Anda di halaman 1dari 13

Menyoal: Pluralisme Dalam Dakwah Indonesia, Haruskah?

M. Wahyu Abdi Nugroho

Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Komunikasi Penyiaran dan Retorika Dakwah

Bukan hal yang diragukan lagi bahwa Indonesia adalah negara yang heterogen penduduknya.
Bahkan melalui data BPS tahun 2010 tercatat ada lebih dari 300 etnik yang mendiami negara
ini, tepatnya 1.340 suku bangsa(Indonesia, 2017). Keanekaragaman tersebut pula diperkaya
dengan berbagai penganut agama yang berbeda dan hidup dalam satu atap negara Indonesia.
Setidaknya ada enam agama yang resmi diakui oleh kedaulan Indonesia yaitu Islam sekitar
87,2 %, Protestan 6,9 %, Katolik 2,9 %, Hindu 1,7 %, Budha 0,7 %, dan Khonghucu sekitar
0,05%(Agama, n.d.). Lebih khusus dengan agama Islam sebagai agama yang menjadi
mayoritas di Indonesia juga diwarnai dengan keberagaman organisasi, aliran, tarekat, dan
mazhab. Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Salafi, Asya’irah, Maturidiyah,
Naqsabandiyah, dan masih banyak lagi. Heterogensi agama, etnis-budaya, hingga aliran Islam
ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Terutama dalam
menjaga asas-asas kerukunanan dan kedamaian.

Sejarah Indonesia pun telah mencatat beberapa kerusuhan yang dengan embel-embel agama di
dalamnya. Diantaranya konflik agama di Poso yang telah terjadi sejak tahun 1992 hingga
memuncak pada tahun 2000 hingga 2001. Kemudian konflik Sunni-Syi’ah di Jawa timur, dan
konflik agama di Bogor terkait adanya pembekuan kegiatan gereja oleh Kepala Dinas Tata
Kota dan Pertamanan Bogor tahun 2008(M. Yunus, 2014, pp. 222–225). Bahkan dari kalangan
Islam sendiri konflik tidak dapat terelakkan. Mulai dari pembubaran kegiatan pengajian,
pencekalan pembanguan masjid, ancaman kekerasan, dan lain sebagaianya. Dengan berbagai
macam sebab, mulai dari ujaran kebencian, pencemaran nama baik, hingga tuduhan
radikalisme juga turut menjadi isu yang diangkat ke permukaan untuk melegalkan tindakan-
tindakan tersebut.

Seperti sudah menjadi sebuah keniscayaan sebuah konflik terjadi lantaran sebab keragaman.
Entah itu keragaman budaya, suku, etnis, ataupun agama. Namun itukah yang menjadi fitrah
kita sebagai manusia? Berbeda untuk bermusuhan dan bertikai. Banyak berbagai penelitian
yang mengungkapkan berbagai akar dari muncul konflik agama di Indonesia. Salah satunya
apa yang diungkapkan oleh Ulya dan Anshori mengenai faktor konflik antar umat beragama,
pertama perbedaan dalam memahami doktrin agama, kedua fanatisme agama yang berlebihan,
dan ketiga faktor eksternal yang berasal dari luar agama terkait dengan faktor kepentingan
suatu kelompok agama yang bisa berupa politik, ekonomi, ataupun sosial(Ulya & Anshori,
2016, pp. 27–28). Kendati demikian dari perspektif internal Islam sendiri, muara dari konflik
yang terjadi baik antar agama ataupun antar umat Islam itu sendiri adalah jauhnya seorang
muslim dari agamanya. Tidak ada kebaikan dalam dunia ini -termasuk kedamaian hidup- yang
dapat diraih oleh seseorang kecuali dengan dua unsur, yaitu ilmu agama dan keimanan yang
berlandaskan atas ilmu(Ibn Muhammad, 2020). Dengan keimanan dan ilmu yang mendalam
seseorang akan mengetahui batasa-batasan dirinya untuk berbuat. Entah itu dalam muamalah
sesama muslim ataupun non-muslim. Orang yang beriman dan berilmu akan berhati-hati dalam
mengambil langkah, karena ia adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah.

ٌ ‫ِإنﱠ َما يَ ۡخشَى ٱ ﱠ َ مِ ۡن عِ بَا ِد ِه ۡٱلعُلَ ٰ َٓمؤُ ۗاْ ِإ ﱠن ٱ ﱠ َ َع ِز‬


ٌ ُ‫يز َغف‬
‫ور‬

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.


Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”(Al-Qur’an, n.d.)

Kemelut konflik antar umat beragama di Indonesia mengundang beberapa pihak tertarik untuk
menyuntikkan sebuah ideologi dalam praksis dakwah Islam Indonesia. Pluralisme disinyalir
dan digadang-gadang akan menjadi solusi dari heterogensi kebudayaan dan agama di
Indonesia. Hal tersebut tercemin dari ungkapan Atmaja dalam penelitaanya bahwa kehadiran
pluralisme adalah sebagai solusi dari pluralitas. Bahkan Nurkholis Majid yang dikenal sebagai
teolog pluralis berasumsi bahwa pluralisme adalah sebuah keharusan. Lantas bagaiamana
sebenarnya konsep dari paradigma ini?

Menurut Anis Malik Thoha, sesuai asal katanya pluralisme berasal dari bahasa Inggris, yakni
dari kata plural yang berarti “kemajmukan”. Sehingga jika dihubungkan dengan agama, maka
pluralisme agama ditakrifkan sebagai; keadaan hidup bersama antara agama yang berbeda-
beda dalam satu masyarakat dengan tetap mempertahankan ciri-ciri khusus atau ajarannya
masing-masing. Sementara Alwi Shihab memahami pluralisme agama adalah tiap pemeluk
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan.
Berangkat dari kedua pandangan di atas, maka pluralisme itu dapat diasumsikan yakni suatu
paham yang sifatnya beranekaragam di dalam suatu komuniktas masyarakat tentang suatu
objek tertentu, sementara jika dihubungkan dengan agama maka pluralisme agama adalah suatu
paham keagamaan yang berpariatif, atau dengan kata lain suatu sikap yang meyakini semua
agama benar dan sama, yang berbeda hanya pada cara memahaminya dan cara
mengaplikasikan ajaran-ajarannya di lapangan(Hamirudin, 2019, p. 335).

Selanjutnya Waskito berpandangan bahwa pluralisme dapat dilihat dari dua sisi yakni tataran
praktis dan tataran idiologis. Dalam tataran praktis, pluralisme dapat diterjemahkan sebagai
sikap menghargai perbedaan realitas dan saling menghormati antara pihak-pihak yang
berbeda, kita sering mendengar istilah toleransi, kalau dalam Islam kita mengenal
istilah tasammuh ‘ala al-ikhtilāf (sikap lapang dada dalam perbedaan pendapat).
Sementara dalam tataran idiologis pluralisme adalah sebuah gagasan (paham) yang
berasumsi bahwa semua agama benar dan sama, yang membedakannya hanya pada
masalah interpretatif tapi sama dalam subtantif(Wahid, 2021, p. 108).

Paham pluralisme dalam perspektif Frithjof Schuon memandang bahwa pada dasarnya
tidaklah penting perbedaan antar agama, karena kalau dilihat dari segi transenden dimana
yang ada hanyalah kesatuan, suatu hal yang merupakan jantung dari agama-agama.
Menurut pandangan ini, perbedaan yang penting bukanlah antara agama-agama, tetapi
antara orang-orang dalam setiap agama. Mereka yang bisa memahami apa yang ada
di atas garis –yaitu segi “kesatuan transenden agama-agama” –dapat didentifikasikan
sebagai seorang esoteris. Mereka itu –yang berasal dari berbagai maca agama –sadar
bahwa mereka secara ultim (titik puncak) ada dalam satu kesatuan dengan penganut
agama-agama lain, karena seluruhnya dari dan akan kembali kepada Sang Ilahi(Thaib
& Kango, 2020, p. 50).

Thaib dan Kango juga memberikan penilaian kepada perspektif Schuon tersebut dengan asumsi
bahwa Ibn Taymiyyah memiliki peimikiran yang sama dengannya. Bahwa Ibn Taymiyyah
menyatakan dengan tegas asal usul agama itu adalah satu yaitu Islam, walaupun berbeda
syari’atnya. Ibnu Taymiyah mendasarkan kesimpulannya pada ini kepada hadis Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan:

‫ اﻷنبياء إﺧوة لعﻼت‬،‫إن معاشر اﻷنبياء ديننا واحد‬

“Sesungguhnya kami adalah keluarga besar para nabi; agama kami satu, dan para nabi
adalah bersaudara seayah (walaupun ibunya berbeda-beda)”.
Dalam hal ini Thaib dan Kango tidak melihat secara komprehensif terhadap penyataan
tersebut. Jikalau dilihat dari komentar Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan hadis ini,

‫معنى الحديث أن أصل دينهم واحد وهو التوحيد وإن اﺧتلفت فروع الشرائع‬

“Makna hadis, bahwa prinsip agama para nabi itu sama, yaitu tauhid. Meskipun rincian
syariatnya berbeda-beda.”(Hajar, 1989, p. 489)

Islam sebagai agama diartikan dalam istilah syar’i yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah
dengan ketundukan dan keikhlasan, serta menerima segala yang datang dari rasul-Nya ‫ﷺ‬
bahwasanya ajarannya datang dari Allah subhanahu wa ta’ala(At-Thabbarah, 1995, p. 16).
Sudah bukan lagi hal yang tidak diketahui bahwa makna agama yang sama itu adalah agama
samawi, yaitu Islam, Nasrani, dan Yahudi. Namun kendati asal agama semua nabi adalah satu
yaitu tauhid, agama yang menjadi penghulu adalah Islam dan bukan yang lain. Maka jelas pula
agama-agama budaya seperti Hindu, Budha, dan Khonghucu tidak termasuk dalam hadis
tersebut.

ِ َ‫ب ِإ ﱠﻻ مِ ۢن بَعۡ ِد َما َجا ٓ َء ُه ُم ۡٱل ۡعِل ُم بَ ۡغ ۢيَا بَ ۡي َن ُه ۡۗم َو َمن يَ ۡكفُ ۡر ِبﺌا ٰي‬
‫ت ٱ ﱠ ِ َفإِ ﱠن ٱ ﱠ َ َس ِري ُع‬ َ َ ‫ف ٱلﱠذِينَ أُوتُواْ ۡٱلكِ ٰت‬ ۡ ‫ٱﻹسۡ ٰلَ ۗ ُم َو َما‬
َ ‫ٱﺧتَ َل‬ ِ ۡ ِ ‫إِ ﱠن ٱلدِّينَ عِندَ ٱ ﱠ‬
‫ب‬
ِ ‫سا‬ َ ِ‫ۡٱلح‬

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-
orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah
maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”(Al-Qur’an, n.d.)

Dakwah sendiri merupakan asas dan pondasi dari tersebarnya Islam dan ajarannya, bahkan
dapat dikatakan menanggalkan dakwah dari Islam sama artinya menanggalkan Islam itu sendiri
(Maṭārid et al., 2019, pp. 13–14). Ibnu Taimiyyah memberikan definisi mengenai dakwah yaitu
segala usaha berupa mengajak dan memerintahkan kepada apa yang Allah ta’ala perintahkan
dan melarang serta mencegah dari segala yang Allah larang(Ubaid, 2005, p. 6). Definisi senada
juga diungkapkan oleh Muhammad Sayyid Malik, menurutnya dakwah adalah usaha untuk
mengumpulkan dan mengajak manusia menuju kebaikan dan membimbing mereka kepada
petunjuk (hidayah) dengan menegakkan al-amru bi al-ma’rūf dan al-nahyu ‘an al-
munkar(Hashim & Ahmad, 2012, p. 85).

Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidāyah al-Murshidīn juga mendefinisikan dakwah dengan
ungkapannya(Mahfudz, 1979, p. 17):
‫ واﻷمر بالمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل واﻵجل‬،‫حث الناس على الخير والهدى‬

“Mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk (hidayah), serta menegakkan amar ma’ruf
dan nahi munkar untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat”.

Kemudian al-Bayānuniy juga memberikan pengertian yang dianggap lebih kompleks dan
mencakupi aspek yang lebih luas dari pada dakwah itu sendiri, yaitu(Al-Bayānūniy, 1995, p.
17):

‫ وتطبيقه في واقع الحياة‬،‫ وتعليمهم إياهم‬،‫تبليغ اﻹسﻼم للناس‬

“Menyampaikan dan mengajarkan Islam kepada manusia dan mempraktikkannya dalam


kehidupan”

Definisi yang ditawarkan oleh al-Bayānuniy ini dinilai sebagai definisi yang paling kompleks.
Asusmsi tersebut juga berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ali Mahfudz dalam definisi
dakwahnya. Dakwah bukan hanya sekedar mengajak kepada jalan kebaikan atau hidayah,
namun kegiatan dakwah yang dilakukan oleh seorang da’I merupakan ajakan yang berorientasi
kepada amal dari nilai pesan dakwah itu sendiri. Kemudian dengan pengamalan nilai yang
terkandung dalam pesan dakwah tersebutlah seorang da’I dan mad’unya dapat meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pandangan ini juga didukung oleh definisi dakwah yang
ditawarkan oleh Dermawan bahwa setiap upaya mengajak atau menyeru manusia baik secara
individu ataupun kelompok untuk dapat mengenal Islam, memahaminya, dan mengamalkan
ajarannya secara konsisten serta bertanggung jawab merupakan inti dari makna dakwah itu
sendiri(Safrodin, 2022, p. 148).

Lebih dalam lagi, Muh. Ali Aziz memberikan perincian mengenai definisi dakwah, yaitu
dakwah sebagai kegiatan dan dakwah sebagai proses. Dakwah sebagai kegiatan cenderung
bermakna sesuatu yang mengarah pada pelaksanan semata, namun dakwah sebagai proses lebih
mementingkan hasil maksimal atau hasil akhir dari dakwah itu sendiri. Sehingga dalam proses
dakwah, kegiatannya tidak terhenti hingga tujuan dakwah telah tercapai. Proses yang dimaksud
yaitu proses peningkatan iman dalam diri manusia sesuai dengan syari’at Islam. Proses ini
menunjukkan kegiatan yang terus-menerus, berkesinambungan, dan bertahap(Aziz, 2017, pp.
16–17).
Melihat konsep dari ideologi pluralisme yang cenderung mengarah pada wihdatul adyan
(semua agama sama) dan dikomparasikan dengan konsep dakwah, maka tampak dengan jelas
bagaimana sisi kontradiktifnya. Jikalau semua agama sama di sisi Tuhan (Allah), maka apa
fungsi dakwah itu sendiri. Mengapa pula Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬berserta para sahabat 1400 tahun
yang lalu berlelah getih keringat bahkan bercucuran darah dalam meng-Islamkan dunia. Realita
dari praksis ideologi dalam agama khususnya dakwah Islam pun tidak jarang menuai kontra,
hanya segelintir kelompok yang pro. Hal tersebut sering terjadi terutama pada hari-hari raya
umat beragama, entah itu Islam, Kristen (Katolik ataupun Protestan), Budha, Hindu, hingga
Khonghucu. Diantara hal yang dikatakan bentuk toleransi atas asas pluralisme ini adalah
“Sholawat versi anak gereja” yang tampak sekelompok paduan suara melantunkan
sholawat(Gunadha, 2020). Gotong royong antar umat beragama saat hari raya keagamaan di
Tengger(Redaktur, 2022), hingga pemuda muslim bantu jaga gereja(Indrayadi, 2020).

