Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ULUMUL AL-QUR’AN

Macam-macam Qira’at Al-Qur’an


Dosen Pengampuh : Ibu Dr.Muzdalifah Muhammadun, M.Ag

KELOMPOK 11

BELLA SAPHIRA (2220203861211078)

NORMALAJAYA (22202038612110097)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PARE-PARE

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Macam-macam Qira’at Al-qur’an” dengan tepat
waktu.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya, diharapkan saran
dan kritik yang membangun agar penulis menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr.Muzdalifah Muhammadun, M.Ag selaku
dosen mata kuliah Ulumul Al-qur’an. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Pare-Pare, 21 Desember 2022

Kelompok 11
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Qira’at
B. Macam-macam Qira’at
C. Hikmah Perbedaan Qira’at
D. Syarat Diterimanya Qira’at
E. Pengaruh Qira’at Terhadap Penafsiran

Bab III Penutup

Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu ulumul Al-Quran,namun tidak banyak orang yang
tertarik kepadanya kecuali orang orang tertentu saja,biasanya kalangan akademik.Banyak factor
yang menyebabkan hal itu diantaranya adalah ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan
kehidupan dan muamalah manusia sehari- hari tidak seperti fiqih,hadis dan tafsir misalnya,yang
dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.Hal ini dikarenakan ilmu
qiraat tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram
atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia,Selain itu, ilmu qiraat juga cukup rumit
untuk dipelajari.Banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qiraat ini yang terpenting
adalah pengenalan Al-Quran secara mendalam dalam banyak seginya.

Qiraat atau macam-macam bacaan Al-Quran telah mantap pada masa Rasulullah SAW dan
beliau mengajarkan kepada sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari Jibril
AS.Sehingga muncul beberapa sahabat yang ahli bacaan Al-Quran seperti;Ubay bin Kaab,Ali bin
Abi Thalib,Zaid bin Tsabit,Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari,mereka itulah yang menjadi
sumber bacaan Al-Quran bagi sebagian besar sahabat dan tabi’in.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Qira’at
2. Macam-macam Qira’at
3. Hikmah Perbedaan Qira’at
4. Syarat Diterimanya Qira’at
5. Pengaruh Qira’at Terhadap Penafsiran
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apa itu qira’at
2. Mengetahui macam-macam qira’at
3. Mengetahui hikmah dari qira’at
4. Mengetahui syarat diterimanya qira’at
5. Mengetahui pengaruh qira’at terhadap penafsiran
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiraat

Istilah qira’at berasal dari bahasa Arab ‫ قراءات‬ jamak (plural) dari ‫ قراءاة‬, secara etimologi
merupakan akar kata (masdar) dari ‫ قرأ‬yang berarti membaca.

Jadi lafal ‫ قراءات‬ secara bahasa berkonotasi “beberapa pembacaan”.

Sedangkan menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah satu mazhab pengucapan Qur’an yang
dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab
lainnya.

Dalam kajian Ilmu Tafsir, qira’at berarti: “Suatu aliran dalam melafalkan Al-Qur’an yang
dipelopori oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari
segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan qira’at tersebut darinya serta
jalur yang dilaluinya disepakati”.

Az-Zarqani mendefinsikan qira’at dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh
seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta
kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-
huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.

Menurut Ibn al-Jazari merumuskan bahwa qira’at ialah Ilmu yang menyangkut cara-cara
mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan
kepada penukilnya.

Sedangkan menurut al-Qasthalani ialah Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati
atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan
washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.

Menurut az-Zarkasyi, Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.

Sedangkan Ibnu al-Jazari menjelaskan bahwa  Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara
melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada
penukilnya.

Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu
bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber,
yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at
yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu:

1)Qira’at berkaitan dengan cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang
imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.

2)Cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada
Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.

Syaikh Abdul Fath al-Qadhy berkata bahwa qira’at adalah ilmu tentang tatacara pengucapan
kalimat-kalimat (ayat-ayat) Qur’aniyah.

Ibn al-Jaziri menegaskan bahwa qira’at ialah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al-Qur’an
dan perbedaannya, dan tidak menyatakan qira’at sebagai suatu aliran dan tidak pula menegaskan
perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dalam sanad yan dilaluinya.

Kedua kriteria yang terakhir merupakan sesuatu yang sangat penting. Jika kita perhatikan,
apabila qira’at diartikan sebagai “suatu aliran”, maka dengan sendirinya tertolaklah anggapan
bahwa qira’at tujuh berasal dari Hadits Nabi berikut:

‫هذا القرأن ٌأنزل على سبعة أحرف‬

Adapun ilmu qira’at (yang benar) itu sendiri telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri,
merupakan suatu praktik sunnah yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat.

B. Macam-macam Qiraat Al-Qur’an

Al-Quran memiliki macam-macam cara bacaan al-Quran. sebagaimana penjelasan berikut ini:

1. Qiro’at sab’ah
Qiroat sab’ah adalah bacaan al-Quran dari tujuh imam ahli Qiroah, yaitu Nafi‘ ibn ‘Abd Rahman
ibn Abu Nu‘aim, Abu Ma‘bad yang lebih di kenal dengan Ibn Katsir, Abu ‘Amr Zabban ibn
al-‘Ala’ ibn ‘Ammar, Abu ‘Imran Abdullah ibn ‘Amir,   Abu Bakr ‘Ashim ibn Abu Najud al-
Asadi al-Kuf, Abu ‘Imarah Hamzah ibn Habib ibn ‘Imarah, dan yang ketujuh Al-Kisa’i.
2. Qira’at ‘syrah
Qira’at ‘asyrah adalah tujuh imam yang telah disebutkan di atas ditambah Abu Ja‘far Yazid ibn
al-Qa‘qa‘ (w. 130 H.), Abu Muhammad Ya‘qub ibn Ishaq ibn zaid ibn ‘Abdullah ibn Ishaq al-
Hadrami(w. 205 H.), dan Abu Muhammad Khallaf ibn Hisyam al-Bazzar (150-229 H)
3. Qira’ah Arba’a ‘Asyarah
Qira’ah Arba’a ‘Asyarah adalah sepuluh imam yang telah disebutkan di atas ditambah Abu
‘Abdullah Muhammad ibn ‘Abd al- Rahman ibn Muhaisin al-Makki (w. 123 H.), Abu
Muhammad Yahya ibn al-Mubarak ibn al-Mugirah al- Yazidi al-Basri (128-202 H.), Abu Sa‘id
al-Hasan ibn Abi al-Hasan al-Basri (21-110 H.), dan Abu Muhammad Sulaiman ibn Mihran al-
A‘masy al-Asadi al-Kahili (60-148 H). Namun, banyak pendapat menyebutkan, seperti al-
Zarqani, Subhi al-Salih, dan al-Qattan, bahwa imam qira’at yang ke empat belas adalah
Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim Yusuf ibn al-‘Abbas ibn Maimun Abu al-Faraj al-Syambuzi
al- Bagdadi (w. 388)
Namun qiroah-qiroah tersebut tidak semuanya shahih, hanya qiroah-qiroah tertentu saja yang
shahih yang sesuai dengan derajat qiroah mutawatir atau ahad atau masyhur. al-Zarqani,
menuturkan terdapat enam macam derajat qira’at, yaitu mutawatir, masyhur, ahad, syaz, maudu‘,
dan mudraj. Sedangkan Jalal al-Din al-Bulqini, hanya membagi tiga macam saja yaitu mutawatir,
ahad, dan syaz.  Menurut al-Bulqini qira’at mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh
tujuh imam (qira’at sab‘ah), sedangkan qira’at ahad adalah qira’at yang diriwayatkan oleh
sepuluh imam (qira’at ‘asyrah), dan qira’at syaz adalah qira’at yang diriwayatkan oleh generasi
tabi‘in seperti al-A‘masy, Yahya ibn Wasab, Ibn Jubair, dan yang lain. Namun, apa yang
dikatakan al-Bulqini masih perlu adanya peninjauan ulang. 

Macam-Macam Qira’at Al-Quran dari Segi Kualitas

1. Qira’at Mutawatir

Qira’at mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak, sampai perawi terakhir
yang tidak mungkin mereka berdusta. Seperti qira’at sab’ah.

Para ulama maupun ahli hukum Islam sepakat bahwa qira’at yang berkedudukan mutawatir
adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai bacaan al-Qur’an dan sah dibaca di luar dan di waktu
shalat.

2. Qira’at Masyhur

Qira’at Masyhur adalah qira’at yang sah sanadnya tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir,
karena sebagian jalur periwayatannya tidak diriwayatkan oleh sebagian yang lain. Selain sanad,
penulisannya harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan rasm ‘Usmani, terkenal di
kalangan para qurra’, dan tidak terdapat cacat.

3. Qira’at Ahad

Qira’at Ahad adalah qira’at yang sanadnya sah, tetapi tidak sesuai dengan penulisan salah satu
rasm ‘Usmani, tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan tidak mencapai derajat masyhur.

4. Qira’at Syazd

Qira’at Syazd adalah qira’at yang periwayatannya menyimpang dari perawi-perawi terpercaya,
seperti qira’atnya Ibn Sumaifa’ dalam QS. Yunus ayat 92.
5. Qira’at Maudu‘

Qira’at Maudu‘ adalah qira’at yang palsu yang dibuat- buat, yakni qira’at yang dinisbahkan
kepada perawinya tanpa dasar, seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad ibn Ja‘far al-
Khuza‘i yang menurutnya berasal dari Imam Abu Hanifah padahal bukan.

6. Qira’at Mudraj

Qira’at Mudraj adalah qira’at yang disisipkan atau ditambahkan sebuah kalimat ke dalam qira’at
yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas, seperti qira’atnya Sa‘d ibn Abi Waqqas dalam QS.
al- Nisa’ ayat 176.

C. Hikmah Perbedaan Qiraat


1. Adanya perbedaan qira’at dapat memperkokoh kesatuan umat Islam. Karena dengan
diturunkannya Al-Qur’an yang mengandung variasi bacaan tentunya akan sesuai dengan
kemampuan mereka, sehingga setiap kelompok umat Islam tidak saling mengklaim Al-
Qur’an adalah milik kelompok tertentu saja.

2. Perbedaan qira’at merupakan keringanan dan kemudahan bagi umat Islam secara
keseluruhan.

3. Menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an terutama dari aspek lughawi-nya, karena dengan


adanya berbagai macam qira’at dapat menggantikan kedudukan ayatayat yang bisa
menjadi banyak jika tidak dipadatkan dalam qira’at.

4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

5. Merupakan kemuliaan dan keutamaan umat Muhammad Saw atas umat-umat terdahulu.
Karena bisa jadi kitab-kitab terdahulu turun hanya dengan satu segi dan dalam satu
qira’ah saja, berbeda dengan Al-Qur’an yang turun dalam sab’atu ahruf.

D. Syarat Diterimanya Qiraat

Menurut Manna al-Qattan, syarat diterimanya qiraat adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai dengan
kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani.
Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Sebagai contoh
dalam surah al-Fatihah, (‫)ا ْه ِدنَا الص َِّراطَ ْال ُم ْستَقِي َم‬, pada kata (َ‫ )الصِّ َراط‬diganti dengan huruf sin (‫)س‬.
Contoh lainnya adalah ayat ( ‫ِّين‬ ِ ‫ك يَوْ ِم الد‬ ِ ِ‫ ) َمال‬dengan membuang huruf alif pada kata (‫ك‬ ِ ِ‫ ) َمال‬sehingga
menjadi (‫)ملك‬. Ketiga: Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad.[3] Menurut al-Jazari, qiraat
sahih mencakup dua aspek, yakni: memiliki kesahihan sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa
Arab dan rasm.[4]
Hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak adalah bahwa
ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang mutawatir. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk menolaknya. Jika terdapat qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak
diterima. Penulis mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang
ditulis oleh penulis kitab al-Thaiyibah.

Kata-kata (‫ )وصح إسنادا‬di atas kemudian pahami sebagai riwayat yang mutawatir.[5]

Menurut Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat yang
dapat diterima atau tidak, yaitu:

Pertama, qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh orang
yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.

Kedua, periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai dengan rasm
mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat dipergunakan dalam bacaan meskipun
periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap
sebagai al-Qur’an. Karena didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya
ditakutkan mengundang kesalahpahaman.

Ketiga, qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak sesuai
dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski qiraat tersebut telah
sesuai dengan rasm mushaf.[6]
Terkait dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli nahwu.
Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika tidak sesuai dengan
kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut, Qattan mengutip pendapat Abu Amr
al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka
riwayat tersebut tidak bisa ditolak.

E. Pengaruh Qiraat Terhadap Penafsiran


Bacaan Alquran yang berdasarkan pada dialek umat (kabilah) di suatu daerah membuat banyak
perubahan bacaan dalam Alquran. kendati tidak sampai membuat pertumpahan darah,
munculnya beragam bacaan ini menimbulkan banyak penafsiran terhadap kandungan Alquran.

Sebagai sebuah kitab suci yang terjaga dan terpelihara kemurniannya dari segala bentuk
pemalsuan, munculnya ragam bacaan itu membuat banyak pihak khawatir terjadi pemalsuan
ayat-ayat Alquran. Namun, Allah telah menjamin bahwa Alquran akan senantiasa terjaga dari
pemalsuan. ''Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang akan
menjaganya.'' (QS Alhijr (15): 9). Inilah salah satu kemukjizatan Alquran.

Pada ayat lain, Allah menantang manusia untuk membuat satu surat seperti Alquran. Namun,
diyakini bahwa manusia tak akan mampu melakukannya. ''Dan, jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar.'' (QS Albaqarah (2): 23). Demikian juga pada surah Aththur (52): 34
serta QS Al-Isra' (17): 88.

Salah satu kemukjizatan Alquran ini membuat banyak ulama (mutakallimin dan mufasir) terus
mengeksplorasi sisi-sisi kemukjizatan Alquran. Menurut al-Jahizh, murid al-Nazhzham,
kemukjizatan Alquran terletak pada redaksinya (nazhm). Redaksi Alquran mempunyai makna
yang amat mendalam, padahal kata-katanya sedikit. Ulama lain pun juga terus mengeksplorasi
kemukjizatan Alquran dari berbagai sisi, termasuk redaksionalnya. Di antara mereka yang juga
menulis kitab tentang nazhm Alquran adalah Abu Bakar Abdullah al-Sijistani, Abu Zayd al-
Balkhi, dan Ibn al-Ikhsyid al-Mu‘tazili.

Ibnu Qutaybah al-Dinawari dalam kitabnya Ta'wil Musykil Alquran menyatakan, kemukjizatan
Alquran terletak pada keajaiban nazam-nya yang tak membosankan saat dibaca atau didengar
meski dibaca atau didengar berlama-lama dan makna yang kaya dalam kata-kata yang singkat.
Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu Jarir al-Thabari, al-Wasithi, al-Rummani, al-Khaththabi, al-
Baqillani, dan al-Jurjani.

Perbedaan qiraat
Karena kemukzijatan yang tersemat pada kitab Alquran inilah, Ibrahim Al-Abyari
mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan masalah pelafalan (qiraat) Alquran.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq, tafkhim, dan lain sebagainya.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan kalimat oleh kabilah-kabilah Arab yang
masing-masing tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh kabilah lainnya. Perbedaan
ini dapat terjadi, baik sebelum dibukukannya Alquran dan dibakukannya tanda baca (syakal)
maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan yang sulit diubah.

Masalah kedua terkait pada penentuan i'rab dan standardisasi tulisan (mushaf) Alquran. Seperti
dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam proses standardisasi rasm Alquran, ditempuh
beberapa tahapan. Pertama, ketika Alquran masih berangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang
turun langsung disusun Nabi melalui petunjuk Jibril, lalu disebarkan melalui tadarrusan atau
bacaan dalam shalat di depan sahabat. Sampai di sini, belum ada masalah. Tetapi, setelah dunia
Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab, mulailah muncul masalah karena tidak semua umat
Islam dapat membaca Alquran tanpa tanda huruf dan tanda baca.

