Anda di halaman 1dari 7

PROFIL PKN DI NEGARA PAKISTAN

Nur Lengkap Pandiangan


3193311014, Reguler C 2019 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Email : nurpandiangan123@gmail.com

PENDAHULUAN
Negara Pakistan terbentuk akibat pemisahan dari pemerintahan India pada
14 Agustus 1947. Sejak awal abad ke-19, Inggris mulai mendominasi wilayah
tersebut. Peristiwa ini berkaitan erat dengan perjuangan kaum muslim di India. Di
antara negara-negara muslim yang lahir sekitar abad 20, Pakistan merupakan satu-
satunya negara yang didirikan atas nama Islam. Pakistan merupakan negara
demokratis yang aturan politiknya dirancang sesuai sistem demokrasi (Bilal &
Malik, 2014: 20).
Negara ini muncul setelah mendapatkan kemerdekaan dari kekuasaan
kolonial Inggris. Keputusan untuk diadakan pemisahan antara negara India dan
Pakistan muncul karena warga negara Pakistan merasa bahwa mereka memiliki
identitas nasional yang berbeda. Perbedaan yang pertama adalah perbedaan
agama. Sedangkan perbedaan yang kedua yaitu mengenai perbedaan ideologi
mereka sebagai umat muslim. Tujuan utama dari pembentukan negara otonom
Pakistan adalah untuk melindungi hak-hak politik dari populasi warna negara
muslim di Asia Selatan. Pada awal pendirian negara, Pakistan mengalami
berbagai konflik etnis serta kerusuhan yang didasari oleh perbedaan bahasa,
pergolakan politik, korupsi, dan kemiskinan (Dean, 2005: 36).
Pakistan merupakan negara muslim terbesar kedua di dunia yang berbentuk
Republik. Mayoritas penduduk Pakistan adalah muslim (97%), dimana 10%-15%
diantaranya merupakan syiah Istna Asya‟ariyah (dua belas imam). Di Pakistan
mayoritas muslimnya merupakan muslim Sunni namun terdapat minoritas muslim
dengan sekte syiah Isma‟illiyahdi wilayah Karachi, wilayah barat laut Giglit, dan
Bohoras. Sekte ini berpusat di Bombay, India. Meskipun agama Islam merupakan
agama mayoritas penduduk Pakistan, namun sebagian kecil warga menganut
agama Kristen, Hindu, dan Persi. Penduduk Pakistan berasal dari lima kelompok
etnis yang berbedaya, yakni Punjabi, Sindhi, Pathan, Baluch, serta Muhajir
(Imigran berbahasa Urdu dan India sebelum terjadinya perpecahan). Jika ditinjau
dari segi mazhab yang dianut, sebagian besar warga negara Pakistan menganut
Mazhab Hanafi, sedangkan sebagian kecil lainnya merupakan pengikut Mazhab
Hambali (Ajid Thohir, 2012: 212).
Bahasa umum yang digunakan oleh penduduk Pakistan adalah bahasa
Urdu yang diakibatkan oleh akumulasi etnik dan campuran berbagai budaya
terutama Persia, Turki, India, Arab. Pengaruh sufisme semakin mengukuhkan
posisi bahasa Urdu sebagai salah satu bahasa populer di kalangan umat Islam
Pakistan, terutama dalam mengisi dan mengembangkan kelembutan cita rasanya

