Anda di halaman 1dari 2

Kekerasan Struktural dan Budaya Sebagai

Akar Konflik
Penulis : Therry Alghifary
https://baktinews.bakti.or.id/artikel/kekerasan-struktural-dan-budaya-sebagai-akar-konflik
tanggal 29 Oktober 2022

Sumber: https://www.kitabhinnekatunggalika.org/

Konflik seringkali tersinergikan dengan tindakan kekerasan, jika ada tindak kekerasan
yang terjadi antara satu pihak ke pihak yang lain maka sudah pasti dikondisi itu terjadi
konflik antar kedua belah pihak tersebut. Sering kali yang kita pikirkan bahwa konflik
itu terjadi apabila sudah terjadi kekerasan secara fisik (direct violence). Namun pada
kenyataannya direct violence hanyalah sebuah implikasi atau dampak dari sebuah
masalah yang terjadi sebelumnya.

Beragam masalah ini biasanya terpendam begitu lama yang menjadi akar
permasalahan yang kemudan apabila terpicu akan meletup dan menghasilkan
kekerasan fisik secara langsung. Seringkali masalahnya berupa
diskriminasi (discrimination), ketidakadilan (injustice), dan ketidak
setaraan (inequality) di berbagai bidang kehidupan manusia seperti politik kekuasaan,
peraturan-peratuan hukum, ekonomi, dan tradisi budaya.
Masalah-masalah yang berpotensi berdampak pada direct violence inilah yang
dikategorikan oleh Johan Galtung sebagai bentuk kekerasan yang tidak langsung,
yang di istilahkannya dengan istilah kekerasan struktural dan budaya. Johan Galtung
pertamakali memberikan istilah structural violence dengan makna ‘setiap kendala
pada potensi manusia yang disebabkan oleh struktur ekonomi dan politik. Akses yang
tidak setara terhadap sumber daya, kekuasaan politik, pendidikan, perawatan
kesehatan, atau kedudukan hukum, adalah bentuk-bentuk kekerasan struktural’.
Sedangkan cultural violence dapat dimaknai sebagai berikut ‘kekerasan budaya
termasuk bagian dari budaya kita yang mentransmisikan tradisi perilaku kekerasan
dan yang memperingati dan menghormati nilai dan kualitas kekerasan’.
Dalam konflik bersenjata direct violence diwujudkan dalam penggunaan senjata-
senjata baik tajam maupun api. Senjata digunakan untuk menyakiti, merusak,
membunuh, ataupun mengalahkan pihak lawannya. Oleh karena itulah direct
violence selalu terasa sangat menakutkan dan memprihatinkan, hal ini juga membuat
orang-orang selalu merespon dengan cepat apabila telah terjadi direct violence pada
suatu konflik.
Berbeda halnya dengan structural dan cultural violence, kedua bentuk kekerasan ini
bersifat intangible atau tidak tampak (invisible) biasanya kekerasananya terpendam
dalam sistem structural  dan cultural yang sudah mengakar atau terpendam di dalam
tradisi yang menjadi kebudayaan di suatu komunitas. Seringkali kekerasan jenis ini
terjadi dan dilakukan di ranah alam bawa sadar sehingga tidak disadari oleh para aktor
yang berperan dan melakukan kekerasan tersebut. terjadi banalisasi atau pengendapan
terhadap kekerasan tersebut, sehingga para aktor yang melakukan kekerasan struktural
sudah menganggap hal ini sebuah kewajaran, kebiasaan, dan tradisi sehingga apabila
ada pihak yang ingin melakukan perubahan atau memperbaiki sistem dan/atau tradisi
yang melakukan kekerasan tersebut maka mayoritas komunitas akan menentang
perubahan-perubahan itu. Sifat kekerasan yang intangible inilah yang membuat lebih
sulitnya menangani kekerasan kultural dan struktural yang terjadi pada suatu daerah.
Structural dan cultural Violence berdampak pada kematian dan penderitaan seperti
halnya dampak pada direct violence, namun demage yang diberikan kepada korban-
korban dialami secara perlahan-lahan, halus, bersifat umum, dan lebih sulit untuk
diperbaiki. Lebih berbahayanya lagi structural dan cultural violence pada tahap
berikutnya akan ter-eskalasi kepada tindakan-tindakan direct violence seperti yang
terjadi pada konflik bersenjata diberbagai belahan dunia yang diawali oleh adanya
kekerasan struktural seperti konflik bersenjata di Irlandia Utara yang terjadi karena
kesenjangan ekonomi antara Irlandia Utara (mayoritas Katolik) yang memiliki tingkat
pengangguran yang lebih tinggi, tarif/ gaji yang lebih rendah, dan pendidikan dan
kurang formal Protestan.
Di Sri Lanka, pemuda pengangguran dan setengah pengangguran memperburuk
konflik etnis yang terjadi di sana. Di Rwanda, kesenjangan besar dalam pendapatan
dan status sosial antara Hutu dan Tutsi akhirnya menyebabkan pembantaian etnis.
Begitupula halnya yang terjadi dalam konflik dan konflik bersenjata yang terjadi di
Indonesia, terdapat masalah-masalah yang tak terlihat, terpendam, yang dianggap
biasa oleh mayoritas masyarakat Indonesia namun ternyata menimbulkan kekerasan
struktural yang berdampak lahirnya rasa  ketidak adilan, ketidak setaraan, dan
diskriminasi sehingga memicu lahirnya gerakan-gerakan pemberontakan dengan aksi-
aksi kekerasan. Contohnya konflik yang terjadi di Indonesia yaitu konflik yang terjadi
di Ambon dan Maluku, terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi antara kelompok
pendatang yang mayoritas berasal dari suku Bugis, Buton, dan Makassar dengan
penduduk lokal di Ambon dan Maluku yang pada akhirnya isu konflik ter-eskalasi
menjadi konflik komunal dengan isu agama .

Anda mungkin juga menyukai