Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SEJARAH SENI RUPA DI ERA REVOLUSI DAN ORDE BARU

TUGAS MATA KULIAH SEJARAH SENI RUPA INDONESIA

Dosen Pembimbing :

 Dra. Jupriani, M.SN


 Dr. M Nasrul Kamal, M.SN

Oleh Kelompok 1 :
 Adam Maulana Arsha (22027001)
 Abdah Shalihah (22027059)
 Adek Jelfi (22027060)

PRODI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.wb

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan Makalah Tentang “Sejarah Seni Rupa di Era
Revolusi dan Orde Baru”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Sejarah Seni rupa di ea
revolusi dan orde baru ini dapat bermanfaat untuk pembaca.
Walaikumsalam Wr.wb

Bukittinggi, Oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................6
A. Seni Rupa di Era Revolusi, Lekra dan Manikebu................................6
B. Seni Rupa di Era Orde Baru.................................................................11
C. Gerakan Seni Rupa Baru.......................................................................20
BAB III PENUTUP............................................................................................27
A. Kesimpulan.............................................................................................27
B. Saran........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................28

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seni rupa adalah salah satu cabang seni yang diciptakan manusia dengan
menggunakan rupa sebagai medium penggungkapan gagasan seni. Yang termasuk
ke dalam seni rupa adalah garis, bidang, bentuk, huruf, angka, warn, bahkan
cahaya. Karena perbedaan rupa yang dijadikan medium inilah kemudian dikenal
cabang-cabang seni rupa seperti seni lukis, seni patung, seni grafis, seni desain,
dan sebagainya. Sebagai karya seni, seni rupa dapat dikelompokkan dalam
berbagai kepentingan. Berdasarkan bentuknya dineal adanya karya seni rupa dua
dimensi (dwimatra) dan karya seni rupa tiga dimensi (trimatra).

Karya seni rupa dua dimensi adalah karya seni rupa yang diterakan pada
bidang datar seperti gambar, lukisan, dan sejenisnya. Sedangkan karya seni rupa
tiga dimensi dalah karya seni rupa yang menggunakan bentu-bentuk yang
memiliki tiga ukuran (panjang, lebar, tinggi) sebagai mediumnya, seperti patung,
karya kriya, dan sejenisnya. Selain penggolongan berdasarkan bentuknya, karya
seni rupa juga dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi kegunaannya dalam
konteks kehidupan manusia. Berdasarkan kegunaannya dikenal adanya seni rupa
murini (pure art/fine art) dan seni rupa pakai (applied art) yang sering disebut
dengan seni kriya. Seni rupa murni atau seni murni adalah karya seni yang
dimaksudkan untuk penikmatan semata dan tidak memiliki kegunaan praktis
dalam kehidupan sehari-hari.

Karya seni murni dapat kita temukan dalam bentuk lukisan, patung, dan
sejenisnya. Sedangkan seni rupa pakai atau seni pakai adalah karya seni rupa yang
selain sebagai karya seni rupa juga memiliki fungsi atau kegunaan praktis dalam
kehidupan s ehari-hari. Oleh karena itu, seni rupa pakai biasa dikenal sebagai seni
kriya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriya berarti kerajinan tangan.
Jadi dalam pengertian terbatas seni kriya dapat diartikan sebagai kerajinan tangan.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai Seni Rupa di setiap era
perkembangannya.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Seni Rupa di era Revolusi, Lekra dan Manikebu?
2. Bagaimanakah Seni Rupa di era Orde Baru?
3. Bagaimana bentuk tema sosial yang dikembangkan?
4. Bagaimanakah Gerakan seni rupa Baru?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Seni Rupa di Era Revolusi, Lekra dan Manikebu


1. Seni Rupa di Era Revolusi 1945

Sejarah seni Indonesia di masa revolusi tahun 1945 peran seniman begitu
penting dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka berkontribusi dengan cara
mereka sendiri. Kisah menarik tentang seniman pada masa revolusi akhir-akhir ini
banyak diteliti oleh para sejarawan. Ahli sejarah menyatakan bahwa peristiwa
revolusi yang melibatkan peran seniman di dalamnya kurang diungkap, oleh
sebab itu harus ada penulisan sejarah yang mencatat peristiwa penting ini.

Peranan seniman waktu itu begitu besar dalam menggerakkan semangat para
pejuang melalui kreativitas yang mereka miliki. Berikut peran-peran seniman
dalam kemerdekaan.

a. Poster Boeng Ajo Boeng

Poster tersebut sangat populer di masa revolusi berupa penyemangat untuk


para pejuang ini terbuat dari tangan kreatif sang maestro seni rupa Indonesia
bernama Affandi. Seniman Affandi memiliki peran yang sangat andil dalam
perjuangan revolusi 1945, oleh karena karyanya ini yang sering menggugah
semangat pejuang. Karya Affandi berupa poster sering menjadi ikon
perjuangan seniman saat revolusi berlangsung. Akan tetapi menurut Aminudin
TH Siregar menyebut tidak hanya Affandi yang berperan dalam revolusi,
tetapi ada beberapa golongan seniman lain yang tak kalah kreatifnya dari
Affandi.

6
Gambar 2.1 Poster Boeng Ajo Boeng
b. Membuat Poster Gotong Royong

Masih dalam sejarah seni Indonesia, sebagaimana yang sudah terungkap, tidak
hanya Affandi saja yang membuat poster untuk membuat semangat para
pejuang terbakar, namun ada juga golongan seniman lain yang membuat
poster bernada gotong royong.

Sejarah mencatat bahwa poster ini bermaksud untuk membantu para pejuang
mendapatkan makanan, dan beberapa logistik pokok saat melakukan gerilya.
Adapun dalam poster ini bergambar seseorang pribumi yang sedang
membantu para pejuang dengan memberikan bingkisan yang berisi makanan,
dan keperluan lain saat sedang bergerilya di hutan.

Setelah mencetak poster yang banyak, kemudian para seniman


memberikannya pada para pejuang dengan memakai pesawat. Hal ini
bertujuan agar segera disebarkan pada para penduduk melalui udara. Dengan
demikian maka bantuan akan segera datang pada para gerilyawan yang sedang
berjelajah di hutan, dan kebetulan masuk di area perkampungan.

c. Gambar Bernada Revolusi Sering Mengisi Surat Kabar


Catatan lain dari sejarah seni Indonesia juga menyebut jika gambar yang
bernada revolusi banyak mengisi surat kabar saat perang berlangsung. Inilah
salah satu peran yang menurut sejarawan sangat penting untuk masuk dalam
sejarah. Sebab beberapa catatan sejarah lain menyebut peran seniman terbatas
hanya membuat poster saja. Tentu dengan adanya fakta bahwa seniman
berperan mengisi surat kabar saat revolusi berlangsung, hal ini akan

7
mematahkan stigma masyarakat awam yang bernada merendahkan peran para
seniman dalam revolusi kemerdekaan.

d. Seniman Ikut Laskar

Sejarah seni Indonesia yang diungkapkan oleh Aminudin TH Siregar saat


seminar berlangsung juga menyebut sebagian seniman masa revolusi ada yang
pernah bergabung dan ikut langsung dengan laskar. Artinya seniman juga
ternyata pernah angkat senjata. Mereka tidak hanya mengangkat kuas tetapi
juga berlatih strategi perang, dan mempertaruhkan nyawanya untuk bangsa
dan negara tercinta. Tidak seperti hal nya pejuang lain karena angkat senjata,
ternyata para seniman juga pernah ada dalam keadaan yang sama dan tak
kalah penting nya.

e. Seniman Solidaritas Non-Hirarki

Sejarah seni Indonesia terus mencatat bagaimana kelompok seniman berperan


dalam kemerdekaan. Hal ini terwakili oleh seniman yang menyerukan
semangat solidaritas non hirarki. Semangat solidaritas non hirarki berarti
adalah ideologi yang menerima semua kalangan untuk memperjuangkan hak
yang sama.

Para seniman yang berjuang kala itu, tidak memandang siapa pejuang yang
bersama-sama angkat senjata dengannya. Entah itu keluarga kerajaan, atau
pejabat lainnya, mereka akan tetap memperlakukan yang sama seperti teman
perjuangan nya yang lain saat ada pada medan perang.

Begitulah 5 peran seniman saat revolusi 1945 berlangsung. Ternyata penelitian


sejarah seni Indonesia oleh para sejarawan sangat memberikan dampak yang
berarti bagi para pejuang seni masa kemerdekaan.

8
2. Lekra dan Manikebu

Hidup berkesenian pun bisa bermasalah jika inklinasinya tidak sama. Paling
tidak, begitulah yang terjadi tahun 1960-an ketika kelompok Manikebu berseteru
dengan kelompok Lekra. Lekra merupakan singkatan dari Lembaga Kebudayaan
Rakyat, adalah organisasi seniman dan budayawan haluan kiri yang didirikan pada
tanggal 17 Agustus 1950 oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Arjuna,
Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto.

Lekra lahir dan tumbuh seiring suasana Indonesia pada masa itu yang
menjadikan politik sebagai panglima. Karena politik dinomorsatukan,
kebudayaaan pun menjadi sarat politik sekaligus menjadi ajang tarung politik.
Tidak ayal lagi, pada zaman itu kesenian dan kebudayaan menjadi alat yang
ampuh untuk menarik, menghimpun, dan memengaruhi massa. Jadi, wajar saja
kalau partai politik dan organisasi kemasyarakatan mempunyai organisasi atau
lembaga kesenian/kebudayaan. Misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI)
mempunyai Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Nahdatul Ulama mempunyai
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), dan Partai Indonesia
(Partindo) mempunyai Lembaga Seni Budaya.

Di antara lembaga kebudayaan yang ada ketika itu, Lekra-lah yang paling
gemuk. Lekra menarik perhatian banyak seniman dari berbagai lapangan. Macam-
macam alasan orang masuk Lekra: tertarik karena keberpihakan Lekra pada
rakyat; tertarik karena Lekra menjadi tempat berkumpul seniman top masa itu; ada
juga yang tertarik karena Lekra punya fasilitas menyekolahkan orang ke luar
negeri. Pada masa Lekra dan lembaga-lembaga kebudayaan tersebut, rakyat
Indonesia terpecah menjadi tiga kelompok besar: nasionalis, agama, dan komunis
—biasa disingkat nasakom. Kelompok yang paling dominan adalah komunis.
Selanjutnya, pengelompokan mengerucut menjadi dua, yaitu prokomunis dan
antikomunis.

Pertarungan ideologi antara kubu pro- dan antikomunis makin seru dan Lekra
menjadi primadonanya. Menurut Lekra, seni tidak boleh hanya untuk seni. Seni
harus menghamba kepada politik! Yang sibuk berseni bebas, suka bereksperimen,

9
tidak ikut organisasi berarti berseberangan dengan revolusi. Berseberangan
dengan revolusi berarti musuh rakyat. Banyak yang tidak setuju dengan Lekra, di
antaranya, adalah tiga budayawan terkemuka ketika itu, yaitu H.B. Yassin, Trisno
Sumardjo, dan Wiratmo Soekito yang kemudian membuat Manifes Kebudayaan
yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1963. Dalam beberapa bulan Manifes itu
mendapat dukungan lebih dari seribu orang dari berbagai daerah seantero negeri.

Hal itu membuat Lekra yang berhaluan kiri dan PKI kesal. Mereka mulai
mengintimidasi para pendukung Manifes. Dengan segala cara akhirnya Lekra dan
PKI berhasil membuat Presiden Soekarno melarang Manifes yang dianggap dapat
melemahkan semangat revolusi rakyat. Akhirnya, pada 8 Mei 1964, Presiden
Soekarno menerbitkan larangan terhadap Manifes Kebudayaan. Larangan tersebut
membuat para pendukung Manifes menjadi bulan-bulanan Lekra sampai
menjelang pecahnya G-30-S PKI.

Meskipun secara resmi Lekra bukan organisasi onderbouw PKI, kedekatan


yang amat sangat dan kesamaan gaya, apalagi pendirinya yang kemudian tampil
sebagai pimpinan teras PKI, akhirnya memunculkan anggapan bahwa Lekra
adalah anak kandung PKI. Setelah kegagalan G-30-S PKI, sebagaimana yang
terjadi pada PKI, Lekra pun menjadi sasaran kemarahan. Karya mereka dilarang
atau dihancurkan; para aktivis Lekra dihabisi; sebagian diasingkan ke pulau
terpencil. Bahkan, tidak sedikit yang tidak pulang dari tempat pengucilan.

Dalam upaya mendapatkan kebebasan berkarya bagi para seniman yang saat itu
merasa terpojok, yakni seniman yang mayoritas sering berkumpul di lingkungan
Sastra maka terciptalah naskah Manifes Kebudayaan, yaitu sebuah pernyataan
pendirian dan cita-cita mengenai kebudayaan nasional Indonesia. Naskah tersebut
dimuat oleh Sastra No. 9/10 1963. Naskah Manifes Kebudayaan ini terdiri dari
dua bagian, bagian pertama berisi tentang naskah Manifes Kebudayaan dan bagian
kedua berisi tentang Penjelasan Manifes Kebudayan. Adapun naskah Manifes
Kebudayaan sebagai berikut:

10
MANIFES KEBUDAJAAN

 Kami para seniman dan tjendekiawan Indonesia dengan ini


mengumumkan sebuah Manifes Kebudajaan, jang menjatakan pendirian,
tjita-tjita, dan politik Kebudajaan Nasional kami.

 Bagi kami kebudajaan adalah perdjoangan untuk menjempurnakan kondisi


hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudajaan di
atas sektor kebudajaan jang lain. Setiap sektor berdjoang bersama-sama
untuk kebudajaan itu sesuai dengan kodratnja.

 Dalam melasanakan kebudajaan Nasional kami berusaha mentjipta dengan


kesungguhan jang sedjudjur- djudjurnya sebagai perdjoangan untuk
mempertahankan danmengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa
Indonesia di tengah- tengah masjarakat bangsa-bangsa.

 PANTJASILA adalah falsafah kebudajaan kami.

Djakarta, 17 Agustus 1963 Dikatakan

Dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sebuah perjuangan untuk mengubah


kondisi kehidupan manusia menuju kondisi yang lebih baik. Dalam perjuangan
mewujudkan hal itu, semua aspek kehidupan harus berkontribusi secara seimbang.
Artinya, tidak ada satu aspek kehidupan yang diutamakan dari aspek yang lain
karena semua aspek adalah penting. Selanjutnya, dalam menjalankan kebudayaan
nasional itu harus didasarkan pada kejujuran yang terpancar dari hati nurani, maka
dari itu humanisme atau kemanusiaan itu sangatlah penting.

11
B. Seni Rupa di Era Orde Baru
1. Seni Lukis Indonesia Sehabis Periode “Politik Jadi Panglima”

Seni lukis Indonesia Nampak memiliki peluang luas untuk berkembang setelah
redamnya Gerakan 30 September 1965. Sebab sebelum itu dominasi politik PKI
yang membawa lembaga kesenian semacam Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) terasa begitu kuat. Sehingga poilitik berada di atas seni. Yang otomatis
berada di bawah baying-bayang politik PKI.

Gambar 2.2 Joko Pekik, Berias di Belakang Panggung

Tumpasnya Lekra sama dengan tumbangya prinsip seni lukis sebagai


propaganda politik, sebagaimana yang di tekan-tekankan oleh Lekra kala itu. Dari
sini kebebasan setiap pelukis lalu semakin menemukan ruangnya, dan kebebasan
kreatif setiap seniman seperti mendapat pengabsahan untuk menyuruk kemana-
nana. Meskipun untuk itu harus diakui, seni lukis Indonesia lantas menjumpai
tempat-tempat kosong dalam percaturanya, Indonesia kehilangan beberapa pelukis
kuat, yang sesungguhnya pada kemudian hari dapat memberikan aksentuasi
kepada, sejarah seni Lukis di dini.

Kekejaman Politik G 30S PKI, yang dengan musnahnya Lekra,berekor dengan


surutnya beberapa pelukis Indonesia yang bernaungan di bawah Politik komunis
itu. Mereka diantaranya ialah Trubus, Basoki Resobowo. Kemudian beberapa
nama lain yang terpaksa dinon-aktifkan sementara, sambil menunggu rehabilitasi.

12
Diantaranya tercatat nama Hendra Goenawan, Amrus Natalsya, Batara Lubis, dan
sebagainya. Nama –nama ini di kemudian hari berkarya bebas kembali. Dan
mengolah cita artistiknya sesuai dengan kebebasan individualnya.

Kebebasan individual para pelukis memungkinkan terbentuknya iklim


pemacuan kreativitas. Dan iklim ini merangsang para seniman untuk berupaya
hadir ke masyarakat tanpa dibayang-bayangi ketakutan politik seperti yang
dirasakan pada tempo sebelumnya. Jika pada masa sebelumnya seni lukis
Indonesia diimbau atau diagitasi untuk menyandang nilai-nilai propanda dengan
corak yang cenderung lekat dengan realism social, maka pada post Lekra seni
Lukis menelusukkan citra artistiknya lebih kearah “ dalam “.

Setahun setelah tragedy G 30S PKI itu sejumlah seniman yang bergabung
dalam Grub Seniman Bandung muncul dalam pameran. Pameran ini
diselenggarakan di Jakarta, dan cukup membrikan perluasan cakrawala
pandangan. Mereka antara lian adalah AChmad Sadali, But Muchtar, Popo
Iskandar, dan Srihadi Sudarsono. Semuanya adalah pengajar Institut Teknologi
Bandung jurusan Seni Rupa. Para pelukis ini pada masa Lekra agag terganggu
kebebasan geraknya, karena faham aliran keseni lukisan yang jauh dari realism
sosial, dan mengarah pada ala kubisme atau abstraksionisme. Sejumlah gaya lukis
yang diwarisi dari guru mereka, Ries Mulder. Pameran “kebebasan” ini
memperoleh reaksi hangat dari masyarakat seni lukis Indonesia.

13
Gambar 2.3 Jim Supankat, Ken Dedes

Gambar 2.4 Joko Pekik, Merdeka


Keragaman gaya dan tema penciptaan pada lukisan-lukisan mereka telah
meefleksikan kebebasan sebenarnya citra-citra pergerakan seni lukis Indonesia
post Lekra. Dari sini, diantaranya, banyak orang berkata bahwa seni lukis
Indonesia sudah mendapatkan hak asasinya yang paling murni. Seni lukis kembali
pada seni lukis. Dan pelukis sudah balik ke jiwa rasanya sebagai pelukis. Bukan “
anak politik “. Pada 1968 bulan November di Jakarta di adakan Pesta Seni. Pesta

14
ini berkenaan dengan dibukanya Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
Dalam pesta ini dipamerkan 132 Lukisan karya pelukis pilihan dari Yogyakarta,
Jakarta dan Bandung. Kekayaan cocok yang merupakan rekayasa ragaman ide
semakin Nampak jelas.

Pesta seni lukis besar-besaran ini merangsang yang lain-lain semakin berani
hadir. Sejumlah seniman dan pengajar tinggi lantas punya hasrat berpameran
bersama. Pada tahun 1969 hal itu terrealisasikan. Dosen Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI), yang terdiri dari Bagong Kussudiarjo, Budiani, Edhi Sunarso,
Widayat, Fajar Sidiq, Abas Alibasyah, Mujitha, berpameran bersama pelukis-
pelukis muda dari Bandung. Para pelukis Bandung semuanya Bergumul di
perguruan ITB jurusan Seni Rupa. Mereka adalah Erna Pirous, Rustam Arief,
Imam Bukhori, Sanento Yuliman, T. Susanto,Umi Dahlan, dan Haryadi Suadi.

Memasuki tahun 1970 seni lukis kontemporer Indonesia bisa dibilang sudah
berjalan sebagaimana mestinya, Artinya ; kebebasan kreatif, yang berkaitan
dengan dengan kebebasan penciptaan individual sudah sepenuhnya diperoleh.
Tanpa ada yang mengotak-atik. Politik pemerintah melepas segala bebean tema
kanvas seni lukis Indonesia. Dan penyelenggaran-penyelenggaraan pameran juga
melaju lancar tanpa disayat sensor dari pihak manapun. Dan pula, pameran dalam
bentuk pameran mendapat tanggapan positif.

Bahkan pada tahun 1970 ini, pada Pesta Seni Pusat Jakaarta sempat di
hadirkan seni lukis abstrak dalam sebuah pergelaran besar. Mereka yang hadir
dalam forum ini antara lain adalah D.A. Peransi, Jufri Tanissan, Ipe ma’aruf,
Arief Sudarsono, Sriwidodo, dan Oesman Effendi. Disimak dari karyanya, tak
sepenuhnya abstrak memamng.

Pesta seni lukis indonesia semakin meriah memang, pada tahun 1970 ini pula
di taman Ismail Marzuki diselenggarakan pameran akbar yang melibatkan
pelukis- pelukis dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali. Setelah pameran-
pameran yang melibatkan seniman-seniman berbagai kota, pelukis perkotapun
semakin berhati pasti untuk muncul. Lalu, terselenggaralah pameran-pameran
kelompok, yang mengatasnamakan kotanya sendiri-sendiri. Dari bandung muncul

15
18 kelompok.beroameran di jakarta. Diantaranya pematung Rita Widagdo,
Sunaryao. Di sampingya pelukis-pelukis A.D. Pirous, Samsudin Dayat, Yusuf
Affendi dan sebagainya. Mereka berpameran di jakarta tahun 1971.

Tak hanya di bandung. Surabaya pun, yang selama kurun ini tak pernah
terdengar suaranya, memunculkan nama-nama yang amat memberikan prospek.
Kelompok mereka dijuluki oleh masyarakat sebagai kelompok Aksera atau
Akademik Seni Rupa Surabaya. Tahun-tahun berikutnya pameran di jakarta
terutama, dan di beberapa kota lain yang potensial untuk pagelaran seni lukis
seperti bandung,yogyakarta dan Surabaya terus bermunculan. Tak hanya pameran
ramai-ramai yang melibatkan pelukis, atau pameran kelompok yang mengikutkan
beberapa seniman. Tapi oameran tunggal juga mulai terselenggarakan.

Dalam sejarah seni lukis indonesia sampai awal tahun 1970-an, pameran
tunggal masih merupakan “upacara besar” bagi seorang pelukis. Oleh kaarena itu,
jika ada pelukis yang telah menyelenggarakannya, maka ia akan segera terangkat
sebagai sosok yang lebih menggenggam citra sebagai profesional. Pada tahun
1973, misalnya, pelukis-pelukis seperti Nashar, D.A. Peransi , Zaini, Popo
Iskandar serta Mustika telah melakukan pameran tunggal. Dalam pameran itu
Nashar menampilkan karya-karya abstrak ekspresionis. Popo Iskandar pada
perkembangan lukisan-lukisan era 1970-an menunjukkan kedigjayaan wujud,
yang pada kemudian akhirnya muncul sebagai cap jati dirinya. Lukisan-lukisan
Nashar, Zaini dan Popo iskandar di atas dapat dicontohkan sebagai bagian yang
paling menonjoldan terkuat pada era ini.

Dominasi lirisme mulai di usik oleh pelukis-pelukis muda yang masih duduk di
bangku akademi. Pada sekitar tahun 1972-1975 pendidikan seni lukis berbagai di
perguruan tinggi, terutama di Sekolah Tinggi Seni Rupa “Asri” Yogyakarta dan
ITB seperti sampai pada era “keterbukaan.” Pikiran progresif mulai melanda. Dan
progesivitas itu dibawa dari pengaruh kitab-kitab seni rupa Barat Modern yang
masuk ke sini, lewat perpustakaan-perpustakaan sekolah. Gejala uyang muncul
dari progresivitas itu ialah munculnya bentuk-bentuk geometris atau matematis
pada kanvas pelukis muda. Kemeriahan kecenderungan baru pada pelukis-pelukis
muda ini disimak dari aspek dinamika kreatifitas, tentu menggembirakan, namun

16
dilihat dari aspek-aspek lain kadang dirasakan cukup menggelisahkan. Oleh
karena itu, Drs. Sudarmaji, pada pidatao dies di Upacara Dies Natalis ke-24, Asri,
22 januari 1973 melontarkan gejala tersebut sebagai pokok masalah. Pidatonya
yang berjudul “ Benturan Fine Art Modern Barat Kepada Indonesiadan Efeknya
di STSRI Asri” cukup mengundang perhatian. Masalahnya diangkat sebagai
problem seni lukis nasional.

2. Seni Lukis Indonesia Menemukan Momentumnya

Setelah tahun 1980, kegiatan seni lukis Indonesia seperti menemukan


momentumnya, hak itu di pacu oleh beberapa faktor yang utama yang pertama
tentu oleh iklim dunia seni lukis yang apik dan selalu merangsang jagat
penciptaan serta kehadiran seniman dalam pamran. Yang kedua adalah hadirnya
banyak prasarana yang berupa tempat dan aneka sponsor yang menunjang
kehadiran pelukis-pelukis untuk pameran. Yang ketiga menculnya kaum elit baru
yang melihat seni lukis sebagai benda budaya yang harus dimiliki. Yang keempat
adalah sambutan media masa atas sebuah pameran. Media masa ini, yang berupa
majalah, koran atau media elektronik seperti Televisi dan Radio, acapkali
menyiarkan kegiatan pameran dalam berbagai bentuk, di media cetak, ada yang
berupa berita.

Keempat faktor tersebut dapat berarus bolak-balik. Sebab, bisa pula karena
penyiaran di media masa, sponsor lalu tertarik. Bisa pula bangkitnya gairah
pengoleksian kaum elit baru menyebabkan para pelukis lalu semakin produktif
bekerja. Dan dapat pula karena memang pelukis menghasilkan karya-karya
bermutu, sehingga dapat memikat berbagai pihak.

Namun yang jelas, kegairahan seni lukis yang muncul pada kurun waktu ini
karena adanya infrastruktur yang baik, ekonomi yang setabil menimbulkan rasa
tentram pada kehidupan pelukis. Salah satu dampak positif dari membaiknya
infrastruktur itu adalah terjadinya komunikasi budaya antarbangsa, ini suatu hal
yang memberikan stimulasi kepada pertumbuhan seni lukis di sini.

17
Gambar 2.5 Ivan Sagito, Manusia yang Wayang Atau Manusia yangTopeng

Gambar 2.6 Dede Eri Supria, Etos Kerja


Dari data yang dihimpun, jumlah pameran yang terjadi di Jakarta pada kurun
waktu ini cukup mengejutkan. Tahun 1981 tak kurang dari 80 pameran seni lukis
terjadi. Tahun 1982 meningkat menjadi 100. Tahun 1984 ada 135 pameran seni
lukis dan tahun 1989 terjadi 160 pagelaran seni lukis diadakan.

Dari sekian banyak pameran banyak yang menyuguhkan kejutan. Pameran seni
lukis Basoeki Abdullah misalnyayang di adakan di Hotel Hilton, jakarta. Pameran
ini memungut biaya bagi oenontonya. Sesuatu yang tidak biasa dalam sejarah
pameran seni lukis di indonesia. Pagelaran tahun 1983 itu memungut biaya Rp.
500 untuk pelajar dan Rp. 1000 untuk umum. Pada tahun 1985 di galeri pasar seni
ancol muncul tiga pelukis legendaris indonesia. Mereka adalah Basoeki Abdullah,
S. Sujojono dan Affandi pertemuan ini menyandang misi yang unik : merujukkan

18
dua pelukis besar indonesia yang lama berselisih faham seni dan “bersekutu”
sejak zaman Persagi, 1938. Dua pelukis itu adalah Basoeki Abdullah dan
S.Sujojono. sedangkan Affandi dipasang sebagai “penengah”.

Pada sekitar tahun 1985 dunia seni lukis indonesia menawarkan ide baru dalam
ide dan manifestasi pengungkapanya. Gejala itu adalah berjangkitnya gejala
surealis. Terutama pada kanvas-kanvas pelukis muda.

Surealis ini sebelumnya oleh pelukis senior seperti amang rahman telah jauh
hari dikibarkan. Amang memang terbilang sukses dengan gaya surealisme
mistisnya, yang berisi pertanyaan soal hidup dan mati. Namun pelukis-pelukis
muda lebih bergairah mengobarkan gaya ini, lewat berbagai peristiwa pameran.
Bersama atau tunggal. Pada tahun 1980-an sejumlah pelukis indonesia yang di
luar negeri banyak yang balik. Yang mengadakan pagelaran demi pagelaran.
Doyo Prawito, pelukis Surabaya yang lama tinggal di paris , beberapa kali
pameran tunggal di Surabaya dan Jakarta. Sampai pelukis pemegang Oscar di
Montecarlo ini meninggal tahun 1987. Teguh Ostentrik yang berbelas tahun
berada di jerman balik ke indonesia dan mengadakan pameran dengan presentasi
yang unik. Diantaranya dengan gubahan instalasi benda-benda. Karya lukisnya
dimanifestasikan dalam bentuk happeningart.

Pertumbuhan jagat seni lukis ini sedikitnya merangsang 3 hal yang menarik.
Pertama merangsang kreativitas lembaga kepanitiaan atau penyelenggaraan
pameran untuk membuat acara pameran yang memikat perhatian khalayak.Kedua
merangsang lahirnya grub-grub seni lukis, baik yang berupa grub insidentil
ataupun sanggar permanen.Ketiga merangsang lahirnya galeri-galeri, atau tempat-
tempat yang menawarkan jasa-jasa sebagai akomodasi percaturan seni lukis. Juga
museum-museum swasta.

19
C. Gerakan Seni Rupa Baru

1. Pengantar

Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia adalah suatu fenomena gerakan
estetikayang sangat penting dalam sejarah seni rupa modern Indonesia. Dari
model paradigma estetetik yang dikembangkan, GSRB dapat dikatakan sebagi
peletak dasar seni rupa kontemporer Indonesia. Untuk membaca GSRB dalam
sejarah tersebut, tentu dapat memakai berbagai perspektif. Dalam kesempatan ini
berbagai pernik peristiwa itu akan dilihat secara garis besar, demikian pula dengan
perspektifnya, yaitu perubahan paradigma estetetik yang tercermin dalam aliran
dan gaya yang berproses secara dialektikal. Untuk kepentingan kajian lain yang
bisa dilakukan lebih mendalam, bisa dirunut lewat sejarah sosial seni, dengan
munculnya antithesis dan negasi yang sekaligus melibatkan kondisi sosial dan
perjuangan faham dalam masyarakat (Arnold Hauser, 1982). Di samping itu,
perspektif sejarah sosial seni akan bisa menjelaskan secara komprehensif, terlebih
model sejarah sosial seni yang dipakai T.J. Clark dengan memakai model
ekonomi dan evidensi historis yang lebih rinci (Eric Fernie, 1995).
Peran seniman dengan proses dialektika itu bisa dilihat dalam perkembangan
paradigma estetik. Apakah aktivitas kreatif seorang seniman tertentu berada dalam
tesis besar, sehingga ia menjadi seorang integrated professional artist, atau ia
memposisikan diri dalam antitesis sebagai seorang maverick artist yang
memberontak. Seniman kelompok integrated professional selalu berusaha
mengintegrasikan konsep, bentuk seni, maupun kecakapan sosialnya mengikuti
konvensi budaya dan estetik yang sedang berlaku. Seniman maverick (tertutup
dan pemberontak) dalam aktivitas kreatifnya sebenarnya menjadi penggerak
antitesis untuk menawar paradigma estetik yang sudah mapan (Howard S. Becker,
1982).

2. Seni Rupa Liris Yang Mapan

Pada masa Orde Baru paradigma estetik humanisme universal menjadi


menguat sehingga menggeser paradigma kontekstualisme kerakyatan. Seni rupa
berusaha secara murni membebaskan penciptaan dari pengaruh-pengaruh politik.

20
Munculnya wacana penghargaan pada kesadaran pribadi manusia dan semangat
kebebasan berekspresi mendorong semangat penjelajahan individual untuk
melahirkan ungkapan bentuk-bentuk yang beragam. Di samping itu, pengaruh
modernisasi dan pembangunan juga sangat signifikan pada sifat-sifat karya dalam
paradigma estetik ini. Proses kreatif yang bersifat personal melahirkan ungkapan-
ungkapan yang menitikberatkan perasaan dan emosi (lirisme). Dalam beberapa
fenomena visual itu ciri yang sering muncul adalah sifat intuitif, imajinatif,
dekoratif, dan non formal improvisatoris. Dari berbagai kecenderungan ini seni
abstrak merupakan gaya yang dominan dalam seni rupa Indonesia.

Kondisi kebebasan kreatif yang dijiwai semangat humanisme universal tersebut


bukan berarti menutup perdebatan konsep-konsep dalam seni lukis atau seni rupa.
Pencarian kepribadian Indonesia, modernisme yang telah jatuh menjadi estetisme,
dan seni rupa yang kontekstual (Ignas Kleden, 1987), adalah merupakan agenda
perdebatan sepanjang dekade tahun 1970-an. Di samping itu, para seniman yang
dulu melukis tema kerakyatan masih banyak yang meneruskan visi mereka. Akan
tetapi, visi kerakyatan mereka telah dihinggapi benih distansi dari persoalan jiwa
zaman baru yang sedang tumbuh. Orde Baru yang menekankan pada stabilitas
politik dan pertumbuhan ekonomi lewat pembangunan mendorong akselerasi
perubahan sosial yang luar biasa. Persoalan kehidupan rakyat menjadi lebih
kompleks. Kehidupan rakyat sebagai objek dan dampak pembangunan ini sering
menumbuhkan berbagai persoalan yang krusial. Eksploitasi sumber daya alam,
pendapatan masyarakat yang tidak seimbang dan merata, pengangguran dan
kemiskinan (Anne Both and Peter McCawley, 1981) merupakan realitas yang
tidak dapat dilewatkan untuk diungkapkan dalam karya seni rupa. Persoalan-
persoalan kehidupan rakyat seperti itu tidak cukup lagi dilukiskan dengan
menggambar kemiskinan di atas kanvas dengan masih bersandar estetisme dan
rasa haru dari pelukis. Apalagi lukisan-lukisan dengan tema kemiskinan itu
akhirnya juga menjadi komoditi dalam jaringan kapitalisme kesenian yang
sophisticated.

21
3. Terbentuknya Paradigma Estetik Baru lewat GSRB

Pada tahun 1974, kembali muncul konsep yang menawar pandangan seni lukis
Indonesia yang telah menjadi mapan dengan berbagai perspektif baru lewat
Pernyataan Desember Hitam. Pada tahun 1975 GSRB Indonesia muncul dengan
suatu paradigma yang melawan bentuk seni rupa lama yang personal dan liris.
Dari berbagai kecenderungan yang muncul dapat dilihat Lima Jurus GSRB
Indonesia menjadi rujukan estetiknya, seperti dalam pokok-pokok pikiran sebagai
berikut. Usaha mereka untuk meniadakan batas seni lukis, grafis, patung, atau
cabang-cabang seni rupa lain yang juga bisa dikaitkan dengan ruang, gerak, dan
waktu bisa melahirkan bentuk-bentuk seni rupa baru. Mereka lebih percaya
masalah sosial yang aktual lebih penting untuk diangkat menjadi karya seni dari
pada keharuan sentimen-sentimen pribadi, imaji personal yang bersifat liris dan
esoteris seorang seniman. Mengharapkan keragaman gaya dan kemungkinan baru
tanpa batasan, menolak penurunan gaya guru pada cantrik atau muridnya.
Membangun seni rupa Indonesia dengan historiografinya sendiri yang tidak
merupakan bagian dari sejarah seni rupa dunia. Demikian juga ditekankan untuk
seni rupa yang lebih wajar dan mempunyai fungsi meluas dalam masyarakat (Jim
Supangkat, 1979).

Berbagai rujukan estetik yang diperjuangkan oleh GSRB terus mengalami


perkembangan, sehingga gejala-gejala pembaruan tersebut mengkristal menjadi
paradigma estetik baru yang pada tahun 1980-an sudah mulai dicatat oleh para
pengamat sebagai bentuk seni rupa kontemporer Indonesia. Ada beberapa ciri dari
paradigma yang diajukan. Mereka lebih ingin komunikatif dengan masyarakat,
dan dekat dengan proses kreatif yang bersifat analitik, kontekstual, dan
partisipatoris. Di samping itu mereka berusaha menghancurkan batas-batas seni
murni, seni tinggi dan seni rendah, serta sikap plural nilai dalam ungkapan
mereka. Dalam karya-karya tersebut dapat dilihat bahwa ada upaya yang kuat
untuk menampilkan kekonkretan baru lewat bermacam-macam medium dari
teknik kolase, pemanfaatan ready made (barang jadi), seni instalasi,
environmental art (seni lingkungan), sampai pada performance art (seni rupa
pertunjukan).

22
Dalam manifestasi kekonkretan baru itu, media realisme seni lukis juga
dipergunakan dengan mengeksploitasi teknisnya yang fotografis, sehingga
mencapai ilusi optis super realis. Demikian juga dieksplorasi media komik,
majalah, koran, dan berbagai kemasan barang industri. Kecenderungan ini dalam
perspektif Sanento Yuliman merupakan peleburan prinsip seni rupa atas (high art)
dan seni rupa bawah (low art) (Sanento Yuliman, 1992). Karya-karya dengan
medium tidak terbatas tersebut menjadi ciri ungkapan pada seniman-seniman
GSRB dalam Pameran Seni Rupa Baru I 1975, yaitu pada Anyool Subroto,
Bachtiar Zainoel, Pandu Sudewo, Nanik Mirna, Murtoyo Hartoyo, Ris Purwana,
Jim Supangkat, F.X. Harsono, Hardi, Siti Adiyati, Bonyong Muni Ardhi. Pada
tahun 1976 diselenggarakan Pameran Konsep Seni Rupa Baru Indonesia, dengan
sebagian anggota berganti. Pada tahun 1977 diselenggarakan Pameran Seni Rupa
Baru II, tahun 1978 Pameran Seni Rupa Baru III, tahun 1979 Pameran Seni Rupa
Baru IV dengan anggota yang semakin bertambah, tetapi sebagai organisasi
kemudian membubarkan diri.

Di luar pameran-pameran GSRB masih ada pameran-pameran dengan


semangat pembaruan tersebut, yaitu tahun 1979 di Yogyakarta Pameran PIPA
(Seni Kepribadian Apa), di Jakarta tahun 1987 Pameran Seni Rupa Baru: Proyek I
“Pasar Raya Dunia Fantasi”, tahun 1989 Pameran Seni Rupa Baru: Proyek II
“Silent World” (Bagian I), di Perth Australia, tahun 1989 Proyek II “Silent
World” (Bagian II), di Hobart, Tasmania Australia, tahun 1990 Proyek II “Silent
World” (Bagian III).

4. Menuju Sintesis Baru, Seni Rupa Kontemporer Indonesia Akhir


Abad ke-20 Dalam

Dalam kurun waktu tahun 1980-an sampai tahun 1990-an, mengikuti akibat
pewacanaan dari GSRB dan reaksi dari kelompok konvensional, maka terjadilah
polarisasi sikap lirisisme dan non lirisisme dalam seni rupa Indonesia. Di antara
dua kutub, ada beberapa perupa muda yang bersikap moderat dan maju, mencari
jalan lain menyerap kedua sikap itu. Fenomena itu antara lain terwakili dalam
karya-karya Narsen Afatara, Suatmadji, Agustinus Sumargo, dan Abdul Kholim.
Perupa-perupa ini telah mengganti kanvas dengan material-material baru,

23
sehingga mereka mencapai “kekonkretan baru” namun mereka tidak menolak
pandangan seni yang liris (M. Agus Burhan, 1990). Mereka ini merupakan benih
sintesis, namun pada waktu itu belum mendapatkan iklim yang kondusif.

Di samping ada usaha-usaha mencari jalan lain tentang bentuk kekonkretan


baru dan Seni Rupa Baru yang terus tumbuh mencari jalan, ada juga karya-karya
bentuk lama yang menguat pada kecenderungan surrealisme. Kecenderungan pada
gaya itu lebih-lebih yang memakai teknik realisme. Di lain pihak, dalam level
“pasar”, kecenderungan para kolektor dan orang kaya baru untuk membeli lukisan
sedang menguat. Jika kebanyakan rakyat Indonesia tidak bisa mengenyam trickle
down effect (efek yang menetes ke bawah) dari kue pembangunan, para pelukis
pada masa itu justru banyak yang bisa menikmatinya. Pada saat pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai 7%, lukisan menjadi salah satu atribut, fashion
statement, dalam citra kehidupan orang-orang kaya. Sejarah mencatat bahwa ada
booming lukisan di Indonesia pada masa itu. Dalam booming itu, karya-karya
bentuk lama mendapat respon pasar yang sangat tinggi. Pelukis-pelukis ini
tumbuh menjadi para integrated professionals, yaitu berusaha integratif dengan
konvensi-konvensi yang sedang menguat dianut oleh tren pasar. Setelah karya-
karya surrealisme, menyusul kemudian kecenderungan abstrak ekspresionisme
dan berbagai gaya lainnya.

Dalam tahun 1990-an, paradigma yang ditawarkan Seni Rupa Baru berhasil
mendapatkan implementasi pada karya-karya instalasi, performance art, ataupun
karya lingkungan (environmental art). Kecenderungan karya-karya itu
menunjukkan sebagian dari menguatnya karya seni kontemporer di Indonesia. Di
samping itu, keterkaitan seni rupa kontemporer Indonesia dengan merebaknya isu
postmodernisme merupakan fakta yang tidak terpisahkan. Tekanan perhatian pada
konsep-konsep desentralisasi bidang sosial politik, pluralisme dan penghargaan
khasanah lokal, penghapusan cara berpikir linier dan rasional keilmuan,
merupakan isu-isu segar pada seniman-seniman. Dalam manifestasinya, hal itu
mendorong lahirnya seni yang menonjolkan unsur tradisi, sikap kritis, dan
perlawanan. Terbukanya forum Internasional untuk perupa-perupa Indonesia juga
tidak lepas dari kecenderungan mengglobalnya isu-isu tersebut.

24
Manifestasi yang lebih konkret dalam seni rupa Indonesia adalah dorongan
terjadinya tren pada penerimaan, penolakan, dan percampuran dari polarisasi
pandangan dan sikap lirisisme dan non lirisisme. Percampuran pandangan seni
rupa lama dengan seni rupa baru. Dengan demikian terjadilah proses sintesis dari
pandangan-pandangan itu. Banyaknya perupa muda yang menggunakan ungkapan
multi media, tidak semata-mata secara sempit dan ketat besikukuh pada konsep
estetik dan pandangan sosial seperti kelompok Seni Rupa Baru. Mereka lebih
bebas dan tidak berpihak. Bahasa lirisisme masih sering mereka pakai, namun
mereka juga melakukan seni rupa pertunjukan (performance art), dan membuat
seni instalasi. Di samping itu, mereka tidak melihat fenomena sosial semata-mata
dari kebenaran searah yang berpihak (M. Agus Burhan, 2001). Dapat disebutkan
contoh yang tipikal dan mewakili kecenderungan ini adalah karya-karya Heri
Dono, Semsar Siahaan, Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Nindityo
Adhipurnomo, dan lain-lainnya.

Di lain pihak, perupa-perupa muda yang berawal dari lirisisme juga mulai
bosan dengan kehalusan, imaji-imaji personal dan esoterik, maupun ketumpulan
terhadap berbagai respons sosial. Dalam kecenderungan ini banyak variasi yang
dibuat para seniman muda. Mulai dari komentar sosial yang diungkapkan dengan
berbagai gaya, dengan tetap memanfaatkan simbol-simbol tradisi, atau sampai
pada sifat yang provokatif pada publik seperti karya-karya Kelompok Taring Padi.
Ditambah dengan penggalian-penggalian yang masih aktif dari seniman-seniman
lirisisme yang terus tumbuh, keberagaman seni rupa Indonesia pada dekade ke-10
abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan keberadaan yang plural dan
dinamis.

5. Penutup

GSRB Indonesia meletakkan dasar paradigma estetik seni rupa kontemporer


Indonesia. Paradigma tersebut merupakan bentuk pemikiran estetik dan
implementasi bentuk karya visual yang plural tanpa batas. Bentuk-bentuk seni
rupa kontemporer demikian sekarang menjadi praktik seniman dan mendapat
dukungan semua komponen dalam medan seni (art worlds) seni rupa Indonesia.
Dengan perkembangan kondisi seni rupa kontemporer Indonesia yang demikian

25
memungkinkan seni rupa Indonesia masuk dalam konstelasi seni rupa
kontemporer internasional.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemunculan seni rupa sudah ada sejak zaman prasejarah. Sampai hari ini seni
rupa terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Gairah seni rupa di
Indonesia kian merebak dibanyak perhelatan seni. Berbagai macam eksplorasi
terjadi dalam penciptaan karya. Membongkar persoalan seni rupa sedikit banyak
mempersoalkan identifikasi melalui modifikasi pemikiran-pemikiran dengan
menangkap gejala seni rupa. Munculnya problema tentang wacana seni rupa
modern membawa sederet perubahan. Seni modern lahir dari dorongan untuk
menjaga standar nilai estetik yang kini sedang terancam oleh metode
permasalahan seni. Modernisme meyakini gagasan progres karena selalu
mementingkan norma kebaruan, keaslian dan kreativitas.

Kesimpulannya, seni berkembang disetiap waktu nya dengan dipengaruhi


berbagai macam faktor seperti dikarenakan oleh suatu situasi atau keadaan pada
saat itu, oleh karen itu seni terus menerus melakukan update dan perubahan trend
setiap saat nya.

B. Saran
Diharapkan mahasiswa dapat memahami materi ini, serta kepada penulis yang
membaca atau ingin mengambil referensi dari makalah ini dapat memilah dengan
bijak dan menyusun makalah dengan materi yang lebih lengkap lagi.

27
DAFTAR PUSTAKA

https://repo.undiksha.ac.id/4009/3/1612031014BAB%20I
%20PENDAHULUAN.pdf

https://id.scribd.com/doc/253435339/Perjalanan-Seni-Rupa-Era-Orde-Baru

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/galerinasional/orde-baru-dalam-seni-rupa-
masa-kini/

https://www.kompas.id/baca/arsip/2020/01/21/manikebu-vs-lekra

https://www.harapanrakyat.com/2021/08/sejarah-seni-indonesia/

https://www.harapanrakyat.com/2021/08/sejarah-seni-indonesia/

28

Anda mungkin juga menyukai