Anda di halaman 1dari 44

BAB 3

KAJIAN KEBIJAKAN DAN LITERATUR

Kebijakan perencanaan kawasan permukiman dan perumahan yang digunakan didasarkan


pada pendekatan teori dan mereview kebijakan undang-undang, peraturan pemerintah dan
peraturan daerah yang berkaitan dengan kebijakan perumahan, permukiman dan
lingkungan hidup.

3.1 REVIEW KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG


3.1.1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN
KAWASAN PERMUKIMAN

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan,


pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalia, yang termasuk di dalamnya :

1. pengembangan kelembagaan;
2. pendanaan dan sistem pembiayaan; dan
3. peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 dijelaskan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang
mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian
bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri,
mandiri, dan produktif. Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia
melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu
bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan
yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.

Bidang Perumahan dan Permukiman tidak dapat dilihat sebagai permasalahan fisik semata,
namun harus dikaitkan dengan masalah sosial, ekonomi serta budaya masyarakat secara
berkeadilan, harmonis dan berkelanjutan. Sasaran akhir pembangunannya adalah
terwujudnya kemampuan masyarakat untuk membangun dan mengelola perumahan dan
permukimannya secara mandiri. Di dalam Deklarasi “Cities Without Slums Intiative”, yang

PT. SEKEPAR BILIKON 3-1


LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

diluncurkan oleh Bank Dunia dan United Nations Centre for Human Settlement (UNCHS),
yang juga telah menjadi komitmen Indonesia, dinyatakan tentang pentingnya sasaran
program meningkatkan dan memperbaiki kehidupan masyarakat miskin di permukiman
kumuh perkotaan. Untuk itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 disebutkan bahwa
hasil perencanaan dan perancangan perumahan harus memenuhi persyaratan teknis,
administratif, tata ruang dan ekologis demi terciptanya rumah yang layak huni, dan
meningkatkan tata bangunan dan lingkungan yang terstruktur. Pembangunan perumahan
yang dilakukan meliputi pembangunan rumah dan prasarana, sarana, utilitas umum serta
meningkatkan kualitas perumahan yang ada.

3.1.2 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2022 TENTANG RUMAH SUSUN

Penyelenggaraan rumah susun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011
bertujuan untuk menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman
yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya. Pembangunan
rumah susun dilakukan melalui perencanaan teknis, pelaksanaan dan pengawasan teknis.
Ruang lingkup perencanaan pembangunan rumah susun meliputi:
1. Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun;
2. Penetapan zonasi pembangunan rumah susun; dan
3. Penetapan lokasi pembangunan rumah susun.

Dalam perencanaan pembangunan rumah susun dilaksanakan berdasarkan:


1. Kepadatan bangunan;
2. Jumlah dan kepadatan penduduk;
3. Rencana rinci tata ruang;
4. Layanan prasarana, sarana dan utilitas umum;
5. Layanan moda transportasi;
6. Alternatif pengembangan konsep pemanfaatan rumah susun;
7. Layanan informasi dan komunikasi;
8. Konsep hunian berimbang; dan
9. Analisis potensi kebutuhan rumah susun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan


Perukiman menjelaskan bahwa klasifikasi bentuk rumah dibedakan berdasarkan hubungan
atau keterkaitan antar bangunan.

3-2
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Bentuk rumah meliputi rumah tapak dan rumah susun.


1. Rumah Tapak
Rumah tapak diusulkan untuk terbagi menjadi 2 kelompok besar, dan masing-masing
kelompok terdiri dari 3 subtipologi, yaitu:
a) Rumah Tapak Umum
Rumah tapak umum berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2011
adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan berpenghasilan rendah yang
pembangunannya mendapatkan kemudahan dan bantuan pemerintah. Rumah
Tapak Umum dibagi menjadi 3 tipologi, yaitu:
 Perumahan Skala Kecil (Cluster)
Perumahan skala kecil merupakan kumpulan rumah tanpa fasilitas yang
memiliki jumlah unit dibawah 100 unit dengan luas total lahan pengembangan
sekitar 2,4 Ha. Perumahan skala kecil/ cluster diperkirakan memiliki jumlah
penduduk sekitar 400 jiwa (dengan asumsi 1 unit rumah dihuni oleh 4 orang)
atau sekitar 2 RT (Rukun Tetangga).
 Perumahan Skala Menengah
Perumahan skala menengah merupakan kumpulan rumah dengan fasilitas
terbatas, yang biasanya terdiri dari taman atau ritel terbatas. Perumahan skala
menengah terdiri dari 100 – 1.000 unit dengan luas total lahan pengembangan
sekitar 2-24 Ha. Perumahan skala menengah diperkirakan memiliki jumlah
penduduk sekitar 400 hingga 4.000 jiwa (dengan asumsi 1 unit dihuni oleh 4
orang) atau sekitar 2 RT (Rukun Tetangga) hingga 2 RW (Rukun Warga).
 Perumahan Skala Besar (neighborhood unit development-NUD)
Permukiman adalah perumahan yang dilengkapi dengan fasilitas dasar (fasilitas
umum dan fasilitas sosial) yang lengkap. Permukiman memiliki jumlah unit
sekitar 1.000 - 3.000 unit dengan luas total lahan pengembangan sekitar dari 24
– 72 Ha. Permukiman diperkirakan memiliki jumlah penduduk sekitar 4.000
hingga 12.000 jiwa (dengan asumsi 1 unit dihuni oleh 4 orang) atau sekitar 2
hingga 5 RW (Rukun Warga).
b) Rumah Tapak Komersial
Rumah tapak komersial berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2011
adalah rumah tapak yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki
kemampuan ekonomi dan dapat diperjual belikan sesuai dengan mekanisme pasar.
Rumah Tapak Komersial dibagi menjadi 3 subtipologi, yaitu:

3-3
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

 Perumahan Skala Kecil (Cluster)


Perumahan skala kecil merupakan kumpulan rumah tanpa fasilitas yang
memiliki jumlah unit dibawah 100 unit dengan luas total lahan pengembangan
sekitar 2,4 Ha. Perumahan skala kecil/ cluster diperkirakan memiliki jumlah
penduduk sekitar 400 jiwa (dengan asumsi 1 unit rumah dihuni oleh 4 orang)
atau sekitar 2 RT (Rukun Tetangga).
 Perumahan Skala Menengah
Perumahan skala menengah merupakan kumpulan rumah dengan fasilitas
terbatas, yang biasanya terdiri dari taman atau ritel terbatas. Perumahan skala
menengah terdiri dari 100 – 1.000 unit dengan luas total lahan pengembangan
sekitar 2-24 Ha. Perumahan skala menengah diperkirakan memiliki jumlah
penduduk sekitar 400 hingga 4.000 jiwa (dengan asumsi 1 unit dihuni oleh 4
orang) atau sekitar 2 RT (Rukun Tetangga) hingga 2 RW (Rukun Warga).
 Perumahan Skala Besar (neighborhood unit development-NUD)
Permukiman adalah perumahan yang dilengkapi dengan fasilitas dasar (fasilitas
umum dan fasilitas sosial) yang lengkap. Permukiman memiliki jumlah unit
sekitar 1.000 - 3.000 unit dengan luas total lahan pengembangan sekitar dari 24
– 72 Ha. Permukiman diperkirakan memiliki jumlah penduduk sekitar 4.000
hingga 12.000 jiwa (dengan asumsi 1 unit dihuni oleh 4 orang) atau sekitar 2
hingga 5 RW (Rukun Warga).

2. Rumah Susun
Rumah susun terbagi menjadi 2 kelompok besar, dan masing-masing kelompok terdiri
dari 3 tipologi, yaitu:
a) Rumah Susun Umum
Rumah susun umum berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2011
adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan berpenghasilan rendah yang
pembangunannya mendapatkan kemudahan dan bantuan pemerintah. Rumah
Susun Umum dibagi menjadi 3 tipologi yaitu:
 Rumah Susun Umum Kepadatan Rendah
Rumah susun umum kepadatan rendah memiliki jumlah unit kurang dari 500 unit
dengan perkiraan jumlah penduduk kurang dari 2.000 jiwa (dengan asumsi 1
unit hunian dihuni oleh 4 orang). Rumah susun umum kepadatan rendah dapat
diasumsikan terdiri dari 1 RW. Sehingga dengan demikian standar kebutuhan

3-4
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

fasilitas umum dan sosial di rumah susun umum kepadatan rendah akan
disesuaikan dengan standar penyediaan fasos fasum minimal untuk RW.
 Rumah Susun Umum Kepadatan Sedang
Rumah susun umum kepadatan sedang memiliki jumlah unit sekitar 500 hingga
1.000 unit dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 2.000 hingga 4.000 jiwa
(dengan asumsi 1 unit hunian dihuni oleh 4 orang). Rumah susun umum
kepadatan sedang dapat diasumsikan terdiri dari 2 RW. Sehingga dengan
demikian standar kebutuhan fasilitas umum dan sosial di rumah susun umum
kepadatan rendah akan disesuaikan dengan standar penyediaan fasos fasum
minimal untuk RW.
 Rumah Susun Umum Kepadatan Tinggi
Rumah susun umum kepadatan tinggi memiliki jumlah unit lebih dari 1.000 unit
dengan perkiraan jumlah penduduk lebih dari 4.000 jiwa (dengan asumsi 1 unit
hunian dihuni oleh 4 orang). Rumah susun umum kepadatan tinggi dapat
diasumsikan lebih dari 2 RW. Sehingga dengan demikian standar kebutuhan
fasilitas umum dan sosial di rumah susun umum kepadatan rendah akan
disesuaikan dengan standar penyediaan fasos fasum minimal untuk RW.
b) Rumah Susun Komersial
Rumah susun komersial berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2011
adalah rumah susun yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki
kemampuan ekonomi dan dapat diperjual belikan sesuai dengan mekanisme pasar.
Dengan demikian secara penyediaan fasilitas umum dan sosial di rumah susun
komersial dapat berbeda dengan yang disediakan di rumah susun umum, karena
akan sangat tergantung kepada target kelas ekonomi masyarakat dari masing-
masing pengembangan rumah susun komersial. Rumah Susun Komersial sendiri
terbagi menjadi 3 tipologi, yaitu:
 Rumah Susun Komersial Kepadatan Rendah
Rumah susun komersial kepadatan rendah memiliki jumlah unit kurang dari 500
unit dengan perkiraan jumlah penduduk kurang dari 2.000 jiwa (dengan asumsi
1 unit hunian dihuni oleh 4 orang). Rumah susun komersial kepadatan rendah
bisa jadi memiliki standar fasilitas yang sama dengan rumah susun komersial
kepadatan sedang maupun tinggi, tergantung kepada kelas dari rumah susun
komersial tersebut.
 Rumah Susun Komersial Kepadatan Sedang
Rumah susun umum kepadatan sedang memiliki jumlah unit sekitar 500 hingga
1.000 unit dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 2.000 hingga 4.000 jiwa

3-5
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

(dengan asumsi 1 unit hunian dihuni oleh 4 orang).