1
dalam berbagai karya sastra, yang mencerminkan kualitas dan kepadatan makna
secara filosofis dan alegoris dari bahasa tersebut (Sayyid Husain Nasr, 1993: 122).
Untuk memahami dinamika pendidikan kewarganegaraan, perlu
memahami konteks ekonomi, sosial, dan budaya di Pakistan. Terdapat keragaman
di negara ini dalam hal agama, kasta, kelas, maupun bahasa. Masyarakat di
masing-masing provinsi menggunakan bahasa pergaulan yang berbeda, memakai
pakaian yang berbeda, serta memiliki prioritas dan gaya hidup yang berbeda.
Budaya Pakistan dipengaruhi oleh budaya masyarakat Islam dengan sistem nilai
yang sangat dipengaruhi oleh sistem nilai negara Inggris (Bilal & Malik, 2014:
20).
Pendidikan merupakan hak konstitusional semua warga Pakistan, namun
tidak ada pendidikan gratis atau wajib di negara ini. Situasi ini memunculkan dua
kecenderungan dalam sistem pendidikan Pakistan. Pertama, adalah lahirnya
sekolah swasta (bersifat profit) dan sekolah publik (bersifat nonprofit). Kedua,
kecenderungan sekolah untuk menerapkan sistem matrikulasi. Pemerintah
Pakistan tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap pengembangan
bidang pendidikan. Sebagai salah satu negara penting di Asia Selatan, Pakistan
masih berkutat meningkatkan tingkat melek huruf sebesar 60%. Persentase melek
huruf di Pakistan bisa dikatakan sangat rendah jika dibandingkan dengan China,
Turki, maupun negara-negara lain di kawasan Asia Tengah (Bilal & Malik, 2014:
21).
Pakistan memiliki sarana prasarana yang buruk dan angka putus sekolah
cukup tinggi. Menurut basis data EMIS (Educational Management Information
Sistem) di sektor publik, 1 dari 5 sekolah tidak memiliki listrik atau air, 1 dari 4
sekolah tidak dilengkapi dengan perabot meja atau kursi, dan 1 diantara 7 sekolah
tidak memiliki toilet. Sementara tingkat drop out di Pakistan adalah 39% di
tingkat SD. Dari 19 juta anak-anak berusia 10-14 tahun, hanya 16 juta yang
terdaftar di sekolah menengah (Bilal & Malik, 2014: 23). Pakistan hanya
menghabiskan 2,42% dari anggaran negara untuk pendidikan. Jumlah ini sangat
rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sementara sistem
pengajaran menuntut guru untuk mengajarkan isi buku teks kepada siswa, baik
dengan atau tanpa pemahaman mendalam. Sistem hafalan juga didukung oleh
sistem ujian negara. Lulusan sekolah memiliki keterampilan dalam hal
“berbicara” tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan
apa yang sudah mereka dapat di sekolah. Masyarakat Pakistan berpendapat bahwa
pendidikan tidak ditujukan untuk mempersiapkan siswa akan tuntutan pendidikan
tinggi, dunia kerja, atau menjadi warga negara yang baik (Bilal & Malik, 2014:
24).
Sebuah wacana kritis dari Kementerian Kurikulum Pendidikan Pakistan
mencatat bahwa dokumen kebijakan dan kerangka kerja akan ditelaah kembali
untuk menemukan solusi mengapa pendidikan kewarganegaraan Pakistan tidak
mampu menghasilkan pemikir kritis yang dapat mengembangkan kesadaran sosial
untuk menjadi agen perubahan sosial (Departemen Pendidikan Pemerintah
Pakistan, 2007: 14). Untuk mengkaji konten pendidikan kewarganegaraan, perlu

2
mengkaji konteks sejarah pengembangan kurikulum untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai sistem pendidikan Pakistan. Kurikulum
pendidikan kewarganegaraan di Pakistan terbentuk melalui bentrokan antara
tradisi & modernitas, agama & sekularisme, serta demokrasi & autokrasi. Untuk
memahami pendidikan kewarganegaraan di Pakistan secara utuh, sangat penting
untuk menelaah ketiga bidang tersebut. Masing-masing bidang berupaya
mendefinisikan pendidikan kewarganegaraan secara berbeda. Adapun transisi
politik yang terjadi setiap sepuluh tahun telah menciptakan sebuah kebijakan
pendidikan yang baru (Dean, 2005: 36). Walaupun setiap sistem politik ditujukan
untuk menciptakan “warga negara yang baik” namun realisasi tujuan ini telah
goyah (Dean, 2004: 1; Zia, 2003: 153; Ahmad, 2008: 97).

