View metadata, citation and similar papers at core.ac.
uk brought to you by CORE
provided by e-Journal UIR (Journal Universitas Islam Riau)
Membangun Moralitas Melalui Pendidikan Agama
SAHMIAR PULUNGAN
Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara
dpk Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Jl. Badik N0. 17, Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan, Sumatera Utara. Kode Pos 20233
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana membangun
moralitas melalui pendidikan agama. Tulisan ini bermanfaat bagi para orang tua dan pendidik untuk mengembangkan dan menanamkan moralitas pada anak. Hasil tulisan ini adalah: Pertama, moralitas merupakan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya perbuatan manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu. Moral mengandung muatan nilai dan norma yang bersumber pada hati nurani manusia. Kedua, moralitas mencakup dalam tiga unsur yaitu perilaku, kognisi, dan afeksi. Dimensi moralitas berangkat dari ajaran tauhid, penghayatan dan pengalaman Agama Islam terbagi kedalam tiga aspek yaitu îmân, Islâm, dan ihsân. Ketiga, moralitas dalam pendidikan agama dapat dilihat dari sistem nilai Islami yang hendak dibentuk dalam pribadi anak didik dalam wujud keseluruhannya. Oleh karena pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinaan akhlak mulia, maka sistem moral Islami yang ditumbuh kembang dalam proses pendidikan adalah norma yang berorientasi kepada nilai-nilai Islami. Keempat, pendidikan moral dimulai dari keluarga berlangsung dalam suasana informal, pada setiap situasi, baik disadari atau pun tidak oleh orang tua. Memberikan pujian pada saat anak melakukan hal-hal yang baik dan benar serta menegur bahkan memberikan hukuman pada saat anak melakukan kesalahan, tanpa disadari pada dasarnya merupakan proses pembinaan nilai moral.
Kata Kunci: Moralitas, Dimensi Moral, Pendidikan Agama
PENDAHULUAN buruknya manusia sebagai manusia.
Moralitas menjadi persoalan krusial Moralitas merupakan tolok ukur untuk untuk dikaji di era globalisasi saat ini. Hal menentukan betul salahnya sikap dan ini menjadi krusial bila dilhat pada tindakan manusia, dilihat dari sisi baik perilaku masyarakat dan generasi penerus buruknya sebagai manusia dan bukan bangsa ini yang seolah telah mulai sebagai pelaku peran tertentu. Dengan meninggalkan nilai-nilai moral positif yang demikian moral mengandung muatan nilai terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits. dan norma yang bersumber pada hati Secara etimologis istilah moral mengan- nurani manusia. dung arti adat istiadat, kebiasaan atau cara Suara hati nurani berfungsi untuk hidup, namun secara substantif tidak se- menahan manusia untuk tidak melakukan kedar bermakna tradisi kebiasaan belaka perbuatan yang tercela. Keberadaannya melainkan berkenaan dengan baik cukup kuat dalam diri seseorang sehingga
meskipun manusia mencoba untuk mengabaikan atau menindasnya, namun MORALITAS DAN KOMPLEKSITASNYA suara hati nurani tetap berseru dan Secara etimologis istilah moral terdengar agar manusia tidak berbuat berasal dari Bahasa Latin “mores” yang yang menyimpang dari prinsip-prinsip berarti adat istiadat, kebiasaan, cara kesusilaan. Suara hati nurani ini ter- hidup. Pengertian tersebut mirip dengan dengar baik sebelum seseorang berbuat kata ethos dalam Bahasa Yunani, dan sesuatu, sedang berbuat, maupun setelah kemudian dikenal dengan “etika”. Kata ini selesai berbuat. Jika perbuatan yang pun mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan (Poespoprojo, 1986:3-5). Ada dilakukan adalah perbuatan jahat dalam pula kata lain yang mempunyai arti yang arti tidak sesuai dengan kodrat kema- sama terdapat dalam Bahasa Arab yaitu nusiaan, maka suara hati nurani ini pada “akhlâq”, yang berasal dan kata “khalaqa, hakikatnya tidak menerima. OIeh karena yakhluqu, khulûqan” yang berarti tabi’at, itu betapa pun jahatnya manusia, tatkala adat istiadat, atau “kholqun” yang berarti melakukan suatu perbuatan yang buruk, kejadian atau ciptaan. Jadi akhlak ini pasti ada setitik kesadaran bahwa merupakan perangai yang dibuat dan perbuatannya itu keliru. Sebagai ekspresi- karena itu keberadaannya bisa baik dan nya mungkin dia merasa rendah diri, bisa pula jelek, tergantung pada tata nilai merasa berdosa terus menerus, atau yang dijadikan rujukannya (Daradjat, bahkan melakukan bunuh diri. Hal ini 1984:254). terjadi karena merasa tertekan oleh Dalam perbendaharaan kata-kata peringatan-peringatan yang diserukan Bahasa Indonesia, banyak istilah yang me- oleh suara hati nurani. Suara hati nurani miliki pertautan makna dengan moralitas ini mengajak manusia agar sadar untuk ini, seperti susila, budi pekerti, kepri- melakukan perbuatan yang susila. Kesa- badian, dan sebagainya. Manakala disebut daran ini merupakan kesadaran moral salah satu atribut di atas dari seseorang, yang menuntut tidak sekedar pengertian maka sebutan