Anda di halaman 1dari 6

Pengalaman hidup menerapkan model praxis emansipatoris dari Habermas yang bisa

ditempuh melalui tindakan komunikatif dan dialog

Jawaban No 1

praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan


komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Di sana ada ruang dialog yang diciptakan,
sebagai sebuah kemungkinan untuk membebaskan individu dari tekanan idelogis tertentu. Di
sini Habermas sebenarnya telah menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya
demokrasi radikal, yaitu relasi-relasi sosial yang terjalin dalam lingkup komunikasi bebas
penguasaan.

Secara khusus Habermas mengkonstruksi konsep tindak komunikatif dari tiga ”topik
kompleks yang saling terkait”. Rasionalitas komunikatif yang terbebas dari keterbatasan‐
keterbatasan pendekatan teori sosial individualistik, konsep dua level yakni paradigma yang
”menghubungkan dunia kehidupan (lifeworld) dan sistem”, dan teori modernitas yang
memperhitungkan ”patologi‐patologi sosial”. Dia menambahkan bahwa ”teori tindak
komunikatif” dimaksudkan untuk memungkinkan adanya konseptualisasi konteks kehidupan
sosial yang disesuaikan dnegan paradoks‐ paradoks modernitas (1984 3a: xl).

Rute menuju posisi teoritis seperti itu membawa pada penerapan suatu ilmu
pengetahuan rekonstruktif (reconstructive science). Dal;am Communication and the
Evaluation of the Society (1979) Habermas sudah menekankan pentingnya pemahaman dan
menegaskan bahwa ”tugas pragmatik universal adalah untuk menidentifikasi dan
merekonstruksi kondisi‐kondisi universal yang memungkinkan pemahaman (verstandigung)”,
yang sampai pada ”presuposisi umum tindak komunikatif” sebab ia mempertimbangkan
”jenis tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai pemahaman itu menjadi fundamental”
(1979 : 1). Bahkan bagi Habermas, pemahaman berarti mencapai kesepakatan yang berakhir
pada mutualitas dan intersubjektivitas. ”Berbagi pengetahuan, saling percaya, dan cocok satu
sama lain”. Kesepakatan seperti itu didasarkan pada ”pengakuan atas klaim‐klaim kebenaran
tentang komprehensibilitas, benar (truth), kebenaran (truthfulness) dan ketepatan (rightness)
yang saling berhubungan” (1979 : 3).

Kondisi yang mendasari praktik komunikatif seperti itu didasari rasionalitas yang
ditentukan oleh apakah para partisipannya ”bisa, dalam kondisi nyaman, untuk memberi
penalaran atas ekspresi‐ekspresinya”. Habermas menjelaskan bahwa ”rasionalitas yang tepat
untuk praktik komunikatif dalam praktek kehidupan sehari‐hari menunjuk pada praktik
argumentasi seperti sidang banding dipengadilan” yang akan memungkinkan berlanjutnya
tindak komunikatif dibawah kondisi yang tak akan memungkinkan untuk ”memperbaiki”
ketidaksepakatan melalui ”rutinitas keseharian” atau ”penggunaan kekuatan” (1984a : 17 –
18)

Habermas menjelaskan bahwa ”rasionalitas yang tepat untuk praktik komunikatif


dalam praktek kehidupan sehari‐hari menunjuk pada praktik argumentasi seperti sidang
banding dipengadilan” yang akan memungkinkan berlanjutnya tindak komunikatif dibawah
kondisi yang tak akan memungkinkan untuk ”memperbaiki” ketidaksepakatan melalui
”rutinitas keseharian” atau ”penggunaan kekuatan” (1984a : 17 – 18).

Menurut Habermas, konteks budaya para partisipan dalam komunikasi terdiri atas
dunia objektif, sosial, dan subjektif dari sang aktor, yang merepresentasikan totalitas ”dari
semua entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang sesungguhnya”, ”dari
pengalaman sang pembicara yang hanya bisa diakses dirinya” (1984a: 100).