Penyataan bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan itu benar adanya. Namun memaksakan
untuk menyamakan semua agama adalah hal yang jauh dari kebenaran. Pelangi menjadi indah
karena keberagaman warnanya, namun jikalau warna dari pelangi itu dicampur bukanlah indah
yang tampak. Islam ini agama yang sangat kompleks, faktual, dan realistis. Mungkin sebagian
pihak menganggap ini adalah klaim belaka. Namun nyatanya baik secara data formil ataupun
non-formil Islam memang seperti itu adanya. Tampak jelas bagaimana Islam hadir sebagai
solusi dari keberagaman, hingga kini hanya Islam yang mengatur bagaimana bersikap dalam
keberagaman.

‫ِين‬ َ ‫لَ ُكمۡ دِينُ ُكمۡ َول‬


ِ ‫ِي د‬

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

Jelas dan kompleks, cukup dengan meninggal orang dengan agama lain beribadah dengan
caranya, dan tidak mendatangkan gangguan bagi mereka. Muslim dengan agama dan
keyakinan mereka. Mengatakan Islam adalah yang agama yang benar dan selainnya tidak
benar, itu sah dan didukung oleh teologi agama Islam. Penganut Nasrani mengatakan agama
mereka yang paling benar dan yang lain sesat, itu sah sesuai keyakinan mereka walau tidak
bagi Islam.

َ‫ٱﻹسۡ ٰلَ ِم د ِٗينا َفلَن ي ُۡق َب َل مِ ۡنهُ َوه َُو فِي ۡٱﻷٓﺧِ َرةِ مِ نَ ۡٱل ٰ َخسِ ِرين‬
ِ ۡ ‫َو َمن َي ۡبت َِغ غ َۡي َر‬
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”

Mendakwahkan agama Islam kepada orang non-muslim, itu sah dan diperintahkan dalam
Islam.

َ ‫ِي أَحۡ َس ۚنُ ِإ ﱠن َربﱠكَ ه َُو أ َ ۡعلَ ُم ِب َمن‬


‫ض ﱠل َعن َس ِبي ِل ِهۦ َوه َُو أَ ۡعلَ ُم‬ ۡ ۖ ۡ َ ‫يل َر ِبّكَ ِب ۡٱلحِ ۡك َم ِة َو ۡٱل َم ۡو ِع‬
َ ‫ظ ِة ٱل َح َس َن ِة َو ٰ َجدِل ُهم ِبٱلﱠتِي ه‬ ِ ‫ع ِإلَ ٰى َس ِب‬ ُ ‫ۡٱد‬
َ‫بِ ۡٱل ُمهۡ تَدِين‬

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”

Islam dengan keyakinan yang dipegang oleh suatu kelompok berhak melakukan peribadatan
sesuai dengan keyakinan mereka, dan kelompok yang berseberangan tidak berhak mengusik
atau bahkan membubarkan. Pembubaran dan pencekalan itulah yang telah menciderai prinsip
tasamuh itu sendiri. Sehingga Islam hadir dengan tawaran dakwah yang mendamaiakan, karena
Islam adalah rahmatan lil ‘alamiin. Islam itulah ia dengan kesempurnaan konsepnya dan tidak
butuh dengan kosep selainnya.

