Dosen Pembimbing :
Oleh Kelompok 1 :
Adam Maulana Arsha (22027001)
Abdah Shalihah (22027059)
Adek Jelfi (22027060)
Assalamualaikum Wr.wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan Makalah Tentang “Sejarah Seni Rupa di Era
Revolusi dan Orde Baru”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Sejarah Seni rupa di ea
revolusi dan orde baru ini dapat bermanfaat untuk pembaca.
Walaikumsalam Wr.wb
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................6
A. Seni Rupa di Era Revolusi, Lekra dan Manikebu................................6
B. Seni Rupa di Era Orde Baru.................................................................11
C. Gerakan Seni Rupa Baru.......................................................................20
BAB III PENUTUP............................................................................................27
A. Kesimpulan.............................................................................................27
B. Saran........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................28
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seni rupa adalah salah satu cabang seni yang diciptakan manusia dengan
menggunakan rupa sebagai medium penggungkapan gagasan seni. Yang termasuk
ke dalam seni rupa adalah garis, bidang, bentuk, huruf, angka, warn, bahkan
cahaya. Karena perbedaan rupa yang dijadikan medium inilah kemudian dikenal
cabang-cabang seni rupa seperti seni lukis, seni patung, seni grafis, seni desain,
dan sebagainya. Sebagai karya seni, seni rupa dapat dikelompokkan dalam
berbagai kepentingan. Berdasarkan bentuknya dineal adanya karya seni rupa dua
dimensi (dwimatra) dan karya seni rupa tiga dimensi (trimatra).
Karya seni rupa dua dimensi adalah karya seni rupa yang diterakan pada
bidang datar seperti gambar, lukisan, dan sejenisnya. Sedangkan karya seni rupa
tiga dimensi dalah karya seni rupa yang menggunakan bentu-bentuk yang
memiliki tiga ukuran (panjang, lebar, tinggi) sebagai mediumnya, seperti patung,
karya kriya, dan sejenisnya. Selain penggolongan berdasarkan bentuknya, karya
seni rupa juga dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi kegunaannya dalam
konteks kehidupan manusia. Berdasarkan kegunaannya dikenal adanya seni rupa
murini (pure art/fine art) dan seni rupa pakai (applied art) yang sering disebut
dengan seni kriya. Seni rupa murni atau seni murni adalah karya seni yang
dimaksudkan untuk penikmatan semata dan tidak memiliki kegunaan praktis
dalam kehidupan sehari-hari.
Karya seni murni dapat kita temukan dalam bentuk lukisan, patung, dan
sejenisnya. Sedangkan seni rupa pakai atau seni pakai adalah karya seni rupa yang
selain sebagai karya seni rupa juga memiliki fungsi atau kegunaan praktis dalam
kehidupan s ehari-hari. Oleh karena itu, seni rupa pakai biasa dikenal sebagai seni
kriya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriya berarti kerajinan tangan.
Jadi dalam pengertian terbatas seni kriya dapat diartikan sebagai kerajinan tangan.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai Seni Rupa di setiap era
perkembangannya.
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Seni Rupa di era Revolusi, Lekra dan Manikebu?
2. Bagaimanakah Seni Rupa di era Orde Baru?
3. Bagaimana bentuk tema sosial yang dikembangkan?
4. Bagaimanakah Gerakan seni rupa Baru?
5
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah seni Indonesia di masa revolusi tahun 1945 peran seniman begitu
penting dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka berkontribusi dengan cara
mereka sendiri. Kisah menarik tentang seniman pada masa revolusi akhir-akhir ini
banyak diteliti oleh para sejarawan. Ahli sejarah menyatakan bahwa peristiwa
revolusi yang melibatkan peran seniman di dalamnya kurang diungkap, oleh
sebab itu harus ada penulisan sejarah yang mencatat peristiwa penting ini.
Peranan seniman waktu itu begitu besar dalam menggerakkan semangat para
pejuang melalui kreativitas yang mereka miliki. Berikut peran-peran seniman
dalam kemerdekaan.