itu terkait dengan masalah akal, melainkan pengertian dan seluruh moralitas. Namun padanan kata yang pribadi manusia yang bersifat batiniah dan sering digunakan untuk moralitas ini adalah etika. Bahkan kedua kata ini lazim mendalam. Jadi suara hati nurani sebagai dijadikan sebagai sinonim antara sesama- sumber moralitas manusia pada dasarnya nya. berupaya menahan dan menyadarkan Meskipun secara etimologis istilah manusia dari perbuatan-perbuatan yang moral mengandung arti adat istiadat, buruk. kebiasaan atau cara hidup, namun secara Di sinilah kemudian persoalan moral substantif tidak sekedar bermakna tradisi menjadi penting untuk dikaji dan kebiasaan belaka melainkan berkenaan dikembangkan melalui pendidikan agama. dengan baik buruknya manusia sebagai Pendidikan agama dapat dijadikan sebagai manusia. Dengan kata lain moralitas me- alternatif awal dalam rangka mengem- rupakan tolok ukur untuk menentukan bangkan moralitas anak didik di betul salahnya sikap dan tindakan Indonesia. Persoalan yang akan dikaji da- manusia dilihat dari sisi baik buruknya lam tulisan ini adalah moralitas dan sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku kompleksitasnya; dimensi-dimensi moral; peran tertentu. Dengan demikian moral moralitas dalam pendidikan agama; dan mengandung muatan nilai dan norma yang pendidikan moral dari keluarga. bersumber pada hati nurani manusia. Hal
ini seperti ditegaskan oleh Setiadi kebenaran moralitas lebih bersifat (1990:90) bahwa ”moral bukan sekedar universal. Hal ini dikarenakan pada karak- apa yang biasa dilakukan oleh orang atau teristik moral itu sendiri yang bersum- sekelompok orang itu, melainkan apa yang berkan pada suara hati nurani manusia. menjadi pemikiran dan pendirian mereka Pada dasarnya ada dua macam suara mengenal apa yang baik, dan apa yang hati nurani, yaitu suara hati nurani yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan mengarah pada kebaikan dan suara was- yang tidak patut untuk dilakukan was yang mengarah pada keburukan. Jika manuasia”. keinginan berbuat baik ditekan, dalam arti Menurut Poespoprojo (1986:2) meninggalkan untuk berbuat baik sesuai substansi moralitas senada dengan pene- dengan norma yang berlaku, maka suara gasan di atas sebagai berikut: “kebiasaan hati memanggil-manggil dan ingin yang lebih fundamental, berakar pada mengarahkan pada hal-hal yang baik dan sesuatu yang melekat pada kodrat benar. Suara batin ini mengingatkan bah- manusia seperti mengatakan kebenaran, wa perbuatan itu kurang baik atau tidak membayar hutang, menghormati orang baik. Suara itu berupa seruan dan him- tua, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan bauan yang memaksa untuk didengar-kan tersebut bukan sekedar kebiasaan atau (Drijakara, 1966:43). Kehadiran suara adat istiadat semata-mata, melainkan hati nurani ini bahkan datangnya secara perbuatan yang benar, dan jika menye- tiba-tiba dan kuat sekali pengaruhnya leweng dari padanya berarti salah”. pada diri seseorang. Jadi suara hati nurani Dari penjelasan di atas dapat dika- sebagai sumber moralitas manusia pada takan bahwa moral merupakan standar dasarnya berupaya menahan dan menya- kualitas perbuatan manusia yang dengan- darkan manusia dari perbuatan-perbuatan nya dapat dikatakan bahwa perbuatan yang buruk. tersebut benar atau salah, baik atau buruk, Suara hati nurani ini ada pada setiap dalam ukuran tata nilai yang bersumber- orang, sebagai bekal kodrat kemanu- kan pada hati nurani manusia, sebagai siaannya. Oleh karena itu pada dasarnya fitrah dari Tuhan. Perbuatan yang berten- setiap orang itu baik, setiap orang adalah tangan dengan tata nilai yang bersumber- bermoral, sesuai dengan kodrat kan pada hati nurani manusia dikatakan kemanusiaannya. Namun karena kehi- sebagai perbuatan amoral. Orang yang dupan manusia terkait dengan banyak bermoral adalah orang yang memenuhi variabel baik yang bersifat intern datang ketentuan-ketentuan kodrat yang dari diri manusia itu sendiri maupun yang tertanam dalam dirinya sendiri. Pengeja- bersifat ekstern datang dari lingkungan wantahannya adalah mulai dan munculnya kehidupannya. Maka menurut Drijakara kehendak, yaitu kehendak yang baik (1966:21) keberadaan suara hati nurani sampai kepada adanya tingkah laku dan dalam diri manusia ini beragam keadaan- tujuan yang baik pula. Predikat moral nya, ada yang kuat ada pula yang lemah mensyaratkan adanya kebaikan yang meskipun pada dasarnya manusia itu berkesinambungan, sejak munculnya ke- cenderung berbuat baik, tetapi kesadaran hendak yang baik, dan karena itu orang moral tidaklah datang dengan sendirinya. yang bertindak atau bertingkah laku baik Kesusilaan harus diajarkan dengan contoh kadang-kadang belum dapat disebut seba- yang baik, sehingga dapatl-ah terbentuk gai orang yang bermoral. Meskipun manusia susila lahir dan batin. kebenaran tata nilai bersifat relatif antar Jika ditarik pembicaraan ini dalam beberapa kelompok masyarakat, namun konteks keislaman maka suara hati itu
pada dasarnya adalah iman. Karena salah Sehingga dengan demikian penilaian satu pilar keimanan adalah pembenaran moral benar-benar merupakan penilaian dalam hati dengan suara hati (tasdîqun fî yang komprehensif terhadap manusia, al-qalb). Kaitan hal ini dengan keberadaan untuk mengetahui kualitas kemanu- iman dalam diri manusia, Nabi siaannya. Muhammad sudah menyampikan melalui Downey dan Kelly (1998:45) salah satu haditsnya: mengemukakan kualifikasi karakteristik manusia yang bermoral, adalah: (1) Sadar akan kebutuhan sehingga mau memper- Hadits ini mengindikasikan secara timbangkan bukti faktual dalam rangka tegas bahwa keberadaan keimanan dalam mencapai dan memperoleh tujuannya. (2) diri manusia itu dapat kuat sehingga Sadar bahwa mempelajari moral seluruh perilaku dan pola fikirya dilan- mempunyai arti terhadap segala sesuatu. daskan pada keimanan kepada Tuhan, (3) Otonomi moralnya dapat memban- dapat juga iman itu lemah. Bahkan dapat tunya dalam mengambil keputusan dan pula iman tersebut terkubur oleh faktor menentukan pilihan yang benar. (4) Bisa lain yang bertentangan dengan iman itu bertindak sesuai dengan ketentuan moral, sendiri. sehingga bisa mengetahui dan memahami Selain menunjukkan eksistensi iman perasaan orang lain. (5) Mempunyai suatu dalam hati manusia, hadits itu pun komitmen positif terhadap nilai moral dan mengisyaratkan perlunya pemupukan dan perasaan orang lain. (6) Jiwa kemanusian pembinaan keimanan agar terpelihara dari dan kemampuannya hidup sebagai kerusakannya (kekufuran). Upaya-upaya makhluk yang bermoral. Menurut Higgins pemupukan dan pembinaan ini tidak lain (1981:67) mengemukakan profil orang adalah pendidikan dalam arti luas. Dalam bermoral yang dasarnya adalah tanggung pola pemikiran demikian, maka proses jawab. Tanggung jawab yang dimaksud, pendidikan dalam kajian ini khususnya menurutnya meliputi: (1) Kebutuhan dan pendidikan moral merupakan fitrah kesejahteraan individu dan lainnya; (2) keagamaan (Islam). Oleh karena itu dalam keterlibatan dan keiikutsertaan diri kehidupan keluarga, orang tua wajib sendiri dan akibat terhadap yang lain; (3) melakukan pendidikan moral bagi anak- Nilai moral atau perfect character (akhlak anaknya, sebagai bekal untuk mereka yang sempurna); (4) Nilai intrinsik hu- dalam menjalani kehidupan di masa bungan sosial. mendatang. Dari pendapat yang dikemukakan di Dapat dipahami bidang moral adalah atas, mengenai karakteristik manusia bidang kehidupan manusia dilihat dari bermoral, dapat diketahui, bahwa kuali- segi kebaikannya sebagai manusia. Norma fikasi karakteristik tersebut menunjuk moral adalah tolok ukur untuk pada kebaikan dalam segala kompleksitas menentukan betul salahnya sikap dan kehidupan di mana kebaikan ini tidak saja tindakan manusia, dilihat dan segi baik termanifestasikan dalam bentuk perilaku, buruknya sebagai manusia dan bukan tetapi sejak munculnya kehendak, dengan sebagai pelaku peran tertentu dan didasari oleh solidaritas kelompok. terbatas (Magnis Suseno, 1991:19). Itulah sebabnya moralitas tidak sekedar berkenaan dengan salah satu sisi kehi- DIMENSI MORAL dupan manusia saja melainkan berkenaan Moralitas merupakan hal yang dengan seluruh aspek kehidupan manusia. kompleks dan abstrak. Selain karena kebe-
radaannya dipengaruhi oleh banyak faktor nunjukkan bahwa berbagai teori tersebut dalam kehidupan manusia. Moralitas ini hanya memusatkan perhatiannya kepada bersumberkan pada suara hati nurani beberapa aspek saja dari persoalan manusia. Meskipun sifat suara hati nurani moralitas sedangkan yang lain diabaikan manusia adalah universal, namun sulit (Arifin, 1995:36). untuk diketahui secara pasti. Mengetahui Apabila diperhatikan ajaran agama suara hati nurani manusia hanyalah dapat dalam kontek ini, sebenarnya Islam telah dilakukan melalui manifestasi- menunjukkan ajaran yang tegas dan manifestasinya, baik berupa perilaku otentik. Misalnya saja berangkat dari maupun ucapan-ucapan yang ajaran tauhid, penghayatan dan diutarakannya. Oleh karena itu pengalaman Agama Islam terbagi kedalam menangkap suara hati nurani harus tiga aspek yaitu iman, Islam, dan ihsan. dilakukan dengan upaya yang hati-hati Pada akhirnya ketiga aspek tersebut dan cermat, sehingga memperoleh melahirkan tiga macam orientasi gambaran yang komprehensif. keagamaan dalam epistemologi Islam. Dalam teori lain disebutkan Aspek îmân telah mendapatkan kajian moralitas mencakup dalam tiga unsur secara sistematis yang melahirkan ilmu yaitu perilaku, kognisi, dan afeksi. Jadi kalam. Sedangkan kajian terhadap aspek moral senantiasa mengandung unsur Islâm telah memformulasikan hukum- perilaku, kognisi, dan afeksi. Dalam hukum Islam secara terorganisir dengan paradigma moralitas demikian maka melahirkan ilmu fiqh. Dengan kedua ilmu paham-paham tertentu mengkaji tersebut di atas telah terbentuk orientasi moralitas dengan titik berat unsur keagamaan yang lebih eksoteris. Sedang- tertentu, misalnya kaum behavioristik kan ihsân membentuk persepsi keaga- melakukan pengkajian lebih banyak dari maan lebih bersifat intuitif, lebih mene- unsur perilaku. kemudian kaum penganut kankan pentingnya penghayatan melalui perkembangan kognisi mengakaji moral pengamalan-pengamalan nyata oleh roha- dengan titik berat pada unsur kognisinya, ni. Kacenderungan ini tidak hanya dan kaum psikoanalisis melakukan kajian membentuk perilaku dan pan-dangan moral dengan titik berat pada efeksinya. moral saja bahkan melahirkan wawasan Namun seperti dapat diduga bahwa keilmuan yaitu ilmu akhlak (tasawwuf). hasil kajiannya tidaklah dapat Hal ini menggambarkan bahwa mengungkap moralitas secara memadai. makna ihsân mencakup pengertian segala Hal ini disebabkan bahwa unsur-unsur perbuatan yang baik. Semua interaksi moralitas tersebut (jika manusia beranjak antara manusia dengan Tuhannya atau dari teori ini) hanya dapat dibedakan antara manusia dengan sesama manusia secara teoritis belaka. Dalam kenyataan maupun lingkungannya yang dapat ini moralitas merupakan satu kesatuan mengangkat dan meningkatkan martabat yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan kedudukan kemanusiannya, mengem- dan perilaku sekaligus, sehingga dalam bangkan kualitas dirinya, dan juga dapat pengkajian dan penelitiannya pun harus mendekatkannya kepada Tuhan. Secara mencakup semua unsur-unsur tersebut. lebih terinci al-Ghazali (1986:25) dalam Hal ini diakui oleh James R. Rest bahwa Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, menguraikan tentang tiada satu pun dan berbagai pendekatan ihsân ini yang mencakup tiga dimensi ke- teoritis yang memberikan suatu pan- sadaran batin yaitu: dangan tentang psikologi moral yang Pertama, kepekaan teologis dan komprehensif dan memadai. Hal ini me- intensitas hubungan antara makhluk-
makhluk dengan Tuhan. Kepekaan ini (menerima setelah berusaha), tawakal, didasarkan pada hadits yang menyatakan: iffah (menahan diri dari keinginan negatif), syajâ’ah (keberanian), dan istiqâmah akan membentuk budaya pribadi (private culture) yang mandiri, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah optimis dan sederhana. Pribadi demikian kamu melihatnya atau kalau tidak mampu itu telah melekat dalam diri Nabi demikian seolah-olah kamu sedang Muhammad SAW yang harus diteladani. diihatnya”. (HR. Bukhari). Hal ini dapat dilihat secara tegas Pengandaian pertama merupakan disinggung dalam firman Allah SWT maqâm musyâhadah, di mana seakan dia berikut: duduk bersimpuh di hadapan Tuhan dan menyaksikan pandangan Tuhan selalu tertuju kepadanya. Sedangkan “Sesungguhnya demikian kami memberi pengandaian kedua adalah maqâm balasan kepada kepada orang-orang yang murâqabah, seperti orang tuna netra yang berbuat baik ”. (QS. 37:80). menghadap rajanya, dia tidak mampu Al-Ghazali (1986:45) lebih lanjut melihat tetapi sadar jika dirinya sedang mengemukakan bahwa nilai moral yang dilihat raja. diajarkan oleh Islam bersumberkan pada Kedua, kepedulian sosial, yaitu rasa empat keutamaan (fadhâil) sebagai prihatin terhadap realitas sosial, berawal berikut: (1) al-Hikmah, kemampuan dan rumah tangganya sampai pada kognitif dalam menetapkan pilihan yang hubungan antar sesama manusia yang terbaik dalam pemikiran, sikap maupun lebih luas dan hubungan dengan binatang. tindakan; (2) al-’Adâlah, kondisi mental Allah SWT berfirman: yang memiliki kemampuan pengendalian terhadap nafsu, emosi, maupun subyektifitas serta mengarahkan kecenderungannya pada kebenaran dan objektifitas; (3) al-Iffah, ketahanan diri dalam menata sikap dan tindakan sehingga tidak terjebak dalam ketamakan “Sembahlah Allah dan janganlah kamu materi, dan selera hedonistik; (4) as- mempersekutukan-Nya dengan sesuatu Syajâ‘ah, keberanian secara moral untuk pun. Dan berbuat baiklah kepada dua melakukan tugas maupun kewajiban orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak dengan pertimbangan nalar dan integritas yatim, orang-orang miskin, tetangga yang moral. Bagi al-Ghazali keempat dekat dan tetangga yang jauh, teman yang keutamaan (fadhâil) tersebut merupakan jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba ummahât al-akhlâq (induk ajaran moral) sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak yang akan menentukan kesadaran dan menyukai orang-orang yang sombong dan aktifitas batin seseorang (a’mâl al-qulûb), membangga-banggakan diri” (QS. 4:36). dan pada gilirannya akan mempengaruhi Ketiga, ketahanan mental, yaitu penampilan sikap laku dan tindakan fisik berupa ketabahan menekuni pekerjaaan (a’mâl al-jawârih). yang berat, sabar menghadapi musibah Berkaitan dengan kajian terhadap yang menimpa dirinya, sabar menghadapi teori moralitas ini dapat dipahami bahwa godaan materi, dan sebagainya. Ajaran- moralitas bersumberkan pada keimanan ajaran moral seperti sabar, qanâ’ah terhadap zat yang transendetal untuk
