Anda di halaman 1dari 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341149456

Identifikasi Pengaruh Gangguan terhadap Ekosistem Hutan: Studi Kasus pada


Dua Keadaan Ekosistem di Kampus IPB Dramaga

Presentation · March 2020


DOI: 10.13140/RG.2.2.16658.40646

CITATIONS READS

0 1,466

12 authors, including:

Agysta Zaskia Muhammad Syamil Hizbi


Bogor Agricultural University Bogor Agricultural University
1 PUBLICATION   0 CITATIONS    3 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Teguh Jati Purnama Wahyuni Ferdianti


Bogor Agricultural University Bogor Agricultural University
3 PUBLICATIONS   6 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

RG Achievement View project

Researcher's Achievements View project

All content following this page was uploaded by Basuki Wasis on 05 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Bogor, 11 Maret 2020

Identifikasi Pengaruh Gangguan terhadap Ekosistem Hutan:


Studi Kasus pada Dua Keadaan Ekosistem di
Kampus IPB Dramaga

Oleh :
Rizki Estiningtyas A154190091
Kevin Falensia Fatlan E451190021
Agysta Zaskia E451190061
Fitri Arum Sekarjannah E451190088
Muhammad Syamil Hizbi E451190111
Teguh Jati Purnama E451194051
Wahyuni Ferdianti E44160020
Putri Addini Arsya N E44160073
Salma Zubaidah E44160073
Muhammad Miftah F E44160074
Tsamarah Nur Rahmah E44160041

Dosen Pembimbing :

Dr Ir Basuki Wasis, M.Si

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kehadiran hutan memiliki peranan yang sangat strategis dalam kehidupan


seluruh makhluk hidup apalagi manusia. Hutan dikatakan sebagai otot peradaban
manusia (the sinew of civilization), yaitu menyatukan bagian-bagian peradaban
manusia secara utuh, serta sumber tenaga manusia dalam mengembangkan
peradabannya (Suhendang 2013). Sektor kehutanan dilaporkan menjadi sektor
andalan bagi Indonesia dalam modal rencana pembangunan nasional. Nilai devisa
produk hasil hutan pada periode 1990-1997 mencapai 30 persen dari nilai ekspor
industri nasional dan sebesar 12 persen pada periode 1998-2002 (Santoso 2008).
Tidak hanya nilai ekonomi yang berperan, sumber daya hutan juga
memberikan kontribusi lainnya seperti kehadirannya menyediakan jasa
lingkungan yang tak kalah besar. Kehadiran hutan dapat mengurangi aliran
permukaan (surface run off) hingga 30% - 50% (Suhendang 2013). Hal tersebut
sangat mungkin menjadi solusi atas berbagai macam bencana di hilir dan
sepanjang sungai berupa banjir dan tanah longsor. Belum lagi peran strategis
hutan dalam penyerapan karbon dan penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh
manusia dan makhluk hidup lainnya. Hutan pinus di DTA Rahtawu dengan umur
tegakan 30 tahun mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 147,84 ton/ha.
Oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan hutan paling tidak adalah 0,9375 gram
per bobot kering tumbuhan (Sriwanita et al. 2017). Peran hutan yang luas tersebut
menjadikan kehadiran hutan sebagai suatu kebutuhan mutlak yang harus ada.
Pemanfaatan sumber daya hutan memang memberikan dampak
pembangunan, tetapi pemanfaatan hutan yang dilakukan di Indonesia tidak sedikit
membuat hutan semakin rusak. Salah satunya adalah aktivitas pertambangan.
Harahap (2016) menyatakan bahwa kontribusi pertambangan dalam kerusakan
hutan di Indonesia adalah sekitar 10%-nya dan saat tersebut sudah mencapai 2
juta ha per tahun. Macdonald et al. (2015) menyampaikan bahwa sejumlah besar
proporsi dari sumber daya mineral dan energi di dunia dapat ditemukan pada area
hutan sehingga hutan seringkali diganggu oleh adanya surface mining.
Penambangan yang dilakukan di area hutan tidak hanya menghilangkan hutan saat
itu saja, tetapi sangat berpotensi untuk hilang selamanya karena konsesi
pertambangan menampilkan suatu keragaan ekosistem yang sulit untuk dipulihkan
seperti kondisi tanah yang ekstrem. Sembiring (2008) melaporkan bahwa kondisi
tanah bekas penambangan bauksit di Riau menampilkan tanah yang masam dan
miskin hara utamanya hara makro.
Perusahaan tambang yang melakukan aktivitas pertambangan wajib untuk
membenahi dan mengembalikan area konsesinya melalui suatu usaha yang
dikenal sebagai restorasi. Restorasi lanskap hutan didasarkan pada konservasi
ekoregional dan didefinisikan sebagai proses terencana yang bertujuan untuk
mendapatkan kembali keutuhan ekologi dan memperkaya kesejahteraan manusia
pada lanskap atau daerah yang terkena dampak deforestasi dan degradasi (Dudley
et al. 2005). Tujuan secara luasnya tentunya untuk mengembalikan kemampuan
produktivitas lahan dengan melahirkan ekosistem yang berisikan spesies asli yang
akan memberikan keberagaman nilai ekonomi dan ekologi (Macdonald et al.
2015).
Restorasi merupakan kegiatan yang terencana sehingga perlu adanya
tahapan-tahapan dalam rangka mencapai kepulihan ekosistem hutan. Langkah
awal dalam restorasi tentunya adalah melakukan survey ekosistem. Kegiatan ini
menjadi dasar bagi pelaksana dan rimbawan dalam menilai titik kritis ekosistem
yang akan dikembalikan untuk menentukan treatment atau perlakukan yang akan
diberikan nantinya. Oleh karena itu, kemampuan evaluasi ekosistem dalam upaya
restorasi menjadi fondasi dalam penentuan arah pelaksanaan restorasi.

Rumusan Masalah

Hutan terganggu akan menampilkan perubahan keragaan fisik, biologis,


dan kimia. Perubahan tersebut cenderung mengarah pada kerusakan akibat
terganggunya keseimbangan dinamis yang dimiliki hutan sebagai sistem
penyangga kehidupan. Gangguan hutan di satu sisi tidak dapat dihindari karena
adanya kebutuhan manusia dalam memanfaatkan hutan salah satunya adalah
penambangan. Namun perlu adanya suatu restorasi lanskap hutan untuk
mengembalikan fungsi hutan melalui berbagai tahap. Tahap awal merupakan
survey ekosistem hutan yang menjadi dasar untuk rencana selanjutnya sehingga
rumusan masalah dari makalah yang disajikan ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kondisi awal restorasi hutan yang terganggu?
2. Bagaimana perbedaan keragaan fisik, biologi, dan kimia ekosistem hutan
terganggu dan tidak terganggu?
3. Apa dampak gangguan hutan pada keseimbangan dinamis hutan?

Tujuan

Praktikum ini bertujuan memberikan bekal dalam langkah awal melakukan


restorasi pada lanskap hutan terganggu utamanya oleh aktivitas penambangan dan
membandingkan keragaan ekosistem di dua ekosistem hutan berbeda.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Praktikum dilakukan pada tanggal 25 dan 1 Januari 2020 berlokasi di


Arboretum Fahutan sebagai lokasi ekosistem hutan dan belakang Teaching Lab
sebagai lokasi lahan terganggu.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah golok, pita meter, meteran jahit, kantong
plastic ukuran 2 kg, Munselll soil color chart, , alat tulis, timbangan digital, tabel
indikator pH, termometer, desikator, oven, toples plastik bening, botol film, buret,
gelas ukur, ring sample dan penutupnya, bor tanah, alat dokumentasi, laptop,
software Microsoft Excell. Bahan yang digunakan adalah air, 0.2 N KOH, 0.1 N
HCl, aquadest, indikator Phenoptaline, indikator Metil Orange, dan kertas
indikator pH.
Prosedur Praktikum

Analisis vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan di dua lokasi yaitu Arboretum Fahutan sebagai
ekosistem hutan dan belakang Teaching Lab sebagai lokasi lahan terganggu.
Analisis vegetasi dilakukan pada 3 plot pengamatan yang masing-masing
berukuran 20x20 m. Plot yang dibuat di ekosistem hutan merupakan plot jalur
berpetak. Sedangkan untuk lokasi lahan terganggu dibuat plot dengan ukuran
20x20 m dengan 5 sub plot 2x2 m untuk identifikasi semai dan tumbuhan bawah
serta plot 20x20 m untuk identifikasi pohon. Hal ini dilakukan mengingat
ekosistem lahan terganggu yang diamati lebih menyerupai ekosistem padang
rumput yang hanya memiliki sedikit pohon.

