Diterbitkan oleh:
Bimedia Pustaka Utama
2022
PSIKOLOGI POSITIF
DALAM BERBAGAI KONTEKS
Copyrights©Dimyati et.al.
Editor ahli:
Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S., Psikolog
Editor naskah:
Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si.
Desain sampul:
Anang Solihin W.
Penata letak:
Beni Subarna
Ilustrasi sampul:
https://simental.id/pengertian-psikologi-menurut-para-ahli/?amp=1
Diterbitkan oleh:
Bimedia Pustaka Utama
Jalan Babakan Loa Permai No. 13
Padalarang Bandung Barat 40553
Email: info@bimediapustaka.com
Web: www.bimediapustaka.com
Psikologi Positif
Pada awalnya Ilmu Psikologi memiliki 3 tujuan utama1, yaitu 1)
Menyembuhkan terkait dengan kesehatan mental; 2) Mengidentifikasi
dan memelihara bakat, potensi, dan mengembangkan strengths; 3)
Membantu manusia untuk hidup lebih produktif dan bermakna.
Namun, setelah Perang Dunia Kedua, fokus Psikologi hanya pada
fungsi pertama (menyembuhkan terkait dengan kesehatan mental).
Kondisi tersebut berlangsung lama, sehingga tujuan kedua dan
ketiga tidak menjadi perhatian utama. Psikologi hanya berfokus
pada sebagian fungsi manusia.
Pada tahun 1998 saat Martin Seligman menjadi Presiden
American Psychological Association (APA) bersama beberapa koleganya
mendirikan Psikologi Positif. Tujuan mendirikan Psikologi Positif
adalah menginginkan manusia memiliki kehidupan yang baik,
kehidupan yang menyenangkan, dan kehidupan yang bermakna.
Tujuan dari Psikologi Positif adalah kesejahteraan tertinggi dalam
spektrum. Kesejahteraan dalam Psikologi Positif digambarkan dalam
flourishing yang merupakan kesehatan mental tertinggi.
Psikologi Positif menjembatani perubahan dalam Psikologi agar
tidak hanya memperbaiki hal-hal buruk saja dalam hidup tetapi juga
fokus ke arah membangun kualitas terbaik dalam hidup. Psikologi
Positif adalah studi ilmiah tentang fungsi manusia yang optimal
(virtues dan human strenghth). Tujuannya untuk menemukan dan
mempromosikan faktor yang memungkinkan individu, komunitas,
dan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang2. Pada Psikologi
Positif menemukan ada kekuatan/strengths pada manusia yang
bertindak sebagai buffer melawan mental illness1.
| iii
Intervensi pada Psikologi Positif bukan hanya pada terselesaikan
masalah, namun sampai mengoptimalkan fungsi manusia sehingga
menuju flourishing. Kajian Intervensi Psikologi Positif atau disebut
Positive Psychology Intervention (PPI) ada 5 kategori besar yaitu
savoring, gratitude, kindness, empathy, optimish, strengths, dan
meaning dengan metode bervariasi (misalnya: bookbased intervention,
classroom, self help berbasis digital, dll). Ada berbedaan konsep
intervensi dengan psikologi klinis, misalnya. Psikologi Positif dapat
diterapkan pada berbagai konteks kehidupan dan level.
| v
4 ANALISIS KONSTRUK ALAT UKUR KEBAHAGIAAN..... 61
A. Pendahuluan .......................................................................... 61
B. Analisis Konstruk Alat Ukur ............................................ 62
C. Studi Analisis Konstruk Kebahagiaan ........................... 64
D. Eksplorasi Konstruk Alat Ukur Kebahagiaan................ 70
E. Penutup..................................................................................... 71
F. Daftar Pustaka ...................................................................... 71
5 MENGENAL PENDIDIKAN POSITIF...................................... 73
A. Pendahuluan............................................................................ 73
B. Sekilas Perjalanan Pendidikan Positif: Dulu dan Kini 75
C. Model-Model Pendidikan Positif........................................ 78
D. Riset-Riset Pendidikan Positif .......................................... 84
E. Penutup ................................................................................... 90
F. Daftar Pustaka........................................................................ 91
6 PENGASUHAN YANG MENSEJAHTERAKAN ANAK........ 95
A. Pendahuluan .......................................................................... 95
B. Pengasuhan yang Mensejahterakan Anak ..................... 99
C. Dimensi Pengasuhan ........................................................... 105
D. Aktivitas Pengasuhan pada Anak...................................... 108
E. Penutup ................................................................................... 110
F. Daftar Pustaka ...................................................................... 111
7 KARAKTER POSITIF ORGANISASI...................................... 117
A. Pendahuluan .......................................................................... 117
B. Organisasi dan Manajemen................................................. 119
C. Organisasi Positif ................................................................. 123
D. Perilaku Organisasi................................................................ 125
E. Kebajikan Organisasi............................................................. 129
F. Implementasi Kebajikan dalam Organisasi.................... 132
G. Penutup ................................................................................... 132
H. Daftar Pustaka ...................................................................... 133
8 MARITAL FLOURISHING: KONSEP DAN APLIKASINYA 135
A. Pendahuluan .......................................................................... 135
B. Konsep Marital Flourishing................................................ 136
C. Marital Flourishing dalam Kehidupan Sehari-Hari... 141
D. Penutup ................................................................................... 150
E. Daftar Pustaka ...................................................................... 150
A. Pendahuluan
Dalam dunia olahraga kemunculan seorang atlet juara merupakan
proses yang menarik dan kompleks. Proses ini seringkali ditandai
dengan momen atau titik balik yang signifikan dan menentukan.
Momen yang memberikan kearifan baru dan memicu perubahan,
pertumbuhan dan pembelajaran. Namun, pada awalnya momen-
momen yang menyulitkan dan penuh tekanan ini seringkali
tidak dihargai, hanya dikenali dikemudian hari. Setelah berbagai
kesuitan dan pengalaman yang merugikan dapat ditanggulangi
umumnya dapat memberikan titik balik yang signifikan dalam
jalur karier seorang atlet. Sejauh ini terbukti bahwa untuk sukses
dalam dunia olahraga (olahraga prestasi) atlet membutuhkan
banyak tantangan dan kesulitan, semua itu harus dihadapai demi
kemenangan dalam kompetisi. Di sisi lain kapasitas untuk bertahan
dan berhasil mengatasi kesulitan adalah relevan bagi para atlet
untuk mempersiapkan diri pada even-even olahraga akbar seperti
Olimpiade, Kejuaraan Dunia, dll. sebagaimana halnya para pebisnis
yang maju dalam krisis keuangan global, atau keluarga yang hidup
dalam kesulitan. Dengan demikian, konsep ketangguhan mental
dapat digeneralisasikan untuk semua individu yang harus bertahan
dan berhasil dalam mengatasi kesulitan untuk menunjukkan potensi
mereka. Ketangguhan mental merupakan sebuah keterampilan yang
harus dimiliki atlet (Tenenbaum & Eklund , 2020; Kuan & Roy,
2007). Atlet yang memiliki ketangguhan mental berarti atlet tersebut
memiliki keterampilan mental yang baik untuk menghadapi berbagai
tekanan yang dihadapinya, terutama ketika dalam pertandingan.
| 1
Ketangguhan mental bukanlah sesuatu yang diwariskan kepada
atlet, tetapi aspek mental akan berkembang melalui pengalaman
dan pendidikan yang harus dipelajari.
Dalam tataran psikologi mainstream kajian kaitan antara
ketangguhan mental dengan prestasi olahraga itu lebih dikekati
oleh bidang psikologi olahraga. Kajian psikologi olahraga telah
secara nyata dapat memberi kontribusi dalam perkembangan dan
peningkatan prestasi olahraga (Dosil, 2006; Weinberg & Gould, 2019;
Tenenbaum & Eklund,2020). Namun demikian, jika menelaah sejarah
perjalanan psikologi olahraga di Indonesia setidaknya sudah lebih
dari 54 tahun bidang ilmu itu mulai di kenal dan dikembangkan.
Sayang selama periode waktu itu pula, psikologi olahraga dalam
perkembangannya mengalami pasang surut. Semua ini tidak bisa
dilepaskan dari kondisi psikologi olahraga di Indonesia merupakan
ilmu pengetahuan yang baru. Psikologi olahraga sebenarnya sama
dengan psikologi mainstreams yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang
memang relatif masih muda jika dibandingkan ilmu-ilmu lainnya
Di tengah kondisi perkembangan psikologi olahraga seperti itu
kajian ini, diantaranya akan menjelaskan bagaimana kaitan antara
psikologi positif sebagai kerangka baru dalam konteks olahraga
khususnya dalam upaya mengembangkan ketangguhan mental atlet.
Psikologi positif dan psikologi olahraga, meskipun bidangnya berbeda
nama namun core business serupa, diantara keduanya bagaikan
teman tidur yang sebagian besar tetap asing satu sama lain hingga
bisa dipertemukan sekarang setelah sekian lama saling terpisah.
Sebagian besar teori dan asumsi dasar dari psikologi positif bukan
merupakan sesuatu yang baru bagi para praktisi psikologi olahraga
karena kedua bidang ini telah berkembang bersama yang memiliki
tugas memfasilitasi berfungsinya manusia secara optimal. Tulisan
ini akan membahas potensi pertukaran dalam konsep atau teori
antara dua disiplin dan membuat saran konkret, bagaimana psikologi
positif dapat menginformasikan praktik psikologi olahraga. Apa yang
dibahas dan disampiakan ini jauh dari lengkap, tetapi setidaknya
dapat mencerminkan harapan penulis bahwa kolaborasi kolegial
akan menghasilkan interdisipliner pendekatan dan meningkatkan
kekayaan dan kompleksitas kedua disiplin ilmu itu dalam upaya
untuk membangun ketangguhan mental atlet.
Dalam konteks sebagaimana tersebut di atas psikologi
positif telah mendapatkan momentum dengan penekanannya pada
kesejahteraan pribadi, seperti konstruksi harapan dan optimisme,
dan fokus berbasis kekuatan untuk individu dan pengembangan
kelompok. Csikszentmihalyi (1990) mengatakan bahwa dalam
G. Kesimpulan
Atlet yang secara mental tangguh adalah atlet yang memiliki
keterampilan mental yang baik untuk menghadapi berbagai tekanan
dan ancaman yang dihadapinya, terutama ketika dalam pertandingan.
Ketangguhan mental merupakan aspek psikologis yang penting
bagi atlet untuk berprestasi optimal. Ketangguhan mental bukanlah
sesuatu yang diwariskan kepada atlet, tetapi aspek mental akan
berkembang melalui pengalaman dan pendidikan. Selama ini dalam
tataran psikologi mainstream untuk mengembangkan ketangguhan
mental lebih dikekati oleh bidang psikologi olahraga. Sejalan
dengan perkembangan waktu ketangguhan mental juga menjadi
kajian dari psikologi positif, hal ini tidak bisa dipisahkan karena,
psikologi positif pada tingkat individu mengkaji tentang sifat-sifat
atau sisi positif dari manusia termasuk ketangguhan mental atlet.
Sehingga pendekatan psikologi positif dapat dijadikan sebagai
kerangka kerja baru dalam upaya mengembangkan ketangguhan
mental atlet. Banyak ide-ide yang bisa digunakan dari psikologi
positif untuk mengembangkan aspek-aspek psikologis termasuk
ketangguhan mental atlet. Begitu juga dengan berbagai strategi
atau pendekatan psikologi positif dalam tataran implementasi sudah
H. Daftar Pustaka
Bull, S. J., Shambrook, C. J., James, W., & Brooks, J. (2005).
Towards an understanding of mental toughness in elite English
cricketers. Journal of Applied Sport Psychology, 17, 209–227.
Butt J., Weinberg R., Culp B. (2010). Exploring Mental Toughness
in NCAA Athletes. Journal of Intercollegiate Sport, 3(2):316-332,
DOI:10.1123/jis.3.2.316.
Connaughton, D., Wadey, R., Hanton, S., & Jones, G. (2008) ‘The
development and maintenance of mental toughness: Perceptions
of elite performers’, Journal of Sports Sciences, 26, 83–95.
Coulter, T. J., Mallett, C. J., & Gucciardi, D. F. (2010). Understanding
mental toughness in Australian soccer: Perceptions of players,
parents, and coaches. Journal of Sports Sciences, 28, 699–716.
Crust, L. (2008) ‘A review and conceptual re-examination of mental
toughness: Implications for future researchers’, Personality and
Individual Differences, 45, 576–83
Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The psychology of optimal
experience. NewYork, NY: HarperCollins.
De Castella, K., Goldin, P., Jazaieri, H., Ziv,M., Dweck, C. S.,&Gross,
J. J. (2013). Beliefs about emotion: Links to emotion regulation,
well-being, and psychological distress. Basic and Applied Social
Psychology, 35, 497–505.
Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness
and a proposal for a national index. American Psychologist,
55(1), 34–43.
Dosil. J., (2006). The sport psychologist’s handbook: a guide for
sport‐specific performance enhancemen. New York: John Wiley
& Sons Ltd
A. Pendahuluan
Ada orang yang bisa melewati berbagai kesulitan dan bangkit
kembali seperti keadaan semula, tetapi ada orang yang tak mampu
menghadapi tantangan dan kesulitan, bahkan hidupnya makin terpuruk
setelah kegagalannya menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.
Dari antara yang berhasil bangkit kembali, seberapa banyakkah
kemampuan mereka bertahan hidup (survive) dipengaruhi oleh
faktor genetik, parenting, pendidikan dan/atau kesehatan mental? Di
dunia ini, stres dan kesulitan berlipat ganda terjadi dari generasi
ke generasi, maka penelitian-penelitian untuk menjawab pertanyaan
ini menjadi sangat penting (Goldstein & Brooks, 2005).
Beberapa anak berada dalam kondisi beresiko mengalami
gangguan untuk mampu menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi, misalnya anak yang mengalami bullying di sekolah atau
kondisi rumah tangga yang tidak harmoni. Prediktor yang terbaik
bagi keberfungsian anak-anak hingga masa dewasanya bukanlah
bagaimana membantu meringankan gejala-gejala bermasalah yang
mereka alami, tetapi lebih pada bagaimana memahami, mengapresiasi,
serta memelihara kekuatan-kekuatan (strengths) dan kelebihan-
kelebihan atau aset yang mereka miliki. Banyak anak menderita
gangguan karena orang tua dan para profesional yang bermaksud
membantu lebih banyak mencurahkan perhatian pada memperbaiki
kekurangan-kekurangannya, dan kurang fokus memperhatikan pada
pengembangan-pengembangan kelebihan atau asset yang dimiliki
anak-anak.
| 21
Dari hasil-hasil penelitian tentang kualitas-kualitas resiliensi
serta membagikan strategi pengembangannya kepada makin
banyak orang, maka hal ini akan berguna untuk diterapkan secara
general, bahkan bagi mereka yang memiliki anak-anak yang belum
menghadapi kesulitan-kesulitan hidup yang rumit sekalipun. Oleh
karena itu tulisan ini penting karena kualitas resiliensi pada anak
tidak berkembang begitu saja, melainkan memerlukan strategi
pengembangan tertentu dengan melibatkan kolaborasi multi dimensi,
baik internal maupun eksternal, agar resiliensi yang dimiliki
anak mampu menciptakan pola pikir optimis dan menjaga tetap
berfungsi baik dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup hingga
perkembangannya menuju masa dewasa.
1. Faktor Protektif
Faktor protektif merupakan faktor dalam diri individu atau
lingkungan yang meningkatkan kemampuannya untuk melawan
masalah dan mengatasi tekanan hidup. Faktor ini bermanfaat untuk
mengkompensasi risiko, atau untuk menghadapi efek risiko pada
perkembangan anak (Sun & Stewart, 2010).
a. Faktor-faktor protektif yang berada di dalam diri individu
mencakup berbagai keterampilan koping; misalnya efikasi diri,
penghargaan diri, kemampuan penyelesaian masalah, komunikasi
dan kerjasama.
b. Faktor-faktor protektif di luar diri individu termasuk dukungan
orang tua, pendampingan guru, atau dukungan sekolah yang
mendorong perkembangan yang positif.
1. Membangun Empati
Salah satu cara mengembangkan resiliensi ialah melatih anak mampu
memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan menggunakan
cerita anak-anak (Petty, 2012). Misal anak didongengkan sebuah
cerita, kemudian diajak diskusi tentang tokoh-tokoh dalam cerita
dan ditanya bagaimana perasaan anak-anak apabila mereka menjadi
salah satu tokoh yang spesifik dalam cerita tersebut. Anak-anak
diajak bicara tentang perasaan-perasaan seperi takut, marah,
frustrasi, lapar, sedih, lapar dan sebagainya, setelah itu anak-anak
diminta mengubah cerita dengan berperan pada setiap tokoh serta
menceritakan apa yang mereka rasakan. Sebagai contoh: “Saya
tidak mau berenang karena takut” anak diminta mengubah cerita
dengan diijinkan mengubah frase-frase dalam kalimat, misalnya
“….karena saya merasa …..”. Ketika anak-anak mengetahui bahwa
beberapa anak memiliki perasaan yang sama dengan yg mereka
alami, berarti mereka mulai mampu mengidentifikasi perasaan
orang lain dan merasakan perasaan anak lain, mampu mengambil
sudut pandang orang lain atau dengan kata lain memiliki empati.
Dengan strategi ini, anak bisa dilatih mengalami rintangan dengan
membayangkan apabila ia berperan menjadi tokoh tertentu yang
sedang mengalami peristiwa tersebut, sehingga resiliensi dibangun
dalam proses kognitifnya.
3. Mendengarkan
Perhatian yang disengaja dengan mendengarkan baik-baik ucapan
anak-anak merupakan faktor protektif dalam membangun resiliensi
anak. Oleh karena itu sebaiknya kita mendengarkan dengan sungguh-
sungguh apa yang diucapkan anak-anak, terutama ketika mereka
menghadapi kesulitan. Kalimat seperti “Saya mempunyai waktu
yang cukup untuk mendengarkan Anda”, “Saya sungguh ingin
mendengarkan cerita dari Anda tentang kejadian yang Anda alami”
dapat disampaikan kepada anak-anak. Ketika mendengarkan anak
bicara, kita dapat melakukan kontak mata sambil mendekatkan diri
pada diri anak pada jarak yang cukup dekat. Dengan mengetahui
bahwa kita benar-benar memerhatikan mereka, maka hal ini sangat
membantu anak dalam membangun resiliensi. Prinsip yang diterapkan
sama dengan poin 2, yaitu “I have”, sehingga anak merasa memiliki
orang yang mendukung dalam menghadapi kesulitannya.
7. Mengulang-ulang (Do-Overs)
Melakukan kesalahan bukanlah hal besar dan fatal, bahkan pengalaman
melakukan kesalahan bisa menjadi pengalaman belajar bagi anak
untuk berkembang menjadi lebih baik. Yang penting anak diberi
kesempatan untuk melakukan pengulangan perilaku yang salah, agar
kemudian menemukan perilaku yang lebih memadai dan adaptif.
Selain itu pada anak akan tumbuh rasa percaya pada orang yang
sudah memberi kesempatan kepadanya untuk mengulang perbuatan
sampai menemukan perbuatan yang lebih sesuai. Dengan memberi
kesempatan mengulang perbuatan sampai menemukan perbuatan
yang lebih tepat secara tidak langsung melatih anak bertahan ketika
melakukan kesalahan, serta berusaha terus menemukan perbuatan
yang benar, atau dengan kata lain kita sudah melatih membangun
resiliensi anak memahami kesalahan dan memperbaikinya.
A. Pendahuluan
Apa itu cinta? Hampir sebagian besar orang di dunia menghabiskan
hidupnya untuk mencari cinta sejatinya dan makna cinta yang
sesungguhnya. Biasanya kita mengenal cinta sebagai bagian dari
relasi romantis atau cinta orang tua kepada anaknya. Tulisan ini
mencoba menggali perpektif cinta yang berbeda yaitu cinta dari
pandangan psikologi positif. Ada 3 konteks cinta yang akan dibahas
yaitu cinta sebagai kekuatan karakter, dan cinta sebagai emosi
positif dan cinta dalam relasi dengan pasangan.
Untuk memahami cinta dari perspektif psikologi positif, ada
istilah dasar yang penting untuk dipahami yaitu the red cape (jubah
merah) atau the green cape (jubah hijau). Istilah ini diperkenalkan
oleh Pawelski (2016) untuk menjelaskan apa yang dimaksud positif
dalam psikologi positif. Menurut Pawelski (2016), ada dua jenis
pahlawan super. Pahlawan dengan jubah merah adalah orang
yang berjuang untuk memerangi hal-hal negatif dan melawan
semua yang buruk di dunia, misalnya: menangkap orang jahat,
melawan penindasan, kemiskinan dan penyakit. Pahlawan berjubah
hijau adalah orang yang berjuang untuk membawa lebih banyak
kebaikan ke dunia, membangun komunitas, memberi makan yang
lapar, dan membawa harapan, kesehatan dan kebahagiaan bagi
banyak orang. Pejuang berjubah hijau ini adalah pejuang cahaya
yang membawakan semua hal yang baik dan adil.
Tim pahlawan jubah merah akan mencari masalah – sehingga
menemukan masalah - untuk memperbaikinya sedangkan tim
pahlawan jubah hijau akan mencari peluang – sehingga menemukan
| 43
peluang - untuk membuat hal hal menjadi lebih baik. Kedua tim
dapat bekerja sendiri sendiri sesuai posisinya tetapi akan lebih baik
bekerja bersama sama. Pawelski (2016) menggunakan metafora
ini untuk menjelaskan di mana posisi psikologi positif di antara
perspektif psikologi secara keseluruhan, dan untuk menghilangkan
anggapan bahwa sesuatu hal yang tidak disebut «positif» pada
dasarnya adalah bukan lawan atau kebalikannya.
Untuk waktu yang lama bidang psikologi fokus pada pengobatan
penyakit mental dan psikopatologi. Ahli psikologi berusaha
menemukan teori dan intervensi untuk segala macam gangguan
mental dan perilaku, sehingga penderitanya bisa kembali ‹normal›
(functioning). Dalam bekerja, seorang terapis membantu orang yang
memiliki kecemasan atau skizofrenia dengan cara menghilangkan
kecemasannya. Ini adalah kerja tim jubah merah. Psikolog positif
mengalihkan fokusnya dari ‘berfungsi’ menjadi ‘berkembang’. Alih-alih
mencoba melawan yang buruk, para psikolog positif bertanya “apa
yang membuat hidup manusia menjadi baik? Apa itu kebahagiaan
dan pemenuhan diri? Bagaimana psikologi positif dapat membantu
manusia tidak hanya berfungsi secara normal, tetapi menjadi benar-
benar flourishing dan thriving dalam hidup?
Tindakan tim jubah merah merupakan suatu tindakan positif,
bukan kebalikan atau lawan dari psikologi positif. Menurut Pawelski
(2016), perbedaannya adalah tindakan positif ada yang langsung dan
tidak langsung. Pawelski (2016) menjelaskan bahwa menciptakan
peluang adalah tindakan positif yang langsung sedangkan mengurangi
masalah adalah tindakan yang tidak langsung.
Kembali ke topik, untuk memahami ada apa dengan cinta
dalam perspektif psikologi positif maka pembaca harus berada dalam
tim hijau. Pembaca bersiap siap untuk memahami bagaimana cinta
membawa individu menjadi tumbuh dan berkembang menjadi lebih
baik, membangun kebaikan dan sekaligus menjadi bahagia. Tulisan
ini mencoba menjelaskan cinta sebagai bagian dari kualitas paling
positif dari seorang individu: sebagai kekuatan intrapersonal dan
sebagai bekal interpersonal dalam membangun relasi yang positif
dengan orang lain.
2. Dasar Teori
Pawelski (2018) mengunakan beberapa dasar teori : yaitu teori
motivasi dari Deci dan Ryan dan teori Aristoteles. Teori motivasi
dari Deci dan Ryan menyebutkan dua jenis motivasi yaitu motivasi
otonom dan motivasi yang terkendali. Motivasi otonom, di mana
individu melakukan sesuatu dengan penuh rasa kemauan, kemauan,
dan pilihan, baik karena itu menarik bagi dirinya atau secara
pribadi dihargai dan penting baginya. Motivasi terkendali (controlled
motivation), di mana individu melakukan sesuatu karena tergoda
atau dipaksa untuk melakukannya—misalnya, dengan imbalan
atau ancaman hukuman—dan mengalami tekanan, kewajiban dan
ketegangan.
