OLEH :
1502105042
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan irreversible. Pada kondisi ini, ginjal telah gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat atau tingkatan yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Hapsari, 2017). Menurut National Kidney Foundation (2009), CKD adalah suatu
kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau
tanpa disertai penurunan glomerular
penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula
didefinisikan sebagai suatu keadaan adanya nilai GFR < 60 mL/menit/1,73 m2
selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa
tanpa disertai kerusakan ginjal (National Kidney
Foundation, 2009).
insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. (Khasanah,
2016). Menurut Kemenkes (2013), prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang disebut
PGK) di Indonesia pada pasien usia lima belas tahun keatas di Indonesia yang didata
berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi
gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat
tajam pada kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%),
umur 55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%).
Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%) (Kemenkes,
2013).
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).
Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit
peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat
perkembangan janin dalam
d alam rahim ibu, lupus,
lupu s, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau
pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang (Hapsari,
2017).
memendeknya usia sel darah merah, difisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
Utami (2016) menyebutkan gagal ginjal kronik dibagi menjadi tiga stadium
yaitu sebagai berikut :
a. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
b. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, yaitu lebih dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
c. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
89 mL/menit/1,73 m2
2
c. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan GFR antara 30-59 mL/menit/1,73m
2
d. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan GFR antara 15-29mL/menit/1,73m
e. Stadium5 : kelainan ginjal dengan GFR < 15mL/menit/1,73m 2 atau gagal
ginjal terminal.
Untuk menilai GFR (Glomelular
( Glomelular Filtration Rate)
Rate) / CCT (Clearance
(Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin (
creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
serum
Menurut Aisara, Azma dan Yanni (2018), terdapat beberapa manifestasi klinis
yang dapat terjadi pada pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut:
a. Gangguan Kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse
perikardiak dan
d an gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema.
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak suara
krekels.
c. Gangguan Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
Dalam kasus CKD, setelah dilakukan pemeriksaan fisik dapat ditemukan:mual, muntah,
lemah, anoreksia, tanda-tanda anemia, edema, kulit kekuningan, kulit kering dan
hiperpigmentasi, stomatitis, bau nafas ammonia,
b. Radiologi
Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,ginjal dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa
c. EKG
Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa manfaat penurunan GFR dengan manifestasi seperti
kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin atau kelainan dalam
d alam tes pencitraan ((imaging
imaging test ))..
b. Laju GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
c. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan GFR sama
atau lebih dari 60 ml/menit/ 1,73 m2 maka tidak termasuk kriteria CKD.
Hiperfosfatemia dan
dan hypokalemia
hypokalemia ditangani dengan antasida mengandung
aluminium yang mengikat fosfat makanan di saluran gastrointestinal. Namun
demikian, perhatian terhadap potensial toksisitas aluminium jangka panjang dan
hubungan antara tingginya kadar aluminium dengan gejala neurologis dan
osteomalasia menyebabkan dokter meresepkan natrium karbonat dosis tinggi sebagai
penggantinya. Medikasi ini juga mengikat fosfatdiet di saluran gastrointestinal
menyebabkan antasida yang digunakan cukup diberikan dalam dosis kecil.Kalsium
karbonat dan antasida pengikat fosfat harus diberikan bersama dengan makanan agar
efektif.Antasida mengandung magnesium harus dihindari untuk mencegah toksisitas
magnesium (Juliantini, 2014).
Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif kontrol volume
intravaskuler.Gagal
intravaskuler.Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan
penanganan pembatasan cairan, diet rendah natrium,
n atrium, diuretik, agens inotropik seperti
digitalis atau dobutamine, dan dialisis. Asidosis
Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronis
biasanya tanpa gejala dan
da n tidak memerlukan penanganan; namun demikian, suplemen
natrium karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika
kondisi ini menimbulkan gejala (Juliantini, 2014).
tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan toleransi
aktivitas. Terapi Epogen diberikan untuk memperoleh nilai hematokrit sebesar 33%
samai 38%, yang biasnya memulihkan gejala anemia.Epogen diberikan diberikan
secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu.Naiknya hematokrit memerlukan
waktu 2 sampai 6 minggu, sehingga Epogen tidak diindikasikan untuk pasien yang
memerlukan koreksi anemia dengan segera.Efek samping terapi Epogen mencakup
hipertensi (terutama selama tahap awal penanganan), peningkatan bekuan pada
tempat akses vaskuler, kejang dan penipisan cadangan besi tubuh.Adanya hipertensi
yang tidak dapat dikontrol merupakan kontraindikasi utuk terapi eritropoietin
rekombinan (Juliantini, 2014).