Konsep wasathiyatul Islam yang telah menjadi ciri dan bentuk kesempurnaan agama ini adalah
bentuk sempurna dari konsep dakwah yang harus digemakan. Kendati kini dikenal istilah
moderat dalam dakwah, namun kata yang sehendaknya sering digaungkan adalah tawaṣuṭ.
Moderatisme merupakan sebuah istilah atau nomenklatur konseptual yang tidak mudah untuk
didefinisikan. Hal ini karena ia menjadi istilah yang diperebutkan pemaknaannya (highly
constested concept), baik di kalangan internal umat Islam maupun eksternal non-Muslim. Ia
dipahami secara berbeda-beda oleh banyak orang, tergantung siapa dan dalam konteks apa ia
didekati dan dipahami.(Hilmy, 2012, p. 263)
Secara etimologi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderat mempunyai
arti sebagai sikap yang senantiasa mengindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrim. Jika
merujuk pada definisi ini, maka Islam moderat mengisyaratkan atas usaha sadar menjauhkan
cara beragama yang jauh dari berbuat kasar, keras, dan keterlaluan(Rahmawati, 2021, p. 55).
Kata moderat jika diterjemahkan ke bahasa Arab menjadi kata wasatiyyah yang berarti tengah
dengan tambahan ya’ nisbah di akhir kata, atau al-tawasut yang berarti tengah. Al-Asfahaniy
mendefenisikan “wasathan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atan
dengan keadilan, yang tengah-tengan atau yang standar atau yang biasa- biasa saja, wasathan
juga bermakna menjaga dari bersikap ifrath dan tafrith. kata-kata wasath dengan berbagai
derivasinya dalam al-Qur’an berjumlah 3 kali yaitu surat al-Baqarah ayat 143, 238, surat al-
Qalam ayat 48(Al-Ashfahaniy, 2009, p. 869). Sedangkan makna yang sama juga terdapat
dalam Mu’jam al-Wasit yaitu “Adulan” dan “Khiyaran” sederhana dan terpilih(’Ali, 1973, p.
1031).
Ibnu ‘Asyur mendefinisikan kata ”wasath” dengan dua makna. Pertama, definisi menurut
etimologi, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah
ujung yang ukurannya sebanding. Kedua, definisi menurut terminologi bahasa, makna wasath
adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak
berlebihan dalam hal tertentu. Adapun makna ”ummatan wasathan” pada surat al- Baqarah
ayat 143 adalah umat yang adil dan terpilih. Maksudnya, umat Islam ini adalah umat yang
paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya(Al-Jazairi, 1990, pp.
125–126). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa wasathiyah adalah sebuah kondisi terpuji
yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap berlebih-lebihan
(ifrâth) dan sikap muqashshir yang mengurang-ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah. Sifat
wasathiyah umat Islam adalah anugerah yang diberikan Allah secara khusus. Saat mereka
konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah, maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan
terpilih. Sifat ini telah menjadikan umat Islam sebagai umat moderat; moderat dalam segala
urusan, baik urusan agama atau urusan sosial di dunia(’Asyur, n.d., p. 17).
Wasathiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki
oleh agama-agama lain. Pemahaman moderat menyeru kepada dakwah Islam yang toleran,
menentang segala bentuk pemikiran yang liberal dan radikal. Liberal dalam arti memahami
Islam dengan standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderung mencari pembenaran yang
tidak ilmiah. Radikal dalam arti memaknai Islam dalam tataran tekstual yang menghilangkan
fleksibilitas ajarannya, sehingga terkesan kaku dan tidak mampu membaca realitas hidup.
Sikap wasathiyah Islam adalah satu sikap penolakan terhadap ekstremisme dalam bentuk
kezaliman dan kebatilan. Ia tidak lain merupakan cerminan dari fitrah asli manusia yang suci
yang belum tercemar pengaruh-pengaruh negatif(Nur & Lubis, 2015, p. 206).

Secara khusus disandingkan pada teorema dakwah, maka dakwah wasatiyyah adalah dakwah
pertengahan, tanpa paksaan dan kekerasan, tidak juga bersifat menghilangkan sikap tegas dan
fundamental dan menghilangkan esensi dari dakwah itu sendiri(Haramain, 2016, p. 93).
Dakwah moderat sejatinya adalah karakter dari Islam. Ahli al Sunnah waal Jamaah sebagai
golongan mayoritas di dunia mengemban amanah sikap moderat dalam berdakwah. Di antara
karakteristik dari ahli al sunnah wa al jamaah sebagai pemegang estafet moderat adalah toleran,
seimbang, dan adil(Syaifudin, 2020, p. 4).

Dakwah moderat sebagai karakteristik umat Islam sejak awal permulaannya tidak terlepas dari
2 prinsip utama dari kata wasatiyah itu sendiri, yaitu tidak ifrath dan tidak bersikap
tafrith/muqtashir. Untuk menjelaskan prinsip ini dapat diuraikan secara lebih terperinci dalam
surat Al-Baqarah ayat 143:
‫ش ِهيدٗ ۗا‬
َ ۡ‫سو ُل َعلَ ۡيكُم‬
ُ ‫ٱلر‬ ِ ‫ع َلى ٱلنﱠ‬
‫اس َويَكُونَ ﱠ‬ َ ‫ش َه َدآ َء‬ َ ‫َو َك ٰذَ ِلكَ َج َع ۡل ٰنَكُمۡ أ ُ ﱠم ٗة َو‬
ُ ْ‫س ٗطا ِلّتَكُونُوا‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu”
Ummatan Wasathan di sini ialah sikap adil, sehingga segala hal yang tidak adil (tengah) maka
berada pada keadaan yang tidak aman, maka Allah jadikan umat ini sebagai umat pertengahan
dalam segala perkara agama. Pertengahan dalam bersikap kepada para Nabi, tidak berlebih-
lebihan seperti Nasrani dan tidak bersikap merendahkan seperti Yahudi. Bersikap pertengahan
dalam syari’at dengan tidak bersikap keras seperti Yahudi dan tidak bermudah-mudahan seperti
Nasrani(As-Sa’di, n.d., p. 66).
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah
menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi
‫ ﷺ‬sehubungan dengan firman-Nya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat
Islam) umat yang adil. (Al-Baqarah: 143) Bahwa yang dimaksud dengan wasathan ialah adil.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Abdul
Wahid ibnu Ziad, dari Abu Malik AlAsyja’i, dari a1-Mugirah ibnu Utaibah ibnu Nabbas yang
mengatakan bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadis kepada kami dari Jabir ibnu
Abdullah, dari Nabi ‫ﷺ‬., bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah bersabda: “Aku dan umatku kelak di hari kiamat
berada di alas sebuah bukit yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada seorang pun
di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara kami, dan
tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi
bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya”(Ghofar & Abadul,
2005, pp. 266–293).
Dakwah wasatiyah/moderat yakni dakwah yang mengutamakan sikap adil dalam setiap
kegiatan dakwahnya. Tidak bersikap keras pada umat namun juga tidak bermudah-mudahan
dalam menyikapi sebuah permasalahan umat. Dakwah moderat ialah dakwah yang mencakup
sikap dakwah Nabi ‫ ﷺ‬kepada umat Islam sebagaimana yang Allah perintahkan dalam surat An-
Nahl ayaut 125:
َ ‫س ۚنُ ِإنﱠ َربﱠكَ ُه َو أ َ ۡعلَ ُم بِ َمن‬ ۖ َ ‫سبيل ربّكَ ب ۡٱلحِ ۡكم ِة َو ۡٱلم ۡو ِع َظ ِة ۡٱل َح‬
‫سبِي ِل ِۦه َوه َُو‬
َ ‫ض ﱠل عَن‬ َ ‫س َن ِة َو ٰ َجد ِۡلهُم ِبٱلﱠتِي ه‬
َ ‫ِي أ َ ۡح‬ َ َ ِ ِ َ ِ ِ َ ‫ع ِإلَ ٰى‬ ُ ‫ۡٱد‬
َ‫أ َ ۡعلَ ُم بِ ۡٱل ُم ۡهتَدِ ين‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Dakwah moderat harus mengimplementasikan prinsip hikmah. Dakwah bil Hikmah yaitu
menjadikan dakwah kepada manusia baik yang muslim ataupun kafir kepada jalan Allah yang
lurus dibangun atas ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Makna hikmah ialah dakwah
dengan ilmu bukan dengan kebodohan, memulai dari yang penting kemudian setelahnya
dengan bertahap, dan dengan kelemah lembutan(As-Sa’di, n.d., p. 519).
Dakwah wasatiyah yang mengimplementasikan dakwah dengan hikmah juga tidak serta-merta
menghilangkan sikap tegas dan keras dalam dakwah. Sebagaimana prinsip wasath sendiri yaitu
adil, yang mana adil sendiri bermakna:

‫ وﻻ تأﺧير‬،‫ وﻻ تقديم‬،‫ وﻻ تقصير‬،‫ من غير سرف‬،‫ ومقاديرها‬،‫ ووجوهها‬،‫ وأوقاتها‬،‫استعمال اﻷمور في مواضعها‬

“Menempatkan sebuah perkara pada tempatnya, momen yang tepat, takaran yang tepat, tanpa
sikap berlebih-lebihan ataupun bermudah-mudahan, tidak mendahulukan yang akhir atau
mengakhirkan yang semestinya awal”(Ma’na Al-’Adl Lughatan Wa Ishtilahan, n.d.)
Sehingga berlemah lembut dalam dakwah pada tempatnya, dan keras pada tempatnya
merupakan bentuk implementasi dari dakwah moderat pula. Allah ta’ala juga berfirman:
َ ‫علَ ۡي ِه ۡۚم َو َم ۡأ َو ٰى ُهمۡ جَ َهنﱠ ۖ ُم َو ِب ۡئ‬
ُ ‫س ۡٱل َم ِص‬
‫ير‬ ۡ ‫ار َو ۡٱل ُم ٰ َن ِف ِقينَ َو‬
َ ‫ٱغلُ ۡظ‬ َ ‫ٰيَٓأَيﱡهَا ٱلنﱠ ِب ﱡي ٰ َج ِهدِ ۡٱل ُكفﱠ‬
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka”.(At-Taubah: 73)
Berdasarkan ayat tersebut memerintahkan agar kaum muslimin bersikap keras dalam jihadnya
dengan kadar yang dibenarkan oleh keadaan. Jihad yang dimaksudkan ialah jihad dengan
senjata ataupun jihad dengan hujjah ataupun lisan(As-Sa’di, n.d., p. 383).
‫سنُ ِإ ﱠﻻ ٱلﱠ ِذينَ َظ َل ُمواْ مِ ۡنه ۡ ُۖم‬
َ ‫ِي أَ ۡح‬ ِ َ‫۞و َﻻ ت ُ ٰ َج ِدلُ ٓواْ أَ ۡه َل ۡٱل ِك ٰت‬
َ ‫ب ِإ ﱠﻻ ِبٱلﱠتِي ه‬ َ
“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,
kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka...” (Al-Ankabut: 46)
Dalam surat al-Ankabut ayat 46 tersebut Allah melarang hambanya dari berdebat kepada ahlul
kitab jikalau perdebatan tersebut tidak berdasarkan ilmu, dan hendaklah perdebatan yang
dilakukan harus dengan kelemah lembutan serta perkataan yang baik. Kecuali orang-orang
yang berbuat kezhaliman dari ahlul kitab, yaitu dengan tampaknya tujuan dan keadaannya
bahwa dia sama sekali tidak mempunyai keinginan pada kebenaran. Tentu sama sekali tidak
ada faidahnya mendebat orang seperti ini, karena tujuan dari perdebatan menjadi hilang(As-
Sa’di, n.d., p. 743).
Nabi ‫ ﷺ‬juga pernah bersikap tegas kepada para sahabatnya. Di antaranya ketegasan beliau
kepada shabat Mu’adz bin Jabal. Sebuah hadits dalam Shahih Bukhari mengisahkan:
َ ُ‫ ث ُ ﱠم يَأْتِي قَ ْو َمهُ فَي‬،‫صلﱠى ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم‬
‫صلِّي‬ ّ ‫صلِّي َم َع النﱠ ِب‬
َ ِ‫ي‬ َ ُ‫ َكانَ ي‬،ُ‫ي ﱠ ُ َع ْنه‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ أَنﱠ ُمعَاذَ بْنَ َجبَ ٍل َر‬:ِ ‫َحدﱠثَنَا َجابِ ُر بْنُ َع ْب ِد ﱠ‬
َ ‫صلﱠى‬
‫ فَبَ َل َغ ذَلِكَ ﱠ‬،‫ إِنﱠهُ ُمنَاف ٌِق‬:َ‫ َفقَال‬،‫ فَ َب َل َغ ذَلِكَ ُمعَاذًا‬،ً‫ص َﻼة ً َﺧفِيفَة‬
، َ‫الرجُل‬ َ َ‫ فَت َ َج ﱠوزَ َر ُج ٌل ف‬: َ‫ قَال‬،َ‫ َفقَ َرأَ بِ ِه ُم البَ َق َرة‬،َ‫ص َﻼة‬
‫بِ ِه ُم ال ﱠ‬
ِ َ‫صلﱠى بِنَا الب‬
،َ‫ار َحة‬ َ ‫ َوإِ ﱠن ُمعَاذًا‬،‫اضحِ نَا‬ ِ ‫ َونَ ْسقِي بِن ََو‬،‫ إِنﱠا َق ْو ٌم َن ْع َم ُل بِأَ ْيدِينَا‬،ِ ‫سو َل ﱠ‬ ُ ‫ يَا َر‬:َ‫صلﱠى ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم فَقَال‬ َ ‫ي‬ ‫فَأَتَى النﱠ ِب ﱠ‬
‫ َوال ﱠ‬:ْ‫ ا ْق َرأ‬- ‫ ثَ َﻼثًا‬- َ‫ أَفَتﱠانٌ أ َ ْنت‬،ُ‫ " َيا ُم َعاذ‬:‫سلﱠ َم‬
‫ش ْم ِﺲ‬ َ ‫صلﱠى ﷲُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ‫ فَقَا َل النﱠ ِب ﱡ‬، ٌ‫ فَزَ َع َم أَنِّي ُمنَا ِفق‬، ُ‫ فَت َ َج ﱠو ْزت‬،َ‫فَ َق َرأ َ ال َب َق َرة‬
.‫ح اس َْم َر ِبّكَ اﻷ َ ْع َلى َونَحْ َوهَا‬
ِ ّ‫ض َحاهَا َو َس ِب‬
ُ ‫َو‬

Jabir bin Abdillah menceritakan kepada kami: Bahwasanya suatu ketika Mu’adz bin Jabal
radiallahu ‘anhu sholat bersama Nabi ‫ﷺ‬, kemudian ia mendatangi kaumnya dan mengimami
sholat mereka dengan membaca surat Al-Baqarah. Jabir mengakatan: Maka seseorang dari
kaum tersebut keluar dan sholat dengan sholat yang ringan, sampailah kabar tersebut kepada
Mu’adz dan berkata: sesungguhnya ia adalah orang yang munafiq. Perkataan tersebut sampai
kepada lelaki itu kemudian ia mendatangi Nabi ‫ ﷺ‬dan berkata: Wahai Rasulullah, kami ada
kaum yang bekerja dengan tangan-tangan kami, dan memberi minum ternak kami dengan air
kami, sedangkan Mu’adz mengimami kami semalam dengan membaca Al-Baqarah maka aku
pun keluar dari sholatnya, namun ia menganggap aku adalah orang yang munafiq. Maka Nabi
‫ ﷺ‬berkata kepada Mu’adz: Wahai Mu’adz, apakah ingin membuat orang lari dari agama
ini?(tiga kali), bacalah surat Asy-syams, Ad-dhuha, al-A’la atau sejenisnya ketika engku
mengimami shalat”(Al-Bukhari, n.d., p. 26)
Daftar Rujukan

’Ali, D. F. (1973). Mu’jam al-Wasith. ZIB.

’Asyur, I. (n.d.). At-Tahrîr wa al- Tanwir.

Agama. (n.d.). Indonesia.Go.Id. Retrieved January 4, 2023, from


https://indonesia.go.id/profil/agama

Al-Ashfahaniy, A.-R. (2009). Mufradat al-Fadzul Qur’an. Daar El-Qalam.

Al-Bayānūniy, M. A.-F. (1995). Al-Madkhal Ilā ‘Ilm Al-Da’wah. Muassasah Al-Risalah.

Al-Bukhari. (n.d.). Shahih Bukhari (8th ed.). Daar Thouq An-Najah.

Al-Jazairi, J. (1990). Aisar At-Tafâsîr li Kalâm al-’Aliy al- Kabîr Al-Mujallad Al-Awwal (3rd
ed.). Racem Advertising.

Al-Qur’an. (n.d.).