E. Daftar Pustaka
Allport, G. W. (921). Personality and character. Psychological Bulletin,
18(9), 441–455. https://doi.org/10.1037/h0066265
Chaplin, J.P. (1989). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
A. Pendahuluan
Pengukuran psikologi didasari pada teori yang mendasari atributi
yang diukur yang disebut dengan konsep atau konstruk. Kedua istilah
ini sekilas memiliki memiliki makna yang sama, yaitu abstraksi dari
suatu ide, pemikiran atau peristiwa kongkrit tertentu. Meskipun
demikian dalam istilah pengukuran psikologis istilah konstruk lebih
banyak digunakan yang memiliki ciri khas tersendiri. Istilah konsep
lebih menekankan untuk memberi gambaran secara abstrak suatu
suatu objek untuk suatu tujuan tertentu, sedangkan konstruk lebih
tinggi lagi dari konsep, merupakan dari interpretasi data hasil
pengukuran dari konsep yang digunakan. Konstruk merupakan hasil
pengembangan konsep atau teori. Konstruk psikologi merupakan
pola perilaku yang cenderung konsisten pada suatu tempat dan
waktu tertentu, dan memungkinkan terdapat perubahan ketika
konteksnya berbeda, atau adanya pada orang tententu. Konstruk
psikologi sering pula disebut sebagai laten variabel,
Konstruk merupakan suatu teori yang penting yang mendasari
instrumen. Konstruk bisa berubah antar tempat dan waktu. Atribut
yang sama dapat dibuat beberapa instrumen dengan konstruk yang
berbeda tergantung dari teori dan ahli yang mengembangkannya.
Konstruk memiliki karakteristik diantaranya:
1. Merupakan konsep buatan;
2. Dibangun untuk menjelaskan fenomena psikologis;
3. Tidak dapat diamati secara langsung;
4. Konstruk psikologis bersifat abstrak dan hipotetik;
| 61
5. Sebelum diturunkan menjadi indikator tampak, konstruk
psikologis tidak dapat diamati;
6. Karena bersifat konseptual maka konstruk psikologi mengalami
perkembangan.
Penjabaran konstruk dalam pengembangan alat ukur psikologi
dilakukan melalui spesifikasi/kisi-kisi instrumen. Spesifikasi dilakukan
dengan menjabarkan teori yang mendasari instrumen yang akan
dikembangkan dalam bentuk dimensi, aspek, indikator, dan item.
Operasional konstruk diawali dari menentukan atribut (variabel)
alat ukur, menentukan konstruk/ konsep yang akan digunakan,
mengidentifikasi dimensi atribut, menerjemahkan dimensi atribut
menjadi aspek (bila ditemukan) dan indikator perilaku secara
operasionl, dan langkah berikutnya menerjemahkan atribut ini
dalam butir-butir alat ukur.
Indikator dan butir dibuat spesifik dan operasional. Penentuan
indikator dapat dilakukan melalui: penelusuran akibat-akibat dari
suatu konsep, hasilnya disebut Reflective Indicator/Reflector/Effect
indicator dan penelusuran sebab-sebab dari suatu konsep, hasilnya
disebut Formative indicator/Cause indicator. Contoh Indikator reflektif
ada;ah Kepuasan Kerja ditermahkan pada butir-butir Rajin dating,
Senang bekerja, berprestasi, komitmen dengan tugas. Sedangkan
contoh Indikator Formatif kepuasan Kerja diterjemahkan dalam
butir: gaji tinggi, adanya tunjangan keluarga, memiliki jaminan hari
tua, mendapatkan fasilitas-fasilitas seperti perumahan, kendaraan.
Sebagian besar konstruk alat ukur psikologi dibangun secara reflektif.
E. Penutup
Tulisan ini menggambarkan upaya untuk mengembangkan konstruk
kebahagiaan dalam bidang akademik. Konsep kebahagiaan sudah
banyak diuji melalui berbagai penelitian pada berbagai bidang dan
budaya diberbagai negara. Namun upaya untuk mengembangkan
kontruk kebahagiaan ini sesuai dengan konteks subjek penelitian
diperlukan. Dengan menggunakan analisis faktor eksploratory dan
confirmatory dihasilkan konstruk kebahagiaan dalam akademik
yang sesuai dengan kondisi mahasiswa di Indonesia. Hasil tersebut
menunjukkan semua butir yang sesuai dengan model, meskipun
butir-butir dari afek positif memiliki muatan faktor yang lebih
tinggi dibanding butir-butir dari afek negatif.
F. Daftar Pustaka
Brown, T.A. (2006). Confirmatory factor analysis for applied research.
New York: Guilford Press.
Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS (3rd ed.). London:
Sage Publication Ltd.
Hair, J.F., Black, W.C., Babin, B.J., & Anderson, R.E. (2014).
Multivariate data analysis (7th ed.). Essex: Pearson Education
Limited
A. Pendahuluan
Gaung psikologi positif yang dikenalkan Seligman dengan penekanan
pada optimalisasi kualitas terbaik individu dalam kehidupan dari
waktu ke waktu semakin meluas. Hal ini semakin mendorong
eksplorasi fungsi manusia yang optimal di berbagai konteks (Rusk
& Waters, 2013), termasuk di konteks sekolah. Paradigma psikologi
positif ini memperbaiki paradigm lama yang lebih menekankan pada
upaya penanganan problem individu. Menurut Seligman (2002),
aspek-aspek positif yang tidak tergali atau tidak terperhatikan pada
diri seseorang perlu dikembangkan sehingga dapat berfungsi optimal
dan mampu menghantarkannya pada kebahagiaan yang hakiki
(authentic happiness). Kajian psikologi positif dalam perkembangan
lebih lanjut semakin mendorong individu untuk menyadari sifat-sifat
positif yang dimilikinya sehingga mampu mencapai kualitas hidup
yang optimal. Psikologi positif sangat relevan diaplikasikan di sekolah
untuk membantu memahami dan mengoptimalkan kesejahteraan
psikologis siswa, staf dan seluruh individu yang ada di sekolah.
Momentum lahirnya gerakan psikologi positif mendorong
munculnya pertanyaan mendasar, bagaimana konsep psikologi positif
dapat diterapkan dalam kehidupan nyata? Merespon pertanyaan
ini, kajian pendidikan positif berusaha menggabungkan konsep
psikologi positif dengan praktik dan paradigma pendidikan untuk
mengoptimalkan potensi peserta didik di sekolah (Norrish, Williams,
& Connor, 2013). Tidak sekedar bagi peserta didik, Noble dan
| 73
McGrath (2015) memperluas sasaran pendidikan positif pada seluruh
anggota komunitas sekolah.
Pendidikan positif pada dasarnya merupakan integrasi berbagai
prinsip psikologi positif dengan informasi, praktik maupun program
berbasis bukti untuk meningkatkan prestasi akademik siswa dan
kesejahteraan seluruh anggota komunitas sekolah. Fokus utamanya
adalah pengembangan keterampilan akademik dan kesejahteraan
sehingga peserta didik dapat berfungsi optimal dan meningkat
kesehatan mental positifnya (Seligman, Ernst, Gillham, Reivich,
dan Linkins, 2009).
Geelong Grammar School dalam websitenya menegaskan bahwa
pendidikan positif sebagai sebuah kajian berusaha mengintegrasikan
konsep psikologi positif dengan praktik pembelajaran yang
mendorong dan mendukung individu, sekolah, serta komunitas
untuk berkembang. Istilah berkembang dimaknai sebagai kombinasi
dari merasa baik (feeling good) dan berbuat baik (doing good).
Dengan demikian fokus pendidikan positif adalah membekali siswa
berbagai keterampilan khusus sehingga memiliki relasi yang kuat,
emosi positif, pribadi yang resilien, dan memiliki gaya hidup yang
sehat sebagai pondasi kesuksesan hidupnya di masa yang akan
datang.(What is Positive Education? - Geelong Grammar School, n.d.)
Secara ringkas, Green, Oades, dan Robinson, (2011)
mengemukakan bahwa pendidikan positif pada dasarnya merupakan
penerapan psikologi positif di area pendidikan. Konsep pendidikan
positif ini merupakan kombinasi prinsip pendidikan tradisional
yang menekankan capaian prestasi peserta didik dengan studi
kebahagiaan dan kesejahteraan menurut Seligman (2011), serta nilai-
nilai dalam berperilaku atau disebut juga values in action/VIA yang
dikemukakan Peterson dan Seligman (2004). Konsep kebahagiaan
dan kesejahteraan menggunakan model PERMA (positive emotions,
engagement, relationship, meaning, dan accomplishment). Dengan
demikian, sekolah tidak hanya sebagai tempat menumbuhkan pikiran
intelektual siswa, namun juga sebagai tempat mengembangkan
kekuatan karakter, kebajikan, dan kompetensi lain secara luas.