Saat untuk menentukan terapi spesifik yang sesuai dengan penyakit dan
kondisi pasien adalah ketika sebelum terjadinya penurunan GFR sehingga
pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal masih normal secara USG,
biopsi dan pemeriksaan histopatologi dapat menentukan
me nentukan indikasi yang tepat terhadap
terapi spesifik. Perlu pencatatan kecepatan penurunan GFR untuk mengetahui kondisi
komorbid. Faktor komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
tidak terkontrol, infeksi tract. urinarius, obstruksi tract urinarius, obat – obatan
obatan
metformin dan obat – obat sulfonil urea dengan masa kerja yang panjang.
Target HbAIC untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM
tipe 2 adalah 6%.
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20 – 22 mEq/l. Kontrol
Adapun menurut Wijaya dan Putri (2013), terdapat beberapa kontra indikasi
untuk menjalani hemodialisa yaitu sebagai berikut:
Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
Hipotensi (TD < 100 mmHg).
Adanya perdarahan hebat.
Demam tinggi.
Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah
nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane
semipermeabel tubulus (Fahmi, 2017).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit
yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Fahmi, 2017).
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter
femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian
segera dan sementara. Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan
(biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side
(dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan
waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan
ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran
darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk
memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis. Tandur dapat dibuat
dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau vena dari materia gore-tex
(heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis.
Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula
(Fahmi, 2017).
11. Komplikasi C hro
hr onic
ni c K
Kii dne
ney
yDDii sea
sease (CKD)
perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan sialisis
yang tidak adekuat; hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta serta malfungsi
renin-angiotensin-aldosteron; anemia akibat penurunan eritropoietin, penurunan
rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin,
dan yang kehilang darah selama hemodialisis; dan penyakit tulang serta kalsifikasi
metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme
vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium (Hapsari, 2017).
1. Pengkajian
DX Keperawatan : Kerusakan
Kerusakan Integritas Kulit
c) DS : pasien mengeluh mual dan penurunan nafsu makan
DO : bau nafas pasien berbau ammonia, serta terjadi
peningkatan uremia
DX Keperawatan : Nausea
d) DS : pasien mengeluh lemas dan menyatakan mengalami
mengalami penurunan nafsu makan.
DO : pasien mengalami anoreksia.
DX Keperawatan : Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan
Tubuh
e) DS : pasien mengeluh lemas, adanya bengkak pada tubuh
DO : adanya edema, penurunan hematokrit dan
hemoglobin, pasien terlihat lemas
DX Keperawatan : Kelebihan Volume Cairan Tubuh
2. Diagnosa Keperawatan
a) Hambatan eliminasi urin berhubungan dengan adanya riwayat penyakit DM,
hipertensi yang tidak terkontrol, mengalami penurunan laju GFR, serta adanya
infeksi pada traktus urinary yang ditandai dengan rasa sulit berkemih serta
nyeri ketika berkemih.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pada volume cairan
dan metabolisme tubuh yaitu terjadinya peningkatan BUN dan uremia yang
ditandai dengan adanya perubahan pada integritas kulit seperti munculnya
ruam dan gatal.
c) Nausea berhubungan dengan adanya proses biokimia akibat adanya
peningkatan BUN dan uremia yang ditandai dengan adanya perasaan mual
dan penurunan nafsu makan.
d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
adanya faktor biologis yaitu adanya peningkatan BUN dan uremia sehingga
menyebabkan mual dan anoreksi yang ditandai dengan adanya penurunan
nafsu makan.
DAFTAR PUSTAKA
Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas,
Andalas, 7 (1),
(1), 42-50.
Juliantini, E. (2014). Laporan
(2014). Laporan Pendahuluan Chronic Kidney Disase (CKD). Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Khasanah, R.N. (2016). Potensi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di
instalasi rawat inap rsud dr. moewardi tahun 2014 2014.. Skripsi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
National Kidney Foundation. (2009). Chronic Kidney Disease New York: National
Foundation. Diakses dari http: /www.kidney.org/ kidneydisease/
Kidney Foundation.
ckd/index.cfm#whatis
Sudoyo, A. W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V . Jakarta:
Interna Publishing.