Dibawah kondisi tersebut, komunikasi menjadi proses negosiasi terhadap latar


belakang budaya bersama, atau ”dunia kehidupan” yang menawarkan presuposisi kondisi
untuk setiap partisipasi yang bermakna. Bahkan budaya, masyarakat, dan individu merupakan
komponen struktural dari ”dunia kehidupan” yang didalamnya tindak komunikatif digunakan
untuk mereproduksi pengetahuan budaya, untuk mengintegrasikan individu dan untuk
membentuk kepribadian. Habermas melihat budaya sebagai reservoir pengetahuan, yang dari
dalamnya partisipan dalam berkomunikasi mengenai dunia mengambil interpretasinya;
masyarakat merepresentasikan tatanan yang absah, yang emlalui tatanan itu para partisipan
menjamin anggotanya dalam kelompok sosial dan meneguhkan solidaritasnya; dan
kepribadian mengacu pada kompetensi‐kompetensi yang memungkinkan seorang subjek
berpartisipasi dalam proses pemahaman sembari menjaga identitasnya sendiri. Bidang
semantik dari kandungan simbolik, ruang sosial dan waktu sejarah, membentuk dimensi‐
dimensi tempat tindak komunikasi berlangsung. (1984b : 594 – 5).

Media sebagai bagian dari aktivitas sehari‐hari dalam ”dunia kehidupan” berfungsi
sebagai bentuk‐bentuk komunikasi yang umum. Jadi, pers, radio, dan televisi misalnya
meiliki fungsi yang mungkin. Media adalah partisipan yang bebas dari keterbatasan ruang
dan waktu (spatial – temporal) mereka, menyediakan berbagai konteks, dan menciptakan
instrumen dalam penciptaan ruang publik (publik sphere) yang mampu melayani
kepentingan‐ kepentingan otoriter atau emansipatoris. (1984a : 406).
Perspektif tentang komunikasi dan media seperti diatas menunjukkan bahwa teori dan
penelitian komunikasi (massa) mestilah terkait dengan analisis praktik‐praktik komunikatif,
yakni yang berkaitan dengan isu‐isu mengenai kompetensi komunikatif, pemahaman, dan
partisipasi para individu dalam dunia kehidupan mereka. Bagi Habermas, (seperti yang
diamati oleh Daniel Hallin, 1985 : 142), ”semua bentuk komunikasi insani, meski dibawah
kondisi penyebaran massa sekalipun, pada hakikatnya merupakan relasi diantara subjek‐
subjek manusia, yang terutama bersumber dari struktur elementer dialog”.

Pengalaman hidup menerapkan model praxis emansipatoris dari Habermas tentang “struggle
for recognition”

Jawaban No 2

Sehubungan dengan komunikasi sehari-hari adalah landasan dasar dalam kehidupan


di dunia ini, Habermas percaya bahwa individu secara rutin berpartisipasi dalam berbagai
cara komunikasi tanpa banyak refleksi. Kata-kata seperti “kasusnya seperti ini ya?”,

“Berhasil nggak yaaa..”, “Sayang, haruskah kita melakukannya?”, bisa jadi adalah
katakata yang umum dan biasanya spontan diucapkan karena dalam upaya memahami,
komunikasi menyesuaikan dirinya ke dalam berbagai bentuk untuk mengakomodasi berbagai
pernyataan dan respon yang berbeda-beda.

Menurut Habermas, dalam sikap untuk mencapai pemahaman, maka pembicara


(speaker) hendaknya menaikkan setiap ujaran ke dalam hal yang bisa dipahami untuk
menyatakan bahwa klaim tersebut adalah benar (atau setidaknya dianggap benar), bahwa
tindakan bicara adalah benar dalam hal konteks normatif yang ada (atau dalam konteks
normatif akan menjadi nyaman bila terlegitimasi).

Namun demikian Habermas membedakan antara tindakan komunikatif dengan


tindakan strategis dan instrumental dan mencoba menunjukan bahwa hal yang kedua
(tindakan strategis dan instrumental) melekat dan tergantung (seperti parasit) pada tindakan
komunikatif (Finlayson, 2005, p. 47):

Sebuah tindakan berperan ketika agen individu melakukan sesuatu sebagai


sarana untuk membawa tentang akhir yang diinginkan; tindakan strategis
adalah jenis tindakan instrumental yang melibatkan mendapatkan orang lain
untuk melakukan hal-hal sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan sendiri
seseorang. Titik penting adalah bahwa keduanya berbeda dari tindakan
komunikatif.

Tindakan instrumental adalah hasil praktis penalaran instrumental,


perhitungan cara terbaik untuk akhir yang diberikan. Habermas berpendapat
bahwa ada dua kriteria tindakan berperan: bahwa akhir dari tindakan
ditentukan terlebih dahulu (antecedently) dan independen dari sarana
realisasinya, dan bahwa itu diwujudkan dengan intervensi kausal dalam
dunia objektif. Aksi komunikatif tidak memenuhi kriteria tersebut, untuk
tujuan yang melekat - pengakuan dan penerimaan dari klaim validitas -
tidak dapat ditentukan secara independen dari sarana realisasinya, wicara,
dan bukan sesuatu yang dapat berikan secara sebab-akibat (causal).

Sedangkan tindakan komunikatif sendiri menurut Habermas mensyaratkan bahasa


sebagai media untuk mencapai pemahaman (understanding) selama para partisipan melalui
bahasa tersebut berelasi pada dunia secara timbal balik akan menciptakan klaim validitas
yang dapat diterima atau dipertentangkan satu sama lain (Habermas, 1984, p. 99).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa model tindakan komunikatif tidak menyamakan tindakan
dengan komunikasi. Bahasa adalah media komunikasi yang memberikan pemahaman dimana
para aktor datang dengan sebuah pemahaman satu kepada pemahaman lainnya untuk
kemudian megkoordinasikan tindakan untuk mengejar tujuan tertentu mereka (Habermas,
1984, p. 101).

Habermas berpendapat bahwa ada dua kriteria tindakan berperan: bahwa akhir dari
tindakan ditentukan terlebih dahulu (antecedently) dan independen dari sarana realisasinya,
dan bahwa itu diwujudkan dengan intervensi kausal dalam dunia objektif. Aksi komunikatif
tidak memenuhi kriteria tersebut, untuk tujuan yang melekat - pengakuan dan penerimaan
dari klaim validitas - tidak dapat ditentukan secara independen dari sarana realisasinya,
wicara, dan bukan sesuatu yang dapat berikan secara sebab-akibat (causal).

Sedangkan tindakan komunikatif sendiri menurut Habermas mensyaratkan bahasa


sebagai media untuk mencapai pemahaman (understanding) selama para partisipan melalui
bahasa tersebut berelasi pada dunia secara timbal balik akan menciptakan klaim validitas
yang dapat diterima atau dipertentangkan satu sama lain (Habermas, 1984, p. 99).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa model tindakan komunikatif tidak menyamakan tindakan
dengan komunikasi. Bahasa adalah media komunikasi yang memberikan pemahaman dimana
para aktor datang dengan sebuah pemahaman satu kepada pemahaman lainnya untuk
kemudian megkoordinasikan tindakan untuk mengejar tujuan tertentu mereka (Habermas,
1984, p. 101).

Interkasi sosial tentu tidak hanya ditandai oleh konsensus yang dicapai secara rasional
dan bebas tekanan, melainkan juga ditandai oleh paksaan dan kekerasan. Percakapan juga
dapat berfungsi sebagai medium kekuasaan. Dalam hal ini Habermas berbicara tentang dua
macam mekanisme tindakan: “mencapai perstujuan secara intersubjektif” atau konsensus dan
“mempengaruhi” (Einfluβnahme). Sementara konsensus terbentuk lewat pengetahuan
bersama yang diterima secara intersubjektif, mempengaruhi bertitik tolak pada keyakinan
monologal yang dianggap tepat dan benar oleh seseorang tanpa pengakuan orang lain. Apa
yang dianggap penting dalam mempengaruhi orang lain bukanlah alasan-alasan rasional,
melainkan sukses atau efek dari tindakan mempengaruhi itu. Selain konsep tindakan
komunikatif Habermas mengajukan konsep tidakan strategis (strategisches Handeln), yakni
tindakan yang berorientasi pada keberhasilan seperti yang terjadi dalam tindakan
mempengaruhi. Tindakan strategis tersebut mengandaikan bahwa orang mengerti ungkapan-
ungkapan bahasa dan juga menjelaskan pendapatnya.

Daftar Pustaka

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action Vol. 1: Reason and the
Razionalization of Society . Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (2006). Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi


Masyarakat. (Nurhadi, Trans.) Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Habermas, J. (2007). Modernity: An Unfinished Project (1980). In C. Calhoun, J.


Gerteis, J. Moody, S. Pfaff, & I. Virk, Contemporary Sociological Theory (p. 360). Malden:
Blackwell Publishing.

Habermas, J. (2010). Ruang Publik, Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat


Borjuis (terj.). Bantul: Kreasi Wacana.

Bungin, Burhan, 2006. Sosiologi Komunikasi, Jakarta : Kencana Prenada Media

Hardt, Hanno, 2005. Critical Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra


Suseno, Franz Magnis, 2006. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius

Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2003. Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Liberty

Wirodono, Sunardian, 2005. Matikan TV‐mu ! : Yogyakarta : Resist Book

Anda mungkin juga menyukai