Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ISLAM DAN BUDAYA LUWU


“RELASI AGAMA DAN BUDAYA”

DOSEN PENGAMPU:

ASWADI RAMLI, S.Pd., M.Pd.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

FITRIANI

DINDA AMINI NURSAID

ZALSABILAH

KELAS 1C

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO

2022
KATA PENGANTAR

Dengan ucapan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala


kesempatan dan kemudahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan walaupun
masih banyak kekurangan dari berbagai segi. Shalawat dan salam kepada
junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah merubah budaya adat dan tingkah
laku yang konservatif dan tercela kedunia yang penuh norma toleran, mulia dan
modern. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan maupun pengkajiannya
masih banyak kekurangan dan kelemahannya.Oleh karena itu, kritik dan
saran dari berbagai pihakyang sifat-sifatnya membangun sangat saya harapkan, hal ini
semata demi untuk perbaikan di masa yang akan datang sehingga akan menjadi lebih
baik lagi. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia nya
kepada kita semua, dan akhirnya mudah-mudahan makalah ini walaupun sederhana
dapat bermanfaat bagi para pembaca makalah yang telah kami susun ini. Amiin ya
robbal ‘alamin.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………iii

PENDAHULUAN …………………………………………………………….... 4

A. Latar belakang …………………………………………………………... 4


B. Rumusan masalah ……………………………………………………….4

PEMBAHASAN ……………………………………………………………..…..5

A. Pengertian agama dan budaya ………………………………..………….5


B. Prinsip tauhid sebagai basis relasi ………………………...…………...6
C. Agama dalam kebudayaan ………………………………..……………..9
D. Faktor yang mempengaruhi praktik agama ……………………………10
E. Bertemunya agama dan budaya ………………………………………..12

PENUTUP ……………………………………………………………………..14

A. Kesimpulan ……………………………………………………………14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..15

iii
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama dan Kebudayaan


Pengertian agama: dalam masyarakat Indonesia selain dari kata Agama,
dikenal pula kata “din”(‫)الدين‬dari Bahasa Arab dan kata “religi” dari Bahasa Eropa.
Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun
dari dua kata, “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti pergi, maka kata agama
dapat diartikan tidak pergi, tidak ditempat, diwarisi turun-menurun. Sedangkan kata
“din” itu sendiri dalam Bahasa Semit berarti undang-undang atau hokum. Dalam
Bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan. Patuh, balasan,
kebiasaan. Adapula kata “religi” yang berasal dari Bahasa Latin. Menurut suatu
pendapat asalnya ialah “relege” yang mengandung arti mengumpulkan, membaca dan
bisa diartikan mengikat. Oleh karena itu agama adalah suatu ketetapan yang dibuat
oleh Tuhan Yang Maha Esa secara mutlak atau tanpa adanya campur tangan siapa
saja.

Namun agama juga bisa diartikan seperangkat aturan dan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya Tuhannya, mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan
lngkungannya. Agama dilihat dari system keyakinan yang melahirkan berbagai
perilaku keagamaan. System keyakinan tersebut memiliki daya kekuatan yang luar
biasa untuk memerintah dan melarang pemeluknya untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu. Pada intinya Agama harus memiliki tiga system berikut agar
bisa dikatakan sebagai suatu Agama: pertama, Credo atau keimanan (aqidah), kedua,
Critus yang mana didalamnya terdapat unsur peribadatan (syari’at) ketiga, sistem
norma (akhlaq).

5
Pengertian kebudayaan: ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia, kebudayaan
berasal dari Bahasa Sansekerta”Buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang
berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan kata budaya adalah sebagai suatu
perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang mempunyai arti “daya” dan “budi”.
Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Sedangkan budaya
sendiri adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa dan kebudayaan
adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
Agama dalam bentuk nya yang sederhana di masyarakat, sudah mengandaikan
adanya zat yang agung, zat yang memiliki kekuatan, dan bisa memberi pertolongan
kepada manusia di sat manusia berada dalam kesulitan. Perkembangan keyakinan
masyarakat dari yang sederhana sampai ketitik sempurna, penguatan kepercayaan
atau keyakinan secara evolusioner inilah yang mengantarkan manusia berhasil
melewati dari “polytheistic” dalam kepercayaan, menjadi “monotheistic”
mempercayaii atau mengimani kepada allah. Setelah manusia bertauhid, maka
kepercayaan manusia dituntut dengan benar, dan beribadah hanya kepada allah yang
maha esa, yang maha penolong, dan maha pengasih kepada semua makhluknya.

B. Prinsip tauhid sebagai basis relasi


Dalam sejarah perjalanan manusia yang diwarnai serba kontradiktif pada
proses spiritual dan budayanya, membuat mereka benar benar dilematis antar “yakin
dan tidak yakin”, pada hal sebagai manusia keberadaan nya tidak pisah di pisahkan
dari keberadaan tuhannya. Namun realitasnnya, kebutuhan manusia akan peran tuhan
dalam kehidupannya jadi beragam dari sisi implementasi, sehingga wujud keimanan
manusia besar ada pada sebagian kecil tetap menganut atheisme. aagama agama
besar, da nada

6
Dengan mengaku pada prinsip prinsip tauhid menurut islam sebagaimana
ditegaskan allah dalam alquran tersebut, maka tauhid memiliki relevansi dengan
pengakuan, penyembahan, ketaqwaan dan ketawakalan kepada allah.

Prinsip dasar ini menjadi penting sebagai argumentasi ketika islam yang
sosilogis harus membangun relasi dengan kebudayaan.prsoalan tauhid menjadi
kerangka ukur dari sebuah proses ketika manusia mereproduksi social dan budaya.

Penanaman ketauhidan dengan penuh kasih sayang,menjadikan eksistensi


Tuhan,bisa terpatri dalam sanubari hambanya.harus disadari,proses ketauhidan
memerlukan sebuah proses panjang dan pendalam dengan warna pengalaman
spiritual masing masing secara beralahan akan sampai kepada bangunan tauhid yang
kuat.

Kesadaran atas keyakinan yang dibangun dengan pondasi kasih sayang


sebagai wujud pancaran kasih sayang allah,akan melahirkan prilaku santun sebagai
wujud hamba hamba yang diselimuti kasih sayangNya Allah.sifat menghargai
tahapan dan kadar kemampuan bertauhid seseorang,bukan perkara mudah alam
pluralisme kebudayaan ketika bersentuhan dengan modernisasi dan liberalisasi social
keagamaan.kesesatan tauhid sangat mudah terjadi pada siapa saja orang yang
membanggakan diri atas pemikirannya yang jauh dari kemampuan
keilmuan,berpeluang menggelincirkan tauhid seseorang.

Batasan batasan antara tauhid dan musyrik sudah sangat jelas (qat’i), buka
wilayah abu abu (dzani) yang harus diperdebatkan dan di perselisihkan antara satu
orang yang lain. Janganlah dengan sebab sebuah kebodohan dan kesembongannya,
manusia merangkak memasuki wilayah hak allah, karena bukan mustahil orang akan
di jerumuskan dalam lembah kesesatan akibat perilaku dirinya sendiri.

7
Istilah menjaga dalam konteks ketauhidan, sangat berbeda dengan kata
“perangi atau musuh”, Karena dalam tugas menjaga memiliki konotasi agar orang
orang yang dijaganya tidak melakukan pengingkaran atau penyembahan selain allah.

System kepercayaan kepada tuhan yang dibangun melalui aturan yang ada
dalam kitab suci yang dilengkapi dengan ritual atau amalan ibadah akan menjadikan
tingkat kesempurnaan yang keagamaan seseorang menjadi lebih baik. Iman yang
dimiliki seseorang pada dataran implementatif berbentuk melalui sarana dan
prasarana yang dalam agama disebut dengan symbol symbol agama sebagai sarana
mengempirikkan unsur unsur empiris agama. Oleh karena itu menjadi logis,
perbedaan agama seseorang akan berimplikasi pada terjadinya perbedaan keyakinann
terhadap tuhan, dan implikasi selanjutnya adalah terjadinya perbedaan cara ibadah,
perbedaan kitab suci, dan perbedaan sarana dan prasarana agama. Akhirmya ketaatan
yang muncul kepada tuhan dalam bentuk ibadah seseorang, sementara untuk pada sisi
sosiologis nmpak masih menjadi pertanyaan yang harus didiskusikan.

Poin penting yang bisa dipahami dari reproduksi “cipta, rasa, dan karsa”
dalam tata kelola kehidupan manusia adalah perlunya nilai nilai yang mewarnai
proses produksi yang tetap berbasis pada nilai nilai tauhid. Alur pemikiran manusia
atas reproduksi kebudayaan dipastikan akan melakukan penolakaannya, kalau nilai
nilai tauhid sama sekali tidak diindahkan, terlebih lagi harus bersebrangan dengan
nilai nilai tauhid. Umtuk menjamin keharmonisan antara agama dan budaya dalam
alam realitas, maka keduanya harus sama sama menunjukkan eksistensinnya bukan
saling megasikan.

8
C. Agama dalam kebudayaan

Kebudayaan tidak bisa disamakan dengan agama, tapi keduanya tidak bisa
dipisahkan dalam proses kreatif dan inovatif manusia dalam kesehariannya, karena
pada praktikya manusia membutuhkan agama dan kebudayaan sekaligus sebagai
saran penyempurna dirinya sebagai makhluk tuhan, makhluk social dan makhluk
yang berbudaya. Sementara agama dalam membangun basis kultural di masyarakat
juga akan membutuhkan kebudayaan. Hubungan fungsional tersebut, menjadikan
kebudayaan yang ada tidak akan keluar dari bingkai tauhid. Oleh karena itu,
kebudayaan yang sedang berkembang sangat membutuhkan agama dalam upaya
menunjukkan eksistensinnya. Posisi saling membutuhkan ini, akan menunjukkan
hubungan keduannya bisa menemukan pola ideal, yaitu saling melengkapi dan saling
mendukung pada wilayah religio kultual dalam kehidupan manusia.

Kebudayaan dalam konteks ini dimaknai sebuah system yang terdiri atas ide
ide, gagasan, kelakuan social, dan benda benda kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa
dan karsa manusia untuk mencapai sebuah kemajuan baik dalam lingkup individu dan
kolektif, maupun bentuk bentuk yang dimanifestasikan dalam hasil penciptaan
manusia. Kebudayaan ada bersama dengan adanya manusia berkarya, sehingga
menghasilkan produk produk kebudayaan, baik sifatnya material maupun immaterial.
Manusia akan menemukan dan menghasilkan kebudayaannya, ketika masing masing
manusia memainkan peran kreatifitasnnya untuk mewujudkan apa yang ada dalam
benak pikirannya menjadi realitas.

Relativisme manusia dalam berkarya memang tidak akan menemukan


kesempurnaannya, jika manusia hanya bekerja seorang diri. Sebagai konsekuensi
makhluk social, manusia akan selalu membutuhkan rekan kerja, dalam berkarya
memproduksi sebuah kebudayaan.

9
Bukan itu saja, manusia sebaimana digambarkan dalam surah Al Ahzab, manusia
sangat membutuhkan agama dan pertolongan kekuatan tuhan dalam setiap pekrjaan
yang ditanggungnya. Dengan meletakkan posisinya yang tidak sempurna, dan tidak
memiliki kemampuan secara penuh, manusia membutuhkan kerja sama dengan pihak
lain.

Manusia memang dilengkapi oleh allah hal hal berkaitan dengan kecerdasan,
ide, pemikiran, rasa serba ingin, tingkah laku, dan perbedaan perilaku diantara
manusia. Semua ini merupakan suatu system yang mengarah kepada proses yang
akan menghasilkan kebudayaan monumental sebagai hasil kongkrit usaha manusia.
Pilihan manusia selalu berada dalam situasi membutuhkan bantuan untuk dirinya,
merupakan bentuk kewajiban yang harus ditunaikan dalam diri manusia, dimana
agama akan masuk dalam keyakinan dan kebudayaan, maka titik utama berada pada
ide atau gagasan produktif dengan sejumlah daaftar keinginanan manusia.

Hadirnya agama dan kebudayaan dalam setiap kehidupan manusia, karena


keduannya sama sama melekat pada manusia. Agama dan kebudayaan saling
mempengaruhi secara timbal balik. Rukun iman melampaui rasionalitas manusia,
mau islam atau kafir adalah pilihan akal sadar manusia. Setiap manusia diperintah
untuk mengunakan akalnya, ini adalah perintah berbudaya. Dan akhirnya islam dan
budaya adalah dua hal yang hidup bersama tanpa pertentangan.

D. Faktor yang mempengaruhi praktik agama

Ajaran islam memang meliputi segala sesuatu dengan tanpa batas. Islam
merupakan agama paling akhir dan sekaligus sebagai penyempurna dari syariat
syariat sebelumnya.

10
Dengan adanya konsep iman, islam dan ihsan, menjadikan islam memiliki dayaa
fleksibelitas yang tinggi termasuk umatnya dalam menjalankan misi kekhalifaahan di
muka bumi. Adapun faktor yang bisa mempengaruhi praktik pengalaman ajaran
agama, beberapa faktornya yaitu:

1. Faktor sejarah: proses perjalanan waktu telah menunjukkan adanya


perubahan, mulai dari kondisi alam, faktor interaksi social, akulturasi agama
dan budaya. Faktor faktor tersebut berpengaruh dalam menentukan praktik
pengamalan ibadah. Tidak menutup kemungkinan pelaksanaan praktik agama
masa lalu masih menjadi bagian yang dilestarikan dalam islam, missal khitan
bagi laki laki dan ibadah haji, meski dua hal ini merupakan praktik agama
pada masa sebelum kerasulan nabi Muhammad.

2. Fungsi agama: agama pada tingkatan bagi individu dan social memberikan
sumbangannya untuk mewujudkan adanya kesalehan pribadi dan kesalehan
social sekaligus, karena setiap manusia akan menjalankan perintah perintah
agama sampai pada titik kesempurnaannya. Agama menjamin kelancaran
hubungan antara individu dengan tuhan. Nottingham menyebut manusia
mempunyai kebutuhan kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan
memelihara sampai batas minimal. Agama memiliki daya paksa untuk
melaksanakan kewajiaban, minimal diperlukan untuk mempertahankan
ketertiban masyarakat. Dalam peranan ini agama telah membantu
menciptakan system system nilai social yang terpadu dan utuh. Kemudian
agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan
memaksa yang mendukung dan memperkuat ada istiadat.

11
3. Kesadaran dan pemahaman terhadap agama: agama satu sisi memberi
kelonggaran kepada umatnya untuk menjalakan ajaran agama dengan suka
rela dan tanpa paksaan. Namun pada kondisi tertentu, islam memberikan
kewenangan dengan ketat dan memainkan peran daya paksanya untuk
mewujudkan sebuah kestabilan social. Namun secara sosiologis, praktik
pengalaman agama itu sangat dipengaruhi oleh adanya kesadaran dan
pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Proporsi kesadaran dan
pemahaman agama memang menjadi lebih dominan ketimbang daya paksanya
untuk pengamalan praktik agama.

E. Bertemunya agama dan budaya

Agama dan budaya memang dalam praktik keseharian harus menunjukkan


tingkat keharmonisannya, meski tanpa menghilangkan jati diri masing masing, karena
agama bersumber pada keyakinan dan kebenaran hakiki yang tidak mungkin lebur
dalam sebuah kebudayaan yang memiliki sifat relatifistik ditengah perubahan social.
Agama dan kebudayaan memungkinkan melakukan kerja bersama mengantisipasi
“masalah kemanusiaan” yang akan terjadi di era global.

Transforrmasi social yang pasti terjadi dimasyarakat berbudaya, harus sama


sama dijaga oleh kelembagaan agama dan social. Peran ini jelas untuk mencari jala
keselamatan sebagai bentuk sumbangan agama terhadap kebudayaan agar tidak
mengalami kepunahan. Dalam kasus ini jelas kehadiran islam mutlak diperlukan,
ketika gempuran modernisasi akan terus menyerbu ke jantung jantung tradisi, yang
mengakibatkan budaya berada pada titik nadir dan harus diselamatkan. Dalam
konteks ini jelas eksssitensi agama menjadi bagian penting, dan harus bisa
mendominasi pemikiran pemikiran yang memiliki relevensi dengan kebudayaan.
12

Peran manusia yang lengkap dengan potensi bawaan “agamis-sosial-kultural”,


pasti tidak akan bisa menghindar dari arah yang menuju pada perwujudan kebaikan
dan kemajuan. Ikhtiar manusia ini lebih bersifat dinamis untuk mengelola dan
mengarahkan atas dinamika social dan budaya yang terjadi dengan tanpa
mengesampinkan prinsip prinsip islam. Pada titik inilah agama bisa bertemu dengan
kebudayaan dengan tampilan wajahnya yang harmonis, untuk sama sama menuju
sebuah kemaslahatan manusia.
13

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sesungguhnya standar keberislaman seseorang tidaklah ditentukan
ketika ia sholat dengan memakai sarung atau memakai gamis. Keduanya
hanyalah simbol lahiriah semata dan ketakwaan, sedangkan ketakwaan yang
murni adalah bersumber dari ketundukan dan komitmen seorang muslim
dalam menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.

Relasi antara agama dan budaya dapat bersifat timbal-balik secara


positif dan tidak selalu bersifat antagonis satu sama lain. Keduanya dapat
saling memperkaya ajaran satu sama lain. Sebagaimana yang telah dituturkan
sebagai nasihat klasik yang penuh hikmah dari para ulama kita :

ْ‫د ااْل َ صْ لَح‬Mِ ‫ُم َحافَظَةُ َعلَى قَ ِدي ِْم الصَّالِحْ َوااْل َ ْخ ُذ َعلَى َج ِد ْي‬

Al-Muhafadzah ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah


Menjaga nilai dan ajaran tradisi lama yang baik, serta mengambil nilai dan
ajaran baru yang lebih baik
Wa fawqa kulli dzi'ilmin'alim
Wallahu a'lam bish-showwab
14

DAFTAR PUSTAKA

Ummatin, khairo. 2001. Sejarah islam dan budaaya lokal. Yogyakarta: kalimedia.

https://www.296.web.id/2018/10/makalah-agama-dan-kebudayaan.html
15

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Agama dan budaya memang sulit untuk dipisahkan. Masing-masing memiliki


keeratan satu sama lain. Namun banyak orang yang masih belum memahami
bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya dalam suatu kehidupan.
Banyak masyarakat yang mencampur adukkan antara Agama dan Budaya yang
padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat serratus persen disamakan, bahkan
mungkin berlawanan.

Oleh karena itu demi terjaganya eksistensi dan nilai-nilai agama sekaligus
memberi pengertian, disini penulis hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan
Apa itu Budaya. Penulis berharap apa yang ditulis nanti dapat menjadi panduan
pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat membandungkan antara Agama dan
Budaya.

B. Rumusan masalah

1. Apa itu agama dan budaya?


2. Apa prinsip tauhid sebagai basis relasi?
3. Bagaimana maksud dari agama dalam kebudayaan?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi praktik agama?
5. Bagaimana proses bertemunya agama dan budaya?

Anda mungkin juga menyukai