 Rumah Susun Komersial Kepadatan Tinggi
Rumah susun umum kepadatan tinggi memiliki jumlah unit lebih dari 1.000 unit
dengan perkiraan jumlah penduduk lebih dari 4.000 jiwa (dengan asumsi 1 unit
hunian dihuni oleh 4 orang).

Pembangunan lingkungan perumahan maupun rumah susun selalu mengacu pada


persyaratan bangunan sehat. Terdapat 2 (dua) syarat hal penting yang harus dicapai agar
dapat beraktivitas secara nyaman. Pertama adalah kenyamanan thermal melalui
pengudaraan yang baik. Ke dua adalah terpenuhinya kebutuhan pencahayaan. Kedua hal
tersebut harus diupayakan agar dapat terpenuhi secara alami (tidak dengan menggunakan
energi). Kedua persyaratan tersebut telah diatur di dalam Keputusan Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah Nomor 433 tahun 2002, yang isinya menyatakan bahwa:
 Kebutuhan minimal ruang tiap orang adalah 9 m2 per orang.
 Pencahayaan alami disediakan melalui pencahayaan alami 1 jam tiap harinya, luas
lubang cahaya untuk masuknya cahaya minimal 20% dari luas lantai hunian.
 Penghawaan alami disediakan melalui pembuatan lubang ventilasi minimal 5% luas
lantai hunian.

3.2 REVIEW KEBIJAKAN PERATURAN MENTERI


3.2.1 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG RUMAH SUSUN

Dalam peraturan ini menjelaskan bahwa Pemerintah Darah mengatur kehidupan di


lingkungan rumah susun dapat tertib dan lebih menjamin kepastian hukum bagi
penyelenggara pembangunan dan para penghuni (terkai kepemilikan satuan rumah susun,
penggunaan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama). Jika rumah susun telah
dihuni maka Kepala Daerah menetapkan pembentukan perhimpunan penghuni rumah
susun. Dalam hal ini keberadaan perhimpunan dibentuk agar dapat mengatur dan mengurus
kepentingan, hak, dan kewajiban bersama para penghuni. Dasar yang digunakan oleh
perhimpunan rumah susun ini pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Untuk
substansi dalam Anggaran Dasar, meliputi:
a. Nama, waktu, dan keududkan;
b. Ketentuan umum;
c. Kedaualtan;
d. Sifat, fungsi, dan status;
e. Azas, tujuan, dan tugas pokok;

3-6
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

f. Struktur organisasi, wewenang, dan kewajiban pengurus;


g. Masa jabatan pengurus;
h. Keanggotaan;
i. Hak dan kewajiban anggota;
j. Badan Pengelola;
k. Hubungan dengan pihak-pihak terkait;
l. Musyawarah dan rapat-rapat;
m. Kuorum dan pengambilan keputusan;
n. Keuangan;
o. Perubahan Anggaran Dasar;
p. Pembubaran Perhimpunan;
q. Ketentuan Peralihan;
r. Penutup; dan
s. Lain-lain yang dianggap perlu sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.

Sedangkan untuk substansi Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan, meliputi:

a. Keanggotaan;
b. Badan Pengelola;
c. Musyawarah dan rapat-rapat;
d. Keuangan;
e. Peralihan dan Penyerahan Hak serta Penggunaan Satuan Rumah Susun;
f. Perpanjangan Ha katas Penggunaan Rumah Susun;
g. Harta Kekayaan Perhimpunan;
h. Tata tertib penghuni;
i. Larangan-larangan;
j. Tata tertib Pemilikan Satuan Rumah Susun;
k. Hubungan Perhimpungan dengan pihak-pihak terkait;
l. Pembinaan, Pengawasan, dan Pengelolaan;
m. Sanksi;
n. Aturan Penutup; dan
o. Lain-lain dianggap perlu sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.

Selanjutnya, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tanga Perhimpunan ini disahkan oleh
Kepaa Daerah dengan rekomendasi dari instansi yang berwenang.

3-7
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

3.2.2 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 60/PRT/M/1992 TENTANG


PERSYARATAN PEMBANGUAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

Dalam peraturan ini menjelaskan definisi dari rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan
satuansatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama
untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama. Adapun persyaratan teknis pembangunan rumah susun yang mencakup
ketentuan-ketentuan teknis, antara lain:

a. Ruang
Keseluruhan ruang dalam rumah susun merupakan kelompok ruang yang memiliki
fungsi dan dimensi tertentu serta memenuhi persayaratan penghawaaan, pencahayaan,
suara, dan bau untuk melindungi penghuni.
b. Struktur, komponen, dan bahan bangunan
Adapun rumah susun harus menggunakan struktur, komponen, dan bahan bangunan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip koordinasi modular dan memenuhi persyaratan
kontruksi (memperhitungkan kekuatan dan ketahanan) baik secara vertikal maupun
horizontal terhadap beban mati, beban bergerak atau beban hidup, beban gempa, beban
angin, beban tambahan, hujan, banjir, kebakaran, daya dukung tanah dan
gangguan/perusak lainnya.
c. Kelengkapan rumah susun
Pada rumah susun harus dilengkapi dengan alat transportasi bangunan, pintu dan
tangga darurat kebakaran, alat dan sistem alarm kebakaran, penangkal petir, dan
jaringan-jaringan air bersih, saluran pembuangan air hujan saluran pembuangan air
limbah, tempat perwadahan sampah, tempat jemuran, kelengkapan pemeliharaan
bangunan, jaringan listrik, generator listrik, gas, tempat untuk kemungkinan pemasangan
jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya sesuai dengan tingkat keperluan. Adapun
kelengkapan rumah susun ini harus tercantum dalam perencaan minimal pada skala
1:100 (untuk pemasangan, pengujan, dan pemliharaan instalasi sesuai ketentuan yang
berlaku.
d. Satuan rumah susun
Satuan umah susun harus mempunyai ukuran standar yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan kebutuhan ruang dan ketentuan satuan rumah
susun sekurang-kurangnya 18 m2 dengan lebar muka sekurang-kurangnya 3 m2.
Adapun satuan rumah susun dapat terdiri dari satu ruang utama dan ruang lain di dalam

3-8
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

dan/atau di luar ruang utama yang merupakan kesatuan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari sesuai fungsi dan penggunaannya.
e. Bagian bersama dan benda bersama
Definisi dari bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak
terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuansatuan rumah
susun dan dapat berupa ruang untuk umum, struktur dan komponen kelengkapan rumah
susun, prasarana lingkungan dan fasilitas lingkungan yang menyatu dengan bangunan
rumah susun. Untuk ruang untuk umum ini dapat berupa ruang umum, koridor, selasar,
dan ruang yangga yang harus disediakan bagi rumah susun. Sedangkan pengertian dari
benda bersama adalah benda yang terletak di atas tanah bersama di luar bangunan
rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam
kesatuan fungsi dengan rumah susun dan dapat berupa prasarana lingkungan dan
fasilitas lingkungan.
f. Kepadatan dan tata letak bangunan
Kepadatan bangunan suatu lingkungan rumah susun harus memperhitungkan Koefisien
Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), ketinggian dan kedalaman
bangunan serta penggunaan tanah yang bertujuan untuk mencapai optimasi daya guna
dan hasil guna tanah. Untuk letak bangunan rumah susun harus memperhatikan jarak
antara bangunan, batas pemilikan tanah bersama, serta kemudahan pencapaian dan
pengelolaan guna mencapai keamanan, keselamatan dan kenyamanan penghuni serta
lingkungannya. Rincian aturan kepadatan bangunan, diantaranya:
 KDB : untuk rumah susun hunian dengan jumlah lantai 5 (lima) dan jumlah penghuni
maksimum : 1.orang, dengan nilai KDB sebesar 25%
 KLB : untuk rumah susun hunian dengan lantai 5 (lima) dan kepadatan penghuni
maksimum : 1.orang, dengan nilai KLB sebesar 1,25%
 Penggunaan tanah
 Luas tanah untuk bangunan rumah susun terhadap luas tanah bersama
maksimal 50%
 Luas tanah untuk prasarana lingkungan terhadap luas tanah bersama minimal
20%
 Luas tanah untuk fasilitas lingkungan terhadap tanah bersama minimal 30%
g. Prasarana lingkungan
Pada lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana lingkungan berupa
jalan setapak, jalan kendaraan yang berfungsi sebagai penghubung antar bangunan
rumah susun atau keluar lingkungan rumah susun, tempat parkir dan/atau tempat
penyimpanan barang. Rincian kelengkapan prasarana lingkungan, diantaranya:

3-9
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

 Prasarana Jalan dan Tempat Parkir


 Jalan setapak: lebar badan jalan minimal 2 m, saluran tepi jalan dibuat pada 1
atau 2 sisi jalan
 Jalan kendaraan: lebar badan jalan minimal 3,5 m, trotoar minimal 0,9 m dibuat 1
atau ke 2 sisi jalan, saluran tepi jalan dibuat pada 1 atau 2 sisi jalan
 Tempat parkir: jarak antara tempat parkir dengan pintu bangunan rusun terdekat
maksimal 300 m;
 Tempat parkir pada pertemuan antara pejalan kaki dan jalan kendaraan harus
diberi ruang penghantar yang memberikan kondisi aman bagi pejalan kaki
terhadap lalu lintas kendaraan;
 kebutuhan ruang parkir 1 SRP mobil tiap 5 KK
 Utilitas Umum
 Jaringan air bersih (melayani kebutuhan sambungan halaman dengan kapasitas
minimal 90 liter/orang/hari
 Saluran pembuangan air hujan
 Saluran pembuangan air limbah
 Tempat pembuangan sampah (bak sampah, gerobak sampah, TPS, truk sampah
 Jaringan listrik
 Jaringan gas
 Jaringan telepon dan alat komunikasi
h. Fasilitas lingkungan
Selain itu, lingkungan rumah susun juga harus dilengkapi dengan fasilitas lingkungan
yang berupa ruangan dan/atau bangunan, yang dapat terdiri dari fasilitas perniagan atau
perbelanjaan, lapangan terbuka, pendidikan, kesehatan, peribadatan, fasilitas
pemerintahan dan pelayanan umum serta pemakaman, dan pertamanan.