6
Gambar 2.1 Poster Boeng Ajo Boeng
b. Membuat Poster Gotong Royong
Masih dalam sejarah seni Indonesia, sebagaimana yang sudah terungkap, tidak
hanya Affandi saja yang membuat poster untuk membuat semangat para
pejuang terbakar, namun ada juga golongan seniman lain yang membuat
poster bernada gotong royong.
Sejarah mencatat bahwa poster ini bermaksud untuk membantu para pejuang
mendapatkan makanan, dan beberapa logistik pokok saat melakukan gerilya.
Adapun dalam poster ini bergambar seseorang pribumi yang sedang
membantu para pejuang dengan memberikan bingkisan yang berisi makanan,
dan keperluan lain saat sedang bergerilya di hutan.
7
mematahkan stigma masyarakat awam yang bernada merendahkan peran para
seniman dalam revolusi kemerdekaan.
Para seniman yang berjuang kala itu, tidak memandang siapa pejuang yang
bersama-sama angkat senjata dengannya. Entah itu keluarga kerajaan, atau
pejabat lainnya, mereka akan tetap memperlakukan yang sama seperti teman
perjuangan nya yang lain saat ada pada medan perang.
8
2. Lekra dan Manikebu
Hidup berkesenian pun bisa bermasalah jika inklinasinya tidak sama. Paling
tidak, begitulah yang terjadi tahun 1960-an ketika kelompok Manikebu berseteru
dengan kelompok Lekra. Lekra merupakan singkatan dari Lembaga Kebudayaan
Rakyat, adalah organisasi seniman dan budayawan haluan kiri yang didirikan pada
tanggal 17 Agustus 1950 oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Arjuna,
Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto.
Lekra lahir dan tumbuh seiring suasana Indonesia pada masa itu yang
menjadikan politik sebagai panglima. Karena politik dinomorsatukan,
kebudayaaan pun menjadi sarat politik sekaligus menjadi ajang tarung politik.
Tidak ayal lagi, pada zaman itu kesenian dan kebudayaan menjadi alat yang
ampuh untuk menarik, menghimpun, dan memengaruhi massa. Jadi, wajar saja
kalau partai politik dan organisasi kemasyarakatan mempunyai organisasi atau
lembaga kesenian/kebudayaan. Misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI)
mempunyai Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Nahdatul Ulama mempunyai
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), dan Partai Indonesia
(Partindo) mempunyai Lembaga Seni Budaya.
Di antara lembaga kebudayaan yang ada ketika itu, Lekra-lah yang paling
gemuk. Lekra menarik perhatian banyak seniman dari berbagai lapangan. Macam-
macam alasan orang masuk Lekra: tertarik karena keberpihakan Lekra pada
rakyat; tertarik karena Lekra menjadi tempat berkumpul seniman top masa itu; ada
juga yang tertarik karena Lekra punya fasilitas menyekolahkan orang ke luar
negeri. Pada masa Lekra dan lembaga-lembaga kebudayaan tersebut, rakyat
Indonesia terpecah menjadi tiga kelompok besar: nasionalis, agama, dan komunis
—biasa disingkat nasakom. Kelompok yang paling dominan adalah komunis.
Selanjutnya, pengelompokan mengerucut menjadi dua, yaitu prokomunis dan
antikomunis.
Pertarungan ideologi antara kubu pro- dan antikomunis makin seru dan Lekra
menjadi primadonanya. Menurut Lekra, seni tidak boleh hanya untuk seni. Seni
harus menghamba kepada politik! Yang sibuk berseni bebas, suka bereksperimen,
9
tidak ikut organisasi berarti berseberangan dengan revolusi. Berseberangan
dengan revolusi berarti musuh rakyat. Banyak yang tidak setuju dengan Lekra, di
antaranya, adalah tiga budayawan terkemuka ketika itu, yaitu H.B. Yassin, Trisno
Sumardjo, dan Wiratmo Soekito yang kemudian membuat Manifes Kebudayaan
yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1963. Dalam beberapa bulan Manifes itu
mendapat dukungan lebih dari seribu orang dari berbagai daerah seantero negeri.