As-Sa’di, A. (n.d.). Taisirul Kariimi Ar-Rahman. Daar Ibnul Jauzi.

At-Thabbarah, A. (1995). Ruhud Diin Al-Islam. Daar Al-Ilmi Lil Malayin.

Aziz, M. A. (2017). Ilmu Dakwah (6th ed.). Kencana.

Ghofar, & Abadul, M. (2005). Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (4th ed.). Pustaka Imam
Asy-Syafi’i.

Gunadha, R. (2020). Video Paduan Suara Gereja Lantunkan Sholawat Badar, Bikin Publik
Merinding. Suara.Com. https://www.suara.com/news/2020/04/30/170908/video-paduan-
suara-gereja-lantunkan-sholawat-badar-bikin-publik-merinding?page=all

Hajar, I. (1989). Fathul Bari. Daar Kotob Al-Alamiyyah.

Hamirudin. (2019). Dakwah dan Perdebatan Pluralisme Agama. Jurnal Tabligh, 20(2), 331–
347.

Haramain, M. (2016). Al-Wasatiyyah wa Atsaruha fid Dakwah Al-Islamiyyah. Langkawi:


Journal of The Association for Arabic and Engslish, 2(1).

Hashim, J., & Ahmad, M. (2012). Mafhūm al-Da’wah wa Farīḍatuhā. GJAT: Global Journal
Al Thaqafah, 2(1), 83–90. https://doi.org/10.7187/GJAT162012.02.01

Hilmy, M. (2012). QUO-VADIS ISLAM MODERAT INDONESIA ? Menimbang Kembali


Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, XXXVI(2), 262–281.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v36i2.127

Ibn Muhammad, M. (2020). Aṣlu al-Khairi wa Faṣluhu. Alukah.Net.


https://www.alukah.net/sharia/0/141961/‫ﺧطبة‬-‫واﻹيمان‬-‫العلم‬-‫وفصله‬-‫الخير‬-‫أصل‬/
Indonesia, A. of P. I. (2017). Suku Bangsa. Indonesia.Go.Id.
https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa/kebudayaan/suku-bangsa

Indrayadi. (2020). Pemuda Muslim di Jayapura Bantu Jaga Gereja Saat Misa Natal. Detik
News. https://news.detik.com/foto-news/d-5308595/pemuda-muslim-di-jayapura-bantu-
jaga-gereja-saat-misa-natal

M. Yunus, F. (2014). Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi Pemecahannya.


Substanta, 16(2), 217–228.

Ma’na Al-’Adl Lughatan wa Ishtilahan. (n.d.). Duror As-Saniyyah. Retrieved January 4, 2023,
from https://www.dorar.net/akhlaq/905/‫واصطﻼحا‬-‫لغة‬-‫العدل‬-‫معنى‬

Mahfudz, A. (1979). Hidāyah al-Murshidīn ilā Ṭuruq al-Wa’dzi wa al-Khiṭābah. Dār al-
I’tiṣam.

Maṭārid, R. M., Bisyūnī, M. M., & Darwīsh, N. M. (2019). Uṣul al-Da’wah wa Manāhijuhā:
Dirāsah Ta’ṣīliyyah Tahlīliyyah. Qatar University.
https://doi.org/http://hdl.handle.net/10576/4216

Nur, A., & Lubis, M. (2015). Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran; Studi Komparatif Antara
Tafsir Al-Tahrîr Wa At-Tanwîr Dan Aisar At-Tafâsîr. An-Nur, 4(2).

Rahmawati, F. (2021). Konsep Dakwah Moderat: Tinjauan Ummatan Wasathan dalam Al-
Qur’an Surat Al-Baqarah: 143. Studi Quranika: Jurnal Studi Qur’an, 6(2).

Redaktur. (2022). Harmonisasi Suku Tengger; Beda Agama Tak Putus Gotong Royong. Radar
Bromo. https://radarbromo.jawapos.com/daerah/probolinggo/21/12/2022/harmonisasi-
suku-tengger-beda-agama-tak-putus-gotong-royong/

Safrodin. (2022). Religious freedom in the context of Islamic da ’ wa. Jurnal Ilmu Dakwah,
42(1), 144–159. https://doi.org/10.21580/jid.v42.1.11860

Syaifudin. (2020). DAKWAH MODERAT PENDAKWAH NADLATUL ULAMA (Analisis


Konten Moderasi Beragama Berbasis Sejarah). Jurnal Hikmah, 15(1).

Thaib, E. J., & Kango, A. (2020). Dakwah dan Perdebatan Soal Pluralisme. Komunike, 12(1),
41–65.

Ubaid, K. M. (2005). al-Da’wah: Taṣḥīh al-Mafhūm wa Bayan al-Ḥukm. Dirasat Da’wiyyah,


9, 20. http://hdl.handle.net/123456789/686

Ulya, I., & Anshori, A. A. (2016). Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konflik
Agama di Indonesia. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, 4(1), 20–35.

Wahid, A. (2021). Jurnal Kajian Komunikasi dan Penyiaran Islam. Retorika: Jurnal Kajian
Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 3(2), 102–115.
https://doi.org/https://doi.org/10.47435/retorika.v3i2

Anda mungkin juga menyukai