Pemberian tanda baca (syakal) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin
Abu Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn Samiyyah yang menjabat gubernur Bashrah
menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat terhadap surat Attaubah ayat 3. Sedangkan,
masalah ketiga adalah peran periwayatan bacaan mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi
perkembangan umat, terutama dalam menjaga kesatuan dan persatuan.

Perubahan makna

Selanjutnya, perbedaan dialek dalam membaca Alquran itu berpengaruh pula pada sistematika
Alquran dalam kaidah bahasa, nahwu, sharaf, i'rab, fiil, isim, harakat, dan lainnya. Akibatnya,
makna pun dapat berubah. Rektor IIQ, Dr Muhammad Ahsin Sakho, mencontohkan kata
'Malikiyaumiddin karena berbagai dialek masyarakat Arab, ada yang membacanya
'Malakayaumuddin. Walaupun memiliki mirip, terdapat arti yang berbeda jika dilihat
berdasarkan i'rab masing-masing kata. Begitu juga kata Wadldluha yang dibaca menjadi
wadldluhe. Perbedaan pengucapan huruf dan harakat itu dilihat melalui takaran madd, takhfif,
tafkhim, imalah, isymam, serta perbedaan tempat waqaf.
Perbedaan qiraat dalam Alquran ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan makna yang
dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan, Khalid Abd al-Rahman al-'Ak menyatakan, perbedaan
qiraat ada yang berpengaruh pada tafsir--bukan hanya makna--dan ada yang tidak. Ia
menjelaskan bahwa yang tidak berpengaruh pada tafsir, yaitu perbedaan pengucapan huruf dan
harakat seperti takaran mad, takhfif, imalah, dan sebagainya. Sedangkan, yang berpengaruh pada
tafsir terbagi dua, yaitu perbedaan dalam huruf atau kata serta perbedaan dalam harakat fi'il.

Tesis lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah yang menyimpulkan, seperti yang dikutip
oleh Ibrahim Al-Abyari, bahwa segi-segi perbedaan pendapat dalam qiraat itu ada tujuh. Masing-
masing ada yang berpengaruh pada perubahan makna dan ada yang tidak.

Ketujuh perbedaan tersebut sebagai berikut. Pertama, perbedaan dalam i'rab atau harakat suatu
kata yang tidak mengubah tulisannya dan tidak mengubah makna (pengertian)-nya. Kedua,
perbedaan dalam i'rab dan harakat yang mengubah makna (pengertian)-nya dan tidak mengubah
bentuk tulisannya.

Ketiga, perbedaan pada huruf-huruf kata, bukan i'rab-nya dengan sesuatu yang mengubah makna
(pengertiannya) dan tidak mengubah bentuk tulisan. Keempat, perbedaan dalam kata-kata yang
mengubah bentuk tulisan dan tidak mengubah makna (pengertian)-nya dalam kalimat. Kelima,
perbedaan itu dalam kata-kata yang mengubah bentuk dan makna (pengertian)-nya. Keenam,
perbedaan itu dengan mendahulukan dan mengemudiankan (taqdm wal ta'khir). Ketujuh,
perbedaan itu dengan penambahan dan pengurangan.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Simpulan dari pembacaan di atas: pertama, macam qiraat yang telah disepakati oleh kebanyakan
ulama ilmu al-Qur’an adalah qiraat yang mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj.
Sedangkan syarat diterimanya suatu qiraat adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai dengan kaidah
bahasa arab, seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani.
Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Ketiga: Qiraat
harus memenuhi kesahihan sanad.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.republika.co.id/berita/61504/pengaruh-qiraat-alquran-terhadap-penafsiran

https://alitopands.wordpress.com/2015/01/07/ilmu-qiraat-macam-qiraat-syarat-diterimanya-dan-
seputar-qiraat-sabah-asyrah-dan-arba-asyar/

https://iqipedia.com/2022/05/16/qiraat-al-quran-pengertian-macam-macam-faktor-perbedaan-
dan-hikmahnya/

http://belajarulumulquran.blogspot.com/2018/02/pengertian-qiraat-al-quran.html

http://digilib.iaiankendari.ac.id/199/2/BABI%20-%20BAB%20III.pdf

Anda mungkin juga menyukai