Hal itu membuat Lekra yang berhaluan kiri dan PKI kesal. Mereka mulai
mengintimidasi para pendukung Manifes. Dengan segala cara akhirnya Lekra dan
PKI berhasil membuat Presiden Soekarno melarang Manifes yang dianggap dapat
melemahkan semangat revolusi rakyat. Akhirnya, pada 8 Mei 1964, Presiden
Soekarno menerbitkan larangan terhadap Manifes Kebudayaan. Larangan tersebut
membuat para pendukung Manifes menjadi bulan-bulanan Lekra sampai
menjelang pecahnya G-30-S PKI.
Dalam upaya mendapatkan kebebasan berkarya bagi para seniman yang saat itu
merasa terpojok, yakni seniman yang mayoritas sering berkumpul di lingkungan
Sastra maka terciptalah naskah Manifes Kebudayaan, yaitu sebuah pernyataan
pendirian dan cita-cita mengenai kebudayaan nasional Indonesia. Naskah tersebut
dimuat oleh Sastra No. 9/10 1963. Naskah Manifes Kebudayaan ini terdiri dari
dua bagian, bagian pertama berisi tentang naskah Manifes Kebudayaan dan bagian
kedua berisi tentang Penjelasan Manifes Kebudayan. Adapun naskah Manifes
Kebudayaan sebagai berikut:
10
MANIFES KEBUDAJAAN
11
B. Seni Rupa di Era Orde Baru
1. Seni Lukis Indonesia Sehabis Periode “Politik Jadi Panglima”
Seni lukis Indonesia Nampak memiliki peluang luas untuk berkembang setelah
redamnya Gerakan 30 September 1965. Sebab sebelum itu dominasi politik PKI
yang membawa lembaga kesenian semacam Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) terasa begitu kuat. Sehingga poilitik berada di atas seni. Yang otomatis
berada di bawah baying-bayang politik PKI.
12
Diantaranya tercatat nama Hendra Goenawan, Amrus Natalsya, Batara Lubis, dan
sebagainya. Nama –nama ini di kemudian hari berkarya bebas kembali. Dan
mengolah cita artistiknya sesuai dengan kebebasan individualnya.
Setahun setelah tragedy G 30S PKI itu sejumlah seniman yang bergabung
dalam Grub Seniman Bandung muncul dalam pameran. Pameran ini
diselenggarakan di Jakarta, dan cukup membrikan perluasan cakrawala
pandangan. Mereka antara lian adalah AChmad Sadali, But Muchtar, Popo
Iskandar, dan Srihadi Sudarsono. Semuanya adalah pengajar Institut Teknologi
Bandung jurusan Seni Rupa. Para pelukis ini pada masa Lekra agag terganggu
kebebasan geraknya, karena faham aliran keseni lukisan yang jauh dari realism
sosial, dan mengarah pada ala kubisme atau abstraksionisme. Sejumlah gaya lukis
yang diwarisi dari guru mereka, Ries Mulder. Pameran “kebebasan” ini
memperoleh reaksi hangat dari masyarakat seni lukis Indonesia.
13
Gambar 2.3 Jim Supankat, Ken Dedes
14
ini berkenaan dengan dibukanya Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
Dalam pesta ini dipamerkan 132 Lukisan karya pelukis pilihan dari Yogyakarta,
Jakarta dan Bandung. Kekayaan cocok yang merupakan rekayasa ragaman ide
semakin Nampak jelas.
Pesta seni lukis besar-besaran ini merangsang yang lain-lain semakin berani
hadir. Sejumlah seniman dan pengajar tinggi lantas punya hasrat berpameran
bersama. Pada tahun 1969 hal itu terrealisasikan. Dosen Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI), yang terdiri dari Bagong Kussudiarjo, Budiani, Edhi Sunarso,
Widayat, Fajar Sidiq, Abas Alibasyah, Mujitha, berpameran bersama pelukis-
pelukis muda dari Bandung. Para pelukis Bandung semuanya Bergumul di
perguruan ITB jurusan Seni Rupa. Mereka adalah Erna Pirous, Rustam Arief,
Imam Bukhori, Sanento Yuliman, T. Susanto,Umi Dahlan, dan Haryadi Suadi.
Memasuki tahun 1970 seni lukis kontemporer Indonesia bisa dibilang sudah
berjalan sebagaimana mestinya, Artinya ; kebebasan kreatif, yang berkaitan
dengan dengan kebebasan penciptaan individual sudah sepenuhnya diperoleh.
Tanpa ada yang mengotak-atik. Politik pemerintah melepas segala bebean tema
kanvas seni lukis Indonesia. Dan penyelenggaran-penyelenggaraan pameran juga
melaju lancar tanpa disayat sensor dari pihak manapun. Dan pula, pameran dalam
bentuk pameran mendapat tanggapan positif.
Bahkan pada tahun 1970 ini, pada Pesta Seni Pusat Jakaarta sempat di
hadirkan seni lukis abstrak dalam sebuah pergelaran besar. Mereka yang hadir
dalam forum ini antara lain adalah D.A. Peransi, Jufri Tanissan, Ipe ma’aruf,
Arief Sudarsono, Sriwidodo, dan Oesman Effendi. Disimak dari karyanya, tak
sepenuhnya abstrak memamng.
Pesta seni lukis indonesia semakin meriah memang, pada tahun 1970 ini pula
di taman Ismail Marzuki diselenggarakan pameran akbar yang melibatkan
pelukis- pelukis dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali. Setelah pameran-
pameran yang melibatkan seniman-seniman berbagai kota, pelukis perkotapun
semakin berhati pasti untuk muncul. Lalu, terselenggaralah pameran-pameran
kelompok, yang mengatasnamakan kotanya sendiri-sendiri. Dari bandung muncul
15
18 kelompok.beroameran di jakarta. Diantaranya pematung Rita Widagdo,
Sunaryao. Di sampingya pelukis-pelukis A.D. Pirous, Samsudin Dayat, Yusuf
Affendi dan sebagainya. Mereka berpameran di jakarta tahun 1971.
Tak hanya di bandung. Surabaya pun, yang selama kurun ini tak pernah
terdengar suaranya, memunculkan nama-nama yang amat memberikan prospek.
Kelompok mereka dijuluki oleh masyarakat sebagai kelompok Aksera atau
Akademik Seni Rupa Surabaya. Tahun-tahun berikutnya pameran di jakarta
terutama, dan di beberapa kota lain yang potensial untuk pagelaran seni lukis
seperti bandung,yogyakarta dan Surabaya terus bermunculan. Tak hanya pameran
ramai-ramai yang melibatkan pelukis, atau pameran kelompok yang mengikutkan
beberapa seniman. Tapi oameran tunggal juga mulai terselenggarakan.
Dalam sejarah seni lukis indonesia sampai awal tahun 1970-an, pameran
tunggal masih merupakan “upacara besar” bagi seorang pelukis. Oleh kaarena itu,
jika ada pelukis yang telah menyelenggarakannya, maka ia akan segera terangkat
sebagai sosok yang lebih menggenggam citra sebagai profesional. Pada tahun
1973, misalnya, pelukis-pelukis seperti Nashar, D.A. Peransi , Zaini, Popo
Iskandar serta Mustika telah melakukan pameran tunggal. Dalam pameran itu
Nashar menampilkan karya-karya abstrak ekspresionis. Popo Iskandar pada
perkembangan lukisan-lukisan era 1970-an menunjukkan kedigjayaan wujud,
yang pada kemudian akhirnya muncul sebagai cap jati dirinya. Lukisan-lukisan
Nashar, Zaini dan Popo iskandar di atas dapat dicontohkan sebagai bagian yang
paling menonjoldan terkuat pada era ini.
Dominasi lirisme mulai di usik oleh pelukis-pelukis muda yang masih duduk di
bangku akademi. Pada sekitar tahun 1972-1975 pendidikan seni lukis berbagai di
perguruan tinggi, terutama di Sekolah Tinggi Seni Rupa “Asri” Yogyakarta dan
ITB seperti sampai pada era “keterbukaan.” Pikiran progresif mulai melanda. Dan
progesivitas itu dibawa dari pengaruh kitab-kitab seni rupa Barat Modern yang
masuk ke sini, lewat perpustakaan-perpustakaan sekolah. Gejala uyang muncul
dari progresivitas itu ialah munculnya bentuk-bentuk geometris atau matematis
pada kanvas pelukis muda. Kemeriahan kecenderungan baru pada pelukis-pelukis
muda ini disimak dari aspek dinamika kreatifitas, tentu menggembirakan, namun
16
dilihat dari aspek-aspek lain kadang dirasakan cukup menggelisahkan. Oleh
karena itu, Drs. Sudarmaji, pada pidatao dies di Upacara Dies Natalis ke-24, Asri,
22 januari 1973 melontarkan gejala tersebut sebagai pokok masalah. Pidatonya
yang berjudul “ Benturan Fine Art Modern Barat Kepada Indonesiadan Efeknya
di STSRI Asri” cukup mengundang perhatian. Masalahnya diangkat sebagai
problem seni lukis nasional.
Keempat faktor tersebut dapat berarus bolak-balik. Sebab, bisa pula karena
penyiaran di media masa, sponsor lalu tertarik. Bisa pula bangkitnya gairah
pengoleksian kaum elit baru menyebabkan para pelukis lalu semakin produktif
bekerja. Dan dapat pula karena memang pelukis menghasilkan karya-karya
bermutu, sehingga dapat memikat berbagai pihak.
Namun yang jelas, kegairahan seni lukis yang muncul pada kurun waktu ini
karena adanya infrastruktur yang baik, ekonomi yang setabil menimbulkan rasa
tentram pada kehidupan pelukis. Salah satu dampak positif dari membaiknya
infrastruktur itu adalah terjadinya komunikasi budaya antarbangsa, ini suatu hal
yang memberikan stimulasi kepada pertumbuhan seni lukis di sini.
17
Gambar 2.5 Ivan Sagito, Manusia yang Wayang Atau Manusia yangTopeng
Dari sekian banyak pameran banyak yang menyuguhkan kejutan. Pameran seni
lukis Basoeki Abdullah misalnyayang di adakan di Hotel Hilton, jakarta. Pameran
ini memungut biaya bagi oenontonya. Sesuatu yang tidak biasa dalam sejarah
pameran seni lukis di indonesia. Pagelaran tahun 1983 itu memungut biaya Rp.
500 untuk pelajar dan Rp. 1000 untuk umum. Pada tahun 1985 di galeri pasar seni
ancol muncul tiga pelukis legendaris indonesia. Mereka adalah Basoeki Abdullah,
S. Sujojono dan Affandi pertemuan ini menyandang misi yang unik : merujukkan
18
dua pelukis besar indonesia yang lama berselisih faham seni dan “bersekutu”
sejak zaman Persagi, 1938. Dua pelukis itu adalah Basoeki Abdullah dan
S.Sujojono. sedangkan Affandi dipasang sebagai “penengah”.
Pada sekitar tahun 1985 dunia seni lukis indonesia menawarkan ide baru dalam
ide dan manifestasi pengungkapanya. Gejala itu adalah berjangkitnya gejala
surealis. Terutama pada kanvas-kanvas pelukis muda.
Surealis ini sebelumnya oleh pelukis senior seperti amang rahman telah jauh
hari dikibarkan. Amang memang terbilang sukses dengan gaya surealisme
mistisnya, yang berisi pertanyaan soal hidup dan mati. Namun pelukis-pelukis
muda lebih bergairah mengobarkan gaya ini, lewat berbagai peristiwa pameran.
Bersama atau tunggal. Pada tahun 1980-an sejumlah pelukis indonesia yang di
luar negeri banyak yang balik. Yang mengadakan pagelaran demi pagelaran.
Doyo Prawito, pelukis Surabaya yang lama tinggal di paris , beberapa kali
pameran tunggal di Surabaya dan Jakarta. Sampai pelukis pemegang Oscar di
Montecarlo ini meninggal tahun 1987. Teguh Ostentrik yang berbelas tahun
berada di jerman balik ke indonesia dan mengadakan pameran dengan presentasi
yang unik. Diantaranya dengan gubahan instalasi benda-benda. Karya lukisnya
dimanifestasikan dalam bentuk happeningart.
Pertumbuhan jagat seni lukis ini sedikitnya merangsang 3 hal yang menarik.
Pertama merangsang kreativitas lembaga kepanitiaan atau penyelenggaraan
pameran untuk membuat acara pameran yang memikat perhatian khalayak.Kedua
merangsang lahirnya grub-grub seni lukis, baik yang berupa grub insidentil
ataupun sanggar permanen.Ketiga merangsang lahirnya galeri-galeri, atau tempat-
tempat yang menawarkan jasa-jasa sebagai akomodasi percaturan seni lukis. Juga
museum-museum swasta.
19
C. Gerakan Seni Rupa Baru
1. Pengantar
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia adalah suatu fenomena gerakan
estetikayang sangat penting dalam sejarah seni rupa modern Indonesia. Dari
model paradigma estetetik yang dikembangkan, GSRB dapat dikatakan sebagi
peletak dasar seni rupa kontemporer Indonesia. Untuk membaca GSRB dalam
sejarah tersebut, tentu dapat memakai berbagai perspektif. Dalam kesempatan ini
berbagai pernik peristiwa itu akan dilihat secara garis besar, demikian pula dengan
perspektifnya, yaitu perubahan paradigma estetetik yang tercermin dalam aliran
dan gaya yang berproses secara dialektikal. Untuk kepentingan kajian lain yang
bisa dilakukan lebih mendalam, bisa dirunut lewat sejarah sosial seni, dengan
munculnya antithesis dan negasi yang sekaligus melibatkan kondisi sosial dan
perjuangan faham dalam masyarakat (Arnold Hauser, 1982). Di samping itu,
perspektif sejarah sosial seni akan bisa menjelaskan secara komprehensif, terlebih
model sejarah sosial seni yang dipakai T.J. Clark dengan memakai model
ekonomi dan evidensi historis yang lebih rinci (Eric Fernie, 1995).
Peran seniman dengan proses dialektika itu bisa dilihat dalam perkembangan
paradigma estetik. Apakah aktivitas kreatif seorang seniman tertentu berada dalam
tesis besar, sehingga ia menjadi seorang integrated professional artist, atau ia
memposisikan diri dalam antitesis sebagai seorang maverick artist yang
memberontak. Seniman kelompok integrated professional selalu berusaha
mengintegrasikan konsep, bentuk seni, maupun kecakapan sosialnya mengikuti
konvensi budaya dan estetik yang sedang berlaku. Seniman maverick (tertutup
dan pemberontak) dalam aktivitas kreatifnya sebenarnya menjadi penggerak
antitesis untuk menawar paradigma estetik yang sudah mapan (Howard S. Becker,
1982).
20
Munculnya wacana penghargaan pada kesadaran pribadi manusia dan semangat
kebebasan berekspresi mendorong semangat penjelajahan individual untuk
melahirkan ungkapan bentuk-bentuk yang beragam. Di samping itu, pengaruh
modernisasi dan pembangunan juga sangat signifikan pada sifat-sifat karya dalam
paradigma estetik ini. Proses kreatif yang bersifat personal melahirkan ungkapan-
ungkapan yang menitikberatkan perasaan dan emosi (lirisme). Dalam beberapa
fenomena visual itu ciri yang sering muncul adalah sifat intuitif, imajinatif,
dekoratif, dan non formal improvisatoris. Dari berbagai kecenderungan ini seni
abstrak merupakan gaya yang dominan dalam seni rupa Indonesia.
21
3. Terbentuknya Paradigma Estetik Baru lewat GSRB
Pada tahun 1974, kembali muncul konsep yang menawar pandangan seni lukis
Indonesia yang telah menjadi mapan dengan berbagai perspektif baru lewat
Pernyataan Desember Hitam. Pada tahun 1975 GSRB Indonesia muncul dengan
suatu paradigma yang melawan bentuk seni rupa lama yang personal dan liris.
Dari berbagai kecenderungan yang muncul dapat dilihat Lima Jurus GSRB
Indonesia menjadi rujukan estetiknya, seperti dalam pokok-pokok pikiran sebagai
berikut. Usaha mereka untuk meniadakan batas seni lukis, grafis, patung, atau
cabang-cabang seni rupa lain yang juga bisa dikaitkan dengan ruang, gerak, dan
waktu bisa melahirkan bentuk-bentuk seni rupa baru. Mereka lebih percaya
masalah sosial yang aktual lebih penting untuk diangkat menjadi karya seni dari
pada keharuan sentimen-sentimen pribadi, imaji personal yang bersifat liris dan
esoteris seorang seniman. Mengharapkan keragaman gaya dan kemungkinan baru
tanpa batasan, menolak penurunan gaya guru pada cantrik atau muridnya.
Membangun seni rupa Indonesia dengan historiografinya sendiri yang tidak
merupakan bagian dari sejarah seni rupa dunia. Demikian juga ditekankan untuk
seni rupa yang lebih wajar dan mempunyai fungsi meluas dalam masyarakat (Jim
Supangkat, 1979).
22
Dalam manifestasi kekonkretan baru itu, media realisme seni lukis juga
dipergunakan dengan mengeksploitasi teknisnya yang fotografis, sehingga
mencapai ilusi optis super realis. Demikian juga dieksplorasi media komik,
majalah, koran, dan berbagai kemasan barang industri. Kecenderungan ini dalam
perspektif Sanento Yuliman merupakan peleburan prinsip seni rupa atas (high art)
dan seni rupa bawah (low art) (Sanento Yuliman, 1992). Karya-karya dengan
medium tidak terbatas tersebut menjadi ciri ungkapan pada seniman-seniman
GSRB dalam Pameran Seni Rupa Baru I 1975, yaitu pada Anyool Subroto,
Bachtiar Zainoel, Pandu Sudewo, Nanik Mirna, Murtoyo Hartoyo, Ris Purwana,
Jim Supangkat, F.X. Harsono, Hardi, Siti Adiyati, Bonyong Muni Ardhi. Pada
tahun 1976 diselenggarakan Pameran Konsep Seni Rupa Baru Indonesia, dengan
sebagian anggota berganti. Pada tahun 1977 diselenggarakan Pameran Seni Rupa
Baru II, tahun 1978 Pameran Seni Rupa Baru III, tahun 1979 Pameran Seni Rupa
Baru IV dengan anggota yang semakin bertambah, tetapi sebagai organisasi
kemudian membubarkan diri.
Dalam kurun waktu tahun 1980-an sampai tahun 1990-an, mengikuti akibat
pewacanaan dari GSRB dan reaksi dari kelompok konvensional, maka terjadilah
polarisasi sikap lirisisme dan non lirisisme dalam seni rupa Indonesia. Di antara
dua kutub, ada beberapa perupa muda yang bersikap moderat dan maju, mencari
jalan lain menyerap kedua sikap itu. Fenomena itu antara lain terwakili dalam
karya-karya Narsen Afatara, Suatmadji, Agustinus Sumargo, dan Abdul Kholim.
Perupa-perupa ini telah mengganti kanvas dengan material-material baru,
23
sehingga mereka mencapai “kekonkretan baru” namun mereka tidak menolak
pandangan seni yang liris (M. Agus Burhan, 1990). Mereka ini merupakan benih
sintesis, namun pada waktu itu belum mendapatkan iklim yang kondusif.
Dalam tahun 1990-an, paradigma yang ditawarkan Seni Rupa Baru berhasil
mendapatkan implementasi pada karya-karya instalasi, performance art, ataupun
karya lingkungan (environmental art). Kecenderungan karya-karya itu
menunjukkan sebagian dari menguatnya karya seni kontemporer di Indonesia. Di
samping itu, keterkaitan seni rupa kontemporer Indonesia dengan merebaknya isu
postmodernisme merupakan fakta yang tidak terpisahkan. Tekanan perhatian pada
konsep-konsep desentralisasi bidang sosial politik, pluralisme dan penghargaan
khasanah lokal, penghapusan cara berpikir linier dan rasional keilmuan,
merupakan isu-isu segar pada seniman-seniman. Dalam manifestasinya, hal itu
mendorong lahirnya seni yang menonjolkan unsur tradisi, sikap kritis, dan
perlawanan. Terbukanya forum Internasional untuk perupa-perupa Indonesia juga
tidak lepas dari kecenderungan mengglobalnya isu-isu tersebut.
