Keperawatan Komunitas II
MAKALAH KELOMPOK 1
Oleh :
Dosen Pembimbing :
Ns. Abdurrahman Hamid, M. Kep., Sp.Kep.Kom
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah terkait
“Trend dan Issue Keperawatan Keluarga : Family Violence”.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
salah satu tugas dalam mata kuliah Keperawatan Keluarga. Selain itu, kami juga
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita semua. Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna dan masih banyak kekurangan. Semoga apa yang dituangkan dalam
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya teman-teman
yang membaca.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................. I
KATA PENGANTAR................................................................................ II
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan............................................................................................ 19
4.2 Saran....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan
dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan
organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting
yang memimpin keluarga di samping beberapa anggota keluarga lainnya.
Anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu
kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini
ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua
anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya
konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik,
mental, emosi, dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut
disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua
dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik
dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua
keluarga pernah mengalaminya. Yang menjadi berbeda adalah bagaimana
cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka
setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu
menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap
anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga.
Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota
keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar
permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota
keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik
diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi
dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan,
hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan
makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku
seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik.
Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan
Keluarga
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kekerasan dalam
rumah tangga
2) Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga
3) Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kekerasan dalam
rumah tangga
4) Untuk mengetahui cara penanggulangan kekerasan dalam rumah
tangga
5) Untuk mengetahui terkait perlindungan bagi korban kekerasan
dalam rumah tangga
6) Untuk mengetahui trend dan issue kekerasan dalam rumah
tangga
1.3 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini ialah untuk mengetahui
terkait family violence atau yang biasa dikenal dengan kekerasan keluarga dan
untuk mengetahui trend dan issue keperawatan keluarga terkait family
violence.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
7
besar isi pasal yang berbunyi: “barang siapa yang melakukan penganiayaan
terhadap ayah, ibu, istri atau anak diancam hukuman pidana”.
Undang-Undang PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1
ayat 1). Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2
ayat 1):
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
8
psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar
yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia
luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
Kekerasan seksual berat, berupa:
a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.
b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan
dan atau menyakitkan.
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e. Terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan
alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.
g. Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun
perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan seksual berat.
9
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
a. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitasi termasuk
pelacuran.
b. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c. Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
d. Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
10
anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga terjadi kekerasan
dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga.
11
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya
antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa
saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita
untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang
timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang
kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang ada
dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi
pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga
dapat diatasi dengan baik.
12
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan
karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan
lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah
terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan
permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi
dan lembaga resmi yang ada. Dilihat dari hukum pidana, tindak KDRT ini
adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta
penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai
sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga,
korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum
tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan)
dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada
umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan
sosial yang tidak hanya dilihat
Dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara
komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama,
dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga. Yang lebih
penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas
sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam
undang-undang PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi
perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu
didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih
tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak
hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu
bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi
selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
13
Undang-undang PKDRT secara selektif membedakan fungsi
perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan
lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan
hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh
institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan
konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai
kepada ligitasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan
lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak
KDRT.
Selain itu, undang-undang PKDRT juga membagi perlindungan itu
menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan
penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan
oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak
memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh
kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan,
sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi
korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja
sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban. Pemerintah
dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan
dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan
penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang
cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT.
Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa
surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat
penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 x 24 jam.
2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum,
melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga
14
korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan
(ligitasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk
perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat
perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari
apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang
ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan
perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul
terhadap korban.
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya
pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai
profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan
membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau
membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan
hukum sebagai alat bukti.
5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk
menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi
mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta
mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-
hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan
pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak
KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan
takwa kepada korban.
15
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih bersifat normatif, belum
implementasi dan teknis operasional yang mudah dipahami, mampu
dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk
merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan
pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit
dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi
Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini
amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu
sebab konvensional seperti diharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang
rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan
pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali
dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier
dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi-persoalan, termasuk persoalan sosial,
ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus
KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini,
khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya
sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat
memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa
Indonesia.
16
BAB III
PEMBAHASAN
17
tersebut. Saat itu kepala desa menyarankan agar Ibu Umi ke Pengadilan
Agama untuk menggugat cerai suaminya.
2. Penyelesaian
Pada tanggal 28 September 2009, Ibu Umi mendatangi Pengadilan
Agama Kalianda untuk mendaftarkan gugatan cerai. Namun dari pihak
Pengadilan Agama Kalianda disarankan untuk ke Polres Lampung Selatan
untuk melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi.
Pada jam 10 pada hari yang sama (tanggal 28 September 2009), Ibu Umi
melapor ke Polres Lampung Selatan. Dari polres disarankan untuk
melakukan visum.
Setelah hampir sebulan, kasus KDRT yang dialami oleh Ibu Umi
terkesan tidak ditindak lanjuti dengan serius oleh pihak polres. Hal ini
dapat terlihat dari tidak ditahannya suami Ibu Umi oleh pihak polres tanpa
alasan yang jelas. Sehingga menimbulkan sangkaan kepada pihak polres
bahwa kemungkinan besar suami Ibu Umi tidak ditahan karena terkait
posisi suami Ibu Umi yang merupakan tokoh masyarakat dan memiliki
keluarga yang memiliki posisi berpengaruh di masyarakat. Kondisi ini
membuat Ibu Umi melaporkan kasusnya dan meminta.
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar,
seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang
bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, dan
warahmah. Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik
antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan
harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan
kerukunan di antara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan
istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat
mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang
suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-
masing.
Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah
hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan
rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita
untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul
adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga
berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang
suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena
mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. Jika sudah begitu
kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang
lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat
cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita,
kejadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbulkan kekerasan dalam
rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus
sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan
kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah
19
tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain,
marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada
diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan
kita masing-masing.
4.2 Saran
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bermanfaat bagi pembaca
dan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh
karena itu kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya
membangun.
20
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, C.F.G. Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni.
21