I. Pendahuluan
yang kerap terjadi dalam masyarakat di belahan dunia manapun. Baik itu dilakukan
secara individu maupun kolektif, di Negara berkembang hingga Negara maju sekalipun.
Berbagai penyebab kekerasan dalam masyarakat itu sendiri dapat berupa kesenjangan
sosial ekonomi, antipati terhadap kemapanan, SARA yang sangat peka, hingga karena
semua tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman
saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang menyebabkan kerusakan
terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Sementara
itu, Charles Tilly membagi kekerasan kolektif sebagai berikut: kekerasan kolektif primitif,
Kekerasan kolektif primitif pada umumnya bersifat non politis. Ruang lingkupnya
berasal dari suatu komunitas lokal melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan
dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap
tidak adil dan jujur. Sedangkan kekerasan kolektif modern merupakan alat untuk
mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan
Pelaku Kekerasan kolektif dapat berasal dari 1 organisasi massa yang sama
(komunitas yang sama), maupun tidak. Dalam kekerasan kolektif, terjadi proses
penurunan intelektual dan moral serta hilangnya rasionalitas. Semua itu membuat
kekerasan ini sulit diatasi. Kesulitan tersebut juga disebabkan oleh adanya mayoritas
Berdasarkan uraian singkat diatas jelas kiranya bahwa, tindak kekerasan massa
jenis kekerasan kolektif tersebut, seringkali terjadi transformasi dari jenis yang satu
berubah atau meningkat menjadi jenis lainnya. Artinya dari kekerasan kolektif primitif
kolektif politik, karena ada unsur penunggangan dari luar. Hal demikian begitu mudah
Di dunia ini, tidak ada satupun masyarakat yang terbebas dari konflik. Konflik itu
sendiri terdiri dari konflik individu (perorangan) dan kelompok, yang dapat terjadi secara
yang cukup luas, meliputi pertentangan atau bentrokan, persaingan atau gangguan oleh
kelompok secara fisik atau benturan antar kekuatan-kekuatan yang sulit didamaikan
atau pertentangan-pertentangan dalam tataran kualitas seperti ide-ide, kepentingan-
Penanganan Konflik Sosial dikemukakan definisi konflik sosial yaitu “Konflik Sosial,
yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu
nasional.”
Konflik sosial itu sendiri menurut Lewis A. Coser (1956) memiliki fungsi-fungsi
yang bermanfaat, antara lain: Untuk menegakkan kesatuan atau menegakkan kembali
kesatuan dan kohesi yang telah terancam oleh perasaan-perasaan antagonis dan
permusuhan di antara anggota kelompok (may help to re-establish unity and cohesion
where it has been threatened by hostile and antagonistic feeling among the members );
serta sebagai suatu mekanisme untuk menata ulang nilai-nilai agar sesuai dengan
kondisi baru (social conflict is a mechanism for adjustment of norms adequate to new
conditions).
Sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai macam agama, etnis,
bahasa, daerah dan sub-sub kebudayaan, tentu merupakan hal yang wajar bila dalam
masyarakat kita timbul suatu gejolak yang berujung pada munculnya konflik sosial.
Hanya yang seringkali tidak wajar, intensitas konflik yang terjadi berubah kualitas
Negara Indonesia.
Masyarakat majemuk itu sendiri menurut Piere L. Van Berghe memiliki sifat
memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama
lain;
bersifat non-komplementer;
4. Secara reaktif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan
5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain
(Nitibaskara: 2002).
silam majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 pernah menempatkan Indonesia sebagai
salah satu Negara dengan ribuan potensi konflik sosial yang sewaktu-waktu siap
menyala. Hasilnya, semenjak head line berjudul “The World’s Worst Countries”
Beberapa titik api akhirnya menyala dan menghasilkan peristiwa kekerasan skala
besar sebagai bentuk konflik sosial yang mengerikan di beberapa tempat wilayah
Indonesia, dengan jumlah korban yang luar biasa atau skala besar (konflik antar etnis)
maupun skala kecil (konflik antar kelompok). Berbagai peristiwa kekerasan dan konflik
sosial yang pernah terjadi, menunjukkan bahwa konflik sosial tidak memandang usia,
ruang, tempat dan waktu. Dengan kata lain, konflik sosial di Indonesia dapat terjadi
kapan saja, baik secara individu maupun secara kolektif atau berkelompok.
terjadi secara individual maupun kolektif/ kelompok. Kekerasan kolektif itu sendiri dapat
Data statistik kriminal mabes Polri pada periode beberapa tahun silam yaitu
tahun 2007 – 2010, menunjukkan terdapat 107 tindakan kekerasan yang dilakukan
organisasi masyarakat (ormas). Dari jumlah tersebut, oknum-uknum dari ormas Front
Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR) mendominasi aksi kekerasan.
Di tahun 2007 tercatat 10 tindak kekerasan dilakukan ormas. Jumlah tersebut menurun
menjadi delapan di tahun 2008, dan meningkat tajam menjadi 40 di tahun 2009. Pada
tahun 2010, telah terjadi 49 tindak kekerasan yang dilakukan oknum ormas (Gatot,
2011). Sementara itu sebagaimana dilansir harian Koran Jakarta di situsnya tertanggal
ditegaskan ormas yang paling banyak melakukan kekerasan adalah FPI, Forum Betawi
Rempug, dan Barisan Muda Betawi. Jumlah tersebut tentu masih akan bertambah
FORKABI, Kembang Latar, Kelompok Ambon (John Kei), Kelompok Timor (Hercules)
dan sebagainya antara satu dengan lainnya maupun dengan unsur pemerintahan di
masa lalu, menunjukkan bahwa konflik sosial banyak melibatkan dua kelompok atau
organisasi. Dikatakan oknum, karena ternyata organisasi dan kelompok diatas juga
masyarakat kala terjadi bencana alam, memberikan sumbangan dan bantuan, donor
darah, bakti sosial dan sebagainya. Patut dicermati pula bahwa Konflik sosial tidak
hanya tercipta akibat pertikaian dua kelompok atau ormas semata, melainkan juga
dapat terjadi diantara warga yang tidak terikat organisasi seperti tawuran antar warga
Sementara itu, patut menjadi perhatian bahwa setiap tindakan kekerasan kolektif
diatas selalu berkaitan dengan ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
berikut:
a. Adanya suatu insiden yang dirasakan begitu buruk oleh suatu kelompok
Kelompok masyarakat itu mulai resah dan tegang sehingga secara perlahan,
b. Dalam kondisi diatas, terdapat segolongan kecil orang dari kelompok yang
d. Jatuhnya korban jiwa dapat memancing simpati dan emosi kelompok lain
massa;
Kepolisian Republik Indonesia. Pada tahap (a) dan (b) diatas, merupakan persiapan
bagi Ormas yang akan melakukan suatu kekerasan atau pembalasan terhadap yang
lainnya akibat adanya peristiwa yang dianggap mereka sebagai suatu ”insiden”.
Dalam tahap berikutnya, tahap (c), kekerasan telah terjadi. Akhirnya, pada tahap
(d) kekerasan yang dilakukan Ormas telah menghasilkan korban jiwa di pihak lawan.
Peristiwa ini akan menjadi ”insiden” lanjutan bagi kelompok korban untuk kemudian
agar kejadian tersebut tidak menular dan mewabah bagaikan suatu epidemi. Dengan
e), agar tindak kekerasan massa tidak menjadi kerusuhan yang meluas. Sebagaimana
beberapa tahun silam hingga kini, khususnya di bulan suci Ramadhan terdapat
beberapa ormas bertindak sebagai lembaga extra judicial melakukan razia atau
di bulan Ramadhan, dinilai sebagai suatu insiden bagi mereka. Di pihak lain, tindakan
penertiban itu sendiri juga merupakan insiden dari sudut pandang pihak yang mencari
kolektif yang meluas, tidak jarang beberapa media malah memojokkan petugas
sweeping tersebut sebenarnya memiliki niat yang baik. Dalam wawancara yang
pernah dilakukan pada ormas Islam satu dasawarsa silam (*majalah Gamma 19-12-
2000&Forum Keadilan 12-7-2000) pada intinya terdapat beberapa hal penting sebagai
berikut:
aturan hukum positif yang berupa surat edaran Gubernur mengenai penutupan
berupa abuse of power, dalam hal ini memberikan proteksi terhadap praktek-
praktek kejahatan;
peristiwa sejenis di masa depan dengan kebijakan yang dimilikinya. Agar perilaku
ormas yang menegakkan hukum menggunakan “cara lain” tersebut dapat diminamilisir.
Pemerintah juga harus menyadari, bahwa polisi dan petugas keamanan serta para
oknum ormas diatas hanya manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan. Patut
dipertimbangkan pula bahwa, kebanyakan dari pelaku kekerasan diatas sebagian besar
hanya sekedar “ikut-ikutan” tanpa mengetahui apa permasalahan yang terjadi
sebenarnya.
IV. Penutup
kolektif diatas, piranti hukum Indonesia seperti Undang-undang Nomor 17 tahun 2013
pihak, sebenarnya telah memberikan panduan yang cukup bagi setiap Ormas. Apabila
oleh Pemerintah untuk melakukan tindakan tegas terhadap Ormas yang kerap
berbagai faktor yang telah dikemukakan secara singkat di bagian sebelumnya serta
Ormas secara luas yaitu: “…untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”. Dalam pasal
21 huruf (b), (c), dan (d) peraturan yang sama juga dinyatakan kewajiban setiap Ormas
yaitu: (b). menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; (c). memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma
kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; serta (d). menjaga ketertiban
bagian lainnya yaitu pasal 59 ayat (2) ormas dilarang melakukan beberapa hal sebagai
berikut: melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum (pasal 61
sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat (1) diatas. Hal ini dapat merugikan anggota
ormas yang amanah (tidak melakukan kekerasan) dan ormas itu sendiri. Karena,
Sebagai penutup, setiap pihak harus dengan bijak mengakui bahwa terjadinya
kekerasan kolektif khususnya yang dilakukan ormas diatas, tidak dapat ditinjau hanya
dari satu segi semata. Banyak sebab dan faktor-faktor yang harus ditelaah dan menjadi
pertimbangan, seperti tidak jarang pihak atau oknum yang melakukan kekerasan baik
itu masyarakat biasa maupun petugas, kerap menjadi victim precipitated, yaitu korban
merugikan, lebih merusak, dan sulit dikendalikan sehingga akan merugikan pemerintah,
masyarakat, dan ormas itu sendiri. Tentu saja cara menghentikan maraknya kekerasan
tersebut tidak dapat dilakukan pihak pemerintah semata melainkan harus berkordinasi
dan bekerjasama dengan masyarakat dan ormas itu sendiri sehingga akan tepat
bila fenomena kekerasan tersebut makin dibiarkan, bukan tak mungkin akan terjadi
suatu kelompok berani mendiktekan keinginan harus seperti apa hukum ditegakkan,
Lewis Coser, Continuities in Study of Social Conflict, (New York: Free Press, 1967);
Satjipto Rahardjo, Ronny Hanintijo Soemitro, A Siti Soetami, Pengantar Ilmu Hukum,
2001);
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, (Jakarta:
Peradaban, 2002);
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta:
Kompas, 2006);
(Jakarta:YPKIK, 2009).
http://hukumonline.com/
http://koran-jakarta.com/?21925-ormas%20anarkistis