PEMBAHASAN
Sejarah Singkat dan Kurikulum PKn di Negara Pakistan
Ditinjau dari konteks militer, sejarah Pakistan yang silih berganti dari
rezim militer dan sipil menyebabkan tujuan utama kurikulum PKn di sekolah-
sekolah bergeser dari pembentukan warga negara yang baik menjadi pembentukan
warga negara yang siap perang. Maraknya konflik dan kerusuhan juga
mempengaruhi konten dan tujuan pendidikan kewarganegaraan di Pakistan.
Feodalisme juga menjadi salah satu faktor yang menghalangi transmisi nilai-nilai
demokrasi dalam kurikulum PKn di Pakistan.
Ada kompetisi visi dalam kurikulum PKn antara kaum agamis dan
nasionalis. Adapun visi yang diperjuangkan oleh masing-masing pihak yakni visi
teokratis dan visi demokratis-liberal. Pasca serangan terorisme di Amerika Serikat
pada tanggal 11 September 2001, Jendral Musharraf meluncurkan agenda
reformasi liberal. Fokus utama usulan reformasi ialah perubahan terhadap konten
pendidikan kewarganegaraan (Ahmad, 2004:41). Tujuan utama pendidikan
kewarganegaraan Pakistan adalah menciptakan warga negara Islam yang
nasionalis. Warga negara yang taat Islam dan memiliki rasa nasionalis terhadap
Pakistan. Tujuan tersebut berusaha dicapai dengan menghubungkan antara
pengembangan sikap patriotik sebagai warga negara dengan nilai-nilai luhur
sebagai pemeluk agama Islam. Islamisasi yang terjadi di Pakistan pada periode
tahun 1970-an, telah membentuk identitas nasional yang identik dengan identitas
muslim (Dean, 2004: 9).
Pedoman dari kurikulum Pendidikan Kewarganegaran di Pakistan
diwarnai oleh nuansa ajaran Islam yang sangat kental. Pendidikan
kewarganegaraan di Pakistan bukan hanya ditujukan untuk menyiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang baik, namun juga membentuk peserta didik
menjadi warga negara yang taat Islam (Ahmad, 2008: 104). Sebagaimana tercetus
istilah dari para agamis bahwa „warga negara yang baik adalah Muslim yang taat‟.
Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, Pakistan belum membuat draf
mengenai konten pembelajaran PKn secara jelas sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan nasional. Mata pelajaran pendidikan kewarganagaraan hanya bersifat
opsional dan tidak diwajibkan untuk diajarkan pada setiap tingkat pendidikan.

3
Adapun bahasa yang digunakan sebagai media pembelajaran PKn yaitu bahasa
Urdu dan bahasa Inggris (Bilal & Malik, 2014: 24).
Pedoman kurikulum pendidikan kewarganegaran di Pakistan terpengaruh
oleh ideologi Islam. Sementara tujuan utama dari pendidikan kewarganegaraan
bukan hanya menyiapkan warga negara yang baik, namun juga membentuk warga
negara yang taat Islam (Ahmad, 2008: 104). Sistem kurikulum dibagi menjadi dua
sistem, yaitu swasta dan publik. Terdapat kesenjangan antara dua sistem tersebut.
Meskipun sekolah swasta diberi hak untuk membuat kurikulum sendiri, namun
harus mengikuti pedoman yang telah ditetapkan pemerintah. Sekolah yang tidak
melaksanakan pedoman kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, akan
mendapatkan sanksi dari Dewan Pemerintahan Provinsi (Bilal & Malik, 2014:
24).
Ruang Lingkup PKn Di Negara Pakistan
Pendidikan kewarganegaraan di Pakistan diintegrasikan ke dalam ilmu
sosial, sebagai bagian dari ilmu sejarah dan geografi. Nilai-nilai pengembangan
masyarakat dan keluarga turut diajarkan melalui ilmu sosial namun pendidikan
kewarganegaraan kehilangan konten sebagai mata pelajaran yang bertujuan
mengajarkan hak dan tanggung jawab warga negara serta memahamkan warga
akan perannya dalam pengembangan masyarakat. PKn di Pakistan juga tidak
mengajarkan mengenai hak asasi manusia, ilmu politik, maupun isu-isu global
sebagaimana seharusnya (Bilal & Malik, 2014: 23).
Penekanan pendidikan Islam dalam pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan Pakistan menunjukkan bahwa kurikulum Pakistan tidak
membuat perbedaan antara pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.
Mengingat keragaman dalam masyarakat Pakistan, kurikulum ini menuai banyak
masalah dan kontroversi, terutama dari kalangan non-muslim.
Sebagai sebuah Negara pasca colonial , Pakistan mengakui peran penting
civic eduvation dalam pembentukkan warga Negara yang patriotic . Secara
paradoksal , sebagaimana kurikulum civic education disekolah - sekolah
pemerintah yang menekankan pembentukkan sebuah identitas warga Negara
muslim , ia juga telah menghindari transmisi nilai - nilai universal demokrasi
seperti kebebasan individu , kesetaraan jender , pemikiran kritis dan menghormati
keragaman agama dan cultural.
Tujuan PKn di Negara Pakistan
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional kurikulum di Pakistan
dipusatkan pada akuisisi ilmu pengetahuan. Konten utama dalam kurikulum
Pakistan adalah pendidikan agama dan ilmu sosial. Konten agama disini lebih
menonjol dibandingkan konten kurikulum yang lain. Adapun fokus kurikulum
yaitu penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik. Hampir setiap bab dalam
buku teks bertujuan untuk mengembangkan sikap saling menghormati. Di kelas
tiga misalnya, dikembangkan sikap untuk saling menghormati, kesetaraan
martabat manusia, kemandirian, kerja keras, saling ketergantungan antara sesama,
kerja sama, pentingnya kepribadian dan jati diri (Ministry of Education, 2002:

4
2126). Kurikulum mencakup kombinasi dari delapan program termasuk program
pilihan (seperti Biologi, Kimia, dan Fisika Komputasi) serta mata pelajaran wajib
(seperti Matematika, Bahasa Inggris, Urdu, Islam dan Studi Pakistan).
Di Pakistan tanggung jawab utama dalam pengembangan pendidikan
kewarganegaraan sebagai bagian dalam studi ilmu sosial, pada Departemen
Pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan diintegrasikan dalam ilmu sosial
sebagai bagian dari ilmu sejarah, ekonomi dan geografi. Mata Pelajaran ini
diajarkan pada kelas lebih rendah serta tingkat yang lebih tinggi di
sekolah. Adapun tujuan, sasaran, isi, dan metode mengajar secara eksplisit
digambarkan dalam laporan kebijakan kurikulum nasional yang disebarluaskan
oleh Departemen Pendidikan (Ahmad, 2008: 99).
Sebagai sebuah negara pasca kolonial, Pakistan mengakui peran penting
PKn dalam pembentukan warga negara yang patriotik. Namun, dalam rangka
membentuk identitas warga negara muslim, pemerintah berusaha menghindari
transmisi nilai-nilai universal demokrasi seperti kebebasan individu, kesetaraan
gender, pemikiran kritis, serta penghormatan terhadap keragaman agama dan
budaya. Menurut Iftikhar Ahmad (2004) ada empat aspek yang perlu ditinjau
untuk melihat konteks perkembangan PKn di Pakistan: 1) Pakistan merupakan
negara yang militeristik, 2) Pakistan masih dalam keadaan darurat perang dingin,
3) ekstrimisme agama dan, 4) feodalisme.

KESIMPULAN
Adapun sosialisasi pendidikan kewarganegaraan pada umumnya terjadi
dalam domain afektif. Kurikulum nasional menekankan pendekatan Islam dalam
pembelajaran mengenai tema pemerintahan, negara, kewarganegaraan, hak dan
tanggung jawab. Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan diajarkan sebagai
mata pelajaran opsional dalam cakupan ilmu sosial. Pakistan merupakan negara
demokratis, namun sebagian besar penduduk memiliki pengetahuan yang sangat
minim dalam hal proses pemilihan umum maupun nilai-nilai demokrasi. Hal ini
dikarenakan maraknya penindasan rakyat miskin, tingkat kejahatan yang tinggi,
dan tidak adanya sosialisasi konstitusi di kalangan masyarakat.
Pendidikan kewarganegaraan di Pakistan diintegrasikan ke dalam ilmu
sosial, sebagai bagian dari ilmu sejarah dan geografi. Nilai-nilai pengembangan
masyarakat dan keluarga turut diajarkan melalui ilmu sosial namun pendidikan
kewarganegaraan kehilangan konten sebagai mata pelajaran yang bertujuan
mengajarkan hak dan tanggung jawab warga negara serta memahamkan warga
akan perannya dalam pengembangan masyarakat. PKn di Pakistan juga tidak
mengajarkan mengenai hak asasi manusia, ilmu politik, maupun isu-isu global
sebagaimana seharusnya.
Mata pelajaran pendidikan kewarganagaraan hanya bersifat opsional dan
tidak diwajibkan untuk diajarkan pada setiap tingkat pendidikan. Adapun bahasa
yang digunakan sebagai media pembelajaran PKn yaitu bahasa Urdu dan bahasa
Inggris. Terdapat dua pendapat yang saling berkontradiksi terkait dengan tujuan

