Anda di halaman 1dari 13

ORMAS DAN KEKERASAN KOLEKTIF

Tb. Ronny Rachman Nitibaskara

I. Pendahuluan

Perilaku mengedepankan kekerasan sebagai solusi adalah suatu fenomena

yang kerap terjadi dalam masyarakat di belahan dunia manapun. Baik itu dilakukan

secara individu maupun kolektif, di Negara berkembang hingga Negara maju sekalipun.

Berbagai penyebab kekerasan dalam masyarakat itu sendiri dapat berupa kesenjangan

sosial ekonomi, antipati terhadap kemapanan, SARA yang sangat peka, hingga karena

tersumbatnya saluran sosial politis (Herlianto, 1997).

Secara umum Kadish (1983) menjelaskan bahwa kekerasan menunjuk pada

semua tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman

saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang menyebabkan kerusakan

terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Sementara

itu, Charles Tilly membagi kekerasan kolektif sebagai berikut: kekerasan kolektif primitif,

kekerasan kolektif reaksioner, dan kekerasan kolektif modern (Tilly, 1966).

Kekerasan kolektif primitif pada umumnya bersifat non politis. Ruang lingkupnya

terbatas pada suatu komunitas lokal. Kekerasan kolektif reaksioner umumnya

merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata

berasal dari suatu komunitas lokal melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan

dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap

tidak adil dan jujur. Sedangkan kekerasan kolektif modern merupakan alat untuk
mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan

terorganisir dengan baik.

Pelaku Kekerasan kolektif dapat berasal dari 1 organisasi massa yang sama

(komunitas yang sama), maupun tidak. Dalam kekerasan kolektif, terjadi proses

penurunan intelektual dan moral serta hilangnya rasionalitas. Semua itu membuat

kekerasan ini sulit diatasi. Kesulitan tersebut juga disebabkan oleh adanya mayoritas

dan minoritas dalam konstelasi logika kekuatan.

Berdasarkan uraian singkat diatas jelas kiranya bahwa, tindak kekerasan massa

yang mengatasnamakan alasan apapun, merupakan kekerasan kolektif. Dari ketiga

jenis kekerasan kolektif tersebut, seringkali terjadi transformasi dari jenis yang satu

berubah atau meningkat menjadi jenis lainnya. Artinya dari kekerasan kolektif primitif

dapat berubah menjadi reaksioner, untuk kemudian menjelma menjadi kekerasan

kolektif politik, karena ada unsur penunggangan dari luar. Hal demikian begitu mudah

terjadi dalam masyarakat majemuk Indonesia.

II. Masyarakat Majemuk dan Konflik Sosial

Di dunia ini, tidak ada satupun masyarakat yang terbebas dari konflik. Konflik itu

sendiri terdiri dari konflik individu (perorangan) dan kelompok, yang dapat terjadi secara

internal maupun eksternal. Kamus Webster mendefinisikan konflik sebagai “Clash,

competition, or mutual interference or incompatible, forces or qualities (as ideas,

interes, wills)”. Berdasarkan pengertiannya, terlihat bahwa konflik memiliki cakupan

yang cukup luas, meliputi pertentangan atau bentrokan, persaingan atau gangguan oleh

kelompok secara fisik atau benturan antar kekuatan-kekuatan yang sulit didamaikan
atau pertentangan-pertentangan dalam tataran kualitas seperti ide-ide, kepentingan-

kepentingan atau kehendak-kehendak.

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tentang

Penanganan Konflik Sosial dikemukakan definisi konflik sosial yaitu “Konflik Sosial,

yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan

kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu

tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi

sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan

nasional.”

Konflik sosial itu sendiri menurut Lewis A. Coser (1956) memiliki fungsi-fungsi

yang bermanfaat, antara lain: Untuk menegakkan kesatuan atau menegakkan kembali

kesatuan dan kohesi yang telah terancam oleh perasaan-perasaan antagonis dan

permusuhan di antara anggota kelompok (may help to re-establish unity and cohesion

where it has been threatened by hostile and antagonistic feeling among the members );

serta sebagai suatu mekanisme untuk menata ulang nilai-nilai agar sesuai dengan

kondisi baru (social conflict is a mechanism for adjustment of norms adequate to new

conditions).

Sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai macam agama, etnis,

bahasa, daerah dan sub-sub kebudayaan, tentu merupakan hal yang wajar bila dalam

masyarakat kita timbul suatu gejolak yang berujung pada munculnya konflik sosial.

Hanya yang seringkali tidak wajar, intensitas konflik yang terjadi berubah kualitas

maupun eskalasinya, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa dan

Negara Indonesia.
Masyarakat majemuk itu sendiri menurut Piere L. Van Berghe memiliki sifat

dasar sebagai berikut:

1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali

memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama

lain;

2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang

bersifat non-komplementer;

3. Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-

nilai sosial dasar;

4. Secara reaktif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan

kelompok yang lain;

5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling

ketergantungan di dalam bidang ekonomi;

6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain

(Nitibaskara: 2002).

Berdasarkan kenyataan masyarakat majemuk diatas, lebih dari satu dasawarsa

silam majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 pernah menempatkan Indonesia sebagai

salah satu Negara dengan ribuan potensi konflik sosial yang sewaktu-waktu siap

menyala. Hasilnya, semenjak head line berjudul “The World’s Worst Countries”

diturunkan, prediksi media terkenal tersebut terbukti.

Beberapa titik api akhirnya menyala dan menghasilkan peristiwa kekerasan skala

besar sebagai bentuk konflik sosial yang mengerikan di beberapa tempat wilayah

Indonesia, dengan jumlah korban yang luar biasa atau skala besar (konflik antar etnis)
maupun skala kecil (konflik antar kelompok). Berbagai peristiwa kekerasan dan konflik

sosial yang pernah terjadi, menunjukkan bahwa konflik sosial tidak memandang usia,

ruang, tempat dan waktu. Dengan kata lain, konflik sosial di Indonesia dapat terjadi

kapan saja, baik secara individu maupun secara kolektif atau berkelompok.

III. Ormas dan Kekerasan

Sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya, konflik berujung kekerasan dapat

terjadi secara individual maupun kolektif/ kelompok. Kekerasan kolektif itu sendiri dapat

dilakukan secara terorganisir maupun spontan. Fenomena kekerasan kolektif yang

kerap terjadi selama ini adalah melibatkan ormas yang ada.

Data statistik kriminal mabes Polri pada periode beberapa tahun silam yaitu

tahun 2007 – 2010, menunjukkan terdapat 107 tindakan kekerasan yang dilakukan

organisasi masyarakat (ormas). Dari jumlah tersebut, oknum-uknum dari ormas Front

Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR) mendominasi aksi kekerasan.

Di tahun 2007 tercatat 10 tindak kekerasan dilakukan ormas. Jumlah tersebut menurun

menjadi delapan di tahun 2008, dan meningkat tajam menjadi 40 di tahun 2009. Pada

tahun 2010, telah terjadi 49 tindak kekerasan yang dilakukan oknum ormas (Gatot,

2011). Sementara itu sebagaimana dilansir harian Koran Jakarta di situsnya tertanggal

13 Oktober 2014 dikemukakan bahwa berdasarkan keterangan kepolisian pada 2012,

ditegaskan ormas yang paling banyak melakukan kekerasan adalah FPI, Forum Betawi

Rempug, dan Barisan Muda Betawi. Jumlah tersebut tentu masih akan bertambah

menjelang akhir tahun 2014 ini.

Tindak kekerasan yang pernah dilakukan oknum-oknum ormas FPI, FBR,

FORKABI, Kembang Latar, Kelompok Ambon (John Kei), Kelompok Timor (Hercules)
dan sebagainya antara satu dengan lainnya maupun dengan unsur pemerintahan di

masa lalu, menunjukkan bahwa konflik sosial banyak melibatkan dua kelompok atau

organisasi. Dikatakan oknum, karena ternyata organisasi dan kelompok diatas juga

banyak melakukan tindakan positif. Seperti misalnya turun tangan membantu

masyarakat kala terjadi bencana alam, memberikan sumbangan dan bantuan, donor

darah, bakti sosial dan sebagainya. Patut dicermati pula bahwa Konflik sosial tidak

hanya tercipta akibat pertikaian dua kelompok atau ormas semata, melainkan juga

dapat terjadi diantara warga yang tidak terikat organisasi seperti tawuran antar warga

dua wilayah yang berbeda hingga tawuran antar supporter sepakbola.

Sementara itu, patut menjadi perhatian bahwa setiap tindakan kekerasan kolektif

diatas selalu berkaitan dengan ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Keterkaitan tersebut memiliki hubungan erat berdasarkan tahapan-tahapan sebagai

berikut:

a. Adanya suatu insiden yang dirasakan begitu buruk oleh suatu kelompok

masyarakat, sehingga peristiwa itu dijadikan katalisator kemarahan.

Kelompok masyarakat itu mulai resah dan tegang sehingga secara perlahan,

keresahan itu turut dirasakan oleh kelompok-kelompok lain di masyarakat;

b. Dalam kondisi diatas, terdapat segolongan kecil orang dari kelompok yang

marah, bersifat sangat keras dan cenderung melakukan kekerasan,

memancing-mancing timbulnya kekerasan. Lantas, mengumpulkan massa

dengan slogan-slogan bombastis yang dapat membangkitkan kemarahan

dan fanatisme kelompok;


c. Massa yang telah dihimpun dan terbakar emosinya, kemudian diberi contoh

oleh kelompok kecil tersebut tentang bagaimana seharusnya bertindak.

Karena, masing-masing individu telah hanyut dan menyatu dengan emosi

kelompok maka, rasionalitas menurun. Yang muncul adalah logika

kelompok. Dalam kondisi kejiwaan semacam ini mereka mudah mengikuti

contoh yang dilakukan kelompok kecil tadi. Selanjutnya, tanpa memerlukan

contoh lagi, massa akan bertindak anarkis dengan sendirinya, melakukan

perusakan, pembakaran, penyerangan, penganiayaan bahkan pembunuhan;

d. Jatuhnya korban jiwa dapat memancing simpati dan emosi kelompok lain

yang semula mampu mengendalikan diri untuk turun ke gelanggang amuk

massa;

e. Keterlambatan penanganan aparat keamanan akan mengakibatkan

kekacauan meluas dan konflik menjadi sulit dihentikan (Nitibaskara).

Keseluruhan fase tersebut membutuhkan tindakan preventif dari aparat

Kepolisian Republik Indonesia. Pada tahap (a) dan (b) diatas, merupakan persiapan

bagi Ormas yang akan melakukan suatu kekerasan atau pembalasan terhadap yang

lainnya akibat adanya peristiwa yang dianggap mereka sebagai suatu ”insiden”.

Dalam tahap berikutnya, tahap (c), kekerasan telah terjadi. Akhirnya, pada tahap

(d) kekerasan yang dilakukan Ormas telah menghasilkan korban jiwa di pihak lawan.

Peristiwa ini akan menjadi ”insiden” lanjutan bagi kelompok korban untuk kemudian

melakukan pembalasan sesuai dengan tahapan diatas.


Sementara itu, peran aparat keamanan dalam tahapan diatas adalah mencegah

agar kejadian tersebut tidak menular dan mewabah bagaikan suatu epidemi. Dengan

jalan sedapat mungkin menghindari keterlambatan menangani situasi tersebut (tahap -

e), agar tindak kekerasan massa tidak menjadi kerusuhan yang meluas. Sebagaimana

dikatakan De Jong (1994),”effective preparation in fact, the best of prevention.

Sehubungan dengan uraian diatas, masyarakat tentu masih mengingat sejak

beberapa tahun silam hingga kini, khususnya di bulan suci Ramadhan terdapat

beberapa ormas bertindak sebagai lembaga extra judicial melakukan razia atau

sweeping terhadap tempat hiburan dan hal-hal yang berhubungan dengan

kemaksiatan. Beroperasinya tempat hiburan maupun sarana dan fasilitas kemaksiatan

di bulan Ramadhan, dinilai sebagai suatu insiden bagi mereka. Di pihak lain, tindakan

penertiban itu sendiri juga merupakan insiden dari sudut pandang pihak yang mencari

nafkah di tempat tersebut. Kenyataannya, kegiatan penertiban diatas kerap berujung

bentrok atau kekerasan kolektif di kedua belah pihak.

Pihak kepolisian sendiri terkadang berada dalam posisi yang tidak

menguntungkan. Bermaksud mencegah penertiban diatas menjadi suatu kekerasan

kolektif yang meluas, tidak jarang beberapa media malah memojokkan petugas

misalnya dengan pemberitaan: polisi menghalangi tindakan memberantas kemaksiatan,

memberantas kemaksiatan ditembaki/ dipukuli polisi, dsb.

Terlepas dari kemungkinan ada tidaknya penyimpangan di lapangan, tindakan

sweeping tersebut sebenarnya memiliki niat yang baik. Dalam wawancara yang

pernah dilakukan pada ormas Islam satu dasawarsa silam (*majalah Gamma 19-12-
2000&Forum Keadilan 12-7-2000) pada intinya terdapat beberapa hal penting sebagai

berikut:

1. Tindakan itu diartikan sebagai tindakan menegakkan hukum, yaitu menegakkan

aturan hukum positif yang berupa surat edaran Gubernur mengenai penutupan

tempat hiburan di bulan Ramadhan;

2. Tindakan mempercayai integritas moral aparat penegakan hukum;

3. Menuduh petugas hukum telah melakukan kejahatan setidak-tidaknya yang

berupa abuse of power, dalam hal ini memberikan proteksi terhadap praktek-

praktek kejahatan;

4. Tindakan itu dilakukan merupakan bagian dari ekspresi keyakinan agama

sehingga diposisikan sebagai tindakan suci (holy action). Dengan demikian

menuntut pendekatan teologis untuk memahami tindakan-tindakan tersebut;

5. Tindakan-tindakan tersebut juga merupakan realisasi dari tafsir atau interpretasi

dari hukum positif, khususnya dalam masalah penegakan hukum;

6. Karena merupakan interpretasi atas pelaksanaan hukum, maka tindakan itu

menjadi seakan-akan tetap dalam koridor tindakan legal, sehingga tuduhan

melakukan tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting) mudah ditepis.

Tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah dapat mengantisipasi

peristiwa sejenis di masa depan dengan kebijakan yang dimilikinya. Agar perilaku

ormas yang menegakkan hukum menggunakan “cara lain” tersebut dapat diminamilisir.

Pemerintah juga harus menyadari, bahwa polisi dan petugas keamanan serta para

oknum ormas diatas hanya manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan. Patut

dipertimbangkan pula bahwa, kebanyakan dari pelaku kekerasan diatas sebagian besar
hanya sekedar “ikut-ikutan” tanpa mengetahui apa permasalahan yang terjadi

sebenarnya.

IV. Penutup

Dalam kaitannya dengan perangkat hukum untuk mengantisipasi kekerasan

kolektif diatas, piranti hukum Indonesia seperti Undang-undang Nomor 17 tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan, meskipun banyak dipertentangkan berbagai

pihak, sebenarnya telah memberikan panduan yang cukup bagi setiap Ormas. Apabila

pelaksanaannya dijalankan dengan baik sesuai prosedur yang berlaku.

Sebaliknya, “Aturan Main” dalam peraturan tersebut dapat dijadikan landasan

oleh Pemerintah untuk melakukan tindakan tegas terhadap Ormas yang kerap

melakukan kekerasan. Hal tersebut tentu saja dilakukan dengan mempertimbangkan

berbagai faktor yang telah dikemukakan secara singkat di bagian sebelumnya serta

melakukan tindakan “pembubaran” ormas sebagai langkah paling terakhir.

Pada pasal 1 ayat (1) Undang-undang diatas dikemukakan tujuan dibentuknya

Ormas secara luas yaitu: “…untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya

tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”. Dalam pasal

21 huruf (b), (c), dan (d) peraturan yang sama juga dinyatakan kewajiban setiap Ormas

yaitu: (b). menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia; (c). memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma

kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; serta (d). menjaga ketertiban

umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat.

Dalam kaitannya dengan kemungkinan munculnya benih-benih kekerasan, pada

bagian lainnya yaitu pasal 59 ayat (2) ormas dilarang melakukan beberapa hal sebagai
berikut: melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;

melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di

Indonesia; melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu

ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;

atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ormas yang melanggar ketentuan

diatas dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis hingga

pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum (pasal 61

peraturan yang sama).

Oleh karena itu, perilaku oknum Ormas yang mengedepankan kekerasan

sebagai solusi, amatlah bertentangan dengan tujuan mulia didirikannya ormas

sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat (1) diatas. Hal ini dapat merugikan anggota

ormas yang amanah (tidak melakukan kekerasan) dan ormas itu sendiri. Karena,

Pemerintah dapat melakukan pembubaran terhadap Ormas tersebut.

Sebagai penutup, setiap pihak harus dengan bijak mengakui bahwa terjadinya

kekerasan kolektif khususnya yang dilakukan ormas diatas, tidak dapat ditinjau hanya

dari satu segi semata. Banyak sebab dan faktor-faktor yang harus ditelaah dan menjadi

pertimbangan, seperti tidak jarang pihak atau oknum yang melakukan kekerasan baik

itu masyarakat biasa maupun petugas, kerap menjadi victim precipitated, yaitu korban

yang terpaksa melakukan penyimpangan, kekerasan (tindakan agresif), dan perbuatan

tidak patut lainnya, karena terpicu oleh pihak luar.


Tetapi, patut disadari bagaimanapun juga kekerasan tersebut harus segera

dihentikan sebelum melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya yang lebih dahsyat, lebih

merugikan, lebih merusak, dan sulit dikendalikan sehingga akan merugikan pemerintah,

masyarakat, dan ormas itu sendiri. Tentu saja cara menghentikan maraknya kekerasan

tersebut tidak dapat dilakukan pihak pemerintah semata melainkan harus berkordinasi

dan bekerjasama dengan masyarakat dan ormas itu sendiri sehingga akan tepat

sasaran dan menghindarkan kemungkinan timbulnya benih konflik berikutnya. Karena,

bila fenomena kekerasan tersebut makin dibiarkan, bukan tak mungkin akan terjadi

suatu kelompok berani mendiktekan keinginan harus seperti apa hukum ditegakkan,

sehingga akan mempercepat proses terwujudnya masyarakat yang roboh (collapse

society) dan terwujudnya masyarakat kejahatan (society of crime).

Bahan Bacaan & situs Internet:

Lewis Coser, Continuities in Study of Social Conflict, (New York: Free Press, 1967);

Hartjen, Crime and Criminalization, ( New York: Praeger Publisher, 1985);

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991);

Satjipto Rahardjo, Ronny Hanintijo Soemitro, A Siti Soetami, Pengantar Ilmu Hukum,

(Jakarta: Universitas Terbuka, 1986);

Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat, (Jakarta: Peradaban,

2001);

Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, (Jakarta:

Peradaban, 2002);
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta:

Kompas, 2006);

Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan,

(Jakarta:YPKIK, 2009).

http://hukumonline.com/

http://koran-jakarta.com/?21925-ormas%20anarkistis

Anda mungkin juga menyukai