Keterangan :
A = Petak contoh semai
(2x2) m2
B = Petak contoh pancang
(5x5) m2
C = Petak contoh tiang
(10x10) m2
D = Petak contoh pohon
(20x20) m2

Gambar 1 Bentuk plot pengamatan pada ekosistem hutan

Keterangan:
A, B, C, D, E = Petak contoh semai dan
tumbuhan bawah (2x2) m2
F = Petak contoh pohon
(20x20) m2

Gambar 2 Bentuk plot pengamatan pada lahan terganggu


Pengukuran dilakukan pada masing-maing plot, untuk tumbuhan bawah,
semai, dan pancang data yang diambil berupa jenis dan jumlah individu,
sedangkan untuk tiang dan pohon data yang diambil berupa diameter, tinggi dan
tbc, proyeksi tajuk, posisi pohon, dan sudut tajuk. Data yang diambil dituliskan
pada tally shhet yang telah disediakan, kemudian direkap kedalam Microsoft
excel. Setiap tingakat pertumbuhan vegetasi dihitung Kerapatan (K), Kerapatan
Relatif (KR), Dominansi (D), Dominansi relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi
Relatif (FR), dan Indeks Nilai Penting (INP) dengan rumus :

 Kerapatan Jenis (K) = jumlah individu suatu jenis/luas contoh


 Kerapatan Relatif (KR) = (kerapatan suatu jenis/kerapatan seluruh
jenis)x100%
 Dominansi (D) = jumlah bidang dasar/luas petak contoh
 Dominansi Relatif (DR) = (Dominansi suatu jenis/Dominansi seluruh jenis
)x100%
 Frekuensi (F) = jumlah plot ditemukan suatu jenis/jumlah seluruh plot
 Frekuensi Relatif (FR) = (frekuensi dari suatu jenis/frekuensi seluruh
jenis)x 100%
 Indeks Nilai Penting (INP) = KR + DR + FR

Analisis untuk mengetahui indeks keanekaragaman, kekayaan, dominansi


dan kemerataan jenis dilakukan dengan rumus :

 Indeks keanekaragaman jenis:

 Indeks kemerataan jenis :

 Indeks Dominansi:

 Indeks Kekayaan Jenis:

Analisis Tekstur, Struktur, Warna, dan Suhu Tanah


Analisis tekstur, struktur dan warna tanah dilakukan dengan melakukan
pengambilan contoh tanah terusik pada lima titik dalam plot pengamatan.
Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan cara mata bor diletakkan di
permukaan tanah, pegangan bor diputar perlahan-lahan kearah kanan (searah
jarum jam) dengan disertai tekanan sampai seluruh kepala bor terbenam
(kedalaman 20 cm), kepala bor tanah kemudian dikeluarkan dari tubuh tanah
dengan memutar pegangan ke arah kiri disertai dengan tarikan. Contoh tanah yang
terbawa kepala bor dilepaskan perlahan-lahan sampai bersih dan diusahakan tidak
banyak merusak susunannya. Langkah-langkah tersebut dilakukan kembali
terhadap titik pengambilan contoh tanah lainnya kemudian dicampur.
Gambar 3 Titik pengambilan contoh tanah terusik
a. Struktur Tanah, penentuan struktur tanah dilakukan dengan cara
mengambil sebanyak ± 20 cm3 contoh tanah terusik dengan
menggunakan tangan, bongkahan tanah tersebut dihancurkan dengan
cara dilemparkan setinggi 25-50 cm. Setelah bongkahan tanah tersebut
hancur, ditentukanlah bentuk agregat tanah terkecil (struktur tanah)
yang terdapat pada bongkahan tanah tersebut.
b. Tekstur Tanah, penentuan tekstur tanah dilakukan dengan mengambil
setengah genggam contoh tanah terusik dan dipisahkan dari benda-
benda asing termasuk akar, biji, binatang tanah, mineral, batu maupun
ranting-ranting kecil, sehingga menyisakan pisahan yang halus. Tekstur
tanah ditentukan dengan berpedoman pada kunci determinasi penentuan
tekstur tanah. Sampel tanah harus dalam keadaan lemab, bila tanah
tersebut kering maka perlu dibasahi dengan air sedikit demi sedikit
sampai kondisi mulai lengket di tangan. Dalam penentuan tekstur tanah
ini, tanah digulung-gulung dan dibentuk-bentuk diatas kaca atau
permukaan yang halus.
c. Warna Tanah, Penetapan warna tanah dilakukan dengan mengambil
segumpal tanah terusik dengan menggunakan tangan dan selanjutnya
dicocokkan warnanya dengan menggunakan buku Munsell Soil Color
Chart yang disusun secara sistematis memadukan peubah-peubah hue,
value, dan croma.
d. Suhu, pengukuran suhu dilakukan dua kali yaitu suhu lingkungan dan
suhu tanah. Pengukuran suhu dilakukan di titik tengah plot pengamatan.

Analisis Bulk Density dan Porositas Tanah


Analisis bulk density dan porositas tanah dilakukan dengan melakukan
pengambilan contoh tanah utuh dengan menggunakan ring sample pada titik
tengah plot pengamatan. Contoh tanah utuh atau tidak terusik diambil dari suatu
tubuh tanah dngan cara meminimumkan perubahan atau kerusakan pada bentuk
alaminya terutama ruang atau pori tanah. Pengambilan contoh tanah utuh diawali
dengan pembersihan permukaan tubuh tanah yang akan diambil contoh tanahnya
dari pentup tumbuh-tumbuhan, serasah dan batu lalu diratakan. Ring sampel
diletakkan diatas permukaan tanah tersebut dengan sisi bagian tajan yang merapat
ke permukaan tanah, ring sampel secara perlahan ditekan merata dengan
menggunakan papan diatasnya sampai terbenam ¾ bagian. Ring sampel kedua
diletakkan di atas ring sampel pertama, kemudian ditekan sampai ring sampel
pertama mencapai kedalaman yang diinginkan. Tanah di sekeliling ring sampel
digali, sehingga ring dapat diambil serempak dalam keadaan bertautan. Kondisi
contoh tanah yang terambil di dalam ring harus padat dan tidak keropos. Tanah
lebihan yang menempel di sisi luar ring sampel dibuang dengan dengan
mengunakan pisau tipis dan tajam. Bagian bawah dan atas ring ditutup dengan
menggunakan penutup ring tanah atau plastik.
a. Analisis bulk density, penetapan bulk density dihitung dengan
menggunakan metode ring dimana contoh tanah dalam ring tanpa
tutup ditimbang untuk mengetahui berat tanah keadaan lapang beserta
ringnya (BB). Contoh tanah dioven selama 24 jam pada suhu 105 °C
kemudia ditimbang untuk mengetahui berat tanah kering oven beserta
ringnya (BKT). Contoh tanah dalam ring sampel dibuang, lalu
ditimbang berat ringnya saja (BR). Berat kering contoh tanah tanpa
ring (BK) ditetapkan dengan persamaan:

𝐵𝐾 𝑔 = BK1(g) – BR(g)
Tinggi dan diameter sisi dalam ring sampel diukur, lalu ditentukan
volume tanah dalam ring sampel (Vt) dengan persamaan:

Vt = ¼ πd2t

Keterangan:
Vt : Volume tanah dalam ring sampel (cm3)
π : 3.14
d : diameter (cm)
t : tinggi ring sampel (cm)

Bobot isi atau bulk density (g/cm3) ditetapkan dengan


menggunakan persamaan:

BI = BK/Vt

b. Porositas Tanah, porositas ditentukan dengan menggunakan metode


nisbah bobot isi (BI) : bobot partikel (BP) melalui persamaan:
𝐵𝐼
Porositas = 1 − 𝑋 100%
𝐵𝑃

Keterangan:
BP = Bobot Partikel tanah (cm3); biasanya tanah memiliki bobot
partikel sebesar 2.65 g/cm3
Analisis Bahan Organik Tanah (BOT)
Penetapan BOT dilakukan melalui proses pengovenan untuk mengetahui
kadar air tanah. Kadar air tanah dapat ditentukan dengan persamaan:

𝐵𝐵−𝐵𝐾
KA = 𝑋 100%
𝐵𝐾

Keterangan:
KA = Kadar air (%)
BB = Berat Basah (g)
BK = Berat Kering (g)

Tanah = Bahan Mineral + Bahan Organik + Air

Dalam penentuan BOT dilakukan 2 kali pengovenan, pengovenan pertama


dengan suhu 105 °C selama 24 jam dan yang kedua dengan suhu lebih dari atau
sama dengan 200 °C selama 24 jam yang kemudian dilanjutkan dengan
memasukkan tanah kedalam desikator selama kurang lebih 30 menit. Kadar BOT
dapat ditentukan dengan persamaan:

BOT = (BK(105) – BK(200)) / BK(105)) X 100%

Keterangan:
BOT : Bahan Organik Tanah (%)
BK(105) : Berat Kering Oven 105 °C
BK(200) : Berat Kering Oven 200 °C

Resprasi Tanah
Penetapan respirasi tanah dilakukan dengan menggunakan metode
Verstraete. Sebanyak 100 g tanah ditempatkan dalam toples plastik bening yang
didalamnya dimasukkan dua buah botol film yang berisi 5 ml 0.2 N KOH dan 10
ml H2O. Toples ditutup rapat kemudian diinkubasikan di tempat gelap pada suhu
kamar selama tiga hari. Pada akhir inkubasi, ditambahkan dua tetes phenoptaline
dan metil orange ke dalam botol film yang berisi KOH dan dititrasi dengan 0.1 N
HCl hingga warna berubah dari kuning menjadi merah muda. Jumlah HCl yang
digunakan pada titrasi tahap kedua berhubungan langsung dengan jumlah CO2
yang difiksasi. Perhitungan jumlah CO2 dilakukan dengan menggunakan
persamaan:
𝑎−𝑏 𝑥 𝑡 𝑥 120
CO2 (gram tanah / hari) = 𝑛

Keterangan:
a = ml HCl untuk sampel media tanam
b = ml HCl untuk blanko
t = Normalitas HCl yang digunakan (0.0958 N)
n = Lama hari inkubasi
pH Tanah
penentuan pH tanah dilakukan dengan memasukkan contoh tanah dan
aquades ke dalam botol film dengan perbandingan 1:2, botol film tersebut
dikocok selama 5 menit kemudian didiamkan mengendap. Apabila seluruh
suspense tanah pada larutan tersbut telah mengendap, celupkan kertas indikator
pH selama 1 menit yang kemudian didiamkan selama 3 menit. Warna yang
terbentuk pada kertas indikator pH dicocokkan dengan warna-warna baku pH
yang terdapat pada kota kertas indikator pH sehingga besaran pH dapat
ditetapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis vegetasi

Komposisi Jenis
Komposisi vegetasi di Arboretum Fahutan dan Teaching Lab 6-13 spesies
tumbuhan bawah, 4-6 spesies semai, 2-6 spesies pancang, 2-3 spesies tiang, 2-14
spesies pohon (Tabel 1). Berdasarkan hasil pengamatan, vegatsi di Teaching Lab
mempunyai jumlah jenis yang paling sedikit pada pancang sampai pohon bila
dibandingkan dengan vegatasi di Arboretum Fahutan selaras juga dengan jumlah
individunya.