5
pendidikan Pakistan di masa ini. Pendapat pertama memandang bahwa tujuan
pendidikan harus sesuai dengan perkembangan Pakistan sebagai negara demokrasi
dan mendefinisikan kewarganegaraan sebagai hal yang eksklusif. Sementara
pendapat yang kedua melihat tujuan pendidikan sebagai upaya penciptaan warga
negara yang produktif. Pendapat ini juga menekankan perlunya pengambangan
pendidikan karakter untuk mempersiapkan warga negara yang bertanggung jawab
dan berorientasi pada pelayanan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. (2004). Islam, democracy and citizenship education: an examination of


the social studies curriculum in pakistan. current issues in comparative
education, teacher college columbia University, 7 (1), pp. 39 – 50.
_____________. (2008). The anatomy of an Islamic model: citizenship education
in Pakistan dalam David L. Grossman, Wing On Lee, & Kerry J. Kennedy.
Citizenship Curriculum in Asia and the Pasific. Hong kong : Comparative
educatio research center Springer 97-109.
Ahmad, I. (1998-11-21). CERN and Pakistan: A Personal Perspective. CERN
Courier. Retrieved 2016-06-18.
Ajid Thohir. (2012). Studi kawasan dunia Islam, perspektif etno-linguistik dan
geo politik. Jakarta: Raja Grafinndo Persada.
Aziz, K.K. (1993). Murder of history in Pakistan: a critique of history textbooks
used in Pakistan. Lahore: Vanguard Books.
Bilal, A. & Malik, RK. (2014). Citizenship in Pakistan. Islamabad. Developing
Country Studies, 4 (16), 19-26.
Dean, B.L. (2005). Citizenship education in Pakistani schools: Problem and
possibilities. International Journal of Citizenhsip and Teacher Education,
1 (2), 35-55.
Denzin., N.K. & Lincoln, Y.S. (2002) (Eds). The qualitative inquiry reader.
thousand oaks: Sage Publication.
Haque, Z. (1987). Islamisation of society in Pakistan. Dalam Khan, M.A (Eds),
Islam, politics, and the state: The Pakistan experience (pp. 114-123).
London: Zed Books Ltd.
Hoodbhoy, P.A., & Nayyar, A.H. (1985). Rewriting the history of Pakistan. In
M.A. Khan (ed.), Islam, politics, and the state: The Pakistan experience
(pp.164-177). London: Zed Books.
Jalal, A. (1994). The sole spokesman: Jinnah, the Muslim league and the demand
for Pakistan. New York: Cambridge University Press.
Jump Up. 2013. Unesco Institute for Statistics. Stats.uis.unesco.org. Retrieved.
Kerr, D. (1999). Citizenship Education: An International comparison.
Khan, T. & Khan, R.E. A. (2004). Gender Disparity in Education - Extents,
Trends and Factors (PDF). Journal of Research (Faculty of Languages &
Islamic Studies). Retrieved 2016-06-08.
Ministry of education. (2002). National education policy (1998-2010). Islamabad:
government of Pakistan.

6
Ministry of education. (1998). National education policy (1998-2010). Islamabad:
government of Pakistan.
Ministry of education. (1979). National education policy and implementation
programme. Islamabad: Government of Pakistan.
Ministry of education. (1972). The new education policy 1972-1980. Islamabad:
government of Pakistan.
Ministry of education. (1959). Report of the commission on national education.
Islamabad:Government of pakistan. Ministry of the interior (education
division) (1947). Proceedings of the pakistan educational Conference.
Government of pakistan.
Munir, M. (1979). From Jinnah to Zia. Lahore, Pakistan: Vanguard Books Ltd.
Nayyar, A.H. & Salim, A. (2004). The subtle subversion: the state of curricula
and textbooks in Pakistan. Islamabad: Sustainable Development Policy
Institute.
Naseer, R. (2012). Citizenship education in Pakistan. Paskitaniaat: A Journal of
Pakistan Studies, 4 (3), 1-18.
Print, M. (2008). Education for democratic citizenship in Australia. James Arthur,
Ian davis, & Carole Hahn. The Sage Handbook of Education for
Citizenship and Democracy. London, California, New delhi, Singapore:
Sage Publications Asia-Pasific.
Sayyid Husain Nasr. (1993). Spiritaulitas Islam. Bandung: Mizan.
Schubert, W.H. (1997). Curriculum: perspective, paradigm, and possibility.
Upper Saddle River: Prentice-Hall.

Surawardi. (2015). Pendidikan Islam di Pakistan. Management of education, 1,1,


41-53

Zia, R. (2003). Education and citizenship in Pakistan: An overview. In


M.Williams & G. Humphrys (Eds.), Citizenship education and
lifelonlearning (pp. 153-163). Hauppage, NY: Nova Science Publishers.

Anda mungkin juga menyukai