Kapasitas intelektual, kekuatan karakter, kebajikan, dan kompetensi
lain ini selanjutnya bersama-sama mendukung kesejahteraan (wellbeing)
siswa (World Government Summit & IPEN, 2017). Jadi, pendidikan
positif berusaha memastikan bahwa kemampuan akademis siswa
dikembangkan seiring sejalan dengan upaya pengembangan karakter
dan peningkatan perilaku yang baik atau bijaksana (virtuous
behaviours) misalnya, hormat, adil, sopan,toleran, tabah, disiplin,
gigih, dan tekun (White dan Murray, 2015).
E. Penutup
Semakin berkembangnya kajian-kajian pendidikan positif seperti
dipaparkan dalam uraian di atas membawa konsekwensi perlunya
berbagai kajian tersebut dapat diimplementasikan di semua sekolah.
Di lapangan, ada kemungkinan berbagai kendala ditemui karena
berbagai kondisi misalnya keterbatasan dana, kurangnya dukungan
F. Daftar Pustaka
Al-Mansoori, R. S., Kayan-Fadlelmula, F., & Abdeen, D. H. (2017).
Implementing Positive Education in a Preparatory School: A
Case Study from Qatar. International Journal of Information
and Education Technology, 7(9), 654–660. https://doi.org/10.18178/
ijiet.2017.7.9.948
Bishop, S. R., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, L., Anderson, N. D.,
Carmody, J., … Devins, G. (2004). Mindfulness: A proposed
operational definition. Clinical Psychology: Science and Practice,
11(3), 230–241. https://doi.org/10.1093/clipsy/bph077
Brdar, I., & Kashdan, T. B. (2010). Character strengths and well-
being in Croatia: An empirical investigation of structure and
correlates. Journal of Research in Personality, 44(1), 151–154.
https://doi.org/10.1016/j.jrp.2009.12.001
Conley, K. M., & Lehman, B. J. (2012). Test anxiety and cardiovascular
responses to daily academic stressors. Stress and Health, 28(1),
41–50. https://doi.org/10.1002/smi.1399
Duckworth, A. L., & Seligman, M. E. P. (2005). Self-discipline
outdoes IQ in predicting academic performance of adolescents.
Psychological Science, 16(12), 939–944. https://doi.org/10.1111/
j.1467-9280.2005.01641.x
A. Pendahuluan
Keluarga merupakan lingkungan penting yang mempengaruhi
perkembangan dan pembentukan pola perilaku yang khas pada
anak. Salah satu tujuan dari sebuah keluarga adalah untuk
membantu, mengajarkan, membimbing, dan mendampingi anak
dalam membangun harga dirinya dengan mengoptimalkan potensi
agar mampu menjadi orang dewasa yang cakap dan mandiri.
Melalui aktivitas pengasuhan, orangtua membimbing dan mengajarkan
berbagai keterampilan pada anaknya.
Dalam praktik pengasuhan atau yang disebut alam pendidikan
permulaan (Ki Hajar Dewantara, 1977), orangtua berperan
sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar dan sebagai pemberi
contoh. Orangtua sebagai penuntun dimaksudkan adalah orangtua
memberikan bimbingan dan pembinaan untuk optimalisasi potensi
anak dengan memenuhi kebutuhan dasar anak, baik fisik maupun
psikologis dengan dukungan lingkungan yang kondusif. Sebagai
pengajar, orang tua diharapkan memiliki ilmu yang cukup untuk
mengajarkan pengetahuan ke anak. Selain itu, orang tua harus
mendukung proses pendidikan yang dijalankan anaknya di lembaga
pendidikan. Lebih lanjut Ki Hajar menjelaskan bahwa orang tua
sebagai pemberi contoh atau teladan ditunjukkan dengan memberikan
contoh atau model perilaku baik, termasuk ketika menggunakan
bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari, serta termasuk memberikan
contoh-contoh pandangan atau pemikiran yang mengarahkan pada
pemberian kesempatan pada anak-anak untuk meningkatkan bakat
dan minatnya. Dalam hal ini orangtua sebagai nakhoda dalam
| 95
keluarga harus mendukung perkembangan berbagai kemampuan
anak, baik dari sisi intelektual, spiritual, kemampuan sosial, serta
mengajarkan dan memberi contoh menjadi warga negara yang baik
(Guthrie & Amos, 2020).
Tercatat ada sekitar 89,6% dari populasi orang dewasa di
seluruh dunia menjadi orangtua (Rajan dalam Lonczak, 2019). Semua
orangtua tentu saja ingin menjadi yang terbaik bagi anak-anaknya,
walaupun terkadang merasakan bingung, frustasi, dan berbagai
ekspresi baik positif dan negatif ketika menjalani berbagai peran
sebagai orangtua dalam aktivitas pengasuhan yang dilakukanya.
Namun demikian, ada persamaan dari semua orang tua yaitu ingin
agar anaknya sehat dan merasa aman (Rubin & Chung, 2006).
Istilah orangtua didefinisikan oleh Juffer, Bakermans-Kranenburg
dan van Ijzendoorn (2008) sebagai individu yang kehadirannya
berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan anak-anak. Orangtua
yang dimaksud di sini adalah orang tua kandung, orangtua asuh,
orangtua tunggal, orangtua tiri, kakak, dan kerabat lain dan non-
kerabat yang memainkan peran yang berarti dalam kehidupan
anak. Ahli lain, Brooks (2011) menyatakan bahwa orangtua adalah
individu-individu yang mengasuh, melindungi, dan membimbing
anak dari bayi hingga tahap dewasa. Jadi, istilah orang tua berlaku
untuk setiap individu yang memiliki hubungan yang konsisten
dengan seorang anak, serta berkeinginan untuk mensejahterakannya
(Seay, Freysteinson & McFarlane, 2014).
Dalam artikel ini, pendekatan Psikologi Positif akan menggiring
pemahaman terkait apa dan bagaimana pengasuhan yang baik
dilakukan berdasarkan keyakinan bahwa semua anak dilahirkan
dengan baik dan memiliki potensi untuk berkembang optimal.
Berbagai kajian akan menjelaskan tentang konsep teoretik bagaimana
anak berkembang dan peran orangtua sebagai lingkungan terdekat,
gambaran pengasuhan yang mensejahterakan, serta dimensi dan
aktivitas pengasuhan yang dilakukan.
C. Dimensi Pengasuhan
Secara umum, pengasuhan yang mensejahterakan anak akan
mendorong perkembangan anak yang positif dengan memberikan
kasih sayang melalui ekspresi positif kehangatan terhadap anak,
responsif yaitu, dengan memperhatikan isyarat anak), dorongan yaitu,
dengan mendukung kemampuan dan minat anak); dan pengajaran
(yaitu dengan menggunakan permainan dan percakapan untuk
mendukung perkembangan kognitif anak (Roggman & Innocenti,
2009). Menguatkan pernyataan ini, (Stafford, Kuh, Gale, Mishra,
& Richards, 2016), menjelaskan terkait dimensi hubungan antara
orangtua dan anak, yaitu:
1. Dimensi parental care mencerminkan kontinum dari pola asuh
yang penuh kasih sayang, hangat, responsif hingga pola asuh
yang dingin dan tidak responsif,
2. Dimensi tuntutan atau kontrol. Dimensi tuntutan mencerminkan
sejauh mana orang tua menuntut dan memantau standar
untuk perilaku anak mereka dan kontrol perilaku orang tua
dapat memberikan lingkungan yang terstruktur dan dapat
diprediksi untuk anak dan mendorong perilaku mereka yang
dapat diterima secara sosial.
Dimensi-dimensi tersebut dapat memiliki arah positif seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, artinya dimensi-dimensi tersebut
menjadi faktor pendukung terbentuknya perilaku yang baik jika
dimensi-dimensi tersebut diterapkan dengan baik dan sesuai dengan
kebutuhan perkembangan anak. Sebaliknya, dimensi tersebut juga
dapat memiliki arah yang negatif, artinya dapat menjadi penyebab
1-3 tahun • sebagai model yang baik utk segala ucapan dan perilaku
• Mulai mengajarkan dan memandirikan kebiasaan sehari-hari utk membentuk
disiplin diri : aktivitas rutin (makan, minum, tidur, toilet training, mandi)
• Memfasilitasi bakat dan minat: memberi kesempatan, memotivasi, dan
mendukung daya eksplorasi –keingintahuannya
• Mengajak untuk ikut dalam kebiasaan di rumah (ibadah,makan Bersama,
olahraga Bersama)
• Mendampingi bermain sambil mengajarkan sesuatu: pengenalan huruf dan
angka untuk benda di sekelilingnya dan mendongengkan cerita
3 tahun - • Berperan sebagai model yang kuat dalam ucapan dan perilaku
7 tahun • Mendampingi bermain dan mengenalkan akademik dasar dengan berbagai
cara bermain
• Membiasakan kebiasaan rutin dalam menjalankan aturan agama
• Mengajarkan/membimbing untuk problem solving
• Selalu mendampingi dan mendukung untuk melakukan kegiatan sehari-hari
dengan cara yang lebih efektif dan efisien-membentuk disiplin diri (mandi
dengan bersih, makan dan minum dengan cara yang baik)
• Mengenalkan identitas diri (gender)
• Berkomunikasi dengan pengasuh di lembaga pendidikan prasekolah
• Menyiapkan anak untuk transisi masuk ke sekolah dasar
• Menstimulasi berbagai aspek perkembangan: kognitif (mendukung inisiatifnya
dan menjelaskan berbagai hal dengan kalimat-kalimat sederhana (misal,
mengapa ini boleh dan mengapa itu tidak boleh-dengan media pendukung-
gambar); afektif (engendalian emosi dan menempatkan reaksi emosi dengan
konteks yang tepat, misalnya sedih boleh, tapi dituntun untu menghilangkan
sedihnya); social-moral (membiasakan kebiasaan yang diterima secara sosial,
misalnya tata cara berinteraksi-sopan santun dan unggah-ungguh serta
menggunakan cara penyelesaian yang diterima secara sosial ketika ada
masalah)
E. Penutup
Salah satu prediktor yang signifikan dari kesejahteraan psikologis
anak adalah kualitas hubungan antara orang tua dan anak yang
ditunjukkan seberapa kuat ikatan emosi antara orangtua dan anak.
Kuatnya ikatan ini sangat bergantung dengan aktivitas pengasuhan
yang dilakukan orangtua terhadap anak. Orangtua yang kompeten
ditunjukkan dengan kesuksesan dari orangtua dalam menjalankan
aktivitas pengasuhan yang positif dan dapat beradaptasi serta berubah
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak yang terbentuk
dari adanya pemahaman dan respon yang tepat terhadap dinamika
perubahan dalam perkembangan yang bervariasi. Pengasuhan yang
positif bertujuan untuk mendukung atau mengantarkan anak-anak
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan
periode perkembangan yang sedang dijalaninya dan berdampak
jangka panjang pada kehidupan anak.
A. Pendahuluan
Organisasi merupakan suatu wadah berkumpulnya beberapa orang
untuk melakukan interaksi dan bekerja sama secara sistematis
untuk melakukan tujuan bersama dengan menggunakan sumberdaya
yang dimiliki. Interaksi yang terjadi di dalamnya dapat berupa
aktivitas kerja yang dilakukan oleh manusia sehingga organisasi
ini berperan sebagai tempat kerja. Bentuk tempat kerja ini dapat
berupa komunitas tertentu, industri, lembaga atau instansi. Aktivitas
kerja yang ada di dalam organisasi melibatkan banyak individu
yang masing-masing memiliki karakter, kebutuhan dan tujuan yang
berbeda-beda. Adanya perbedaan ini menjadi alasan mengapa aktivitas
kerja di dalam organisasi perlu pemahaman perilaku organisasi dan
manajemen supaya pencapaian tujuan organisasi dapat terkendali
dengan baik. Hal ini karena tanpa adanya manajemen yang baik
dalam pengelolaan aktivitas kerja di dalam organisasi, mustahil
tujuan organisasi dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
Apabila dilihat dari sejarahnya, aktivitas kerja dalam organisasi
muncul pada abad 19 yang salah satunya dipelopori oleh Frederick
Taylor dengan adanya revolusi industri. Revolusi industri merupakan
proses perubahan dari ekonomi agraris dan kerajinan ke industri
serta manufaktur mesin. Awalnya lebih banyak mengandalkan
kehidupan ekonomi dari hasil pertanian dan perkebunan, berubah
ke kehidupan ekonomi dari hasil industri. Revolusi industri telah
| 117
mengubah cara kerja manusia dari tradisional menjadi lebih
moderen. Pada saat itu, tenaga manusia digantikan dengan hadirnya
mesin-mesin dalam pengelolaan hasil pertanian dan perkebunan.
Revolusi industri memang menggantikan tenaga manusia dengan
mesin sehingga berdampak positif maupun negatif pada faktor
sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Hadirnya mesin-mesin tersebut,
memberikan dampak positif dengan perbaikan dan kenaikan
ekonomi dan pengembangan teknologi. Namun di sisi lain terjadi
banyak pengangguran karena kesulitan pencari kerja mendapatkan
pekerjaan. Pengusaha lebih memilih menggunakan mesin dibandingkan
dengan tenaga manusia sehingga pengangguran meningkat karena
para pencari kerja mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Akibatnya hal ini juga memberikan kontribusi pada munculnya
banyak permasalahan politik pada saat itu.
Di sisi yang lain, perubahan industri tersebut memberikan
dampak pada sifat kerja yang dilakukan oleh manusia. Manusia
yang pada awalnya relatif otonom dalam bekerja kemudian harus
menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dengan bekerja di sebuah
organisasi atau industri-industri yang didirikan pada saat itu
untuk mempertahankan pekerjaan dan mempertahankan hidup.
Pada akhirnya mereka menjadi manusia pekerja yang harus tunduk
pada segala aturan pengelolaan organisasi tempat mereka bekerja.
Adanya manusia pekerja dalam organisasi, menurut Drucker
(2007), ada dua jenis pekerja dalam melaksanakan kegiatan kerja
yaitu skilled worker dan knowledge worker. Skilled worker adalah
orang yang bekerja dengan ketrampilan praktis, sementara knowledge
worker adalah pekerja yang tidak hanya membutuhkan ketrampilan
teknis, tetapi juga pekerja yang justru lebih banyak melibatkan konsep
abstrak dalam bekerja (working). Dengan perbedaan karakteristik
tersebut, di samping adanya perbedaan karakter, kemampuan, latar
belakang, dan kebutuhan, keberadaan manusia pekerja harus ditata
dalam organisasi melalui manajemen.
Upaya pengelolaan organisasi melalui manajemen tersebut
setidaknya mampu mewujudkan dua hal pencapaian, yaitu :
1. Organisasi dapat mencapai produktivitas kerja yang diharapkan.
Kinerja dan produktivitas akan meningkat ketika organisasi
dikelola dengan cermat dan memperhatikan aspek-aspek
pendukung.
2. Karyawan dapat memperoleh kepuasan personal melalui aktivitas
kerja yang dilakukan. Pengelolaan organisasi yang baik, terutama
dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan karyawan
D. Perilaku Organisasi
Saat ini keunggulan kompetitif perlu mendapat prioritas dalam
organisasi. Globalisasi, keberagaman dan masalah etik menjadi
dimensi lingkungan atau kontekstual yang sangat penting. Terkait
dengan hal ini, menurut Luthans (2010) manusia adalah kuncinya.
Pengelolaan organisasi tidak cukup hanya dengan kemampuan teknis,
tetapi pemahaman terhadap perilaku manusia-manusia yang ada di
dalamnya justru sangat penting. Sumberdaya manusia atau disebut
sebagai human capital merupakan sumberdaya organisasi yang tidak
dapat dicopi sehingga berpotensi unik, sementara teknologi dapat
dibeli dan ditiru, Oleh karena itu, pengelolaan human capital dapat
membangun keunggulan organisasi.
Adapun investasi dan perhatian pada human capital dapat
dilakukan dengan cara:
1. Pengakuan terhadap pentingnya human capital
Masalah tentang human capital biasanya berkaitan dengan
pengetahuan, skill dan kompetensi hasil dari dari pendidikan dan
pengalaman. Pada kenyataannya, pengetahuan dan pengalaman
juga masih mudah ditiru, Oleh karenanya, terkait dengan
pengetahuan, maka tacit knowledge dinilai memiliki potensi
keunggulan.
2. Manajemen human capital
Perhatian terhadap human capital dengan cara memaksimalkan
pengelolaan human capital. Hal ini dapat dilakukan: a)
menekankan kriteria dimilikinya tacit knowledge dalam seleksi
karyawan; b) melakukan pelatihan dan pengembangan dengan
E. Kebajikan Organisasi
Kunci dari POS adalah konsep kebajikan organisasi atau organizational
virtuousness yang ditampilkan “dalam” dan “melalui” organisasi
(Cameron, 2003). Virtuousness berakar dari istilah Bahasa Latin
Virtus yang artinya kekuatan dan kesempurnaan. Plato dan Aristoteles
mendefinisikan sebagai keinginan dan perilaku yang menghasilkan
kebajikan personal dan sosial. Kebajikan digambarkan sebagai suatu
kondisi yang paling baik, perilaku yang mulia, keutamaan dan
esensi manusia, aspirasi tertinggi pada diri manusia.
G. Penutup
Organisasi yang diibaratkan seperti manusia juga dapat menunjukkan
perilaku dan menunjukkan karakter melalui perilaku para karyawan,
kelompok kerja daan strukturnya. Perilaku karyawan yang relative
bertahan lama dan menunjukkan perilaku positif dapat menjadi
manifestasi kebajikan organisasi. Kebajikan ini akan menjadi karakter
organisasi dan berdampak pada kinerja organisasi secara keseluruhan.
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu penyesuaian psikososial paling
penting di masa dewasa. Perubahan satus dari lajang ke berpasangan
membawa konsekuensi perubahan pada aspek psikologis maupun
sosial individu. Pada saat individu masih lajang, ia bisa berpikir dan
bertindak atas namanya sendiri dengan hanya mempertimbangkan
kepentingannya sendiri. Hal yang berbeda terjadi saat ia sudah
menikah, karena ia memiliki pasangan. Di situ ada proses akomodasi
kebutuhan, keinginan, dan harapan pasangan dalam kehidupan
sehari-hari. Dimulai dari hal-hal yang sederhana seperti dalam
pemilihan makanan sampai dengan pola asuh dan pemilihan
tempat pendidikan untuk anak-anaknya. Perkawinan adalah sebuah
perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan.
Sebagian besar pasangan memulai perjalanan tersebut dengan
penuh antisipasi dan rasa gembira. Oleh karenanya mereka
membekali diri dengan materi-materi yang diperlukan melalui
program persiapan perkawinan. Program-program persiapan
perkawinan diselenggarakan oleh berbagai Lembaga, baik lembaga
agama, pemerintah, maupun swasta. Pemerintah melalui Kantor
Urusan Agama (KUA) mewajibkan para calon pengantin untuk
mengikuti Bimbingan Perkawinan sebelum mereka menjalankan
akad nikah. Gereja Katolik mewajibkan calon pengantin yang
mau mendapatkan sakramen perkawinan untuk mengikuti Kursus
Persiapan Perkawinan. Di luar itu, beberapa lembaga swasta juga
menyelenggarakan pelatihan atau kursus berbayar dengan tujuan
mempersiapkan perkawinan.
| 135
Selain mereka yang mempersiapkan diri untuk memasuki
jenjang perkawinan, terdapat pasangan yang memasuki gerbang
perkawinan tanpa persiapan bahkan dengan keterpaksaan. Kasus
married by accident, yaitu pasangan pengantin yang menikah karena
pengantin perempuan sudah hamil terlebih dahulu merupakan salah
satu di antaranya. Pernikahan dengan keterpaksaan dapat dilihat
pada kasus-kasus perjodohan. Sayangnya perjodohan ini juga terjadi
pada mereka yang masih berusia anak (Rofika & Hariastuti, 2020).
Dengan atau tanpa persiapan, setiap individu mengharapkan
perkawinannya berjalan dengan baik, harmonis dan membuat mereka
merasa bahagia. Harapan tersebut bukanlah harapan tanpa dasar,
karena sesungguhnya tujuan dari perkawinan adalah kebahagiaan.
Sebagaimana diamanatkan oleh UU Perkawinan No tahun 1974
tentang perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang
menikah, perkawinan pada umumnya merupakan pengalaman
kehidupan yang paling intim, dan pengalaman yang melibatkan
keintiman fisik maupun emosional berpotensi membuat mereka
merasa puas dan bahagia. Mungkin karena itulah maka kebahagiaan
merupakan salah satu ukuran perkawinan berkualitas di banyak
budaya (Nurhayati, Faturochman & Helmi, 2019).
Meskipun kebahagiaan merupakan ukuran yang bersifat umum
untuk perkawinan yang berkualitas, namun terdapat kriteria lain
yang lebih dari sekedar kebahagiaan yang secara subjektif dirasakan
oleh individu. Kriteria itu disebut sebagai kondisi flourishing (Fowers
& Owenz, 2010). Flourishing dianggap sebagai kondisi yang lebih
baik dan objektif karena flourishing terefleksikan dalam tindakan-
tindakan yang dapat dilihat dan dirasakan dampaknya bagi orang
lain. Sebagai sebuah konsep, marital flourishing sudah diulas oleh
beberapa orang (Fowers & Owenz, 2010; Nurhayati & Helmi, 2013).
Tulisan ini akan membahas konsep marital flourishing disertai dengan
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam relasi suami istri.
2. Marital Flourishing
Seorang individu dengan eudaemon atau flourish adalah orang
yang sepenuhnya berkembang dan secara teratur menunjukkan
perbuatan baik sebagai seorang manusia, baik secara moral maupun
intelektual. Dia juga terlibat dalam kegiatan moral seperti bertindak
adil, murah hati, serta mampu mengendalikan diri (Kraut, 1979;
Kristja´nsson, 2010) dan berkontribusi secara konstruktif untuk dunia
di sekitarnya (Keyes, 2007). Pencapaian flourishing bersifat sukarela
dan biasanya merupakan bentuk ekspresi diri, tanpa ada kontrol
dari dunia luar. Oleh karena itu, flourishing ditunjukkan dengan
hidup layak dan perjuangan aktif yang luar biasa, pengambilan
keputusan yang reflektif, dan secara sukarela berusaha mencapai
tujuan yang mewakili sifat-sifat luhur manusia (Ryan, dkk, 2006;
Ryff & Singer, 2008). Keberhasilan mencapai tujuan membutuhkan
semacam kebijaksanaan yang sangat baik dan kerja sama tim
dengan orang lain (Fowers, 2012b).
Kondisi flourishing kiranya menciptakan kesejahteraan manusia,
yang ditunjukkan dengan kebaikan lahiriah, seperti keluarga yang
baik, teman yang baik, keturunan yang baik, penampilan yang baik
dan senang mengadakan kegiatan yang baik. Ini adalah bagian
dari kehidupan yang flourish --- kebaikan kemanusiaan (Snow,
2008). Flourishing adalah pengembangan penuh dari aspek afektif,
kognitif, perilaku, sosial dan politik (Fowers, 2012b). Flourishing
mulai terlihat ketika kebaikan diintegrasikan, dan tujuan bermakna
tercapai sesuai dengan bakat, pilihan dan situasi. Sayangnya, tidak
1. Kesetiaan
Kesetiaan dianggap sebagai hal terpenting dan mendasar dalam
perkawinan. Secara umum kesetiaan mengandung makna sikap
yang koheren dan teguh dalam memegang suatu nilai atau cita-cita,
kebaikan, dan keadilan. Dalam konteks perkawinan, kesetiaan dapat
dipahami sebagai komitmen dalam sebuah ikatan yang dibangun
antara satu orang dengan satu orang lainnya. Kesetiaan mengarahkan
orang pada sikap memegang teguh perjanjian dengan seseorang,
bertahan dalam ikatan suci perkawinan dan mempertahankan cintanya
hanya pada seseorang yang secara sah menjadi pasangannya.
2. Keadilan
Bertindak adil pada diri sendiri dan pasangan menjadi salah satu
pondasi penting dalam perkawinan. Prinsip adil dalam sebuah
hubungan sejalan dengan sejumlah penelitian yang menemukan
bahwa persepsi terhadap keadilan berkaitan dengan kualitas hubungan
dekat (Joyner, 2009). Pendekatan yang cukup banyak digunakan
untuk menjelaskan keadilan, khususnya dalam kaitannya dengan
persepsi keadilan yang dirasakan oleh pasangan adalah pendekatan
keadilan distributif (Thompson, 1991; Blair, 1998). Konsep keadilan
distributif berkenaan dengan distribusi kondisi dan kebaikan yang
memengaruhi kesejahteraan individu, baik secara fisiologis, psikologis,
ekonomi, maupun sosial (Deutsch, 1975).
Deutsch (2012) menjelaskan empat prinsip keadilan distributif,
yaitu winner-takes-all, equity, equality, dan need. Prinsip winner-takes-
all menyatakan bahwa siapapun yang terbaik akan menang dan
mendapatkan semua uang. Pada prinsip equity, uang dibagi secara
3. Kerjasama
Kerjasama adalah salah satu aspek penting dalam perkawinan yang
berkualitas, dan kerjasama merupakan bentuk aktifitas konstitutif
yang hanya bisa dilakukan bersama orang lain yang dalam hal
ini adalah pasangan. Dalam perspektif teori eudaimonik, kerjasama
merepresentasikan keunggulan manusia sebagai makhluk sosial.
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa pada dasarnya manusia
bersifat sosial dan pengalaman merasa memiliki dalam hubungan
yang bermakna merupakan cara untuk berkembang secara penuh
sebagai manusia. Perkawinan yang dilakukan oleh sepasang manusia
4. Keintiman
Keintiman merupakan indikator utama perkawinan yang berkualitas
di banyak negara. Nurhayati (2017) menyebutnya sebagai kedekatan
dan kehangan hubungan. Dalam keintiman, ada kedekatan disertai
kehangatan seseorang dengan pasangannya sehingga tidak ada
jarak satu sama lain. Kedekatan antara suami istri dapat dirasakan
ketika masing-masing pihak masuk ke dalam dunia pikiran dan
perasaan pasangannya, menyelami, dan memahaminya sehingga
nyaris tidak berjarak.
Keintiman dapat diupayakan oleh pasangan suami istri dengan
bertindak saling mendekatkan diri melalui komunikasi terbuka
dan saling percaya. Patrick, dkk. (2007) menyatakan bahwa salah
satu bagian dari konseptualisasi keintiman adalah berbagi ide dan
nilai-nilai. Berbagi ide dan nilai-nilai hanya bisa dilakukan melalui
5. Respek
Respek merupakan faktor penting dalam relasi interpersonal dan
merupakan salah satu bentuk kebaikan yang dilakukan oleh seorang
manusia kepada manusia lainnya. Respek memiliki akar yang kuat,
karena biasanya muncul dari hati. Sikap ini berangkat dari suatu
pandangan bahwa setiap orang adalah setara sehingga berhak
untuk mendapat perhatian dan penghormatan yang sama. Jika
seseorang sudah memiliki pandangan tersebut, dia akan mudah untuk
menghargai orang lain dan menjadi salah satu identitas dirinya.
Dia tidak akan merendahkan orang lain, karena beranggapan bahwa
semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki derajat sama.
Dalam konteks perkawinan, respek dapat dimaknai sebagai
sikap menempatkan pasangan pada posisi yang sejajar sehingga
pasangannya tersebut merasa diterima, didukung, dan dihargai
(Nurhayati, 2017). Respek dapat muncul dalam bentuk sikap
menghargai pasangan, menghargai pasangan sebagai orang dewasa
yang kompeten dan independen, saling menerima, mendukung dan
menghormati satu sama lain, bahkan ketika terdapat perselisihan.
Respek terhadap diri sendiri maupun pasangan tidak hanya
didasarkan pada kekuatan dan perasaan positif, tetapi juga
penerimaan terhadap penderitaan dan kelemahan. Respek yang
genuine bukan hanya merupakan konsep “perasaan positif” atau
penerimaan positif tanpa syarat. Respek juga merupakan penerimaan
terhadap pasangan dan perkawinan dengan isu-isu kesulitan. Saling
menerima menunjukkan sikap yang dimiliki oleh pasangan suami
istri berkenaan dengan fakta bahwa perkawinan tidak selalu diwarnai
dengan hal-hal yang menyenangkan. Ada kalanya situasi rumah
tangga terasa rumit dan sulit.
Respek adalah salah satu bentuk kebajikan manusia. Respek
pada pasangan merupakan pengakuan bahwa ia penting dan pantas
diperlakukan dengan baik. Mungkin menjadi sangat mudah untuk
respek pada pasangan pada saat semua baik-baik saja, saat rasa
cinta memuncak, atau saat pasangan menunjukkan sikap manis.
Tetap memperlakukan pasangan dengan baik saat situasi sedang
tidak baik-baik saja merupakan pengakuan sekaligus penghormatan
kepada nilai-nilai kemanusiaan, karena sesungguhnya setiap manusia
memiliki kelebihan dan kekurangan.
E. Daftar Pustaka
Blair, S.L. (1998). Work roles, domestic roles, and marital quality:
perceptions of fairness among dual-earner couples. Social Justice
Research, 11 (3), 313-335
Conly, S. (1988). Flourishing and the failure of the ethics of virtue.
Midwest Studies in Philosophy, XIII, 83-96
Deci, E.L. & Ryan, R.M. (2008). Hedonia, eudaimonia, and well-
being: an introduction. Journal of Happiness Studies, 9, 1-11
Deutsch, M. (1975). Equity, equality, and need: what determines
which value will be used as the basis of distributive justice?
Journal of Social Issues, 31 (3), 137-149
Deutsch, M. (2012). A theory of cooperation-competition and beyond.
Dalam Handbook of Theories of Social Psychology (Eds: Van
Lange, P.A.M., Kruglanski, A.W., & Higgins, E.T.) London:
SAGE Publication Ltd.
Fowers, B.J (2012b). An Aristotelian framework for the human good.
Journal of Theoretical and Philosophical Psychology, 32(1), 10-23.
Fowers, B.J. & Owenz, M.B. (2010). A eudaimonic theory of
marital quality. Journal of Family Theory and Review. 2, 334-
352. DOI:10.1111/j.1756-2589.2010.00065.x
Fowers, B.J. (2010). Instrumentalism and psychology: beyond using
and being used. Theory & Psychology, 20(1), 102-124
| 153
Malaysia dengan fokus pada Psikologi Perkembangan, terutama
perkembangan anak. Ayriza merupakan dosen tetap di Jurusan
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Selain mengajar di S1 dan S2 Prodi Psikologi UNY, juga mengajar
di berbagai prodi S2 dan S3 UNY. Penulis juga memiliki pengalaman
mengajar di Fakultas Budaya, UGM pada level S3, dan pernah
menjadi Visiting Scholar di Universiti Kebangsaan Malaysia, serta
menjadi adjunct lecturer di UCSI University, Malaysia. Selama
mengabdi di UNY, Ayriza menulis beberapa buku dan melakukan
penelitian dan publikasi di berbagai jurnal nasional dan internasional
dengan tema yang berorientasi pada Pendidikan Anak Usia Dini
dan Perkembangan Anak maupun Remaja, dan juga tergabung
dalam berbagai Tim Jurnal sebagai reviewer di lingkungan UNY
maupun luar UNY. Tahun 2014-2021, Ayriza menjabat sebagai
Ketua Program Studi S2 Psikologi UNY.
-----------------------------------
Dr. Farida Harahap, M.Si lulus S1 sampai S3 dari Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Farida mulai bekerja
sebagai pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta Indonesia sejak
tahun 1998. Minat penelitian adalah pada perilaku beresiko remaja,
kewirausahaan pada anak berkebutuhan khusus dan pengembangan
karakter. Jabatan yang dipegang adalah sebagai ketua laboratorium
prodi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta pada tahun 2011-2013 dan Ketua Laboratorium
Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta.
----------------------------------
Dr. Farida Agus Setiawati, M.Si lulus S1, Pendidikan Profesi
Psikolog dan Magister Sains bidang Psikometri dari Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 2009 melanjutkan studi di
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dengan konsentrasi pengukuran
dan mendapatkan gelar doktor pada tahun 2013. Sejak tahun 1998,
bekerja sebagai dosen di Universitas Negeri Yogyakarta Indonesia.
Sesuai dengan bidang yang ditekuninya penulis banyak mengajar
pada bidang pengukuran psikologi. Penelitian-penelitiannya terutama
berfokus pada pengembangan alat ukur psikologi seperti alat ukur
multiple inteligensi, tes bakat differential, pengukuran kualitas
perkawinan, makna hidup, well-being, orientasi tujuan dan social
desirability.
----------------------------------