24
Manifestasi yang lebih konkret dalam seni rupa Indonesia adalah dorongan
terjadinya tren pada penerimaan, penolakan, dan percampuran dari polarisasi
pandangan dan sikap lirisisme dan non lirisisme. Percampuran pandangan seni
rupa lama dengan seni rupa baru. Dengan demikian terjadilah proses sintesis dari
pandangan-pandangan itu. Banyaknya perupa muda yang menggunakan ungkapan
multi media, tidak semata-mata secara sempit dan ketat besikukuh pada konsep
estetik dan pandangan sosial seperti kelompok Seni Rupa Baru. Mereka lebih
bebas dan tidak berpihak. Bahasa lirisisme masih sering mereka pakai, namun
mereka juga melakukan seni rupa pertunjukan (performance art), dan membuat
seni instalasi. Di samping itu, mereka tidak melihat fenomena sosial semata-mata
dari kebenaran searah yang berpihak (M. Agus Burhan, 2001). Dapat disebutkan
contoh yang tipikal dan mewakili kecenderungan ini adalah karya-karya Heri
Dono, Semsar Siahaan, Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Nindityo
Adhipurnomo, dan lain-lainnya.
Di lain pihak, perupa-perupa muda yang berawal dari lirisisme juga mulai
bosan dengan kehalusan, imaji-imaji personal dan esoterik, maupun ketumpulan
terhadap berbagai respons sosial. Dalam kecenderungan ini banyak variasi yang
dibuat para seniman muda. Mulai dari komentar sosial yang diungkapkan dengan
berbagai gaya, dengan tetap memanfaatkan simbol-simbol tradisi, atau sampai
pada sifat yang provokatif pada publik seperti karya-karya Kelompok Taring Padi.
Ditambah dengan penggalian-penggalian yang masih aktif dari seniman-seniman
lirisisme yang terus tumbuh, keberagaman seni rupa Indonesia pada dekade ke-10
abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan keberadaan yang plural dan
dinamis.
5. Penutup
25
memungkinkan seni rupa Indonesia masuk dalam konstelasi seni rupa
kontemporer internasional.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemunculan seni rupa sudah ada sejak zaman prasejarah. Sampai hari ini seni
rupa terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Gairah seni rupa di
Indonesia kian merebak dibanyak perhelatan seni. Berbagai macam eksplorasi
terjadi dalam penciptaan karya. Membongkar persoalan seni rupa sedikit banyak
mempersoalkan identifikasi melalui modifikasi pemikiran-pemikiran dengan
menangkap gejala seni rupa. Munculnya problema tentang wacana seni rupa
modern membawa sederet perubahan. Seni modern lahir dari dorongan untuk
menjaga standar nilai estetik yang kini sedang terancam oleh metode
permasalahan seni. Modernisme meyakini gagasan progres karena selalu
mementingkan norma kebaruan, keaslian dan kreativitas.
B. Saran
Diharapkan mahasiswa dapat memahami materi ini, serta kepada penulis yang
membaca atau ingin mengambil referensi dari makalah ini dapat memilah dengan
bijak dan menyusun makalah dengan materi yang lebih lengkap lagi.
27
DAFTAR PUSTAKA
https://repo.undiksha.ac.id/4009/3/1612031014BAB%20I
%20PENDAHULUAN.pdf
https://id.scribd.com/doc/253435339/Perjalanan-Seni-Rupa-Era-Orde-Baru
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/galerinasional/orde-baru-dalam-seni-rupa-
masa-kini/
https://www.kompas.id/baca/arsip/2020/01/21/manikebu-vs-lekra
https://www.harapanrakyat.com/2021/08/sejarah-seni-indonesia/
https://www.harapanrakyat.com/2021/08/sejarah-seni-indonesia/
28