan karakter
bisa menjadi pola perilaku yang diterapkan dalam hubungan apa
pun, yaitu bagaimana menjalin hubungan dengan intim dan hangat.
Cinta bersifat timbal balik berupa tindakan mencintai orang lain
dan bersedia menerima cinta dari orang lain. Cinta melibatkan
perasaan positif yang kuat, komitmen, dan juga pengorbanan.
Cinta mewakili sikap kognitif, perilaku, dan emosional terhadap
orang lain. Peterson dan Seligman (2004) mengidentifikasi tiga
bentuk prototipikal cinta: 
a. Kasih Sayang Anak kepada Orang Tua
Bentuk cinta ini adalah seperti cinta anak terhadap orangtuanya
yang menjadi sumber utama kasih sayang, perlindungan, dan
perhatian anak – cinta yang bersandar. Anak mengandalkan orang
tua mereka yang mau menjadikan kesejahteraan anaknya sebagai
prioritas dan selalu ada untuk anak saat dibutuhkan. Orang tua
membuat anak merasa aman, dan anak menderita jika berpisah
dari orang tuanya. 
b. Kasih Sayang Orang Tua kepada Anak 
Bentuk cinta ini adalah seperti kasih orang tua kepada anak yang
bergantung pada orang tuanya untuk membuat mereka merasa
aman dan diperhatikan – cinta yang memperhatikan dan memberi.
Orang tua berusaha menghibur dan melindungi anak mereka,
membantu dan mendukung, berkorban untuk keuntungan mereka,
menempatkan kebutuhan mereka di atas kebutuhan kita sendiri,
merasa bahagia ketika mereka bahagia. 
c. Cinta Romantik
Bentuk cinta ketiga adalah cinta yang melibatkan hasrat yang
menggebu-gebu untuk kedekatan seksual, fisik, dan emosional
dengan seseorang yang kita anggap istimewa dan yang membuat
kita merasa istimewa. 
Suatu hubungan dapat melibatkan lebih dari satu jenis cinta.
Misalnya, seorang sahabat mungkin saling mencintai baik dalam

46 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


cara orang tua-anak maupun anak-orang tua dalam arti bahwa
masing-masing bersandar dan saling memperhatikan. 
Suatu hubungan juga dapat melibatkan berbagai jenis
cinta pada titik waktu yang berbeda. Misalnya, seorang individu
mungkin secara bertahap beralih dari bentuk cinta anak-orangtua
ke orangtua-anak saat mereka tumbuh dewasa, dan orang tua
mereka bertambah tua. Hubungan dapat dimulai dengan satu jenis
cinta dan berkembang pada bentuk cinta yang lain dari waktu ke
waktu. Misalnya, pasangan yang berkencan mungkin awalnya saling
mencintai hanya dengan cara romantis tetapi akhirnya mulai saling
mencintai dalam cara anak-orang tua dan orangtua-anak juga.
Hubungan di antara pasangan adalah unik karena menjadi satu-
satunya ikatan sosial yang mencakup ketiga bentuk cinta. Indikator
cinta menurut Peterson dan Seligman (2004) adalah berbagi bantuan,
kenyamanan, dan penerimaan. Ini melibatkan perasaan positif yang
kuat, komitmen, dan juga pengorbanan. 

2. Dasar Teori Cinta sebagai Kekuatan Karakter


Peterson dan Seligman (2014) memilih teori Kelekatan (attachment
theory) dari Bowlby untuk menjelaskan cinta sebagai kekuatan
karakter. Kelekatan dapat dibedakan dari jenis hubungan sosial
lainnya dalam empat ciri yang menentukan, yang terlihat dalam
perilaku terhadap figur keterikatan: yaitu: berusaha untuk tetap
dekat atau berhubungan dengan (proximity seeking), tempat yang
aman atau punya kepastian (safe haven), kesal karena perpisahan
yang tidak terduga atau berkepanjangan (separation distress), dan
menggunakan figur keterikatan sebagai basis keamanan untuk
menjelajah dan mengeksplorasi dunia (secure base). Inti konsep
ini adalah kelekatan dengan pengasuh berfungsi meningkatkan
kelangsungan hidup. 
Teori kelekatan dari Bowlby dipilih Peterson dan Seligman
(2004) karena beberapa alasan. Alasannya tersebut adalah: (1)
mengintegrasikan wawasan dan data dari berbagai disiplin ilmu
dan domain yang sangat luas, termasuk etiologi, teori sistem
kontrol, psikoanalisis, psikologi kognitif, dan teori evolusi; (2) teori
ini berlaku untuk semua usia, juga lintas gender dan budaya,
dan bahkan spesies; (3) menawarkan model fenomena normatif
dan perbedaan individu; (4) teori ini menjelaskan kecenderungan
universal manusia untuk membentuk ikatan cinta sejak bayi hingga
usia tua; (5) teori ini telah menjadi dasar untuk penelitian empiris
yang lebih banyak daripada teori cinta lainnya, termasuk ratusan

Ada Apa dengan Cinta? | 47


studi tentang hubungan bayi-orang tua dan ratusan lagi hubungan
romantis orang dewasa.

3. Implementasi Cinta sebagai Kekuatan Karakter


Terkait dengan bagaimana mengimplementasikan cinta sebagai
kekuatan karakter, Niemic dan Grath (2019) memberi saran untuk
merenungkan tentang bagaimana cinta telah digunakan. Pertanyaan
pertanyaan yang harus dijawab antara lain:
a. Siapa saja orang yang paling berarti bagi Anda di setiap
bidang kehidupan Anda (keluarga, teman, mitra, rekan kerja)? 
b. Bagaimana cara Anda mengekspresikan cinta secara sehat
kepada mereka? 
c. Apakah cinta anda diterima dengan baik? Apakah mereka
membalas cinta anda?
d. Seberapa baik Anda menerima cinta itu sendiri? 
Inti dari perenungan ini adalah bagaimana menggunakan cinta
sebagai kekuatan karakter ketika berkomunikasi dengan orang lain,
bagaimana individu mengekspresikan keinginan dan kebutuhannya,
dan bagaimana membangun hubungan memberi dan menerima. 
Menurut Niemic dan Grath (2019), seberapa optimal seseorang
menggunakan cinta sebagai kekuatan karakter terlihat dari indicator
underuse, overuse dan optimal use. 
• Under use: mengisolasi diri; terputus dari orang lain; takut
untuk peduli; enggan berhubungan
• Over use: mematikan emosi; tidak selaras dengan kebutuhan
orang lain; bermulut manis atau terlalu sensitif
• Optimal use: genuine, kehangatan timbal balik; terhubung;
pemenuhan relasional
Cinta sebagai kekuatan karakter yang digunakan secara optimal
adalah ketika individu merasakan perasaan mengalami hubungan
yang dekat dan penuh kasih yang ditandai dengan memberi dan
menerima cinta, kehangatan, dan perhatian secara timbal balik
dengan orang lain.

C. Cinta sebagai Bagian dari Emosi Positif 


Banyak definisi emosi yang dikemukakan oleh para ahli karena
memang makna yang tepat masih sangat membingungkan, baik di
kalangan psikolog maupun filosof dalam kurun waktu lebih dari
satu abad. Karena makna emosi membingungkan, Daniel Goleman

48 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


(2008) mendefinisikan emosi dengan merujuk pada makna paling
literal yang diambil dari “Oxford English Dictionary” yaitu emosi
adalah segala aktivitas atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu;
setiap kondisi mental yang besar dan meluap. Menurut Goleman
(2008), ada ratusan emosi dengan berbagai variasi, campuran,
mutasi, dan nuansa sehingga makna yang dikandungnya lebih:
lebih kompleks, dan lebih halus daripada kata-kata dan definisi
yang digunakan untuk menjalankan emosi.
Goleman (2008) mengatakan bahwa emosi mengacu pada
perasaan dan pikiran tertentu, keadaan biologis dan psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Chaplin (1989) dalam
kamus Psikologi mendefinisikan emosi sebagai keadaan terangsang
dari suatu organisme termasuk perubahan sadar, yang mendalam
dari perubahan perilaku. 

1. Definisi, Aspek dan Indikator Cinta sebagai Emosi


Positif  
Tidak ada definisi universal tentang emosi positif. Emosi positif adalah
konstruksi kompleks yang memiliki banyak sinonim termasuk positif,
kebahagiaan, optimisme dan kesejahteraan subjektif. Emosi positif
mencakup tidak hanya emosi yang menyenangkan (kegembiraan,
konteks, minat, dan cinta), tetapi juga kognisi (yaitu, interpretasi
peristiwa atau keadaan kehidupan tertentu), dan tindakan atau
perilaku tertentu yang mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan
(yaitu, olahraga, menghadirkan keindahan, mengungkapkan rasa
terima kasih).  
Emosi positif mencerminkan hubungan individu dengan
lingkungannya, bagaimana mengalami dan menemukan makna
dalam hidup. Emosi positif relatif stabil dari waktu ke waktu tetapi
dapat berubah dalam menanggapi situasi langsung (yaitu, promosi,
perceraian, dan lain lain). Demikian pula, tindakan tertentu yang
disengaja, seperti mengidentifikasi hal-hal dalam hidup, salah satunya
bersyukur, terbukti meningkatkan emosi positif. Sebaliknya, berfokus
pada aspek negatif dari situasi tertentu telah terbukti mengurangi
emosi positif.
Emosi positif adalah emosi yang biasanya kita anggap
menyenangkan untuk dialami. Fredrickson, dkk. (2008) mendefinisikannya
sebagai “respons situasional yang menyenangkan atau diinginkan,
berbeda dari sensasi yang menyenangkan dan pengaruh positif
yang tidak berbeda”. Emosi positif adalah perasaan subjektif yang
menyenangkan dan dapat mencakup perubahan fisiologis dan

Ada Apa dengan Cinta? | 49


memerlukan penilaian beberapa stimulus atau penilaian maknanya.
Pada dasarnya, definisi ini menyatakan bahwa emosi positif adalah
respons yang menyenangkan terhadap lingkungan kita (atau dialog
internal kita sendiri) yang lebih kompleks dan terarah daripada
sensasi sederhana.
Emosi positif juga menghasilkan fungsi yang optimal, tidak
hanya pada saat ini, saat-saat yang menyenangkan tetapi juga
dalam jangka panjang (Fredrickson, 1998). Berdasarkan definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa emosi positif adalah keadaan
mental yang memiliki unsur perasaan, indera, pikiran, dan tindakan
yang dapat menghasilkan efek positif, seperti keceriaan, kedamaian,
kepuasan, dan kebahagiaan.
Fredrickson (2012) membagi emosi positif menjadi empat
jenis, yaitu kegembiraan (happiness), minat (interest), kepuasan
(satisfaction), dan cinta (love). Fredrickson (2013) menyusun buku
khusus mengenai cinta yaitu love 2.0. Ia menganggap cinta adalah
emosi tertinggi (supreme emotion), pengalaman emosional paling
esensial untuk berkembang. 
Cinta sebagai emosi positif dalam tulisan ini adalah sebagaimana
apa yang dijelaskan oleh Fredrickson (2013). Beberapa pokok
pikirannya antara lain: Cinta sebagai emosi positif bukanlah cinta
eksklusif - bukan hanya perasaan unik yang disimpan untuk pasangan
atau pasangan romantis kita atau perasaan hangat untuk anak-anak,
orang tua, atau teman dekat kita. Cinta bukan: hasrat seksual,
ikatan khusus, keadaan eksklusif atau emosi yang langgeng atau
tanpa syarat. Cinta sebagai emosi positif melampaui batas tersebut. 
Konsep cinta menurut Fredrickson (2013) berbeda dari konsep
yang ada saat ini. Cinta bukan hanya emosi positif yang merasuki
seseorang dari waktu ke waktu, cinta lebih besar dari emosi
positif lainnya seperti: kebahagiaan (happiness), minat (interest) atau
kepuasan (satisfaction). 
Fredrickson (2013) menggambarkannya sebagai berikut: “Cinta
adalah emosi tertinggi kita; kehadirannya atau ketidakhadiran
mempengaruhi segala sesuatu yang kita rasakan, pikirkan, lakukan,
dan jadilah. Cinta adalah keadaan saat ini (current state) yang
mengikat Anda (tubuh dan otak Anda) dengan tubuh dan otak
orang-orang yang ada di tengah-tengah Anda. Ketika Anda mengalami
beberapa momen cinta, Anda akan dapat menghirup kehidupan dan
mengarahkan diri Anda ke jalur yang akan mengarah pada lebih
banyak kesehatan, kebahagiaan dan kebijaksanaan”. Cinta adalah
momentum sesaat meningkatnya emosi positif antara satu orang
dengan orang yang lain, saling peduli yang meluas (broaden) dan

50 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


membangun (build) loyalitas dan komitmen sepanjang waktu. Cinta
adalah momen bersama (bahkan momen mikro) dari resonansi
positif yang dapat diulang, diperkuat menjadi sebuah ikatan. Dapat
disimpulkan bahwa cinta sebagai emosi positif merupakan emosi
intrapersonal yang bisa dipancarkan seperti sinyal sehingga ketika
bertemu orang lain akan memperluas momentum emosi positif
yang timbal balik dan membangun ikatan positif seperti loyalitas
dan komitmen.
Di dalam tubuh, cinta adalah “upwelling dari tiga peristiwa
yang terjalin” sesaat: pertama, berbagi satu atau lebih emosi positif
antara individu dan orang lain; kedua, sinkronisasi antara biokimia
dan perilaku individu dan orang lain; dan ketiga, motif untuk
berinvestasi bagi kesejahteraan satu sama lain yang membawa
kepedulian bersama. Berikut ini penjelasannya

2. Cinta sebagai Momentum Sesaat Berbagi Emosi


Positif  
Cinta adalah koneksi. Cinta mekar kapan saja dua orang atau lebih
— bahkan orang asing — terhubung melalui emosi positif bersama,
antara seseorang dengan orang lain. “Cinta adalah hubungan, yang
dicirikan oleh luapan emosi positif, yang kita bagikan dengan orang
lain—orang lain mana pun—yang kebetulan terhubung dengan kita
sepanjang hari”. Inilah yang disebut Fredrikson (2013) sebagai
“momen mikro resonansi positif.”
Resonansi menurut KBBI adalah dengungan (gema, getaran)
suara. Arti lainnya dari resonansi adalah peristiwa turut bergetarnya
suatu benda karena pengaruh getaran gelombang elektromagnetik
luar. Ketika seseorang mengarahkan cinta sebagai emosi positif
pada orang lain maka bagi orang yang merasakannya akan turut
hanyut dalam rasa emosi tersebut.
Cinta sebagai emosi positif bukanlah milik diri sendiri. Individu
harus memperluas kesadaran tentang lingkungan bahkan rasa diri.
Membuka batas antara diri dan bukan-diri — apa yang ada di
luar kulit — sehingga badan menjadi rileks dan lebih mudah
ditembus. Merasakan cinta yang meresap dalam diri dan kemudian
bagaimana cinta menjadi sinyal dan yang bisa dirasakan orang
lain dan kemudian dibalas sehingga menjadi resonansi yang positif. 
Cinta mengasah kemampuan untuk melihat orang lain — benar-
benar melihat orang lain, dengan sepenuh hati yang terbuka. Cinta
memberi rasa kesatuan dan koneksi yang gamblang, transendensi
yang membuat individu merasa menjadi bagian dari sesuatu yang

Ada Apa dengan Cinta? | 51


jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Cinta membuat koneksi
individu dengan orang lain menjadi positif.
Cinta menjadi emosi tertinggi karena ia dapat mengubah emosi
lain, baik itu kegembiraan, kejutan, rasa syukur, atau harapan
menjadi momen hubungan dengan yang lain. Pada dasarnya cinta
mengubah semua emosi lain menjadi sesuatu yang lebih besar, yang
memiliki manfaat di luar diri. Cinta menarik individu keluar dari
fokus dirinya untuk mendengarkan orang lain dan memungkinkan
individu untuk melihat orang lain dengan perhatian, kasih sayang
dan perhatian. 

3. Terjadi Sinkronisasi antara Biokimia, Perilaku Diri


dan Orang Lain
Fredrickson (2013) menjelaskan tiga kunci neurobiologis yang
terjadi saat cinta sebagai emosi positif:  yaitu otak, tingkat hormon
oksitosin, dan saraf vagus. Cinta  menghubungkan otak ke seluruh
tubuh dan membuat mekanisme interaksi yang bisa dirasakan oleh
diri sendiri secara biologi dan psikologis. Reaksi cinta di otak
selama momen resonansi positif bersama, otak masing-masing akan
memiliki panjang gelombang yang sama dan saling mencerminkan.   
Ketika dua orang individu berbagi momen resonansi positif
(cinta), insula (area perasaan sadar di otak) dirangsang ketika kopling
terjadi. Biokimia cinta bereaksi dengan meningkatnya hormone
oksitosin. Oksitosin adalah neuropeptida yang paling dikenal yang
dikeluarkan selama momen-momen positif bersama, hubungan
sosial, dan keterlibatan timbal balik. Saraf Vagus dirangsang selama
momen cinta tersebut, yang bertanggung jawab untuk menurunkan
detak jantung, sehingga membuat jantung lebih sehat.

4. Motif Berinvestasi pada Kesejahteraan Satu Sama


Lain yang Menjadi Perhatian Bersama
Potensi cinta dan momen resonansi positif seorang individu dengan
orang lain tidak terbatas. Peluang untuk hubungan sosial, ikatan
keluarga, dan hubungan yang kuat tidak terbatas, setiap kali seorang
individu bertemu dengan manusia lain, potensi ini ada di diri
individu tersebut. Kuncinya adalah mengaktifkannya. Ketulusan sangat
penting untuk resonansi positif, tanpanya, hubungan akan rusak.
Konsep resonansi positif ini berbeda dengan konsep tradisional
cinta yang eksklusif. Resonansi terjadi bolak balik dan bersifat
inklusif. Ketika cinta sebagai emosi positif terhubung antara satu

52 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


dengan yang lain prosesnya sama seperti cermin di mana emosi
kita dengan orang lain menjadi terhubung, sinkron, mencerminkan
dan memperkuat satu sama lain. Proses psikobiologis terjadi antara
dua orang yang terkoneksi.
Momen ini menjadi tidak biasa karena ada persatuan energi
bolak-balik yang kuat muncul di antara dua orang, seperti muatan
listrik. Cinta menjadi sinyal dan menggetarkan orang orang yang
berinteraksi di dalamnya sehingga menjadi milik semua pihak yang
terlibat, dan jaringan ikat metaforis membuat mereka terikat bersama. 

5. Prakondisi Cinta sebagai Emosi Positif


Menurut Fredrikson (2013) ada dua hal yang menjadi prakondisi
cinta sebagai emosi positif yaitu rasa aman dan koneksi. Orang-
orang yang menderita kecemasan, depresi, atau bahkan kesepian atau
harga diri yang rendah lebih sering merasakan ancaman daripada
mengalami keadaan yang sebenarnya. Keadaan ini membuat individu
menjadi terlalu waspada sehingga menggagalkan resonansi positif
dan positif. Merasa tidak aman adalah hambatan pertama untuk
mengeluarkan cinta sebagai emosi positif. 
Prasyarat kedua cinta adalah koneksi, koneksi sensorik sejati
dan temporal dengan makhluk hidup lain. Koneksi sejati adalah
adanya kehadiran fisik sebagai kunci kunci untuk cinta sebagai
emosi positif, untuk menciptkan resonansi positif secara riil. Cara
utama dalah melalui koneksi sensorik misalnya kontak mata. Bentuk
lain dari kontak sensorik— melalui sentuhan, suara, atau postur
tubuh dan gerak tubuh yang dicerminkan — tidak diragukan lagi
menghubungkan orang juga dan kadang-kadang dapat menggantikan
kontak mata. Namun demikian, kontak mata mungkin merupakan
pemicu yang paling kuat untuk koneksi dan kesatuan.

6. Implementasi Cinta sebagai Emosi Positif


Praktik meditasi cinta kasih, di mana individu menumbuhkan
perasaan hangat untuk diri sendiri dan orang lain, telah terbukti
meningkatkan kekuatan ini berpengaruh positif bagi tubuh dan
pikiran.
• Refleksi diri
• Membangun cinta pada diri sendiri : menggali dan mengeksplorasi
cinta yang ada
• Merasakan cinta orang lain

Ada Apa dengan Cinta? | 53


Di malam hari, renungkan 3 hubungan sosial yang Anda alami
sepanjang hari. Perhatikan siapa yang hadir dengan setiap koneksi,
kekuatan koneksi dan bagaimana Anda dapat meningkatkan atau
menjadi lebih terbuka terhadap koneksi ini di masa depan.
Cinta sebagai emosi positif bisa dipraktekkan secara sederhana
dengan senyum tulus. Senyum tulus yang sederhana mengekspresikan
kepositifan.
•  Senyum membangkitkan semua hal positif
•  Senyum membangkitkan inter-subjektivitas
•  Senyum memperluas pola pikir kolektif & membangun sumber
daya kolektif
•  Semua hal di atas untuk menciptakan nutrisi resonansi positif
yang memberi kehidupan (Fredrickson, 2013)
Frekuensi dalam resonansi positif sangat penting. Menghabiskan
banyak momen bersama meningkatkan peluang untuk menikmati
momen mikro resonansi positif.  
Menurut Fredrikson (2013) tubuh dirancang untuk mencintai.
Tubuh manusia menjadi lebih sehat ketika berulang kali dipelihara
oleh resonansi positif dengan orang lain. Jika ini diperkuat akan
membangun dan mengubah hidup menjadi lebih baik.

D. Membangun Cinta dalam Relasi Berpasangan 


Pawelski (2016) menjelaskan bahwa tujuan hidup berpasangan bukan
untuk mendapatkan cinta satu sama lain. Saling mencintai bukan
tujuan hidup bersama, cinta adalah cara pasangan tersebut untuk
mencapai bahagia bersama. Apa yang harus dilakukan supaya cinta
dengan pasangan bisa bertahan lama? 
Dalam buku Happy Together,  Susan Pawelski (2018) menuangkan
konsep mengenai cinta yang bertahan lama supaya pasangan bisa
bahagia bersama dari perspektif psikologi positif. Ada beberapa
konsep yang akan diuraikan juga dalam tulisan ini.

1. Memperbaharui Jargon Jargon Klasik tentang


Cinta
Ada beberapa istilah lama yang menjadi sorotan Pawelsi (2018)
dan perlu diperbaharui dari perspektif psikologi positif yaitu :
• Soulmate atau belahan jiwa
• Kamu membuat hidupku jadi lebih baik
• Kamu menyempurnakan hidupku

54 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Tiga kalimat ini cukup berbahaya karena di dalamnya terkandung
kalimat kebergantungan pada pasangan, ketidak mandirian diri sendiri,
berusaha memenuhi harapan dari pasangan dan kebergantungan. 
Bahaya pertama adalah menganggap pasangan dan hubungan
dengan pasangan sebagai takdir sehingga berada di luar kendali
atau pengaruh diri sendiri. Jika ini diyakini maka individu tidak
mengembangkan jenis keterampilan intrapersonal dan interpersonal
yang mendasar bagi hubungan yang lebih baik. Bahaya kedua adalah
bergantung pada pasangan untuk melengkapi diri yang dianggap
baru sempurna dengan keberadaan si pasangannya. Artinya individu
membutuhkan pasangannya untuk berkembang menjadi manusia
seutuhnya. Sesuatu yang seharusnya bisa dicapai oleh dirinya
sendiri meskipun tanpa pasangan. Bahaya ketiga adalah perasaan
diri yang terpenuhi oleh pasangan atau menjadi penyempurna
pasangan tidak akan bertahan lama karena kesempurnaan diri kita
sebagai pelengkap diri pasangan sesungguhnya belum tentu sesuai
dengan keinginan diri kita yang sebenarnya. Alih alih menjadi diri
sendiri, individu justru tertekan karena tidak bisa menjadi penuh
dan utuh menjadi diri yang sebenarnya.
Pandangan lain yang juga berbahaya adalah bahwa apakah
suatu hubungan akan berhasil ketika pasangan saling berkorban
satu sama lain? Artinya ketika individu melepaskan otonomi mereka,
hubungan baru bisa berkembang. Hidup berdua adalah melepaskan
otonomi untuk bisa menjadi satu. Untuk bisa menjelaskan konsep
konsep tersebut, maka digunakan dasar teori untuk menjawab
mengapa jargon jargon tersebut justru berbahaya bagi  baik bagi
diri individu itu sendiri maupun sebagai pasangan.

2. Dasar Teori
Pawelski (2018) mengunakan beberapa dasar teori : yaitu teori
motivasi dari Deci dan Ryan dan teori Aristoteles. Teori motivasi
dari Deci dan Ryan menyebutkan dua jenis motivasi yaitu motivasi
otonom dan motivasi yang terkendali. Motivasi otonom, di mana
individu melakukan sesuatu dengan penuh rasa kemauan, kemauan,
dan pilihan, baik karena itu menarik bagi dirinya atau secara
pribadi dihargai dan penting baginya. Motivasi terkendali (controlled
motivation), di mana individu melakukan sesuatu karena tergoda
atau dipaksa untuk melakukannya—misalnya, dengan imbalan
atau ancaman hukuman—dan mengalami tekanan, kewajiban dan
ketegangan.

Ada Apa dengan Cinta? | 55


Berdasarkan teori tersebut, pasangan dapat saling mengakomodir
tanpa harus mengorbankan otonomi diri masing masing. Daripada
melepaskan otonomi dirinya dalam suatu hubungan, hubungan
yang sehat adalah hubungan di mana setiap orang mendukung
motivasi otonom satu sama lain. Jadi, daripada mengharuskan
pasangan kita menjadi apa yang kita butuhkan, lebih baik kita
bekerja untuk membantunya menjadi dirinya yang sebenarnya. Dan
arti sebaliknya, daripada kita mewajibkan diri kita untuk menjadi
apa yang dia butuhkan, lebih baik dia membebaskan kita untuk
menjadi diri kita apa adanya.
Teori Aristoteles digunakan untuk melihat relasi seperti apa
yang dibangun pasangan. Menurut Aristoteles (dalam Pawelski, 2018),
ada tiga jenis relasi yang bisa dibangun dengan pasangan: utiliy
(kegunaan), pleasure (kesenangan) atau good (kebaikan). Pernikahan
dan hubungan romantis lainnya dapat terjadi pada salah satu dari
tiga jenis relasi tersebut. Sejauh mana individu dan pasangannya
telah disatukan oleh relasi karena kegunaan, kesenangan, atau
kebaikan tersebut dapat dijelaskan dalam tiga relasi bertingkat
tersebut, yaitu:
• Hubungan berdasarkan utiliy (kegunaan) fokus pada bagaimana
masing-masing diri dalam pasangan dapat memperoleh keuntungan
dari hubungan tersebut. Relasi keuntungan  mencakup jaminan
finansial jangka pendek atau jangka panjang, status sosial,
atau beberapa jenis keuntungan lainnya. 
• Hubungan bberdasarkan pleasure (kesenangan) berfokus pada
bagaimana masing-masing pasangan dapat menemukan kesenangan
dalam hubungan. Hal ini bisa berasal dari ketertarikan fisik
yang kuat, hubungan seksual, selera humor yang sama, atau
kesenangan dari minat, aktivitas, dan hobi yang sama. 
• Hubungan yang didasari good (kebaikan) difokuskan pada
kebaikan pasangan. Mereka tidak termotivasi oleh apa yang
dapat diperoleh dari pasangan atau hubungan tersebut,
melainkan oleh kebaikan yang dilihat setiap orang dalam diri
pasangannya.
Tingkat relasi paling baik adalah relasi yang dibangun karena
melihat kebaikan pada pasangan. Dua orang tertarik satu sama
lain karena kebaikan yang mereka lihat pada orang lain. Mereka
menghargai karakter orang lain dan ingin membantunya terus
tumbuh dan berkembang ke arah yang sehat. Kebaikan yang
mereka lihat dalam diri orang lain juga dapat menginspirasi mereka
untuk ingin menjadi diri mereka sendiri yang lebih baik. Jenis

56 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


relasi ini, menurut Aristoteles, tidak berorientasi pada diri sendiri
atau instrumental. Setiap orang tidak berfokus pada dirinya sendiri,
tetapi pada orang lain. Pasangan saling mencintai apa adanya, dan
bukan karena apa yang bisa mereka dapatkan dari hubungan itu.
Aristoteles berpendapat bahwa jenis relasi ini mungkin akan jauh
lebih bertahan lama dan lebih unggul dari dua lainnya. Relasi
karena kebaikan ternyata bermanfaat dan menyenangkan, serta baik.

3. Cinta dalam Hidup Berpasangan Adalah Kata


Kerja
Menurut Pawelski (2018), cinta dalam hidup berpasangan adalah kata
kerja, cinta dibangun dengan tindakan tindakan positif. Dibutuhkan
kerja keras mewujudkan cinta dalam hidup berpasangan. Cinta tidak
akan terbangun jika kita hanya duduk berleha leha dan melamunkan
kebahagiaan. Happy ending dalam kehidupan berpasangan bukan
terjadi begitu saja. Cinta dalam relasi berpasangan adalah menjalankan
kebiasaan sehat untuk membangun cinta dalam jangka panjang.
Dalam suatu hubungan, tidak cukup hanya mengetahui kebaikan
dalam diri kita dan pasangan kita untuk mencapai imbalan kebaikan.
Masing masing individu dalam hidup berpasangan harus bertindak
dan berinteraksi dengan tepat. Jadi, hubungan yang memuaskan
membutuhkan kebajikan aktif, dan bukan hanya pengetahuan
teoretis tentang bagaimana harus berperilaku. Selain itu, tidak
cukup hanya menjadi berbudi luhur sekali sekali. Sama seperti
satu latihan di gym tidak cukup untuk menjadi bugar dalam satu
hari saja. Tetapi bagaimana menjadikan rutin dan kebiasaan hidup
sehingga diri menjadi sehat. Demikian pula kebahagiaan dalam
hidup dan dalam hubungan romantis dicapai ketika kebajikan aktif
dipraktikkan sepanjang hidup. 

4. Implementasi Cinta dalam Kehidupan Berpasangan


Pawelski (2018) menyatakan bahwa ada empat kebiasaan yang
diperlukan untuk membangun dan memelihara hubungan yang
kuat dan seimbang. 
a. Harmonious Passion - Mempromosikan gairah yang sehat yang
tidak obsesif
Perumpamaan dari gairah harmonis adalah ketika seorang
individu pernah merasa benar-benar cocok dengan seseorang,
guru baru, teman, atau pasangan romantis, maka yang dirasakan
adalah perasaan memabukkan dari gairah harmonis, diliputi
oleh emosi positif yang membuat hati bernyanyi.

Ada Apa dengan Cinta? | 57


b. Positive Emotion - Menumbuhkan dan memprioritaskan emosi
positif 
Emosi positif terbangun dari fondasi yang kuat dari niat baik,
pengertian, dan koneksi yang membantu pasangan keluar dari
kesalahpahaman, perasaan terluka, atau kemunduran hidup
yang tak terhindarkan.
c. Savoring - Meluangkan waktu untuk menikmati pengalaman
bersama dengan penuh kesadaran 
Savoring membantu pasangan memanfaatkan emosi positif dan
pengalaman yang baik. Melalui savoring, sangat mudah untuk
menerima begitu saja pengalaman positif, menikmatinya sebentar
dan kemudian melanjutkan kehidupan yang sibuk. Savoring
adalah dengan sengaja membuka diri semaksimal mungkin
terhadap momen-momen positif saat itu terjadi, mengingat
momen-momen positif dari masa lalu dan mengantisipasi
momen-momen positif di masa depan.
d. Character - Mencari kekuatan (strengths) satu sama lain bersama
pasangan
Dengan mengetahui kekuatan orang yang kita cintai dan berbagi
kekuatan dengan pasangan dapat membantu menghindari
beberapa gesekan dan frustrasi yang cenderung muncul dari
perbedaan kepribadian dengan pasangan. 
Pawelski (2018) menyarankan bahwa menerapkan keempat
kebiasaan tersebut haruslah secara rutin sehingga menjadi suatu
kebiasaan sehari hari. Ia menyebutnya sebagai relationship gym
atau gym hubungan. Relationship gym adalah konsep metafora yang
diciptakan Pawelski (2018) untuk menekankan pentingnya latihan
secara teratur. Pasangan harus berinteraksi aktif dan bekerja sama
untuk mendapatkan hasil. Satu latihan saja tidak cukup. Ini adalah
proses yang berkelanjutan. Keputusan dan tindakan harian bertambah
seiring waktu untuk membangun hubungan yang lebih sehat, lebih
fleksibel, dan tangguh. Seiring waktu, pilihan dan tindakan sehari-
hari ini berkembang menjadi kebiasaan. 

E. Daftar Pustaka
Allport, G. W. (921). Personality and character. Psychological Bulletin,
18(9), 441–455. https://doi.org/10.1037/h0066265
Chaplin, J.P. (1989). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada

58 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Fredrickson, B. L., Cohn, M. A., Coffey, K. A., Pek, J., & Finkel, S.
M. (2008). Open hearts build lives: Positive emotions, induced
through loving-kindness meditation, build consequential personal
resources. Journal of Personality and Social Psychology, 95,
1045–1062. doi: 10.1037/a0013262 
Goleman, D. (2008). Working with emotional intelligence. Bantam
Doubleday Dell Publishing Group
Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive
psychology: The broaden and-build theory of positive emotions.
American Psychologist, 56, 218–226.
Niemiec R. M., & McGrath R. E. (2019). The power of character
strengths : appreciate and ignite your positive personality. VIA
Institute on Character.
Pawelski, S. P. 2018. Happy together: Using the science of positive
psychology to build love that lasts. Penguin.
Pawelski, James O. (2016). Defining the ‘positive’ in positive
psychology: Part II. A normative analysis, The Journal of
Positive Psychology, DOI: 10.1080/17439760.2015.1137628
Peterson, C., & Seligman, M. E. (2004). Character strengths and
virtues: A handbook and classification (Vol. 1). Oxford University
Press.
Fredrickson B. (2013). Love 2.0 : How our supreme emotion affects
everything we think do feel and become. Hudson Street Press.

Ada Apa dengan Cinta? | 59


60 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks
4 ANALISIS KONSTRUK ALAT UKUR
KEBAHAGIAAN
Farida Agus Setiawati
farida_as@uny.ac.id

A. Pendahuluan
Pengukuran psikologi didasari pada teori yang mendasari atributi
yang diukur yang disebut dengan konsep atau konstruk. Kedua istilah
ini sekilas memiliki memiliki makna yang sama, yaitu abstraksi dari
suatu ide, pemikiran atau peristiwa kongkrit tertentu. Meskipun
demikian dalam istilah pengukuran psikologis istilah konstruk lebih
banyak digunakan yang memiliki ciri khas tersendiri. Istilah konsep
lebih menekankan untuk memberi gambaran secara abstrak suatu
suatu objek untuk suatu tujuan tertentu, sedangkan konstruk lebih
tinggi lagi dari konsep, merupakan dari interpretasi data hasil
pengukuran dari konsep yang digunakan. Konstruk merupakan hasil
pengembangan konsep atau teori. Konstruk psikologi merupakan
pola perilaku yang cenderung konsisten pada suatu tempat dan
waktu tertentu, dan memungkinkan terdapat perubahan ketika
konteksnya berbeda, atau adanya pada orang tententu. Konstruk
psikologi sering pula disebut sebagai laten variabel,
Konstruk merupakan suatu teori yang penting yang mendasari
instrumen. Konstruk bisa berubah antar tempat dan waktu. Atribut
yang sama dapat dibuat beberapa instrumen dengan konstruk yang
berbeda tergantung dari teori dan ahli yang mengembangkannya.
Konstruk memiliki karakteristik diantaranya:
1. Merupakan konsep buatan;
2. Dibangun untuk menjelaskan fenomena psikologis;
3. Tidak dapat diamati secara langsung;
4. Konstruk psikologis bersifat abstrak dan hipotetik;


| 61
5. Sebelum diturunkan menjadi indikator tampak, konstruk
psikologis tidak dapat diamati;
6. Karena bersifat konseptual maka konstruk psikologi mengalami
perkembangan.
Penjabaran konstruk dalam pengembangan alat ukur psikologi
dilakukan melalui spesifikasi/kisi-kisi instrumen. Spesifikasi dilakukan
dengan menjabarkan teori yang mendasari instrumen yang akan
dikembangkan dalam bentuk dimensi, aspek, indikator, dan item.
Operasional konstruk diawali dari menentukan atribut (variabel)
alat ukur, menentukan konstruk/ konsep yang akan digunakan,
mengidentifikasi dimensi atribut, menerjemahkan dimensi atribut
menjadi aspek (bila ditemukan) dan indikator perilaku secara
operasionl, dan langkah berikutnya menerjemahkan atribut ini
dalam butir-butir alat ukur.
Indikator dan butir dibuat spesifik dan operasional. Penentuan
indikator dapat dilakukan melalui: penelusuran akibat-akibat dari
suatu konsep, hasilnya disebut Reflective Indicator/Reflector/Effect
indicator dan penelusuran sebab-sebab dari suatu konsep, hasilnya
disebut Formative indicator/Cause indicator. Contoh Indikator reflektif
ada;ah Kepuasan Kerja ditermahkan pada butir-butir Rajin dating,
Senang bekerja, berprestasi, komitmen dengan tugas. Sedangkan
contoh Indikator Formatif kepuasan Kerja diterjemahkan dalam
butir: gaji tinggi, adanya tunjangan keluarga, memiliki jaminan hari
tua, mendapatkan fasilitas-fasilitas seperti perumahan, kendaraan.
Sebagian besar konstruk alat ukur psikologi dibangun secara reflektif.

B. Analisis Konstruk Alat Ukur


Analisis konstruk suatu alat ukur dapat dilakukan dengan analisis
faktor. Analisis faktor dapat dibekan menjadi 2, yaitu Analisis
Faktor Eksploratori (Exploratory Factor Analysis atau EFA) dan
Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis atau
CFA). Para ahli menekankan bahwa untuk studi pengembangan alat
ukur yang pertama, maka EFA harus digunakan terlebih dahulu
untuk menemukan struktur laten yang mendasarinya (Brown, 2006;
Schumacker & Lomax, 2010), kemudian CFA digunakan untuk
menguji validitas konstruk yang diperoleh setelah EFA.
Analisis konstruk dapat dilakukan dengan Analisis Faktor
Eksploratori (EFA) dan Analisis faktor Confirmatory (CFA). EFA
merupakan pendekatan yang paling terkenal, dan paling banyak
digunakan dalam penelitian psikologi. EFA dilakukan dengan

62 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


mereduksi data dan menemukan jumlah faktor yang mendasari
alat ukur. Setelah EFA, dilanjutkan CFA digunakan untuk menguji
factor yang terbentuk dari EFA. Interpretasi hasil EFA dimulai
dengan memeriksa kecukupan sampling dengan Kaiser-Meyer-Olkin
Measure of Sampling Adequacy (KMO) dan Bartlett’s Test of Sphericity.
Nilai KMO di atas 0,5 sudah menunjukkan sampel yang cukup
(Field, 2009). Menurut Kaiser, Meyer, & Olkin (Hair, Black, Babin,
& Anderson, 2014), nilai KMO-MSA tersebut termasuk kategori
meritorious karena lebih dari 0,8. Selain KMO-MSA, Bartlett’s Test
of Sphericity digunakan untuk menentukan apakah matriks korelasi
bukan merupakan matrik identitas, jika signifikan (sig<.05) maka
analisis faktor dapat dilanjutkan (Hair, Black, Babin, & Anderson,
2014).
Langkah selanjutnya adalah penentuan jumlah faktor.
Menurut Plucker (2003), langkah ini adalah langkah yang paling
kontroversial karena terdapat beragam strategi yang dapat digunakan
untuk menentukan jumlah faktor yang terbentuk. Pada penelitian
ini, penentuan jumlah faktor menggunakan kriteria Kaiser yang
mendasarkan pada nilai Eigen yang lebih besar dari 1 dan jumlah
butir pada factor minimal 3 (Hair, Black, Babin, & Anderson, 2014;
Kaiser, 1960; Plucker, 2003). Langkah terakhir adalah menentukan
butir mana yang masuk kedalam faktor mana sekaligus memberi
nama faktor baru berdasarkan pengelompokan butir-butir alat ukur.
Untuk keperluan pemuatan butir kedalam faktornya, Plucker (2003)
menyebutkan jika banyak peneliti menggunakan batas factor loading
sebesar 0,30, sementara yang lain menggunakan 0,35, dan beberapa
menggunakan 0,40 atau lebih tinggi; meskipun pada akhirnya peneliti
perlu mempertimbangkan faktor kemudahan saat menetapkan cut
off untuk melakukan interpretasi. Pada penelitian ini, pemuatan
butir kedalam faktornya didasarkan pada nilai factor loading yang
paling besar dan kesesuaian isi antar butir untuk memasukkannya
menjadi satu nama.
CFA dapat digunakan manakala peneliti telah memiliki
pengetahuan teoritis atau empiris tentang struktur variabel laten yang
mendasarinya. Hasil CFA dilakukan dengan memeriksa data yang
dianalisis dengan kecocokan konstruk teori yang dibuat berdasarkan
indeks (fit) model. Terdapat berbagai macam indeks kecocokan yang
dilaporkan oleh LISREL 8.80; dimana dari semua indeks yang ada,
statistik chi-square adalah kriteria yang paling sering digunakan
untuk mengevaluasi kesesuaian model yang diuji. chi-square adalah
uji signifikansi statistik yang sangat sensitif terhadap jumlah sampel,
sehingga chi-square hampir selalu menolak model ketika jumlah

Analisis Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan | 63


sampel yang digunakan besar (Nye & Drasgow, 2011). Beberapa
bentuk analisis fit model selain chi-square yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi kecocokan model, diantaranya RMSEA (Root
Mean Square Error of Approximation), GFI (Goodness-of-Fit Index),
AGFI (Adjusted Goodness-of-Fit Index), NFI (Normed Fit Index), CFI
(Comparative Fit Index), dan IFI (Incremental Fit Index).

C. Studi Analisis Konstruk Kebahagiaan


Banyak ahli yang meneliti tentang konsep kebahagiaan. Di akhir abad
20 penelitian kebahagian lebih berfokus pada terhindarnya berbagai
bentuk emosi negatif seperti stess, depresi, kecemasan dibanding
dengan adanya emosi positif. Konsep ini selanjutnya berubah dengan
lahirnya psikologi positif, beberapa penelitian juga menfokuskan pada
emosi positif dalam melihat konsep kebahagiaan (Anna Wierzbicka,
2004; Seligman, 2004). Kebahagiaan dipandang sebagai suatu bentuk
dari konsep kesejahteraan subjektif, meskipun subjektif pada diri
individu namun dirasakan oleh semua orang di berbagai budaya
dan negara. Kesejahteraan subjektif merupakan gabungan dari afek
positif, afek negatif dan kepuasan hidup. Beberapa tahun kemudian
ia mengembangkan pengukuran kesejahteraan dari dimensi perasaan
positif, perasaan negatif dan florishing (Diener et al., 2010). Afek
atau perasaan positif dan negatif ini merupakan dimensi kebahagiaan.
Kebahagiaan akan muncul jika afek positif frekwensinya lebih banyak
pada diri individu dibanding afek negatif, sehingga kebahagiaan
ini lebih melihat frekwensi dibanding kualitasnya (Diener, 2009).
kebahagiaan pada penelitian ini difokuskan pada bahagia secara
akadeemik. Kebahagiaan dalam akademik ini berhubungan dengan
konteks sekolah. Kondisi emosi negative dan positif dari academic
well being dikembangkan dengan menggunakan konsep happiness
dari Diener. Bentuk-bentuk afek positif diantaranya tertarik, gairah,
kuat, antusias, bangga, siap, terinspirasi, tekun, perhatian, dan aktif.
Sedangkan bentuk-bentuk afek negatif menderita, sedih, bersalah,
takut, bermusuhan, tersinggung, malu, gugup, gelisah, dan khawatir.
Afek positif dijabarkan pada butir: 1,3,5,9,10,12,14,16, 17,19, dan
afek negatif dijabarkan pada butir: 2,4,6,7,8,11,13,15,18,20. Butir-butir
pernyataan alat ukur didikripsikan sebagai berikut:
1. Saya tertarik untuk mengikuti setiap perkuliahan
2. Saya merasa menderita setiap akan berangkat kuliah
3. Ketika diminta mengerjakan tugas kuliah, saya merasa penuh
gairah

64 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


4. Saya sedih ketika harus berangkat kuliah
5. Saya kuat menjalani perkuliahan dengan segala macam tugas
yang diberikan
6. Ketika kuliah saya seringkali merasa bersalah jika tidak dapat
mengikuti perkuliahan dengan baik
7. Saya takut ketika menjelang ujian
8. Saya bermusuhan dengan rekan-rekan kuliah saya
9. Saya merasa antusias menjalani perkuliahan
10. Saya bangga dengan kuliah saya saat ini 
11. Di Kampus saya mudah tersinggung
12. Saya siap mengerjakan tugas yang diberikan dalam perkuliahan
13. Saya malu ketika harus berpendapat di kelas
14. Proses perkuliahan dan materi kuliah membuat saya merasa
terinspirasi *
15. Saya gugup ketika akan prensentasi di depan kelas *
16. Saya tekun dalam menyelesaikan setiap tugas kuliah
17. Saya menjalani perkuliahan dengan penuh perhatian
18. Ketika menghadapi deadline tugas kuliah saya merasa gelisah 
19. Saya aktif ketika berada di dalam kelas
20. Saya khawatir tidak bisa menyelesaikan perkuliahan dengan
baik

1. Analisis Faktor Eksploratori Alat Ukur


Kebahagiaan
Pengguanaan EFA pada analisis alat ukur kebahagiaan pada
hakekatnya mencari konstruk alat ukur berdasarkan skor butir-butir
yang sudah didapatkan pada data ujicoba. Pada contoh ini ujicoba
dilakukan pada 295 mahasiswa UNY yang bersedia memberikan
respons pada alat ukur yang diberikan secara online via google
form. Hasil uji analisis faktor eksplolatory dengan membatasi nilai
eigen minimal 1 didapatkan 4 dimensi kebahagiaan. Kelima dimensi
kebahagiaan menjelaskan konstruk kebahagiaan sebesar 62.135%.
Persentasi varian yang dijelaskan pada tiap faktor dapat dilihat
pada tabel 1, begitu juga muatan faktor-muatan faktor pada tiap
butir yang dominan yang mendukung tiap faktor/dimensi.

Analisis Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan | 65


Tabel 2. Nilai Eigen, Persentasi Varian terektraksi dan Muatan
Faktor EFA 5 Faktor
Komponen
Butir
1 2 3 4 5
Tertarik 0,568 0,329 0,159 -0,274 -0,127
menderita -0,333 -0,233 0,053 0,739 0,035
Gairah 0,356 0,667 -0,056 -0,214 -0,034
Sedih -0,133 -0,192 0,049 0,778 0,241
Kuat 0,730 0,176 -0,150 -0,150 0,088
Bersalah 0,552 0,047 0,503 -0,270 0,078
Takut 0,060 -0,327 0,664 -0,060 0,046
bermusuhan -0,157 0,073 -0,036 0,345 0,562
Antusias 0,409 0,651 -0,078 -0,306 -0,168
Bangga 0,678 0,180 0,014 -0,061 -0,225
tersinggung 0,075 0,038 0,051 0,099 0,661
Siap 0,654 0,199 -0,080 -0,370 0,092
Malu -0,170 0,234 0,718 0,052 -0,300
terinspirasi 0,682 0,284 0,143 -0,072 -0,027
Gugup -0,368 0,013 0,185 -0,360 0,644
Tekun 0,409 0,673 -0,110 -0,200 0,136
Perhatian 0,233 0,785 0,187 -0,057 0,156
Gelisah 0,033 0,205 0,673 0,086 0,268
Aktif 0,593 0,421 0,051 0,245 -0,169
Khawatir 0,088 -0,242 0,533 0,252 0,440
Nilai eigen 3.714 2.77 2.123 2.045 1.775
% varian terkstraksi 18.569 13.848 10.614 10.231 8.873

Setelah mendapatkan muatan faktor tersebut dapat ditarik


kesimpulan untuk menjelaskan temuan tersebut. Jika sudah disepakati
bahwa konstruk alat ukur terdiri dari sekian faktor sebagaima hasil
analisis, dibuat nama tiap dimensi berdasar butir-butir pendukung.
Butir-butir pendukung pada satu dimensi disarankan terdiri dari
minimal 3. Pada contoh hasil analisis sebagaimana tabel 1, faktor
ke 4 dan 5 hanya didukung oleh 2 butir, begitu pula faktor 1 dan
2 agak sulit untuk memberi nama pada butir-butir pendukungnya.
Butir-butir pada faktor 1 dan 2 berasal dari 1 konsep yaitu emosi
positif. Penulis melakukan analisis faktor kembali dengan membatasi

66 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


jumlah faktor hanya 2. Pembatasan dilakukan dengan menuliskan
fixed number faktor diisi 2, sehingga based on eigenvalue tidak
terisi lagi. Analisis hasil perubahan dengan menetapkan jumlah faktor
menjadi 2, didapatkan nilai eigen dan persentasi varian terekstraksi
pada tiap faktor, serta muatan faktor tiap butir sebagaiman ada
pada tabel 2.

Tabel 2. Nilai Eigen, Persentasi Varian terektraksi dan Muatan


Faktor EFA 2 Faktor
Butir Komponen
1 2
Tertarik 0,724 0,017
Menderita -0,626 0,225
Gairah 0,714 -0,106
Sedih -0,481 0,346
Kuat 0,666 -0,088
Bersalah 0,573 0,408
Takut -0,056 0,558
Bermusuhan -0,226 0,339
Antusias 0,780 -0,214
Bangga 0,636 -0,098
Tersinggung 0,011 0,412
Waspada 0,705 -0,083
Malu 0,088 0,436
Terinspirasi 0,705 0,108
Gugup -0,157 0,390
Tekun 0,736 -0,057
Perhatian 0,654 0,223
Gelisah 0,170 0,711
Aktif 0,609 0,029
Khawatir -0,128 0,730
Nilai eigen 5.909 29.544
% varian terkstraksi 2.461 12.306

Kedua dimensi pada tabel 2 didukung oleh muatan faktor yang


sesuai dengan teori. Sehingga faktor pertama dapat dinamai sebagai

Analisis Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan | 67


afek atau emosi positif dan faktor kedua diberi nama afek atau
emosi negatif. Persentasi varian terekstraksi berdasarkan kedua faktor
ini 41.850%. Artinya persentasi varian yang dijelaskan oleh faktor
afek positif dan afek negatif sebesar 41.850%, sisanya dijelaskan
oleh dimensi lain yang belum diidentifikasi pada pengukuran ini.
Meskipun dihasilkan varian tereksptaksi yang tidak tinggi, namun
penyebaran butir-butir menjadi sesuai deng mengelompok pada
konsep emosi yang sesuai, yaitu emosi positif dan negatif.

2. Analisis Faktor Confirmatory Alat Ukur


Kebahagiaan
CFA digunakan untuk menguji dimensi/konstruk. Dimensi atau
konstruk ini sudah dibuat atau dimodelkan (measurement model)
terlebih dahulu berdasarkan suatu konsep atau teori. Berbeda
dengan EFA yang mencari/mengeksplore model pengukuran, CFA
berfungsi menguji kesesuaikan model pengukuran (fit model). Pada
contoh ini CFA dilakukan dengan menguji konstruk kebahagiaan
berdasar dimensi afek negatif dan afek positif. Sebaran afek negatif
dan positif dibuat berdasar hasil spesifikasi alat ukur yang juga
sama dengan hasil EFA.
Analisis CFA dilakukan dengan bantuan program Lisrel.
Merupakan salah satu program untuk memudahkan anlisis multivariat
maupun analisis stuctural equetion model (SEM) yang di buat oleh
Joreskog...Dengan model konstruk kebahagiaan yang terdiri dari afek
positif dan afek negatif (ketidakbahagiaan) yang terdiri dari butir-
butir sebagaimana dijelaskan pada hasil sebelumnya, didapatkan
hasil fit model sebagaimana disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria dan Hasil Kecocokan Model Pengukuran


Batas nilai
No Kriteria 1 Faktor
/ cut off
1 Chi square, (p-value) > 0.05  0.00 Tidak fit

2 Ratio of chi square/DF < 2 atau 3  = 2.74 Fit

3 RMR (Root mean square residual) ≤ 0.1  0.071 Fit

5 RMSEA (Root mean square error of  0.077 Fit


≤ 0.08
approximation)

6 GFI (Goodness of fit index) >0,90  0.87 Kurang fit

7 AGFI (Adjusted GFI) >0,90  0.81 Kurang fit

68 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


8 NFI (Normed fit index) >0,90  0.88 Kurang fit

9 IFI (Incremental fit index) >0,90   0.92 Fit

10 CFI (Compatative fit index) >0,90  0.92 Fit

Hasil di atas menunjukkan sebagian kriteria model yang


sesuai (fit model) konstruk kebahagiaan dari dimensi afek positif
dan negatif. Hanya kriteria menggunakan chi square yang tidak
sesuai/fit. Ketidak sesuaian ini dimungkinkan karena chi square
memiliki kriteria yang sensitif terhadap jumlah sampel (Barrett,
2007; Nye & Drasgow, 2011). Jumlah sampel yang besar juga
memungkinkan terjadi model yang tidak sesuai. Evaluasi lain pada
model menunjukkan adanya butir-butir yang memiliki korelasi
pada error varian. Butir ke-7 takut menjelang ujian berhubungan
dengan butir-18 yaitu perasaan gelisah saat mengerjaan tugas pada
deadline dan butir ke-20 munculnya perasaan khawatif tidak dapat
menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Emosi takut, gelisah dan
khawatif dalam konteks mengerjakan tugas akademik sebagaimana
pada butir-butir di atas memang memiliki keterkaitan satu dengan
lainnya, sehingga hasil analisis faktornya juga memiliki error varian
yang terkait.

Gambar 1. Fit Model Konstruk Kebahagiaan dengan koefisien standardize

Analisis Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan | 69


Gambar 1 menunjukkan besarnya muatan faktor pada tiap
butir dengan menggunakan koefisien standard dan pada gambar
2 ditunjukkan dari koefisien T. Dengan menggunakan koefisien T
didapatkan semua butir koefisien lebih dari 1.96, artinya semua
butir dapat menjadi bagian dari dimensi afek positif maupun negatif
dengan signifikan atau memiliki error kurang dari 5%. Meskipun
demikian apabila dilihat dari koefisien terstandar, semua butir pada
afek positif memiliki muatan faktor lebih dari 0.3, sedangkan untuk
afek negatif, semua butir memiliki muatan faktor kurang dari 0,3.
Dengan demikian dimensi kebahagiaan ini lebih tepat diukur dengan
butir-butir pada afek positif, dan sumbangannya akan cenderung
kecil jika diukur dari butir-butir menggunakan dimensi afek negatif.

Gambar 2. Fit Model Konstruk Kebahagiaan dengan koefisien T

D. Eksplorasi Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan


Konstruk kebahagiaan berkembang dalam berbagai wilayah. Penelitian-
penelitian tentang upaya pengembangan alat ukur dan pengijian
properti psikometrik suatu alat ukur diperlukan jika alat ukur tersebut

70 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


diguakan di temapat lain. Disamping itu, pengembangan konstruk
psikologi pun berkembang disesuaikan dengan kondisi suatu daerah
maupun budaya tertentu. ini sejalan juga dengan berkembangnya
indigenous psikologi. Konstruk suatu instrumen dapat berubah jika
digunakan pada situasi dan latar belakang belakang budaya yang
berbeda. Property psikometrik yang diteliti di suatu daerah/budaya
belum tentu sama hasilnya jika digunakan di daerah lain. Dengan
demikian upaya untuk melakukan penelitian konstruk ulang konstruk
kebahagiaan diberbagai daerah perlu dilakukan (Chan et al., 2014).
Konsep kebahagiaan dari Diener ini juga diteliti diberbagai budaya
dan berbagai konten bahasa (Anna Wierzbicka, 2004). Di Amerika,
Eropa, Afrika dan Asia telah diteliti konsep kebahagiaan ini. Dalam
penelitian ini penulispun meneliti konsep kebahagiaan yang dikaitkan
dengan kebahagiaan dalam bidang akademik, dengan hasil yang
cenderung konsisten pada butir-butir masing-masing dimensi afek
positif dan negatif.

E. Penutup
Tulisan ini menggambarkan upaya untuk mengembangkan konstruk
kebahagiaan dalam bidang akademik. Konsep kebahagiaan sudah
banyak diuji melalui berbagai penelitian pada berbagai bidang dan
budaya diberbagai negara. Namun upaya untuk mengembangkan
kontruk kebahagiaan ini sesuai dengan konteks subjek penelitian
diperlukan. Dengan menggunakan analisis faktor eksploratory dan
confirmatory dihasilkan konstruk kebahagiaan dalam akademik
yang sesuai dengan kondisi mahasiswa di Indonesia. Hasil tersebut
menunjukkan semua butir yang sesuai dengan model, meskipun
butir-butir dari afek positif memiliki muatan faktor yang lebih
tinggi dibanding butir-butir dari afek negatif.

F. Daftar Pustaka
Brown, T.A. (2006). Confirmatory factor analysis for applied research.
New York: Guilford Press.
Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS (3rd ed.). London:
Sage Publication Ltd.
Hair, J.F., Black, W.C., Babin, B.J., & Anderson, R.E. (2014).
Multivariate data analysis (7th ed.). Essex: Pearson Education
Limited

Analisis Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan | 71


Nye, C.D., & Drasgow, F. (2011). Assessing goodness of fit: Simple rules
of thumb simply do not work. Organizational Research Methods,
14(3), 548-570. https://dx.doi.org/ 10.1177/1094428110368562
Plucker, J.A. (2003). Exploratory and confirmatory factor analysis
in gifted education: Examples with self-concept data. Journal
for the Education of the Gifted, 27(1), 20–35
Schumacker, R.E., & Lomax, R.G. (2010). A beginner’s guide to
structural equation modeling (3rd ed.). New York: Routle
Anna Wierzbicka. (2004). 133(2), 34–43.
Barrett, P. (2007). Structural equation modelling: Adjudging model
fit. Personality and Individual Differences, 42(5), 815–824. https://
doi.org/10.1016/j.paid.2006.09.018
Chan, C. H. Y., Chan, T. H. Y., Leung, P. P. Y., Brenner, M.
J., Wong, V. P. Y., Leung, E. K. T., Wang, X., Lee, M. Y.,
Chan, J. S. M., & Chan, C. L. W. (2014). Rethinking Well-
Being in Terms of Affliction and Equanimity: Development
of a Holistic Well-Being Scale. Journal of Ethnic and Cultural
Diversity in Social Work, 23(3–4), 289–308. https://doi.org/10.10
80/15313204.2014.932550
Diener, E. (2009). Assessing Well-Being. The Collected Works
of Ed Diener. In Springer (Issue March 2015). https://doi.
org/10.1007/978-90-481-2354-4
Diener, E., Wirtz, D., Tov, W., Kim-Prieto, C., Choi, D. won, Oishi,
S., & Biswas-Diener, R. (2010). New well-being measures:
Short scales to assess flourishing and positive and negative
feelings. Social Indicators Research, 97(2), 143–156. https://doi.
org/10.1007/s11205-009-9493-y
Nye, C. D., & Drasgow, F. (2011). Effect size indices for analyses
of measurement equivalence: Understanding the practical
importance of differences between groups. Journal of Applied
Psychology, 96(5), 966–980. https://doi.org/10.1037/a0022955
Seligman, M. E. P. (2004). Martin E . P . Seligman. 133(2), 80–87.

72 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


5
MENGENAL PENDIDIKAN POSITIF
Kartika Nur Fathiyah
Kartika@uny.ac.id

A. Pendahuluan
Gaung psikologi positif yang dikenalkan Seligman dengan penekanan
pada optimalisasi kualitas terbaik individu dalam kehidupan dari
waktu ke waktu semakin meluas. Hal ini semakin mendorong
eksplorasi fungsi manusia yang optimal di berbagai konteks (Rusk
& Waters, 2013), termasuk di konteks sekolah. Paradigma psikologi
positif ini memperbaiki paradigm lama yang lebih menekankan pada
upaya penanganan problem individu. Menurut Seligman (2002),
aspek-aspek positif yang tidak tergali atau tidak terperhatikan pada
diri seseorang perlu dikembangkan sehingga dapat berfungsi optimal
dan mampu menghantarkannya pada kebahagiaan yang hakiki
(authentic happiness). Kajian psikologi positif dalam perkembangan
lebih lanjut semakin mendorong individu untuk menyadari sifat-sifat
positif yang dimilikinya sehingga mampu mencapai kualitas hidup
yang optimal. Psikologi positif sangat relevan diaplikasikan di sekolah
untuk membantu memahami dan mengoptimalkan kesejahteraan
psikologis siswa, staf dan seluruh individu yang ada di sekolah.
Momentum lahirnya gerakan psikologi positif mendorong
munculnya pertanyaan mendasar, bagaimana konsep psikologi positif
dapat diterapkan dalam kehidupan nyata? Merespon pertanyaan
ini, kajian pendidikan positif berusaha menggabungkan konsep
psikologi positif dengan praktik dan paradigma pendidikan untuk
mengoptimalkan potensi peserta didik di sekolah (Norrish, Williams,
& Connor, 2013). Tidak sekedar bagi peserta didik, Noble dan


| 73
McGrath (2015) memperluas sasaran pendidikan positif pada seluruh
anggota komunitas sekolah.
Pendidikan positif pada dasarnya merupakan integrasi berbagai
prinsip psikologi positif dengan informasi, praktik maupun program
berbasis bukti untuk meningkatkan prestasi akademik siswa dan
kesejahteraan seluruh anggota komunitas sekolah. Fokus utamanya
adalah pengembangan keterampilan akademik dan kesejahteraan
sehingga peserta didik dapat berfungsi optimal dan meningkat
kesehatan mental positifnya (Seligman, Ernst, Gillham, Reivich,
dan Linkins, 2009).
Geelong Grammar School dalam websitenya menegaskan bahwa
pendidikan positif sebagai sebuah kajian berusaha mengintegrasikan
konsep psikologi positif dengan praktik pembelajaran yang
mendorong dan mendukung individu, sekolah, serta komunitas
untuk berkembang. Istilah berkembang dimaknai sebagai kombinasi
dari merasa baik (feeling good) dan berbuat baik (doing good).
Dengan demikian fokus pendidikan positif adalah membekali siswa
berbagai keterampilan khusus sehingga memiliki relasi yang kuat,
emosi positif, pribadi yang resilien, dan memiliki gaya hidup yang
sehat sebagai pondasi kesuksesan hidupnya di masa yang akan
datang.(What is Positive Education? - Geelong Grammar School, n.d.)
Secara ringkas, Green, Oades, dan Robinson, (2011)
mengemukakan bahwa pendidikan positif pada dasarnya merupakan
penerapan psikologi positif di area pendidikan. Konsep pendidikan
positif ini merupakan kombinasi prinsip pendidikan tradisional
yang menekankan capaian prestasi peserta didik dengan studi
kebahagiaan dan kesejahteraan menurut Seligman (2011), serta nilai-
nilai dalam berperilaku atau disebut juga values in action/VIA yang
dikemukakan Peterson dan Seligman (2004). Konsep kebahagiaan
dan kesejahteraan menggunakan model PERMA (positive emotions,
engagement, relationship, meaning, dan accomplishment). Dengan
demikian, sekolah tidak hanya sebagai tempat menumbuhkan pikiran
intelektual siswa, namun juga sebagai tempat mengembangkan
kekuatan karakter, kebajikan, dan kompetensi lain secara luas.
Kapasitas intelektual, kekuatan karakter, kebajikan, dan kompetensi
lain ini selanjutnya bersama-sama mendukung kesejahteraan (wellbeing)
siswa (World Government Summit & IPEN, 2017). Jadi, pendidikan
positif berusaha memastikan bahwa kemampuan akademis siswa
dikembangkan seiring sejalan dengan upaya pengembangan karakter
dan peningkatan perilaku yang baik atau bijaksana (virtuous
behaviours) misalnya, hormat, adil, sopan,toleran, tabah, disiplin,
gigih, dan tekun (White dan Murray, 2015).

74 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Seiring dengan perkembangannya, minat terhadap pendidikan
positif terus tumbuh sejalan dengan meningkatnya pengakuan
akan peran penting sekolah dalam mewujudkan kesejahteraan
seluruh pemangku kepentingan sekolah. Semakin banyaknya riset
yang menemukan hubungan antara kesejahteraan dan keberhasilan
akademik di sekolah juga berkontribusi pada besarnya perhatian
pada pendidikan positif ini.
Berbagai paparan yang dikemukakan di atas menunjukkan
bahwa Pendidikan positif tidak sekedar membekali kemampuan
ketrampilan akademik siswa saja, namun juga membekali kemampuan
dan mendorong seluruh pemangku kepentingan di sekolah agar
sejahtera. Tolok ukur sejahtera dalam hal ini adalah memiliki
kondisi mental yang positif serta mampu berkontribusi secara
optimal untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

B. Sekilas Perjalanan Pendidikan Positif: Dulu


dan Kini
Pendidikan positif tidak serta merta hadir bersamaan dengan lahirnya
psikologi positif. Cikal bakal pendidikan positif bahkan sudah ada
sebelum munculnya gerakan psikologi positif. Dimulai dengan Penn
Resiliency Program yang dikembangkan oleh tim psikolog yang dimotori
oleh Karen Reivich dan Jane Gillham dari Universitas Pennsylvania
untuk meningkatkan resiliensi pada anak dan remaja pada tahun
1990(World Government Summit & IPEN, 2017). Sepanjang tahun
1990-2007 tim ini telah melakukan serangkaian studi longitudinal
terkontrol untuk mengetahui efektivitas intervensi kognitif-perilaku
berbasis sekolah dalam mencegah depresi dan kecemasan siswa
sekolah menengah. Secara keseluruhan, hasil studi menunjukkan
bahwa Penn Resiliency Program dapat mencegah dan mengurangi
gejala depresi dan kecemasan pada siswa.
Penn Resiliency Program merupakan intervensi kelompok
yang mengajarkan berbagai keterampilan kognitif dan perilaku
untuk menghadapi tantangan dan stressor yang biasanya dihadapi
siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Awalnya,
program ini merupakan aktivitas pencegahan depresi dengan
pendekatan terapi perilaku kognitif. Materi yang diberikan antara
lain keterampilan berpikir optimis, kemampuan pemecahan masalah,
asertif, negoisasi, relaksasi dan ketrampilan mengatasi prokrastinasi.
Dilengkapi dengan kurikulum terstruktur, dalam perkembangan
selanjutnya Penn Resilience Program mulai diterapkan di sekolah,

Mengenal Pendidikan Positif | 75


klinik dan komunitas lainnya. Meskipun awalnya dikembangkan
untuk mencegah depresi, sampai saat ini Penn Resilience Program
berkembang menjadi program yang mengajarkan keterampilan hidup
yang berharga di berbagai situasi, baik akademik, sosial, maupun
keluarga (Gilham & Reivich, 2009).
Meskipun sub-bidang pendidikan positif relatif baru, namun
sebenarnya diawali dengan sejarah yang panjang. Helen McGrath
pada tahun 2009 menyampaikan sejarah mengenai upaya berbagai
pihak untuk mewacanakan dan menerapkan wellbeing di seting
pendidikan pada Symposium Psikologi Positif Bidang Pendidikan
yang pertama di Australia. McGrath mengklaim bahwa pendidikan
positif muncul awalnya berfokus pada harga diri di tahun 1970-
an, kemudian berubah ke program keterampilan sosial di awal
1990-an, dan menjadi program resiliensi di awal tahun 2000. Sejak
saat itu pendidikan positif berkembang dan fokus pada inisiasi
program anti-bullying dan kesejahteraan siswa (student wellbeing),
termasuk di dalamnya program pembelajaran sosial dan emosi
(Green et al., 2011)
Pada tahun 2014 Profesor Martin Seligman dari Universitas
Pennsylvania mengembangkan Program Pendidikan Positif di Geelong
Grammar School di Victoria Australia. Program ini menggabungkan
konsep psikologi positif pada proses belajar mengajar di semua
jenjang pendidikan di Geelong Grammar School. Tujuan program ini
selain agar peserta didik mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan
universal seperti yang diajarkan di sekolah pada umumnya, juga
agar peserta didik dan seluruh individu yang berproses dalam
pembelajaran merasa bahagia (Green et al., 2011).
Menurut Seligman dan Adler (dalam Helliwell & Layard, 2018),
Geelong Grammar School menjadi sekolah pertama di dunia yang
membuka Institut Pendidikan Positif (Positive Education Institute) serta
menjadi pusat penelitian, pelatihan, dan pengembangan pendidikan
positif. Selama 4 tahun sejak peluncuran, Institut Pendidikan Positif
telah berkembang pesat didukung tim yang terdiri dari 16 personil
dan berhasil menyelenggarakan lebih dari 200 kursus pelatihan
untuk para pendidik di Australia khususnya dan peserta dari negara
lain di luar Australia pada umumnya.
Kajian mengenai pendidikan positif semakin mendapat perhatian
dari berbagai pihak seiring dengan meningkatnya pengakuan dan
riset mengenai peran penting sekolah untuk mengembangkan
kesejahteraan peserta didik (Norrish, Williams, & Connor, 2013).
Temuan riset menunjukkan bahwa sekolah yang menerapkan
intervensi psikologi positif cenderung memiliki siswa yang merasa

76 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


sekolahnya lebih menarik, nyaman sehingga mampu belajar lebih
banyak, bersemangat mengikuti aktivitas di sekolah, lebih optimis,
dan puas dengan relasi yang terbangun di sekolah (Waters, 2011)
serta berprestasi (Durlak & Weissberg, 2011). Pada kondisi ini
siswa mampu mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan diri
secara lebih efektif sehingga cenderung lebih sukses dan disiplin
(Duckworth & Seligman, 2005, Seligman 2013).
St Peter’s College adalah institusi pendidikan pertama yang
menyediakan layanan belajar siswa sejak usia 3 tahun sampai 16
tahun dan mengadopsi wellbeing di level strategi serta mengintegrasikan
teori-teori wellbeing dalam praktek dan kebijakan (White and Waters
2014; White 2014). Di sekolah ini kesejahteraan staf dan siswa
diukur dengan teori PERMA yang dikemukakan Seligman (2011).
Adapun tujuan operasional dan strategis St Peter’s College adalah
kesejahteraan, sehingga dalam prosesnya staf termasuk guru dan
siswa diberi kemerdekaan untuk berkreasi. Selama ini, menurut
Conley dan Lehman (2012) ada mitos yang berkembang mengenai
program sekolah pada umumnya yang cenderung hanya menekankan
pengembangan karakter dan dilandasi ketidakjelasan ilmu, berlebihan,
kuno, hanya menekankan religiusitas, bersifat paternalistik, anti-
demokrasi, anti-intelektual, konservatif, serta individualistik.
Dalam perkembangannya, minat terhadap pendidikan positif
terus tumbuh sejalan dengan meningkatnya pengakuan akan
peran penting sekolah dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh
siswa, guru, dan staf. Selain itu, semakin banyaknya riset yang
menemukan hubungan antara kesejahteraan dan keberhasilan
akademik di sekolah juga berkontribusi pada besarnya perhatian
pada pendidikan positif ini. Berkembangnya pendidikan positif
juga didukung oleh adanya keinginan berbagai pihak, khususnya
orangtua untuk mempersempit kesenjangan antara harapan terhadap
anak-anak mereka dengan apa yang diajarkan sekolah. Orang tua
pada umumnya menginginkan anak-anak mereka bahagia, sehat,
dan percaya diri, namun di sisi lain selama ini sekolah hanya
fokus pada upaya pencapaian prestasi, disiplin, dan keterampilan
akademik saja. Akibatnya, upaya untuk mewujudkan harapan agar
anak bahagia, sehat, dan percaya diri menemui banyak kendala
(Seligman et al., 2009). Untuk memperbaiki kesenjangan ini,
pendidikan positif diterapkan di sekolah dengan jalan mendorong
siswa untuk berprestasi sekaligus membekalinya dengan keterampilan
untuk mewujudkan kesehatan mental dengan paradigma psikologi
positif. Dengan kata lain, pendidikan positif berupaya membawa
tujuan psikologi positif dalam bentuk kesejahteraan dan dukungan

Mengenal Pendidikan Positif | 77


kesehatan mental bagi semua orang ke dalam lingkungan sekolah
(Selva, 2020). Meskipun pendidikan positif adalah bidang yang
relatif baru, pada kenyataannya riset-riset pendidikan positif telah
menunjukkan bukti yang meyakinkan untuk keberhasilan aplikasi
pendekatan ini di sekolah (Waters, 2011).

C. Model-Model Pendidikan Positif


Konsep ipendidikan positif mengkombinasikan prinsip-prinsip
pendidikan tradisional dengan studi kebahagiaan dan kesejahteraan
menggunakan model PERMA yang dikemukakan Seligman (2011) serta
nilai-nilai dalam berperilaku atau disebut juga values in action/VIA
yang dikemukakan Peterson dan Seligman (2004). Model PERMA
mencakup lima elemen utama untuk mewujudkan kesejahteraan
individu jangka panjang yaitu:
1. Positive Emotions (emosi positif), yaitu isi emosi yang optimis
dan positif
2. Engagement (keterlibatan), yaitu keterlibatan sepenuhnya pada
aktivitas yang menantang dengan menggunakan keterampilan
yang dimiliki.
3. Relationship (hubungan), yaitu menjalin hubungan dengan
orang lain secara berkualitas.
4. Meaning, yaitu memaknai pengalaman dalam konteks yang
lebih besar dari dirinya.
5. Achievement atau accomplishment (prestasi), yaitu sesuatu yang
dihasilkan seseorang sehingga menimbulkan perasaan berharga.
Selanjutnya, Norrish dan Seligman (2015) menambahkan elemen
ke-6 yaitu health (kesehatan) sehingga menjadi PERMAH, meliputi
aspek-aspek seperti tidur, olahraga, dan diet sebagai bagian dari
program pendidikan positif. Melalui penerapan model PERMA di
sekolah ini, diharapkan kesehatan mental positif di kalangan seluruh
pemangku kepentingan sekolah dapat meningkat. Pada akhirnya
kesejahteraan dan kebahagiaan siswa dan guru dan staf sekolah
sebagai pemangku kepentingan meningkat pula (Moore, 2020).
Semakin berkembangnya kajian pendidikan positif mendorong
berbagai ahli maupun lembaga pendidikan untuk mengembangkan
dan mengaplikasikannya dalam praktik pendidikan. Geelong
Grammar School (GGS) merupakan sekolah pertama di Australia
yang menerapkan psikologi positif di sekolah secara menyeluruh,
baik pada guru, staf, maupun siswa (Norrish & Seligman, 2015).
Ada 6 target kesejahteraan yang akan dicapai dalam pembelajaran

78 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


di Geelong Grammar School (Norrish, Williams, & Connor, 2013).
Norish, (2015) menyebutnya 6 domain model pendidikan positif di
Geelong Grammar School, yaitu: 1) emosi positif (positive emotions),
2) keterlibatan positif (positive engagement), 3) pencapaian positif
(positive accomplishment), 4) tujuan positif (positive purpose), 5)
relasi positif (positive relationships), dan 6) kesehatan positif (positive
health) dengan lebih memfokuskan pada upaya untuk mengoptimalkan
kekuatan karakter (character strengths).
Geelong Grammar School berusaha mengimplementasikan
kajian psikologi positif di seluruh aktivitas sekolah, baik secara
implisit maupun eksplisit untuk mencapai target kesejahteraan yang
sudah dicanangkan. Upaya yang dilakukan yaitu: mendorong dan
mendukung peserta didik, sekolah serta masyarakat untuk melakukan
berbagai upaya sehingga peserta didik merasa nyaman (feeling good)
dan berperilaku baik (doing good). Strategi yang dilakukan antara
lain membantu siswa dan staf agar memiliki relasi yang kokoh,
mampu mengembangkan emosi positif, resilien (memiliki ketahanan
pribadi), mindfulness (mampu melakukan kehidupan sehari-hari
dengan kesadaran penuh) dan memiliki gaya hidup sehat.
Prinsip-prinsip psikologi positif yang diterapkan di Geelong
Grammar School diwujudkan dalam 3 upaya yaitu a) menjalankannya
(live it), b) mengajarkannya (teach it), dan c) menanamkannya
(embed it). Adapun penjelasan masing-masing dipaparkan sebagai
sebagai berikut.
1. Live it. Pada program ini seluruh staf, baik guru maupun
karyawan di Geelong Grammar School didorong untuk mampu
bertindak sebagai model otentik untuk menerapkan pendidikan
positif dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun
pada aktivitas di sekolah. Untuk mendukung upaya ini, Geelong
Grammar School mengadakan berbagai pelatihan, lokakarya,
diskusi maupun jurnal club mengenai berbagai konsep dan
ketrampilan untuk mengembangkan pengetahuan dan praktik
pendidikan positif.
2. Teach it. Ini merupakan upaya sekolah untuk mengajarkan
konsep maupun ketrampilan dalam rangka mewujudkan
wellbeing sehingga siswa mampu memahami dan terlibat dalam
berbagai aktivitas di sekolah secara bermakna. Upaya yang
dilakukan antara lain menyajikan mata pelajaran pendidikan
positif terjadwal bagi siswa kelas 5 sampai kelas 10. Selain
itu, pendidikan positif juga diajarkan secara tidak langsung
dengan cara mengintegrasikannya dengan berbagai aktivitas
sehari-hari di sekolah.

Mengenal Pendidikan Positif | 79


3. Embed it. Pendidikan positif juga ditanamkan dalam kurikulum
di semua tingkatan dan di semua mata pelajaran untuk mencapai
tujuan akademik yang sudah ditetapkan. Misalnya pada mata
pelajaran sejarah, siswa ditugaskan untuk mengeksplorasi topik
genealogi melalui sudut pandang kekuatan karakter (character
strength) dengan cara mewawancarai anggota keluarganya
mengenai kekuatan karakter yang dimiliki. Contoh lain, pada
mata pelajaran seni siswa diminta mengeksplorasi istilah
flourishing dan memvisualkan pemahaman personal mereka
tentang flourishing. Pada mata pelajaran geografi, siswa menilai
masyarakat yang flourish dari kondisi kotanya. Pada mata
pelajaran pedagogi, pendidikan positif diajarkan dalam bentuk
praktik mindfulness di kelas secara rutin untuk menumbuhkan
mindset positif siswa.
Seluruh proses yang berlangsung di sekolah bersifat saling
melengkapi dan saling membantu dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan sekolah baik siswa, guru, karyawan, maupun
orangtua. Pada proses ini semua pemangku kepentingan dioptimalkan
kekuatan karakternya untuk mewujudkan sekolah sejahtera yang
tercermin dari kondisi yang flourish (adanya perasaan dan perilaku
yang baik) pada seluruh pemangku kepentingan/stakeholder). Secara
ringkas, gambaran penerapan pendidikan Positif di Geelong Grammar
School dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Rangkuman penerapan pendidikan Positif di Geelong Grammar School (Sumber:


Norrish, Williams, & Connor, 2013)

80 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Menurut Norish (2015) model pendidikan positif di Geelong
Grammar school diaplikasikan di sekolah pada empat tingkatan.
Pertama, guru dan staf belajar tentang wellbeing dan flourishing
melalui berbagai kursus dan pelatihan yang diadakan sekolah secara
reguler. Kedua, guru dan staf didorong dan didukung untuk hidup
dengan prinsip-prinsip pendidikan positif dan menerapkannya dalam
setiap perilaku maupun dalam interaksinya dengan guru, staf dan
siswa lain. Ketiga, guru mengajarkan pada siswa ilmu tentang
kesejahteraan (wellbeing) dan flourishing di kelas secara khusus dan
di seluruh kurikulum secara lebih luas. Keempat, mencantumkan
pendidikan positif dalam visi yang lebih luas untuk menciptakan
budaya dan komunitas sekolah yang sejahtera.
Pendidikan positif di Geelong Grammar School berlangsung
di setiap kelas dan dilaksanakan secara integratif di semua aspek
kehidupan sekolah baik pada mata pelajaran umum, pelajaran
agama (diistilahkan sebagai pastoral life), dan kegiatan ko-kurikuler.
Selain itu, pendidikan positif juga dikenalkan secara eksplisit di
Kelas 7 sampai 10 melalui berbagai program terkait psikologi
positif. Program ini mengajarkan siswa mengenai kebahagiaan dan
cara untuk memelihara kebahagiaan antara lain dengan mengajari
siswa beberapa keterampilan praktis untuk bekal hidup sehari-hari
((Green et al., 2011) .
Selain model yang diterapkan di Geelong Grammar School,
Noble dan McGrath (2015) mengemukakan PROSPER sebagai salah
satu model pendidikan positif untuk mencapai kesejahteraan di
sekolah. PROSPER merupakan akronim dari tujuh elemen kunci
yang berkontribusi dalam kesejahteraan mental seseorang. Ketujuh
elemen tersebut adalah: 1) positivity, 2) relationship, 3) outcomes, 4)
strength, 5) purpose, 6) engagement, dan 7) resilience. Secara rinci
PROSPER Model dijabarkan sebagai berikut.
1. Positivity. Positivity dimaknai sebagai keadaan atau karakter
positif. Bagi siswa, positivity berarti adanya pengalaman emosi
positif yang dirasakan secara optimal di sekolah seperti merasa
aman, merasa memiliki, tertarik, senang dan terhibur. Positivity
juga mencakup rasa syukur, merasa dihargai dan mampu
menghargai, mampu berfikir sekarang dan saat ini (capacity
for mindfulness) serta optimis. Upaya yang dilakukan guru
dalam mewujudkan positivity antara lain menciptakan situasi
pembelajaran dan aktivitas di sekolah yang menimbulkan emosi
positif sehingga menumbuhkan rasa terhubung, rasa aman
dan rasa senang. Selain itu, guru juga mendorong siswa agar
memiliki positive mindset sehingga mampu memahami nilai-

Mengenal Pendidikan Positif | 81


nilai positivity dan terampil menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Relationship (relasi). Relationship (relasi) merupakan salah
satu komponen penting untuk mewujudkan kesejahteraan di
sekolah. Mewujudkan kesejahteraan pada siswa tidak hanya
dibangun pada siswa saja, tetapi pada seluruh pemangku
kepentingan di sekolah. Sekolah yang berfokus pada hubungan
positif mengajarkan nilai-nilai prososial dan keterampilan sosial
serta memfasilitasi dan menerapkan relasi positif ini di setiap
struktur maupun aktivitas sekolah. Berbagai cara yang dapat
dilakukan sekolah untuk mengembangkan hubungan positif
antara lain: a). membantu siswa untuk membangun hubungan
positif dan memiliki keterhubungan dengan seluruh pemangku
kepentingan di sekolah b) mendorong persahabatan antar
siswa, c) membekali siswa dengan beberapa ketrampilan sosial
seperti kerjasama, negosiasi, asertif, bersikap adil, menanggapi
secara empatik, mengelola konflik, melakukan percakapan
secara menarik, humor, dan literasi emosi. d) menerapkan
pembelajaran kooperatif dalam proses pembelajaran, dan e)
memanfaatkan literatur untuk menanamkan relasi positif pada
siswa.
3. Outcome (hasil). Outcome atau hasil dimaknai sebagai
pencapaian hasil belajar siswa yang positif. Ini merupakan
upaya siswa untuk selalu bergerak maju menuju tujuan diiringi
dengan perasaan mampu mengerjakan tugas sekolah, memahami
bahwa pencapaian tujuan tergantung pada kerja keras,usaha,
gigih, dan adanya mindset berkembang (growth mindset), serta
berorientasi pada penguasaan tugas dan prestasi. Sekolah dapat
mengoptimalkan outcome siswa dengan cara mendorong dan
melatih siswa untuk memiliki growth mindset, tekun dan gigih
dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, serta mampu belajar
efektif, berpikir kritis dan kreatif.
4. Strength (kekuatan). Strength atau kekuatan merupakan
pengetahuan tentang kekuatan dan kemampuan karakter diri
sehingga siswa mampu menerapkannya dalam berbagai konteks.
Peran sekolah dalam hal ini adalah mengetahui kekuatan
dan kelemahan seluruh pemangku kepentingan dan fokus
membantu seluruh warga sekolah untuk mengidentifikasikan,
mengembangkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-
hari
5. Purpose (tujuan). Ini merupakan keyakinan dalam diri siswa
bahwa pembelajaran di sekolah merupakan suatu proses yang

82 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


berharga untuk mencapai tujuan diri maupun kelompok. Upaya
yang dilakukan sekolah untuk menumbuhkan sense of purpose
siswa adalah dengan menjadikan siswa merasa terhubung
dengan sekolah, merasa bahwa sekolah berharga dan relevan
untuk masa depan. Selain itu sekolah juga berupaya agar
siswa memiliki pemahaman tentang tujuan suatu materi yang
dipelajari di sekolah dan relevansinya untuk masa depan
6. Engagement (keterlibatan). Engagement didefinisikan sebagai
manifestasi motivasi siswa yang dapat diamati dan sering
ditunjukkan melalui tingginya minat, partisipasi, usaha
yang dilakukan, kontribusi yang diberikan, antusiasme, dan
kenikmatan saat melakukan kegiatan tertentu. Keterlibatan
siswa (student engagement) dapat dilihat dari empat sudut
pandang ((Fredricks, Blumenfeld, & Paris, 2004), yaitu: a).
Keterlibatan perilaku. Dicapai ketika siswa aktif terlibat dan tetap
asyik dalam proses pembelajaran. b). Keterlibatan emosional.
Diketahui dari perasaan siswa yang menunjukkan ketertarikan,
rasa penasaran, antusias, bersemangat, percaya diri, dan puas
dengan aktivitas belajarnya serta bangga terhadap produk
pembelajaran yang sudah dihasilkan. c). Keterlibatan kognitif.
Dapat dilihat dari dorongan untuk berfikir kritis dan kreatif
dalam melakukan tugas-tugas sekolah serta muncul dorongan
untuk menyelesaikan tantangan kognitif yang dihadapi. d).
Keterlibatan sosial ( ditambahkan oleh (Noble & McGrath,
2015). Keterlibatan sosial ditunjukkan oleh perilaku positif
siswa dalam berkomunikasi dengan teman sekelas dan guru,
mampu bekerjasama dengan baik dalam tim dan menggunakan
dalam berbagai keterampilan sosial sehari-hari misalnya mau
antri, mendengarkan secara aktif, dan bernegosiasi. Sekolah
dapat meningkatkan keterlibatan siswa dengan menerapkan
berbagai hasil riset untuk meningkatkan keterlibatan siswa,
memfasilitasi dan memberi kesempatan yang luas pada siswa
untuk menemukan sendiri pengetahuannya, menerapkan strategi
pembelajaran berbasis relasi (relationship-based teaching strategies),
mengkombinasikan optimalisasi berfikir kritis dan kreatif dalam
pembelajaran, serta mengembangkan kurikulum dan aktivitas
ektrakurikuler yang mendorong siswa untuk flow (keadaan
mental di mana seseorang melakukan aktivitas secara penuh,
tenggelam dalam perasaan, energinya fokus, dan menikmati
keseluruhan proses berlangsungnya aktivitas).
7. Resilience. Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk
bertahan, mengatasi masalah secara adaptif, dan bangkit

Mengenal Pendidikan Positif | 83


kembali setelah menghadapi perubahan, tantangan, kemunduran,
kekecewaan, kesulitan sehingga mampu kembali ke tingkat
kesejahteraan yang wajar. Ini merupakan kapasitas merespon
secara adaptif suatu keadaan yang sulit sehingga tetap berkembang
(Noble & McGrath, 2015). Keterampilan resilien yang dapat
diajarkan kepada siswa antara lain: a) keterampilan berpikir
optimis, b) keterampilan berpikir membantu, c) keterampilan
jarak adaptif, dan d) keterampilan menggunakan humor dan
mencari bantuan saat dibutuhkan (Noble & McGrath, 2011).
Selain itu sekolah juga dapat mengajarkan strategi koping
menghadapi pribadi maupun akademik secara positif, tangguh,
berani mengambil keputusan dan bertindak, serta mampu
mengelola diri secara optimal.

D. Riset-Riset Pendidikan Positif


Kajian pendidikan positif semakin mendapat perhatian dari berbagai
pihak seiring dengan meningkatnya pengakuan dan riset mengenai
peran penting sekolah dalam mengembangkan kesejahteraan peserta
didik (Norrish, Williams, & Connor, 2013). Melalui berbagai riset
yang dilakukan kajian psikologi positif dapat diimplementasikan
dalam praktik maupun paradigma pendidikan sehingga mampu
mengoptimalkan potensi peserta didik di sekolah (Norrish,
Williams, & Connor, 2013).
Salah satu konsep kunci dalam psikologi positif adalah
gratitude atau memaafkan. Syukur didefinisikan sebagai ‘rasa terima
kasih dan kegembiraan dalam merespon pemberian hadiah atau
keberuntungan dari pihak lain. Hadiah atau keberuntungan dapat
berupa manfaat nyata dari orang lain atau momen kebahagiaan
dan kedamaian yang ditimbulkan oleh keindahan alam (Peterson &
Seligman, 2004b). Sebagai suatu emosi, keadaan bersyukur dihasilkan
dari pengakuan bahwa (a) seseorang telah memperoleh hal yang
positif dari hasil tertentu; dan (b) ada sumber eksternal untuk hasil
positif ini. Adanya kesadaran bahwa orang atau pihak lain yang
telah mengerahkan upaya untuk memberi hadiah (dapat berupa
keberuntungan atau hasil positif) semakin memperkuat perasaan
syukur sehingga syukur dianggap sebagai emosi empatik (Lazarus &
Lazarus, 1994). Dalam sampel remaja, rasa syukur secara signifikan
dikaitkan dengan afek positif, kepuasan hidup, optimisme, dukungan
sosial dan perilaku prososial (Froh, Yurkewicz, & Kashdan, 2009).

84 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Froh, Sefick, dan Emmons (2008) menguji pengaruh gratitude
dalam intervensi ‘menghitung berkat’ (counting blessings’ intervention)
untuk kelas enam dan tujuh (N = 221). Intervensi ini dilakukan
di 11 ruang kelas secara acak, dan masing-masing diberi salah
satu perlakuan dari tiga kondisi. Empat kelas dikondisikan dengan
rasa syukur, empat kelas dikondisikan dengan situasi yang penuh
ketidaknyamanan, dan tiga kelas berfungsi sebagai kontrol tanpa
perlakuan. Siswa di ruang kelas syukur diminta guru selama 2
minggu mengisi jurnal harian berupa lima hal yang mereka syukuri
setiap hari. Siswa dalam kondisi ketidaknyamanan diminta menulis
selama 2 minggu jurnal harian yang isinya tentang 5 hal yang
membuat mereka kesal atau jengkel. Penilaian keadaan psikologis,
fisik dan kesejahteraan sosial dilakukan pada saat pretest, posttest
dan follow up 3 minggu kemudian. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kelompok siswa dalam kondisi syukur menunjukkan
peningkatan rasa syukur, optimisme dan kepuasan hidup lebih
banyak daripada siswa yang berada di kelas yang dikondisikan
dengan ketidaknyamanan maupun kelas dalam kondisi kontrol.
Hubungan antara rasa syukur atas bantuan orang lain dan afek
positif menjadi lebih kuat selama intervensi 2 minggu dan paling
kuat 3 minggu setelah intervensi berakhir. Kelompok siswa yang
diinstruksikan untuk menghitung dan menuliskan rasa syukurnya
menunjukkan kepuasan terhadap pengalaman sekolah mereka lebih
banyak dibandingkan dengan siswa yang ada di kelas yang penuh
ketidaknyamanan maupun di kelas yang berisi kelompok kontrol.
Salah satu konsep psikologi positif yang diterapkan di sekolah
adalah flow. Flow adalah istilah yang diciptakan oleh Csikszentmihalyi
(2002) yang mendefinisikan keterlibatan yang berada pada tingkat
tinggi pada suatu aktivitas. Pada kondisi ini seseorang terlibat
sepenuhnya dan larut (tidak merasa bahwa waktu berlalu) ketika
melakukan aktivitas yang memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya
dan bersifat menantang sehingga membutuhkan keterampilan
tinggi. Saat flow, siswa mencapai kepuasan dalam penyelesaian
tugas, begitu terbenam secara intrinsik dengan waktu berjam-jam
yang berlalu seperti menit. Pikiran siswa benar-benar fokus dan
terserap dalam aktivitas yang dilakukannya dan cenderung bertahan
meskipun ada tantangan karena merasa bahwa aktivitasnya sangat
menyenangkan (Nakamura & Csikszentmihalyi, 2005).
Shernoff dkk. (2003) meneliti kondisi yang mendorong flow
di kelas dalam studi longitudinal pada 526 remaja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa flow lebih mungkin terjadi pada pengalaman yang

Mengenal Pendidikan Positif | 85


berlangsung secara aktif dan interaktif (misalnya, kerja kelompok,
diskusi) daripada kegiatan pasif (misalnya, mendengarkan ceramah
atau menonton video). Selain itu, agar terjadi kecocokan antara
tingkat keterampilan siswa dan tantangan tugas perlu diupayakan
untuk menyediakan pilihan di antara berbagai aktivitas, menetapkan
harapan dan tujuan secara jelas, menyajikan keterampilan mengajar
secara bertahap, dan memberi umpan balik yang teratur dan
spesifik kepada siswa.
Mindfulness juga menjadi salah satu konsep psikologi positif
yang berusaha dikaji, diuji, dan diaplikasikan di konteks sekolah.
Istilah mindfulness merujuk pada pengaturan diri terhadap perhatian
dengan menggunakan sikap ingin tahu, terbuka dan penuh penerimaan
(Bishop et al., 2004). Ini berarti mindfulness merupakan aktivitas
memperhatikan saat ini tanpa menilai (Niemiec & Pearce, 2021)
dan sebaliknya menggunakan ‘auto pilot’ sehingga kurang menyadari
apa yang terjadi, dan melewatkan beberapa detail yang bukan
menjadi fokus perhatian.
Fredrickson, Cohn, Coffey, Pek, dan Finkel (2008)2001
menemukan bahwa praktik mindfulness meditasi penuh cinta
kasih menghasilkan peningkatan emosi positif dalam pengalaman
sehari-hari dan selanjutnya meningkatkan sumber daya pribadi
(misalnya: tujuan hidup, dukungan sosial). Berbagai studi yang
mengintegrasikan pelatihan mindfulness di sekolah (ada 14 studi)
menemukan peningkatan keterampilan sosial, keterampilan akademik,
regulasi emosi, harga diri, suasana hati yang positif dan kemampuan
akademik serta ingatan dan perhatian yang lebih baik pada siswa.
Selain itu, pelatihan mindfulness juga menurunkan stres, kecemasan,
dan kelelahan pada siswa (Meiklejohn et al., 2012)
Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk mempraktekkan
mindfulness (Niemiec & Pearce, 2021) pada siswa, yaitu:
1. Secara formal. Mindfulness dipraktekkan siswa setiap hari atau
setiap minggu (maksimal 10 menit per hari untuk anak-anak).
Bentuk paling umum pelatihan mindfulness adalah mendorong
siswa untuk berkonsentrasi pada pernafasan mereka. Aplikasi
Smiling Mind di http://smilingmind.com.au memiliki panduan
mindfulness gratis untuk usia 7–11 tahun, 12–15 tahun dan
16–22 tahun. Salah satu aktivitasnya berupa meditasi berjalan,
di mana anak-anak berjalan dalam diam melalui taman, kebun,
atau area menarik lain.
2. Secara informal. Dalam pendekatan ini siswa didorong untuk
mempraktikkan mindfulness saat mereka perlu menenangkan

86 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


diri. Ini dapat terjadi ketika siswa merasa cemas, kewalahan
atau depresi, guru mendorong mereka untuk memperlambat,
berhenti sejenak, atau membantu siswa untuk bernapas dalam-
dalam, dan menyadari keberadaan tubuh, perasaan, perilaku,
dan lingkungan mereka. Selain itu, siswa pada metode ini
didorong untuk memikirkan upaya yang dilakukan untuk
membantu diri sendiri sehingga merasa lebih baik.
3. Pendekatan saat ini. Pada pendekatan ini siswa didorong
untuk memusatkan pikiran yang mengembara ke beragam
aktivitas di satu waktu menjadi fokus hanya di satu pikiran
di satu waktu. Pada pendekatan ini siswa juga didorong
untuk memperhatikan apa yang sedang dilakukan (melihat,
mendengar, mencium, dan menyentuh) serta mempraktikkan
keberadaan di masa sekarang, bukan di masa lalu atau di
masa yang akan datang.
Model yang mendasari pendidikan positif adalah pendekatan
kekuatan pendekatan (strengths approach). Dari perspektif kekuatan,
setiap orang memiliki kemampuan dan kapasitas unik yang dapat
membantu mereka berkembang (flourish) dan melakukan yang terbaik
(Wood, Maltby, Stewart, & Joseph, 2008). Kekuatan dipandang
memiliki manfaat penting bagi kesejahteraan dan berkontribusi pada
kesuksesan hidup seseorang di berbagai bidang (Peterson & Seligman,
2004a). Oleh karena itu, membekali siswa dengan keterampilan
akademis dan pengetahuan sangat bermanfaat untuk membantu
siswa mengembangkan kekuatan (strength) seperti cinta, rasa ingin
tahu, kreativitas, dan ketekunan sehingga dapat berkontribusi secara
optimal di masyarakat (Park & Peterson, 2006a).
Kekuatan karakter didefinisikan oleh Brdar dan Kashdan, (2010)
sebagai kualitas seseorang yang sudah ada sebelumnya, muncul
secara alami, otentik, motivasi yang muncul saat melakukan bersifat
intrinsik dan memberi energi. Pada siswa sekolah menengah, (Park
dan Peterson, (2008) menemukan bahwa kekuatan karakter dalam
bentuk ketekunan, kejujuran, kehati-hatian dan cinta berkorelasi
negatif dengan agresi, kecemasan dan depresi. Kekuatan karakter
ketekunan, keadilan, syukur, kejujuran, harapan, dan perspektif
merupakan prediktor signifikan dari nilai-nilai rata-rata atas dan
nilai tinggi lain di luar IQ pada siswa (Park & Peterson, 2009).
Program Psikologi Positif Strathhaven dirancang dan dikembangkan
di Amerika Serikat untuk mengajar anak-anak sekolah berbagai
keterampilan yang dibutuhkan untuk menciptakan emosi positif
dengan mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan karakter yang

Mengenal Pendidikan Positif | 87


dimiliki. Program ini terdiri dari 20-25 pelajaran dengan menggunakan
sudut pandang Values ​​in Action (VIA) menurut (Peterson &
Seligman, 2004b). VIA terdiri dari 24 karakter kekuatan, termasuk
dalam salah satu dari enam kebajikan inti yaitu: kebijaksanaan,
keberanian, kemanusiaan, keadilan, kesederhanaan dan transendensi.
Program ini dilakukan pada 347 siswa kelas 9 yang dibagi secara
acak meliputi kelompok kelas seni bahasa yang berisi kurikulum
psikologi positif serta kelompok kelas seni bahasa yang tidak
mengandung kurikulum psikologi positif(kontrol). Dilakukan pretest
dan posttest serta follow-up 2 tahun kemudian pada siswa di kedua
kelompok, guru, serta orang tua siswa. Hasil evaluasi yang dilakukan
Seligman et al. (2009) menunjukkan bahwa Program Psikologi
Positif Strathhaven menunjukkan hasil yang positif. Ditinjau dari
perbandingan pretest dan posttestnya, diketahui bahwa siswa di kelas
yang berisi kurikulum psikologi positif menunjukkan kesenangan
dan keterlibatan yang lebih besar di sekolah pada akhir tahun
dibanding dengan kelas yang tidak ada mengandung kurikulum
psikologi positif. Selanjutnya, berdasarkan laporan guru diketahui
bahwa program tersebut meningkatkan kekuatan siswa yang terkait
dengan pembelajaran dan keterlibatan di sekolah, seperti rasa ingin
tahu, kecintaan belajar dan kreativitas. Guru dan orang tua juga
melaporkan adanya peningkatan keterampilan sosial bagi siswa
dalam kehidupan sehari-hari selama di sekolah maupun di rumah.
Di Australia, Madden, Green, dan Grant (2011) merancang
dan mengevaluasi program pembinaan berbasis kekuatan untuk
anak-anak sekolah dasar menggunakan karakter VIA. Program
pembinaan ini merupakan bagian dari kurikulum pengembangan
pribadi untuk meningkatkan kesehatan mental. Program dirancang
untuk membantu siswa di kelas 5 (N = 38; usia rata-rata =10,7
tahun) dalam mengidentifikasi kekuatan karakter, menetapkan
tujuan, dan menggunakan kekuatan ini dengan cara inovatif. Salah
satunya adalah menulis ‘surat dari masa depan’ untuk diri mereka
sendiri. Selain memberikan perlakukan tertentu, program ini juga
menyajikan delapan sesi pembinaan dari seorang guru di sekolah
tersebut. Hasil posttest menunjukkan adanya peningkatan harapan
dan keterlibatan siswa setelah mendapat program tersebut.
Studi yang dilakukan Trask-Kerr, Chin, dan Vella-Brodrick (2019)
pada 205 siswa Kelas 10 berusaha mengeksplorasi pandangan siswa
tentang kemakmuran dan kesuksesan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa siswa yang sudah menerima pelatihan pendidikan positif
lebih sering menghubungkan kesuksesan dan kemakmuran dengan

88 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


hubungan interpersonal dan lebih jarang membahas uang sebagai
indikasi kesuksesan.
Di Geelong Grammar School (GGS), Melbourne, Australia
konsep antara lain resiliensi, rasa syukur (gratitude), flow, relasi
positif dan emosi positif pendidikan positif diuji dalam riset dengan
terlebih dahulu melatih 100 anggota staf GGS untuk menerapkan
berbagai konsep tersebut dalam kehidupan pribadi maupun dalam
pengelolan kelas yang diampu. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan yang signifikan pada keterlibatan, rasa ingin tahu,
cinta belajar, kreativitas, rasa senang terhadap berbagai aktivitas
di sekolah serta peningkatan prestasi akademik siswa berdasarkan
laporan staf GGS maupun orang tua siswa. Selain itu, dilaporkan
juga adanya perbaikan positif dalam keterampilan sosial siswa
seperti empati, kerja sama, ketegasan, dan pengendalian diri (M.
E. P. Seligman et al., 2009).
Green, Oades, dan Robinson (2011) memulai dua studi penelitian
pendidikan positif. Satu studi mencakup program pendidikan positif
strategis selama tiga tahun di Knox Grammar School, sekolah anak
laki-laki swasta Sydney, yang secara ilmiah dievaluasi oleh University
of Wollongong. Studi kedua adalah uji coba terkontrol secara acak
yang membandingkan pembinaan berbasis bukti dan intervensi
psikologi positif pada siswa Kelas 11 di dua sekolah menengah
umum yang terseleksi di Sydney. Studi yang dilakukan Green,
Oades, dan Robinson (2011) ini merupakan studi berlapis yang
dimulai dengan pelatihan guru mengenai psikologi positif. Setelah
itu, sejumlah program sekolah dikembangkan berdasarkan pengajaran
nilai. Salah satunya adalah Hari Kakek-Nenek (Grandparents Day)
di mana siswa ‘Belajar dari Kehidupan Orang Lain’ dan diikuti
dengan penugasan mengenai ‘Syukur dan Hormat’. Bagian penting
lain dari proyek ini adalah pelatihan kepemimpinan pada siswa
kelas 6. Siswa diajari keterampilan untuk memperoleh kesejahteraan
(skills of wellbeing) dan pertolongan pertama emosional (emotional
first aid) sehingga dapat bertindak sebagai pemantau kesejahteraan
sekolah menggunakan kekuatan khas yang dimiliki.
Sekolah kemudian menjalankan program makan siang yang
disebut ‘Playground Post’ dan ‘Friendship Tree’ (strategi anti-bullying),
di mana para ketua Kelas 6 memberikan pertolongan emosional
pertama kepada siswa yang lebih muda yang membutuhkan
bantuan di taman bermain. Guru menggunakan bahasa psikologi
positif di kelas dan telah mengembangkan aktivitas yang sesuai
dengan kurikulum. Proyek Kesejahteraan sekarang telah diperluas

Mengenal Pendidikan Positif | 89


ke komunitas sekolah di daerah tersebut (Green, Oades, dan
Robinson, 2011).
Al-Mansoori, Kayan-Fadlelmula, dan Abdeen (2017) menemukan
peran pendidikan positif dalam memotivasi siswa sehingga lebih
bersemangat,fokus, meningkat partisipasi, perhatian, kreativitas,
keterlibatan, dan sikap positifnya dalam proses pembelajaran. Dalam
penelitian ini, konsep psikologi positif diterapkan dalam pendidikan
sebagai kerangka kerja untuk meningkatkan emosi positif siswa seperti
kegembiraan, kepuasan, dan rasa syukur sehinga pada akhirnya
dapat meningkatkan kesejahteraan dan kinerja akademiknya. Studi
ini menampilkan prototipe integrasi psikologi positif di pelajaran
bahasa Inggris kelas 9 dan saat ujian. Sebelumnya guru dilatih untuk
menggunakan bahasa dan frasa positif dengan siswa disertai dengan
pembekalan kepada guru sehingga mampu menghubungkan konsep
teoritik yang akan disampaikan dengan minat dan keterlibatan siswa.
Untuk mendukung penerapan pendidikan positif, dalam penelitian
ini diatur juga tempat duduk yang fleksibel sehingga mendukung
relasi antar siswa, guru didorong untuk menggunakan bahasa yang
positif dan menghindari ekspresi negatif, serta dibangun pula iklim
belajar mengajar yang aman dan penuh perhatian.
Penerapan konsep PROPER yag dikemukakan Noble dan
Grath pada Institute of Positive Psychology and Education (IPPE) di
Australian Catholic University melibatkan 54 guru yang dilatih untuk
mendukung program kesejahteraan siswa. Program ini dinamai Bounce
Back Wellbeing and Resilience yang diluncurkan tahun 2003 dan
direvisi pada tahun 2011 (McGrath & Noble 2003, 2011). Bounce
Back pada awalnya dikembangkan untuk mewujudkan wellbeing
di sekolah dasar dan menengah melalui promosi budaya sekolah
yang positif didukung oleh kurikulum wellbeing dari berbagai aspek
untuk panduan guru dalam melaksanakan pembelajaran pada
siswa. Selanjutnya Bounce Back dikembangkan menjadi program
menyeluruh yang mencakup strategi pengajaran, organisasi sekolah
dan kelas, kerjasama orangtua, serta berbagai unit kurikulum terfokus

E. Penutup
Semakin berkembangnya kajian-kajian pendidikan positif seperti
dipaparkan dalam uraian di atas membawa konsekwensi perlunya
berbagai kajian tersebut dapat diimplementasikan di semua sekolah.
Di lapangan, ada kemungkinan berbagai kendala ditemui karena
berbagai kondisi misalnya keterbatasan dana, kurangnya dukungan

90 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


untuk implementasi baik dari pemerintah dan pemangku kepentingan,
maupun belum adanya kapasitas yang memadai dari berbagai pihak
untuk mewujudkannya. Diperlukan kemauan semua pihak agar
pendidikan positif dapat diimplementasikan dengan baik sehingga
kesejahteraan psikologis siswa, staf dan seluruh individu yang ada
di sekolah dapat dioptimalkan.
Di kelas, guru dapat mengajarkan kesejahteraan sebagai sebuah
konsep, sekaligus juga dapat merancang strategi secara kreatif untuk
menerapkan konsep-konsep kunci, seperti harapan, kekuatan karakter
dan kelincahan emosional pada pembelajaran yang dilakukan.
Riset-riset mengenai penerapan pendidikan positif perlu
semakin ditingkatkan untuk melihat efikasi berbagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan siswa dan selanjutnya dapat menjadi
model sekolah lain untuk mewujudkan kesejahteraan siswa. Perlu
juga dilakukan pengujian berbagai variabel penting psikologi dalam
pendidikan positif di berbagai budaya karena adanya kemungkinan
perbedaan hasil terkait peran budaya yang berpengaruh di dalamnya.

F. Daftar Pustaka
Al-Mansoori, R. S., Kayan-Fadlelmula, F., & Abdeen, D. H. (2017).
Implementing Positive Education in a Preparatory School: A
Case Study from Qatar. International Journal of Information
and Education Technology, 7(9), 654–660. https://doi.org/10.18178/
ijiet.2017.7.9.948
Bishop, S. R., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, L., Anderson, N. D.,
Carmody, J., … Devins, G. (2004). Mindfulness: A proposed
operational definition. Clinical Psychology: Science and Practice,
11(3), 230–241. https://doi.org/10.1093/clipsy/bph077
Brdar, I., & Kashdan, T. B. (2010). Character strengths and well-
being in Croatia: An empirical investigation of structure and
correlates. Journal of Research in Personality, 44(1), 151–154.
https://doi.org/10.1016/j.jrp.2009.12.001
Conley, K. M., & Lehman, B. J. (2012). Test anxiety and cardiovascular
responses to daily academic stressors. Stress and Health, 28(1),
41–50. https://doi.org/10.1002/smi.1399
Duckworth, A. L., & Seligman, M. E. P. (2005). Self-discipline
outdoes IQ in predicting academic performance of adolescents.
Psychological Science, 16(12), 939–944. https://doi.org/10.1111/
j.1467-9280.2005.01641.x

Mengenal Pendidikan Positif | 91


Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. C., & Paris, A. H. (2004). School
Engagement Potential of the Concept. Review of Educational
Research, 74(1), 59–109.
Fredrickson, B. L., Cohn, M. A., Coffey, K. A., Pek, J., & Finkel,
S. M. (2008). Open Hearts Build Lives: Positive Emotions,
Induced Through Loving-Kindness Meditation, Build Consequential
Personal Resources. Journal of Personality and Social Psychology,
95(5), 1045–1062. https://doi.org/10.1037/a0013262
Froh, J. J., Sefick, W. J., & Emmons, R. A. (2008). Counting
blessings in early adolescents: An experimental study of gratitude
and subjective well-being. Journal of School Psychology, 46 (2),
213–233. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2007.03.005
Froh, J. J., Yurkewicz, C., & Kashdan, T. B. (2009). Gratitude and
subjective well-being in early adolescence: Examining gender
differences. Journal of Adolescence, 32(3), 633–650. https://doi.
org/10.1016/j.adolescence.2008.06.006
Gilham, J. ., & Reivich, K. J. (2009). Penn Resiliency Program. In
S. J. Lopez (Ed.), The Encyclopedia of Positive Psychology (2nd
ed., pp. 676–678). United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd.
Green, S., Oades, L., & Robinson, P. (2011). Positive Education:
Creating florishing students, staff, and schools. Psych.
Helliwell, F., Layard, R., Eds, J. S., Happiness, G., & Report, P.
(2018). Chapter 4. (February), 52–73.
Lazarus, R. S., & Lazarus, B. . (1994). Passion & Reason: Making
Sense of Our Emotions. New York: Oxford University Press.
Madden, W., Green, S., & Grant, A. M. (2011). Enhancing engagement
and hope. International Coaching Psychology Review, 6(1), 71–130.
Moore, C. (2020). What is Positive Education, and How Can We
Apply It? Retrieved from https://positivepsychology.com/what-
is-positive-education/
Niemiec, R. M., & Pearce, R. (2021). The Practice of Character
Strengths: Unifying Definitions, Principles, and Exploration of
What’s Soaring, Emerging, and Ripe With Potential in Science
and in Practice. Frontiers in Psychology, 11(January). https://
doi.org/10.3389/fpsyg.2020.590220
Noble, T., & McGrath, H. (2015). PROSPER: A New Framework
for Positive Education. Psychology of Well-Being, 5(2). https://
doi.org/10.1186/s13612-015-0030-2
Norish, J. M. (2015). Positive Education: The Geelong Grammar
School Journey. https://doi.org/DOI:10.1093/acprof:o
so/9780198702580.001.0001

92 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Norrish, J. M., Williams, P., & Connor, M. O. (2013). An applied
framework for Positive Education. International Journal of
Wellbeing, 3(2), 147–161. https://doi.org/10.5502/ijw.v3i2.2
Park, N., & Peterson, C. (2009). Strengths of Character in Schools.
In Handbook of Positive Psychology in Schools (pp. 65–76).
New York: Routledge.
Park PhD, N., & Peterson PhD, C. (2008). Positive Psychology and
Character Strengths: Application to Strengths-Based School
Counseling. Professional School Counseling, 12(2), 85–92.
Retrieved from https://search.proquest.com/docview/213448895?
accountid=14511%0Ahttp://sfx.ucl.ac.uk/sfx_local?url_ver=Z39.88-
2004&rft_val_fmt=info:ofi/fmt:kev:mtx:journal&genre=article&sid
=ProQ:ProQ%3Apsychology&atitle=Positive+Psychology+and+Ch
aracter+Strengths%3A+Appl
Peterson, C., & Seligman, M. (2004a). Character Strengths and
Virtues. Oxford, England: Oxford University Press.
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004b). Character Strength
and Virtues: A handbook and classification. New York, N.Y.:
Oxford University Press.
Rusk, R. D., & Waters, L. E. (2013). Tracing the size, reach,
impact, and breadth of positive psychology. Journal of Positive
Psychology, 8(3), 207–221. https://doi.org/10.1080/17439760.2013
.777766
Seligman, M. E., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive psychology:
An introduction. The American Psychologist, 55(1), 5–14. https://
doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.5
Seligman, M. E. P. (2002). Positive Psychology, Positive Prevention,
Positive Therapy. In C. . Snyder & S. J. Lopez (Eds.), handbook
of Positive Psychology (pp. 3–12). Oxford, England: Oxford
University Press.
Seligman, M. E. P. (2011). Flourish. London: Nicholas Brealey
Publishing.
Seligman, M. E. P., Ernst, R. M., Gillham, J., Reivich, K., &
Linkins, M. (2009). Positive education: Positive psychology and
classroom interventions. Oxford Review of Education, 35(3),
293–311. https://doi.org/10.1080/03054980902934563
Selva, J. (2020). Positive Psychology in Schools and Education for
Happy Students. Retrieved September 26, 2020, from https://
positivepsychology.com/positive-education-happy-students/
Trask-Kerr, K., Chin, T. C., & Vella-Brodrick, D. (2019). Positive
education and the new prosperity: Exploring young people’s
conceptions of prosperity and success. Australian Journal of

Mengenal Pendidikan Positif | 93


Education, 63(2), 190–208. https://doi.org/10.1177/0004944119860600
Waters, L. (2011). A review of school-based positive psychology
interventions. Australian Educational and Developmental Psychologist,
28(2), 75–90. https://doi.org/10.1375/aedp.28.2.75
What is Positive Education? - Geelong Grammar School. (n.d.).
Retrieved from https://www.ggs.vic.edu.au/School/Positive-Education/
What-is-Positive-Education
White, M., & Murray, S. A. (2015). Positive Education Series editor.
In Evidence-based approaches in positive education. https://doi.
org/10.1007/978-94-017-9667-5
Wood, A. M., Maltby, J., Stewart, N., & Joseph, S. (2008).
Conceptualizing gratitude and appreciation as a unitary
personality trait. Personality and Individual Differences, 44(3),
621–632. https://doi.org/10.1016/j.paid.2007.09.028
World Government Summit, & IPEN. (2017). The state of positive
education. In The state of positive education. Retrieved from
http://www.ipositive-education.net/ipens-state-of-positive-education-
report/

94 | Model-Model Pembelajaran Era Digital


6 PENGASUHAN YANG MENSEJAHTERAKAN
ANAK
Rita Eka Izzaty
rita_ekaizzaty@uny.ac.id

A. Pendahuluan
Keluarga merupakan lingkungan penting yang mempengaruhi
perkembangan dan pembentukan pola perilaku yang khas pada
anak. Salah satu tujuan dari sebuah keluarga adalah untuk
membantu, mengajarkan, membimbing, dan mendampingi anak
dalam membangun harga dirinya dengan mengoptimalkan potensi
agar mampu menjadi orang dewasa yang cakap dan mandiri.
Melalui aktivitas pengasuhan, orangtua membimbing dan mengajarkan
berbagai keterampilan pada anaknya.
Dalam praktik pengasuhan atau yang disebut alam pendidikan
permulaan (Ki Hajar Dewantara, 1977), orangtua berperan
sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar dan sebagai pemberi
contoh. Orangtua sebagai penuntun dimaksudkan adalah orangtua
memberikan bimbingan dan pembinaan untuk optimalisasi potensi
anak dengan memenuhi kebutuhan dasar anak, baik fisik maupun
psikologis dengan dukungan lingkungan yang kondusif. Sebagai
pengajar, orang tua diharapkan memiliki ilmu yang cukup untuk
mengajarkan pengetahuan ke anak. Selain itu, orang tua harus
mendukung proses pendidikan yang dijalankan anaknya di lembaga
pendidikan. Lebih lanjut Ki Hajar menjelaskan bahwa orang tua
sebagai pemberi contoh atau teladan ditunjukkan dengan memberikan
contoh atau model perilaku baik, termasuk ketika menggunakan
bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari, serta termasuk memberikan
contoh-contoh pandangan atau pemikiran yang mengarahkan pada
pemberian kesempatan pada anak-anak untuk meningkatkan bakat
dan minatnya. Dalam hal ini orangtua sebagai nakhoda dalam


| 95
keluarga harus mendukung perkembangan berbagai kemampuan
anak, baik dari sisi intelektual, spiritual, kemampuan sosial, serta
mengajarkan dan memberi contoh menjadi warga negara yang baik
(Guthrie & Amos, 2020).
Tercatat ada sekitar 89,6% dari populasi orang dewasa di
seluruh dunia menjadi orangtua (Rajan dalam Lonczak, 2019). Semua
orangtua tentu saja ingin menjadi yang terbaik bagi anak-anaknya,
walaupun terkadang merasakan bingung, frustasi, dan berbagai
ekspresi baik positif dan negatif ketika menjalani berbagai peran
sebagai orangtua dalam aktivitas pengasuhan yang dilakukanya.
Namun demikian, ada persamaan dari semua orang tua yaitu ingin
agar anaknya sehat dan merasa aman (Rubin & Chung, 2006).
Istilah orangtua didefinisikan oleh Juffer, Bakermans-Kranenburg
dan van Ijzendoorn (2008) sebagai individu yang kehadirannya
berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan anak-anak. Orangtua
yang dimaksud di sini adalah orang tua kandung, orangtua asuh,
orangtua tunggal, orangtua tiri, kakak, dan kerabat lain dan non-
kerabat yang memainkan peran yang berarti dalam kehidupan
anak. Ahli lain, Brooks (2011) menyatakan bahwa orangtua adalah
individu-individu yang mengasuh, melindungi, dan membimbing
anak dari bayi hingga tahap dewasa. Jadi, istilah orang tua berlaku
untuk setiap individu yang memiliki hubungan yang konsisten
dengan seorang anak, serta berkeinginan untuk mensejahterakannya
(Seay, Freysteinson & McFarlane, 2014).
Dalam artikel ini, pendekatan Psikologi Positif akan menggiring
pemahaman terkait apa dan bagaimana pengasuhan yang baik
dilakukan berdasarkan keyakinan bahwa semua anak dilahirkan
dengan baik dan memiliki potensi untuk berkembang optimal.
Berbagai kajian akan menjelaskan tentang konsep teoretik bagaimana
anak berkembang dan peran orangtua sebagai lingkungan terdekat,
gambaran pengasuhan yang mensejahterakan, serta dimensi dan
aktivitas pengasuhan yang dilakukan.

Tinjauan Ecological System Theory tentang Peran


Orangtua dalam Perkembangan Anak
Urie Bronfenbrenner (1979, 2005) menyatakan tentang sebuah teori
tentang bagaimana individu berkembang di dalam berbagai lapisan
lingkungan atau ekologi. Teori ini disebut dengan Ecological Systems
Theory. Istilah ”ekologis” mengacu pada konteks tempat individu
berada pada berbagai kondisi yang menyediakan beragam pola

96 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


hubungan sosial, dan berbagai aturan dan kesepakatan bersama
yang mempengaruhi pembentukan tingkah laku individu tersebut
(Guerra, Boxer, Kim, 2005). Dengan menggunakan sudut pandang
teori ini akan membantu memahami bagaimana budaya dan
berbagai pengalaman sosial membentuk perkembangan individu.
Dimanapun berada, perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh
lingkungan fisik dan sosial dimana mereka tinggal, kebiasaan atau
budaya dan praktik dalam membesarkan anak, serta kepercayaan
yang dianut orangtuanya. Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab mengapa perkembangan anak berbeda-beda, selain tentu
saja dipengaruhi oleh genetik atau hal-hal yang bersifat biologis.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Bronfenbrenner (1979) bahwa individu
yang berkembang dipandang sebagai partisipan aktif dalam proses
belajar. Ekologi perkembangan manusia ini melibatkan studi ilmiah
yang progresif, akomodasi timbal balik yang berlangsung sepanjang
jalan kehidupan antara manusia yang aktif yang selalu berkembang
dan sifat-sifat yang selalu berubah dari berbagai lingkungan dekat
(immediate environment) yang berinteraksi dalam perkembangan
kehidupan individu. Ecologycal Systems Theory ini disusun berdasarkan
dari paradigma ekologis mengenai perkembangan yang awalnya
merupakan versi yang ditransformasi dan diperluas oleh rumus
klasik Kurt Lewin yang ditansformasikan oleh Bronfenbrenner
(Bronfenbrenner, 1979), yaitu: B = f (PE) [Tingkah laku (behavior)
adalah fungsi bersama dari individu (person) dan lingkungan
(environment)], kemudian ditansformasikan menjadi D = f (PE)
[Perkembangan (development) adalah fungsi bersama dari individu
dan lingkungan]. Perkembangan didefinisikan sebagai fenomena
konstan dan perubahan dalam karakteristik manusia sepanjang
jalan kehidupan.
Bronfenbrener (1979) Dalam bukunya “The Ecology of Human
Development”, menyatakan ada tiga hal yang menjadi dasar
kerangka pemikiran mengenai ekologi perkembangan manusia.
Pertama, manusia yang tumbuh dan berkembang tidak hanya
lingkungan saja yang mempengaruhi, namun manusia juga sebagai
entitas yang tumbuh secara dinamis bergerak ke dalam maupun
merestruktur lingkungan dimana manusia itu tinggal. Kedua,
dikarenakan lingkungan juga berpengaruh pada proses tumbuh
dan berkembangnya manusia, oleh karena itu membutuhkan proses
akomodasi timbal balik (hubungan timbal balik) atau interaksi
antara individu dan lingkungan dipandang sebagai dua-arah. Ketiga,
lingkungan sebagai tempat dimana terjadi proses perkembangan
individu tidak hanya terbatas pada lingkungan tunggal atau dekat

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 97


saja, tetapi juga bergabung membentuk hubungan antara berbagai
setting lingkungan, yang memungkinkan terjadi adanya pengaruh luar
yang berasal dari lingkungan yang lebih luas. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa berbagai setting dari lingkungan, baik yang dekat
atau secara langsung berhubungan dengan proses perkembangan
individu maupun lingkungan yang jauh akan selalu berinteraksi
mempengaruhi proses perkembangan individu.
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan, maka secara topologis
lingkungan atau ekologi tempat manusia berkembang dianggap
sebagai suatu konstruk tempat yang didefinisikan sebagai berikut
(Bronfenbrener, 1979)
a. Mikrosistem, yaitu lingkungan terdekat bagi kehidupan anak,
yaitu seperti orangtua, teman sebaya, dan sekolah.
b. Mesosistem, yaitu hubungan yang terjalin antar pihak yang
masuk dalam lingkungan mikrosistem. Sebagai contoh, orang
tua dan guru berinteraksi dalam sistem sekolah.
c. Eksosistem, yaitu ekologi yang berisi sejumlah kondisi yang
mempengaruhi perkembangan anak, namun anak di sini tidak
terlibat dalam suatu peran langsung. Misalnya kesejahteraan
sosial, serta pengaruh media massa, dalam hal ini adalah
pengaruh TV yang banyak memberikan berbagai macam model
yang membentuk perilaku tertentu.
d. Makrosistem, yaitu sistem yang berisi nilai-nilai, ideologi,
hukum, masyarakat dan budaya. Sebagai contoh anak Indonesia
tidak sama dengan anak Amerika. Chang (2009) menguatkan
bahwa peran budaya dan pranata sosial anak mempengaruhi
terbentuknya perilaku anak melalui kebiasan atau tradisi yang
sering dillakukan
e. Kronosistem, yaitu life events yang berisi berbagai kejadian
yang dialami individu yang dapat mempengaruhi adanya
perubahan perilaku. Pengalaman-pengalaman ini bisa berasal
dari lingkungan eksternal (seperti perpindahan tempat, perceraian
orangtua, kematian orang terdekat, kelahiran saudara kandung,
masuk sekolah), ataupun dari lingkungan internal yaitu penyakit
atau hal yang terkait dengan kondisi yang perlu penanganan
secara khusus.
Dari penjelasan berbagai sistem ekologi terlihat bahwa
perkembangan anak berlangsung melalui proses-proses kompleks dan
saling berinteraksi antara anak yang aktif dengan individu, objek,
serta berbagai macam simbols pada lingkungan yang dekat atau
memiliki pengaruh langsung dengan anak. Secara ringkas dapat

98 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


dikatakan bahwa interaksi selalu terjadi secara teratur sepanjang
kehidupan anak (Bronfenbrenner & Morris, 1998). Lebih lanjut,
mengenai bagaimana anak berkembang Bronfenbrenner menyatakan
sebagai berikut ini:
Child development takes place through processes of progressively
more complex interaction between an active child and the
persons, objects, and symbols in its immediate environment. To
be effective, the interaction must occur on a fairly regular basis
over extended periods of time. (Adapted from Bronfenbrenner
& Morris, 1998, p. 996)
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setting
terpenting pada kehidupan anak merupakan keluarga, karena
sebagian besar waktu anak dihabiskan dalam keluarga dan juga
disebabkan karena adanya keterikatan emosi di dalamnya. Setting
lain yang juga penting adalah anggota keluarga (extended family)
yang lain, pengasuhan dan pendidikan anak pada usia awal, serta
setting komunitas lainnya, seperti tetangga, teman sebaya, dan
tempat bermain. Dalam hal ini, perkembangan anak ditentukan
oleh pengalaman yang didapatkannya dari berbagai macam setting
lingkungan, seperti apakah orang di sekitarnya? Apakah orang
di sekitarnya sudah menunjukkan cara yang tepat bagaimana ia
harus bertingkah laku? apakah ada orang yang mendukung dan
memotivasi untuk berekspresi? apakah ada orang yang menyediakan
berbagai macam benda sebagai alat bermain bersamanya? Berbagai
pengalaman inilah anak-anak dengan orang dan objek di sekitarnya
menjadi mesin utama dalam perkembangannya. Selain itu, frekuensi
dan kualitas dari adanya hubungan antar berbagai setting, seperti
adanya kerjasama antara orangtua dan pihak sekolah juga merupakan
penunjang perkembangan anak. Begitupun juga lingkungan lain yang
tidak langsung berinteraksi namun mempengaruhi perkembangan
anak, seperti lingkungan tempat orangtua bekerja, atau berbagai
hukum atau aturan yang dikeluarkan oleh negara.

B. Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak


Seperti yang telah dijelaskan dalam kajian teoretik sebelumnya,
relasi orangtua dan anak melalui aktivitas pengasuhan menjadi
variabel penting yang mempengaruhi perkembangan anak. Istilah
pengasuhan merujuk pada proses membesarkan dan mendidik anak
yang dilakukan orang tua (ayah dan ibu) dari anak lahir sampai
usia dewasa. Pada proses ini ada dua hal yang selalu menyertai

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 99


yaitu adanya aktivitas yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak
dan tanggung jawab orangtua terhadap anak agar anak dapat
berfungsi dengan baik selama hidupnya (Bornstein & Sawyer,
2006). Menguatkan hal ini, Hoghuhi dan Long (2004) menyatakan
bahwa pengasuhan merujuk pada serangkaian aktivitas orangtua
yang dirancang untuk membentuk kemampuan ketahanan diri,
kasih sayang, pengembangan diri, dan kesejahteraan (well-being)
pada anak. Dalam hal ini orangtua menunjukkan berbagai aktivitas
kasih sayang dalam berbagai konteks sepanjang kehidupan anak
untuk kesejahteraan anaknya.
Liddle dan Carter (2015) menyatakan bahwa kesejahteraan
psikologis pada anak ditunjukkan adanya kondisi emosi yang
positif dan berpenampilan yang positif. Hal ini menandai adanya
keseimbangan pada anak antara kondisi afek (emosi) dan pengembangan
diri, serta hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa kesejahteraan psikologis anak terdiri dari 2 dimensi, yaitu;
pertama, positive emotional state yang ditunjukkan adanya perasaan
gembira, rileks, dan menikmati atau senang akan hal baru. Hal ini
juga dibuktikan Izzaty (2018) membuktikan dari hasil penelitiannya
pada anak prasekolah di Yogyakarta bahwa kebahagiaan diartikan
anak dengan adanya kehadiran emosi positif seperti adanya ekspresi
senyum dan tiadanya ekspresi nangis atau sedih. Sementara, dimensi
kedua yaitu positive outlook yang ditunjukkan adanya keyakinan
diri, dapat berhubungan atau bersosialisasi dengan baik, serta
memiliki harapan masa depan yang baik (optimis). Nampaknya
kedua dimensi ini mewakili konsep pendekatan hedonis maupun
eudaimonic. Pendekatan hedonis fokus pada kebahagiaan yang
mendefinisikan kesejahteraan dalam hal pencapaian kesenangan
dan penghindaran rasa sakit (Kahneman et al., 1999), sementara
pendekatan eudaimonic berkaitan dengan makna, dan realisasi diri
di mana kesejahteraan dilihat sebagai fungsi penuh dari orang
tersebut (Ryan dan Deci, 2001). Adanya kondisi yang sejahtera
secara psikologis mencerminkan adanya kebahagiaan pada anak.
Sejalan dengan pernyataan sebelumnya Garbarino, Bradshaw,
dan Kostelny (dalam Mahpur, Koentjoro, & Subandi, 2021)
bahwa salah satu indikator pengasuhan yang sukses adalah tidak
munculnya perilaku dan kesalahan dari orangtua dalam memberikan
perlakuan yang berdampak merugikan perkembangan anak. Brooks
(2011) juga menguatkan hal tersebut dengan menyatakan bahwa
dalam pengasuhan setidaknya ada poin yang dilakukan agar anak
tumbuh dan berkembang dengan bahagia, yaitu: aktivitas merawat,

100 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


melindungi, dan membimbing kehidupan baru anak, dan aktivitas
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak atas dasar cinta,
perhatian, dan nilai nilai yang ditanamkan. Dapat disimpulkan
bahwa aktivitas pengasuhan bertujuan untuk mendukung atau
mengantarkan anak-anak agar tumbuh dan berkembang dengan
optimal, sehingga menjadi anak yang sejahtera baik secara fisik
maupun psikologisnya.
Selain hal yang telah dijelaskan, proses pengasuhan juga
menunjukkan adanya hubungan dua arah dan saling timbal balik
antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya atau
lingkungan sosial (Brooks, 2011). Interaksi antara orangtua dan
anak ini akan membentuk deskripsi atau gambaran, persepsi, dan
perilaku tertentu baik dari sisi orangtua maupun dari sisi anak
(Baumrind, 1991). Dengan kata lain bahwa aktivitas pengasuhan
menjadi ajang belajar bagi orangtua dan anak untuk saling
memahami dan menyesuaikan diri masing-masing.
Selama menjalankan aktivitas pengasuhan ini, kondisi fisik
maupun psikologis orangtua memainkan peran yang penting. Hal
ini seperti yang dikemukakan oleh Santrock (2020) bahwa segala
sesuatu yang berkaitan dengan kondisi orang tua serta berbagai
kegiatan pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak
berpengaruh terhadap perkembangan anak yang diwujudkan dalam
perilakunya sejak usia dini dan hingga usia selanjutnya. Walaupun
pola pengasuhan dilakukan secara berbeda-beda, namun hal yang
harus dijadikan pegangan semua orangtua adalah semua hal yang
dilakukannya selalu diamati, dirasakan, serta ditiru oleh anak. Oleh
karena itu, pengasuhan hendaknya dilakukan dengan kesadaran dan
didukung adanya pengetahuan yang komprehensif terhadap cara
mengoptimalkan potensi yang ada pada diri anak.
Sekitar tahun 1998, istilah pengasuhan positif (positive parenting)
dipakai di beberapa kajian literatur sebagai pola asuh yang baik
(Sanders, 1998). Pengasuhan positif diartikan sebagai proses membantu
anak dan remaja untuk tumbuh dan berkembang dalam suasana yang
kondusif dari cinta dan pengertian. Pengasuhan positif mencontohkan
pendekatan ini dengan berusaha untuk mempromosikan perilaku
pengasuhan yang paling penting untuk mendorong perkembangan
anak yang positif (Rodrigo, Almeida, Spiel, & Koops, 2012). Lebih
lanjut Rodrigo et al., (2012) menggambarkan bahwa pengasuhan
positif sebagai pengasuhan yang memelihara, memberdayakan,
tanpa kekerasan, dan yang memberikan pengakuan dan bimbingan
yang melibatkan penetapan batas-batas untuk memungkinkan

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 101


perkembangan yang optimal pada anak. Ahli lain (Seay, Freysteinsten,
& McFarlane, 2014) menyatakan bahwa pengasuhan positif adalah
hubungan berkesinambungan antara orang tua dan anak atau anak
yang meliputi mengasuh, mengajar, memimpin, mengomunikasikan,
dan menyediakan kebutuhan anak secara konsisten dan tanpa syarat.
Sanders dan Mazzucchelli (2018) menguatkan konsep pengasuhan
yang positif digunakan semua orang tua dan pengasuh anak. Tujuan
pengasuhan positif adalah untuk mempromosikan perkembangan
dan mengelola perilaku dengan cara yang konstruktif dan tidak
menyakitkan bagi anak. Ini merupakan pendekatan pengasuhan
anak berdasarkan perhatian positif dan komunikasi yang baik.
Anak-anak yang dibesarkan dengan pendekatan pengasuhan ini
cenderung mengembangkan keterampilan dan merasa nyaman
dengan diri mereka sendiri. Lebih lanjut, Sanders dan Mazzucchelli
(2018) menyatakan bahwa ada lima aspek kunci sebagai prinsip
melakukan pengasuhan positif, yaitu:
1. Memastikan lingkungan yang aman dan menarik. Anak-anak
membutuhkan lingkungan bermain yang aman, terutama sekali
mereka mulai merangkak. Ketika rumah adalah tempat yang
aman, maka anak akan bermain dan menjelajah dengan bebas
dan risiko terluka yang lebih kecil. Anak-anak membutuhkan
lingkungan yang menarik dengan peluang untuk mengeksplorasi,
menemukan, bereksperimen, dan mengembangkan keterampilan
mereka. Rumah yang penuh dengan hal-hal menarik untuk
dilakukan akan merangsang rasa ingin tahu anak Anda serta
perkembangan bahasa dan intelektual mereka. Ini juga membuat
anak-anak sibuk sehingga dapat terhindar dari perilaku buruk.
Tetapi mereka harus diawasi secara memadai setiap saat.
Dalam hal ini perlu tahu di mana mereka berada dan apa
yang mereka lakukan.
2. Menciptakan lingkungan belajar yang positif. Orang tua harus
“ada” untuk anak-anak. Dalam konteks ini, orang tua tidak
harus bersama mereka setiap saat, tetapi tetap berada di
sana saat mereka membutuhkan bantuan, perhatian, atau
perhatian. Ketika anak mendekati orangtua, maka beri mereka
perhatian penuh. Dorongan dan perhatian positif membantu
memotivasi anak-anak untuk belajar dan mendorong anak-anak
untuk mencoba hal-hal baru untuk diri mereka sendiri. Ketika
orangtua melihat anak melakukan sesuatu yang tepat, maka
berilah apresiasi, sehingga anak akan cenderung melakukannya
lagi.

102 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


3. Menggunakan disiplin yang asertif. Disiplin asertif melibatkan
sikap konsisten, bertindak cepat ketika anak-anak berperilaku
buruk dan mengajarkan anak untuk berperilaku dengan cara
yang dapat diterima. Ketika orang tua menggunakan disiplin
asertif, anak-anak belajar untuk menerima tanggung jawab
atas perilaku mereka, untuk menjadi sadar akan kebutuhan
orang lain dan untuk mengembangkan kontrol diri. Anak-
anak juga cenderung mengembangkan masalah perilaku jika
orang tua mereka tidak konsisten. Dalam hal ini orang tua
juga harus menghargai kemampuan anak dalam melakukan
sesuatu Ketika anak bertingkah buruk atau membuat kesal,
yang terbaik adalah tetap tenang dan menghindari berteriak,
memanggil nama, mengancam atau memukul.
4. Memiliki harapan yang realistis. Harapan tergantung pada
apa yang orang tua anggap normal untuk anak-anak pada
usia yang berbeda. Tetapi perlu diingat bahwa anak-anak
adalah individu dan mereka berkembang pada tingkat yang
berbeda. Setiap anak harus mencapai titik perkembangan
di mana mereka siap untuk mempelajari keterampilan baru
seperti menggunakan toilet, berpakaian atau memberi makan
sendiri. Jika tidak yakin apakah anak siap untuk mempelajari
keterampilan baru, dapatkan nasihat profesional. Masalah dapat
muncul ketika orang tua berharap anak-anak mereka menjadi
sempurna - atau ketika mereka berharap terlalu banyak, terlalu
cepat dari seorang anak. Orang tua menyiapkan diri untuk
kekecewaan dan konflik jika mereka berharap anak mereka
akan selalu sopan, kooperatif, rapi dan membantu. Jangan
berharap anak sempurna. Semua anak membuat kesalahan
dan sebagian besar kesalahan itu tidak disengaja. Penting juga
bagi orang tua untuk memiliki harapan yang realistis terhadap
diri mereka sendiri. Setiap orang tua akan ingin melakukan
yang terbaik sebagai orang tua, tetapi berusaha menjadi orang
tua yang sempurna bisa membuat orang tua merasa frustrasi
dan tidak mampu, karena menjadi orang tua yang baik juga
melalui pengalaman.
5. Merawat diri sendiri sebagai orang tua. Menjadi orang tua yang
baik tidak berarti bahwa anak-anak akan mendominasi hidup
orang tua. Menjadi orang tua lebih mudah ketika kebutuhan
pribadi untuk keintiman, persahabatan, rekreasi, dan waktu
sendirian tetap menjadi bagian yang dilakukan para orangtua.
Dalam prinsip ini diartikan bahwa pengasuhan dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang berdampak pada harga diri dan

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 103


kesejahteraan (well-being) orang tua. Oleh karena itu, orang
tua melihat pengasuhan sebagai bagian dari konteks pribadinya
sebagai pengayaan diri yang memerlukan kemampuan untuk
dapat melaksanakannya dengan baik, namun di sisi lain
orangtua juga masih terpenuhi kebutuhannya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, “kapan pengasuhan positif
dimulai?” dan “bagaimana efeknya pada anak?’ Jawabannya akan
dijelaskan berikut ini berdasarkan beberapa penelitian terdahulu.
Keterikatan orangtua dan anak secara konsisten menunjukkan bahwa
bayi di bawah usia satu tahun mendapat manfaat dari pengasuhan
yang positif. Keterikatan yang aman antara bayi dan ibu terkait
dengan berbagai hasil perkembangan positif, seperti harga diri,
kepercayaan diri, kompetensi sosial (Juffer, Bakermans-Kranenburg
& van Ijzendoorn, 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa kualitas
keterikatan ibu-anak diyakini sebagai fungsi dari kepekaan orang
tua yang tentunya merupakan indikator kunci praktik pengasuhan
paling awal dari pengasuhan positif. Tidak hanya kelekatan ibu-anak
yang aman terkait dengan hasil perkembangan positif pada awal
perkembangan anak, tetapi penelitian keterikatan yang lebih baru
juga menunjukkan peningkatan jangka panjang dalam efikasi diri
sosial di antara anak perempuan dengan keterikatan aman dengan
ayah mereka (Coleman, 2003). Hal ini sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh John Bowlby (1988). Bowlby telah mengembangkan
“the evolutionary attachment theory” yang menunjukkan bahwa anak-
anak dari sejak awal memiliki kebutuhan bawaan untuk membentuk
keterikatan dengan orangtua. Keterikatan bertindak sebagai dasar
yang aman dan sebagai pendukung anak untuk berekplorasi atau
menjelajahi dunia
Dalam studi longitudinal, Pettit, Bates dan Dodge (1997) meneliti
pengaruh pengasuhan positif atau pengasuhan yang mendukung
(supportive parenting) orang tua pada anak prasekolah. Pola asuh
yang digambarkan melibatkan kehangatan ibu-ke-anak, pengajaran
proaktif, disiplin induktif, dan keterlibatan. Salah satu hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa pengasuhan yang positif berpengaruh
terhadap penyesuaian diri anak di sekolah dan mengurangi dampak
negative masalah perilaku pada anak. Sejalan dengan penelitian ini,
Eisenberg, Zhou, dan Spinrad et al. (2005) menyarankan bahwa
pengasuhan positif (kehangatan orangtua-anak) berdampak pada
temperamen anak-anak dengan meningkatkan regulasi emosi yang
selanjutnya berimbas pada pengurangan munculnya masalah perilaku
eksternalisasi .

104 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Dikuatkan juga dari hasil penelitian Izzaty dan Ayriza (2021),
bahwa keterikatan orangtua (parental bonding) dalam hal ini dilihat
dari pemberian kasih sayang (care) dan kemandirian (outonomy)
terbukti berpengaruh terhadap adanya harapan yang positif pada
anaknya. Adanya harapan positif terbukti berpengaruh terhadap kondisi
fisik dan mental (Snyder, 2002), memandang diri dan lingkungannya
positif (Marquess, et al, 2019), emosi yang baik (Lopez & Snyder,
2002), kepuasan hidup dan kesejahteraan psikologis (Gilman, et
al, 2009), regulasi diri (Vohs, 2002), kemampuan akademik dan
kompetensi sosial baik (Onwuegbuzie, 1999; Snyder, et al, 1997;
Lopez, et al, 2002; Marquess, et al, 2019), kontrol diri (Ferrari, et
al, 2012), dan academic self-efficacy (Feldman, 2015).

C. Dimensi Pengasuhan
Secara umum, pengasuhan yang mensejahterakan anak akan
mendorong perkembangan anak yang positif dengan memberikan
kasih sayang melalui ekspresi positif kehangatan terhadap anak,
responsif yaitu, dengan memperhatikan isyarat anak), dorongan yaitu,
dengan mendukung kemampuan dan minat anak); dan pengajaran
(yaitu dengan menggunakan permainan dan percakapan untuk
mendukung perkembangan kognitif anak (Roggman & Innocenti,
2009). Menguatkan pernyataan ini, (Stafford, Kuh, Gale, Mishra,
& Richards, 2016), menjelaskan terkait dimensi hubungan antara
orangtua dan anak, yaitu:
1. Dimensi parental care mencerminkan kontinum dari pola asuh
yang penuh kasih sayang, hangat, responsif hingga pola asuh
yang dingin dan tidak responsif,
2. Dimensi tuntutan atau kontrol. Dimensi tuntutan mencerminkan
sejauh mana orang tua menuntut dan memantau standar
untuk perilaku anak mereka dan kontrol perilaku orang tua
dapat memberikan lingkungan yang terstruktur dan dapat
diprediksi untuk anak dan mendorong perilaku mereka yang
dapat diterima secara sosial.
Dimensi-dimensi tersebut dapat memiliki arah positif seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, artinya dimensi-dimensi tersebut
menjadi faktor pendukung terbentuknya perilaku yang baik jika
dimensi-dimensi tersebut diterapkan dengan baik dan sesuai dengan
kebutuhan perkembangan anak. Sebaliknya, dimensi tersebut juga
dapat memiliki arah yang negatif, artinya dapat menjadi penyebab

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 105


terbentuknya perilaku bermasalah, baik perilaku eksternalisasi maupun
perilaku internalisasi. Perilaku eksternalisasi seperti agresi, masalah
perilaku, perilaku nakal, oposisi, hiperaktif, dan masalah perhatian,
sedangkan perilaku internalisasi mencakup berbagai gejala yang
terlalu terhambat atau terfokus secara internal termasuk kecemasan,
ketakutan, kesedihan/depresi, penarikan sosial, dan keluhan somatik
(Willner, Gatzke-Kopp, & Bray, 2016).
Dari penelitian-penelitian sebelumnya, bagaimana kedekatan
hubungan orang tua dan anak terbukti berpengaruh terhadap
perkembangan kehidupan seorang anak, termasuk masa remaja.
Moretti dan Peled (2004) menyatakan bahwa keterikatan anak-
orang tua memiliki efek mendalam pada fungsi kognitif, sosial dan
emosional pada remaja. Keterikatan yang aman dikaitkan dengan
lebih sedikit keterlibatan dalam perilaku berisiko tinggi, lebih sedikit
masalah kesehatan mental, dan peningkatan keterampilan sosial dan
strategi koping. Rigby, Slee, dan Martin, (2007) juga membuktikan
peran ikatan orang tua dalam perkembangan anak. Secara khusus,
fokus penelitian mengukur kualitas pengasuhan yang diberikan oleh
orang tua, khususnya kepekaan dan daya tanggap mereka terhadap
anak, yang mengarah pada keterikatan yang aman atau tidak aman,
yang pada gilirannya memprediksi perkembangan masa depan yang
terkait dengan kehidupan adaptif dan maladaptif. Dengan demikian,
keterikatan aman mempengaruhi ketahanan anak yang diperlukan
untuk mengelola stres dan membentuk hubungan positif dan adaptif
dengan orang lain (Ainsworth, Blehar, & Waters, 1978). Sebaliknya,
unsecure attachment dapat meningkatkan risiko sosial, hambatan
emosional, regulasi diri yang rendah, penolakan dan perilaku
antisosial pada masa kanak-kanak dan remaja (Greenberg, 1996).
Dapat disimpulkan bahwa keterikatan orangtua dan anak
merupakan indikator penting yang memberikan wawasan luas
tentang hubungan orangtua-anak (Indumathyi & Ashwini, 2017).
Teori keterikatan didasarkan pada gagasan bahwa ada perbedaan
individu dalam hal bagaimana bayi terikat secara emosional dengan
pengasuh / orang tua mereka dan bagaimana pengalaman keterikatan
pertama ini mempengaruhi perkembangan masa depan bayi dalam
aspek sosial, kognitif dan emosional (Bowlby, 1969; 1977). Hal ini
juga didukung oleh penelitian Ryan (Kocayoruk, Altintas, & Icbay,
2015) yang menunjukkan bahwa ketika anak merasa sangat terkait
dengan orang tuanya, mereka lebih mandiri dalam pengaturan diri
dan mengalami kesejahteraan yang lebih tinggi daripada mereka
yang kebutuhan akan keterkaitannya lebih tinggi tidak puas dengan

106 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


orang tua mereka. Deci dan Ryan (1985) telah mengidentifikasi
bahwa otonomi adalah sejauh mana inisiasi dan pengaturan tindakan
dihasilkan dari perasaan diri seseorang. Selain otonomi, keterlibatan
orang tua dianggap sangat terkait dengan perkembangan anak yang
sehat (Kocayoruk, Altintas, & Icbay, 2015). Keterlibatan orang tua
dengan anak-anak dalam berbagai kegiatan sebagai bagian dari
kehangatan (misalnya, berkomunikasi, bermain/bersenang-senang,
belajar, makan makanan keluarga, dan menikmati ritual keluarga)
terkait dengan berbagai hasil perkembangan positif di tahun-tahun
masa kanak-kanak, sebagian karena keterlibatan dapat mengarah
pada kohesi dan ikatan keluarga (Coyl et al., 2010; Coyl-Shepherd
& Newland, 2013). Orang tua yang secara konsisten memberikan
kehangatan dan perawatan anak-anak mereka dengan pengawasan dan
kontrol yang tepat dapat menjadi sumber utama hasil kesejahteraan
yang positif untuk kehidupan masa depan mereka. Kehangatan dan
sikap kepedulian orang tua berkontribusi positif terhadap harga
diri dan kesejahteraan psikologis remaja (Yamawaki, Nelson, &
Omori, 2011). Kehangatan biasanya dianggap sebagai dimensi atau
aspek dari gaya pengasuhan. Bahkan, gaya pengasuhan dianggap
sebagai iklim emosional di dalam rumah, dan iklim emosional ini
terkait dengan dimensi tertentu dari perilaku orang tua, seperti
kehangatan, kontrol perilaku, atau otonomi psikologis (Fletcher et
al., 2000). Selain itu, dukungan orang tua dipilih sebagai indikator
ketanggapan/keterlibatan orang tua (Suldo & Huebner, 2004). Para
peneliti telah mengidentifikasi empat dimensi utama dari dukungan
orangtua: emosional, informasional, instrumental, dan persahabatan
sosial (Wills & Cleary, 1996). Dukungan emosional ini meliputi
ekspresi empati, misalnya, kemampuan mendengarkan, bersikap
terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan,
kesediaan untuk mengerti, ekspresi kasih sayang dan perhatian.
Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara
langsung yang berupa fasilitas atau materi. Adanya berbagai bentuk
dukungan tersebut membentuk anak yang kuat dalam menghadapi
berbagai macam hambatan psikologis.
Di sisi lain, banyak kajian yang menemukan bahwa adanya hasil
yang buruk pada perkembangan anak akibat dari pengasuhan yang
negatif. Goldberg, Lojkasek, Gartner, dan Corter (1989) menyatakan
bahwa pengasuhan anak prasekolah yang tidak penuh perhatian
menyebabkan anak-anak prasekolah memiliki tingkat fleksibilitas
yang rendah dalam berinteraksi, serta tingkat agresivitas yang tinggi
dalam memberikan strategi atas masalah sosial hipotetis. Penemuan

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 107


ini kemudian diulangi oleh Rose-Krasnor, Rubin, dan Booth (1996).
Dengan semua data ini, tampak bahwa memori respon anak-
anak prasekolah yang tidak dibesarkan dengan penuh perhatian
cenderung lebih tertutup, kurang adaptif, dan respon terhadap
kegagalan strategi kurang fleksibel. Selain itu hasil studi dari Rubin,
Burgess dan Hastings (2002) menyatakan bahwa adanya sikap pada
orangtua yang berperilaku mudah menghukum, menolak, dingin,
dan terlalu permisif menjadi prediksi dari perilaku agresif anak,
yang selanjutnya, berhubungan dengan penolakan teman sebaya.
Beberapa contoh hasil penelitian lain menunjukkan bagaimana
hubungan antara orang tua dan anak mempengaruhi kondisi anak,
terutama yang berkaitan dengan depresi, kecemasan, atau stres.
Amato dan Afifi (2006) membuktikan bahwa ada hubungan yang
signifikan dan positif antara kebahagiaan anak dengan hubungan
ibu-anak dan ayah-anak. Artinya semakin dekat hubungan antara
anak dengan orang tuanya, maka semakin tinggi pula kebahagiaan
anak. Semakin kuat hubungan ibu-anak dan ayah-anak, semakin
rendah tekanan harian pada anak. Semakin kuat hubungan ibu-
anak dan ayah-anak, semakin rendah paparan stres anak (Mallers,
Charles, Neupert, & Almeida, 2010). Gilligan, Suitor, Nam, Routh,
Rurka dan Ron (2017) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan dan positif antara gejala depresi anak dengan ketegangan
ibu. Artinya semakin tinggi konflik yang terjadi antara anak dan
ibu, maka semakin tinggi pula depresi yang dialami anak.

D. Aktivitas Pengasuhan pada Anak


Selain pertimbangan faktor budaya/kebiasaan, faktor yang berperan
pada pengasuhan adalah usia anak. Tahapan perkembangan yang
dibatasi adanya periodisasi usia menyebabkan adanya karakteristik
dan tugas perkembangan yang berbeda yang semuanya berhubungan
dengan kebutuhan anak yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu,
pengetahuan dan sensivitas orangtua sangat diperlukan sehingga
mempengaruhi cara pendekatan dan cara komunikasi yang juga
berbeda. Namun demikian, hal yang perlu diingat, pengasuhan
ini dilakukan secara berkesinambungan sehingga di satu tahapan
perkembangan apa yang menjadi tugas perkembangan dapat terpenuhi
dan menjadi dasar untuk tahapan perkembangan berikutnya. Secara
umum, pada Tabel 1 dapat dilihat gambaran aktivitas pengasuhan
yang dilakukan orangtua pada anak usia 0 sampai sekitar 7 tahun
digambarkan sebagai berikut.

108 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Tabel 1. Tugas dan tanggung jawab orangtua dalam aktivitas
pengasuhan
Usia Pengasuhan (tugas dan tanggung jawab orang tua/pengasuh)

0-12 bulan • Memberi makan sesuai tahapannya


• Merawat sehari-hari (memandikan, mengganti popok, menenangkan)
• Menstimulasi dan memfasilitasi untuk belajar duduk, jalan dan berlari
• Menstimulasi perkembangan bahasa-dan mengenalkan lingkungan sekitarnya
• Mengajak bermain

1-3 tahun • sebagai model yang baik utk segala ucapan dan perilaku
• Mulai mengajarkan dan memandirikan kebiasaan sehari-hari utk membentuk
disiplin diri : aktivitas rutin (makan, minum, tidur, toilet training, mandi)
• Memfasilitasi bakat dan minat: memberi kesempatan, memotivasi, dan
mendukung daya eksplorasi –keingintahuannya
• Mengajak untuk ikut dalam kebiasaan di rumah (ibadah,makan Bersama,
olahraga Bersama)
• Mendampingi bermain sambil mengajarkan sesuatu: pengenalan huruf dan
angka untuk benda di sekelilingnya dan mendongengkan cerita

3 tahun - • Berperan sebagai model yang kuat dalam ucapan dan perilaku
7 tahun • Mendampingi bermain dan mengenalkan akademik dasar dengan berbagai
cara bermain
• Membiasakan kebiasaan rutin dalam menjalankan aturan agama
• Mengajarkan/membimbing untuk problem solving
• Selalu mendampingi dan mendukung untuk melakukan kegiatan sehari-hari
dengan cara yang lebih efektif dan efisien-membentuk disiplin diri (mandi
dengan bersih, makan dan minum dengan cara yang baik)
• Mengenalkan identitas diri (gender)
• Berkomunikasi dengan pengasuh di lembaga pendidikan prasekolah
• Menyiapkan anak untuk transisi masuk ke sekolah dasar
• Menstimulasi berbagai aspek perkembangan: kognitif (mendukung inisiatifnya
dan menjelaskan berbagai hal dengan kalimat-kalimat sederhana (misal,
mengapa ini boleh dan mengapa itu tidak boleh-dengan media pendukung-
gambar); afektif (engendalian emosi dan menempatkan reaksi emosi dengan
konteks yang tepat, misalnya sedih boleh, tapi dituntun untu menghilangkan
sedihnya); social-moral (membiasakan kebiasaan yang diterima secara sosial,
misalnya tata cara berinteraksi-sopan santun dan unggah-ungguh serta
menggunakan cara penyelesaian yang diterima secara sosial ketika ada
masalah)

Sumber: (Brooks, 2011; Matthew & Mazzucchelli, 2018)

Secara khusus , aktivitas pengasuhan yang dilakukan pada


anak di setiap periodisasi umur dikuatkan atau didukung dengan
adanya hal-hal berikut ini sebagai upaya yang dapat dilakukan
orangtua pada untuk mensejahterakan anak adalah,:
1. Memenuhi kebutuhan anak dan hak-hak anak.
2. Mendengarkan dengan cermat apa yang diekspresikan anak,
baru memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan.
3. Mengajarkan dan mendampingi anak dengan penuh dukungan
agar anak memiliki kepercayaan diri untuk mengekspresikan
diri.

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 109


4. Mengekspresikan rasa kasih saying.
5. Komunikasi positif meningkatkan keterampilan sosial dan
pemecahan masalah anak sambil meningkatkan kualitas
hubungan dengan orangtua/pengasuh dan teman sebaya.
6. Menunjukkan perilaku yang mempromosikan otonomi mendukung
kreativitas, pemberdayaan, dan penentuan nasib sendiri.
7. Memberikan pengakuan dan penguatan atas perilaku yang
diinginkan.
8. Memberikan batasan dan konsekuensi atas perilaku anak
untuk mengajarkan akuntabilitas dan tanggung jawab anak.
9. Menerapkan konsekuensi yang konsisten untuk perilaku.
1O. Memberikan pengawasan dan pemantauan yang memadai.
11. Selalu bertindak sebagai panutan yang baik.
Dapat disimpulkan bahwa berbagai upaya tersebut dapat
terwujud dengan orangtua yang menunjukkan sikap dan perilaku
penuh kasih sayang, mendukung, konsisten, aturan yang jelas dan
tegas, serta terlibat dalam proses pendidikan anak diyakini akan
mendukung pertumbuhan yang sehat dan perkembangan yang optimal
dengan Orang tua seperti itu lebih dari sekadar mengomunikasikan
harapan mereka, tetapi mempraktekkan apa yang mereka katakan
dengan menjadi panutan yang positif untuk ditiru anak-anak.

E. Penutup
Salah satu prediktor yang signifikan dari kesejahteraan psikologis
anak adalah kualitas hubungan antara orang tua dan anak yang
ditunjukkan seberapa kuat ikatan emosi antara orangtua dan anak.
Kuatnya ikatan ini sangat bergantung dengan aktivitas pengasuhan
yang dilakukan orangtua terhadap anak. Orangtua yang kompeten
ditunjukkan dengan kesuksesan dari orangtua dalam menjalankan
aktivitas pengasuhan yang positif dan dapat beradaptasi serta berubah
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak yang terbentuk
dari adanya pemahaman dan respon yang tepat terhadap dinamika
perubahan dalam perkembangan yang bervariasi. Pengasuhan yang
positif bertujuan untuk mendukung atau mengantarkan anak-anak
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan
periode perkembangan yang sedang dijalaninya dan berdampak
jangka panjang pada kehidupan anak.

110 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


F. Daftar Pustaka
Ainsworth, M. D. S., Blehar, M. C., Waters, E., & Wall, S. (1978).
Patterns of attachment: A psychological study of the strange
situation. Lawrence Erlbaum.
Amato, P. R., & Afifi,T. D. (2006). Feeling caught between parents:
adult children’s relations with parents and subjective well-being.
Journal of Marriage and Family, 68, 222–235
Baumeister, R. F., & Vohs, K. D. (2002). The Pursuit of Meaningfulness
in Life. In C. R. Snyder, & S. J. Lopez (Eds.), Handbook of
Positive Psychology (pp. 608-618). Oxford: Oxford University
Press.
Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent
competence and substance use. Journal of Early Adolescence,
11(1), 56-95.
Bennet, P., Elliott, M., (2005). Classroom and Family Effects On
Children’s Social and Behavioral Problems. The Elementary School
Journal;; 105, 5; Proquenst Education Journal, hlm. 461
Bornstein, M. H., & Sawyer, J. (2006). Family Systems. In K.
McCartney & D. Phillips (Eds.), Blackwell handbook of early
childhood development (pp. 381–398). Blackwell Publishing.
Bowlby, J. (1988). A secure base. London: Routledge Classic
Bowlby, J. (1977). The making and breaking of affectional bonds.
I. Aetiology and psychopathology in the light of attachment
theory. An expanded version of the Fiftieth Maudsley Lecture,
delivered before the Royal College of Psychiatrists, 19 November
1976. The British Journal of Psychiatry, 130, 201-210.
Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss—Volume I: Attachment.
In Basic Books (2nd ed.). New York City: Basic Books NYC.
Bronfenbrenner, U. (2005). Making Human Beings Human: Bioecological
Perspectives on Human Development. London : Sage Publication
Bronfenbrenner, U., & Morris, P. A. (1998). The ecology of
developmental processes. In W. Damon & R. M. Lerner
(Eds.), Handbook of child psychology: Theoretical models of
human development (pp. 1028–993). John Wiley & Sons Inc.
Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human Development.
USA : Harvard University Press.
Brooks, J. (2011). The process of parenting (terjemahan). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Coleman, P. K., & Karraker., K. H. (2003). Maternal self-efficacy
beliefs, competence in parenting and toddlers behaviour and
developmental status. Infant Mental Health Journal, 24, 126-148.

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 111


Coyl, D.D., Newland, L.A., & Freeman, H. (2010). Predicting
preschoolers’ attachment security from parenting behaviours,
parents’ attachment relationships and their use of social support.
Early Child Development and Care, 180(4), 499 –512.
Coyl-Shepherd, D. D., & Newland, L. A. (2013). Mothers’ and fathers’
couple and family contextual influences, parent involvement,
and school-age child attachment. Early Child Development and
Care, 183(3-4), 553–569.
Chang, C. E., D’Zurilla, T. J., & Sanna, L.J. (2009). Social
problem solving as a mediator of the link between
stress and psychological well- being in middle-adulthood.
Cognitive Therapy and Research, 33:33-49
Eisenberg, N., Zhou, Q., Spinrad, T. L., Valiente, C., Fabes, R.
A., & Liew, J. (2005). Relations among positive parenting,
children’s effortful control, and externalizing problems: A three-
wave longitudinal study. Child Development, 76(5), 1055–1071.
Ferrari, M., Vichi, A., Fadda, G. M., Cagidiaco, M. C., Tay, F. R.,
Breschi, L., Goracci, C. (2012). A Randomized Controlled Trial
of Endodontically Treated and Restored Premolars. Journal of
Dental Research, 91(7_suppl), S72–S78.
Fletcher, G. J. O., Simpson, J. A., & Thomas, G. (2000). Ideals,
perceptions, and evaluations in early relationship development.
Journal of Personality and Social Psychology, 79(6), 933–940.
Gilligan, M., Suitor, J. J., Nam, S., Routh, B., Rurka, M., & Con,
G. (2017). Family networks and psychological well-being. Soc
Sci, 6, 94-107. http://dx.doi.org/10.3390/socsci6030094
Goldberg, S., Lojkasek, M., Gartner, G. M., & Corter, C. (1989).
Maternal responsiveness and social development in preterm
infants. New Directions for Child Development, 43, 89–103.
Guerra, N.G., Boxer, P., Kim, T . (2005). A Cognitive-Ecological
Approach to Serving Student with Emotional and Behavioral
Disorders: Application to Aggressive Disorder. Behavioral
Disorders. 30, 3, Page 277
Guthrie, D. & Amos, S. P. (2020). Positive parenting. USA: The
University of Kansas School of Medicine), hlm. 26.
Greenberg, M. A., Wortman, C. B., & Stone, A. A. (1996). Emotional
expression and physical health: Revising traumatic memories
or fostering self-regulation? Journal of Personality and Social
Psychology, 71(3), 588–602.
Hoghuhi, M., Long, N. (2004). Handbook of parenting theory and
research for practice. London: SAGE

112 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Huebner, E. S., Gilman, R., Reschly, A. L., & Hall, R. (2009).
Positive schools. In S. J. Lopez & C. R. Snyder (Eds.),
Oxford handbook of positive psychology (pp. 561–568). Oxford
University Press.
Iglesias, Jacqueline V., Marquez, Voltaire M. (2019), Internal and
Ecternal Locus-of-Hope Dimensions as Predictors of Subjective
Well-being among Filipino College Student. Philippine Journal
of Counseling Psychology, Vol.21, No.1.
Indumathyi, J., & Ashwini, K. (2017). Parental bonding and
psychological well-being among young adults. The International
Journal of Indian Psychology, 4(2), 77-85 .
Izzaty, R. E. (2018). Happiness in children. Psychological Research
and Intervention, Volume 1, Number 2, Desember 2018., 64-
77. Doi.10.2183pri.v1i2.22024
Izzaty, R. E., & Ayriza, Y. (2021) Parental bonding as predictor of
hope in adolescents, Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi,
Vol. 6, No.1 (2021). DOI: https://doi.org/10.21580/pjpp.v6i1.7981
Juffer F., Bakermans-Kranenburg M. & Van IJzendoorn M.
(2008). Promoting positive parenting: An attachment-based
intervention. New York: U.S.A.: Lawrence Erlbaum/Taylor &
Francis.
Kahneman, D. Diener, E. Schwarz, N. (1999). Well – Being: The
Foundations of Hedonic Psychology. New York: Russell Sage
Faundation.
Ki Hadjar Dewantara. (1977). Pendidikan. Yogyakarta : Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa
Kocayoruk, E., Altintas, E., & Icbay, M. A. (2015). The Perceived
Parental Support, Autonomous-Self and Well-Being of Adolescents:
A Cluster-Analysis Approach. J. Child Fam Stud, 24(6), 1819-
1828. https://doi.org/10.1007/s10826-014-9985-5
Leeuwen, K.G. V., Marvielde, I, Braet, C., Bosmans, G., 2004.
Child Personality and Parental Behavior as Moderators of
Problem Behavior: Variable- And Person-Centered Approaches.
Developmental Psychology., Vol. 40, N0. 6, 1028-1046
Liddle, I., & Carter, G. F. A. (2015). Emotional and psychological
well-being in children: The development and validation of the
Stirling Children’s Well-being Scale. Educational Psychology in
Practice, 31(2), 174–185.  https://doi.org/10.1080/02667363.2015.
1008409
Lonczak, H. S. (2019). What is positive parenting?. https://
positivepsychology.com /positive-parenting/ diunduh tanggal 16
Oktober 2021

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 113


Mahpur, M., Koentjoro, & Subandi. (2021). Metode pengasuhan
anak. Malang: Madani.
Mallers, M. H., Charles, S. T., Neupert, S.D., & Almeida, D. M.
(2010). Perceptions of childhood relationships with mother and
father: daily emotional and stressor experiences in adulthood.
Developmental Psychology, 46(6), 1651–1661. http://dx.doi.
org/10.1037/a0021020
Moretti, M. M., & Peled, M. (2004). Adolescent-Parent Attachment
Bonds That Support Healthy Development. Paediatrics and
Child Health, 9, 551-555.
Onwuegbuzie, A. J., & Daley, C. (1999). Perfectionism and statistics
anxiety. Personality and Individual Differences, 26(6), 1089–1102.
Papalia, Olds, & Feldman, R, D, 2015. Menyelami Perkembangan
Manusia. (Penerjemah: Fitriana Wuri Herarti). Jakarta: Salemba
Humanika.
Pettit, G., Bates, J., & Dodge, K. (1997). Supportive parenting,
ecological context, and children’s adjustment: A seven‐year
longitudinal study. Child Development, 68 (5), 908-923.
Rigby, K., Slee, P. T., & Martin, G. (2007). Implications of inadequate
parental bonding and peer victimization for adolescent mental
health. Journal of Adolescence, 30(5), 801-812
Rodrigo, Maria J., Almeida, Ana., Spiel, Christiane., Koops, Willem.
2012. Introduction: Evidence-based parent education programmes
to promote positive parenting.
Roggman, L. A., Boyce, L. K., & Cook, G. A. (2009). Keeping Kids
on Track: Impacts of a Parenting-Focused Early Head Start
Program on Attachment Security and Cognitive Development.
Early Education & Development, 20(6), 920–941.
Rose-Krasnor, L., Rubin, K. H., Booth, C. L., & Coplan, R. (1996).
The relation of maternal directiveness and child attachment
security to social competence in preschoolers. International
Journal of Behavioral Development, 19(2), 309–325.
Rubin, K. H., Burgess, K. B., & Hastings, P. D. (2002). Stability
and Social-Behavioral Consequences of Toddlers’ Inhibited
Temperament and Parenting Behaviors. Child Development,
73(2), 483–495.
Rubin, K. H., & Chung, ). B. (2006). Parenting beliefs, behaviors,
and parent-child relationships. New York: Psychology Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-
Determination in Human Behavior. Berlin: Springer Science
& Business Media.

114 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Ryan, R., & Deci, E. (2001). On Happiness and Human Potentials:
A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being.
Annual Review of Psychology, 52, 141-166.
Sanders, M. R. (1998). The empirical status of psychological
interventions with families of children and adolescents. In L.
L’Abate (Ed.), Family psychopathology: The relational roots
of dysfunctional behavior (pp. 427–465). New York, USA:
Guilford Press.
Sanders, M. R. & Mazzucchelli, T. G. (2018). The power of positive
parenting. United States of America, New York: Oxford
University Press
Santrock, J. W. (2020). A topical approach to life-span development
(10th ed.). Mc-Graw Hill Education.
Seay, A., Freysteinson, W. M., & McFarlane, J. (2014). Positive
parenting. Nursing Forum, 49(3), 200–208.
Stafford, M., Kuh, D. L., Gale, C. R., Mishra, G., & Richards, M.
(2016). Parent–child relationships and offspring’s positive mental
wellbeing from adolescence to early older age. The Journal of
Positive Psychology, 11(3), 326–337.
Suldo, S. M., & Huebner, E. S. (2004). Does life satisfaction moderate
the effects of stressful life events on psychopathological behavior
during adolescence? School Psychology Quarterly, 19(2), 93–105.
Snyder, C. R. (2002). Hope theory: Rainbows in the mind.
Psychological Inquiry, 13(4), 249–275.
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (Eds.). (2002). Handbook of positive
psychology. London: Oxford University Press
Willner, C. J., Gatzke-Kopp, L. M., & Bray, B. C. (2016). The
dynamics of internalizing and externalizing comorbidity across
the early school years. Development and Psychopathology,
28(4pt1), 1033–1052.
Wills, T. A., & Cleary, S. D. (1996). How are social support effects
mediated? A test with parental support and adolescent substance
use. Journal of Personality and Social Psychology, 71, 937-952
Yamawaki, N., Neslon, Julie Ann P., Omari, Mika. (2011) Self-esteem
and life satisfaction as mediator between parental bonding and
psychological well-being in Japanese young adults. International
Journal of Psychology and Counselling, Vol. 3(1).

Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak | 115


116 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks
7
KARAKTER POSITIF ORGANISASI
Rosita Endang Kusmaryani
rosita_ek@uny.ac.id

A. Pendahuluan
Organisasi merupakan suatu wadah berkumpulnya beberapa orang
untuk melakukan interaksi dan bekerja sama secara sistematis
untuk melakukan tujuan bersama dengan menggunakan sumberdaya
yang dimiliki. Interaksi yang terjadi di dalamnya dapat berupa
aktivitas kerja yang dilakukan oleh manusia sehingga organisasi
ini berperan sebagai tempat kerja. Bentuk tempat kerja ini dapat
berupa komunitas tertentu, industri, lembaga atau instansi. Aktivitas
kerja yang ada di dalam organisasi melibatkan banyak individu
yang masing-masing memiliki karakter, kebutuhan dan tujuan yang
berbeda-beda. Adanya perbedaan ini menjadi alasan mengapa aktivitas
kerja di dalam organisasi perlu pemahaman perilaku organisasi dan
manajemen supaya pencapaian tujuan organisasi dapat terkendali
dengan baik. Hal ini karena tanpa adanya manajemen yang baik
dalam pengelolaan aktivitas kerja di dalam organisasi, mustahil
tujuan organisasi dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
Apabila dilihat dari sejarahnya, aktivitas kerja dalam organisasi
muncul pada abad 19 yang salah satunya dipelopori oleh Frederick
Taylor dengan adanya revolusi industri. Revolusi industri merupakan
proses perubahan dari ekonomi agraris dan kerajinan ke industri
serta manufaktur mesin. Awalnya lebih banyak mengandalkan
kehidupan ekonomi dari hasil pertanian dan perkebunan, berubah
ke kehidupan ekonomi dari hasil industri. Revolusi industri telah


| 117
mengubah cara kerja manusia dari tradisional menjadi lebih
moderen. Pada saat itu, tenaga manusia digantikan dengan hadirnya
mesin-mesin dalam pengelolaan hasil pertanian dan perkebunan.
Revolusi industri memang menggantikan tenaga manusia dengan
mesin sehingga berdampak positif maupun negatif pada faktor
sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Hadirnya mesin-mesin tersebut,
memberikan dampak positif dengan perbaikan dan kenaikan
ekonomi dan pengembangan teknologi. Namun di sisi lain terjadi
banyak pengangguran karena kesulitan pencari kerja mendapatkan
pekerjaan. Pengusaha lebih memilih menggunakan mesin dibandingkan
dengan tenaga manusia sehingga pengangguran meningkat karena
para pencari kerja mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Akibatnya hal ini juga memberikan kontribusi pada munculnya
banyak permasalahan politik pada saat itu.
Di sisi yang lain, perubahan industri tersebut memberikan
dampak pada sifat kerja yang dilakukan oleh manusia. Manusia
yang pada awalnya relatif otonom dalam bekerja kemudian harus
menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dengan bekerja di sebuah
organisasi atau industri-industri yang didirikan pada saat itu
untuk mempertahankan pekerjaan dan mempertahankan hidup.
Pada akhirnya mereka menjadi manusia pekerja yang harus tunduk
pada segala aturan pengelolaan organisasi tempat mereka bekerja.
Adanya manusia pekerja dalam organisasi, menurut Drucker
(2007), ada dua jenis pekerja dalam melaksanakan kegiatan kerja
yaitu skilled worker dan knowledge worker. Skilled worker adalah
orang yang bekerja dengan ketrampilan praktis, sementara knowledge
worker adalah pekerja yang tidak hanya membutuhkan ketrampilan
teknis, tetapi juga pekerja yang justru lebih banyak melibatkan konsep
abstrak dalam bekerja (working). Dengan perbedaan karakteristik
tersebut, di samping adanya perbedaan karakter, kemampuan, latar
belakang, dan kebutuhan, keberadaan manusia pekerja harus ditata
dalam organisasi melalui manajemen.
Upaya pengelolaan organisasi melalui manajemen tersebut
setidaknya mampu mewujudkan dua hal pencapaian, yaitu :
1. Organisasi dapat mencapai produktivitas kerja yang diharapkan.
Kinerja dan produktivitas akan meningkat ketika organisasi
dikelola dengan cermat dan memperhatikan aspek-aspek
pendukung.
2. Karyawan dapat memperoleh kepuasan personal melalui aktivitas
kerja yang dilakukan. Pengelolaan organisasi yang baik, terutama
dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan karyawan

118 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


akan meningkatkan kepuasan karyawan dan bermuara pada
peningkatan kinerja karyawan.
Kedua belah pihak yaitu orang yang bekerja atau disebut
sebagai pekerja atau karyawan dan organisasi dapat mencapai tujuan
yang diharapkan masing-masing. Organisasi akan dapat mencapai
produktivitas tinggi dan karyawan juga dapat mencapai kepuasan
kerja. Karyawan dan organisasi sama-sama mendapatkan keuntungan.
Terkait dengan hal tersebut, organisasi yang berperan sebagai
lingkungan kerja para pekerja diharapkan dapat menjadi tempat kerja
yang menguntungkan kedua belah pihak dan perlu dikondisikan
ke arah yang positif. Selain perannya sebagai lingkungan kerja,
organisasi juga memiliki sumberdaya yang perlu dikelola menjadi
sumberdaya yang positif dan dapat memberikan keunggulan kompetitif.
Sumberdaya terutama human capital yang berupa social capital
dan psychological capital disoroti sebagai sumberdaya yang kritis
dan tidak dapat diduplikasi dibandingkan dengan sumberdaya yang
berupa sarana dan prasarana fisik serta teknologi. Oleh karenanya,
sangat penting bagi organisasi memiliki kebajikan yang merupakan
karakter positif organisasi sehingga dapat memanfaatkan sumberdaya
yang dimiliki ke arah positif dan karyawan dapat merasakan
kesejahteraan ketika bekerja.

B. Organisasi dan Manajemen


Istilah organisasi banyak digunakan pada beberapa referensi yang
membahas tentang aktivitas kerja. Organisasi ini menjadi wadah
untuk beraktivitas kerja bersama demi pencapaian tujuan bersama.
Pemahaman tentang organiasasi tidak cukup hanya dengan wawasan
teknis terkait dengan pengelolaan organisasi, tetapi juga perlu
adanya pemahaman tentang perilaku manusia-manusia yang terlibat
di dalamnya. Untuk memahami organisasi, maka perlu dipahami
terlebih dahulu tentang konsep organisasi. Konsep ini penting
dalam memahami mekanisme, dinamika dan perilaku kerja yang
terjadi dalam organisasi.
Ada banyak pengertian tentang organisasi. Menurut Rudani
(2012), hasil analisis definisi karakteristik pengorganisasian adalah
berikut:
1. Pengorganisasian adalah sebuah proses. Ini terdiri dari langkah-
langkah yang harus diikuti untuk mempersiapkan struktur
organisasi.

Karakter Positif Organisasi | 119


2. Berorientasi pada tujuan.
3. Meliputi pengelompokan kegiatan dan pembagian kerja.
4. Melibatkan penugasan tanggung jawab dan pendelegasian
wewenang.
5. Bertujuan untuk menciptakan struktur, kerangka kerja atau
pengaturan yang memfasilitasi tindakan manajerial.
6. Ini adalah tindakan membangun hubungan formal dan
mendefinisikan status dan posisi masing-masing dari karyawan.
7. Merupakan kegiatan yang terkoordinasi dan terintegrasi.
8. Menciptakan struktur yang stabil.
9. Manusia berada di pusat pengorganisasian.
10. Dapat diterapkan ke seluruh organisasi, atau sebagian darinya
Selanjutnya Rudani mendefinisikan organisasi adalah suatu
struktur, mekanisme, pengaturan, pengaturan atau kerangka kerja
yang dibuat dari orang-orang, tugas, wewenang, dan tanggung jawab
untuk memfasilitasi koordinasi yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tertentu. Ini adalah masalah hubungan formal antara
orang-orang, pekerjaan dan departemen. Organisasi ini merupakan
koordinasi aktivitas dari sejumlah orang untuk mencapai tujuan
umum, melalui divisi dan fungsi tenaga kerja serta melalui hirarkhi
otoritas dan tanggung jawab. Organisasi ini juga dapat dipahami
sebagai sekumpulan interaksi dan ada saling ketergantungan antar
individu yang bekerja mencapai tujuan dan hubungannya ditentukan
menurut struktur tertentu.
Suatu aktivitas disebut sebagai aktivitas organisasi karena
merupakan aktivitas dalam mencapai tujuan. Aktivitas ini terstruktur
dan diatur, dikoordinasikan, hubungan antar aktivitas dibentuk
menjadi hirarkhi sesuai otoritas dan tanggung jawab. Hubungan
antar aktivitas kerja ini tergambar dari struktur organisasi yang
disusun berdasarkan visi, misi dan tujuan organisasi. Pada semua
organisasi, kerja itu digolong-golongkan, yang mana aktivitas yang
berbeda dilaksanakan dalam bagian yang berbeda dan masing-
masing bagian terikat dan berhubungan dengan yang lain (Barr
& Dreeben, 1991). Berdasarkan ilmu sosiologi, manusia sebagai
makhluk yang selalu hidup bersama-sama, membentuk organisasi
sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat
mereka capai sendiri (Idi, 2011). Suatu organisasi yang sudah
tertata dengan baik memiliki kejelasan struktur organisasi sehingga
memudahkan orang lain memahami mekanisme kerja dan tanggung
jawab masing-masing posisi dalam menjalankan aktivitas kerja.

120 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Stainner (dalam Idi, 2011) menyatakan bahwa organisasi memiliki
ciri-ciri formalitas, hierarkhi, besarnya dan kompleksitasnya serta
lamanya. Formalitas merupakan ciri organisasi yang menunjukkan
adanya perumusan secara tertulis tentang peraturan, ketetapan,
prosedur, kebijakan, tujuan strategi dan lain sebagainya. Adanya
peraturan-peraturan sekolah dan prosedur secara tertulis, kebijakan
kepala sekolah sebagai wakil sekolah dan tujuan menunjukkan bahwa
sekolah merupakan organisasi formal. Hierarkhi merupakan ciri
organisasi yang menunjukkan suatu pola kekuasaan dan wewenang
yang berbentuk piramida. Ciri hierarkhi ini juga tampak pada
struktur organisasi atau kepengurusan sekolah, yang mana hal
tersebut menunjukkan suatu kekuasaan dan wewenang terhadap tugas
bahkan terhadap posisi yang lain. Besarnya dan kompleksitasnya
menunjuk pada banyaknya anggota yang memungkinkan antar
anggota tidak berinteraksi secara langsung. Gejala ini disebut
sebagai birokrasi. Dalam organisasi sekolah juga memungkinkan
adanya interaksi yang tidak secara langsung, terutama hal ini
terkait dengan peraturan-peraturan yang mengikat semua anggota
di sekolah tersebut. Lamanya menunjukkan bahwa keberadaan
organisasi adalah lebih lama daripada keanggotaan. Hal ini dapat
dipahami ketika seseorang menjadi anggota di sebuah organisasi,
seringkali keberadaan organisasi tersebut ada sebelum anggota
tersebut ada di organisasi terkait. Berdasarkan ciri-ciri tersebut
akan lebih mudah untuk menentukan mana yang disebut dengan
organisasi dan bukan organisasi.
 Secara umum organisasi dibedakan atas dua bentuk, yaitu
organisasi yang menghasilkan suatu produk dan organisasi yang
memberikan layanan kepada konsumen. Secara umum, organisasi
memiliki 2 orientasi yang berbeda yaitu organisasi yang berorientasi
laba seperti perusahaan yang menyediakan produk barang atau jasa
(baik perusahaan besar maupun kecil) kemudian organisasi nirlaba
atau yang tidak berorientasi laba tetapi lebih memberikan layanan
seperti yayasan, musium, rumah sakit milik pemerintah, sekolah,
perkumpulan sosial dan lain-lain.
Semua organisasi tersebut melibatkan beberapa orang untuk
bekerja bersama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
pengelolaannya membutuhkan manajemen. Manajemen diperlukan
organisasi agar usaha pencapaian tujuan menjadi lebih mudah.
Penerapan manajemen suatu organisasi, baik yang masih asli maupun
inovatif tercermin dari kinerja dan signifikansi sosialnya (Rudani,
2012). Manajemen ini melibatkan orang-orang kunci di dalam
organisasi seperti pendiri organisasi, kepala, mentor, CEO, kepala

Karakter Positif Organisasi | 121


fungsional, dan para ahli. Orang-orang ini menjadi motor penggerak
manajemen. Menurut Rudani (2012), kesuksesan organisasi sangat
tergantung pada manajemen organisasi. Ada empat aspek manajemen
menurut Rudani (2012) yaitu kinerja ekonomis, pengarahan kerja,
pengambilan keputusan dan fungsi-fungsi manajerial. Kinerja ekonomis
berupa pencapaian efisiensi kegiatan operasional, pengarahan kinerja
dilakukan dengan membuat para karyawan bekerja, pengambilan
keputusan terdiri dari pengambilan keputusan berbagai aspek dan
fungsi-fungsi manajerial merupakan keberfungsian manajer dalam
melaksanakan planning, organising, directing/leading, and controlling.
Fungsi planning meliputi mendefinisikan tujuan organisasi,
menetapkan strategi keseluruhan untuk mencapai tujuan tersebut,
dan mengembangkan seperangkat rencana untuk mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan kegiatan. Tanggung jawab selanjutnya
adalah mendisain struktur organisasi. Fungsi ini disebut dengan
organizing, yang termasuk di dalamnya menentukan tugas apa
yang harus dilakukan, siapa yang mengerjakannya, bagaimana tugas-
tugas itu dikelompokkan, siapa melapor kepada siapa, dan di mana
keputusan harus dibuat. Fungsi berikutnya terkait dengan adanya
setiap organisasi yang berisi orang-orang yang ada di dalamnya.
Tugas manajemen adalah mengarahkan dan mengkoordinasikan
orang-orang itu. Ini adalah fungsi directing. Ketika manajer
memotivasi karyawan, mengarahkan aktivitas mereka, memilih saluran
komunikasi yang paling efektif, atau menyelesaikan konflik di antara
anggota, mereka terlibat dalam memimpin. Yang terakhir, fungsi
controlling yaitu fungsi yang meliputi pemantauan, perbandingan,
dan koreksi potensial. Untuk memastikan segala sesuatunya berjalan
sebagaimana mestinya, manajemen harus memantau kinerja organisasi
dan membandingkannya dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Jika ada setiap penyimpangan yang signifikan, adalah
tugas manajemen untuk menghidupkan kembali organisasi melacak.
Cara-cara dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen ini
akan menentukan gaya manajemen suatu organisasi. Saat ini, gaya
manajemen lebih banyak difokuskan pada peran egaliter pemimpin,
sementara gaya lama menempatkan posisi pemimpin sebagai “bos”.
Pengambilan keputusan saat ini lebih direkomendasikan untuk
mendengarkan masukan dari orang lain atau bawahan, sedangkan
pengambilan keputusan gaya lama dilakukan dengan cara otoriter.
Adanya perbedaan gaya manajemen ini juga menentukan efektivitas
dan efisiensi pencapaian tujuan dan kinerja organisasi.

122 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


C. Organisasi Positif
Menurut Teori Dukungan Organisasi yang dikembangkan oleh
Eisenberger dkk. pada tahun 1986, hubungan antara organisasi dan
karyawan diibaratkan sebagai hubungan interpersonal antara dua
orang. Proses atribusi yang terjadi pada hubungan interpersonal
sama dengan penilaian yang dilakukan terhadap organisasi
(Eisenberger, 2013). Dalam konsep dukungan organisasi, organisasi
dianggap seperti karakter manusia (Eisenberger dkk., 1986) yang
disebut sebagai personifikasi. Personifikasi organisasi dipengaruhi
oleh tanggung jawab legal, moral dan finansial dari perilaku wakil
organisasi (misal atasan, divisi HRD), oleh aturan, norma dan
kebijakan yang mengatur perilaku serta oleh kekuasaan organisasi
yang mengerahkan seluruh karyawan. Oleh karena itu, karyawan
cenderung mempersepsikan hubungannya dengan organisasi sama
dengan hubungan antara mereka dengan individu yang memiliki
kekuasaan.
Ketika organisasi diibaratkan sebagai makhluk hidup yang juga
mengalami pertumbuhan dan perkembangan, maka suatu organisasi
pasti mengalamj perubahan. Menurut Quinn (2015) organisasi
tidak bersifat statis. Organisasi dapat mengalami perubahan ke
arah positif maupun negatif. Ketika organisasi berubah lebih ke
arah negatif, karyawan di dalamnya cenderung menarik diri dan
berkinerja buruk, sebaliknya apabila organisasi berubah lebih ke
arah positif, karyawan cenderung berinvestasi dan lebih dapat
memenuhi harapan organisasi. Quinn (2015) menegaskan bahwa
dalam organisasi positif, orang-orang yang ada di dalamnya akan
berkembang (atau mengalami flourishing) sesuai dengan apa yang
dikerjakan dan mencapai hasil melebihi harapan.
Istilah flourishing ini dapat digambarkan sebagai pencapaian
yang bermakna bagi karyawan. Quinn (2015) menyatakan “to flourish
is to grow and thrive”. Melebihi harapan artinya berhasil melakukan
sesuatu yang lebih dari harapan orang lain dan hal ini dilakukan
untuk mencapai keunggulan. Dalam hal ini, suatu organisasi yang
positif memiliki budaya keunggulan dengan berhasil menunjukkan
kinerja yang melebihi apa yang diharapkan oleh orang lain serta
dapat dipandang memiliki keunikan. Nilai-nilai yang terkandung
dalam budaya organisasi unik dan unggul dibandingkan dengan
organisasi sejenis lainnya.
Organisasi yang positif dapat digambarkan beberapa di antaranya
dengan perilaku karyawan yang bangga terhadap visi dan nilai-
nilai yang dimiliki organisasi, karyawan saling bekerja sama dan

Karakter Positif Organisasi | 123


merasa senang dengan apa yang sedang dikerjakan, setiap kata
dan tindakan karyawan sepertinya menyampaikan bahwa mereka
sepenuhnya berkomitmen untuk keberhasilan organisasi. Selain itu
ada budaya positif yang tampak memfokuskan, menyatukan, dan
menghidupkan nilai-nilai yang ditanamkan.
Dalam organisasi positif juga ditunjukkan dengan penanganan
masalah karyawan yang tidak hanya memfokuskan pada masalah
yang dialami atau dilakukan karyawan itu saja tetapi lebih melihat
keseluruhan sistem. Ketika fokus pada suatu masalah satu atau
beberapa karyawan dan tidak memperhatikan masalah tersebut
berada dalam keseluruhan sistem, maka suatu tindakan yang diambil
ada kemungkinan tidak akan menyelesaikan masalah tersebut.
Ada kemungkinan karyawan berikutnya dalam peran yang sama
akan menanggapi budaya yang sama dan pada akhirnya mungkin
mengalami atau melakukan masalah dengan cara yang sama.
Selain itu, dalam organisasi positif, penanganan masalah tidak
hanya memfokuskan pada kelemahan yang dimiliki, tetapi lebih
pada memanfaatkan karakter positif untuk dikembangkan.
Organisasi positif seperti digambarkan di atas telah banyak
dikaji dalam Psikologi Organisasi Positif. Menurut Donaldson
dan Ia Ko (2010), psikologi organisasi positif belum didefinisikan
secara jelas dan digunakan konsisten dalam literatur. Kebanyakan
masih menggunakan istilah yang berbeda-beda seperti psikologi
kerja positif, tempat kerja positif dan organisasi positif. Namun
yang jelas, psikologi organisasi positif ini menggambarkan psikologi
positif dalam isu-isu kerja dan organisasi. Psikologi positif itu
sendiri menurut Seligman & Csikszentmihalyi (2000) adalah ilmu
tentang pengalaman subjektif yang positif, sifat individu positif,
dan institusi positif.
Lebih lanjut Peterson (2006) menjelaskan ketiga pilar
psikologi positif. Pilar pertama, pengalaman subjektif yang positif,
meliputi kebahagiaan, kesejahteraan, flow, kesenangan, harapan,
optimisme, dan emosi positif. Pilar kedua, sifat positif, meliputi
bakat, minat, kreativitas, kearifan, nilai, kekuatan karakter, makna,
tujuan, pertumbuhan, dan keberanian. Pilar ketiga lembaga positif
meliputi keluarga positif, sekolah, bisnis, komunitas, dan masyarakat.
Peterson (2006) menegaskan bawa pilar ketiga memfasilitasi pilar
pertama dan kedua untuk mempromosikan manusia berkembang.
Dalam pengertian ini, POP dapat dilihat sebagai studi ilmiah pada
pengalaman subjektif positif dan sifat-sifat di tempat kerja dan
lembaga-lembaga positif.

124 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Organisasi positif hanya akan terbentuk melalui budaya positif
organisasi. Budaya positif organisasi menciptakan mental map
dalam pikiran orang-orang yang berada dalamnya (Quinn, 2015).
Ada serangkaian keyakinan yang diperoleh karyawan dari waktu
ke waktu untuk menanggapi perilaku orang-orang yang ada di
sekitar lingkungan kerja. Keyakinan ini akan memandu tanggapan
dan perilaku karyawan terhadap apa yang diamati dan dialami di
lingkungan organisasi. Tanggapan dan perilaku ini akan menjadi
karakter perilaku karyawan organisasi. Apabila budaya organisasi
positif maka perilaku yang muncul adalah positif, sebaliknya
apabila budaya organisasi negative maka perilaku juga negatif. Hal
itu sesuai dengan mental map yang terbentuk ketika berinteraksi
dengan lingkungan organisasi.

D. Perilaku Organisasi
Saat ini keunggulan kompetitif perlu mendapat prioritas dalam
organisasi. Globalisasi, keberagaman dan masalah etik menjadi
dimensi lingkungan atau kontekstual yang sangat penting. Terkait
dengan hal ini, menurut Luthans (2010) manusia adalah kuncinya.
Pengelolaan organisasi tidak cukup hanya dengan kemampuan teknis,
tetapi pemahaman terhadap perilaku manusia-manusia yang ada di
dalamnya justru sangat penting. Sumberdaya manusia atau disebut
sebagai human capital merupakan sumberdaya organisasi yang tidak
dapat dicopi sehingga berpotensi unik, sementara teknologi dapat
dibeli dan ditiru, Oleh karena itu, pengelolaan human capital dapat
membangun keunggulan organisasi.
Adapun investasi dan perhatian pada human capital dapat
dilakukan dengan cara:
1. Pengakuan terhadap pentingnya human capital
Masalah tentang human capital biasanya berkaitan dengan
pengetahuan, skill dan kompetensi hasil dari dari pendidikan dan
pengalaman. Pada kenyataannya, pengetahuan dan pengalaman
juga masih mudah ditiru, Oleh karenanya, terkait dengan
pengetahuan, maka tacit knowledge dinilai memiliki potensi
keunggulan.
2. Manajemen human capital
Perhatian terhadap human capital dengan cara memaksimalkan
pengelolaan human capital. Hal ini dapat dilakukan: a)
menekankan kriteria dimilikinya tacit knowledge dalam seleksi
karyawan; b) melakukan pelatihan dan pengembangan dengan

Karakter Positif Organisasi | 125


mengirimkan karyawan ke luar atau mendatangkan expert ke
dalam perusahaan. Namun pada kenyataannya, pengetahuan
dan pengalaman pelatihan pada akhirnya juga tidak unik,
artinya pengetahuan dan hasil pelatihan masih dapat diduplikasi.
Oleh karenanya dalam pengembangan karyawan sebaiknya
dilakukan dengan coaching dan mentoring yang hal ini akan
dapat merepresentasikan kondisi masing-masing karyawan dan
tacit knowledge yang dimiliki, dan c) mengembangkan tacit
knowledge melalui penanaman komitmen dan berperan aktif
menjadi bagian dalam organisasi
3. Social capital
Social capital adalah sumberdaya yang muncul melalui jaringan
relasi/hubungan karyawan dalam organisasi. Sumbernya berasal
dari kelompok dan komunitas, struktur sosial dan dinamika
budaya. pengetahuan, ide, informasi, nasihat, bantuan,
kesempatan, dukungan emosional, niat baik dsb. Social capital
ini merupakan multidimensi yang terdiri dari dimensi jaringan,
norma dan kepercayaan. Adapun teknik yang dapat digunakan
untuk mengelola social capital beberapa di antaranya adalah
menjalin komunikasi yang terbuka, menyelenggarakan tim
kerja lintas fungsional dan menyelenggarakan program work
life balance.
4. Psychological capital.
Psychologycal capital ini mengembangkan positive organizational
behavior (POB) dan kinerja organisasi. Keadaan perkembangan
psikologis positif individu yang ditandai dengan : a) bertekad
mencapai tujuan dan, jika perlu, mengarahkan jalan menuju
tujuan (hope) untuk berhasil; b) membuat atribusi positif
(optimisme) tentang sukses sekarang dan di masa depan; c)
ketika dilanda masalah dan kesulitan, mempertahankan dan
bangkit kembali (resilience) untuk mencapai kesuksesan; dan
d) memiliki kepercayaan diri (efficacy) untuk mengambil tugas-
tugas yang menantang dan berupaya untuk berhasil.

Beberapa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan


psychological capital antara lain: a) mengembangkan hope dengan
cara menetapkan goal seting dan membuat perencanaan sebelum
pelaksanaan suatu kegiatan; b) mengembangkan optimism dilakukan
dengan cara menerapkan fleksibilitas kerja sehingga optimisme
kerja karyawan tetap terjaga bahkan dapat meningkat. Selain
itu pemberian kesempatan kepada karyawan untuk mengambil

126 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


kesempatan di masa depan; c) mengembangkan resilience dengan
melalui penetapan strategi yang berfokus pada asset, resiko, dan
proses; dan mengembangkan efficacy dilakukan dengan memberikan
pengalaman keberhasilan kepada karyawan dengan cara penetapan
target-target kecil dalam pencapaian tujuan. Selain itu juga dapat
dilakukan dengan pemberian umpan balik yang positif.
Selain melalui pengeloaan dan pemanfaatan human capital,
beberapa organisasi mencoba untuk mewujudkan keunggulan
kompetitif dengan mendorong lingkungan kerja yang positif. Hal
ini diharapkan dapat berdampak positif bagi karyawan. Hal yang
dilakukan adalah dengan menyoroti organisasi sebagai lingkungan
kerja bagi karyawan dan dampaknya terhadap perilaku karyawan.
Organisasi menjadi lingkungan kerja bagi karyawan yang bekerja
di dalamnya. Lingkungan kerja merupakan tempat para karyawan
melakukan aktivitas bekerja. Lingkungan kerja ini merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan (Putri,
Ekowati , Supriyanto, & Mukaffi, 2019: Kholil, 2014). Pada dasarnya
pengaruh dari lingkungan kerja dapat bersifat positif maupun negatif
bagi karyawan. Lingkungan kerja yang memusatkan pada karyawan
merupakan lingkungan yang positif dan dapat meningkatkan kinerja.
Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan menjadi
lingkungan yang negatif dan dapat menurunkan kinerja karyawan.
Saat ini lingkungan kerja didesain untuk menciptakan hubungan
kerja yang mengikat pekerja terhadap lingkungannya. Lingkungan
menjadi sumber kesejahteraan bagi karyawan. Terkait dengan hal
ini, dalam perkembangan penelitian psikologi positif organisasi ada
dua pendekatan yang digunakan yaitu konsep Positive Organizational
(POS) yang dikemukakan oleh Cameron, Dutton dan Quinn (2003)
dan Positive Organizational Behavior (POB) oleh Luthans dan
Youssef (2007).
Positive Organizational Scholarship mempelajari bagaimana
organisasi mengembangkan kekuatan manusia, menumbuhkan
vitalitas dan ketahanan, dan membuka potensi. Selama ini banyak
penelitian yang mengkaji perilaku organisasi ditargetkan untuk
mengidentifikasi sesuatu yang salah dalam organisasi. Namun POS
justru mengkaji hal-hal positif organisasi. Beberapa variabel kunci
dalam penelitian OB positif adalah keterlibatan, harapan, optimisme,
dan ketangguhan dalam menghadapi ketegangan.
Kajian organisasi dengan POS ini meminta karyawan untuk
memikirkan hal terbaik bagi mereka untuk memahami bagaimana
memanfaatkan kekuatan mereka. Hal ini berpijak bahwa selama
ini pada dasarnya semua orang memiliki hal-hal yang luar biasa

Karakter Positif Organisasi | 127


baik, namun terlalu sering difokuskan hanya mengatasi keterbatasan
yang dimiliki dan jarang berpikir tentang bagaimana mengeksploitasi
kekuatan. Meskipun POS tidak menyangkal adanya nilai negatif tetapi
ada suatu tantangan untuk melihat perilaku organisasi melalui lensa
baru dan mendorong organisasi untuk mengeksploitasi kekuatan
karyawan daripada memikirkan keterbatasan mereka.
Positive Organizational Scholarship (POS) berkaitan dengan studi
terutama tentang hasil, proses, dan atribut positif dari organisasi
dan anggotanya (Cameron dkk, 2003). Ide dasar POS adalah
memahami adanya dorongan perilaku positif di tempat kerja yang
memungkinkan organisasi mencapai prestasi yang lebih tinggi. POS
memfokuskan pada dinamika positif yang memberikan efek positif
seperti kinerja individu yang luar biasa dan kinerja organisasi. Contoh
kajian POS meliputi kekuatan, ketahanan, vitalitas, kepercayaan,
organisasi kebajikan, penyimpangan positif, sesuatu yang luar biasa,
dan pemaknaan (misalnya, Cameron, 2003).
Positive Organizational Behavior (POB) merupakan studi dan
aplikasi positif yang berorientasi pada kekuatan sumber daya manusia
dan kapasitas psikologis yang dapat diukur, dikembangkan, dan
dikelola secara efektif untuk peningkatan kinerja di tempat kerja saat
ini. POB memiliki kapasitas yang terbuka untuk pengembangan dan
seseorang dapat mengukur, mengembangkan, dan menggunakannya
untuk meningkatkan kinerja (Luthans, 2002b; Nelson & Cooper,
2007). Kapasitas inti POB tersebut meliputi hope, optimism, resiliensi
dan efficacy (Luthans & Youssef, 2007). POB dapat berkontribusi
pada hasil organisasi yang positif. Contohnya, hope, optimism,
resiliensi dan efficacy telah dikaitkan dengan kepuasan kerja yang
lebih tinggi, kebahagiaan kerja, dan komitmen organisasi (Youssef
& Luthans, 2007).
Baik POB dan POS mempelajari organisasi dan kehidupan kerja
dengan pendekatan positif dan sama-sama memberikan penekanan
pada tempat kerja dan pencapaian hasil kerja. Namun keduanya
berbeda dalam beberapa aspek, terutama pada topik kajian penelitian
yang berbeda. POB terutama lebih memperhatikan kualitas psikologis
individu dan dampaknya terhadap peningkatan kinerja, sementara
POS sebagian besar berkaitan dengan aspek positif dari konteks
organisasi (Bakker & Schaufeli, 2008).
Selain itu, POB menekankan pada perbaikan kinerja, sementara
POS tidak harus harus demikian. Selanjutnya, metode penelitian
dan tingkat analisis juga sedikit berbeda. Penelitian POB dilakukan
terutama di tingkat mikro dan meso analisis dengan menggunakan
penelitian survei, sementara studi POS biasanya dilakukan di tingkat

128 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


analisis organisasi dengan menggunakan beragam metode penelitian
kualitatif dan kuantitatif (Luthans & Avolio, 2009a, 2009b). Namun
demikian tidak berarti bahwa penelitian POB hanya pada tingkat
individu dan POS hanya di tingkat organisasi, keduanya melakukan
pada semua tingkat. Bagaimanapun keduanya memiliki perbedaan.
POB cenderung berkembang secara cara induktif (yaitu, dari individu
ke kelompok ke tingkat analisis organisasi), sementara POS telah
berkembang ke arah yang berlawanan (Luthans & Avolio, 2009).
Berdasarkan paparan di atas, POB dan POS berakar pada
psikologi positif dan sama-sama menyoroti pentingnya proses ilmiah
dalam mengembangkan pengetahuan. Namun, keduanya berbeda
dalam topik minat yang dikembangkan, tingkat penekanan pada
peningkatan kinerja , dan tingkat analisisnya. Dengan demikian
menurut Donaldson dan Ia Ko (2010) POP sebagai istilah umum
yang mencakup POB dan POS dalam hal topik penelitian, fokus,
dan level.
Terkait dengan pendapat Peterson (2016) di atas tentang
penegasan adanya ketiga pilar psikologi positif, maka aplikasi baik
POB maupun POS dalam menciptakan organisasi positif sangat
relevan. Pilar ketiga memfasilitasi pilar pertama dan pilar kedua
untuk mengembangkan manusia. Dalam hal ini, organisasi
yang positif menjadi pendukung dimilikinya pengalaman positif,
yang dirasakan secara subjektif oleh masing-masing karyawan.
Organisasi yang positif ini juga menciptakan sifat-sifat positif yang
dimanifestasikan dalam perilaku kerja karyawan. Dengan melalui
kajian POB dan POS, organisasi akan mendapatkan masukan dalam
mempromosikan perilaku karyawan sebagai individu, kelompok
kerja serta perilaku terkait struktur dan sistem organisasi kea rah
yang lebih positif.

E. Kebajikan Organisasi
Kunci dari POS adalah konsep kebajikan organisasi atau organizational
virtuousness yang ditampilkan “dalam” dan “melalui” organisasi
(Cameron, 2003). Virtuousness berakar dari istilah Bahasa Latin
Virtus yang artinya kekuatan dan kesempurnaan. Plato dan Aristoteles
mendefinisikan sebagai keinginan dan perilaku yang menghasilkan
kebajikan personal dan sosial. Kebajikan digambarkan sebagai suatu
kondisi yang paling baik, perilaku yang mulia, keutamaan dan
esensi manusia, aspirasi tertinggi pada diri manusia.

Karakter Positif Organisasi | 129


Kebajikan “dalam” organisasi berkaitan dengan perilaku individu
dalam seting organisasi dan literatur yang berkembang tentang topik
ini muncul di bidang psikologi positif (Seligman & Csikszentmihalyi,
2000). Manifestasi dan konsekuensi kebajian tersebut meliputi harapan,
rasa syukur, kebijaksanaan, pemaafan, kasih sayang, ketahanan, dan
kebajikan lainnya dan saat ini mulai mendapat perhatian dalam
banyak literatur ilmiah. Kebajikan “melalui” organisasi berkaitan
dengan kemungkinan organisasi mendorong dan mempertahankan
kebajikan. Namun demikian, kebajikan “melalui” organisasi jarang
dikaji lebih mendalam (Cameron, 2003). Meskipun studi tentang
etika bisnis, tanggung jawab sosial perusahaan, dan perilaku
keanggotaan telah dibahas, kebajikan adalah unik dari konsep-konsep
ini. Manifestasi organisasi terhadap kebajikan dan konsekuensinya
tetap kurang dikembangkan secara teoritis dan empiris.
Dalam konsep kebajikan organisasi, suatu organisasi tidak
dinilai baik atau buruk dari suatu kondisi tertentu. Baik individu
maupun organisasi tidak sepenuhnya baik atau tidak baik. Kebajikan
ini dapat dimanifestasikan ke dalam aktivitas perilaku karyawan
secara individu maupun perilaku secara kolektif. Karakteristik yang
muncul akibat dari kebajikan organisasi ini menjadi ciri unik yang
pada akhirnya membentuk karakter.
Menurut Cameron dkk. (2003), ada 3 atribut yang terkait
dengan kebajikan organisasi, yaitu:
1. Dampak yang ditimbulkan oleh manusia (human impact)
Berkaitan dengan atribut ini, sesuatu dapat disebut sebagai
kebajikan organisasi apabila merupakan hasil dari perilaku
manusia, seperti misalnya karakter moral dan pengembangan,
kekuatan manusia, kontrol diri, resiliensi dan tujuan yang
bermakna. Suatu keinginan atau perilaku tanpa efek terhadap
manusia tidak dapat disebut sebagai suatu kebajikan. Hal
ini misalnya struktur organisasi tidak dapat dinilai baik atau
tidak, apabila tidak memiliki dampak intrinsic positif maupun
negative terhadap manusia di sekitarnya.
2. Kebaikan moral (moral goodness)
Kebajikan organisasi berkaitan dengan kebajikan moral, meliputi
: baik, benar, atau layak untuk dilakukan. Menurut Arsitoteles,
kebajikan organisasi suatu kebajikan muncul demi kebajikan itu
sendiri seperti cinta, kebijaksanaan dan sebagainya. Kebajikan
tidak muncul karena sesuatu yang lain seperti kekuasaan, harga
diri dan keuntungan. Bentuk kebajikan organisasi dapat muncul
dari perilaku organisasi yang dilakukan demi penghargaan dan
pengembangan terhadap manusia.

130 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


3. Perbaikan sosial (Social betterment)
Social betterment ini merupakan suatu perbaikan yang dilakukan
melebihi dari kepentingan diri sendiri. Perilaku yang baik
dilakukan bukan untuk mendapatkan rekompensasi dari orang
lain, tetapi lebih memberikan keuntungan bagi orang lain di
atas kepentingan diri sendiri. Dengan demikian perilaku yang
menunjukkan adanya pertukaran, hubungan timbal balik, dan
motif melayani diri sendiri, bagaimanapun, bukan menunjukkan
kebajikan.
Hal ini menyiratkan bahwa organisasi yang memiliki kebajikan
melakukan lebih dari sekedar berpartisipasi dalam tanggung jawab
sosial organisasi yang ditentukan secara normatif, dan tidak hanya
mensponsori program ramah lingkungan, atau memanfaatkan
sumber daya terbarukan. Sementara ini beberapa kegiatan yang
termasuk dalam tanggung jawab sosial dan keanggotaan organisasi
yang dianggap sebagai kebajikan organisasi, seringkali didorong
karena adanya manfaat instrumental atau hubungan pertukaran.
Artinya, keterlibatan dalam tindakan ini sering dilatarbelakangi
untuk memperoleh manfaat bagi perusahaan atau sebagai hasil
dari pengaturan timbal balik, misalnya untuk memperoleh reputasi
perusahaan. Namun bagaimanapun pertukaran, timbal balik, dan
motif melayani diri sendiri, bukan merupakan kebajikan organisasi.
Adanya asosiasi positif antara kebajikan dan kinerja individu yang
diharapkan, maka dapat diasumsikan bahwa ketika kebajikan terjadi
dalam organisasi, kinerja organisasi juga akan positif (Cameron, 2003).
Pengujian dari asumsi ini dibuktikan dengan beberapa penelitian
pada perusahaan yang melakukan perampingan karyawan terjadi
kecenderungan dampak negatif pada level individu karyawan dan
organisasi (Cameron, 1998; Cameron, Freeman, & Mishra, 1993). `Hasil
temuan mengenai efek perampingan mengungkapkan bahwa moral,
kepercayaan, dan produktivitas mengalami penurunan. Perusahaan-
perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang sama, dan tidak
melakukan perampingan justru mengungguli perusahaan-perusahaan
yang melakukannya dalam resesi tahun 2001, tertinggal dari harga
saham dan mengalami penurunan ROA (rate of invesment) setelah
melakukan perampingan serta tidak cukup pulih untuk menyamai
perusahaan non-perampingan tiga tahun kemudian.
Menurut Cameron (2003), kinerja organisasi yang negatif
terkait dengan berbagai masalah internal dalam organisasi, di
antaranya (1) kerusakan hubungan interpersonal, nilai-nilai bersama,
kepercayaan dan loyalitas, dan kesamaan dalam budaya dan nilai-

Karakter Positif Organisasi | 131


nilai; (2) kurang berbagi informasi dan meningkatkan kerahasiaan,
penipuan, dan duplikasi; (3) peningkatan formalisasi, kekakuan,
resistensi terhadap perubahan, dan konservatisme; (4) meningkatnya
konflik, kemarahan, dendam, dan perasaan sebagai korban; dan
(5) meningkatnya keegoisan dan perpindahan karyawan, serta
kemunduran kerja tim dan kerjasama. Masalah-masalah internal
organisasi yang menimbulkan kinerja organisasi negatif tersebut
perlu diminimalisir supaya upaya-upaya manajemen organisasi dapat
memberikan efek yang positif.

F. Implementasi Kebajikan dalam Organisasi


Dalam menciptakan organisasi positif dan mencapai keunggulan
kompetitif, sumberdaya organisasi terutama human capital perlu
dikelola melalui kebajikan organisasi yang diimplementasikan ke
dalam perilaku positif karyawan. Beberapa kebajikan tersebut berupa
harapan, kebersyukuran, pemaafan, kebijaksanaan dan resiliensi, yang
hal tersebut akan tampak relevan pada kualitas kinerja karyawan.
Kebajikan organisasi dapat digambarkan sebagai organisasi
yang “berbudi luhur” yaitu organisasi yang bertindak demi kebajikan
karyawan dan lingkungan. Organisasi melakukan kebajikan demi
untuk kemanfaatan orang lain di atas kepentingan organisasi itu
sendiri. Hal ini dapat menjadi pengalaman positif bagi karyawan
dan memunculkan sifat yang positif pula. Organisasi seperti ini
menjadi daya tarik organisasi di mata karyawan. Karyawan dapat
lebih memaknai pekerjaan mereka dan terlibat dengan lingkungan
kerja. Organisai juga menjadi lebih baik dalam memberikan
pelayanan kepada karyawan.

G. Penutup
Organisasi yang diibaratkan seperti manusia juga dapat menunjukkan
perilaku dan menunjukkan karakter melalui perilaku para karyawan,
kelompok kerja daan strukturnya. Perilaku karyawan yang relative
bertahan lama dan menunjukkan perilaku positif dapat menjadi
manifestasi kebajikan organisasi. Kebajikan ini akan menjadi karakter
organisasi dan berdampak pada kinerja organisasi secara keseluruhan.

132 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


H. Daftar Pustaka
Bakker, A. B., & Schaufeli, W. B. (2008). Positive organizational
behavior: Engaged employees in flourishing organizations.
Journal of Organizational Behavior, 29, 147-154.
Barr, R. & Dreeben, R. (1991). How schools work. Chicago :
University of Chicago Press
Cameron, K.S., Dutton, J.E., and Quinn, R.E. (2003) Positive
Organizational Scholarship. (pp. 48-65) San Francisco: Berrett-
Koehler.
Chell, E., (1987). The Psychology of Behaviour in Organizations.
London : The Macmillan Press L Td.
Donaldson dan Ia Ko (2010). Positive organizational psychology,
behavior, and scholarship: A review of the emerging literature
and evidence base. The Journal of Positive Psychology · May
2010. DOI: 10.1080/17439761003790930
Drucker, Peter F. (2007). Management : Task, Responsibilities And
Practice. New York : Truman Talley Books.
Eisenberger, R. & Huntington, R., Hutchison, S., & Sowa, D.
(1986). Perceived organizational support . Journal of Applied
Psychology. Vol. 71, No. 3, 500-507.
Eisenberger, R (2013). Perceived organizational support. Diunduh
tanggal 17 Desember 2013 dari http://www.psychology.uh.edu/
pos/default.asp
Idi, A. (2013). Sosiologi Pendidikan : Individu, Masyarakat dan
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Kholil, M Abdul. Pengaruh Disiplin Dan Lingkungan Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan Pabrik Pada PT. IntiKarya Plasma Perkasa
Tapung. FEKOM. 2014; Vol. 01, No. 02.
Luthans, F. (2010). Organizational Behavior : An Evidence-Based
Approach, 12th Edition. New York : McGraw-Hill/Irwin.
Luthans, F., & Avolio, B. J. (2009a). Inquiry unplugged: building on
Hackman’s potential perils of POB. Journal of Organizational
Behavior, 30, 323-328.
Luthans, F., & Avolio, B. J. (2009b). The ‘point’ of positive
organizational behavior. Journal of Organizational Behavior,
30, 291-307.
Luthans, F., & Youssef, C. M. (2007). Emerging positive organizational
behavior. Journal of Management, 33, 321-349.
Nelson, D.L., and Cooper, C.L. (2007). Positive Organizational
Behavior. London : SAGE Publications Ltd.

Karakter Positif Organisasi | 133


Peterson, C. (2006). A primer in positive psychology. New York:
Oxford University Press.
Robbins, S.P. & Judge, T.A. (2012). Organizational Behavior. Fifteenth
Edition. Edinburgh Gate : Pearson Education Limited
Roberts, L.M., Wooten, L.P., and Davidson, M.N. (2016). Positive
Organizing In A Global Society : Understanding And Engaging
Differences For Capacity Building And Inclusion. New York :
Routledge.
Rudani, Ramesh B. (2012). Management and Organisational Behaviour.
New Delhi : Tata McGraw Hill Education Private Limited.
Seligman, M. E. P., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive
psychology: An introduction. American Psychologist, 55, 5-14.
Snyder, C.R. & Lopez, S.J. (2007). Positive psychology: the scientific
and practical explorations of human strengths. London : Sage
Publications.
Quinn, R.E. (2015). The Positive Organization. Oakland : Berrett-
Koehler Publishers, Inc.
Elok Mahmud Putri 1, Vivin Maharani Ekowati 2, Achmad Sani
Supriyanto 3, Zaim Mukaffi. (2019). The effect of work
environment on employee performance through work discipline.
International Journal of Research. Vol.7 (Iss.4): April 2019. 132
– 140. DOI: 10.5281/zenodo.2653144

134 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


8 MARITAL FLOURISHING: KONSEP DAN
APLIKASINYA
Siti Rohmah Nurhayati
siti_rohmah@uny.ac.id

A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu penyesuaian psikososial paling
penting di masa dewasa. Perubahan satus dari lajang ke berpasangan
membawa konsekuensi perubahan pada aspek psikologis maupun
sosial individu. Pada saat individu masih lajang, ia bisa berpikir dan
bertindak atas namanya sendiri dengan hanya mempertimbangkan
kepentingannya sendiri. Hal yang berbeda terjadi saat ia sudah
menikah, karena ia memiliki pasangan. Di situ ada proses akomodasi
kebutuhan, keinginan, dan harapan pasangan dalam kehidupan
sehari-hari. Dimulai dari hal-hal yang sederhana seperti dalam
pemilihan makanan sampai dengan pola asuh dan pemilihan
tempat pendidikan untuk anak-anaknya. Perkawinan adalah sebuah
perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan.
Sebagian besar pasangan memulai perjalanan tersebut dengan
penuh antisipasi dan rasa gembira. Oleh karenanya mereka
membekali diri dengan materi-materi yang diperlukan melalui
program persiapan perkawinan. Program-program persiapan
perkawinan diselenggarakan oleh berbagai Lembaga, baik lembaga
agama, pemerintah, maupun swasta. Pemerintah melalui Kantor
Urusan Agama (KUA) mewajibkan para calon pengantin untuk
mengikuti Bimbingan Perkawinan sebelum mereka menjalankan
akad nikah. Gereja Katolik mewajibkan calon pengantin yang
mau mendapatkan sakramen perkawinan untuk mengikuti Kursus
Persiapan Perkawinan. Di luar itu, beberapa lembaga swasta juga
menyelenggarakan pelatihan atau kursus berbayar dengan tujuan
mempersiapkan perkawinan.


| 135
Selain mereka yang mempersiapkan diri untuk memasuki
jenjang perkawinan, terdapat pasangan yang memasuki gerbang
perkawinan tanpa persiapan bahkan dengan keterpaksaan. Kasus
married by accident, yaitu pasangan pengantin yang menikah karena
pengantin perempuan sudah hamil terlebih dahulu merupakan salah
satu di antaranya. Pernikahan dengan keterpaksaan dapat dilihat
pada kasus-kasus perjodohan. Sayangnya perjodohan ini juga terjadi
pada mereka yang masih berusia anak (Rofika & Hariastuti, 2020).
Dengan atau tanpa persiapan, setiap individu mengharapkan
perkawinannya berjalan dengan baik, harmonis dan membuat mereka
merasa bahagia. Harapan tersebut bukanlah harapan tanpa dasar,
karena sesungguhnya tujuan dari perkawinan adalah kebahagiaan.
Sebagaimana diamanatkan oleh UU Perkawinan No tahun 1974
tentang perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang
menikah, perkawinan pada umumnya merupakan pengalaman
kehidupan yang paling intim, dan pengalaman yang melibatkan
keintiman fisik maupun emosional berpotensi membuat mereka
merasa puas dan bahagia. Mungkin karena itulah maka kebahagiaan
merupakan salah satu ukuran perkawinan berkualitas di banyak
budaya (Nurhayati, Faturochman & Helmi, 2019).
Meskipun kebahagiaan merupakan ukuran yang bersifat umum
untuk perkawinan yang berkualitas, namun terdapat kriteria lain
yang lebih dari sekedar kebahagiaan yang secara subjektif dirasakan
oleh individu. Kriteria itu disebut sebagai kondisi flourishing (Fowers
& Owenz, 2010). Flourishing dianggap sebagai kondisi yang lebih
baik dan objektif karena flourishing terefleksikan dalam tindakan-
tindakan yang dapat dilihat dan dirasakan dampaknya bagi orang
lain. Sebagai sebuah konsep, marital flourishing sudah diulas oleh
beberapa orang (Fowers & Owenz, 2010; Nurhayati & Helmi, 2013).
Tulisan ini akan membahas konsep marital flourishing disertai dengan
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam relasi suami istri.

B. Konsep Marital Flourishing


1. Teori Hedonistik dan Eudaimonik
Terdapat dua tradisi teori dalam filsafat kebahagiaan, yaitu teori
hedonik dan eudaimonik dengan pandangan yang berbeda terhadap

136 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


kebahagiaan serta kesejahteraan (). Kebahagiaan menurut teori
hedonik bersifat subjektif, karena menekankan pada evaluasi seseorang
terhadap dirinya sendiri (Deci & Ryan, 2008). Orang menilai dirinya
bahagia jika dia yakin dan percaya bahwa dia bahagia (Ruyter,
2007). Kebahagiaan atau well-being secara operasional diartikan
sebagai suatu pengalaman emosi positif yang tinggi, dengan emosi
negatif yang rendah, serta kepuasan yang tinggi dalam kehidupan
(Deci & Ryan, 2008).
Sementara itu dalam perspektif teori-teori eudaimonik, wellbeing
dipandang lebih dari sekedar kebahagiaan. Dalam pandangannya,
orang yang menyatakan bahagia atau mengalami perasaan positif
tidak selalu berarti dia baik secara psikologis (Deci & Ryan, 2008).
Penelitian-penelitian wellbeing yang mengikuti tradisi eudaimonik
muncul dari filsafat kebahagiaan Aristoteles. Menurut Aristoteles,
kebahagiaan manusia berpusat pada kebermaknaan hidup yang
dipenuhi dengan kehidupan yang merepresentasikan keunggulan
manusia (Ryan, dkk., 2006).
Menurut teori eudaimonik, wellbeing adalah sebuah proses
untuk merealisasikan atau memenuhi sifat-sifat baik atau daimon
dari seseorang (Deci & Ryan, 2008). Daimon adalah potensi yang
dimiliki oleh individu, yang dalam realisasinya mewujud dalam
kebaikan dan potensi unik yang membedakan antara satu individu
dengan individu lainnya. Daimon juga merupakan kesempurnaan
dan keunggulan individu yang memberikan arah dan makna dalam
kehidupannya. Usaha untuk merealisasikan potensi atau hidup
sesuai daimon dapat menciptakan suatu kondisi yang dikenal
sebagai eudaimonik (Waterman, 1993).
Aristoteles mengartikan eudaimonik sebagai kebahagiaan atau
flourishing Namun demikian makna tersebut sering memunculkan
kesalahfahaman, karena pada umumnya kebahagiaan dikonotasikan
dengan keadaan afektif yang sifatnya superfisial dan sementara
(Fowers, 2008; 2012a). Sesungguhnya eudaimonik adalah bentuk
kehidupan tertinggi seorang manusia (Fowers, 2012a), berupa cara
hidup yang lengkap melalui pola aktifitas yang baik sepanjang
hayatnya, yang dimaksudkan untuk tujuan yang baik berlandaskan
nilai-nilai kebajikan (Fowers, 2012b).
Paradigma eudaimonia mengatakan bahwa kesejahteraan adalah
proses untuk mewujudkan kebaikan atau daimon seseorang (Deci
& Ryan, 2008). Potensi daimon seseorang dan realisasinya akan
mewakili pemenuhan terbesar dalam hidup. Daimon terdiri dari
semua potensi yang dimiliki manusia seperti kebaikan manusia dan

Marital Flourishing: Konsep dan Aplikasinya | 137


semua potensi unik yang membedakan satu dari yang lain. Daimon
adalah yang terbaik, kesempurnaan dalam perjuangan seseorang.
Oleh karena itu daimon dapat memberikan makna dan arah dalam
kehidupan seseorang. Segala usaha untuk hidup menurut daimon,
atau untuk mewujudkan semua potensi diri, akan meningkatkan
eudaimonia (Waterman, 1993).
Menurut Aristoteles, eudaimonia adalah cara hidup manusia
yang diwujudkan dalam kegiatan positif. Eudaimonia adalah pola
aktivitas sepanjang hidup untuk mencapai tujuan yang baik dengan
cara yang bijaksana (Fowers, 2012b). Oleh karena itu beberapa ahli
(Kraut, 1979; Ruyter, 2007; Snow, 2008; Fowers, 2012b) menyebut
eudaimonia sebagai flourishing. Istilah Flourishing digunakan untuk
menggambarkan kualitas hidup seseorang sepanjang waktu atau
untuk mengevaluasi hidup seseorang selama periode waktu tertentu
(Ruyter, 2007).

2. Marital Flourishing
Seorang individu dengan eudaemon atau flourish adalah orang
yang sepenuhnya berkembang dan secara teratur menunjukkan
perbuatan baik sebagai seorang manusia, baik secara moral maupun
intelektual. Dia juga terlibat dalam kegiatan moral seperti bertindak
adil, murah hati, serta mampu mengendalikan diri (Kraut, 1979;
Kristja´nsson, 2010) dan berkontribusi secara konstruktif untuk dunia
di sekitarnya (Keyes, 2007). Pencapaian flourishing bersifat sukarela
dan biasanya merupakan bentuk ekspresi diri, tanpa ada kontrol
dari dunia luar. Oleh karena itu, flourishing ditunjukkan dengan
hidup layak dan perjuangan aktif yang luar biasa, pengambilan
keputusan yang reflektif, dan secara sukarela berusaha mencapai
tujuan yang mewakili sifat-sifat luhur manusia (Ryan, dkk, 2006;
Ryff & Singer, 2008). Keberhasilan mencapai tujuan membutuhkan
semacam kebijaksanaan yang sangat baik dan kerja sama tim
dengan orang lain (Fowers, 2012b).
Kondisi flourishing kiranya menciptakan kesejahteraan manusia,
yang ditunjukkan dengan kebaikan lahiriah, seperti keluarga yang
baik, teman yang baik, keturunan yang baik, penampilan yang baik
dan senang mengadakan kegiatan yang baik. Ini adalah bagian
dari kehidupan yang flourish --- kebaikan kemanusiaan (Snow,
2008). Flourishing adalah pengembangan penuh dari aspek afektif,
kognitif, perilaku, sosial dan politik (Fowers, 2012b). Flourishing
mulai terlihat ketika kebaikan diintegrasikan, dan tujuan bermakna
tercapai sesuai dengan bakat, pilihan dan situasi. Sayangnya, tidak

138 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


ada bentuk yang jelas dari flourishing yang dapat diikuti orang
karena flourishing adalah teori terbuka yang dapat diterapkan orang
dengan menggabungkan berbagai jenis kebaikan (Fowers &Owenz,
2010). Jadi flourishing adalah gambaran kehidupan yang utuh untuk
mencapai kebaikan yang bermanfaat melalui kegiatan yang bermakna
dalam kualitas tinggi dan hubungan yang erat (Fowers & Owenz,
2010), dalam kesatuan sosial, kohesif, dan sukses (Conly, 1988).
Manusia mengejar dua macam kebaikan di dunia ini, yaitu
kebaikan instrumental dan kebaikan konstitutif. Oleh karenanya
aktifitas manusia juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
aktifitas instrumental dan konstitutif. Dua aktifitas tersebut dibedakan
dari kesatuan antara tujuan dan tindakan. Pada aktifitas konstitutif,
tindakan menyatu dengan tujuan karena aktifitas yang dilakukan
seseorang merupakan bagian dari realisisasi tujuan. Sebagai contoh
jika seorang individu ingin menciptakan keadilan, maka caranya
adalah dengan berbuat adil. Jika ia ingin mencintai orang lain,
maka caranya dengan bertindak mencintai. Hal yang berbeda
terlihat pada aktifitas instrumental yang membedakan antara cara
dan tujuan. Aktifitas yang dilakukan oleh seseorang merupakan cara
untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya untuk tujuan memiliki uang,
orang bisa bekerja, minta uang pada orang lain, atau berhutang.
Aktifitas konstitutif memiliki nilai dalam dirinya, sementara aktifitas
instrumental memiliki nilai jika ia menunjukkan kegunaan dalam
mencapai tujuan (Fowers, 2010). Menurut Aristoteles, tujuan terbaik
di dunia ini adalah flourishing karena ada kebaikan dalam tujuan
tersebut (Fowers & Owenz, 2010).
Cara mencapai kebaikan dalam perspektif teori eudaimonik
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara individual dan secara
bersama-sama. Suatu hal yang dicapai secara individual adalah
segala sesuatu yang dapat dialami atau dimiliki individu. Sebagai
contoh adalah uang, prestasi, jabatan, dan kesenangan. Berbeda
dengan kebaikan individual, pencapaian tujuan bersama tidak
dapat dicapai sendirian. Hal tersebut juga tidak dapat dibagi atau
dikompetisikan. Misalnya kerjasama, persahabatan, keintiman, dan
keadilan tidak dapat dibagi diantara mereka yang terlibat dalam
aktifitas tersebut (Fowers, 2012b).
Salah satu bentuk persahabatan adalah perkawinan, yang
memiliki ciri adanya aktifitas bersama suami istri yang dikoordinasikan
untuk mencapai tujuan manusia yang bermakna. Aktifitas dalam
relasi suami istri dapat bermacam-macam. Suatu perkawinan dapat
dikatakan mencapai flourishing saat aktifitas-aktifitas dalam perkawinan

Marital Flourishing: Konsep dan Aplikasinya | 139


tersebut dilakukan secara komunal dan diarahkan dengan cara-cara
yang bermakna. Perkawinan dengan karakteristik tersebut merupakan
perkawinan dengan kualitas tertinggi. Adanya persahabatan dalam
sebuah perkawinan sangat penting dalam persektif teori eudaimonik,
karena dapat tercipta hubungan yang dapat memfasilitasi pencapaian
tujuan yang bermakna secara mutual. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa marital flourishing adalah perkawinan yang
ditandai dengan adanya aktifitas yang baik dan bermakna secara
komunal antara suami dan istri, yang ditujukan untuk mencapai
tujuan manusia yang mulia (Fowers dan Owenz, 2010).
Tujuan individu merupakan hal penting dalam kehidupan.
Namun demikian teori eudaimonik menunjukkan bahwa cara untuk
membedakan perkawinan yang memuaskan dengan perkawinan yang
flourish adalah adanya proporsi tujuan bersama yang besar pada
perkawinan yang flourishing (Fowers & Owenz, 2010). Berdasarkan
jenis kebaikan dan cara mencapainya, Aristoteles menyusun struktur
hirarki kebaikan menjadi dua dimensi. Fowers dan Owenz (2010)
menyebutnya sebagai dimensi agensi dan dimensi komuni. Menurut
Bakan (dalam Sheldon & Cooper, 2008), agensi menunjuk pada
individu sebagai organisme yang terpisah dari individu lainnya,
sementara komuni membutuhkan partisipasi dari individu yang
tergabung dalam satu unit sosial yang lebih besar. Fowers dan
Owenz (2010) menyatakan bahwa dimensi agensi meliputi tujuan
instrumental dan konstitutif, sementara dimensi komuni dapat
dibedakan menjadi tujuan individual dan bersama. Kedua dimensi
tersebut dijelaskan dalam empat kuadran yang mengisi sebuah tabel
sebagaimana tampak dalam Tabel 1.

Tabel 1 Dimensi pencapaian tujuan eudaimonik dalam perkawinan


Dimensi agensi
Tujuan instrumental Tujuan konstitutif
Dimensi Tujuan individual Rumah yang rapi Pekerjaan yang bagus
Komuni Kemajuan karir
Tujuan bersama Tabungan keluarga Saling mencintai
Jadwal bersama Saling menghargai
Keintiman

Sumber: Fowers & Owenz (2010)

Teori eudaimonik menyatakan bahwa untuk menentukan


kualitas sebuah perkawinan, dapat mengacu pada tida pertanyaan
yaitu: (a) apakah aktifitas dan tujuan pasangan ada di semua

140 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


kuadran? Perkawinan yang flourish ditandai dengan tujuan yang
menyebar di keempat kuadran. Mengabaikan salah satu kuadran
dapat membahayakan kehidupan perkawinan; (b) apakah aktiiftas
dalam perkawinan dapat ditandai sebagai aktifitas konstitutif atau
bersama? Perkawinan yang flourishing merupakan perkawinan
dengan kualitas tertinggi, sehingga memiliki aktifitas pencapaian
tujuan konstitutif secara bersama dalam tingkat yang tinggi (c)
Bagaimana tingkat pengalaman sukses pasangan suami istri dalam
mencapai tujuannya? Kesuksesan dan kemajuan dalam mencapai
tujuan merupakan hal penting dalam perkawinan yang berkualitas.
Oleh karena itu perkawinan yang flourishing ditandai dengan tingkat
keberhasilan yang relatif tinggi dalam pencapaian tujuan individual
seiring dengan kesuksesan dalam mencapai tujuan bersama (Fowers
& Owenz, 2010).

C. Marital Flourishing dalam Kehidupan


Sehari-Hari
Apakah marital flourishing dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari? Dalam kenyataannya, banyak pasangan yang telah mempraktikkan
kehidupan perkawinan yang flourish yang ditandai dengan adanya
tujuan konstitutif bersama pasangan dalam frekuensi dan intensitas
yang tinggi disertai tujuan-tujuan yang lain. Meskipun isu-isu
perkawinan yang bermasalah mengemuka, namun sesungguhnya
ada banyak pasangan suami istri yang mampu melewati perjalanan
perkawinannya dengan penuh cinta, saling bekerjasama dan respek
satu sama lain. Berikut ini beberapa aktifitas suami istri yang
merefleksikan kebaikan manusia yang diarahkan pada pencapaian
tujuan bersama.

1. Kesetiaan
Kesetiaan dianggap sebagai hal terpenting dan mendasar dalam
perkawinan. Secara umum kesetiaan mengandung makna sikap
yang koheren dan teguh dalam memegang suatu nilai atau cita-cita,
kebaikan, dan keadilan. Dalam konteks perkawinan, kesetiaan dapat
dipahami sebagai komitmen dalam sebuah ikatan yang dibangun
antara satu orang dengan satu orang lainnya. Kesetiaan mengarahkan
orang pada sikap memegang teguh perjanjian dengan seseorang,
bertahan dalam ikatan suci perkawinan dan mempertahankan cintanya
hanya pada seseorang yang secara sah menjadi pasangannya.

Marital Flourishing: Konsep dan Aplikasinya | 141


Sebuah penjelasan menarik tentang kesetiaan yang dikaitkan
dengan cinta datang dari Filsof Thomas Aquinas (Sherwin, 2013).
Kesetiaan tidak dapat dilepaskan dari rasa cinta, di mana level
cinta diawali dengan penampakan objek cinta ke ruang eksistensial
seseorang, yang kemudian menghasilkan emosi secara cepat. Pada
saat itulah fase cinta romantis dimulai, di mana pasangan merasa
ingin bersama selama mungkin. Fase selanjutnya menuju tingkat
pengetahuan afektif tentang orang yang dicintai, dan menemukan
bahwa mereka memiliki kapasitas untuk mencintai. Cinta dan
emosi tidak lagi dibatasi oleh waktu seperti dalam tahap romantis,
tetapi merupakan bagian dari realitas yang sama. Pada saat itulah
hubungan mulai menunjukkan jalan ke depan. Kekasih tidak dicintai
hanya karena dia saat ini, tetapi karena tujuan yang dapat mereka
capai sepanjang hidup mereka.
Bagi pasangan yang saling mencintai, menjanjikan cinta selamanya
menjadi mungkin ketika mereka melihat sebuah rencana yang
lebih besar dari apa yang dilakukan saat ini. Sebuah rencana yang
mampu menopang dan memungkinkan mereka untuk menyerahkan
masa depan mereka sepenuhnya kepada orang yang dicintai.
Hubungan cinta dapat berubah bentuk melalui keharmonisan cinta
dan kesenangan yang mereka berikan satu sama lain. Perubahan
tersebut mengarah pada komitmen seseorang dengan orang yang
dicintai dan juga perasaan memilikinya. Di situ ada rasa tanggung
jawab yang mendalam yang dapat membuat mereka merasa bahwa
mereka harus berurusan satu sama lain dengan cara tertentu. Oleh
karena itu kesetiaan mengandung kepercayaan – kepercayaan pada
masa depan dan pada orang yang kepadanya seseorang memberikan
dirinya sendiri.
Kesetiaan mungkin kata yang mudah diucapkan, namun tidak
mudah untuk dilakukan. Baik itu setia dengan pasangan, pekerjaan,
atau jadwal yang telah ditetapkan. Manusia memiliki kebebasan
untuk menggunakan kemampuan berpikir dan merasakan dalam
memilih, dan kemudian memutuskan memilih seseorang untuk
“dimilikinya”. Selanjutnya ia mempertahankan orang yang telah
dipilih, kemudian mengatur kehidupannya untuk tetap bertahan
pada pilihannya tersebut meskipun mengetahui sepenuhnya bahwa
hal itu mungkin tidak terlalu membahagiakan.
Kesetiaan merupakan bentuk komitmen dalam sebuah
hubungan. Komitmen secara umum didefinisikan sebagai intensi
untuk mempertahankan hubungan sepanjang waktu (Stanley, dkk.,
2010). Menurut Stanley dan Markman (1992), ada dua konstrak

142 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


komitmen yaitu personal dedication dan constraint commitment.
Personal dedication merujuk pada keinginan individu untuk menjaga
dan meningkatkan kualitas hubungan demi keuntungan bersama
pasangan tersebut. Hal ini dapat ditunjukkan melalui suatu keinginan
dan perilaku tidak hanya untuk melanjutkan hubungan, tetapi juga
meningkatkan pengorbanan, berinvestasi, menghubungkan tujuan
pribadi pada hubungan tersebut, serta mengupayakan kesejahteraan
pasangannya.
Sementara itu constraint commitment merujuk pada kekuatan
yang memaksa individu untuk mempertahankan hubungan, apakah
dari tekanan internal maupun eksternal. Paksaan-paksaan tersebut
mendukung stabilitas hubungan. Jika hubungan tersebut rusak atau
berhenti, maka mereka akan membayar lebih mahal, baik secara
ekonomi, sosial, personal, maupun psikologis. Contoh tekanan internal
yang memaksa individu untuk bertahan adalah ketergantungannya
pada pasangan secara finansial.
Meskipun komitmen menyediakan penjelasan tentang kesetiaan,
namun kesetiaan lebih dekat dengan personal dedication daripada
constraint commitment. Kesetiaan adalah komitmen tanpa paksaan,
karena kesetiaan bagian dari kebaikan yang melekat pada seseorang
sebagai identitas. Orang yang setia akan cenderung menjaga kesetiaan
pada pasangannya secara sukarela. Dalam praktiknya, kesetiaan ini
akan tampak dalam tindakan seseorang untuk mempertahankan
cinta dan hubungannya dengan pasangan sampai maut memisahkan.

2. Keadilan
Bertindak adil pada diri sendiri dan pasangan menjadi salah satu
pondasi penting dalam perkawinan. Prinsip adil dalam sebuah
hubungan sejalan dengan sejumlah penelitian yang menemukan
bahwa persepsi terhadap keadilan berkaitan dengan kualitas hubungan
dekat (Joyner, 2009). Pendekatan yang cukup banyak digunakan
untuk menjelaskan keadilan, khususnya dalam kaitannya dengan
persepsi keadilan yang dirasakan oleh pasangan adalah pendekatan
keadilan distributif (Thompson, 1991; Blair, 1998). Konsep keadilan
distributif berkenaan dengan distribusi kondisi dan kebaikan yang
memengaruhi kesejahteraan individu, baik secara fisiologis, psikologis,
ekonomi, maupun sosial (Deutsch, 1975).
Deutsch (2012) menjelaskan empat prinsip keadilan distributif,
yaitu winner-takes-all, equity, equality, dan need. Prinsip winner-takes-
all menyatakan bahwa siapapun yang terbaik akan menang dan
mendapatkan semua uang. Pada prinsip equity, uang dibagi secara

Marital Flourishing: Konsep dan Aplikasinya | 143


proporsional berdasarkan kontribusi seseorang pada kelompok.
Prinsip equality menyatakan bahwa setiap orang dalam kelompok
akan mendapatkan bagian yang sama. Sementara itu prinsip
need menegaskan bahwa setiap anggota kelompok akan dihargai
berdasarkan kebutuhannya. Selanjutnya Deutsch menyatakan bahwa
dalam situasi interdependensi, penggunaan prinsip-prinsip yang lebih
kooperatif (equality & need) menghasilkan produktifitas dan sikap
positif yang lebih tinggi dibandingkan prinsip-prinsip kompetitif
(winner-takes-all & equity). Deutsch juga membedakan dua macam
orientasi psikologis kaitannya dengan relasi sosial, yaitu orientasi
solidaritas dan orientasi ekonomi. Orientasi solidaritas merupakan
rasa keterikatan secara positif pada dan dari orang lain, lebih
menekankan empati dan intuisi dalam memahami orang lain,
dan cocok untuk relasi yang sifatnya informal; sementara orientasi
ekonomi cocok untuk relasi yang bersifat kompetitif, sederajat,
berorientasi tugas, dan formal.
Jika seseorang ingin menciptakan keadilan dalam keluarganya,
maka tidak ada jalan lain kecuali ia harus bertindak adil.
Mencermati penjelasan Deutsch tentang keadilan, dapat dikatakan
bahwa relasi suami istri adalah hubungan yang berorientasi
solidaritas, sehingga prinsip keadilan yang cocok untuk diterapkan
dan dijadikan ukuran kualitas dalam hubungan adalah equality dan
need. Meskipun suami istri memiliki kontribusi yang berbeda, tetapi
mereka memiliki hak yang sama atas sumberdaya yang dimiliki
oleh keluarga. Suami istri memiliki hak yang sama atas kebaikan
dan manfaat dari adanya hubungan perkawinan. Dalam keadaan
tertentu, alokasi sumberdaya keluarga perlu memperhatikan kebutuhan
masing-masing anggota keluarga yang berbeda-beda. Bertindak adil
dalam hal ini adalah memastikan bahwa pasangannya mendapatkan
manfaat dari hubungan mereka sesuai dengan kebutuhannya.

3. Kerjasama
Kerjasama adalah salah satu aspek penting dalam perkawinan yang
berkualitas, dan kerjasama merupakan bentuk aktifitas konstitutif
yang hanya bisa dilakukan bersama orang lain yang dalam hal
ini adalah pasangan. Dalam perspektif teori eudaimonik, kerjasama
merepresentasikan keunggulan manusia sebagai makhluk sosial.
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa pada dasarnya manusia
bersifat sosial dan pengalaman merasa memiliki dalam hubungan
yang bermakna merupakan cara untuk berkembang secara penuh
sebagai manusia. Perkawinan yang dilakukan oleh sepasang manusia

144 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


membawa konsekuensi pada pengelolaan rumah tangga yang harus
mereka lakukan melalui tindakan-tindakan yang terkoordinasi.
Pasangan suami istri harus bisa bekerjasama agar tujuan mereka
membangun keluarga dapat tercapai.
Nurhayati (2017) mendefinisikan kerjasama dalam perkawinan
ini sebagai keterlibatan suami istri sesuai perannya masing-masing
untuk menuntaskan semua urusan rumah tangga. Semua urusan
rumah tangga tersebut terkait dengan beragam tujuan yang telah
disepakati oleh pasangan suami istri, baik yang bersifat jangka pendek
maupun jangka panjang. Urusan rumah tangga juga berhubungan
dengan upaya pemenuhan kebutuhan semua anggota keluarga, baik
kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis, kebutuhan sosial, maupun
maupun kebutuhan spiritual. Begitu beragamnya urusan rumah
tangga ini, sehingga pasangan suami istri perlu menjadi sebuah
tim yang solid untuk menyelesaikannya.
Kerjasama adalah sebuah keniscayaan bagi keberhasilan sebuah
tim tidak terkecuali pasangan suami istri. Penelitian Nurhayati (2017)
menunjukkan bahwa kerjasama dalam relasi suami istri meliputi
pembagian peran dalam rumah tangga serta memecahkan masalah
bersama-sama. Pembagian peran berkaitan dengan bagaimana
suami istri mengatur peran untuk bekerja mencari nafkah dan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah,
memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Sementara itu karena setiap
keluarga akan menghadapi masalah ataupun urusan-urusan yang
membutuhkan pengambilan keputusan, maka keterlibatan suami
istri dalam memecahkan masalah menjadi salah satu hal penting.
Ada keragaman pembagian peran rumah tangga pada pasangan
menikah. Sebagian pasangan berbagi peran berdasarkan peran
gender tradisional, dengan pembagian yang kaku di mana suami
mencari nafkah sementara istri bertanggung jawab pada urusan
domestik rumah tangga. Pasangan lain bekerjasama dengan cara
membagi peran secara lentur. Para pasangan suami istri bekerja
biasanya menggunakan cara ini untuk memastikan semua pekerjaan
domestik terselesaikan dengan baik. Kadang-kadang tidak ada
kesepakatan yang pasti tentang siapa mengerjakan apa di rumah,
meskipun untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu tetap dipegang salah
satu di antaranya. Pada pasangan yang berbagi peran secara lentur,
mereka bisa dengan mudah menggantikan peran pasangannya
ketika berhalangan.
Meskipun ada perbedaan model pembagian peran dalam rumah
tangga, namun esensi dari pembagian peran bukan pada masalah

Marital Flourishing: Konsep dan Aplikasinya | 145


apakah pembagian peran tersebut lentur atau kaku, tradisional
atau modern, namun lebih pada keadilan dan keseimbangan peran.
Pembagian peran yang adil atau seimbang artinya tidak memberikan
beban berlebih pada salah satu pihak. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, persepsi terhadap keadilan memengaruhi bagaimana
suami isteri akan menganggap apakah pembagian pekerjaan rumah
tangganya adil atau tidak. Nakamura dan Akiyoshi (2015) menyatakan
bahwa perempuan yang sudah menikah sering kali melakukan bagian
yang lebih besar dari pekerjaan rumah tangga di banyak negara,
namun mereka tidak selalu menganggap pembagian pekerjaan rumah
tangga yang tidak adil sebagai “tidak adil.” Salah satu faktor yang
memengaruhi persepsi tersebut adalah seberapa banyak waktu yang
dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena
itu kerjasama suami istri juga mesti diimbangi oleh mutualisme
dan altruisme suami istri, sehingga kerjasama yang dilakukan bisa
memberikan manfaat untuk kedua belah pihak.
Hal yang sama juga terjadi dalam proses pengambilan
keputusan maupun pemecahan masalah. Keterlibatan suami istri
dalam proses-proses pengambilan keputusan maupun memecahkan
masalah dibutuhkan dalam sebuah relasi yang sehat dan flourish.
Melibatkan diri dalam pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan merupakan bentuk tanggung jawab sekaligus kontribusi
positif suami istri pada pencapaian tujuan bersama. Sebuah keluarga
yang flourish membutuhkan umpan balik yang jujur dari semua
pihak karena dengan demikian akan mendapatkan ide-ide yang
konstruktif untuk kebaikan dan perkembangan keluarga tersebut.

4. Keintiman
Keintiman merupakan indikator utama perkawinan yang berkualitas
di banyak negara. Nurhayati (2017) menyebutnya sebagai kedekatan
dan kehangan hubungan. Dalam keintiman, ada kedekatan disertai
kehangatan seseorang dengan pasangannya sehingga tidak ada
jarak satu sama lain. Kedekatan antara suami istri dapat dirasakan
ketika masing-masing pihak masuk ke dalam dunia pikiran dan
perasaan pasangannya, menyelami, dan memahaminya sehingga
nyaris tidak berjarak.
Keintiman dapat diupayakan oleh pasangan suami istri dengan
bertindak saling mendekatkan diri melalui komunikasi terbuka
dan saling percaya. Patrick, dkk. (2007) menyatakan bahwa salah
satu bagian dari konseptualisasi keintiman adalah berbagi ide dan
nilai-nilai. Berbagi ide dan nilai-nilai hanya bisa dilakukan melalui

146 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


komunikasi. Saling memahami meliputi pengetahuan, pengertian,
maupun pemahaman kedua belah pihak terhadap pasangannya.
Moss & Schwebel (1993) menyebutnya sebagai kedekatan secara
kognitif dan afektif yang menunjukkan adanya kesadaran seseorang
terhadap dunia pikiran dan emosi pasangannya. Pemahaman terhadap
pasangan dapat berkaitan dengan keyakinan, harapan, cita-cita,
nilai-nilai, perasaan, kekurangan dan kelebihan, serta hal-hal yang
disukai atau tidak disukai. Sementara itu, saling percaya dalam
keintiman menunjukkan adanya rasa percaya bahwa pasangannya
tidak akan membuka informasi-informasi yang sifatnya pribadi.
Hal tersebut berkaitan dengan kesediaan masing-masing untuk
membuka diri dan menyampaikan informasi tentang diri kepada
pasangannya secara terbuka.
Keintiman suami istri juga dapat dirasakan dari aktivitas seksual.
Aktivitas seksual bukan hanya berkaitan dengan terjadinya hubungan
seksual suami istri, namun masing-masing pihak berusaha memenuhi
kebutuhan seksual pasangannya dan menikmati aktivitas tersebut.
Ketika sepasang suami istri saling berusaha memenuhi kebutuhan
seksual pasangannya sekaligus menikmati aktivitas seksual bersama
pasangannya, maka hal itu mengindikasikan adanya kedekatan dan
kehangatan dalam hubungan. Hal tersebut dapat dipahami karena
di dalam aktivitas seksual, seseorang tidak hanya menemukan
kesenangan semata, namun juga hubungan emosional yang lebih
intensif dibandingkan dengan hubungan emosional yang didapatkan
dari konteks yang lain (Rosenbury & Rothman, 2010). Seksualitas
tidak hanya berkaitan dengan kedekatan suami istri secara fisik,
namun juga berkaitan dengan kedekatan secara psikologis. Aktivitas
seksual dalam perkawinan dapat menunjukkan makna bahwa segala
sesuatu berjalan dengan baik serta mempertegas adanya ikatan di
antara suami istri (Olson, DeFrain, & Skogrand, 2011).
Saling mencintai juga merupakan bagian dari keintiman suami
istri. Hook, dkk. (2003) menyatakan bahwa hadirnya cinta dan
afeksi merupakan ciri pertama dari keintiman. Ketika seseorang
menyadari bahwa dirinya dicintai, maka risiko yang terkait dengan
ekspresi diri seperti adanya penolakan akan berkurang. Oleh
karena itu dia akan menjadi lebih siap untuk terbuka dan berbagi
pikiran maupun perasaan. Menurut Reis & Aron (2008), cinta
dalam bentuknya berupa companionate love sangat erat kaitannya
dengan keintiman dan bonding. Companionate love mewujud dalam
hubungan jangka panjang, antara dua orang yang menikmati waktu
bersama dan merasa nyaman menjadi diri mereka sendiri dalam
hubungan tersebut (Howe, 2012). Hubungan yang dekat dan hangat

Marital Flourishing: Konsep dan Aplikasinya | 147


tercipta dalam interaksi antara dua orang yang saling merespon
dan memenuhi kebutuhan, menyediakan dasar-dasar rasa aman
dan saling memahami (Reis & Aron, 2008).

5. Respek
Respek merupakan faktor penting dalam relasi interpersonal dan
merupakan salah satu bentuk kebaikan yang dilakukan oleh seorang
manusia kepada manusia lainnya. Respek memiliki akar yang kuat,
karena biasanya muncul dari hati. Sikap ini berangkat dari suatu
pandangan bahwa setiap orang adalah setara sehingga berhak
untuk mendapat perhatian dan penghormatan yang sama. Jika
seseorang sudah memiliki pandangan tersebut, dia akan mudah untuk
menghargai orang lain dan menjadi salah satu identitas dirinya.
Dia tidak akan merendahkan orang lain, karena beranggapan bahwa
semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki derajat sama.
Dalam konteks perkawinan, respek dapat dimaknai sebagai
sikap menempatkan pasangan pada posisi yang sejajar sehingga
pasangannya tersebut merasa diterima, didukung, dan dihargai
(Nurhayati, 2017). Respek dapat muncul dalam bentuk sikap
menghargai pasangan, menghargai pasangan sebagai orang dewasa
yang kompeten dan independen, saling menerima, mendukung dan
menghormati satu sama lain, bahkan ketika terdapat perselisihan.
Respek terhadap diri sendiri maupun pasangan tidak hanya
didasarkan pada kekuatan dan perasaan positif, tetapi juga
penerimaan terhadap penderitaan dan kelemahan. Respek yang
genuine bukan hanya merupakan konsep “perasaan positif” atau
penerimaan positif tanpa syarat. Respek juga merupakan penerimaan
terhadap pasangan dan perkawinan dengan isu-isu kesulitan. Saling
menerima menunjukkan sikap yang dimiliki oleh pasangan suami
istri berkenaan dengan fakta bahwa perkawinan tidak selalu diwarnai
dengan hal-hal yang menyenangkan. Ada kalanya situasi rumah
tangga terasa rumit dan sulit.
Respek adalah salah satu bentuk kebajikan manusia. Respek
pada pasangan merupakan pengakuan bahwa ia penting dan pantas
diperlakukan dengan baik. Mungkin menjadi sangat mudah untuk
respek pada pasangan pada saat semua baik-baik saja, saat rasa
cinta memuncak, atau saat pasangan menunjukkan sikap manis.
Tetap memperlakukan pasangan dengan baik saat situasi sedang
tidak baik-baik saja merupakan pengakuan sekaligus penghormatan
kepada nilai-nilai kemanusiaan, karena sesungguhnya setiap manusia
memiliki kelebihan dan kekurangan.

148 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


6. Memaafkan
Setiap orang tidak lepas dari berbuat salah, baik disengaja maupun
tidak. Saat seseorang melakukan kesalahan terhadap pasangannya,
mungkin hal itu akan membawa rasa sakit, benci, kecewa dan
terluka. Memaafkan merupakan salah satu cara melepaskan diri
dari perasaan tersebut sekaligus membantu pasangan untuk
memperbaiki diri dan memperbaiki hubungan. Oleh karena itu
memaafkan merupakan komponen penting dari sebuah relasi yang
berkualitas tinggi.
Memaafkan didefinisikan oleh McCullough, et al. (1997) sebagai
sekumpulan perubahan motivasi di mana seseorang menjadi (a)
menurun motivasinya untuk membalas melawan pasangan yang
menyinggung, (b) menurun motivasinya untuk mempertahankan
kerenggangan hubungan dengan pelaku, dan (c) meningkat motivasinya
untuk berdamai dan beritikad baik pada pelaku, meskipun tindakan
pelaku menyakitkan. Memaafkan bukan sekedar motivasi, namun
digambarkan sebagai transformasi yang terjadi ketika motivasi
seseorang untuk balas dendam dan mempertahankan kerenggangan
hubungan dari pasangan yang telah menyinggungnya berkurang,
dan motivasi untuk mencapai perdamaian meningkat.
McCullough, dkk. (1997) menyatakan bahwa definisi tersebut
mirip dengan konsep akomodasi menurut Rusbult, dkk. (1991),
yaitu kesediaan individu, pada saat pasangannya secara potensial
bertindak destruktif untuk (a) menghambat kecenderungan bereaksi
secara destruktif, dan (b) sebaliknya bereaksi secara konstruktif.
Perubahan motivasi secara struktural dan fungsional juga mirip
dengan hubungan antara empati dan motivasi intrinsik untuk
membantu orang lain yang membutuhkan. Orang yang memaafkan
akan termotivasi untuk mencapai hubungan yang konstruktif
dengan pasangannya (McCullough, dkk., 1997). Memaafkan tidak
hanya sering terjadi dalam konteks hubungan yang memuaskan
dan intim, tetapi juga difahami sebagai faktor psikologis yang
berhubungan dengan pengembalian kedekatan hubungan. Hal ini
akan memfasilitasi perilaku rekonsiliasi seperti kerjasama setelah
adanya pelanggaran hubungan (McCullough, dkk., 1997; 1998). Secara
khusus, Fowers dan Owenz (2010) menyatakan bahwa memaafkan
dan akomodasi merupakan bagian dari proses transformatif di dalam
suatu hubungan, karena menempatkan hubungan sebagai prioritas
di atas kepentingan individual. Proses transformatif tersebut penting
artinya di dalam menjaga hubungan yang berkualitas tinggi melalui
perubahan-perubahan dari kehidupan.

Marital Flourishing: Konsep dan Aplikasinya | 149


D. Penutup
Perkawinan yang flourish sebagai konsep pernikahan yang berkualitas
menunjukkan bahwa perkawinan yang berkualitas tercermin dalam
kehidupan individu di dalamnya. Perkawinan yang baik tidak hanya
ditunjukkan oleh kebahagiaan atau kepuasan subjektif suami atau
istri. Lebih dari itu, perkawinan yang baik hanya dapat dicapai
jika pasangan masing-masing memiliki keutamaan atau sifat-sifat
yang baik seperti kesetiaan, kedermawanan, respek, penyayang, adil.
Selain itu mereka bertindak dengan cara yang baik, dan saling
menyenangkan satu sama lain. Mereka secara konsisten dan teratur
terhubung satu sama lain, bertindak dengan cara yang diterima
secara moral untuk mencapai tujuan bersama dalam pernikahan.
Dengan demikian perkawinan yang berkualitas akan tercapai.
Perkawinan bukan hanya untuk memuaskan pasangan, tetapi juga
memungkinkan masing-masing untuk dapat mengekspresikan sifat-
sifat baik, melakukan hal-hal baik satu sama lain dalam kehidupan
yang baik.

E. Daftar Pustaka
Blair, S.L. (1998). Work roles, domestic roles, and marital quality:
perceptions of fairness among dual-earner couples. Social Justice
Research, 11 (3), 313-335
Conly, S. (1988). Flourishing and the failure of the ethics of virtue.
Midwest Studies in Philosophy, XIII, 83-96
Deci, E.L. & Ryan, R.M. (2008). Hedonia, eudaimonia, and well-
being: an introduction. Journal of Happiness Studies, 9, 1-11
Deutsch, M. (1975). Equity, equality, and need: what determines
which value will be used as the basis of distributive justice?
Journal of Social Issues, 31 (3), 137-149
Deutsch, M. (2012). A theory of cooperation-competition and beyond.
Dalam Handbook of Theories of Social Psychology (Eds: Van
Lange, P.A.M., Kruglanski, A.W., & Higgins, E.T.) London:
SAGE Publication Ltd.
Fowers, B.J (2012b). An Aristotelian framework for the human good.
Journal of Theoretical and Philosophical Psychology, 32(1), 10-23.
Fowers, B.J. & Owenz, M.B. (2010). A eudaimonic theory of
marital quality. Journal of Family Theory and Review. 2, 334-
352. DOI:10.1111/j.1756-2589.2010.00065.x
Fowers, B.J. (2010). Instrumentalism and psychology: beyond using
and being used. Theory & Psychology, 20(1), 102-124

150 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Fowers, B.J. (2012a). Placing virtue and the human good in
psychology, Journal of Theoretical and Philosophical Psychology,
32(1), 1-9.
Fowers, B.J., & Owenz, M.B. (2010). A eudaimonic theory of marital
quality. Journal of Family Theory and Review, 2, 334-352.
Hook, M.K., Gerstein, L.H., Detterich, L., Gridley, B. (2003). How
close we are? Measuring intimacy and examining gender
differences. Journal of Counseling and Development, 81, 462 -472
Howe, T.R. (2012). Marriages & Families in the 21st Century. A
Biological Approach. West Sussex: Wiley-Blackwell.
Joyner, K. (2009). Justice and the fate of married and cohabiting
couples. Social Psychology Quaterly, 72 (1), 61-76. DOI:
10.1177/019027250907200106
Kraut, R. (1979). Two conceptions of happiness. Philosopical Review,
88(2), 167-196
Kristja´nsson, K. (2010). Positive psychology, happiness, and virtue:
The troublesome conceptual issues. Review of General Psychology,
14(4), 296-310.
McCullough, M.E., Rachal, K.C., & Worthington Jr., E.L. (1997).
Interpersonal forgiving in close relationship. Journal of Personality
and Social Psychology, 73(2), 321-336
McCullough, M.E., Rachal, K.C., Sandage, S.J., Worthington Jr., E.L.,
Brown, S.W., & Hight,T.L. (1998). Interpersonal forgiving in
close relationship: II. Theoretical elaboration and measurement.
Journal of Personality and Social Psychology, 75(6), 1586-1603.
Moss, B.F., & Schwebel, A.I. (1993). Defining intimacy in romantic
relationships. Family Relations, 42, 31-37
Moss, B.F., & Schwebel, A.I. (1993). Defining intimacy in romantic
relationships. Family Relations, 42, 31-37
Nakamura, M., & Akiyoshi, M. (2015). What determines the
perception of fairness regarding household division of labor
between spouses? Plos One.One, 10 (7), https://doi.org/10.1371/
journal.pone.0132608
Nurhayati, S.R. (2017). Konsep, dinamika, dan pengukuran kualitas
perkawinan orang Yogyakarta. Disertasi. Universitas Gadjah Mada.
Nurhayati, S.R., & Helmi, A.F. (2013). Marital flourishing: Kualitas
perkawinan dalam teori Eudaimonik, Buletin Psikologi, 21 (2),
68-79
Nurhayati, S.R., Faturochman, & Helmi, A.F. (2019). Marital Quality:
A conceptual review., Buletin Psikologi, 27 (9), 109-124, DOI:
10.22146/buletinpsikologi.37691

Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks | 151


Olson, D.H., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2011). Marriages and
Families. New York: McGraw-Hill Education.
Patrick, S., Sells, J. N., Giordano, F.G., & Tollerud, T.R. (2007).
Intimacy, differentiation, and personality variables as predictors
of marital satisfaction. The Family Journal, 15 (4), 359-367.
DOI: 10.1177/1066480707303754
Reis, H. T., & Aron, A. (2008). Love: What is it, why does it
matter, and how does it operate?. Perspectives on Psychological
Science, 3(1), 80-86.
Rofika, A.M., & Hariastuti, I. (2020). Faktor sosial budaya yang
mempengaruhi terjadinya pernikahan pada usia anak di
Kabupaten Sumenep. Jurnal Promkes: The Indonesian Journal
of Health Promotion and Health Education, 8 (1), 12-20. doi:
10.20473/jpk.V8.I1.2020.12-20
Rusbult, C.E., Verette, J., & Whitney, G.A. (1991). Accommodation
processes in close relationships: theory and preliminary empirical
evidence. Jornal of Personality and Social Psychology, 60(1),
53-78.
Ruyter, D. (2007). Ideals, Education, and Happy Flourishing.
Educational Theory, 57, 23-35.
Ryan, R.M., Huta, V., & Deci, E.L. (2006) Living well: a self-
determination theory perspective on eudaimonia. Journal of
Happiness Studies, 9, 139-170
Ryff, C.D., & Singer, B.H. (2008). Know thyself and become what
you are: a eudaimonic approach to psychological well-being.
Journal of Happiness Studies, 9, 13-39.
Sheldon, K.M., & Cooper, M.L. (2008). Goal striving within agentic
and communal roles: separate but functionally similar pathways
to enhanced well-being. Journal of personality, 76(3), 415-448.
Snow, N.E. (2008). Virtue and Flourishing. Journal of Social
Philosophy, 39(2), 225-245
Stanley, S.M., & Markman, H.J. (1992). Assessing commitment in
personal relationship. Journal of Marriage and Family, 54(3),
595-608.
Stanley, S.M., Rhoades, G.K., & Whitton, S.W. (2010). Commitment:
functions, formation, and the securing of romantic attachment.
Journal of family theory & Review, 2, 243-257.
Thompson, L. (1991). Family work : women’s sense of fairness. Journal
of Family Issues, 12 (2), 181-196. DOI: 10.1177/019251391012002003
Waterman, A.S. (1993). Two conceptions of happiness: Contrasts of
personal expressiveness (eudaimonia) and hedonic enjoyment.
Journal of Personality and Social Psychology, 64(4), 678-691

152 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


TENTANG PENULIS

Prof. Dr. Dimyati, M.Si., merupakan profesor dalam bidang Psikologi


Olahraga. S1 (Sarjana Pendidikan Olahraga) dari UPI Bandung; S2
dari Fakultas Psikologi UGM, dan S3 dari Program Studi Ilmu
Olahraga Unesa. Fokus mengajar di beberapa Program Studi, baik
di program sarjana, magister, maupun doktoral. Namun fokus
kajian dan peminatan utamanya sejak tahun 1995 hingga sekarang
atau lebih dari 25 tahun pada bidang psikologi olahraga dan pada
akhir-akhir ini sedang mendalami bidang psikologi positif. Sebagai
akademisi, Dimyati melakukan berbagai penelitian, satu dari sekian
banyak penelitian itu diantaranya pada tahun 2017 dan 2018 dapat
hibah penelitian untuk meneliti tentang “Karakteritik Psikologis atet
Asian Games Indonesia 2018 di Jakarta”, juga menulis beberapa
buku dalam bidang Psikologi Olahraga, diantaranya buku dengan
Judul: (1) Psikologi Olahraga Metode Latihan Mental Bola Basket
(2018); (2) Psikologi Olahraga untuk Sepakbola (2019). Dari kurun
waktu 2011 – 2017, Dimyati aktif sebagai anggota Tim Pengembang
Asisten Deputi Penerapan Iptek Kemenpora R.I., dan sekarang
aktif sebagai anggota dan pengurus organisasi profesi, yaitu Ikatan
Psikologi Olahraga Indonesia (IPO).
---------------------------------
Prof. Dra. Yulia Ayriza, M.Si, Ph.D menyelesaikan Pendidikan
S1 dan S2 di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, dengan
pendalaman pada bidang Psikologi Perkembangan, serta menyelesaikan
S3 di School of Social Science, bidang Psikologi di Universiti Sains


| 153
Malaysia dengan fokus pada Psikologi Perkembangan, terutama
perkembangan anak. Ayriza merupakan dosen tetap di Jurusan
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Selain mengajar di S1 dan S2 Prodi Psikologi UNY, juga mengajar
di berbagai prodi S2 dan S3 UNY. Penulis juga memiliki pengalaman
mengajar di Fakultas Budaya, UGM pada level S3, dan pernah
menjadi Visiting Scholar di Universiti Kebangsaan Malaysia, serta
menjadi adjunct lecturer di UCSI University, Malaysia. Selama
mengabdi di UNY, Ayriza menulis beberapa buku dan melakukan
penelitian dan publikasi di berbagai jurnal nasional dan internasional
dengan tema yang berorientasi pada Pendidikan Anak Usia Dini
dan Perkembangan Anak maupun Remaja, dan juga tergabung
dalam berbagai Tim Jurnal sebagai reviewer di lingkungan UNY
maupun luar UNY. Tahun 2014-2021, Ayriza menjabat sebagai
Ketua Program Studi S2 Psikologi UNY.
-----------------------------------
Dr. Farida Harahap, M.Si lulus S1 sampai S3 dari Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Farida mulai bekerja
sebagai pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta Indonesia sejak
tahun 1998. Minat penelitian adalah pada perilaku beresiko remaja,
kewirausahaan pada anak berkebutuhan khusus dan pengembangan
karakter. Jabatan yang dipegang adalah sebagai ketua laboratorium
prodi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta pada tahun 2011-2013 dan Ketua Laboratorium
Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta.
----------------------------------
Dr. Farida Agus Setiawati, M.Si lulus S1, Pendidikan Profesi
Psikolog dan Magister Sains bidang Psikometri dari Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 2009 melanjutkan studi di
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dengan konsentrasi pengukuran
dan mendapatkan gelar doktor pada tahun 2013. Sejak tahun 1998,
bekerja sebagai dosen di Universitas Negeri Yogyakarta Indonesia.
Sesuai dengan bidang yang ditekuninya penulis banyak mengajar
pada bidang pengukuran psikologi. Penelitian-penelitiannya terutama
berfokus pada pengembangan alat ukur psikologi seperti alat ukur
multiple inteligensi, tes bakat differential, pengukuran kualitas
perkawinan, makna hidup, well-being, orientasi tujuan dan social
desirability.
----------------------------------

154 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks


Dr. Kartika Nur Fathiyah, M.Si lulus S1 sampai S3 serta program
profesi psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak
tahun 1998, penulis bekerja sebagai psikolog, peneliti, dan dosen di
Universitas Negeri Yogyakarta Indonesia. Sebagai psikolog, penulis
memfokuskan praktiknya pada problem kesehatan mental individu
dan banyak memberikan layanan konseling di Unit Layanan
Konseling UNY. Konsentrasi mengajar di bidang psikologi klinis
dan pengembangakn kesehatan mental di sekolah khususnya dalam
mewujudkan sekolah sejahtera.
-----------------------------------
Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si lulus S1 sampai S3 serta program
profesi psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak
tahun 1998, bekerja sebagai psikolog, peneliti, dan dosen di
Universitas Negeri Yogyakarta Indonesia. Fokus mengajar bidang
Psikologi Perkembangan pada program sarjana, magister, dan
doktoral. Penelitiannya berfokus pada aspek perkembangan manusia,
pengasuhan, keterkaitan perkembangan dan pendidikan anak
usia dini. Pada tahun 2013-2014 menjadi staf ahli Wakil Rektor
Bidang Kerjasama dan Kemitraan Universitas Negeri Yogyakarta.
Pada tahun 2014, 2019, 2020 terpilih sebagai anggota tim adhoc
penyusunan dan pengembangan Permendikbud No. 137 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan PAUD Nasional di Badan Standar
Nasional Pendidikan dan pada tahun 2015-2019 menjabat sebagai
Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta. Sejak 2017-sekarang menjadi reviewer di beberapa
jurnal nasional.
-----------------------------------
Dr. Rosita Endang Kusmaryani, M.Si. menyelesaikan S1 dan
S2 di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Setelah itu menempuh S3 di Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran Bandung dan mengambil konsentrasi Psikologi Industri
dan Organisasi. Penulis memulai karir sebagai Staf Rekruitmen
dan Seleksi di perusahaan CV Karya Hidup Sentosa Yogyakarta.
Setelah 3 tahun sebagai praktisi, penulis beralih profesi sebagai
dosen di Universitas Negeri Yogyakarta sejak tahun 1998. Pada
tahun 2001 sd 2007 pernah menjadi Konsultan Manajemen di
Pusat Manajemen Pelayanan Kesejatan (PMPK) dan Instruktur
Laboratorium Komunikasi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Mulai tahun 2012 sampai 2021, merangkap
menjadi Sekretaris Pusat Sertifikasi dan Karir LPMPP Universitas
Negeri Yogyakarta. Mulai tahun 2021-sekarang menjadi Ketua

Tentang Penulis | 155


Program Studi Magister Psikologi UNY. Penulis memiliki minat
pada bidang psikologi kerja dan karir.
-----------------------------------
Dr. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si adalah dosen Jurusan Psikologi
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Menempuh
pendidikan S1 sampai S3 di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada, serta Program Profesi Psikolog di universitas yang sama. Ia
memiliki minat di bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Keluarga.
Menekuni dan meneliti isu-isu keluarga sejak tahun 2000, dan
sebagian besar di antaranya sudah dipublikasikan dalam jurnal. Selain
memiliki aktifitas sebagai dosen, saat ini ia juga tercatat sebagai
konselor di Unit Layanan Bimbingan dan Konseling Universitas
Negeri Yogyakarta serta instruktur nasional Bina Keluarga Sakinah
Kementerian Agama Republik Indonesia. Sejak tahun 2019 sampai
sekarang menjabat sebagai Ketua Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

156 | Psikologi Positif dalam Berbagai Konteks

Anda mungkin juga menyukai