3.2.3 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 5/PRT/M/2007 TENTANG


PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA
BERTINGKAT TINGGI

Dalam peratuan ini menjelaskan pedoman teknis sebagai petunjuk pelaksanaan bagi para
penyelenggara pembangunan rusuna bertingkat tingi. Lingkup dari pedoman teknis ini
meliputi perencanaan, ketentuan administratif, ketentuan teknis tata bangunan, ketentuan
teknis keandalan bangunan, dan ketentuan pembiayaan bangunan rusuna bertingkat tinggi.
Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing syarat yang digunakan dalam
pembangunan rusuna bertingkat tinggi.

3-10
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

a. Kriteria Perencanaan
Untuk kriteria perencaan rusuna bertingkat tinggi ini mencakup:
1. Kriteria umum (kriteria persyaratan untuk pemenuhan tujuan pengaturan bangunan
Gedung); dan
2. Kriteria khusus (kriteria persyaratan untuk pemenuhan tujuan pengaturan bangunan
rusuna bertingkat tinggi).
b. Ketentuan Administratif
Untuk ketentuan administratif rusuna bertingkat tinggi ini mencakup kejelasan status
hak atas tanah, status kepemiikan bangunan, status perizinan termasuk izin
mendirikan bangunan gedung/IMB).
c. Ketentuan Teknis
Untuk ketentuan teknis rusuna bertingkat tinggi ini, mencakup:
1. Ketentuan teknis tata bangunan (terdiri dari persyaratan peruntukan lokasi dan
intensitas, arsitektur, serta persyaratan dampak lingkungan); dan
2. Ketentuan teknis keandalan bangunan (terdiri dari persyaratan keselatan,
Kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan).
Rincian ketentuan teknis yang dijelaskan pada peraturan ini, diantaranya:
1. Jarak bebas bangunan rusun bertingkat tinggi terhadap bangunan gedung lainnya
minimum 4 m pada lantaidasar, dan pada setiap penambahan lantai/tingkat
bangunan ditambah 0,5 m dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai
jarak bebas terjauh 12,5 m.
2. Jarak bebas antar dua bangunan rumah susun bertingkat tinggi dalam suatu tapak
diatur sebagai berikut:
 dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka
jarak antara dinding ataubidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang
ditetapkan;
 dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok
tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka
jarak antara dinding tersebut minimal satu kalijarak bebas yang ditetapkan; dan
 dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan,
maka jarak dinding terluarminimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.
3. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir
 Sirkulasi memberikan pencapaian yang mudah, jelas, dan terintegrasi dengan
sarana transportasi,memperhatikan aksesibilitas untuk disabilitas dan lansia,
memungkinan adanya ruang gerak vertikal (clearance);

3-11
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

 Sirkulasi diberi perlengkapan berupa signage dan elemen pengarah sirkulasi


(elemen perkerasandan/atau tanaman);
 Area parkir dengan rasio 1 (satu) lot parkir kendaraan untuk setiap 5 (lima) unit
hunian yang dibangun; dan
 Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah penghijauan
yang telah ditetapkan.
d. Ketentuan Biaya
Untuk ketentuan biaya bangunan rusuna bertingkat tinggi, mencakup:
1. Umum;
2. Biaya pembangunan fisik;
3. Biaya yang dapat dioptimasi; dan
4. Biaya-biaya yang dapat disubsidi/dibiayai oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.

Dalam hal rencana pembangunan rumah susun di Kabupaten Kepulauan Seribu yang
berada di pesisir, tentunya sangat mempertimbangkan bahan bangunan dan pondasi
tentunya. Sesuai dalam PerMen PU No. 5 Tahun 2007 ini menjelaskan bahwa untuk
pembangunan pondasi dalam pada lokasi pemancanagan pancang yang berada di daerah
tepi laut yang dapat mengakibatkan korosif, maka harus memperhatikan pengamanan baja
terhadap korosif.

3.2.4 PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR 44


TAHUN 2017 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
85/MENHUT-II/2014 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA PENYELENGGARAAN
KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan bagian dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam yang diatur pengembangannya. Diantara poin pengaturan yang perlu
diperhatikan adalah aturan mengenai pembangunan di area perairan di kawasan tersebut,
dimana terdapat aturan bahwa tidak diizinkan dilakukan pembangunan di area perairan di
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam kecuali khusus untuk kegiatan
konservasi dan kegiatan lainnya yang diizinkan dan masuk dalam kategori kegiatan
pembangunan strategis.

3-12
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 85 Tahun 2017 Tentang
Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam disebutkan bahwa tujuan
utama pelaksanaan kerjasama dan pembangunan di kawasan suaka alam dan kawasan
konservasi merupakan untuk perkuatan fungsi konservasi tersebut. Selain daripada itu
terdapat pengecualian pada beberapa hal terkait pembangunan strategis. Hal tersebut
dijelaskan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai berikut :

Pasal 2

Kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA bertujuan untuk mewujudkan penguatan tata
kelola pengelolaan kawasan dan konservasi keanekaragaman hayati.

Pasal 3

Kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA dapat meliputi:

a. penguatan fungsi KSA dan KPA serta konservasi keanekaragaman hayati.

b. pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan.

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 44 Tahun 2017 Tentang
Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam terdapat aturan mengenai pembangunan strategis yang dijelaskan dalam Pasal 3 yang
telah dijelaskan diatas, hal tersebut dijelaskan pada Pasal 13, sebagai berikut :

Kerja sama dalam rangka pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c meliputi:

a. kegiatan yang mempunyai pengaruh terhadap kedaulatan negara dan pertahanan


keamanan negara;
b. pemanfaatan dan pengembangan sarana komunikasi dan pendukungnya;
c. pemanfaatan dan pengembangan transportasi terbatas;
d. pemanfaatan dan pengembangan energi baru dan terbarukan serta jaringan listrik untuk
kepentingan nasional; dan
e. kerja sama dalam rangka mitigasi bencana.

Dalam uraian pasal berikutnya terdapat penjelasan mengenai kelima poin yang disebutkan
dalam pasal 13 diatas, yaitu sebagai berikut :

3-13
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Pasal 14

Kerja sama yang mempunyai pengaruh penting terhada kedaulatan negara dan pertahanan
keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, meliputi:

a. pemetaan dan pemasangan patok batas negara;


b. pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan/pos lintas batas;
c. pembangunan dan/atau pemeliharaan dermaga kapal patroli perbatasan;
d. pembangunan dan/atau pemeliharaan Menara komunikasi pertahanan negara;
e. pembangunan dan/atau pemeliharaan radar;
f. pembangunan dan/atau pemeliharaan helipad;
g. area latihan militer;
h. jalan lintas provinsi; dan
i. latihan militer.

Pasal 15

1) Kerja sama berupa pemanfaatan dan pengembangan sarana komunikasi dan


pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, meliputi pembangunan
dan/atau pemeliharaan:

a. menara komunikasi;

b. pos pengawasan dan pengamanan;

d. jalan setapak untuk kegiatan pengawasan dan pemeliharaan sarana komunikasi;

e. rumah genset/solar cell; dan

f. jaringan kabel/serat optik baik yang berada di bawah tanah, perairan dan laut.

2) Rumah genset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dibangun di bawah tanah
guna menghindari/mengurangi kebisingan.

Pasal 17A

Kerja sama mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e, dapat berupa
sarana dan prasarana mitigasi bencana meliputi:

a. jalur evakuasi;

b. pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir;

c. normalisasi sungai;

3-14
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

d. pembangunan embung air;

e. alat pendeteksi aktivitas gunung berapi;

f. bangunan yang bersifat penahan/tanggul;

g. pemasangan sistem peringatan dini; dan

h. pelatihan kesiapsiagaan bencana.

Sesuai dengan uraian diatas maka disimpulkan bahwa kegiatan hunian bukan bagian dari
kegiatan strategis yang dikecualikan diizinkan dibangun di area perairan, oleh karena itu
dalam penentuan lokasi rumah susun di Kabupaten Kepulauan Seribu agar diperhatikan
mengenai aturan tersebut.

3.3 REVIEW KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH DAN KEPALA DAERAH


3.3.1 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG
BANGUNAN GEDUNG

Dalam peraturan ini menjelaskan definisi dari bangunan gedung adalah wujud fisik hasil
pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus. Untuk
menentukan fungsi dan klasisifikasi bangunan Gedung harus sesuai dengan peruntukan
lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR, peraturan zonasi, dan/atau panduan rancnag kota.
Selanjutnya, fungsi dan klasifikasi bangunan Gedung juga diusulkan oleh pemilik bangunan
Gedung dalam pengajuan permohonan IMB. Salah satu fungsi bangunan Gedung sebagai
hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal manusia, meliputi:
a. Rumah tinggal tunggal;
b. Rumah tinggal deret;
c. Rumah tinggal susun; dan
d. Rumah tinggal sementara.

Untuk klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pada beberapa aspek, antara
lain:
a. Tingkat kompleksitas;
b. Tingkat permanensi;
c. Tingkat risiko kebakaran;

3-15
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

d. Zonasi gempa;
e. Lokasi;
f. Ketinggian; dan/atau
g. Kepemilikan.

Pada klasifikasi berdasarkan ketinggian ini memiliki skala bertingkat rendah, desang, dan
tinggi (sesuai dengan kebutuhan hunian di Kabupaten Kepulauan Seribu yang direncanakan
akan memiliki tingkat yang tinggi atau rumah susun).

Untuk bangunan gedung dengan fungsi hunian tempat tinggal minimal memiliki ruang (terdiri
dari ruang penggunaan pribadi, ruang bersama, dan ruang pelayanan). Selain itu, dapat
pula ditambahkan ruang penunjang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kegiatan peghuni
sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama sebagai hunian. Perencanaan
bangunan gedung fungsi hunian harus mengacu beberapa hal seperti:
a. Pada ruang rongga atap harus memiliki penghawaan dan pencahayaan alami yang
memadai;
b. Harus memiliki sistem pengendalian asap kebakaran dan harus dilindungi dengan
instalasi hidran kering maupun tandon kering sesuai ketentuan SNI;
c. Harus dilengkapi dengan sistem dan/atau peralatan bagi pemeliharaan dan perawatan
bangunan gedung yang tidak mengganggu serta membahayakan lingkungan;
d. Bangunan gedung lebih dari 4 lantai harus menyediakan cerobong (shaft) untuk
penempatan jaringan mekanikal elektrikal dan jaringan perpipaan sesuai SNI yang
berlaku;

Sedangkan untuk SLF bangunan gedung hunian memiliki ketentuan masing-masing masa
berlakunya, antara lain:
a. Masa berlaku SLF untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana
dan rumah deret sederhana tidak dibatasi.
b. Masa berlaku SLF bangunan gedung untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal
tunggal, dan rumah deret sampai dengan 2 (dua) lantai ditetapkan dalam jangka waktu
20 (dua puluh) tahun.
c. Masa berlaku SLF bangunan gedung untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal
tidak sederhana, bangunan gedung lainnya pada umumnya, dan bangunan gedung
tertentu ditetapkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

3-16
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

3.3.2 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RTRW
PROVINSI DKI JAKARTA

Dalam peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta No.1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah 2030 menjelaskan bahwa pembangunan daerah Jakarta diarahkan untuk
mewujudkan visi Jakarta sebagai :

Ibukota Negara yang Aman, Nyaman, Produktif, Berkelanjutan, Sejajar Dengan


Kota-Kota Besar Dunia, dan Dihuni Oleh Masyarakat Yang Sejahtera

Dalam mewujudkan visi tersebut, misi pembangunan daerah di antaranya sebagai berikut:

a. Membangun prasarana dan sarana kota yang manusiawi.


b. Mengoptimalkan produktivitas kota sebagai kota jasa berskala dunia.
c. Mengembangkan budaya perkotaan.
d. Mengarusutamakan pembangunan berbasis mitigasi bencana.
e. Menciptakan kehidupan kota yang sejahtera dan dinamis.
f. Menyerasikan kehidupan perkotaan dengan lingkungan hidup.

Salah satu tujuan penataan ruang Provinsi DKI Jakarta adalah terciptanya ruang wilayah
yang menyediakan kualitas kehidupan kota yang produktif dan inovatif. Salah satu strategi
yang dilakukan untuk menciptakan ruang wilayah tersebut, yaitu pengembangan kawasan
pusat kegiatan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing Kota Jakarta, penyediaan
prasarana, sarana dan utilitas di pusat kegiatan dan antar pusat kegiatan. Pusat kegiatan
pelayanan kota menurut hirarkinya, terdiri dari kawasan pusat kegiatan primer, sekunder,
dan tersier.

Dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta menjelaskan bahwa terdapat kebijakan di Kabupaten
Kepulauan Seribu sebagai perwujudan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang berkelanjutan, antara lain:
a. Pengelolaan dan pengendalian pembangunan kawasan pesisir dan pulau kecil dengan
mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan;
b. Pengembangan wilayah Kepulauan Seribu sebagai daerah tujuan wisata regional,
nasional, dan internasional serta penghasil komoditi perikanan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar lokal, nasional, dan internasional;
c. Penataan dan peningkatan kualitas lingkungan pada pulau-pulau permukiman yang ada;
dan
d. Pengembangan sistem prasarana dan sarana yang terintegrasi dengan sistem regional,
nasional, dan internasional.

3-17
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Sedangkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut diperlukan beberapa strategi, antara


lain:
a. Mengembangkan polar uang perairan/pesisir berdasarkan letak pulau, potensi
pengembangan sumber daya alam (darat dan perairan laut), dan keterkaitan
antarkegiatan sosial dan ekonomi;
b. Mengembangkan peruntukan ruang secara terpadu untuk mendukung pengembangan
fungsi utama polar uang perairan/pesisir;
c. Merehabilitasi pantai/pulau yang telah terabrasi;
d. Mempertahankan dan melestarikan kawasan lindung di daratan pulau dan perairan laut;
dan
e. Mengendalikan pemanfaatan ruang Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

A. Rencana Struktur Ruang


1. Sistem dan jaringan transportasi laut
Pada pasal 38 ayat (1) ini menjelaskan adanya pengembangan tatanan
kepelabuhan berupa Pelabuhan laut sesuai dengan fungsinya, berlokasi di
Pelabuhan Kepulauan Seribu. Dalam pengembangan Pelabuhan laut merupakan
bagian integral dari penataan ruang wilayah dengan mempertimbangkan kapasitas
prasarana penunjangnya.

2. Sistem dan Jaringan Energi


a. Sistem Ketenagalistrikan
Pada pasal 60 ayat (1) menjelaskan pengembangan sistem ketenagalistrikan,
antara lain:
 Membangun baru dan memperbaiki prasarana ketenagalistrikan yang sudah
tidak berfungsi baik secara bertahap dan berdasarkan skala prioritas sesuai
rencana struktur ruang;
 Mengembangkan sumber daya energi ketenagalistrikan yang ramah lingkungan
dan pemanfaatan suber energi terbarukan;
 Mengembangkan kabel bawah laut untuk mengoptimalkan pelayanan
ketenagalistrikan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
 Meningkatkan keandalan dan kesinambungan pasokan listrik untuk
mengantisipasi beban puncak, banjir, dan gangguan pada sistem yang ada; dan
 Meningkatkan upaya penghematan energi oleh semua pengguna.

3-18
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

b. Sistem Prasarana Bahan Bakar Gas


Pada 61 ayat (1) menjelaskan pengembangan sistem prasarana bahan bakar gas,
antara lain:
 Mengembangkan jaringan pipa gas bawah tanah guna meningkatkan pelayanan
di kawasan industri, permukiman, perkantoran, perdagangan, dan jasa sesuai
rencana struktur ruang;
 Mengembangkan fasilitas pengolahan migas hilir di perairan Kepulauan
Seribu untuk memenuhi kebutuhan pasokan (supply) gas dengan
memperhatikan aspek keamanan terhadap pelayaran dan dampaknya
terhadap perairan;
 Membangun stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) untuk melayani
angkutan umum; dan
 Meningkatkan konversi energi dari bahan bakar minyak menjadi bahan bakar
gas.

B. Rencana Pola Ruang


Dalam pasal 70 ini menjelaskan bahwa Taman Nasional Kepulauan Seribu termasuk
sebagai kawasan pelestarian alam. Selanjutnya pada pasal 70 ayat (2) Taman Nasional
ditetapkan dengan ketentuan:
 Memiliki ekosistem pesisir yang lengkap berupa ekosistem pantai, ekosistem
mangrove, padang lamun dan terumbu karang;
 Memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara
alami;
 Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik berupa jenis tumbuhan, stwa, biota
laut langka, dan ekosistem, serta gejala alam yang masih utuh;
 Memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat didalamnya yang secara materi
atau fisik tidak boleh diubah; dan
 Memiliki keadaan alam yang asli dan memliki estetika untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam.

Sedangkan untuk kawasan lindung geologi di Kab. Kepulauan Seribu ini berupa
kawasan cagar alam geologi yang memiliki keunikan batuan dan koral berupa kawasan
terumbu karang dan padang lamun.

C. Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Kepulauan Seribu

3-19
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Untuk pusat tersier di Kab. Kepulauan Seribu ini berada di Pulau Tidung, Pulau Kelapa,
Pulau Harapan, dan Pulau Sebaru Besar. Penggunaan utama daratan pulau di Kab.
Kepulauan Seribu ini mencakup perumahan, perkantoran pemerintahan, dan kegiatan
ekonomi. Sedangkan sebaran kawasan permukiman di Kab. Kepulauan Seribu ini,
berada di:
 Pulau Untung Jawa;  Pulau Panggang;
 Pulau Lancang Besar;  Pulau Kelapa;
 Pulau Payung Besar;  Pulau Harapan;
 Pulau Tidung Besar;  Pulau Kelapa Dua; dan
 Pulau Pari;  Pulau Sebira.
 Pulau Pramuka;

Untuk Pulau sebagai kawasan taman arkeologi di Kab. Kepulauan Seribu ini, antara lain:
 Pulau Bidadari;
 Pulau Cipir;
 Pulau Onrust; dan
 Pulau Kelor.

3.3.3 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG


RPJMD PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2017-2022

Visi pembangunan Provinsi DKI Jakarta yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) lima tahun mendatang (2017-2022) yaitu :

Jakarta Kota Maju, Lestari dan Berbudaya Yang Warganya Terlibat Dalam
Mewujudkan Keberadaban, Keadilan dan Kesejahteraan Bagi Semua

Visi ini selaras dengan Visi RPJMN 2015-2019 yang bertujuan mewujudkan Indonesia yang
berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong dalam hal menciptakan
masyarakat yang berkepribadian, berjiwa gotong royong, dan masyarakat yang memiliki
keharmonisan antarkelompok sosial, serta pertumbuhan ekonomi yang berorientasi
kesejahteraan dengan berlandaskan pada keunggulan sumber daya manusia serta
kemampuan IPTEK.

Visi tersebut dijelaskan kembali melalui Misi RPJMD yang dijabarkan sebagai berikut:

3-20
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

a. Menjadikan Jakarta Kota yang aman, sehat, cerdas, berbudaya, dengan memperkuat
nilai-nilai keluarga dan memberikan ruang kreativitas melalui kepemimpinan yang
melibatkan, menggerakkan dan memanusiakan;
b. Menjadikan Jakarta Kota yang memajukan kesejahteraan umum melalui terciptanya
lapangan kerja, kestabilan dan keterjangkauan kebutuhan pokok, Meningkatnya keadilan
sosial, percepatan pembangunan infrastruktur, kemudahan investasi dan berbisnis, serta
perbaikan pengelolaan tata ruang;
c. Menjadikan Jakarta tempat wahana aparatur negara yang berkarya, mengabdi, melayani,
serta menyelesaikan berbagai permasalahan kota dan warga secara efektif, meritokratis
dan berintegritas;
d. Menjadikan Jakarta kota yang lestari, dengan pembangunan dan tata kehidupan yang
memperkuat daya dukung lingkungan dan sosial; dan
e. Menjadikan Jakarta ibukota yang dinamis sebagai simpul kemajuan Indonesia yang
bercirikan keadilan, kebangsaan dan kebhinekaan.

3.3.4 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 135 TAHUN 2019 TENTANG
PEDOMAN TATA BANGUNAN

Dalam peraturan ini menjelaskan beberapa ketentuan yang harus diterapkan pada
bangunan gedung dengan fungsi hunian. Adapun beberapa ketentuan yang diatur untuk
bangunan gedung fungsi hunian, natra lain:

a. Pemecahan atau penggabungan lahan perencanaan hunian dapat dilakukan dengan


mengikuti ketentuan batasan luas pada sub zona yang diatur dalam RDTR dan PZ
kecuali pada kawasan yang perpetakan/perkavelingannya sudah ditetapkan dalam
rencana kota dan pada kawasan pelestarian/cagar budaya;
b. Jalan yang ada dan tidak merupakan rencana jalan dengan lebar kurang dari 4 m untuk
fungsi hunian tidak dikenakan ketentuan GSB dan diberikan GSB 0 (nol);
c. Sungai, kali dan/atau saluran air dengan lebar kurang dari atau sama dengan 18 m
(delapan belas meter), GSB setengah kali lebar sungai kecuali untuk fungsi hunian
minimum 4 m dihitung dari GSS;
d. Sungai, kali dan/atau saluran air dengan lebar lebih dari 18 m(delapan belas meter),
besar GSB 10 m kecuali pada fungsi hunian minimum 5 m (lima meter) dihitung dari
GSS;
e. Untuk peletakan pagar Posisi pagar diperkenankan terletak pada batas lahan
perencanaan (Property Right), Pagar tidak boleh membentuk sudut pada tikungan
(hoek), Bangunan gedung yang ditentukan sebagai arkade tidak diperbolehkan
menggunakan pagar.