Tabel 1 Banyaknya jenis tumbuhan pada berbagai tingkatan pertumbuhan


Banyaknya
Lokasi Tingkat Pertumbuhan Banyaknya Jenis
Individu
Tumbuhan bawah 13 6
Semai 67 4
Arboretum
Pancang 21 6
Fahutan
Tiang 4 3
Pohon 28 14
Jumlah 143 33
Tumbuhan bawah 190 13
Semai 13 6
Teaching
Pancang 2 2
Lab
Tiang 5 2
Pohon 2 2
Jumlah 212 25

Komposisi vegetasi di lokasi Arboretum Fahutan mempunyai jenis paling


banyak di pada tingkat pohon. Sementara itu, komposisi vegetasi di lokasi
Teaching Lab pada tingkat tumbuhan bawah mempunyai jenis yang paling banyak
dibandingkan dengan tingkat yang lainnya. Jumlah individu tumbuhan bawahnya
pun sangat banyak pada tingkat tumbuhan bawah dan berkurang sangat banyak
pada fase semai, tiang, pancang, tiang, dan pohon. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Ogawa et al. 1987; Yamada 1975) bahwa hutan
tropis memiliki Komposisi vegetasi yang menggambarkan dinamika regenerasi
secara alami, dimana vegetasi pada fase semai (seedling) memiliki jumlah spesies
yang paling tinggi, selanjutnya berkurang pada fase pancang, tiang, dan pohon.
Hal ini disebabkan di Arboretum Fahutan sudah banyak perubahan dari kegiatan
manusia yang mengganggu pertumbuhan alami hutan tersebut. Sementara pada
lahan Teaching Lab disebabkan keadaan tanah yang asam mengakibatkan hanya
beberapa tanaman yang tahan saja yang dapat tumbuh sampai ke tingkat pohon.
Area yang cukup terbuka juga merupakan penyebab banyaknya tumbuhan bawah
di lokasi tersebut. Area terbuka mendukung tumbuhan bawah mendapatkan sinar
matahari secara penuh.
Kerapatan Individu
Nilai kerapatan individu tumbuhan disetiap lokasi penelitian disajikan
pada Tabel 2. Kerapatan adalah nilai yang menunjukkan jumlah individu dari
spesies spesies yang menjadi anggota dari suatu komunitas tumbuhan dalam
luasan tertentu (Setiadi et al. 1989).

Tabel 2 Kerapatan individu pada lokasi Arboretum Fahutan dan Teaching Lab
di Insitut Pertanian Bogor
Kerapatan Individu (ind/ha)
Lokasi Tumbuhan
Semai Pancang Tiang Pohon
bawah
Arboretum Fahutan 10833 55833 2800 133 233
Teching Lab 32666 2166 266 166 16

Ekosistem Arboretum Fahutan lebih rapat dibandingkan dengan ekosistem


Teaching Lab pada tingkat semai, pancang, dan pohon (Tabel 2). Sedangkan
untuk tumbuhan bawah lebih rapat di Teaching Lab. Hal ini disebabkan lokasi
Teaching Lab kondisi ekosistemnya lebih terbuka sehingga cukup cahaya
matahari yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tumbuhan bawah. Menurut
Destaranti (2017), beberapa tumbuhan bawah dapat tumbuh dan berkembang biak
dengan baik saat mendapatkan sinar matahari langsung dengan intensitas yang
tinggi. Di lokasi Arboretum Fahutan tumbuhan bawah lebih sedikit karena
kondisinya relatif sudah ternaungi dibandingkan dengan ekosistem di Teaching
Lab. Cahaya matahari menjadi faktor pembatas pertumbuhan tumbuhan bawah.
Kerapatan tiang dan pohon di Teaching Lab yang lebih rendah dikarenakan
memang lahan di Teaching Lab merupakan lahan terganggu dan baru ditanami
beberapa bibit pohon. Hal tersebut yang juga menjadikan kerapatan semai di
Teaching Lab lebih tinggi.

Kelimpahan dan Dominansi Vegetasi


Berdasarkan hasil analisis vegetasi, dilakukan perhitungan potensi
regenerasi dengan menghitung nilai frekuensi relatif (FR), kerapan relatif (KR),
dominasi relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP). Indeks nilai penting (INP)
merupakan salah satu parameter yang dapat menggambarkan peranan suatu jenis
tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan (Sundarapandian dan dan Swamy
2000). Indeks nilai penting merupakan penjumlahan nilai relatif kedua parameter
untuk tingkat semai dan pancang, sedangkan penjumlahan ketiga parameter untuk
tingkat tiang dan pohon Gunawan et al. (2011). Dominansi merupakan gambaran
suatu jenis tumbuhan dalam komunitasnya yang disajikan dalam bentuk indeks
nilai penting (Nahlunnisa et al. 2015).
Nilai INP dapat menentukan persentase dan bersarnya pengaruh yang
diberikan suatu jenis terhadap komunitasnya.
a. Tumbuhan Bawah
Kelimpahan jenis tumbuhan bawah di lokasi Arboretum Fahutan dan
Teaching Lab dapat dilihat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 INP Jenis-jenis Tumbuhan Bawah di Arboretum Fahutan


K KR
No Nama Jenis Jumlah F FR (%) INP
(ind/ha) (%)
1 Centrosema 3 2500 23.08 0.33 16.67 39.74
2 Caladium 3 2500 23.08 0.33 16.67 39.74
3 Melinis 1 833.33 7.69 0.33 16.67 24.36
4 Pacing (Costus
Spiralis) 4 3333.33 30.77 0.33 16.67 47.44
5 Saweg 1 83333 7.69 0.33 16.67 24.36
6 Tacca palmata 1 83333 7.69 0.33 16.67 24.36
TOTAL 13 10833.33 100.00 2.00 100.00 200.00

Tabel 4 INP Jenis-jenis Tumbuhan Bawah Teaching Lab


K
No Nama Jenis Jumlah KR(%) F FR(%) INP
(ind/ha)
1 Asystasia intrusa 24 4000 12.24 0.27 10.53 22.77
Centrosema 16 2666.67 8.16 0.27 10.53 18.69
2
pubescens
Chromolaena 1 166.67 0.51 0.07 2.63 3.14
3
odorata
4 Digitaria ciliaris 1 166.67 0.51 0.07 2.63 3.14
Tibouchina 2 333.33 1.02 0.07 2.63 3.65
5
urvilleana
6 Melastoma 22 3666.67 11.22 0.47 18.42 29.65
7 Melinis repens 32 5333.33 16.33 0.33 13.16 29.48
8 Mimosa pudica 4 666.67 2.04 0.13 5.26 7.30
9 Paku-pakuan 2 333.33 1.02 0.07 2.63 3.65
10 Passiflora foetida 6 1000 3.06 0.13 5.26 8.32
11 Setaria barbata 75 12500 38.27 0.53 21.05 59.32
12 Tetracera indica 1 166.67 0.51 0.07 2.63 3.14
Trichosanthes 10 1666.67 5.10 0.07 2.63 7.73
13
tricuspidatus
TOTAL 196 32666.67 100 2.53 100 200

Tabel 3 menunjukkan terdapatnya jenis tumubuhan yang sama pada kedua


lokasi yang yaitu Melinis repens dan Centrosema pubescens. Nilai Penting (INP)
tumbuhan bawah tertinggi di arboretum yaitu Pacing (47,44%) dan di Teaching
Lab yaitu Setaria barbata (59.32%).
Perbedaan nilai INP tumbuhan Pacing dengan tumbuhan Caladium dan
Centrosema di Teaching Lab tidak berbeda terlalu jauh. Tumbuhan Pacing
termasuk ke dalam jenis habitus semak tegak, biasa tumbuh di tempat dengan
sedikit naungan dan secara empiris dapat digunakan sebagai kontrasepsi
tradisional oleh masyarakat di sulawesi tenggara dengan cara direbus (Rahayu
et.al 2006). Tumbuhan Setaria barbata memiliki nilai INP tertinggi di Arboretum
Fahutan karena didukung kemampuan adaptasi yang baik serta tahan terhadap
naungan (Whiteman 1990).

b. Semai dan Pancang


Kelimpahan vegetasi tingkat semai di lokasi Arboretum Fahutan dan di
belakang Teaching Lab dapat dilihat pada Tabel 5. Vegetasi semai di dua lokasi
tersebut tidak menunjukkan jenis vegetasi semai yang sama.

Tabel 5 INP tingkat pertumbuhan semai dan pancang di Arboretum Fahutan


K KR
No Nama Jumlah F FR (%) INP
(ind/ha) (%)
Semai
1 Maesopsis eminii 6 5000 8.95 0.33 14.28 23.24
2 Mesua ferrea 7 5833.33 10.44 0.66 28.57 39.01
3 Piper aduncum 50 4166.67 74.62 0.66 28.57 103.19
4 Strombosia 4 3333.33 5.97 0.66 26.57 34.54
TOTAL 67 55833.33 100.00 2.33 100.00 200.00
Pancang
1 Strombosia 5 667.67 23.81 0.7 18.18 41.99
Syzygium
2 Polyanthum 1 133.33 4.76 0.3 9.09 13.85
3 Mesua ferrea 6 800 28.57 1.0 27.27 55.84
4 Litsea tumbelata 3 400 14.29 0.7 18.18 32.47
5 Kacangan 4 533.33 19.05 0.7 18.18 37.23
6 Averrhoa bilimb 2 267.67 9.52 0.3 9.09 18.61
TOTAL 21 2800.00 100.00 4 100.00 200.00

Tabel 6 INP tingkat pertumbuhan semai dan pancang di belakang Teaching Lab
K KR
No Nama Jumlah F FR (%) INP
(ind/ha) (%)
Semai
1 Gigantochloa 1
verticillata 166.67 7.69 0.07 12.50 20.19
2 Calophyllum 2
inophyllum 333.33 15.38 0.13 25.00 40.38
3 Palem 2 333.33 15.38 0.07 12.50 27.88
4 Eucalyptus 1
deglupta 166.67 7.69 0.07 12.50 20.19
5 Hevea 5
brasiliensis 833.33 38.46 0.13 25.00 63.46
6 Insia biijuga 2 333.33 15.38 0.07 12.50 27.88
TOTAL 13 2166.67 100.00 0.53 100 200
Pancang
1 Hevea
brasiliensis 1 133.33 50.00 0.33 50.00 100.00
2 Instia bijuga 1 133.33 50.00 0.33 50.00 100.00
TOTAL 2 266.66 100.00 0.66 100.00 200.00

Kelimpahan jenis vegetasi tingkat pancang di lokasi Arboretum Fahutan


dan Teaching Lab dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Vegetasi pancang di
dua lokasi tersebut tidak menunjukkan jenis vegetasi semai yang sama. Nilai INP
tertinggi pada tingkat pertumbuhan semai pada lokasi Arboretum Fahutan yaitu
jenis Piper aduncum (103.19%), sedangkan di Teaching Lab yaitu jenis Hevea
brasiliensis (63.46%). Nilai INP tertiggi pada tingkat pertumbuhan pancang pada
lokasi arboretum yaitu jenis Mesua ferrea (55.84%), sedangkan di Teaching Lab
nilai INP sama pada kedua jenis.
Tjitrosoepomoe (1994) menyebutkan tumbuhan jenis Piper memiliki
daerah persebaran yang luas, khususnya di kawasan tropis dan subtropis. Jenis
Hevea brasiliensis (karet) memiliki INP tertinggi pada tingkat semai di Teaching
Lab (Ph tanah = 5) dikarenakan tanaman karet sangat toleran terhadap kemasaman
tanah, dapat tumbuh pada Ph antar 3,5 – 7,5 (Budiman 2012).

c. Tiang dan Pohon


Kelimpahan jenis vegetasi tingkat tiang di lokasi Arboretum Fahutan dan
Teaching Lab dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tidak ditemukan satupun
jenis vegetasi yang sama tingkat tiang di kedua lokasi.

Tabel 7 INP tingkat pertumbuhan tiang dan pohon di Arboretum Fahutan


K KR FR D DR INP
No Nama F 2
(ind/ha) (%) (%) (m /ha) (%) (%)
Tiang
1 Altingia
excelsa 33.33 25 033 33.33 0.32 19.52 77.85
2 Cerbera
manghas 66.67 50 0.33 33.33 1.01 61.74 145.08
3 Litsea
tumbelata 33.33 25 0.33 33.33 0.30 18.74 77.07
TOTAL 133.33 100 1.0 100.00 1.63 100.00 300.00
Pohon
1 Combretace
8.33 3.57 0.33 5.26 0.45
ae 1.71 10.54
2 Hopea
25 10.71 1 15.78 1.67 6.28 32.788
mengarawan
3 Shorea
25 10.71 0.33 5.26 1.86
seminis 7 22.98
4 Altingia 8.33 3.57 0.33 5.26 0.29 1.12 9.95
excelsa
5 Shorea
33.33 14.28 1 15.78 6.53 24.50 54.58
leprosula
6 Maesopsis
16.66 7.14 0.66 5.26 1.48
eminii 5.58 17.98
7 Schima
8.33 3.57 0.33 5.26 1.96
wallichii 7.36 16.19
8 Hopea
25 10.71 0.33 10.52 2.49 9.34 30.58
mengarawan
9 Strombosia
16.66 7.14 0.33 5.26 1.55 5.84 18.25
ceylanica
10 Pachira
16.66 7.14 0.33 5.26 1.14 4.28 16.69
affinis
11 Mesua
16.66 7.14 0.33 5.26 2.70 10.13 22.54
ferrea
12 Eusideroxyl
8.33 3.57 0.33 5.26 0.66 2.48 11.32
on zwageri
13 Maesopsis
16.66 7.14 0.33 5.26 1.85 6.95 19.36
eminii
14 Pinus
8.33 3.57 0.33 5.26 1.96 7.36 16.19
merkusii
TOTAL 233.33 100.00 6.33 100.00 26.65 100.00 300.00

Tabel 8 INP tingkat pertumbuhan tiang dan pohon belakang Teaching Lab
No K FR D DR INP
Nama KR (%) F
(ind/ha) (%) (m2/ha) (%) (%)
Tiang
No K FR D DR INP
Nama KR (%) F
(ind/ha) (%) (m2/ha) (%) (%)
1 Hevea 100 60 0.33 50 0.05 54.42 164.42
brasilensis
2 Falcataria 66.67 40 0.33 50 0.04 45.58 135.58
moluccana
Total 166.67 100 0.67 100 0.09 100 300
Pohon
No FR D DR INP
Nama K (ind/ha) KR (%) F 2
(%) (m /ha) (%) (%)
1 Falcataria 8.33 50 0.33 50 0.01 46.07 146.07
moluccana
2 Mangifera 8.33 50 0.33 50 0.01 53.93 153.93
foetida
Total 16.67 100 0.67 100 0.02 100 300

Kelimpahan jenis vegetasi tingkat pohon di lokasi Arboretum Fahutan dan


Teaching Lab dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tidak ditemukan satupun
jenis vegetasi yang sama tingkat tiang di kedua lokasi.
Indeks Keanekaragaman dan Dominasi
Keanekaragaman dapat dilihat dari nilai indeks Shannon-Wiener (H’)
sedangkan untuk mengetahui dominasi spesies tumbuhan, data dianalisis
menggunakan Indeks Simpson (λ) (Marpaung 2009) . Hasil perhitungan indeks
Shannon-Wiener dan Simpson pada areal yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 9
dan Tabel 10.

Tabel 9 Indeks Shannon-Wiener (H’) dan Simpson (λ)


Indeks Keanekaragaman
Tingkat Pertumbuhan
H' Λ
Tumbuhan bawah 0.70 0.21
Semai 0.36 0.57
Pancang 0.72 0.20
Tiang 0.45 0.37
Pohon 1.10 0.08

Tabel 10 Indeks Shanon Wienner H dan Simpson Teaching Lab


Indeks Keanekaragaman
Tingkat Pertumbuhan
H' Λ
Tumbuhan bawah 1.88 0.44
Semai 1.63 0.46
Pancang 0.69 0.24
Tiang 0.67 0.23
Pohon 0.69 0.24

Keanekaragaman spesies menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan


variasi spesies tumbuhan dari suatu komunitas (Susantyo, 2011). Besaran H` < 1
menunjukkan keanekaragaman jenis rendah, H` antara 1 – 3 menunjukkan
keanekaragaman jenis tergolong sedang dan H` > 3 menunjukkan
keanekaragaman tinggi (Fitriana 2006).
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) spesies tumbuhan penyusun di Teaching
Lab pada tingkat tumbuhan bawah dan semai memiliki tingkat keanekaragaman
yang sedang, sedangkan pada tingkat pancang, tiang, dan pohon memilki tingkat
keanekaragaman yang rendah. Keanekaragaman yang lebih tinggi pada tingkat
tumbuhan bawah dan semai dikarenakan kondisi lingkungan yang mendukung
yakni lahan terbuka, tidak adanya naugan sehingga mendapat sinar matahari
penuh. Kusmana dan Melyanti (2017) menyebutkan keanekaragaman tingkat
semai dan tumbuhan bawah yang relatif tinggi dibandingkan tingkat pancang,
tiang, dan pohon mengindikasikan adanya perkembangan kearah pemulihan
kawasan yang rusak, hal ini sesuai dengan kondisi di Teaching Lab yang
merupakan gambaran dari kondisi lahan terganggu/rusak. Sebaliknya, pada
wilayah pengamatan di Arboretum Fahutan menunjukan tingkat keanekaragaman
tertinggi ada pada tingkat pohon. Keanekaragaman yang rendah pada tingkat
tumbuhan bawah, semai, pancang, dan tiang dikarenakan sulitnya cahaya matahari
menembus hingga ke lantai hutan (Destaranti et.al 2017).
Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui kekayaan spesies serta
keseimbangan jumlah individu setiap spesies dalam ekosistem. Jika dominasi
lebih terkonsentrasi pada satu spesies, nilai indeks dominasi akan meningkat dan
sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai
indeks dominasi akan rendah (Marpaung 2009). Indeks dominasi berkisar antara 0
- 1. D = 0, berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau
struktur komunitas dalam keadaan stabil. D = 1, berarti terdapat spesies yang
mendominasi spesies lainnya, atau struktur komunitas labil karena terjadi tekanan
ekologis (Odum, 1971 dalam Fachrul et al. 2005).
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai Indeks Dominasi
Simpson (C) pada kedua ekosistem pengamatan berkisar antara 0,06 - 0,18.
Meskipun jika dilihat dari INP tumbuhan pada masing-masing lahan didapatkan
bahwa adanya penguasaan lahan atau dominasi oleh spesies tumbuhan tertentu,
akan tetapi dominasi tersebut tidak berpengaruh terhadap tumbuhan lain. Hal
tersebut dibuktikan dari hasil analisis data Indeks Simpson yang menunjukkan
bahwa tidak terjadi dominasi spesies tumbuhan tertentu dalam ekosistem (D=0),
baik pada ekosistem arboretum maupun Teaching Lab. Hal ini juga menandakan
spesies tumbuhan penyusun ekosistem memiliki kemampuan adaptasi dan
bertahan hidup yang relatif sama (Mardiyanti et.al 2013).

Tanah

Tekstur Tanah
Tekstur tanah termasuk dalam salah satu sifat tanah yang paling sering
ditetapkan. Hal ini disebabkan, karena tekstur tanah menentukan kemampuan
tanah untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Tekstur tanah yang berbeda akan
mempengaruhi kemampuan tanah menyimpan dan menghantarkan air,
menyimpan dan menyediakan hara tanaman yang berbeda pula (Soil Survey Staff
1998). Tanah yang berlokasi di belakang Teaching Lab pada plot 1, 2 dan 3
memiliki tekstur tanah loamy sand (pasir berlempung). Tanah bertekstur pasir
berlempung memiliki fraksi pasir yang lebih dominan. Tanah yang memiliki
kandungan pasir >70% sebagian ruang pori berukuran besar sehingga aerasinya
baik, daya hantar air cepat, akan tetapi kemampuan menyimpan unsur hara rendah
(Islami dan Utomo 1995).
Tanah yang berlokasi di Arboretum Fakultas Kehutanan IPB pada plot 1, 2
dan 3 memiliki tekstur tanah loam (lempung). Tanah yang bertekstur lempung
mempunyai kemampuan yang baik dalam menyediakan air tersedia bagi
pertumbuhan tanaman, karena kombinasi antara luas permukaan dengan ukuran
pori (Foth 1998).

Struktur Tanah
Struktur merupakan susunan partikel-partikel dalam tanah yang
membentuk agregat-agregat serta agregat satu dengan yang lainnya dibatasi oleh
bidang alami yang lemah. Struktur tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman, mempengaruhi sifat dan keadaan tanah seperti gerakan air dan aerasi,
tata air, pernafasan akar tanaman serta penetrasi akar tanaman (Syarief 1989).
Tanah yang berlokasi di belakang Teaching Lab pada plot 1, 2 dan 3 memiliki
struktur tanah gumpal bersudut. Struktur gumpal bersudut memiliki sifat pejal
(massive) sehingga kemampuan akar dalam mempenetrasi semakin rendah,
tingkat porositas tanah yang kecil dan memiliki tingkat pori yang lebih kecil
sehingga tingkat aerasi di dalam tanah rendah (Pairunan et al. 1997).
Tanah yang berlokasi di Arboretum Fakultas Kehutanan IPB pada plot 1, 2
dan 3 memiliki struktur tanah granul. Tanah yang bestruktur granul atau remah
memiliki tingkat porositas yang lebih tinggi dan memiliki ruang pori tanah yang
besar berisi udara yang lebih sehingga menunjang tanaman dalam
perkembangannya (Pairunan et al. 1997).

Warna tanah
Menurut Hardjowigeno (1992), warna tanah berfungsi sebagai penunjuk
dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
terdapat dalam tanah tersebut. Secara umum kandungan bahan organik di suatu
lokasi dapat dilihat secara visual dari warna tanah khususnya bagian top soil.
Warna tanah yang lebih gelap umumnya menunjukkan kandungan bahan organik
yang lebih tinggi, meskipun tidak selalu demikian. Bahan organik tanah
merupakan sumber nutrisi bagi tanah yang berasal dari hasil pelapukan serasah-
serasah tumbuhan maupun bangkai binatang atau fauna tanah (Hakim et al. 1986).
Menurut Wirjodihardjo dalam Sutedjo dan Kartasapoetra (2002), intensitas
warna tanah dipengaruhi tiga faktor yaitu jenis mineral dan jumlahnya, kandungan
bahan organik tanah, dan kadar air tanah dan tingkat hidratasi. Tanah yang
mengandung mineral feldspar, kaolin, kapur, kuarsa dapat menyebabkan warna
putih pada tanah. Jenis mineral feldspar menyebabkan beragam warna dari putih
sampai merah. Hematit dapat menyebabkan warna tanah menjadi merah sampai
merah tua. Makin tinggi kandungan bahan organik maka warna tanah makin gelap
dan sebaliknya makin sedikit kandungan bahan organik tanah maka warna tanah
akan tampak lebih terang. Tanah dengan kadar air yang lebih tinggi atau lebih
lembab hingga basah menyebabkan warna tanah menjadi lebih gelap). Sedangkan
tingkat hidratasi berkaitan dengan kedudukan terhadap permukaan air tanah, yang
ternyata mengarah ke warna reduksi (gleisasi) yaitu warna kelabu biru hingga
kelabu hijau. Warna tanah ditentukan dengan membandingkan warna tanah
tersebut dengan warna standar pada buku Munsell Soil Color Chart. Diagram
warna baku ini disusun tiga variabel, yaitu hue, value, dan chroma. Hue adalah
warna spektrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombangnya. Value
menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya sinar yang
dipantulkan. Chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna
spektrum.
Tabel 11 Warna tanah hasil pengamatan lahan terbuka dan lahan bervegetasi

Lokasi Plot Warna Tanah


1 Dark reddish brown
Lahan terbuka 2 Dark red
3 Dark reddish brown
1 Dark Yelow red
Lahan bervegetasi 2 Yellow red brown
3 Yellow reddish red
Berdasarkan hasil pengamatan yang ditemukan pada plot pengamatan
lahan terbuka hasil klasifikasi tanah yang ditemukan dibandingkan dengan soil
munsell color terdapat dua warna tanah yaitu Dark red dan Dark reddish brown,
sedangkan untuk lahan bervegetasi masuk kategori warna yellow red, warna tanah
merupakan ciri tanah yang paling jelas dan mudah ditentukan dilapang. Warna
tanah mencerminkan beberapa sifat tanah. Kandungan bahan organik yang tinggi
pada tanah akan menimbulkan warna lebih gelap. Tanah dengan drainase yang
jelek atau sering jenuh air berwarna kelabu. Tanah yang mengalami dehidratasi
senyawa besi akan berwarna merah.
Suhu Tanah dan Suhu Lingkungan
Sebagai media tumbuh tanaman, suhu tanah secara tidak langsung turut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu merupakan faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Suhu berkorelasi positif dengan radiasi matahari. Tinggi rendahnya suhu di sekitar
tanaman ditentukan oleh radiasi matahri, kerapatan tanaman, distribusi cahaya
dalam tajuk tanaman, kandungan lengas tanah. Suhu tanah dapat diukur dengan
menggunakan alat yang dinamakan termometer tanah selubung logam. Suhu tanah
ditentukan oleh panas matahari yang menyinari bumi. Intensitas panas tanah
dipengaruhi oleh kedudukan permukaan yang menentukan besar sudut datang,
letak garis lintang utara dan selatan dan tinggi dari permukaan laut.
Menurut Nita Nurfitah (2011), suhu tanah merupakan hasil dari
keseluruhan radiasi yang merupakan kombinasi emisi panjang gelombang dan
aliran panas dalam tanah. Suhu tanah juga disebut intensitas panas dalam tanah
dengan satuan derajat Celcius, derajat Fahrenheit, derajat Kelvin dan lain-lain.
Suhu tanah yang rendah dapat mempengaruhi penyerapan air dari pertumbuhan
tumbuhan. Jika suhu tanah rendah, kecil kemungkinan terjadi transpirasi, dan
dapat mengakibatkan tumbuhan mengalami dehidrasi atau kekurangan air.
Pengaruh dari suhu tanah pada proses penyerapan bisa dilihat dari hasil perubahan
viskositas air, kemampuan menyerap dari membran sel, dan aktivitas fisiologi dari
sel-sel akar itu sendiri. Dengan kata lain pada keadaan udara yang panas maka
evaporasi air dari permukaan tanah akan semakin besar (Tisdale and Nelson
1966). Hanafiah (2010) menyebutkan bahwa suhu tanah ditentukan oleh interaksi
sejumlah faktor, dengan dua sumber panas, yaitu radiasi sinar matahari dan langit
(dominan), serta konduksi dari interior tanah (sangat sedikit).

Tabel 12 Suhu tanah, suhu lingkungan dan kelembaban


Lokasi Plot Suhu Tanah ˚C Suhu Lingkungan ˚C Kelembaban %
Lahan terbuka 1 26 32,5 62
2 25 29,4 70
3 25 28,5 80
Lahan bervegetsi 1 23,3 28,6 77
2 24 27,7 80
3 23,83 28,8 78

Hanafiah (2010) mendefinisikan Temperatur (Suhu) adalah suatu sifat


tanah yang sangat penting, secara langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman,
dan juga terhadap kelembapan, aerasi, struktur, aktivitas mikrobial, dan enzimatik,
dekomposisi serasah/ sisa tanaman dan ketersediaan hara-hara tanaman.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, pada lahan terbuka jika dibandingkan
dengan lahan bervegetasi suhu tanah pada lahan terbuka rata-rata lebih tinggi,
lokasi lahan terbuka suhu tanah lebih tinggi daripada lokasi lahan yang
bervegetasi karena di pengaruhi oleh sinar matahari yang tidak ternaungi
sedangkan pada tempat/lahan tertutup sinar yang masuk ke permukaan tanah
sangat kurang sekali karena ditutupi oleh daun yang merambat sehingga suhu
tanah lebih kecil. Selain perbedaan lokasi suhu juga dipengaruhi oleh waktu yaitu
antara pagi hari dan sore hari. Biasaya dipagi hari suhu tanah sangat rendah
karena sinar matahari yang sampai kebumi tidak begitu panas dan juga
kelembapan tanah masih basah. Suhu tanah setiap saat dipengaruhi oleh rasio
energi yang diserap dan yang dilepaskan. Hubungan perubahan konstan ini
digambarkan dalam perhitungan berdasarkan musim, bulanan, dan suhu tanah
harian (Brady, 1984). Selain itu suhu tanah dipengaruhi oleh aktivitas
mikrobakteri. Jangkauan suhu yang dicapai ketika nitrat dibentuk secara umum
berkisar antara 1°-40°C (34°-104° F). suhu tanah yang optimum pada 30° C (86°
F). Walau bagaimanapun juga, nitrat berhubungan dengan faktor optimum, kadar
nitrat rendah diperkirakan suhu tanah sekitar 34 F (Tisdale and Nelson 1960).
Suhu tanah juga akan dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari oleh
permukaan bumi. Siang hari suhu permukaan tanah akan lebih tinggi
dibandingkan suhu pada lapisan tanah yang lebih dalam, hal ini juga disebabkan
karena permukaan tanah yang akan menyerap radiasi matahari secara langsung
pada siang hari tersebut, baru kemudian panas dirambatkan ke lapisan tanah yang
lebih dalam secara konduksi. Sebaliknya, pada malam hari permukaan tanah akan
kehilangan panas terlebih dahulu, sebagai akibatnya suhu pada permukaan tanah
akan lebih rendah dibandingkan dengan suhu pada lapisan tanah yang lebih
dalam. Pada malam hari, panas akan merambat dari lapisan tanah yang lebih
dalam menuju ke permukaan (Lakitan 1992).

Bahan Organik Tanah


Bahan organik tanah merupakan sumber nutrisi bagi tanah yang berasal
dari hasil pelapukan serasah-serasah tumbuhan maupun bangkai binatang atau
fauna tanah (Hakim et al. 1986). Bahan organik menjadi salah satu pembenah
tanah yang telah dirasakan manfaatnya dalam perbaikan sifat-sifat tanah baik sifat
fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik memperbaiki struktur tanah,
menentukan tingkat perkembangan struktur tanah dan berperan pada pembentukan
agregat tanah (Rajiman et al. 2008), meningkatkan daya simpan lengas karena
bahan organik mempunyai kapasitas menyimpan lengas yang tinggi (Rajiman et
al. 2008).
Menurut Editorial (2007), kandungan bahan organik (karbon organik)
dalam tanah mencerminkan kualitas tanah yang langsung maupun tidak langsung
berpengaruh pada kualitas tanah tersebut. Bahan organik juga mampu
mempengaruhi keberlanjutan agronomi karena pengaruhnya pada indikator fisik,
kimia dan biologi dari kualitas tanah (Nardi et al. 2004). Pada wilayah tropika,
bahan organik berperan menyediakan unsur hara N, P dan S yang dilepaskan
secara lambat, meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah masam,
membantu memantapkan agregat tanah, memodifikasi retensi air, dan membentuk
kompleks dengan unsur mikro (Sanchez 1976). Meskipun kandungan bahan
organik kebanyakan tanah hanya berkisar 2%-10%, peranannya sangat penting
(Bot dan Benites 2005).

Tabel 13 Hasil Kandungan Bahan Organik Tanah BOT pada Pengamatan di


Lahan Teaching Lab dan Arboretum
Lokasi Plot BOT (%)
1 5,3
Teaching Lab 2 1,35
3 4,15
1 3,65
Arboretum 2 2,7
3 4,65

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang dilakukan, dapat


dijelaskan bahwa kandungan BOT pada kedua lokasi memiliki kandungan yang
sangat beragam. Khususnya lokasi Teaching Lab yang dimana pada plot 2
memiliki kandungan BOT yang sangat rendah sebesar 1,35% dan untuk plot 1 dan
3 masing-masing memiliki kandungan BOT yang tidak jauh berbeda sebesar 5,3%
dan 4,15%. Sedangkan untuk lokasi Arboretum, Kandungan yang memiliki BOT
rendah terletak pada plot 2 sebesar 2,7% dan untuk plot 1 dan 3 masing- masing
sebesar 3,65% dan 4,65%.
Kandungan BOT pada tanah dipengaruhi oleh Laju dekomposisi bahan
organik yang ditentukan oleh faktor dari dalam yaitu bahan organiknya sendiri
dan faktor luar (lingkungan). Faktor lingkungan berpengaruh lewat pertumbuhan
dan metabolisme jasad renik pengurai. Faktor lingkungan yang utama
berpengaruh adalah suhu, kelembaban, pH, dan potensial redoks. Faktor dari
dalam adalah susunan kimia bahan organik. Bahan organik yang lebih banyak
mengandung lignin lebih sulit terombak. Bahan organik yang lebih banyak
mengandung selulosa, hemiselulosa, dan senyawa-senyawa larut-air lebih mudah
terombak. Urutan senyawa organik mulai dari yang mudah terombak sampai
dengan yang paling sulit terombak ialah (gula, amilum, protein sederhana) >
(protein rumit, pektin, hemiselulosa) > selulosa > (lignin, lilin, damar, tanin).
Urutan ketahanan bahan tumbuhan ialah legum < (rumput, rempah) < semak dan
pohon berdaun lebar < conifer < tumbuhan padang (semak pendek dari familia
Ericeae, mencakup a.l. genus Rhododendron). Bagian-bagian trubus lebih mudah
terombak daripada akar (Schroeder 1984).

pH Tanah
pH tanah adalah tingkat keasaman atau kebasa-an suatu benda yang diukur
dengan skala pH antar 0 hingga 14. Suatu benda dikatakan bersifat asam jika
angka skala pH kurang dari 7 dan disebut basa jika skala pH lebih dari 7. Jika
skala pH adalah 7 maka benda tersebut bersifat netral, tidak asam maupun basa.
Kondisi tanah yang paling ideal untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman
adalah tanah yang bersifat netral. Namun demikian beberapa jenis tanaman masih
toleran terhadap tanah dengan pH yang sedikit asam, yaitu tanah yang memiliki
pH maksimal 5.
Tabel 14 Hasil Pengukuran pH di Lahan Teaching Lab dan Arboretum Fahutan
Lokasi Plot pH
1 5
Teaching Lab 2 5
3 5
1 6
Arboretum 2 6
3 5

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang dilakukan, dapat


dijelaskan bahwa pada lokasi Teaching Lab secara keseluruhan disetiap plot
memiliki ph 5. Sedangkan untuk di lokasi Arboretum pada plot 1 dan 2 memiliki
pH 6 dan plot 3 memiliki pH 5. Perbedaan pH pada lokasi Teaching Lab dan
Arobertum dapat diasumsikan dikarenakan kondisi Tutupan lahan pada lokasi
Arboretum lebih tertutup dibanding Teaching Lab. Dengan adanya tutupan lahan
tersebut tingkat serasah akan lebih tinggi dan meningkatkan kandungan organik
yang diakibatkan proses dekomposisi pada tanah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah Sistem tanah yang
dirajai oleh ion-ion H + akan bersuasana asam.Penyebab keasaman tanah adalah
ion H+ dan Al3+ yang berada dalam larutan tanah unsur-unsur yang terkandung
dalam tanah, konsentrasi ion H+ dan ion OH- , mineral tanah, air hujan dan bahan
induk. Bahwa bahan induk tanah mempunyai pH yang bervariasi sesuai dengan
mineral penyusunnya dan asam nitrit yang secara alami merupakan komponen
renik dari air hujan juga merupakan faktor yang mempengaruhi pH tanah, selain
itu bahan organik dan tekstur (Rossi dan Renan 2009).
Bahan organik mempengaruhi besar kecilnya daya serap tanah akan air.
Semakin banyak air dalam tanah maka semakin banyak reaksi pelepasan ion H+
sehingga tanah menjadi masam. Tekstur tanah liat mempunyai koloid tanah yang
dapat yang dapat melakukan kapasitas tukar kation yang tinggi. tanah yang
banyak mengandung kation dapat berdisiosiasi menimbulkan reaksi masam. Pada
tanah yang masam dalam hal ini tanah ultisol, pengapuran sangat penting
dilakukan, karena tujuan pengapuran adalah menetralisir kemasaman meniadakan
pengaruh Al yang beracun, dan secara langsung menyediakan Ca bagi tanaman.
Dua masalah utama yang melekat pada tanahtanah masam bagi suatu tanaman
adalah: Keracunan Alumunium, Kejenuhan Al yang lebih tinggi. Keracunan
alumunium langsung merusak akar tanaman, menghambat pertumbuhannya dan
menghalangi pengambilan dan translokasi kalsium maupun fospor (Rossi dan
Renan 2009).

Respirasi Tanah
Respirasi tanah merupakan salah satu indikator dari aktivitas biologi tanah
seperti mikroba, akar tanaman atau kehidupan lain di dalam tanah, dan aktivitas
ini sangat penting untuk ekosistem di dalam tanah. Penetapan respirasi tanah
berdasarkan penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah
dan jumlah O2 yang digunakan oleh mikroorganisme tanah (Anas 1989). Menurut
Hanafiah (2005) bahan organik tanah berasal dari tanaman yang tumbuh di
atasnya, sehingga kadar bahan organik tanah sangat tinggi pada lapisan atas tanah
dan menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah. Tanah yang bervegetasi
akan mempunyai kadar bahan organik yang tinggi, sebaliknya pada tanah yang
gundul tanpa vegetasi maka kadar bahan organiknya rendah.
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan
tanah untuk mendukung tanaman. Oleh karena itu, jika bahan organik tanah
(BOT) menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman
juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik tanah merupakan salah satu
bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Tinggi rendahnya bahan organik juga
mempengaruhi jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah. Meningkatnya
kegiatan organisme tanah tersebut akan mempercepat dekomposisi bahan organik
(Nurmegawati et al. 2014).
Tabel 25 Perbandingan Respirasi Tanah Hutan
Respirasi Tanah (g/hari)
Plot/Kelompok 1 2
1 12.7867 11.2267
2 9.41333 7.52
3 9.4 8.16
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Arboretum KSHE yang
dilakukan oleh kelompok 1 dan di ekosistem padang rumput di belakang Teaching
Lab yang dilakukan oleh kelompok 2, respirasi tanah ditemukan lebih tinggi pada
kelompok 1. Hal ini terjadi karena vegetasi yang menutupi tanah lebih rapat
sehingga aktivitas organisme tanah lebih tinggi. Hasil di atas didukung oleh Arifin
et al. (2010) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan dan tutupan vegetasi
mempengaruhi laju respirasi tanah.
Bahan organik mempunyai peranan yang penting di dalam tanah, yaitu
terhadap sifat-sifat tanah (Reeves 1997). Pemberian bahan organik dan sisa bahan
organik tidak hanya berfungsi sebagai sumber hara melainkan dapat
meningkatkan jumlah, keanekaragaman, mikroorganisme, serta aktvitas
mikroorganisme dalam tanah (Albiach et al. 2000). Ekosistem hutan (Arboretum
KSHE) mendapat bahan organik yang berasal dari serasah lebih banyak dibanding
pada ekosistem padang rumput. Serasah yang banyak menghasilkan kadar C-
organik yang tinggi sehingg menghasilkan bahan organic yang tinggi pula
(Nasution et al. 2015)
Siklus nutrisi yang terjadi pada hutan (Arboretum KSHE) merupakan
siklus hara tertutup sehingga masukan hara lebih tinggi. Bahan organik hasil
dekomposisi serasah di dalam tanah akan diurai oleh mikroorganisme tanah yang
memanfaatkannya sebagai sumber makanan dan energi menjadi humus, sehingga
dengan banyaknya bahan organik yang diberikan maka akan semakin tinggi nilai
C-Organik tanah (Sandrawati 2007).

Kondisi Biofisik Ekosistem Hutan dan Ekosistem Lahan Terganggu

Analisis kondisi biofisik yaitu analisis vegetasi dan analisis sifat tanah baik
itu sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah dilakukan di dua ekosistem, yakni
lahan Teaching Lab (ekosistem lahan terganggu) dan ekosistem Hutan Arboretum.
Tekstur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang paling sering ditetapkan. Hal
ini disebabkan, karena tekstur tanah mempengaruhi kemampuan tanah
menyimpan dan menghantarkan air, menyimpan dan menyediakan hara tanaman
yang berbeda pula (Soil Survey Staff, 1998). Tanah yang berlokasi di Teaching
Lab memiliki tekstur tanah loamy sand (pasir berlempung) sehingga aerasinya
baik, daya hantar air cepat, akan tetapi kemampuan menyimpan unsur hara rendah
(Islami dan Utomo, 1995). Tanah yang berlokasi di Hutan Arboretum memiliki
tekstur tanah loam (lempung), sehingga memiliki kemampuan yang baik dalam
menyediakan air tersedia bagi pertumbuhan tanaman, karena kombinasi antara
luas permukaan dengan ukuran pori (Foth, 1998). Tekstur tanah mempengaruhi
besarnya bulk density dan porositas tanah, serta tentunya berkaitan pula dengan
sifat tanah yang lain, seperti struktur tanah dan bahan organik. Rendahnya bulk
density akan berimplikasi terhadap rendahnya daya menahan beban pada tanaman.
Bulk density pada lahan Teaching Lab lebih rendah dibandingkan pada Hutan
Arboretum dan hal ini selaras pula dengan porositas tanahnya yang menunjukkan
hasil lebih tinggi pada Hutan Arboretum. Porositas tanah yang tinggi dapat
menentukan cepat atau lambatnya air masuk ke dalam tanah (Saputra et al. 2018).
Semakin besar porositas tanah berarti semakin mudah tanah dalam menyerap air.
Porositas tanah dikatakan baik apabila tanah memiliki porositas yang besar karena
perakaran tanaman lebih mudah menyerap hara dan air. Tanah dengan porositas
yang lebih tinggi disebabkan karena strukturnya yang berbentuk granul atau
remah sehingga memiliki ruang pori tanah yang besar untuk menunjang tanaman
dalam perkembangannya, seperti struktur tanah pada Hutan Arboretum.
Sedangkan tanah yang berlokasi di Teaching Lab memiliki struktur tanah gumpal
bersudut bersifat pejal (massive), sehingga kemampuan akar dalam mempenetrasi
semakin rendah, tingkat porositas tanah yang kecil dan memiliki tingkat pori yang
lebih kecil dan tingkat aerasi di dalam tanah rendah (Pairunan et al., 1997).
Komposisi vegetasi di lokasi arboretum fahutan mempunyai jenis paling
banyak di pada tingkat pohon. Sementara itu, komposisi vegetasi di lokasi
Teaching Lab pada tingkat tumbuhan bawah mempunyai jenis yang paling banyak
dibandingkan dengan tingkat yang lainnya. Area yang cukup terbuka merupakan
penyebab banyaknya tumbuhan bawah di lokasi tersebut. Area terbuka
mendukung tumbuhan bawah mendapatkan sinar matahari secara penuh. Jika
diamati, area terbuka (lahan Teaching Lab) memiliki suhu rata-rata lebih tinggi
dibandingkan dengan Hutan Arboretum, karena di pengaruhi oleh sinar matahari
yang tidak ternaungi sedangkan pada Hutan Arboretum sinar yang masuk ke
permukaan tanah berkurang karena ditutupi oleh daun yang merambat sehingga
suhu tanah lebih kecil. Begitupun sama halnya dengan suhu lingkungan. Banyak
sedikitnya vegetasi yang tumbuh berdampak pada bahan organik yang ada di
lahan tersebut. Sumber utama bahan organik adalah dekomposisi serasah dari
vegetasi yang tumbuh di sana, jika keberadaan vegetasinya rendah maka
kandungan bahan organik tanah juga rendah.
Bahan organik tanah pada lahan Teaching Lab dari ketiga plot menunjukkan
angka rataan 3,6% sedangkan pada Hutan Arboretum menunjukkan angka rataan
3,66%. Perbandingan angka tersebut mengindikasikan bahwa bahan organik di
Hutan Arboretum lebih tinggi dibandingkan lahan Teaching Lab. Hal ini
disebabkan karena Hutan Arboretum termasuk dalam ekosistem yang masih alami
dan siklus nutrisi yang terjadi pada Hutan Arboretum merupakan siklus hara
tertutup sehingga masukan hara lebih tinggi, sedangkan lahan Teaching Lab
merupakan lahan terganggu dengan karakteristik pH yang rendah dan sedikit
vegetasi yang tumbuh di sana. Salah satu penyebab keberadaan vegetasi di lahan
Teaching Lab yang rendah adalah karena pH tanah yang cukup masam yaitu 5,
sedangkan pada Hutan Arboretum mendekati netral yaitu 6. Faktor-faktor yang
menyebabkan pH tanah rendah adalah sistem tanah yang dirajai oleh ion-ion H+.
Selain itu, tanah didominasi oleh unsur Fe dan Al dicirikan dengan warna tanah
yang merah, menandakan tanah tersebut adalah tanah oksidasi atau tanah tua,
banyak unsur-unsur hara yang telah tercuci, sehingga mengakibatkan pH rendah
dan berdampak pada sedikitnya vegetasi yang mampu hidup di lahan tersebut. pH
tanah masam dicirikan dengan warna tanah yang merah, sesuai dengan hasil dari
munsell soil color chart yaitu tanah Teaching Lab termasuk dalam kategori warna
Dark red dan Dark reddish brown. Sedangkan untuk tanah di Hutan Arboretum
termasuk dalam kategori warna yellow red. Kandungan bahan organik yang tinggi
pada tanah akan menimbulkan warna lebih gelap, yaitu sesuai pada tanah di Hutan
Arboretum.
Menurunnya kadar bahan organik tanah merupakan salah satu bentuk
kerusakan tanah yang umum terjadi. Tinggi rendahnya bahan organik juga
mempengaruhi jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah. Bahan organik
yang lebih tinggi di Hutan Arboretum dibandingkan lahan Teaching Lab selaras
dengan respirasi tanah yang lebih tinggi pula di Hutan Arboretum. Hal ini terjadi
karena vegetasi yang menutupi tanah lebih rapat sehingga aktivitas organisme
tanah lebih tinggi. Hasil di atas didukung oleh Arifin et al. (2010) yang
menyatakan bahwa faktor lingkungan dan tutupan vegetasi mempengaruhi laju
respirasi tanah.

KESIMPULAN

Analisis kondisi biofisik ekosistem dapat dilihat dari hasil analisis vegetasi
dan sifat tanah. Ekosistem Hutan Arboretum menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan ekosistem lahan Teaching Lab, dapat dilihat dari komposisi vegetasi
yang tumbuh di hutan lebih beraneka ragam dan berpengaruh pada kandungan
bahan organik yang tinggi, pH mendekati netral, respirasi tanah tinggi, struktur
tanah remah, dan sifat tanah lainnya yang baik untuk mendukung kehidupan
tanaman. Sedangkan pada lahan Teaching Lab menunjukkan hasil yang kurang
baik karena termasuk dalam ekosistem lahan terganggu dan lahan kritis, sehingga
hanya beberapa tanaman yang mampu hidup di lahan tersebut.

SARAN

Perlu dilakukan pengamatan lanjutan untuk mengetahui perbedaan secara


mendetail dari ekosistem hutan dan ekosistem lahan terganggu, misalnya dengan
menambah parameter sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, serta menambah jumlah
plot sampel yang diambil agar hasil yang didapatkan mewakili sifat tanah tersebut
yang sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Albiach R, Canet R, Pomares F, Ingelmo F. 2000. Microbial biomass content and


enzymatic after the application of organic amendments to a horticultural.
Soil. Biores. Tech. 75 : 43-48.
Anas I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktik. Bogor (ID) : Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendarl Pendidikan Tinggi Pusat antar
Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Arifin, Zaenal, Sunarminto BH. 2010. Pengaruh penggunaan lahan terhadap
respirasi tanah entisol di KP4 UGM Kalitirto Kabupaten Sleman DIY
[Tesis]. Yogyakarta (ID) : Universitas Gajah Mada.
Bot A, Benites J. 2005. The Importance of Soil Organic Matter Key to Drought-
Resistant Soil and Sustained Food and Production. Rome : FAO
Brady NC. 1984. The Nature and Properties of Soils. New york (US) :
Macmillan Publishing Company,
Budiman Haryanto, S.P. 2012. Budidaya Karet Unggul. Yogyakarta (ID) :
Pustaka Baru Press
Destaranti N, Silistyani, Yani E. 2017. Struktur dan vegetasi tumbuhan bawah
pada tegakan pinus di RPH Kalirajut dan RPH Baturraden Banyumas.
Scripta Biologica. 4(3): 155-160.
Dudley N, Mansourian S, Vallauri D. 2005. Introducing forest landscape
restoration. Dalam Mansourian S, Vallauri D, dan Dudley N (Eds.). Forest
Restoration in Landscapes: Beyond Planting Trees. New York (US):
Springer.
Editorial. 2007. Farming Carbon. Soil & Tillage Research 96 : 1-5
Fitriana YR. 2006. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoo-bentos di
hutan mangrove hasil rehabilitasi taman hutan raya Ngurah Rai Bali.
Biodiversitas 7(1):67-72.
Foth HD 1998. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta (ID) : Gajah Mada
University Press.
Gunawan B. 2009. Bahan Organik Dan Pengelolaan Nitrogen Lahan Pasir.
Bandung (ID) : Unpad Press
Gunawan W, Basuni S, Indrawan A, Prasetyo LB, Soedjito H. 2011. Analisis
komposisi dan struktur vegetasi terhadap upaya restorasi kawasan hutan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. JPSL. 1(2):93–105.
Hakim. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung. Lmpung (ID) : Penerbit
Universitas Lampung.
Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID) : Grafindo Prasada.
Hanafiah KA. 2010. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID) : Penerbit PT Raja
Grafindo Persada,
Harahap FR. 2016. Restorasi lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka. Jurnal
Society. 6 (1): 61 – 69.
Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. Jakarta (ID) : PT. Mediyatama
Sarana Perkasa
Islami T, Utomo WH. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. Semarang (ID)
: IKIP Semarang Press.
Lakitan B. 1992. Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya
Macdonald SE, Landhausser SM, Skousen J, Franklin J, Frouz J, Hall S, Jacobs
DF, Quideau S. 2015. Forest restoration following surface mining
disturbance: challenges and solutions. New Forests. 46: 703 – 732.
Mardiyanti DE, Wicaksono KP, dan Baskara Medha. Dinamika keanekaragaman
spesies tumbuhan pasca pertanama padi. Jurnal Produksi Tanaman 1(1) :
24-35.
Nahlunnisa H, Zuhud EAM, Prasetyo LB. 2015. Penyebaran spasial
keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat di Kampung Nyungcung, Desa
Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor. Media Konservasi 20(3):187–196
Nardi S, Morari F, Berti A, Tosoni M, Giardini L. 2004. Soil Organic Matter
Properties After 40 Years of Different Use of Organic and Mineral
Fertiliser. J. Agronomy 21 : 357-367
Nasution NAP, Yusnaini S, Niswati A, Dermiyati.2015. Respirasi tanah pada
sebagian lokasi di hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). J.
Agrotek Tropika. 3(3) : 427-433.
Nurmegawati, Afrizon, dan D.Sugandi. 2014. Kajian kesuburan tanah perkebunan
karet rakyat di Provinsi Bengkulu. J. Littri Puslitbang Perkebunan. 20 (1) :
17-26.
Ogawa H, Yoda K, Kira, Orgino K. 1987. Comparative Ecological Study on Tree
Main Type of Forest Vegetation in Thailand I Structure and Floristic
Composition. Nature and life in Southeast Asia IV: 12-48.
Pairunan AK, Nanere L, Arifin S, Samosir SR, Tangkaisari R, Lalopua JL,
Ibrahim B, Asmadi H. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Makassar (ID) :
Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Bagian Timur.
Rahayu dan Mulyati. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional oleh
Masyarakat Lokal di Pulai Wawonii, Sulawesi Tenggara. Bogor (ID) : LIPI.
Reeves W. 1997. The role of soil organic matter in maintaining soil quality in
continuous cropping system. Soil and Tillage Research. 43: 131-167.
Rossi P, Renan S. 2009. Analisis Tanah Sebagai Indikator Tingkat Kesuburan
Lahan Budidaya Pertanian Di Kota Semarang. [Skripsi]. Semarang (ID) :
Universitas Wahid Hasyim Semarang
Sanchez PA. 1976. Properties And Management of Soils in the Tropics. A Wiley
Interscience Publication. New York (US) : John Wiley and Sons.
Sandrawati A. 2007. Pengaruh kompos sampah kota dan pupuk kandang ayam
terhadap beberapa sifat kimia tanah dan hasil tanaman jagung manis (Zea
Mays Saccharata) pada Fluventic Eutrudeps asal Jatinangor Kabupaten
Sumedang. J. Ilmu Tanah. 14: 13-14.
Santoso B. 2008. Kebocoran Hutan dan Anomali Illegal Logging. Jakarta (ID):
Wana Aksara.
Schroeder D. 1984. Soil–Facts and Concepts. Germany :International Potash
Institude
Sembiring S. 2008. Sifat kimia dan fisik tanah pada areal bekas tambang bauksit
di pulau Bintan, Riau. Info Hutan. 5 (2): 123 – 134.
Setiadi D, Muhadiyono I, Yusron A. 1989. Ekologi. Bogor. Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor
Soil Survey Staff. 1998. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia.
Bogor (ID) : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sriwanita C, Mubarak, Nurhidayah T. 2017. Analisis luasan hutan kota
berdasarkan kemampuan menyerap CO2, kebutuhan O2, dan kebutuhan air
di Kota Pekanbaru. Dinamika Lingkungan Indonesia. 4 (2): 75 – 85.
Suhendang E. 2013. Pengantar Ilmu Kehutanan: Kehutanan sebagai Ilmu
Pengetahuan, Kegiatan, dan Bidang Pekerjaan. Bogor (ID): IPB Press.
Sundarapandian SM, Swamy PS. 2000. Forest ecosystem structure and
composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India.
Journal of Tropical Forest Science 12(1):104–123.
Sutedjo MM, Kartasapoetra AG. 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Cetakan
Ketiga. Jakarta (ID) :Rineka Cipta.
Syarief S. 1989. Fisika-Kima Tanah Pertanian. Bandung (ID) : Penerbit Pustaka
Buana.
Tisdale SL, Nelson WL. 1960. Soil Fertility And Fertilizers. New york (US) :
The Macmillan Company
Tisdale SL, Nelson WL. 1966. Soil Fertility and Fertilizers. New York. (US) :
MacMillan Publishing.
Tjitrosoepomo G. 1994. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gajah Mada
University Press
Whiteman PC. 1990. Ilmu Pemupukan. Jakarta (ID) : CV Yasaguna.
Yamada I. 1975. Forest Ecological Studies of The Montane Forest of Mt.
Pangrango, West Java II Stratification and Floristic Composition on The
Forest Vegetation on The Higher part of Mt. Pangrango. Tonan Ajia
Kenkyu 13(4): 513-534.
LAMPIRAN

Gambar 1 Dokumentasi kegiatan praktikum di Teaching Lab

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai