Anda di halaman 1dari 21

 

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC
CHRONIC KI DNEY DISEAS
DISEASEE (CKD)

OLEH :

Ni Made Sekar Sari

1502105042

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
 

A.  Konsep Dasar Penyakit C hro


hr oni
nicc K
Kii dne
ney
y Di se
sea
ase (CKD)

1.  Pengertian C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di sea
sease (CKD)

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif

dan irreversible. Pada kondisi ini, ginjal telah gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan
 penurunan fungsi ginjal yang irreversible  pada suatu derajat atau tingkatan yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Hapsari, 2017). Menurut National Kidney Foundation (2009), CKD adalah suatu
kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau  
tanpa disertai penurunan glomerular
penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula
didefinisikan sebagai suatu keadaan adanya nilai GFR < 60 mL/menit/1,73 m2
selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa 
tanpa  disertai kerusakan ginjal (National Kidney
Foundation, 2009).

2.  Epidemiologi Penyakit C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di se
sea
ase (CKD)

Di Amerika serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens CKD


diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terhadap
1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara berkembang lainnya,

insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. (Khasanah,
2016). Menurut Kemenkes (2013), prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang disebut
PGK) di Indonesia pada pasien usia lima belas tahun keatas di Indonesia yang didata
 berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi
gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat
tajam pada kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%),
umur 55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi  pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%).
Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%) (Kemenkes,
2013).
 

3.  Etiologi C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di sea
sease (CKD)

Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).
Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit
 peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat
 perkembangan janin dalam
d alam rahim ibu, lupus,
lupu s, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau
 pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang (Hapsari,
2017). 

4.  Patofisiologi C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di sea
sease (CKD)

Ginjal merupakan pengatur utama natrium, keseimbangan air, serta


homeostasis asam-basa. Ginjal juga memproduksi hormon yang diperlukan untuk

A zmi, & Yanni, (2018) . Pada


sintesis sel darah merah dan homeostasis kalsium ( Aisara, Azmi,
waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus)
diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron – nefron
nefron rusak. Beban
 bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
 berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah
nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-
gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15
ml/menit atau lebih rendah. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialysis
(Utami, 2016).
 

Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urine tertimbun dalam darah, yang mengakibatkan terjadinya uremia.
Terjadinya uremia mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat. Berikut ini adalah gejala yang terjadi akibat
kegagalan
kegagalan fungsi renal (Utami, 2016):
a.  Penurunan laju filtrasi glome
glomerulus
rulus  (GFR)
Penurunan laju filtrasi glomerulus 
glomerulus  (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urine
24-jam untuk pemeriksaan klierens kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat
tidak berfungsinya glomeruli) klierens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin
serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi
renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,
katabolisme, dan medikasi seperti steroid. Kadar BUN dapat diukur dengan rumus
 berikut: BUN = urea darah
darah x 28/60
28/60
 b.  Retensi cairan dan natrium. 
Gagal ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin
secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir; respons ginjal yang sesuai terhadap
 perubahan masukan cairan dan elektrolit
elektrolit sehari-hari, tidak terjadi.Pasien
terjadi.Pasien sering
menahan natrium dan cairan, meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung
kongestif, dan hipertensi.Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-
angiotensin-aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan
garam; mencetuskan risiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
c.  Asidosis. 
Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskersikan muatan asam (H +) yang
 berlebihan.Penurunan
 berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk menyekresi ammonia (NH3-) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO 3).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi.
d.  Anemia. 
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoietin yang tidak adekuat,

memendeknya usia sel darah merah, difisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
 

mengalami perdarahan akibatstatus uremik pasien, terutama dari saluran


gastrointestinal. Eritropoietin, suatu substansi normal yang diproduksi oleh ginjal
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah.Pada gagal ginjal, produksi
eritropoietin menurun dan anemia berat terjadi disertai keletihan, angina, dan napas
sesak.
e.  Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat.
Abnormalitas utama yang lain pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling
timbal balik. Jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya
filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum
menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian, pada
gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
 parathormon,
 parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menurun, menyeba
menyebabkan
bkan perubahan pada
tulang dan penyakit tulang.Selain itu, metabolit aktif vitamin D
(1,25dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan
 berkembangnya
 berkembangnya gagal
gagal ginjal.
f.  Penyakit tulang uremik
Penyakit tulang uremik sering disebut osteodistrofirenal, terjadi dari perubahan
kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi
ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang
mendasari, ekskresi protein dalam urine, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan
tekanan darah cenderung akan cepat memburujk daripada mereka yang tidak
mengalami kondisi ini.

5.  Klasifikasi C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di sea
sease (CKD)

Utami (2016) menyebutkan gagal ginjal kronik dibagi menjadi tiga stadium
yaitu sebagai berikut :
a.  Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
 

 b.  Stadium 2 : insufisiensi ginjal, yaitu lebih dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
c.  Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

Berdasarkan The Renal Association (2013) merekomendasikan pembagian


CKD berdasarkan stadium berdasarkan tingkat penurunan Glomerular Filtration Rate
(GFR) yaitu sebagai berikut:
a.  Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan

GFR yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m 2 )


b.  Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan GFR antara 60-

89 mL/menit/1,73 m2 
2
c.  Stadium 3 : kelainan ginjal dengan GFR antara 30-59 mL/menit/1,73m  
2
d.  Stadium 4 : kelainan ginjal dengan GFR antara 15-29mL/menit/1,73m  

e.  Stadium5 : kelainan ginjal dengan GFR < 15mL/menit/1,73m 2  atau gagal

ginjal terminal.
Untuk menilai GFR (Glomelular
( Glomelular Filtration Rate)
Rate) / CCT (Clearance
(Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus :

Clearance creatinin (
creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum 
serum 

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85.

6.  Gejala Klinis C hr


hroonic
ni c K
Kii dne
ney
y Di sea
sease (CKD)

Menurut Aisara, Azma dan Yanni (2018), terdapat beberapa manifestasi klinis
yang dapat terjadi pada pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut:
a.  Gangguan Kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse
 perikardiak dan
d an gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
 jantung dan edema.
 b.  Gangguan Pulmoner
 

 Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak suara
krekels.
c.  Gangguan Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme

 protein dalam usus, perdarahan


p erdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
 perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d.  Gangguan Muskuloskeletal
 Resiles leg sindrom 
sindrom  ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom 
syndrom  ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak
kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot
otot – 
 –  otot
 otot ekstremitas).
e.  Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning  –   kuningan akibat
 penimbunan urokrom, gatal – 
gatal –  gatal
 gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f.  Gangguan Endokrin
Gangguan seksual seperti libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolik lemak dan vitamin D.
g.  Gangguan Cairan Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.

h.  Gangguan Sistem Hematologi


Dapat terjadi anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum  –   sum tulang
 berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.
 

7.  Pemeriksaan Fisik pada Pasien dengan C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di se
sea
ase (CKD)

Dalam kasus CKD, setelah dilakukan pemeriksaan fisik dapat ditemukan:mual, muntah,
lemah, anoreksia, tanda-tanda anemia, edema, kulit kekuningan, kulit kering dan
hiperpigmentasi, stomatitis, bau nafas ammonia,

8.  Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang pada Pasien dengan Chronic Kidney


Disease (CKD)

Menurut Rustamaji (2015), terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat


dilakukan pada pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut:

a.  Pemeriksaan Laboratorium


a)  Laboratorium darah :
   BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir
   Hemoglobin : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari
7-8 gr/dl
   SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
   GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2
    Natrium serum < 135 mEq/L
   Kalium: meningkat, > 4,5mEq/L
   Magnesium: meningkat, > 2,5 mg/dl
   Kalsium ; menurun , < 9 mg/dl
   Protein (albumin) : menurun, < 4 g/dl

 b)  Laboratorium urin :


   Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)  
   Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
 bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin  

  Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat  
 

   Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal


tubular dan rasio urin/serum sering 1:1  
   Klirens kreatinin: mungkin agak menurun, < 117 ml/menit 
    Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium 
  Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
  Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg

b.  Radiologi
Pemeriksaan USG 
   Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,ginjal dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
   Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
 batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
   Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa

c.  EKG
Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa

d.  Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati


normal, yang diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Tujuannya untuk mengetahui etiologi, terapi, prognosis dan mengevaluasi
terapi yang diberikan.

9.  Kriteria Diagnosis C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di sea
sease (CKD)

Menurut Sudoyo (2009) adapun penegakan diagnose medis penyakit CKD


adalah sebagai berikut :
 

a.  Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa manfaat penurunan GFR dengan manifestasi seperti
kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin atau kelainan dalam
d alam tes pencitraan ((imaging
imaging test ))..

 b.  Laju GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2  selama 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
c.  Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan GFR sama
atau lebih dari 60 ml/menit/ 1,73 m2 maka tidak termasuk kriteria CKD.

10. Terapi pada Pasien dengan C hro


hr onic
ni c K
Kii dne
ney
y Di se
sea
ase (CKD)

a.  Penatalaksanaan Secara Farmakologi dan Non Farmakologi

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan


homeostasis selama mungkin serta mencegah komplikasi.Seluruh faktor yang
 berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor yang dapat dipulihkan diidentifikasi
dan ditangani (Juliantini, 2014).
Komplikasi dapat dicegah dengan pemberian anti hipertensif, eritropoietin,
suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga perlu
mendapat penanganan dialisis yang adekuat untuk menurunkan kadarproduk sampah
uremik dalam darah (Juliantini, 2014).
Intervensi diet diperlukan pada gangguan fungsi renal dan mencakup

 pengaturan yang cermat


ce rmat terhadap masukan protein, masukan cairan untuk mengganti
cairan yang hilang, masukan natrum untuk mengganti natrium yang hilang, dan
 pembatasan kalium. Pada saat yang sama, masukan kalori yang adekuat dan suplemen
vitamin harus dianjurkan. Protein akan dibatasi karena urea, asam urat, dan asam
organik (hasil pemecahan makanan dan protein jaringan) akan menumpuk secara
cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klierens renal. Protein yang
dikonsumsi harus memiliki nilai biologis yang tinggi adalah substansi protein lengkap
dan menyuplai asam amino utama yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan
sel. Biasanya cairan yang diperbolehkan adalah 500-600 ml untuk 24 jam.Kalori
 

diperoleh dari karbohidrat dan lemak untuk mencegah kelemahan.Pemberian vitamin


 juga penting karena
k arena diet rendah protein tidak cukup memberikan komplemen vitamin
yang diperlukan.Selain itu, pasien dilaisis mungkin kehilangan vitamin larut air
melalui darah selama penanganan dialysis (Rustamaji, 2015).

 Hiperfosfatemia dan
dan   hypokalemia 
hypokalemia  ditangani dengan antasida mengandung
aluminium yang mengikat fosfat makanan di saluran gastrointestinal. Namun
demikian, perhatian terhadap potensial toksisitas aluminium jangka panjang dan
hubungan antara tingginya kadar aluminium dengan gejala neurologis dan
osteomalasia menyebabkan dokter meresepkan natrium karbonat dosis tinggi sebagai
 penggantinya. Medikasi ini juga mengikat fosfatdiet di saluran gastrointestinal
menyebabkan antasida yang digunakan cukup diberikan dalam dosis kecil.Kalsium
karbonat dan antasida pengikat fosfat harus diberikan bersama dengan makanan agar
efektif.Antasida mengandung magnesium harus dihindari untuk mencegah toksisitas
magnesium (Juliantini, 2014).
 Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif kontrol volume
intravaskuler.Gagal
intravaskuler.Gagal jantung kongestif   dan edema pulmoner   juga memerlukan
 penanganan pembatasan cairan, diet rendah natrium,
n atrium, diuretik, agens inotropik seperti
digitalis atau dobutamine, dan dialisis. Asidosis
 Asidosis metabolik  pada gagal ginjal kronis
 biasanya tanpa gejala dan
da n tidak memerlukan penanganan; namun demikian, suplemen
natrium karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika
kondisi ini menimbulkan gejala (Juliantini, 2014).

 Hiperkalemia  biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat


disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan
kalium pada seluruh medikasi oral maupun intravena.Pasien diharuskan diet rendah
kalium.Kadang-kadang Kayexelate, perlu diberikan secara oral (Juliantini, 2014).
 Abnormalitas neurologi dapat terjadi dan memerlukan observasi dini terhadap
tanda-tanda seperti kedutan, sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang.Pasien
dilindungi dari cedera dengan menempatkan pembatas tempat tidur.Awitan kejang
dicatat dalam hal tipe, durasi dan efek umumnya terhadap pasien.Dokter segera
 

diberitahu.Diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) biasanya diberikan


untuk mengendalikan kejang (Juliantini, 2014).
 Anemia  pada gagal ginjal kronis ditangani dengan Epogen (eritropoietin
manusia rekombinan). Anemia pada pasien (hematokrit kurang dari 30%) muncul

tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan toleransi
aktivitas. Terapi Epogen diberikan untuk memperoleh nilai hematokrit sebesar 33%
samai 38%, yang biasnya memulihkan gejala anemia.Epogen diberikan diberikan
secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu.Naiknya hematokrit memerlukan
waktu 2 sampai 6 minggu, sehingga Epogen tidak diindikasikan untuk pasien yang
memerlukan koreksi anemia dengan segera.Efek samping terapi Epogen mencakup
hipertensi (terutama selama tahap awal penanganan), peningkatan bekuan pada
tempat akses vaskuler, kejang dan penipisan cadangan besi tubuh.Adanya hipertensi
yang tidak dapat dikontrol merupakan kontraindikasi utuk terapi eritropoietin
rekombinan (Juliantini, 2014).
Saat untuk menentukan terapi spesifik yang sesuai dengan penyakit dan
kondisi pasien adalah ketika sebelum terjadinya penurunan GFR sehingga
 pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal masih normal secara USG,
 biopsi dan pemeriksaan histopatologi dapat menentukan
me nentukan indikasi yang tepat terhadap
terapi spesifik. Perlu pencatatan kecepatan penurunan GFR untuk mengetahui kondisi
komorbid. Faktor komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
tidak terkontrol, infeksi tract. urinarius, obstruksi tract urinarius, obat  – obatan
obatan

nefrotoksik, bahan kontras atau peningkatan penyakit dasarnya (Juliantini, 2014).


Adapun faktor utama perburukan fungsi ginjal adalah adanya hiperfiltrasi
glomerulus. Terdapat dua cara untuk menguranginya yaitu sebagai berikut (Lubis,
2017):
  Pembatasan Protein
Pembatasan asupan protein merupakan salah satu cara untuk mengurangi
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Pembatasan asupan protein mulai
dilakukan saat GFR ≤ 60 ml/mnt. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari,
0,6-0,8/kgBB/hari, dengan

0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein dengan nilai biologi yang


 

tinggi.Selama pembatasan ini harus dilakukan pemantauan yang teratur


terhadap kondisi nutrisi pasien. Apabila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Pembatasan asupan protein ini
merupakan terapi yang penting pada penderita CKD, karena apabila konsumsi

 protein berlebihan dapat menyebabkan penimbunan substansi nitrogen dan ion


anorganik lain, sehingga menyebabkan gangguan klinis dan metabolic yang
disebut sindrom uremik. Selain itu konsumsi protein yang berlebih dapat
mengakibatkan peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus pada
ginjal sehingga menyebabkan progesifitas pemburukan fungsi ginjal. Selain
dengan membatasi asupan protein, terapi farmakologis seperti pemberian
obat-obatan antihipertensi juga dapat menghambat terjadinya pemburukan
fungsi ginjal. Obat-obatan antihipertensi terutama Penghambat Enzim
Konverting Angiotensin ( Ace
 Ace Inhibitor ) dapat mengurangi terjadinya
hipertensi intraglomerulus dan sebagai antiproteinuria sehingga dapat
menghambat pemburukan fungsi ginjal.
  Terapi farmakologis seperti pemakaian OAH, untuk megurangi hipertensi

intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa OAH terutama ACEI,


sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Penghambat ACE atau antagonis
reseptor angiotensin II bertujuan untuk mengevaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi
harus dihentikan.
  Pada pasien dengan DM, kontrol gula darah harus menghindari pemakaian

metformin dan obat  –   obat sulfonil urea dengan masa kerja yang panjang.
Target HbAIC untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM
tipe 2 adalah 6%.
  Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20  –   22 mEq/l. Kontrol

dislipidemia dengan target LDL < 100 mg/dl, dianjurkan dengan


memanfaatkan golongan satin.
 

b.  Terapi Hemodialisis

1.  Indikasi Hemodialisa

Menurut Wijaya dan Putri, (2013) indikasi dilakukannya terapi hemodialisa

 pada pasien dengan CKD adalah sebagai berikut:


a.  Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus < 5ml).
Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat
indikasi: Hiperkalemia (K+ darah > 6 mEq/l), asidosis, kegagalan terapi
konservatif, kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200 mg%,
Kreatinin serum > 6 mEq/l), kelebihan cairan, mual dan muntah hebat.
 b.  Intoksikasi obat dan zat kimia
c.  Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
d.  Sindrom hepatorenal dengan kriteria :
  K+ pH darah < 7,10 sebagai tanda terjadinya asidosis
  Oliguria/anuria > 5 hari
  GFR < 5 ml/I pada GGK
  Ureum darah > 200 mg/dl

2.  Kontraindikasi Hemodialisa

Adapun menurut Wijaya dan Putri (2013), terdapat beberapa kontra indikasi
untuk menjalani hemodialisa yaitu sebagai berikut:
  Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
  Hipotensi (TD < 100 mmHg).
  Adanya perdarahan hebat.
  Demam tinggi.

3.  Prinsip yang Mendasari Kerja Hemodialisis

Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah

nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
 

kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan


lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan
yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati
tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran

limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane
semipermeabel tubulus (Fahmi, 2017).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit
yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Fahmi, 2017).

4.  Akses Sirkulasi Darah Pasien

Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter
femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian
segera dan sementara. Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan
(biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side
(dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan
waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula

 berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan
 

ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran
darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk
memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis. Tandur dapat dibuat
dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau vena dari materia gore-tex

(heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis.
Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula
(Fahmi, 2017). 

11. Komplikasi C hro
hr onic
ni c K
Kii dne
ney
yDDii sea
sease (CKD)

Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memelukan pendekatan


kolaboratif dalam perawatan mencakup: hiperkalemia akibat penurunan ekskresi,
asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet berlebih;  perikarditis, efusi

 perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan sialisis
yang tidak adekuat; hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta serta malfungsi
renin-angiotensin-aldosteron; anemia akibat penurunan eritropoietin, penurunan
rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin,
dan yang kehilang darah selama hemodialisis; dan  penyakit tulang   serta kalsifikasi
metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme
vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium (Hapsari, 2017).

B.  Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1.  Pengkajian

1)  Diagnosa yang mungkin muncul saat pre HD


a)  DS : pasien mengeluh sulit mengeluarkan urin dan merasa
nyeri ketika berkemih.
DO : pasien memiliki riwayat penyakit DM, hipertensi yang
tidak terkontrol, mengalami penurunan laju GFR,
infeksi pada traktus urinary.
DX Keperawatan : Hambatan Eliminasi Urin
Urin
 

 b)  DS : pasien menyatakan merasakan gatal pada tubuhnya.


DO : pada kulit pasien terlihat perubahan integritas kulit
seperti adanya bekas garukan pada kulit karena gatal,
 pasien mengalami peningkatan BUN dan uremia.

DX Keperawatan : Kerusakan
Kerusakan Integritas Kulit
c)  DS : pasien mengeluh mual dan penurunan nafsu makan
DO : bau nafas pasien berbau ammonia, serta terjadi
 peningkatan uremia
DX Keperawatan : Nausea
d)  DS : pasien mengeluh lemas dan menyatakan mengalami
mengalami penurunan nafsu makan.
DO : pasien mengalami anoreksia.
DX Keperawatan : Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan
Tubuh
e)  DS : pasien mengeluh lemas, adanya bengkak pada tubuh
DO : adanya edema, penurunan hematokrit dan
hemoglobin, pasien terlihat lemas
DX Keperawatan : Kelebihan Volume Cairan Tubuh

2)  Diagnosa yang mungkin muncul saat intra HD


a)  DS : pasien mengeluh nyeri
DO : adanya laporan skala nyeri dari pasien, serta adanya
ekspresi yang menandakan nyeri seperti meringis
kesakitan.
DX Keperawatan : Nyeri Akut
 b)  DS :-
DO : adanya penggunaan heparin
DX Keperawatan : Risiko Perdarahan

3)  Diagnosa yang mungkin muncul saat post HD


a)  DS : pasien mengeluh mual
 

DO : pasien mengalami peningkatan asam lambung, dan


hipoglikemi
DX Keperawatan : Nausea
 b)  DS : pasien mengeluh haus

DO : natrium dalam darah meningkat


DX Keperawatan : Risiko Kekurangan Volume Cairan
Cairan Tubuh
c)  DS : pasien mengeluh nyeri.
DO : terdapat luka pada tubuh pasien akibat prosedur
invasive pemasangan akses vascular untuk proses
hemodialysis
DX Keperawatan
Keperawatan : Risiko Infeksi
Infeksi

 
2. Diagnosa Keperawatan
a)  Hambatan eliminasi urin berhubungan dengan adanya riwayat penyakit DM,
hipertensi yang tidak terkontrol, mengalami penurunan laju GFR, serta adanya
infeksi pada traktus urinary yang ditandai dengan rasa sulit berkemih serta
nyeri ketika berkemih.
 b)  Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pada volume cairan
dan metabolisme tubuh yaitu terjadinya peningkatan BUN dan uremia yang
ditandai dengan adanya perubahan pada integritas kulit seperti munculnya
ruam dan gatal.
c)   Nausea berhubungan dengan adanya proses biokimia akibat adanya
 peningkatan BUN dan uremia yang ditandai dengan adanya perasaan mual
dan penurunan nafsu makan.
d)  Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
adanya faktor biologis yaitu adanya peningkatan BUN dan uremia sehingga
menyebabkan mual dan anoreksi yang ditandai dengan adanya penurunan
nafsu makan.
 

e)  Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan adanya perubahan


mekanisme kompensasi
kompensasi regulator akibat adanya penumpukan ureu elektrolit
dan hasil metabolic dalam tubuh yang ditandai dengan terjadinya edema,
 penurunan hematokrit dan hemoglobin, serta pasien terlihat lemas.
f)   Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka fisik akibat adanya prosedur
invasive pemasangan akses vascular untuk proses hemodialysis yang ditandai
dengan adanya laporan skala nyeri dari pasien serta ekspresi wajah yang
memperlihatkan perasaan nyeri seperti meringis.
g)  Risiko perdarahan adanya sistem sirkulasi darah ekstrakorporeal sehingga
memerlukan aktivasi sistem koagulan dan memerlukan terapi heparin.
h)  Risiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan adanya
 perubahan mekanisme regulator tubuh akibat peningkatan kadar natrium
dalam darah.
i)  Risiko infeksi berhubungan dengan adanya trauma fisik akibat prosedur
invasive pemasangan akses vascular untuk proses hemodialysis.

3.  Rencana Asuhan Keperawatan pada Pasien CKD yang Menjalani


Hemodialisa (terlampir).
 

DAFTAR PUSTAKA

Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Padang. Jurnal
 Kesehatan Andalas,
Andalas, 7 (1),
(1), 42-50.

Classification  (NIC) 6th  Edition.


Bulechek, G. (2013).  Nursing Intervention Classification 
Missouri:Elseiver Mosby

Fahmi, F.Y. (2017). Tinjauan Pustaka Hemodialisis. Diakses dari:


http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/7872/6.%20BAB%20
II.pdf?sequence=6&isAllowed=y.  
II.pdf?sequence=6&isAllowed=y.

Hapsari, Y.K. (2017). Hubungan lamanya menjalani hemodialisis terhadap kualitas


hidup pasien Chronic Kidney Disease 
Disease  (CKD). Skripsi. Malang. Universitas
Muhammadyah Malang.

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014).  NANDA International Nursing Diagnoses:


Classification 10th Edition
 Definitions & Classification  Edition.. Oxford: Wiley Blackwell.

Juliantini, E. (2014). Laporan
(2014).  Laporan Pendahuluan Chronic Kidney Disase (CKD). Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Badan


(2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
 Riset Kesehatan Dasar 2013.
2013. Jakarta: Kemenkes RI.

Khasanah, R.N. (2016). Potensi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di
instalasi rawat inap rsud dr. moewardi tahun 2014 2014.. Skripsi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Lubis, A.R. (2017).  Pedoman Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik. Sumatera


Utara: Divisi Nefrologi- Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Moorhead, S. (2013).  Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of


 Health Outcomes 5th Edition
 Edition.. Missouri: Elsevier Saunder

 National Kidney Foundation. (2009). Chronic Kidney Disease New York: National
Foundation. Diakses dari http: /www.kidney.org/ kidneydisease/
 Kidney Foundation.
ckd/index.cfm#whatis

Rustamaji, A.T. (2015). Chronic Kidney Disease (CKD). Diakses dari :


https://rsud.patikab.go.id/download/CKD.pdf

Sudoyo, A. W. (2009).  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V . Jakarta:
Interna Publishing.
 

The Renal Association. (2013). CKD Stages. Diakses dari:


https://renal.org/information-resources/the-uk-eckd-guide/ckd-stages/

Utami, M.P.S. (2016).  Bab II tinjauan Pustaka. Diakses dari :


http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/7501/BAB%20II.pdf 
?sequence=3&isAllowed=y

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013).  Keperawatan Medikal Bedah.


Bedah. Yogyakarta:
 Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai