Anda di halaman 1dari 16

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by e-Journal UIR (Journal Universitas Islam Riau)

Membangun Moralitas Melalui Pendidikan Agama

SAHMIAR PULUNGAN

Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara


dpk Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
Jl. Badik N0. 17, Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan,
Sumatera Utara. Kode Pos 20233

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana membangun


moralitas melalui pendidikan agama. Tulisan ini bermanfaat bagi para orang
tua dan pendidik untuk mengembangkan dan menanamkan moralitas pada
anak. Hasil tulisan ini adalah: Pertama, moralitas merupakan tolok ukur untuk
menentukan baik buruknya perbuatan manusia dan bukan sebagai pelaku
peran tertentu. Moral mengandung muatan nilai dan norma yang bersumber
pada hati nurani manusia. Kedua, moralitas mencakup dalam tiga unsur yaitu
perilaku, kognisi, dan afeksi. Dimensi moralitas berangkat dari ajaran tauhid,
penghayatan dan pengalaman Agama Islam terbagi kedalam tiga aspek yaitu
îmân, Islâm, dan ihsân. Ketiga, moralitas dalam pendidikan agama dapat dilihat
dari sistem nilai Islami yang hendak dibentuk dalam pribadi anak didik dalam
wujud keseluruhannya. Oleh karena pendidikan Islam bertujuan pokok pada
pembinaan akhlak mulia, maka sistem moral Islami yang ditumbuh kembang
dalam proses pendidikan adalah norma yang berorientasi kepada nilai-nilai
Islami. Keempat, pendidikan moral dimulai dari keluarga berlangsung dalam
suasana informal, pada setiap situasi, baik disadari atau pun tidak oleh orang
tua. Memberikan pujian pada saat anak melakukan hal-hal yang baik dan benar
serta menegur bahkan memberikan hukuman pada saat anak melakukan
kesalahan, tanpa disadari pada dasarnya merupakan proses pembinaan nilai
moral.

Kata Kunci: Moralitas, Dimensi Moral, Pendidikan Agama

PENDAHULUAN buruknya manusia sebagai manusia.


Moralitas menjadi persoalan krusial Moralitas merupakan tolok ukur untuk
untuk dikaji di era globalisasi saat ini. Hal menentukan betul salahnya sikap dan
ini menjadi krusial bila dilhat pada tindakan manusia, dilihat dari sisi baik
perilaku masyarakat dan generasi penerus buruknya sebagai manusia dan bukan
bangsa ini yang seolah telah mulai sebagai pelaku peran tertentu. Dengan
meninggalkan nilai-nilai moral positif yang demikian moral mengandung muatan nilai
terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits. dan norma yang bersumber pada hati
Secara etimologis istilah moral mengan- nurani manusia.
dung arti adat istiadat, kebiasaan atau cara Suara hati nurani berfungsi untuk
hidup, namun secara substantif tidak se- menahan manusia untuk tidak melakukan
kedar bermakna tradisi kebiasaan belaka perbuatan yang tercela. Keberadaannya
melainkan berkenaan dengan baik cukup kuat dalam diri seseorang sehingga

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 9


meskipun manusia mencoba untuk
mengabaikan atau menindasnya, namun MORALITAS DAN KOMPLEKSITASNYA
suara hati nurani tetap berseru dan Secara etimologis istilah moral
terdengar agar manusia tidak berbuat berasal dari Bahasa Latin “mores” yang
yang menyimpang dari prinsip-prinsip berarti adat istiadat, kebiasaan, cara
kesusilaan. Suara hati nurani ini ter- hidup. Pengertian tersebut mirip dengan
dengar baik sebelum seseorang berbuat kata ethos dalam Bahasa Yunani, dan
sesuatu, sedang berbuat, maupun setelah kemudian dikenal dengan “etika”. Kata ini
selesai berbuat. Jika perbuatan yang pun mempunyai arti adat istiadat atau
kebiasaan (Poespoprojo, 1986:3-5). Ada
dilakukan adalah perbuatan jahat dalam
pula kata lain yang mempunyai arti yang
arti tidak sesuai dengan kodrat kema-
sama terdapat dalam Bahasa Arab yaitu
nusiaan, maka suara hati nurani ini pada
“akhlâq”, yang berasal dan kata “khalaqa,
hakikatnya tidak menerima. OIeh karena yakhluqu, khulûqan” yang berarti tabi’at,
itu betapa pun jahatnya manusia, tatkala adat istiadat, atau “kholqun” yang berarti
melakukan suatu perbuatan yang buruk, kejadian atau ciptaan. Jadi akhlak ini
pasti ada setitik kesadaran bahwa merupakan perangai yang dibuat dan
perbuatannya itu keliru. Sebagai ekspresi- karena itu keberadaannya bisa baik dan
nya mungkin dia merasa rendah diri, bisa pula jelek, tergantung pada tata nilai
merasa berdosa terus menerus, atau yang dijadikan rujukannya (Daradjat,
bahkan melakukan bunuh diri. Hal ini 1984:254).
terjadi karena merasa tertekan oleh Dalam perbendaharaan kata-kata
peringatan-peringatan yang diserukan Bahasa Indonesia, banyak istilah yang me-
oleh suara hati nurani. Suara hati nurani miliki pertautan makna dengan moralitas
ini mengajak manusia agar sadar untuk ini, seperti susila, budi pekerti, kepri-
melakukan perbuatan yang susila. Kesa- badian, dan sebagainya. Manakala disebut
daran ini merupakan kesadaran moral salah satu atribut di atas dari seseorang,
yang menuntut tidak sekedar pengertian maka sebutan itu terkait dengan masalah
akal, melainkan pengertian dan seluruh moralitas. Namun padanan kata yang
pribadi manusia yang bersifat batiniah dan sering digunakan untuk moralitas ini
adalah etika. Bahkan kedua kata ini lazim
mendalam. Jadi suara hati nurani sebagai
dijadikan sebagai sinonim antara sesama-
sumber moralitas manusia pada dasarnya
nya.
berupaya menahan dan menyadarkan
Meskipun secara etimologis istilah
manusia dari perbuatan-perbuatan yang moral mengandung arti adat istiadat,
buruk. kebiasaan atau cara hidup, namun secara
Di sinilah kemudian persoalan moral substantif tidak sekedar bermakna tradisi
menjadi penting untuk dikaji dan kebiasaan belaka melainkan berkenaan
dikembangkan melalui pendidikan agama. dengan baik buruknya manusia sebagai
Pendidikan agama dapat dijadikan sebagai manusia. Dengan kata lain moralitas me-
alternatif awal dalam rangka mengem- rupakan tolok ukur untuk menentukan
bangkan moralitas anak didik di betul salahnya sikap dan tindakan
Indonesia. Persoalan yang akan dikaji da- manusia dilihat dari sisi baik buruknya
lam tulisan ini adalah moralitas dan sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku
kompleksitasnya; dimensi-dimensi moral; peran tertentu. Dengan demikian moral
moralitas dalam pendidikan agama; dan mengandung muatan nilai dan norma yang
pendidikan moral dari keluarga. bersumber pada hati nurani manusia. Hal

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 10


ini seperti ditegaskan oleh Setiadi kebenaran moralitas lebih bersifat
(1990:90) bahwa ”moral bukan sekedar universal. Hal ini dikarenakan pada karak-
apa yang biasa dilakukan oleh orang atau teristik moral itu sendiri yang bersum-
sekelompok orang itu, melainkan apa yang berkan pada suara hati nurani manusia.
menjadi pemikiran dan pendirian mereka Pada dasarnya ada dua macam suara
mengenal apa yang baik, dan apa yang hati nurani, yaitu suara hati nurani yang
tidak baik, mengenai apa yang patut dan mengarah pada kebaikan dan suara was-
yang tidak patut untuk dilakukan was yang mengarah pada keburukan. Jika
manuasia”. keinginan berbuat baik ditekan, dalam arti
Menurut Poespoprojo (1986:2) meninggalkan untuk berbuat baik sesuai
substansi moralitas senada dengan pene- dengan norma yang berlaku, maka suara
gasan di atas sebagai berikut: “kebiasaan hati memanggil-manggil dan ingin
yang lebih fundamental, berakar pada mengarahkan pada hal-hal yang baik dan
sesuatu yang melekat pada kodrat benar. Suara batin ini mengingatkan bah-
manusia seperti mengatakan kebenaran, wa perbuatan itu kurang baik atau tidak
membayar hutang, menghormati orang baik. Suara itu berupa seruan dan him-
tua, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan bauan yang memaksa untuk didengar-kan
tersebut bukan sekedar kebiasaan atau (Drijakara, 1966:43). Kehadiran suara
adat istiadat semata-mata, melainkan hati nurani ini bahkan datangnya secara
perbuatan yang benar, dan jika menye- tiba-tiba dan kuat sekali pengaruhnya
leweng dari padanya berarti salah”. pada diri seseorang. Jadi suara hati nurani
Dari penjelasan di atas dapat dika- sebagai sumber moralitas manusia pada
takan bahwa moral merupakan standar dasarnya berupaya menahan dan menya-
kualitas perbuatan manusia yang dengan- darkan manusia dari perbuatan-perbuatan
nya dapat dikatakan bahwa perbuatan yang buruk.
tersebut benar atau salah, baik atau buruk, Suara hati nurani ini ada pada setiap
dalam ukuran tata nilai yang bersumber- orang, sebagai bekal kodrat kemanu-
kan pada hati nurani manusia, sebagai siaannya. Oleh karena itu pada dasarnya
fitrah dari Tuhan. Perbuatan yang berten- setiap orang itu baik, setiap orang adalah
tangan dengan tata nilai yang bersumber- bermoral, sesuai dengan kodrat
kan pada hati nurani manusia dikatakan kemanusiaannya. Namun karena kehi-
sebagai perbuatan amoral. Orang yang dupan manusia terkait dengan banyak
bermoral adalah orang yang memenuhi variabel baik yang bersifat intern datang
ketentuan-ketentuan kodrat yang dari diri manusia itu sendiri maupun yang
tertanam dalam dirinya sendiri. Pengeja- bersifat ekstern datang dari lingkungan
wantahannya adalah mulai dan munculnya kehidupannya. Maka menurut Drijakara
kehendak, yaitu kehendak yang baik (1966:21) keberadaan suara hati nurani
sampai kepada adanya tingkah laku dan dalam diri manusia ini beragam keadaan-
tujuan yang baik pula. Predikat moral nya, ada yang kuat ada pula yang lemah
mensyaratkan adanya kebaikan yang meskipun pada dasarnya manusia itu
berkesinambungan, sejak munculnya ke- cenderung berbuat baik, tetapi kesadaran
hendak yang baik, dan karena itu orang moral tidaklah datang dengan sendirinya.
yang bertindak atau bertingkah laku baik Kesusilaan harus diajarkan dengan contoh
kadang-kadang belum dapat disebut seba- yang baik, sehingga dapatl-ah terbentuk
gai orang yang bermoral. Meskipun manusia susila lahir dan batin.
kebenaran tata nilai bersifat relatif antar Jika ditarik pembicaraan ini dalam
beberapa kelompok masyarakat, namun konteks keislaman maka suara hati itu

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 11


pada dasarnya adalah iman. Karena salah Sehingga dengan demikian penilaian
satu pilar keimanan adalah pembenaran moral benar-benar merupakan penilaian
dalam hati dengan suara hati (tasdîqun fî yang komprehensif terhadap manusia,
al-qalb). Kaitan hal ini dengan keberadaan untuk mengetahui kualitas kemanu-
iman dalam diri manusia, Nabi siaannya.
Muhammad sudah menyampikan melalui Downey dan Kelly (1998:45)
salah satu haditsnya: mengemukakan kualifikasi karakteristik
manusia yang bermoral, adalah: (1) Sadar
akan kebutuhan sehingga mau memper-
Hadits ini mengindikasikan secara timbangkan bukti faktual dalam rangka
tegas bahwa keberadaan keimanan dalam mencapai dan memperoleh tujuannya. (2)
diri manusia itu dapat kuat sehingga Sadar bahwa mempelajari moral
seluruh perilaku dan pola fikirya dilan- mempunyai arti terhadap segala sesuatu.
daskan pada keimanan kepada Tuhan, (3) Otonomi moralnya dapat memban-
dapat juga iman itu lemah. Bahkan dapat tunya dalam mengambil keputusan dan
pula iman tersebut terkubur oleh faktor menentukan pilihan yang benar. (4) Bisa
lain yang bertentangan dengan iman itu bertindak sesuai dengan ketentuan moral,
sendiri. sehingga bisa mengetahui dan memahami
Selain menunjukkan eksistensi iman perasaan orang lain. (5) Mempunyai suatu
dalam hati manusia, hadits itu pun komitmen positif terhadap nilai moral dan
mengisyaratkan perlunya pemupukan dan perasaan orang lain. (6) Jiwa kemanusian
pembinaan keimanan agar terpelihara dari dan kemampuannya hidup sebagai
kerusakannya (kekufuran). Upaya-upaya makhluk yang bermoral. Menurut Higgins
pemupukan dan pembinaan ini tidak lain (1981:67) mengemukakan profil orang
adalah pendidikan dalam arti luas. Dalam bermoral yang dasarnya adalah tanggung
pola pemikiran demikian, maka proses jawab. Tanggung jawab yang dimaksud,
pendidikan dalam kajian ini khususnya menurutnya meliputi: (1) Kebutuhan dan
pendidikan moral merupakan fitrah kesejahteraan individu dan lainnya; (2)
keagamaan (Islam). Oleh karena itu dalam keterlibatan dan keiikutsertaan diri
kehidupan keluarga, orang tua wajib sendiri dan akibat terhadap yang lain; (3)
melakukan pendidikan moral bagi anak- Nilai moral atau perfect character (akhlak
anaknya, sebagai bekal untuk mereka yang sempurna); (4) Nilai intrinsik hu-
dalam menjalani kehidupan di masa bungan sosial.
mendatang. Dari pendapat yang dikemukakan di
Dapat dipahami bidang moral adalah atas, mengenai karakteristik manusia
bidang kehidupan manusia dilihat dari bermoral, dapat diketahui, bahwa kuali-
segi kebaikannya sebagai manusia. Norma fikasi karakteristik tersebut menunjuk
moral adalah tolok ukur untuk pada kebaikan dalam segala kompleksitas
menentukan betul salahnya sikap dan kehidupan di mana kebaikan ini tidak saja
tindakan manusia, dilihat dan segi baik termanifestasikan dalam bentuk perilaku,
buruknya sebagai manusia dan bukan tetapi sejak munculnya kehendak, dengan
sebagai pelaku peran tertentu dan didasari oleh solidaritas kelompok.
terbatas (Magnis Suseno, 1991:19). Itulah
sebabnya moralitas tidak sekedar
berkenaan dengan salah satu sisi kehi- DIMENSI MORAL
dupan manusia saja melainkan berkenaan Moralitas merupakan hal yang
dengan seluruh aspek kehidupan manusia. kompleks dan abstrak. Selain karena kebe-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 12


radaannya dipengaruhi oleh banyak faktor nunjukkan bahwa berbagai teori tersebut
dalam kehidupan manusia. Moralitas ini hanya memusatkan perhatiannya kepada
bersumberkan pada suara hati nurani beberapa aspek saja dari persoalan
manusia. Meskipun sifat suara hati nurani moralitas sedangkan yang lain diabaikan
manusia adalah universal, namun sulit (Arifin, 1995:36).
untuk diketahui secara pasti. Mengetahui Apabila diperhatikan ajaran agama
suara hati nurani manusia hanyalah dapat dalam kontek ini, sebenarnya Islam telah
dilakukan melalui manifestasi- menunjukkan ajaran yang tegas dan
manifestasinya, baik berupa perilaku otentik. Misalnya saja berangkat dari
maupun ucapan-ucapan yang ajaran tauhid, penghayatan dan
diutarakannya. Oleh karena itu pengalaman Agama Islam terbagi kedalam
menangkap suara hati nurani harus tiga aspek yaitu iman, Islam, dan ihsan.
dilakukan dengan upaya yang hati-hati Pada akhirnya ketiga aspek tersebut
dan cermat, sehingga memperoleh melahirkan tiga macam orientasi
gambaran yang komprehensif. keagamaan dalam epistemologi Islam.
Dalam teori lain disebutkan Aspek îmân telah mendapatkan kajian
moralitas mencakup dalam tiga unsur secara sistematis yang melahirkan ilmu
yaitu perilaku, kognisi, dan afeksi. Jadi kalam. Sedangkan kajian terhadap aspek
moral senantiasa mengandung unsur Islâm telah memformulasikan hukum-
perilaku, kognisi, dan afeksi. Dalam hukum Islam secara terorganisir dengan
paradigma moralitas demikian maka melahirkan ilmu fiqh. Dengan kedua ilmu
paham-paham tertentu mengkaji tersebut di atas telah terbentuk orientasi
moralitas dengan titik berat unsur keagamaan yang lebih eksoteris. Sedang-
tertentu, misalnya kaum behavioristik kan ihsân membentuk persepsi keaga-
melakukan pengkajian lebih banyak dari maan lebih bersifat intuitif, lebih mene-
unsur perilaku. kemudian kaum penganut kankan pentingnya penghayatan melalui
perkembangan kognisi mengakaji moral pengamalan-pengamalan nyata oleh roha-
dengan titik berat pada unsur kognisinya, ni. Kacenderungan ini tidak hanya
dan kaum psikoanalisis melakukan kajian membentuk perilaku dan pan-dangan
moral dengan titik berat pada efeksinya. moral saja bahkan melahirkan wawasan
Namun seperti dapat diduga bahwa keilmuan yaitu ilmu akhlak (tasawwuf).
hasil kajiannya tidaklah dapat Hal ini menggambarkan bahwa
mengungkap moralitas secara memadai. makna ihsân mencakup pengertian segala
Hal ini disebabkan bahwa unsur-unsur perbuatan yang baik. Semua interaksi
moralitas tersebut (jika manusia beranjak antara manusia dengan Tuhannya atau
dari teori ini) hanya dapat dibedakan antara manusia dengan sesama manusia
secara teoritis belaka. Dalam kenyataan maupun lingkungannya yang dapat
ini moralitas merupakan satu kesatuan mengangkat dan meningkatkan martabat
yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan kedudukan kemanusiannya, mengem-
dan perilaku sekaligus, sehingga dalam bangkan kualitas dirinya, dan juga dapat
pengkajian dan penelitiannya pun harus mendekatkannya kepada Tuhan. Secara
mencakup semua unsur-unsur tersebut. lebih terinci al-Ghazali (1986:25) dalam
Hal ini diakui oleh James R. Rest bahwa Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, menguraikan tentang
tiada satu pun dan berbagai pendekatan ihsân ini yang mencakup tiga dimensi ke-
teoritis yang memberikan suatu pan- sadaran batin yaitu:
dangan tentang psikologi moral yang Pertama, kepekaan teologis dan
komprehensif dan memadai. Hal ini me- intensitas hubungan antara makhluk-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 13


makhluk dengan Tuhan. Kepekaan ini (menerima setelah berusaha), tawakal,
didasarkan pada hadits yang menyatakan: iffah (menahan diri dari keinginan
negatif), syajâ’ah (keberanian), dan
istiqâmah akan membentuk budaya
pribadi (private culture) yang mandiri,
“Beribadahlah kepada Allah seolah-olah optimis dan sederhana. Pribadi demikian
kamu melihatnya atau kalau tidak mampu itu telah melekat dalam diri Nabi
demikian seolah-olah kamu sedang Muhammad SAW yang harus diteladani.
diihatnya”. (HR. Bukhari). Hal ini dapat dilihat secara tegas
Pengandaian pertama merupakan disinggung dalam firman Allah SWT
maqâm musyâhadah, di mana seakan dia berikut:
duduk bersimpuh di hadapan Tuhan dan
menyaksikan pandangan Tuhan selalu
tertuju kepadanya. Sedangkan “Sesungguhnya demikian kami memberi
pengandaian kedua adalah maqâm balasan kepada kepada orang-orang yang
murâqabah, seperti orang tuna netra yang berbuat baik ”. (QS. 37:80).
menghadap rajanya, dia tidak mampu Al-Ghazali (1986:45) lebih lanjut
melihat tetapi sadar jika dirinya sedang mengemukakan bahwa nilai moral yang
dilihat raja. diajarkan oleh Islam bersumberkan pada
Kedua, kepedulian sosial, yaitu rasa empat keutamaan (fadhâil) sebagai
prihatin terhadap realitas sosial, berawal berikut: (1) al-Hikmah, kemampuan
dan rumah tangganya sampai pada kognitif dalam menetapkan pilihan yang
hubungan antar sesama manusia yang terbaik dalam pemikiran, sikap maupun
lebih luas dan hubungan dengan binatang. tindakan; (2) al-’Adâlah, kondisi mental
Allah SWT berfirman: yang memiliki kemampuan pengendalian
terhadap nafsu, emosi, maupun
subyektifitas serta mengarahkan
kecenderungannya pada kebenaran dan
objektifitas; (3) al-Iffah, ketahanan diri
dalam menata sikap dan tindakan
sehingga tidak terjebak dalam ketamakan
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu materi, dan selera hedonistik; (4) as-
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu Syajâ‘ah, keberanian secara moral untuk
pun. Dan berbuat baiklah kepada dua melakukan tugas maupun kewajiban
orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak dengan pertimbangan nalar dan integritas
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang moral. Bagi al-Ghazali keempat
dekat dan tetangga yang jauh, teman yang keutamaan (fadhâil) tersebut merupakan
jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba ummahât al-akhlâq (induk ajaran moral)
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak yang akan menentukan kesadaran dan
menyukai orang-orang yang sombong dan aktifitas batin seseorang (a’mâl al-qulûb),
membangga-banggakan diri” (QS. 4:36). dan pada gilirannya akan mempengaruhi
Ketiga, ketahanan mental, yaitu penampilan sikap laku dan tindakan fisik
berupa ketabahan menekuni pekerjaaan (a’mâl al-jawârih).
yang berat, sabar menghadapi musibah Berkaitan dengan kajian terhadap
yang menimpa dirinya, sabar menghadapi teori moralitas ini dapat dipahami bahwa
godaan materi, dan sebagainya. Ajaran- moralitas bersumberkan pada keimanan
ajaran moral seperti sabar, qanâ’ah terhadap zat yang transendetal untuk

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 14


kemudian mengejawantah dalam proses- dengan mengajukan empat proses pokok
proses psikologi dan pada akhirnya sebagai berikut: (1) Menginterpretasi
mengartikulasikan diri dalam bentuk situasi dengan cara mengenali tindakan-
tindakan moral. Antara tindakan moral, tindakan apa yang mungkin bagi si pelaku
proses-proses psikologis yang terjadi di serta bagaimanakah setiap rangkaian
baliknya, dan keimanan, sama sekali tidak perilaku itu mempengaruhi pihak-pihak
dapat dipisahkan, merupakan satu yang terlibat; (2) Memikirkan apa yang
kesatuan. Hubungan fungsional ketiga seharusnya dilakukan seseorang dalam
aspek ini telah ditegaskan dalam sebuah rangka menerapkan cita moral ke dalam
hadits Nabi Muhammad SAW berbunyi: situasi yang kongkrit untuk menetukan
perangkat tindakan moral yang
diharapkan; (3) Memilih dan minimbang-
nimbang diantara perangkat nilai yang
“ Sesungguhnya nilai suatu perbuatan berbobot moral dan yang tidak untuk
tergantung pada niat yang melandasinya.” memungkinkan pengambilan keputusan
Oleh karena itu mengungkap tentang apa yang hendak seseorang
moralitas hanya dengan mengandalkan lakukan secara aktual; (4) Melaksanakan
salah satu komponen saja, baik itu dan mengimplementasikan apa yang
tindakan moral seperti yang dilakukan hendak dilakukan seseorang.
kaum behavioristik ataupun penalaran
moral saja seperti yang dilakukan oleh
penganut perkembangan kognisi, akan MORALITAS DALAM PENDIDIKAN
menghasilkan kajian yang kurang AGAMA
memuaskan. Dalam hal ini penulis Pendidikan umum merupakan suatu
menyebut proses psikologis ini sebagai program pendidikan yang dimaksudkan
pertimbangan moral atau proses batin. untuk mengembangkan jati diri manusia
Pertimbangan moral di sini dapat berawal secara proporsional sehingga tercipta
dari sebab-sebab yang bersifat kognisi manusia yang utuh. Pengertian ini selaras
(penalaran), dan dapat pula berasal dan dengan apa yang dikatakan oleh McGrath
sebab-sebab yang bertumpu pada afeksi. seperti dikutip Soelaiman (1998:4) bahwa
Selanjutnya untuk mengungkap pendidikan umum adalah pendidikan
pertimbangan moral ini perlu dilakukan untuk menyiapkan manusia agar dapat
metode-metode psikologi, yaitu hidup secara penuh dan memuaskan, baik
bagaimana agar seseorang dapat sebagai pribadi, keluarga, anggota
memunculkan pertimbangan- masyarakat, pekerja, dan sebagai warga
pertimbangan yang melahirkan perilaku negara. Pengertian ini memang sangat
moral dengan sebenar-benarnya, sesuai luas dan kompleks dan dalam
dengan suara hati nuraninya. operasionalisasinya terdapat beberapa
Pengungkapan pertimbangan moral ini pengertian yang lebih spesifik dan
adalah melalui pengungkapan secara aplikabel.
verbal. Oleh karena itu metode yang Muhammad S. A. Ibrahimy, sarjana
digunakan sedapat mungkin mampu pendidikan Islam Bangladesh, dalam salah
mendapatkan ungkapan-ungkapan verbal satu penerbitan mass media “Islamic
yang mencerminkan suara hati nurani. Gazette” tahun 1983, menegaskan bahwa
James R. Rest seperti dikutip Arifin pendidikan Islam menurut pandangannya
(1995:45) mengajukan satu model suatu sistem pendidikan yang
pengungkapan pertimbangan moral, memungkinkan seseorang dapat menga-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 15


rahkan kehidupannya sesuai dengan Semua bentuk perkembangan dan
ideologi Islam (cita Islami), sehingga ia kemajuan itu diserap seraya menseleksi
dengan mudah dapat membentuk nilai-nilainya untuk disesuaikan dengan
kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam. al-Abrasyi (1984:23-24), salah
Islam. Ruang lingkup pendidikan Islam seorang ahli pendidikan Mesir
telah mengalami perubahan menurut berpendapat bahwa tujuan akhir pen-
tuntutan waktu yang berbeda-beda. didikan Islam adalah pembentukan akhlâq
Sejalan dengan tuntutan zaman dan al-karîmah yang merupakan fadhilah
perkembangan ilmu dan teknologi, ruang dalam jiwa anak didik, sehingga anak akan
lingkup pendidikan Islam itu juga makin terbiasa dalam berperilaku dan berpikir-
meluas (Arifin, 1995:37). nya secara rohaniah dan insaniah ber-
Pendidikan Islam sebagai alat pegang pada moralitas tinggi, tanpa mem-
pembudayaan Islam dalam masyarakat, perhitungkan keuntungan-keuntungan
dengan demikian memiliki watak lentur material. Prilaku yang mencerminkan
terhadap perkembangan aspirasi nilai-nilai islami yang mendasari misi
kehidupan manusia sepanjang zaman. Rasulullah SAW yaitu menyempurnakan
Watak demikian dengan tanpa akhlak yang mulia. Secara implisit, khulûq
menghilangkan prinsip-prinsip nilai yang manusia ciptaan Tuhan diakui sebagai
mendasarinya. Pendidikan Islam mampu potensi psikologis yang mendasari
mengakomodasikan tuntutan hidup perkembangan umat manusia sejak lahir
manusia dari zaman ke zaman, termasuk yang memerlukan pengarahan melalui
tuntutan di bidang ilmu dan teknologi. proses kependidikan yang sisitimatis dan
Khusus berkaitan dengan tuntutan konsisten.
perkembangan ilmu dan teknologi, Hills (1968:18) mengemukakan
pendidikan Islam bersikap mengarahkan bahwa yang dimaksud sistem nilai dan
dan mengendalikannya, sehingga nilai moral adalah suatu keseluruhan tatanan
fundamental yang bersumber dari iman yang terdiri dari dua atau lebih dari
dan taqwa kepada Allah SWT dapat komponen yang satu sama lain saling
berfungsi dalam kehidupan manusia yang mempengaruhi atau bekerja dalam satu
menciptakan ilmu dan teknologi. Iman kesatuan atau keterpaduan yang bulat
dan takwanya menjiwai ilmu dan yang berorientasi kepada nilai dan
teknologi yang diciptakan, sehingga moralitas Islami. Nilai atau sistem moral
penggunaannyapun diarahkan kepada yang dijadikan kerangka acuan yang
upaya menciptakan kesejahteraan hidup menjadi rujukan cara berprilaku lahiriah
umat manusia, bukan untuk dikesamping- dan rohaniah manusia muslim ialah nilai
kan. dan moralitas yang diajarkan oleh Agama
Islam yang diwujudkan dalam Islam sebagai wahyu Allah SWT, yang di-
perilaku manusia melalui proses pen- turunkan kepada utusan-Nya Muhammad
didikan bukanlah semata-mata sistem SAW. Nilai dan moralitas adalah bersifat
teologinya saja, melainkan lebih dari itu, menyeluruh, bulat dan terpadu, tidak
termasuk peradabannya yang sempurna. terpecah-pecah menjadi bagian-bagian
Oleh karena itu Islam berhadapan dengan yang satu sama lain berdiri sendiri. Suatu
segala bentuk kemajuan atau modernisasi kebulatan nilai dan moralitas itu mengan-
masyarakat, tidaklah akan mengalami dung aspek normatif (kaidah, pedoman)
“shock ideal” mengingat wataknya yang dan operatif (menjadi landasan amal
lentur dan akomodatif terhadap segala perbuatan).
perkembangan kebudayaan manusia.

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 16


Dengan demikian sistem nilai Islami Umum. Hal ini seperti ditegaskan dalam
yang hendak dibentuk dalam pribadi anak surat keputusan Direktorat Jenderal
didik dalam wujud keseluruhannya dapat Pendidikan Tinggi Depantemen
diklasifikasikan ke dalam norma-norma. Pendidikan dan Kebudayaan
Misalkan norma hukum (syarî’ah) Islam, No.32/DJ/Kep./1983. sebagai berikut:
norma akhlak dan sebagainya. Oleh ”Komponen Mata Kuliah Dasar Umum
karena pendidikan Islam bertujuan pokok diarahkan untuk melengkapi
pada pembinaan akhlak mulia, maka pembentukan kepribadian bidang dengan
sistem moral Islami yang ditumbuh pengembangan kehidupan kepribadian
kembang dalam proses pendidikan adalah yang memuaskan, keanggotaan keluarga
norma yang berorientasi kepada nilai-nilai yang bahagia, dan kewargaan masyarakat
Islami. Dalam konteks dunia persekolahan yang produktif, serta kewargaan negara
di Indonesia, kehadiran program yang bertanggung jawab”.
pendidikan Agama dimaksudkan untuk Melalui Pendidikan Agama
menjadi dasar bagi pengembangan para diharapkan adanya kontribusi yang
anak didik menjadi manusia yang baik, signifikan dalam membangun moralitas
yang selanjutnya dikembangkan pula generasi bangsa. Sebab selain bantuan
aspek-aspek intelektualitas dan materil, yang tidak kalah pentingnya
keterampilan yang bersifat spesialisasi adalah merubah sikap, mentalitas,
sesuai dengan minat dan bakat yang moralitas, dan tata nilai mereka,
terdapat pada diri anak didik. Hal ini mengingat hal-hal ini akan sangat
seperti ditegaskan dalam undang-undang berpengaruh terhadap pembentukan
No.2 tahun 1989 pasal 4, bahwa tujuan kepribadian mereka. Adapun dimensi
pendidikan Nasional adalah mencerdas- kehidupan yang mengandung nilai ideal
kan kehidupan bangsa dan megembang- Islami dapat dikategorikan ke dalam 3
kan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu macam sebagai berikut: Pertama, dimensi
manusia yang beriman dan bertakwa yang mengandung nilai yang
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan meningkatkan kesejahteraan hidup
berbudi pekerti luhur, memiliki manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan
pengetahuan dan keterampilan, sehat ini mendorong kegiatan manusia untuk
jasmani dan rohani, memiliki kepribadian mengelola dan memanfaatkan dunia ini
yang mantap dan mandiri, serta rasa agar menjadi bekal/sarana bagi kehidupan
tangung jawab kemasyarakatan dan akhirat. Kedua, dimensi yang mengandung
kebangsaan. nilai yang mendorong manusia berusaha
Mengingat urgensinya pembentukan keras untuk meraih kehidupan akhirat
dan pembinaan manusia Indonesia yang yang membahagiakan. Dan menunutut
baik, maka setiap jenjang dan jenis manusia untuk tidak terbelenggu oleh
pendidikan dan tingkat dasar sampai rantai kekayaan dunia atau materi yang
perguruan tinggi, diselenggarakan dimiliki, namun kemelaratan atau
program pendidikan Agama, untuk kemiskinan dunia harus diberantas, sebab
mendasari program-program pendidikan kemelaratan dunia bisa menjadi ancaman
yang mengembangkan aspek intelektual yang menjerumuskan manusia kepada
dan keterampilan. Sedangkan program kekufuran. Ketiga, dimensi yang mengan-
pendidikan umum yang yang dise- dung nilai yang dapat memadukan antara
lenggarakan di dunia perguruan tinggi, kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.
disajikan dalam bentuk mata kuliah yang Keseimbangan dan keserasian antara
tergabung dalam mata Kuliah Dasar kedua kepentingan hidup menjadi daya

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 17


tangkal terhadap pengaruh-pengaruh melaksanakan tugas bangsa dan negara
negatif dan berbagai gejolak kehidupan termasuk kebudayaannya dengan sebaik-
yang menggoda ketenangan hidup baiknya; (4) Bersikap tepat dan mampu
manusia, baik yang bersifat spiritual, melaksanakan tugas masyarakat dan tugas
sosial, kultural, ekonomis, maupun Iingkungan dengan sebaik-baiknya; (5)
ideologis dalam hidup pribadi manusia Bersikap tepat dan mampu melaksanakan
(Arifin, 1995:120). tugas pribadinya dengan sebaik-baiknya,
Nilai-nilai Islam fundamental yang baik jasmaniah maupun rohaniah
mengandung kemutlakan bagi kehidupan (Soedjono,1980:21).
manusia selaku pribadi dan selaku Dalam konteks keindonesiaan,
anggota masyarakat tidak memiliki moralitas yang dimaksud bersumberkan
kecenderungan untuk merubah dan Pancasila, di mana iman dan takwa
mengikuti selera nafsu manusia yang merupakan substansinya. Dengan
selalu berubah sesuai dengan tuntutan demikian moralitas Pancasila memiliki
selera nafsu manusia sesuai tuntutan nilai yang sakral dalam arti bersumberkan
perubahan sosial. Nilai-nilai Islami yang pada nilai-nilai Ketuhanan dan oleh
absolut dari Tuhan itu sebaliknya akan karena itu wajib ditaati dan dijalankan
berfungsi sebagai pengendali atau oleh masyarakat, untuk selanjutnya
pengarah terhadap tuntutan perubahan direfleksikan dalam kehidupan masya-
sosial dan tuntutan induvidual. rakat, berbangsa dan bernegara. Pada
Menurut Sayyid Qutub (1984:29- tahap ini maka pelaksanaan aktivitas
30) moralitas yang islami tidak hanya kehidupan dalam berbagai bidang baik
terdiri dari kumpulan belenggu dan dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
larangan-larangan. Ia pada hakikatnya dan sebagainya tidak didasarkan atas
adalah suatu kekuatan konsturuktif dan landasan hukum dan peraturan semata-
positif, merupakan suatu pendorong bagi mata, melainkan lebih didasarkan atas
perkembangan yang berkesinambungan kesadaran dan tanggung jawab moral.
dan bagi kesadaran pribadi di dalam Suatu perbuatan yang didasarkan lebih
proses perkembangan tersebut. Perkem- pada kesadaran dan tanggung jawab moral
bangan tersebut diwarnai oleh kemurnian akan memiliki kualitas lebih baik dan pada
yang bulat. Moralitas bersumber dan sekedar pelaksanaan hukum.
watak tabi’i manusia yang senapas dengan
nilai Islami yaitu do-rongan batin yang
menunutut pembe-basan jiwa dan beban PENDIDIKAN MORAL DARI KELUARGA
batin karena per-buatan dosa dan keji Pendidikan moral secara signifikan
yang bertentangan dengan perintah Ilahi. sejatinya dimulai dari keluarga. Mengkaji
Dari uraian di atas dapat dipahami pendidikan moral dari keluarga dapat
bahwa pendidikan Agama merupakan dilihat dalam sebuah hadits Nabi
program pendidikan yang mengarahkan Muhammad SAW bersabda:
pada pembentukan manusia, yaitu
manusia dalam kualifikasi keindonesiaan,
yaitu: (1) Bersikap tepat dan mampu
melaksanakan tugas yang diamanatkan “Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya,
oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya; (2) maka orang tua keduanya yang
Bersikap tepat dan mampu melaksanakan menjadikan dirinya beragama Yahudi, atau
tugas kemanusiaan dengan sebaik- Nasrani atau Majusi (penyembah api)” (HR.
baiknya; (3) Bersikap tepat dan mampu Imam Bathaqi dan Imam Thabrani).

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 18


Secara eksplisit tampak bahwa memegang peranan utama) merupakan
hadits ini merupakan spirit bagi lingkungan pertama bagi anak melakukan
dilakukannya pendidikan moral dalam komunikasi, maka lingkungan inilah yang
keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua akan banyak memberikan warna terhadap
terhadap anak-anaknya. Kehadiran sang diri anak.
anak bagi orang tua merupakan amanat Pada dasarnya pendidikan moral
Tuhan yang dibekali dengan kodrat secara inherent terdapat dalam setiap
kemanusiaan yang masih alami. Melalui proses- proses pendidikan, baik yang
interaksi dengan lingkungannya, maka berlangsung di lingkungan sekolah,
kodrat kemanusiaan sang anak ini akan masyarakat, maupun di lingkungan
mengalami perubahan atau keluarga. Hal ini sesuai dengan
perkembangan. Karena Iingkungan yang karakteristik pendidikan moral itu sendiri
pertama dikenal anak adalah keluarga, yang tidak berdasar atas materi dan
maka keluargalah (orang tua) yang banyak pelaksanaanya tidak dibatasi oleh ruang
memberikan corak kepada kodrat dan waktu. Downey dan Kelly (1982:59)
kemanusiaan anak tersebut. menyatakan tentang karakteristik
Penjelasan hadits di atas tidaklah pendidikan moral sebagai berikut: (1)
sekedar berperspektif ideologis, Pendidikan moral tidak mempunyai bahan
melainkan pula berperspekfif moral. Jadi pelajaran tertentu yang jelas dibatasi; (2)
apakah moralitas anak akan bercorak Pendidikan moral tidak merupakan
Yahudi, Nasrani, maupun Majusi, disiplin-disiplin ilmu yang mempunyai
tergantung kepada pendidikan moral yang bahan atau meliputi sejumlah
dilakukan oleh orang tuanya. Namun perlu pengetahuan tertentu; (3) Pendidika
digaris bawahi di sini bahwa substansi moral tidak dimulai sejak masuk sekolah,
hadits tersebut tidak sama dengan ”teori akan tetapi diberikan sejak anak lahir; (4)
tabularasa” yang dikemukakan John Pendidikan moral meresapi seluruh
Locke. Kata fitrah dalam hadits tersebut kurikulum, tiap mata pelajaran dapat
tidak menunjuk pada kondisi kejiwaan dimanfaatkan untuk mengembangkan
yang kosong sama sekali, melainkan pada moralitas anak; (5) Pendidikan moral
kondisi kejiwaan yang bersifat potensial. tidak hanya bersifat intelektual akan tetapi
Potensial yaitu potensi-potensi juga melibatkan emosi, perasaan, dan
kemanusiaan sebagai bekal bagi manusia kepribadian; (6) Dalam tujuan pendidikan,
untuk dapat hidup manusiawi. Hal ini moralitas merupakan tujuan yang paling
karena bersifat potensial maka pokok. Memanusiakan manusia pada
pengembangannya bergantung pada hakikatnya berarti membuat manusia
aktivitas-aktivitas pendidikan yang terjadi bermoral, maka karena itu pendidikan
di lingkungannya, baik keluarga, sekolah, moral sangat vital dalam setiap usaha
maupun masyarakat. Itulah sebabnya pendidikan.
meskipun sejak lahir setiap anak Penegasan di atas cukup
dikaruniai potensi kemanusiaan, namun komprehensif untuk memberikan
dalam perkembangan selanjutnya banyak gambaran pendidikan moral dan posisinya
manusia yang melakukan tindakan- dalam proses-proses pendidikan secara
tindakan yang tidak manusiawi. Hal ini umum. Jika mengacu pada hakikat pen-
berarti bahwa potensi-potensi itu tidak didikan yaitu memanusiakan manusia,
berkesempatan untuk berkembang secara maka merupakan suatu keniscayaan
maksimal. Hal ini diakibatkan karena bahwa semua pelajaran di sekolah, di
lingkungan keluarga (dimana orang tua dalam pengajarannya harus sampai pada

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 19


tataran pendidikan moral. Tidak sekedar dibina sejak lahir. Bahkan pembinaan
berhenti pada penguasaan materi dan moral perlu dilakukan tidak hanya sejak
keterampilan saja, misalnya ketika lahir melainkan sejak awal akan diperoses
seorang guru biologi menerangkan proses anak manusia, bahkan menjelang wafat
simbiosis mutualistik, tidak sekedar sekali pun. Oleh karena itu pendidikan
bertujuan agar anak didik mengetahui moral tidak berawal sejak anak berada di
proses-proses tersebut, melainkan sekolah melainkan berawal dari keluarga
diarahkan pula agar anak mempunyai yaitu melalui proses interaksi dan
tanggung jawab untuk tetap komunikasi yang terjadi di dalamnya.
berlangsungnya proses simbiosis Pendidikan moral yang terjadi dalam
mutualistis tersebut dengan cara menjaga keluarga berlangsung dalam suasana
keseimbangan alam. Bahkan lebih jauh informal, pada setiap situasi, baik disadari
anak itu pun diarahkan untuk mengagumi atau pun tidak oleh orang tua. Mem-
ciptaan Tuhan, sehingga pada dirinya berikan pujian pada saat anak melakukan
tumbuh dan berkembang rasa iman dan hal-hal yang baik dan benar serta menegur
takwa yang lebih kokoh. bahkan memberikan hukuman pada saat
Pesan-pesan moralitas tersebut anak melakukan kesalahan, tanpa disadari
senantiasa terkandung pada setiap proses pada dasarnya merupakan proses pem-
pendidikan, apapun jenis pelajarannya.
binaan nilai moral. Nuansanya pun tidak
Bahkan pesan-pesan ini merupakan nilai
hanya diwujudkan dalam jalinan interaksi
substantif jika ditinjau dan hakikat
antara orang tua dengan anak, dimana
pendidikan itu sendiri. Soelaiman
(2002:35) menegaskan, pendidikan harus orang tua mengambil posisi sebagai
dilihat bukan saja dari tindakannya, pembimbing dan anak sebagai terbimbing,
melainkan juga makna yang terkandung di melainkan pula melalui transaksi antara
balik itu. Sedangkan pendidikan moral individu dalam keluarga secara ber-
yang berlangsung dalam keluarga, imbang. Mereka saling mengawasi peri-
manifestasinya tidak sekedar berbentuk laku sikap masing-masing pihak, apakah
spirit atau nuansa, melainkan benar-benar selaras dengan tuntutan moralitas atau
materi morallah yang dibinakan oleh tidak. Adalah keluarga yang pertama kali
orang tua pada anak-anaknya. Secara menegur dan memberikan peringatan jika
formal bahkan undang-undang No. 2 tahun salah seorang anggota keluarganya keluar
1989 menyebutkan pada pasal 10 (4) dari rel moral yang berlaku, sebelum
berbunyi ”pendidikan keluarga masyarakat menegurya.
merupakan bagian dari jalur pendidikan Pada keluarga-keluarga yang secara
luar sekolah yang diselenggarakan dalam struktural masih utuh, dalam arti masih
keluarga dan yang memberikan keyakinan terdapat ayah ibu, mereka berdua
agama, nilai budaya, nilai moral, dan memainkan peranan yang sama-sama
keterampilan”. penting dalam membinakan moral pada
Jika Undang-undang No.2 tahun anak-anaknya. Hanya saja, karena pada
1989 mengamanatkan secara tersurat awal kehadirannya anak lebih dekat
bahwa dalam lingkungan keluarga, orang dengan ibu, menjadikan peran ibu ini
tua mengemban tugas untuk melakukan cenderung lebih menonjol, khususnya
pendidikan moral bagi anak-anaknya, pada usia lima tahun yang pertama dalam
merupakan suatu hal yang layak. Manusia diri anak. Seperti dikatakan oleh Sigmund
bermoral tidak terwujud dengan sen- Freud, sebagaimana dikutip oleh Hall and
dirinya melainkan perlu dibentuk dan Lindzey (1987:50); the first five years of

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 20


life are decisive for the formation of identifikasi, internalisasi, pemodelan, dan
personality. sejenisnya, di mana setiap saat proses-
Jadi bagi Freud, lima tahun pertama proses tersebut terjadi dalam interaksi
dalam kehidupan seorang anak sangat dan komunikasi antara sesama anggota
menentukan corak kepribadiannya, keluarga.
dimana peran ibu dalam hal ini sangat Namun demikian banyak orang tua
menonjol. Pentingnya pendidikan yang kurang menyadari keberadaan
keluarga dalam pembentukan kepribadian proses-proses pendidikan yang terjadi di
anak tidak sekedar dalam arti urutan lingkungan keluarga. Hal ini berakibat
peristiwanya melainkan dalam arti tidak berfungsinya keluarga sebagai pilar
penghayatan dan pemaknaan situasi pendidikan sehingga tumbuh generasi-
kehidupan dari pendidikanya. Keluarga generasi muda yang tidak memiliki
memegang peranan penting dalam moralitas dan kepribadian yang
pendidikan akhlak terhadap anak-anak diharapkan. Secara sosiologis maupun
sebagai institusi yang mula-mula sekali politis hal semacam ini kurang
berintekrasi dengan anak. Oleh sebab itu menguntungkan. Sebab keteraturan dan
haruslah keluarga mengajar mereka keharmonisan suatu masyarakat berawal
akhlak yang mulia yang diajarkan Islam dari keteraturan dan keharmonisan
seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, keluarga yang berada di dalamnya sebagai
kesabaran, kasih sayang, cinta kebaikan, unit sosial terkecil. Hanya masyarakat
pemurah, berani dan lain sebagainya. Di yang teratur dan harmonislah yang
samping itu juga mengajarkan nilai dan mampu menciptakan kehidupan bangsa
faedah berpegang teguh pada akhlak yang tenteram dan dinamis.
dalam hidup, membiasakan mereka berpe- Kosasih Djahiri seperti dikutip
gang kepada akhlak semenjak kecil. Sebab Zakiyah Daradjat (1983:34) menunjukkan
manusia menurut asasinya mene-rima rincian variabel-variabel yang terkait
nasihat jika datangnya melalui rasa cinta dengan efektifitas pendidikan di
dan kasih sayang, sedang ia menolaknya lingkungan keluarga, yaitu: (1) Orientasi
jika disertai dengan kekerasan ini sesuai nilai dan keluarga; (2) Keeratan hubungan
firman Allah SWT: antara ayah dengan ibu; (3) Corak dan
. keluarga; (4) Banyaknya anggota keluarga;
(5) Kualitas intelektual dan potensi sosial
budaya; (6) Lingkungan yang
“Jika engkau (Muhammad) kasar dan meradiasinya; (7) Tingkat keterbukaan
bengis tentu mereka akan komunikasi. Pendidikan moral me-
meninggalkanmu”. (QS. Ali Imran, 3:159). rupakan upaya untuk membina dan
Keluarga merupakan salah satu pilar mengembangkan sturuktur dan potensi
pusat pendidikan. Para ahli pendidikan serta pengalaman afektual (affective
tidak meragukan lagi efektifitas usaha components and experiences), jati diri atau
pendidikan yang terjadi dalam keluarga. hati nurani manusia (the conssience of
Setiap perilaku orang tua atau anggota man), dan suara hati (al- qalbu) manusia
keluarga yang sudah dewasa baik berupa dengan perangkat tatanan nilai, moral, dan
verbal maupun tindakan, begitu juga norma.
dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi Proses pendidkan secara inherent
di dalamnya akan secara langsung mem- terjadi dalam kehidupan keluarga, maka
bentuk kepribadian dan moral anak. Hal sebenarnya pendidikan moral terjadi sejak
ini terjadi melalui proses-proses awal bahkan sejak anak lahir. Hal ini

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 21


terjadi melalui keteladanan orang tua ukuran tata nilai yang bersumberkan pada
dalam melakukan interaksi dengan anak- hati nurani manusia, sebagai fitrah dari
anaknya. Sehingga dengan demikian Tuhan. Perbuatan yang bertentangan
keteladanan orang tua merupakan faktor dengan tata nilai yang bersumberkan pada
utama terjadinya pendidikan moral. hati nurani manusia dikatakan sebagai
Seperti ditegaskan oleh Zakiyah Daradjat perbuatan amoral. Orang yang bermoral
(1983:88) bahwa pembinaan akhlak adalah orang yang memenuhi ketentuan-
sebenarnya dimulai sejak anak baru lahir ketentuan kodrat yang tertanam dalam
melalui perlakuan orang tua yang sesuai dirinya sendiri. Pengejawantahannya
dengan akhlak, dan dilanjutkan dengan adalah mulai dan munculnya kehendak,
membiasakan anak melalukan nilai-nilai yaitu kehendak yang baik sampai kepada
sopan santun yang sesuai dengan agama adanya tingkah laku dan tujuan yang baik
serta mendidiknya agar meninggalkan pula.
yang tercela dan terlarang dalam agama. Kedua, moralitas mencakup dalam
Mewujudkan moral dalam diri anak tiga unsur yaitu perilaku, kognisi, dan
tidaklah berlangsung secara singkat afeksi. Apabila diperhatikan ajaran agama
melainkan memerlukan waktu bagi dalam kontek ini, bahwa dimensi
proses-proses yang panjang. Itulah moralitas berangkat dari ajaran tauhid,
sebabnya pembinaan moral khususnya penghayatan dan pengalaman Agama
dalam lingkungan kehidupan keluarga Islam terbagi kedalam tiga aspek yaitu
tidak cukup sekedar diajarkan melalui îmân, Islâm, dan ihsân. Pada akhirnya
suasana formal dan khusus (berupa ketiga aspek tersebut melahirkan tiga
nasihat dan petuah), melainkan melalui macam orientasi keagamaan dalam
proses pendidikan pada segala suasana epistemologi Islam. Aspek îmân telah
dalam interaksi dan komunikasi antara mendapatkan kajian secara sistematis
orang tua dan anak-anaknya. Setiap yang melahirkan ilmu kalam. Sedangkan
pengalaman yang dilalui oleh anak dalam kajian terhadap aspek Islâm telah
hidupnya baik melalui penglihatan, memformulasikan hukum-hukum Islam
pendengaran, perlakuan yang diterimanya secara terorganisir dengan melahirkan
dan sebagainya, akan ikut menjadi bagian ilmu fiqh. Dengan kedua ilmu tersebut di
dalam membentuk moralitasnya. atas telah terbentuk orientasi keagamaan
yang lebih eksoteris. Sedangkan ihsân
membentuk persepsi keagamaan lebih
SIMPULAN bersifat intuitif, lebih menekankan
Berdasarkan uraian di atas dapat pentingnya penghayatan melalui
disimpulkan bahwa: Pertama, moralitas pengamalan-pengamalan nyata oleh
merupakan tolok ukur untuk menentukan rohani. Kecenderungan ini tidak hanya
betul salahnya sikap dan tindakan membentuk perilaku dan pandangan
manusia, dilihat dan sisi baik buruknya moral saja bahkan melahirkan wawasan
sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku keilmuan yaitu ilmu akhlaq (tasawuf).
peran tertentu. Dengan demikian moral Ketiga, moralitas dalam pendidikan
mengandung muatan nilai dan norma yang agama dapat dilihat dari sistem nilai
bersumber pada hati nurani manusia. Islami yang hendak dibentuk dalam
Moral merupakan standar kualitas pribadi anak didik dalam wujud kese-
perbuatan manusia yang dengannya dapat luruhannya dapat diklasifikasikan ke
dikatakan bahwa perbuatan tersebut dalam norma-norma. Misalkan norma
benar atau salah, baik atau buruk, dalam hukum (syarî’ah) Islam, norma akhlak dan

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 22


sebagainya. Oleh karena pendidikan Islam Qur’an Departemen Agama Republik
bertujuan pokok pada pembinaan akhlak Indonesia.
mulia, maka sistem moral Islami yang al-Abrasyi, Muhammad Athiah. 1984.
ditumbuh kembang dalam proses Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,
pendidikan adalah norma yang terjamahan, Jakarta: Bulan Bintang.
berorientasi kepada nilai-nilai islami. Arifin, H.M. 1995. Filsafat Pendidikan
Dalam konteks dunia persekolahan di Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Indonesia, kehadiran program pendidikan Daradjat, Zakiyah. 1983. Membina Nilai-
Agama dimaksudkan untuk menjadi dasar Nilai Moral di Indonesia, Jakarta:
bagi pengembangan para anak didik Bulan Bintang.
menjadi manusia yang baik, yang Daradjat, Zakiyah. 1984. Dasar-Dasar
selanjutnya dikembangkan pula aspek- Agama Islam, Buku Teks Pendidikan
aspek intelektualitas dan keterampilan Agama Islam di Perguruan Tinggi,
yang bersifat spesialisasi sesuai dengan Jakarta: Bulan Bintang.
minat dan bakat yang terdapat pada diri Drijakara, S.J. 1996. Tentang Pendidikan,
anak didik. Jakarta: Pembangunan.
Keempat, pendidikan moral dimulai Downey, Meriel & Kelly. 1998. Moral
dari keluarga berlangsung dalam suasana Education, Theory and Practise,
informal, pada setiap situasi, baik disadari London: Harper and Row
atau pun tidak oleh orang tua. Publication.
Memberikan pujian pada saat anak al-Ghazali, al-Imam Abi Hamid Muhammad
melakukan hal-hal yang baik dan benar bin Muhammad. 1986. Ihyâ
serta menegur bahkan memberikan ‘Ulûmuddîn, Jilid III, Kairo: Dâr al-
hukuman pada saat anak melakukan Kutûb al-‘Arabiyyah.
kesalahan, tanpa disadari pada dasarnya Ghose, Ajit & Griffin, Keith. 1980. Rural
merupakan proses pembinaan nilai moral. Poverty and Deploment Alternative in
Nuansanya pun tidak hanya diwujudkan Sout and Sautheast Asia, Sone Policy
dalam jalinan interaksi antara orang tua Issues Developmen, New York:
dengan anak, dimana orang tua McGrow Hill Book.
mengambil posisi sebagai pembimbing Hills, Jean R. 1952. Toward an Science of
dan anak sebagai terbimbing, melainkan Organization: New York: Center For
pula melalui transaksi antara individu The Advanceed Studi of Stone.
dalam keluarga secara berimbang. Mereka al-Jarohi, As-Syaikh Ismail bin Muhammad
saling mengawasi perilaku sikap masing- al-A’jaluni. 1351 H. Min al-Ahâdîs A’la
masing pihak, apakah selaras dengan al-Sinât al-Nâs, Damaskus: Dar al-
tuntutan moralitas atau tidak. Adalah Fikr al-‘Arabi
keluarga yang pertama kali menegur dan al-Mundziri, Zaki al-Din ‘abdi al-‘azim.
memberikan peringatan jika salah seorang 1996. Mukhtashar Shahîh Muslim,
anggota keluarganya keluar dari rel moral Beirut: al-Yamamah.
yang berlaku, sebelum masyarakat
Poespoprojo. 1986. Fisafat Moral
menegurya.
Kesusilaan dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Qutub, Sayyid. 1984. Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân,
DAFTAR RUJUKAN
Beirut: Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabŷ.
Al-Qur’ân al-Karîm. 1981/1982. Jakarta: Setiadi, Gunawan. 1990. Dialektika Hukum
Proyek Pengadaan Kitab Suci al- dan moral dalam Pembangunan

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 23


Masyarakat Indonesia, Jakarta: BPK Soelaiman, Moh. Isa. 1998. Suatu Telaah
Gunung Mulia. tentang Manusia Religi Pendidikan,
Soedjono. 1980. Pendahuluan Ilmu
Pengetahuan Umum, Bandung: Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pustaka Ilmu. al-Suyuti. t.t. Jamî’ al-Shaghîr fi Ahâdîts al-
Suseno, Frans Magnis. 1991. Etika Dasar: Basŷir al-Nadzîr, terjemahan, Jakarta:
Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral, Yokyakarta: Kanisius. Dâr al-Ihyâ’ al-Kutûb al-’Arabiyyah.

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 24

Anda mungkin juga menyukai