3-21
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

f. Letak pintu untuk kendaraan bermotor roda empat pada lahan perencanaan yang
membentuk sudut tikungan untuk fungsi hunian diberi jarak minimum 8 m dari titik
belok, dan untuk fungsi non-hunian dihitung 20 m dari titik belok.

Gambar 3. 1 Ilustrasi Peletakan Pagar untuk Fungsi Hunian


Sumber: PerDa DKI Jakarta No. 135/2019

g. Apabila pagar merupakan dinding bangunan fungsi hunian bertingkat atau berfungsi
sebagai pembatas pandangan, maka tinggi tembok/dinding diperkenankan maksimum 7
m dari permukaan tanah pekarangan.

Gambar 3. 2 Ilustrasi Ketentuan Tinggi Pagar Fungsi Hunian Bertingkat


Sumber: PerDa DKI Jakarta No. 135/2019

h. Tinggi pagar pada GSJ dan antara GSJ dengan GSB pada bangunan fungsi hunian
maksimum 1,50 m di atas permukaan tanah pekarangan; dan

3-22
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Gambar 3. 3 Ilustrasi Ketentuan Tinggi Pagar Bangunan Hunian Maksimal 1,5 M


Sumber: PerDa DKI Jakarta No. 135/2019

i. Fungsi ruang di bawah permukaan tanah bukan untuk fungsi utama hunian (seperti
kamar tidur, dapur, ruang tamu/keluarga).

Pemafaatan Ruang di Kabupaten Kepulauan Seribu

Untuk Pemafaatan Ruang di Kabupaten Kepulauan Seribu yang berkaitan dengan


kebutuhan pembangunan rumah susun ini, meliputi:

a. Pemanfaatan Ruang di Kepulauan Seribu dilakukan di daratan pulau, di atas laut


dangkal dan/atau laguna sampai batas tubir karang yang mengelilingi pulau menjadi
satu kesatuan perencanaan atas pulau yang terintegrasi;
b. Pemanfaatan pulau diperuntukan untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata, perumahan
dan permukiman, cagar alam dan penelitian, pertahanan dan keamanan, pemerintahan
dan fasilitas umum serta pertambangan;
c. Dalam pemanfaatan pulau harus menyediakan akses berupa jeti ke pulau-pulau
sebagai pintu masuk ke pulau dan laut dangkal di sekitar pulau serta menjadi akses
utama ke dalam pulau;
d. Pengerukan pantai dilakukan hanya untuk penyediaan akses utama pulau dan harus
mendapatkan izin dari instansi yang berwenang;
e. Hasil pengerukan pantai/laut dangkal dapat dimanfaatkan kembali untuk perbaikan
pantai dan pulau;
f. Area yang tidak boleh adalah area mangrove, area berawa/berlumpur, lamun dan area
rumah coral hidup, serta area lain yang telah diatur dalam peraturan perundangan;
g. Pemanfaatan di daratan pulau di Kepulauan Seribu:
 Pemanfaatan pulau di Kepulauan Seribu mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan
dalam RDTR dan PZ;

3-23
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

 Ketentuan tata bangunan di Kepulauan Seribu mengikuti ketentuan yang ditetapkan


dalam pedoman ini;
 Setiap pemanfaatan pulau harus dilengkapi gambar pulau yang diajukan beserta
gambar laut dangkalnya atau laguna yang dilengkapi dengan kajian;
 Luas lahan perencanaan daratan pulau dihitung mulai dari garis batas pasang laut
tertinggi;
 Ketinggian peil lantai dasar di atas permukaan tanah kering (daratan pulau) paling
kecil 1,5 m (satu koma lima meter) di atas pasang laut tertinggi;
 Wajib menyediakan tempat penampungan air hujan untuk diolah dan dimanfaatkan
kembali; dan
 Wajib menyediakan fasilitas pengolahan sampah dan pengolahan air limbah secara
mandiri.
h. Pemanfaatan Ruang di atas permukaan laut dangkal atau laguna;
 Perairan laut dangkal atau laguna merupakan daerah perairan disekeliling pulau
yang relatif dangkal dengan kedalaman ± 20 cm sampai dengan 6 m;
 Perairan laut dangkal/laguna merupakan bagian dari daratan pulau yang terintegrasi
dalam pengembangan pulau yang tidak dapat dipisahkan dengan daratannya;
 Pemanfaatan perairan laut dangkal harus memperhatikan, menjaga dan
memelihara keberadaan mangrove, area berawa/berlumpur (swampy land), lamun
dan keberadaan coral hidup;
 Pemanfaatan di atas permukaan laut dangkal atau laguna harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1) berada pada pulau yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
 berada di antara garis surut air laut terendah sampai batas tubir karang; dan
 terumbu karang pada dasar perairan laut dangkal memiliki kawasan perairan
laut dangkal atau yang atau laguna yang sudah rusak/mati atau sudah
berupa pasir, sesuai dengan kajian amdal.
2) area perairan laut dangkal yang dapat dikelola oleh pemegang hak pengelolaan
pulau yang telah memiliki izin prinsip pemanfaatan ruang;
3) luas lantai dasar dan luas lantai keseluruhan bangunan yang boleh didirikan di
atas permukaan air laut dangkal paling besar sama dengan luas lantai bangunan
yang boleh didirikan di atas daratan pulau;
4) bangunan yang diperuntukkan sebagai penunjang pariwisata dan prasarana
dan/atau sarana yang berada di perairan laut dangkal dan menutupi muka pantai
adalah paling besar 50% (lima puluh persen) dari panjang pantai yang boleh

3-24
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

dikelola kecuali pada area yang tidak boleh dimanfaatkan area mangrove, area
berawa/berlumpur, lamun dan area rumah coral hidup, serta area lain yang telah
diatur dalam peraturan perundangan;
5) bangunan yang berdiri di atas perairan laut dangkal harus berbentuk
panggung, dari struktur yang ringan seperti kayu atau yang setara, dengan
pondasi sampai ke landasan keras, dan untuk struktur apung maka harus
memenuhi kriteria struktur terapung dengan berpegangan pada suatu stuktur
yang mempunyai pondasi sampai landasan keras dan tidak dapat dimanfaatkan
sebagai bangunan hunian tetap/permanen;
6) jarak areal pengelolaan pemanfaatan laut dangkal beberapa pulau yang
berdekatan dihitung sama besar;
7) setiap pemanfaatan perairan laut dangkal di kepulauan seribu harus menjaga,
memelihara dan menyehatkan coral dalam laguna;
8) ketinggian bangunan di atas permukaan laut dengan puncak atap adalah paling
tinggi 12 m (dua belas meter);
9) ketinggian peil lantai dasar untuk bangunan di atas permukaan laut dangkal atau
laguna paling kecil 2 m (dua meter) dari pasang laut tertinggi;
10) bangunan terjauh yang boleh didirikan paling jauh 12 m (dua belas meter) di
belakang batas tubir karang;
11) pemanfaatan pulau dan laut dangkal untuk kegiatan rekreasi/wisata wajib
menyediakan sarana penunjang seperti jeti, restoran, villa, resepsionis dan lain-
lain;
12) setiap pemanfaatan di atas permukaan laut dangkal (laguna) harus menyediakan
jaringan utilitas untuk air kotor/limbah dan sampah yang dihubungkan ke daratan
pulau untuk diolah dan perletakannya harus terkamuflase;
13) limbah cair/lumpur dan sampah tidak boleh dibuang langsung ke laut/perairan
lainnya, dan harus diolah di dalam pulau;
14) ruang tunggu penumpang dan/atau ruang penyambutan yang dibangun antara
lain dalam bentuk restoran, kantor penerimaan tamu (front office), dan kios
cinderamata dapat didirikan di atas permukaan laut atau di daratan pulau diluar
sempadan pantai, luas lantai dasarnya diperhitungkan dalam perhitungan KDB
keseluruhan atas areal daratan yang boleh dikelola dan/atau dimanfaatkan; dan
15) luas lantai keseluruhan ruang tunggu penumpang disebut pada angka 14 di atas
diperhitungkan di dalam perhitungan KLB atas areal daratan yang boleh dikelola
dan/atau dimanfaatkan;

3-25
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

3.3.5 PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA NOMOR 27 TAHUN 2009


TENTANG PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA

Dalam peraturan ini menjelaskan bahwa Rumah Susun Sederhana (Rusuna) merupakan
rumah susun yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Untuk menetapkan lokasi sebagai Rusuna dapat diusulkan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, masyarakat maupun pengembangan dengan mempertimbangkan
RTRW Provinsi DKI Jakarta. Adapun persayaratan dalam pembangunan rumah susun
sederhana ini, antara lain:
1. Tersedianya sarana dan prasarana, berupa:
b. Rencana jalan minimal 12 meter dan lebar badan jalan eksisting minimal 8 meter;
c. Saluran air dengan sistem drainase yang baik;
d. Jalur angkutan umum menuju lokasi; dan
e. Terjangkau pelayanan jaringan utilitas kota.
2. Berada pada kawasan peremajaan lingkungan dan pembangunan baru;
3. Terhadap pembangunan rusuna pada kawasan peremajaan, maka masyarakat yang
tinggal pada kawasan tersebut mendapat prioritas untuk menempati Rusuna yang akan
dibangun dan dikembangkan;
4. Pola pengembangan dan pembangunan rusuna dibatasi maksimal denga luas lahan 3
Ha;
5. Pada daerah yang memiliki potensi strategis dapat diberikan insentif berupa
pengembangan dan pembangunan rusuna lebih dari 3 Ha dengan terlebih dahulu
mendapat persetujuan Gubernur dan dikenakan kewajiban tambahan berupa sarana dan
prasarana kota sebagai bentuk kontribusi terhadap kota yang besarnya ditetapkan
kemudian;
6. Perencanaan rusuna diwajibkan menyediakan fasum/fasos paling sedikit 50%;
7. Menyediakan ruang terbuka yang besarannya 2 m2/jiwa (sebagai ruang gerak pribadi)
berada pada halaman dan/atau bangunan dan berfungsi juga sebagai ruang terbuka
evakuasi bencana;
8. Menyediakan sarana dan prasarana bagi penyandang cacat;
9. Perencanaan pada lantai dasar bangunan hanya untuk fungsi sarana penunjang dan
fasum/fasos dengan luas paling banyak 50% dan sisanya sebagai ruang terbuka tanpa
dinding;
10. Setiap 10 unit hunian menyediakan lokasi parkir 1 unit mobil dan 5 unit motor dalam
halaman persil dan/atau bangunan;
11. Perhitungan jumlah penghuni berdasarkan luas lantai, setiap luas lantai hunian 45 m2 (4
jiwa);

3-26
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

12. Permukaan atap bangunan dibangun sebagai taman (roof garden) dan difungsikan
sebagai ruang publik; dan
13. Pada lokasi yang termasuk dalam Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan
(KKOP) diperlukan rekomendasi dari Instansi berwenang.

Rencana pembangunan Rusuna dapat dilaksanakan pada semua jenis peruntukan, kecuali
pada peruntukan ruang hijau, fasilitas umum, prasarana dan kawasan pemugaran. Adapun
pemberian insentif oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pembangunan rusuna bagi
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan berpenghasilan rendah (berupa
pemberian KLB). Adapun pemberian KLB terbagi dalam tiga tipologi, antara lain:
1. Tipologi 1 (PSL Padat) :
a. Luas daerah perencanaan minimal 4.000 m2 dan maksimal 30.000 m2;
b. Kepadatan penduduk paling tinggi 3.500 jiwa/Ha dan KLB maksimal 3,5; dan
c. Kepadatan penduduk maksimal 4.000 jiwa/Ha dengan KLB maksimal 4 diizinkan
pada lokasi yang berdekatan dengan terminal/stasiun/halte yang terkait dengan
pengembangan sistem angkutan transportasi umum dalam radius 400 meter.
2. Tipologi 2 (PSL Kurang Padat)
a. Luas daerah perencanaan minimal 10.000 m2 dan maksimal 30.000 m2;
b. Kepadatan penduduk paling tinggi 3.000 jiwa/Ha dan KLB maksimal 3; dan
c. Kepadatan penduduk maksimal 3.500 jiwa/Ha dengan KLB maksimal 3,5 diizinkan
pada lokasi yang berdekatan dengan terminal/stasiun/halte yang terkait dengan
pengembangan sistem angkutan transportasi umum dalam radius 400 meter.
3. Tipologi (PSL Tidak Padat)
a. Luas daerah perencanaan minimal 10.000 m2 dan maksimal 30.000 m2;
b. Kepadatan penduduk paling tinggi 2.500 jiwa/Ha dan KLB maksimal 2,5; dan

Kepadatan penduduk maksimal 3.000 jiwa/Ha dengan KLB maksimal 3 diizinkan pada lokasi
yang berdekatan dengan terminal/stasiun/halte yang terkait dengan pengembangan sistem
angkutan transportasi umum dalam radius 400 meter.

3.3.6 PERATURAN GUBERNUR DKI JAKARTA NOMOR 31 TAHUN 2022 TENTANG


REVISI RDTR WILAYAH PERENCANAAN PROVINSI DKI JAKARTA

Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa Kabupaten Kepulauan Seribu sebagai Sub
Wilayah Perencanaan (SWP) memiliki luas daratan pulau kurang lebih 1.101,25 Ha.
Selanjutnya, untuk Sup Pusat Pelayanan Kota/Kawasan Perkotaan Kabupaten Kepulauan
Seribu ini berada di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan

3-27
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Seribu Utara. Adapun penjelsan dari masing-masing komponen yang ada dalam rencana
struktur ruang dan rencana polar uang di Kabupaten Kepulauan Seribu ini, antara lain:

A. Rencana Struktur Ruang


1. Rencana Pengembangan Pusat Pelayanan
a) Pusat Pelayanan Adminitrasi Pemerintahan
Untuk Kabupaten Kepulauan Seribu ini termasuk Sub Pusat Pelayanan
Kota/Kawasan Perkotaan yang berada di Kantor Bupati Kab. Kepulauan Seribu.
Selain itu, untuk Pusat Pelayanan Lingkungannya berada di SWP Kab.
Kepulauan Seribu.
b) Pusat Pelayanan Sosial Ekonomi Berbasis Transit
Untuk pusat pelayanan sosial ekonomi berbasis transit di Kab. Kepulauan Seribu
ini berada di Pulau Pramuka (Sub Pusat Pelayanan Kota/Kawasan Perkotaan).

2. Rencana Jaringan Transportasi


a) Jaringan Jalan
Untuk rencana jaringan jalan di Kab. Kepulauan Seribu ini berupa jalan
lingkungan sekunder (dalam komplek perumahan dan kawasan permukiman).
b) Jembatan
Untuk jembatan di Kab. Kepulauan Seribu ini lebih berfungsi untuk
penyeberangan orang dan penghubung transportasi dengan daratan di pulau.
c) Pelabuhan
Untuk Pelabuhan Pengumpan Regional berada di Pelabuhan Pulau Pramuka,
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Sedangkan Pelabuhan Pengumpan Lokal
yang ada di SWP Kab. Kepulauan Seribu, antara lain:
 Pelabuhan Pulau Panggang di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Kelapa di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Harapan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Macan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Putri di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Sepa di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Pelangi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Kelapa Dua di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Sebira di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 Pelabuhan Pulau Tidung di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 Pelabuhan Pulau Payung di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 Pelabuhan Pulau Pari di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;

3-28
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

 Pelabuhan Pulau Lancang di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;


 Pelabuhan Pulau Untung Jawa di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 Pelabuhan Pulau Ayer di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 Pelabuhan Pulau Onrust di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan; dan
 Pelabuhan Pulau Bidadari di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.

Terdapat Pelabuhan Penyeberangan Kelas II dan Kelas III di Kab. Kepulauan


Seribu ini, antara lain:

 Pelabuhan Penyeberangan Kelas III Pulau Pramuka di Kecamatan


Kepulauan Seribu Selatan pada SWP Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu;
 Pelabuhan Penyeberangan Kelas III Pulau Kelapa di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara pada SWP Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
 Pelabuhan Penyeberangan Kelas III Pulau Untung Jawa di Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan pada SWP Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu; dan
 Pelabuhan Penyeberangan Kelas III Pulau Tidung di Kecamatan Kepulauan
Seribu Selatan pada SWP Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Selain itu, ada Pelabuhan perikanan di Pulau Pramuka diKecamatan Kepulauan


Seribu Utara pada SWP Kab. Kepulauan Seribu.

d) Alur Pelayaran
Untuk alur pelayaran di Kab. Kepulauan Seribu pada Kelas II, antara lain:
 alur pelayaran Ancol-Pulau Pantara;
 alur pelayaran Ancol-Pulau Ayer;
 alur pelayaran Ancol-Pulau Bira;
 alur pelayaran Tanjung Priok- ulau Tunda;
 alur pelayaran Tanjung Priok ke wilayah utara Indonesia;
 alur pelayaran Ancol-Pulau Kotok;
 alur pelayaran Banten-Pulau Lancang;
 alur pelayaran Banten-Pulau Tidung;
 alur pelayaran Banten-Pulau Pari;
 alur pelayaran Banten-Pulau Pari 2;
 alur pelayaran Banten-Pulau Tidung;
 alur pelayaran Banten-Pulau Untung Jawa; dan
 alur pelayaran Pantai Mutiara-Pulau Tidung.

3-29
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Sedangkan untuk alur pelayaran kelas III di SWP Kab. Kepulauan Seribu ini,
antara lain:

 alur pelayaran Ancol-Pulau Untung Jawa-Pulau Tidung;


 alur pelayaran Pulau Tidung-Pulau Panggang;
 alur pelayaran Pulau Karya-Pulau Opak Besar-Pulau Kelapa;
 alur pelayaran Pulau Kelapa-Pulau Sabira;
 alur pelayaran Banten-Pulau Laki; dan
 alur pelayaran Ancol-Pulau Kelor.

Alur pelayaran kepulauan Indonesia terdiri atas perlintasan wilayah barat dan
timur Indonesia di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara pada SWP Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu.

3. Rencana Jaringan Energi


Terdapat pipa distribusi di SWP Kab. Kepulauan Seribu yang berfungsi untuk
menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi /tempat penyimpanan.
Sedangkan untuk energi listrik yang ada di SWP Kab. Kepulauan Seribu ini
menggunakan jaringan pipa/kabel bawah laut sebagai penyaluran tenaga listrik.
Selanjutnya untuk distribusi listri dari jaringan kabel bawah laut akan melalui gardu
hubung dan gardu distribusi. Adapun jaringan energi alternatif yang digunakan di
Kab. Kepulauan Seribu ini berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau
Sebira, Kec. Kepulauan Seribu Utara.

4. Rencana Jaringan Telekomunikasi


Untuk jaringan telekomunikasi di SWP Kab. Kepulauan Seribu ini menggnakan
jaringan serat optik dan jaringan fixed line (kabel telekomunikasi bawah laut). Untuk
kabel telekomunikasi bawah laut di SWP Kab. Kepulauan Seribu ini, terdiri atas:
 alur kabel telekomunikasi Perairan Teluk Jakarta;
 alur kabel telekomunikasi Kepulauan Seribu Menuju Utara;
 alur kabel telekomunikasi Kepulauan Seribu Bagian Barat; dan
 alur pipa koridor Kepulauan Seribu Selatan menuju barat dan timur.

Sedangkan untuk jaringan bergerak seluler yang dikategorikan sebagai Menara


Base Transceiver Station (BTS) juga dikembangkan di beberapa titik SWP Kab.
Kepulauan Seribu.

3-30
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

5. Rencana Jaringan Sumber Daya Air


Sistem pengendali banjir di SWP Kab. Kepulauan Seribu berupa bangunan
pengendali banjir. Untuk kebutuhan air baku di lokasi ini menggunakan Instalasi
Pengolahan Air (IPA) dengan sistem SWRO yang terhubung dengan permukiman
dan pulau wisata. Adapun sebaran IPA rencana dan eksisting di SWP Kab.
Kepulauan Seribu ini, antara lain:
 IPA SWRO Pulau Untung Jawa di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Payung di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Tidung di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Lancang di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Untung Jawa di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Lancang di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Pari di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Tidung di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan;
 IPA SWRO Pulau Pramuka di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 IPA SWRO Pulau Panggang di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 IPA SWRO Pulau Kelapa Dua di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 IPA SWRO Pulau Kelapa di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 IPA SWRO Pulau Harapan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 IPA SWRO Pulau Sebira di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara;
 IPA SWRO Pulau Karya di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara; dan
 IPA SWRO Pulau Pramuka di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
Selain itu, terdapat terminal air di SWP Kab. Kepulauan Seribu dan lingkungan
hunian yang belum terlayani jaringan transmisi air baku dan jaringan transmisi air
minum.

6. Rencana Jaringan Persampahan


Terdapat pengelolaan sampah melalui TPS dan TPS 3R di SWP Kab. Kepulauan
Seribu. Untuk keberadaan TPS 3R SWP Kab. Kepulauan Seribu ini terletak di Pulau
Tidung (Kec. Kepulauan Seribu Selatan) dan Pulau Sebira (Kec. Kepulauan Seribu
Utara). Selain itu, terdapat pula dermaga apung di Pulau Untung Jawa dan Pulau
Panggang sebagai sarana pengumpulan sampah (Pelabuhan bagi kapal pengangkut
sampah dan kapal pengawas laut).

3-31
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

7. Rencana Jaringan Prasarana Lainnya


Untuk jaringan prasarana lainnya di SWP Kab. Kepulauan Seribu ini terdapat Jalur
evakuasi bencana, tempat evakuasi sementara, jaringan pejalan kaki, jalur sepeda,
dan pengaman pantai.

B. Rencana Pola Ruang


Zona pelestarian cagar budaya di SWP Kab. Kepulauan Seribu ini berada di Kawasan
Pulau Onrust, Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Bidadari. Kegiatan pelestarian cagar
buadaya dapat dilakukan dengan pemeliharaan, perawatan, dan pemugaran.

3.3.7 RANCANGAN PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA TENTANG RZWP3K


(RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL) PROVINSI
DKI JAKARTA

A. Visi Pengelolaan

Visi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi DKI Jakarta seperti yang tertuang
dalam Renstra Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKI Jakarta adalah:

“DKI Jakarta 2030, Kota Pantai yang Produktif, Indah dan Nyaman”

B. Misi Pengelolaan

Misi adalah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan suatu visi dan melalui misi ini
diharapkan dapat diwujudkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bagi kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan. Misi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil DKI
Jakarta yang tertuang dalam Renstra Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKI Jakarta diantaranya
adalah:
1) Mewujudkan tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil DKI Jakarta yang
dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan
2) Meningkatkan kualitas dan peran serta masyarakat dan pemangku kepentingan
(stakeholders) lainnya untuk mengelola dan membangun wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil DKI Jakarta secara terpadu dan berkelanjutan.
3) Memelihara, memperbaiki dan meningkatkan daya dukung serta kualitas lingkungan
pesisir dan pulau-pulau kecil.
4) Mendorong pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimal,

3-32
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

berjelanjutan dan berkeadilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

C. Rencana Alokasi Ruang RZWP3K


Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya mengelompokkan kawasan, ke
dalam zona-zona yang sesuai dengan kondisi fisik, potensi dan fungsinya. Tujuan
penentuan zonasi adalah untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi dari
ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan
kawasan secara serasi, optimal dan berkelanjutan. Penyusunan rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil DKI Jakarta didasarkan atas Undang-Undang No 27 tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan turunanya yaitu
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.16/Men/2008
tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Menurut kedua peraturan tersebut, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
secara hirarki terdiri atas kawasan, zona, dan sub-zona. RZWP3K DKI Jakarta merupakan
arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI
Jakarta yang secara spasial diwujudkan dalam alokasi ruang. Alokasi ruang terbentuk dari
distribusi peruntukan ruang yang terdiri dari alokasi-alokasi ruang dengan fungsi-fungsi
tertentu.

Rencana alokasi ruang WP3K DKI Jakarta secara umum terbagi menjadi empat kawasan.
Pertama, yaitu kawasan pemanfaatan umum, digunakan sebagai zona pariwisata, zona
penangkapan, perikanan budidaya dan aktivitas pemukiman pesisir serta turunannya, dan
zona pemanfaatan tertentu. Kedua, yaitu, kawasan konservasi yang merupakan zona
pembatasan pemanfaatan sumber daya dan atau zona pelarangan pemanfaatan sumber
daya (preservasi). Ketiga, yaitu kawasan strategis nasional tertentu, digunakan untuk
tujuan primer tertentu, misalkan pangkalan militer, pelabuhan beserta turunannya.
Keempat, yaitu alur laut, digunakan sebagai jalur pipa dasar laut, jalur lintas kapal reguler
maupun internasional dan jalur migrasi ikan.

Berdasarkan analisis RZWP3K Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 – 2035 diperoleh arahan
pola ruang Provinsi DKI Jakarta. Arahan pola dan pemanfaatan ruang untuk kawasan
pesisir Provinsi DKI Jakarta belum dilakukan secara jelas, olehnya itu berdasarkan hasil
analisis draft rencana zonasi, maka rekomendasi untuk pola arahan dan pemanfaatan ruang
untuk kawasan pesisir Provinsi DKI Jakarta terdiri atas Kawasan Pemanfaatan Umum,

3-33
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Kawasan Konservasi, Kawasan Strategi Nasional Tertentu dan Alur.

Gambar 3.4 Rencana Alokasi Ruang Wilayah Pesisir DKI Jakarta

3-34
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Gambar 3.5 Rencana Alokasi Ruang Wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan

3-35
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Gambar 3.6 Rencana Alokasi Ruang Wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara

D. Prinsip Umum Pemanfaatan Ruang


Prinsip Umum dalam perubahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir adalah sebagai berikut :
1. Untuk Kawasan Konservasi, prinsipnya adalah perubahan penggunaan lahan di
kawasan konservasi harus memperhatikan kondisi fisik dan pemanfaatan ruang yang
ada, dan diusahakan seminimal mungkin mengganggu fungsi konservasi.
2. Untuk Kawasan Pemanfaatan Umum, prinsipnya antara lain:
 Kawasan awal diupayakan tetap dipertahankan, dan hanya dapat diubah ke fungsi
budidaya lainnya berdasarkan Peraturan Pengendalian Ruang tiap kabupaten/kota
yang bersangkutan.
 Perubahan penggunaan lahan ke hirarki guna lahan dengan tingkat gangguan yang
lebih rendah dari penggunaan sebelumnya dapat diperkenankan tanpa persyaratan
ketat.
 Perubahan penggunaan lahan ke hirarki guna lahan dengan tingkat gangguan yang
lebih berat dari penggunaan sebelumnya tidak dianjurkan.
 Perubahan penggunaan lahan ke hirarki guna lahan dengan tingkat gangguan yang
lebih berat hanya dapat diijinkan jika manfaatnya lebih besar dari bebannya,
mendapat persetujuan dari pihak yang terkena dampak, serta membayar denda dan
biaya dampak yang ditentukan.
 Perubahan penggunaan lahan dari lahan budidaya pertanian ke budidaya bukan-
pertanian (perkotaan) perlu dikendalikan atau dilarang sama sekali.

Sedangkan Prinsip Khusus dalam perubahan penggunaan lahan antara lain:


 Harus mencerminkan pertumbuhan ekonomi kota
 Merupakan antisipasi pertumbuhan kegiatan ekonomi perkotaan yang cepat
 Tidak boleh mengurangi kualitas lingkungan
 Tidak mengganggu ketertiban dan keamanan
 Tidak menimbulkan dampak yang mempengaruhi derajat kesehatan
 Tetap sesuai dengan azas perubahannya yaitu : keterbukaan, persamaan, keadilan,
perlindungan hukum, mengutamakan kepentingan masyarakat golongan sosial ekonomi
lemah
 Hanya perubahan-perubahan yang dapat ditoleransi saja yang diinginkan, karena ijin
perubahan tersebut akan dilegalkan di pengaturan berikutnya

Perubahan pemanfaatan ruang dapat dilakukan asalkan terpenuhi beberapa kriteria sebagai

3-36
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

berikut:
 Terdapat kesalahan peta dan/atau informasi yang ada dalam peraturan pengendalian
dan pemanfaatan ruang dan telah dibuktikan dalam suatu pengkajian tertentu
 Rencana yang disusun menyebabkan kerugian bagi masyarakat atau kelompok
masyarakat
 Rencana yang disusun menghambat pertumbuhan perekonomian kota
 Permohonan/usulan penggunaan lahan baru menjanjikan manfaat yang besar bagi
lingkungan

Adapun syarat perubahan pemanfaatan ruang antara lain:


 Dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat
 Tidak merugikan masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah
 Tidak membawa kerugian Pemerintah Daerah di masa kini dan masa mendatang
 Mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi perkotaan
 Memperhatikan kelestarian lingkungan
 Tetap sesuai dengan penggunaan lahan di blok peruntukan sekitarnya
 Tidak hanya menguntungkan satu pihak saja, sementara pemilik lahan sekitarnya
mengalami kerugian.

3.4 LITERATUR PENGELOLAAN RUMAH SUSUN


Rencana pembangunan rumah susun di Kepulauan Seribu merupakan yang pertama
sehingga isu pengelolaan menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Berikut
disampaikan mengenai beberapa literatur terkait pengelolaan rumah susun, hal ini agar
dapat diperhatikan oleh para stakeholder yang terlibat dalam pembangunan dan
pengelolaan rumah susun di Kepulauan Seribu.

3.4.1 KONSEP PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA

Pengelolaan rumah susun sederhana sewa adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi rumah susun sederhana sewa yang meliputi kebijakan penataan pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pengawasan dan pengendalian rumah susun sederhana
sewa. Dalam melaksanakan pengelolaan rusunawa diperlukan perencanaan yang matang
guna terselenggaranya pengelolaan yang baik. Menurut Friedman (1974: 5) perencanaan
adalah cara berpikir mengatasi masalah sosial dan ekonomi, untuk menghasilkan sesuatu di
masa depan. Sasaran yang dituju adalah keinginan kolektif dan mengusahakan keterpaduan
dalam kebijakan dan program. Perencanaan memerlukan pemikiran yang mendalam dan
dapat diterima oleh masyarakat, dalam hal ini perencanaan sosial dan ekonomi harus

3-37
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

memperhatikan aspirasi masyarakat dan melibatkan masyarakat baik secara langsung atau
tidak langsung.

Menurut conyers & Hills (1994) dalam Arsyad (1999:19) perencanaan adalah suatu proses
yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilhan berbagai
alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang
akan datang. Dalam mempertahankan keberadaan dan kelangsungan rumah susun
sederhana sewa dibentuk unit pengelola teknis (UPT), (Koeswahyono, 2004:89)

Pada umumnya semua unit pengelola tersebut memilki hak dan kewajiban yang telah
ditentukan sesuai dalam Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang Rumah
Susun. Secara umum model organisasi unit pengelola lokasi dibedakan dalam 2 (dua)
model sebagai berikut :

Model swakelola yaitu pengelola operasional merupakan bagian dari organisasi pemilik
atau yang mewakili pemilik rusunawa, yaitu unit pelaksana teknis (UPT) atau badan usaha
milik negara/daerah (BUMN/ BUMD) atau perhimpunan penghuni/ pemilik rusunawa atau
perusahaan swasta pengembang rusunawa.

Model kerjasama operasional yaitu pengelolaan operasional merupakan pihak ketiga, terdiri
dari konsultan properti, koperasi dan perhimpunan penguni, yang bermitra dengan
pemilik/yang mewakili pemilik/pemegang hak pengelolaan aset rusunawa untuk
melaksanakan tugas pengelolaan operasional rusunawa dalam jangka waktu yang
ditentukan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Struktur organisasi unit pengelola lokasi atau unit pelaksana teknis dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan organisasi dan lingkup pengelolaanya atau setidak-tidaknya
mempunyai bidang-bidang yang mengelola administrasi dan keuangan, teknis serta
persewaan, pemasaran dan pembinaan penghuni yang masing-masing dipimpin oleh
seorang asisten manajer. Untuk lebih jelas tentang susunan organisasi dapat dilihat dalam
gambar dibawah ini;

3-38
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Badan pengelola ini dapat dibentuk dari perhimpunan penghuni untuk mengurus
kepentingan bersama para pemilik dan penghuni, serta dapat membentuk atau menunjuk
badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi
pemeliharaan, perbaikan dan pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama (UU No. 16/1985). Pembentukan perhimpunan penghuni
disyahkan oleh Bupati atau Walikota.

Penghuni/ penyewa mempunyai hak-hak sebagai berikut :


 Menempati rusunawa untuk keperluan tempat tinggal
 Menggunakan fasilitas umum dan fasilitas sosial dalam lingkungan rumah susun
sederhana sewa
 Mengajukan keberatan atas pelayanan yang kurang baik oleh pengelola
 Mendapat penjelasan, pelatihan dan bimbingan terhadap pencegahan, pengamanan
dan penyelamatan terhadap bahaya kebakaran.

Kewajiban penghuni/ penyewa adalah sebagai berikut :


 Membayar sewa dan segala iuran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
 Membayar rekening listrik dan air bersih sesuai ketentuan.
 Membuang sampah setiap hari di tempat yg ditentukan
 Memelihara sarana rumah susun yang disewa dengan sebaik-baiknya.
 Mematuhi ketentuan tata tertib tinggal di rumah susun sederhana sewa.

Selain mempunyai hak dan kewajiban dalam memanfaatkan barang yang bersifat pribadi,
penghuni juga mempunyai hak atas barang bersama, benda bersama dan tanah bersama
yang merupakan fasilitas dari rumah susun yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 16
tahun 1985 tentang Rumah Susun berlaku atas sarana rumah susun yang dimiliki oleh

3-39
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

perseorangan atau badan hukum. Dalam hal kegiatan operasi dan pemeliharaan harus
dilaporkan secara berkala oleh Badan Pengelola kepada pemilik aset rumah susun
sederhana sewa dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, untuk itu pengawasannya
dibentuk badan pengawas yang bertugas sebagai pengawas penyelenggaraan Rusunawa
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dalam pengawasan pengelolaan aset milik
Pemerintah / Pemerintah Daerah.

3.4.2 KONSEP PENGELOLAAN OPTIMAL

Optimal adalah batasan pada tingkatan tertentu kondisi tersebut telah memenuhi standar
yang ditetapkan, dalam kajian ini optimal adalah pengelolaan yang sesuai dengan rencana
operasional (penerapan tata laksana dan prosedur serta kewajiban) dan perencanaan teknis
(kelayakan hasil pemeliharaan gedung sarana dan prasarana pendukungnya). Dep PU (2007).
Untuk mencapai pada kondisi optimal perlu mengupayakan agar suatu sumberdaya dapat
digunakan secara optimal, untuk itu diperlukan suatu proses. Optimasi adalah suatu proses
kolektif dalam mendapatkan suatu set kondisi yang disyaratkan untuk mencapai hasil yang
terbaik dari suatu situasi yang bersifat tertentu atau given (Beveridge dan Schecter, 1970).
Tujuan dari optimasi adalah untuk melakukan seleksi dari sekian banyak alternatif solusi
yang memungkinkan, sehingga dapat dihasilkan solusi yang terbaik, berkaitan dengan
kriteria yang
disyaratkan dalam optimasi tersebut. Oleh karena itu, pemilihan kriteria menjadi suatu
tahapan yang sangat pening dalam optimasi.

Komponen Optimal
Untuk mencapai tingkat optimal diperlukan suatu komponen, dalam pengelolaan rusunawa
komponen tersebut berupa :
 Pengoperasian, berada pada bagian pengelolaan teknis prasarana dan sarana, dalam
pengelolaan teknis ini bagaimana prasarana dan sarana direncanakan
pengoperasiannya, pemeliharaan dan perawatan serta utilitas terpasang dan dilakukan
monitoring dan evaluasi pada periode tertentu dengan selalu memperhatikan faktor
efisiensi dan efektifitas, serta selalu berkoordinasi dengan bagian pemasaran dan
pembiayaan.

 Pengorganisasian, berada pada bagian pengelolaan persewaan, pemasaran dan


pembinaan penghuni, dalam bagian ini melakukan tugas survey pasar dan menyusun

3-40
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

strategi pemasaran serta melaksanakannya sesuai kebutuhan hunian satuan hunian dan
satuan ruang non hunian berkoordinasi dengan bagian pengelolaan teknis serta dalam
pembiayaan berkoordinasi dengan bagian pengelolaan administrasi.

 Pembiayaan, berada pada bagian pengelolaan administrasi dan keuangan, pada bagian
administrasi dan keuangan melakukan perencanaan anggaran biaya untuk
terlaksananya sistem pengoperasian prasarana dan sarana, melakukan kontak
kerjasama kemitraan bila ada dan mengelola administrasi pembayaran uang sewa, serta
mengelola administrasi kepegawaian serta penggajian.

3.5 PRESEDEN RUMAH SUSUN NELAYAN


3.5.1 RUSUNAWA NELAYAN DI LOMBOK TIMUR

Gambar 3.7 Rusunawa Nelayan Lombok Timur


Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal
Penyediaan Perumahan telah meresmikan Rumah Susun Sewa untuk nelayan atau
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di pesisir labuhan Lombok. Rusunawa ini
menyediakan unit untuk disabilitas di lantai dasar, jika di unit lain terdapat 2 kamar mandi
maka untuk unit khusus ini ada 1 kamar mandi dan luas unit yang lebih besar. Total unit
rusun yang dialokasikan sebanyak 114 unit yang terdiri dari 5 lantai ini sudah difasilitasi
dengan meubelair, listrik dan air.

3.5.2 KAMPUNG SUSUN KAMPUNG AKUARIUM, JAKARTA

3-41
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

Gambar 3.8 Kampung Susun Kampung Akuarium

Kampung susun Akuarium terdiri dari 2 blok bangunan 5 lantai yang terdiri dari 107 unit
hunian telah terbangun melalui dana kewajiban pengembang. Pembangunan itu sesuai
Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemenuhan Kewajiban
Pembiayaan dan Pembangunan Rumah Susun Murah / Sederhana Melalui Konversi oleh
Para Pemegang Izin Pemanfaatan Ruang. Kampung susun Akuarium secara keseluruhan
akan dibangun 241 unit, yang diperuntukkan bagi warga yang dulunya memang bertempat
tinggal di lokasi tersebut. Setiap hunian vertikal itu terdiri dari satu kamar tidur seluas 3 x 4
meter, satu kamar mandi, satu ruang tamu, dan balkon untuk menjemur pakaian.

Contents
BAB 3...................................................................................................................................... 1

3-42
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

KAJIAN KEBIJAKAN DAN LITERATUR.......................................................................................1

3.1 REVIEW KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG.............................................................1

3.1.1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN


KAWASAN PERMUKIMAN.............................................................................................1

3.1.2 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2022 TENTANG RUMAH SUSUN...2

3.2 REVIEW KEBIJAKAN PERATURAN MENTERI......................................................6

3.2.1 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG


PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG RUMAH SUSUN........6

3.2.2 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 60/PRT/M/1992


TENTANG PERSYARATAN PEMBANGUAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH
SUSUN 8

3.2.3 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 5/PRT/M/2007


TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA
BERTINGKAT TINGGI..................................................................................................10

3.2.4 PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR


44 TAHUN 2017 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
85/MENHUT-II/2014 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA PENYELENGGARAAN
KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM............................12

3.3 REVIEW KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH DAN KEPALA DAERAH...............15

3.3.1 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG


BANGUNAN GEDUNG.................................................................................................15

3.3.2 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG


RTRW PROVINSI DKI JAKARTA.................................................................................17

3.3.3 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG


RPJMD PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2017-2022.................................................20

3.3.4 PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 135 TAHUN 2019 TENTANG
PEDOMAN TATA BANGUNAN.....................................................................................21

3.3.5 PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA NOMOR 27 TAHUN


2009 TENTANG PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA.............................26

3.3.6 PERATURAN GUBERNUR DKI JAKARTA NOMOR 31 TAHUN 2022


TENTANG REVISI RDTR WILAYAH PERENCANAAN PROVINSI DKI JAKARTA.......27

3-43
PT. SEKEPAR BILIKON
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBANGUAN RUMAH SUSUN DI KEPULAUAN SERIBU

3.3.7 RANCANGAN PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA TENTANG RZWP3K


(RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL) PROVINSI DKI
JAKARTA...................................................................................................................... 32

3.4 LITERATUR PENGELOLAAN RUMAH SUSUN....................................................37

3.4.1 KONSEP PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA................37

3.4.2 KONSEP PENGELOLAAN OPTIMAL.............................................................39

3.5 PRESEDEN RUMAH SUSUN NELAYAN..............................................................40

3.5.1 RUSUNAWA NELAYAN DI LOMBOK TIMUR.................................................40

3.5.2 KAMPUNG SUSUN KAMPUNG AKUARIUM, JAKARTA................................41

GAMBAR 3. 1 ILUSTRASI PELETAKAN PAGAR UNTUK FUNGSI HUNIAN 22


GAMBAR 3. 2 ILUSTRASI KETENTUAN TINGGI PAGAR FUNGSI HUNIAN BERTINGKAT 22
GAMBAR 3. 3 ILUSTRASI KETENTUAN TINGGI PAGAR BANGUNAN HUNIAN MAKSIMAL 1,5 M 23
GAMBAR 3.4 RENCANA ALOKASI RUANG WILAYAH PESISIR DKI JAKARTA 34
GAMBAR 3.5 RENCANA ALOKASI RUANG WILAYAH KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU SELATAN 34
GAMBAR 3.6 RENCANA ALOKASI RUANG WILAYAH KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU UTARA 35
GAMBAR 3.7 RUSUNAWA NELAYAN LOMBOK TIMUR 40
GAMBAR 3.8 KAMPUNG SUSUN KAMPUNG AKUARIUM 41

3-44
PT. SEKEPAR BILIKON

Anda mungkin juga menyukai