kemudian mengejawantah dalam proses- dengan mengajukan empat proses pokok proses psikologi dan pada akhirnya sebagai berikut: (1) Menginterpretasi mengartikulasikan diri dalam bentuk situasi dengan cara mengenali tindakan- tindakan moral. Antara tindakan moral, tindakan apa yang mungkin bagi si pelaku proses-proses psikologis yang terjadi di serta bagaimanakah setiap rangkaian baliknya, dan keimanan, sama sekali tidak perilaku itu mempengaruhi pihak-pihak dapat dipisahkan, merupakan satu yang terlibat; (2) Memikirkan apa yang kesatuan. Hubungan fungsional ketiga seharusnya dilakukan seseorang dalam aspek ini telah ditegaskan dalam sebuah rangka menerapkan cita moral ke dalam hadits Nabi Muhammad SAW berbunyi: situasi yang kongkrit untuk menetukan perangkat tindakan moral yang diharapkan; (3) Memilih dan minimbang- nimbang diantara perangkat nilai yang “ Sesungguhnya nilai suatu perbuatan berbobot moral dan yang tidak untuk tergantung pada niat yang melandasinya.” memungkinkan pengambilan keputusan Oleh karena itu mengungkap tentang apa yang hendak seseorang moralitas hanya dengan mengandalkan lakukan secara aktual; (4) Melaksanakan salah satu komponen saja, baik itu dan mengimplementasikan apa yang tindakan moral seperti yang dilakukan hendak dilakukan seseorang. kaum behavioristik ataupun penalaran moral saja seperti yang dilakukan oleh penganut perkembangan kognisi, akan MORALITAS DALAM PENDIDIKAN menghasilkan kajian yang kurang AGAMA memuaskan. Dalam hal ini penulis Pendidikan umum merupakan suatu menyebut proses psikologis ini sebagai program pendidikan yang dimaksudkan pertimbangan moral atau proses batin. untuk mengembangkan jati diri manusia Pertimbangan moral di sini dapat berawal secara proporsional sehingga tercipta dari sebab-sebab yang bersifat kognisi manusia yang utuh. Pengertian ini selaras (penalaran), dan dapat pula berasal dan dengan apa yang dikatakan oleh McGrath sebab-sebab yang bertumpu pada afeksi. seperti dikutip Soelaiman (1998:4) bahwa Selanjutnya untuk mengungkap pendidikan umum adalah pendidikan pertimbangan moral ini perlu dilakukan untuk menyiapkan manusia agar dapat metode-metode psikologi, yaitu hidup secara penuh dan memuaskan, baik bagaimana agar seseorang dapat sebagai pribadi, keluarga, anggota memunculkan pertimbangan- masyarakat, pekerja, dan sebagai warga pertimbangan yang melahirkan perilaku negara. Pengertian ini memang sangat moral dengan sebenar-benarnya, sesuai luas dan kompleks dan dalam dengan suara hati nuraninya. operasionalisasinya terdapat beberapa Pengungkapan pertimbangan moral ini pengertian yang lebih spesifik dan adalah melalui pengungkapan secara aplikabel. verbal. Oleh karena itu metode yang Muhammad S. A. Ibrahimy, sarjana digunakan sedapat mungkin mampu pendidikan Islam Bangladesh, dalam salah mendapatkan ungkapan-ungkapan verbal satu penerbitan mass media “Islamic yang mencerminkan suara hati nurani. Gazette” tahun 1983, menegaskan bahwa James R. Rest seperti dikutip Arifin pendidikan Islam menurut pandangannya (1995:45) mengajukan satu model suatu sistem pendidikan yang pengungkapan pertimbangan moral, memungkinkan seseorang dapat menga-
rahkan kehidupannya sesuai dengan Semua bentuk perkembangan dan ideologi Islam (cita Islami), sehingga ia kemajuan itu diserap seraya menseleksi dengan mudah dapat membentuk nilai-nilainya untuk disesuaikan dengan kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam. al-Abrasyi (1984:23-24), salah Islam. Ruang lingkup pendidikan Islam seorang ahli pendidikan Mesir telah mengalami perubahan menurut berpendapat bahwa tujuan akhir pen- tuntutan waktu yang berbeda-beda. didikan Islam adalah pembentukan akhlâq Sejalan dengan tuntutan zaman dan al-karîmah yang merupakan fadhilah perkembangan ilmu dan teknologi, ruang dalam jiwa anak didik, sehingga anak akan lingkup pendidikan Islam itu juga makin terbiasa dalam berperilaku dan berpikir- meluas (Arifin, 1995:37). nya secara rohaniah dan insaniah ber- Pendidikan Islam sebagai alat pegang pada moralitas tinggi, tanpa mem- pembudayaan Islam dalam masyarakat, perhitungkan keuntungan-keuntungan dengan demikian memiliki watak lentur material. Prilaku yang mencerminkan terhadap perkembangan aspirasi nilai-nilai islami yang mendasari misi kehidupan manusia sepanjang zaman. Rasulullah SAW yaitu menyempurnakan Watak demikian dengan tanpa akhlak yang mulia. Secara implisit, khulûq menghilangkan prinsip-prinsip nilai yang manusia ciptaan Tuhan diakui sebagai mendasarinya. Pendidikan Islam mampu potensi psikologis yang mendasari mengakomodasikan tuntutan hidup perkembangan umat manusia sejak lahir manusia dari zaman ke zaman, termasuk yang memerlukan pengarahan melalui tuntutan di bidang ilmu dan teknologi. proses kependidikan yang sisitimatis dan Khusus berkaitan dengan tuntutan konsisten. perkembangan ilmu dan teknologi, Hills (1968:18) mengemukakan pendidikan Islam bersikap mengarahkan bahwa yang dimaksud sistem nilai dan dan mengendalikannya, sehingga nilai moral adalah suatu keseluruhan tatanan fundamental yang bersumber dari iman yang terdiri dari dua atau lebih dari dan taqwa kepada Allah SWT dapat komponen yang satu sama lain saling berfungsi dalam kehidupan manusia yang mempengaruhi atau bekerja dalam satu menciptakan ilmu dan teknologi. Iman kesatuan atau keterpaduan yang bulat dan takwanya menjiwai ilmu dan yang berorientasi kepada nilai dan teknologi yang diciptakan, sehingga moralitas Islami. Nilai atau sistem moral penggunaannyapun diarahkan kepada yang dijadikan kerangka acuan yang upaya menciptakan kesejahteraan hidup menjadi rujukan cara berprilaku lahiriah umat manusia, bukan untuk dikesamping- dan rohaniah manusia muslim ialah nilai kan. dan moralitas yang diajarkan oleh Agama Islam yang diwujudkan dalam Islam sebagai wahyu Allah SWT, yang di- perilaku manusia melalui proses pen- turunkan kepada utusan-Nya Muhammad didikan bukanlah semata-mata sistem SAW. Nilai dan moralitas adalah bersifat teologinya saja, melainkan lebih dari itu, menyeluruh, bulat dan terpadu, tidak termasuk peradabannya yang sempurna. terpecah-pecah menjadi bagian-bagian Oleh karena itu Islam berhadapan dengan yang satu sama lain berdiri sendiri. Suatu segala bentuk kemajuan atau modernisasi kebulatan nilai dan moralitas itu mengan- masyarakat, tidaklah akan mengalami dung aspek normatif (kaidah, pedoman) “shock ideal” mengingat wataknya yang dan operatif (menjadi landasan amal lentur dan akomodatif terhadap segala perbuatan). perkembangan kebudayaan manusia.
Dengan demikian sistem nilai Islami Umum. Hal ini seperti ditegaskan dalam yang hendak dibentuk dalam pribadi anak surat keputusan Direktorat Jenderal didik dalam wujud keseluruhannya dapat Pendidikan Tinggi Depantemen diklasifikasikan ke dalam norma-norma. Pendidikan dan Kebudayaan Misalkan norma hukum (syarî’ah) Islam, No.32/DJ/Kep./1983. sebagai berikut: norma akhlak dan sebagainya. Oleh ”Komponen Mata Kuliah Dasar Umum karena pendidikan Islam bertujuan pokok diarahkan untuk melengkapi pada pembinaan akhlak mulia, maka pembentukan kepribadian bidang dengan sistem moral Islami yang ditumbuh pengembangan kehidupan kepribadian kembang dalam proses pendidikan adalah yang memuaskan, keanggotaan keluarga norma yang berorientasi kepada nilai-nilai yang bahagia, dan kewargaan masyarakat Islami. Dalam konteks dunia persekolahan yang produktif, serta kewargaan negara di Indonesia, kehadiran program yang bertanggung jawab”. pendidikan Agama dimaksudkan untuk Melalui Pendidikan Agama menjadi dasar bagi pengembangan para diharapkan adanya kontribusi yang anak didik menjadi manusia yang baik, signifikan dalam membangun moralitas yang selanjutnya dikembangkan pula generasi bangsa. Sebab selain bantuan aspek-aspek intelektualitas dan materil, yang tidak kalah pentingnya keterampilan yang bersifat spesialisasi adalah merubah sikap, mentalitas, sesuai dengan minat dan bakat yang moralitas, dan tata nilai mereka, terdapat pada diri anak didik. Hal ini mengingat hal-hal ini akan sangat seperti ditegaskan dalam undang-undang berpengaruh terhadap pembentukan No.2 tahun 1989 pasal 4, bahwa tujuan kepribadian mereka. Adapun dimensi pendidikan Nasional adalah mencerdas- kehidupan yang mengandung nilai ideal kan kehidupan bangsa dan megembang- Islami dapat dikategorikan ke dalam 3 kan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu macam sebagai berikut: Pertama, dimensi manusia yang beriman dan bertakwa yang mengandung nilai yang terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan meningkatkan kesejahteraan hidup berbudi pekerti luhur, memiliki manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan pengetahuan dan keterampilan, sehat ini mendorong kegiatan manusia untuk jasmani dan rohani, memiliki kepribadian mengelola dan memanfaatkan dunia ini yang mantap dan mandiri, serta rasa agar menjadi bekal/sarana bagi kehidupan tangung jawab kemasyarakatan dan akhirat. Kedua, dimensi yang mengandung kebangsaan. nilai yang mendorong manusia berusaha Mengingat urgensinya pembentukan keras untuk meraih kehidupan akhirat dan pembinaan manusia Indonesia yang yang membahagiakan. Dan menunutut baik, maka setiap jenjang dan jenis manusia untuk tidak terbelenggu oleh pendidikan dan tingkat dasar sampai rantai kekayaan dunia atau materi yang perguruan tinggi, diselenggarakan dimiliki, namun kemelaratan atau program pendidikan Agama, untuk kemiskinan dunia harus diberantas, sebab mendasari program-program pendidikan kemelaratan dunia bisa menjadi ancaman yang mengembangkan aspek intelektual yang menjerumuskan manusia kepada dan keterampilan. Sedangkan program kekufuran. Ketiga, dimensi yang mengan- pendidikan umum yang yang dise- dung nilai yang dapat memadukan antara lenggarakan di dunia perguruan tinggi, kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. disajikan dalam bentuk mata kuliah yang Keseimbangan dan keserasian antara tergabung dalam mata Kuliah Dasar kedua kepentingan hidup menjadi daya
tangkal terhadap pengaruh-pengaruh melaksanakan tugas bangsa dan negara negatif dan berbagai gejolak kehidupan termasuk kebudayaannya dengan sebaik- yang menggoda ketenangan hidup baiknya; (4) Bersikap tepat dan mampu manusia, baik yang bersifat spiritual, melaksanakan tugas masyarakat dan tugas sosial, kultural, ekonomis, maupun Iingkungan dengan sebaik-baiknya; (5) ideologis dalam hidup pribadi manusia Bersikap tepat dan mampu melaksanakan (Arifin, 1995:120). tugas pribadinya dengan sebaik-baiknya, Nilai-nilai Islam fundamental yang baik jasmaniah maupun rohaniah mengandung kemutlakan bagi kehidupan (Soedjono,1980:21). manusia selaku pribadi dan selaku Dalam konteks keindonesiaan, anggota masyarakat tidak memiliki moralitas yang dimaksud bersumberkan kecenderungan untuk merubah dan Pancasila, di mana iman dan takwa mengikuti selera nafsu manusia yang merupakan substansinya. Dengan selalu berubah sesuai dengan tuntutan demikian moralitas Pancasila memiliki selera nafsu manusia sesuai tuntutan nilai yang sakral dalam arti bersumberkan perubahan sosial. Nilai-nilai Islami yang pada nilai-nilai Ketuhanan dan oleh absolut dari Tuhan itu sebaliknya akan karena itu wajib ditaati dan dijalankan berfungsi sebagai pengendali atau oleh masyarakat, untuk selanjutnya pengarah terhadap tuntutan perubahan direfleksikan dalam kehidupan masya- sosial dan tuntutan induvidual. rakat, berbangsa dan bernegara. Pada Menurut Sayyid Qutub (1984:29- tahap ini maka pelaksanaan aktivitas 30) moralitas yang islami tidak hanya kehidupan dalam berbagai bidang baik terdiri dari kumpulan belenggu dan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, larangan-larangan. Ia pada hakikatnya dan sebagainya tidak didasarkan atas adalah suatu kekuatan konsturuktif dan landasan hukum dan peraturan semata- positif, merupakan suatu pendorong bagi mata, melainkan lebih didasarkan atas perkembangan yang berkesinambungan kesadaran dan tanggung jawab moral. dan bagi kesadaran pribadi di dalam Suatu perbuatan yang didasarkan lebih proses perkembangan tersebut. Perkem- pada kesadaran dan tanggung jawab moral bangan tersebut diwarnai oleh kemurnian akan memiliki kualitas lebih baik dan pada yang bulat. Moralitas bersumber dan sekedar pelaksanaan hukum. watak tabi’i manusia yang senapas dengan nilai Islami yaitu do-rongan batin yang menunutut pembe-basan jiwa dan beban PENDIDIKAN MORAL DARI KELUARGA batin karena per-buatan dosa dan keji Pendidikan moral secara signifikan yang bertentangan dengan perintah Ilahi. sejatinya dimulai dari keluarga. Mengkaji Dari uraian di atas dapat dipahami pendidikan moral dari keluarga dapat bahwa pendidikan Agama merupakan dilihat dalam sebuah hadits Nabi program pendidikan yang mengarahkan Muhammad SAW bersabda: pada pembentukan manusia, yaitu manusia dalam kualifikasi keindonesiaan, yaitu: (1) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas yang diamanatkan “Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya; (2) maka orang tua keduanya yang Bersikap tepat dan mampu melaksanakan menjadikan dirinya beragama Yahudi, atau tugas kemanusiaan dengan sebaik- Nasrani atau Majusi (penyembah api)” (HR. baiknya; (3) Bersikap tepat dan mampu Imam Bathaqi dan Imam Thabrani).
Secara eksplisit tampak bahwa memegang peranan utama) merupakan hadits ini merupakan spirit bagi lingkungan pertama bagi anak melakukan dilakukannya pendidikan moral dalam komunikasi, maka lingkungan inilah yang keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua akan banyak memberikan warna terhadap terhadap anak-anaknya. Kehadiran sang diri anak. anak bagi orang tua merupakan amanat Pada dasarnya pendidikan moral Tuhan yang dibekali dengan kodrat secara inherent terdapat dalam setiap kemanusiaan yang masih alami. Melalui proses- proses pendidikan, baik yang interaksi dengan lingkungannya, maka berlangsung di lingkungan sekolah, kodrat kemanusiaan sang anak ini akan masyarakat, maupun di lingkungan mengalami perubahan atau keluarga. Hal ini sesuai dengan perkembangan. Karena Iingkungan yang karakteristik pendidikan moral itu sendiri pertama dikenal anak adalah keluarga, yang tidak berdasar atas materi dan maka keluargalah (orang tua) yang banyak pelaksanaanya tidak dibatasi oleh ruang memberikan corak kepada kodrat dan waktu. Downey dan Kelly (1982:59) kemanusiaan anak tersebut. menyatakan tentang karakteristik Penjelasan hadits di atas tidaklah pendidikan moral sebagai berikut: (1) sekedar berperspektif ideologis, Pendidikan moral tidak mempunyai bahan melainkan pula berperspekfif moral. Jadi pelajaran tertentu yang jelas dibatasi; (2) apakah moralitas anak akan bercorak Pendidikan moral tidak merupakan Yahudi, Nasrani, maupun Majusi, disiplin-disiplin ilmu yang mempunyai tergantung kepada pendidikan moral yang bahan atau meliputi sejumlah dilakukan oleh orang tuanya. Namun perlu pengetahuan tertentu; (3) Pendidika digaris bawahi di sini bahwa substansi moral tidak dimulai sejak masuk sekolah, hadits tersebut tidak sama dengan ”teori akan tetapi diberikan sejak anak lahir; (4) tabularasa” yang dikemukakan John Pendidikan moral meresapi seluruh Locke. Kata fitrah dalam hadits tersebut kurikulum, tiap mata pelajaran dapat tidak menunjuk pada kondisi kejiwaan dimanfaatkan untuk mengembangkan yang kosong sama sekali, melainkan pada moralitas anak; (5) Pendidikan moral kondisi kejiwaan yang bersifat potensial. tidak hanya bersifat intelektual akan tetapi Potensial yaitu potensi-potensi juga melibatkan emosi, perasaan, dan kemanusiaan sebagai bekal bagi manusia kepribadian; (6) Dalam tujuan pendidikan, untuk dapat hidup manusiawi. Hal ini moralitas merupakan tujuan yang paling karena bersifat potensial maka pokok. Memanusiakan manusia pada pengembangannya bergantung pada hakikatnya berarti membuat manusia aktivitas-aktivitas pendidikan yang terjadi bermoral, maka karena itu pendidikan di lingkungannya, baik keluarga, sekolah, moral sangat vital dalam setiap usaha maupun masyarakat. Itulah sebabnya pendidikan. meskipun sejak lahir setiap anak Penegasan di atas cukup dikaruniai potensi kemanusiaan, namun komprehensif untuk memberikan dalam perkembangan selanjutnya banyak gambaran pendidikan moral dan posisinya manusia yang melakukan tindakan- dalam proses-proses pendidikan secara tindakan yang tidak manusiawi. Hal ini umum. Jika mengacu pada hakikat pen- berarti bahwa potensi-potensi itu tidak didikan yaitu memanusiakan manusia, berkesempatan untuk berkembang secara maka merupakan suatu keniscayaan maksimal. Hal ini diakibatkan karena bahwa semua pelajaran di sekolah, di lingkungan keluarga (dimana orang tua dalam pengajarannya harus sampai pada
tataran pendidikan moral. Tidak sekedar dibina sejak lahir. Bahkan pembinaan berhenti pada penguasaan materi dan moral perlu dilakukan tidak hanya sejak keterampilan saja, misalnya ketika lahir melainkan sejak awal akan diperoses seorang guru biologi menerangkan proses anak manusia, bahkan menjelang wafat simbiosis mutualistik, tidak sekedar sekali pun. Oleh karena itu pendidikan bertujuan agar anak didik mengetahui moral tidak berawal sejak anak berada di proses-proses tersebut, melainkan sekolah melainkan berawal dari keluarga diarahkan pula agar anak mempunyai yaitu melalui proses interaksi dan tanggung jawab untuk tetap komunikasi yang terjadi di dalamnya. berlangsungnya proses simbiosis Pendidikan moral yang terjadi dalam mutualistis tersebut dengan cara menjaga keluarga berlangsung dalam suasana keseimbangan alam. Bahkan lebih jauh informal, pada setiap situasi, baik disadari anak itu pun diarahkan untuk mengagumi atau pun tidak oleh orang tua. Mem- ciptaan Tuhan, sehingga pada dirinya berikan pujian pada saat anak melakukan tumbuh dan berkembang rasa iman dan hal-hal yang baik dan benar serta menegur takwa yang lebih kokoh. bahkan memberikan hukuman pada saat Pesan-pesan moralitas tersebut anak melakukan kesalahan, tanpa disadari senantiasa terkandung pada setiap proses pada dasarnya merupakan proses pem- pendidikan, apapun jenis pelajarannya. binaan nilai moral. Nuansanya pun tidak Bahkan pesan-pesan ini merupakan nilai hanya diwujudkan dalam jalinan interaksi substantif jika ditinjau dan hakikat antara orang tua dengan anak, dimana pendidikan itu sendiri. Soelaiman (2002:35) menegaskan, pendidikan harus orang tua mengambil posisi sebagai dilihat bukan saja dari tindakannya, pembimbing dan anak sebagai terbimbing, melainkan juga makna yang terkandung di melainkan pula melalui transaksi antara balik itu. Sedangkan pendidikan moral individu dalam keluarga secara ber- yang berlangsung dalam keluarga, imbang. Mereka saling mengawasi peri- manifestasinya tidak sekedar berbentuk laku sikap masing-masing pihak, apakah spirit atau nuansa, melainkan benar-benar selaras dengan tuntutan moralitas atau materi morallah yang dibinakan oleh tidak. Adalah keluarga yang pertama kali orang tua pada anak-anaknya. Secara menegur dan memberikan peringatan jika formal bahkan undang-undang No. 2 tahun salah seorang anggota keluarganya keluar 1989 menyebutkan pada pasal 10 (4) dari rel moral yang berlaku, sebelum berbunyi ”pendidikan keluarga masyarakat menegurya. merupakan bagian dari jalur pendidikan Pada keluarga-keluarga yang secara luar sekolah yang diselenggarakan dalam struktural masih utuh, dalam arti masih keluarga dan yang memberikan keyakinan terdapat ayah ibu, mereka berdua agama, nilai budaya, nilai moral, dan memainkan peranan yang sama-sama keterampilan”. penting dalam membinakan moral pada Jika Undang-undang No.2 tahun anak-anaknya. Hanya saja, karena pada 1989 mengamanatkan secara tersurat awal kehadirannya anak lebih dekat bahwa dalam lingkungan keluarga, orang dengan ibu, menjadikan peran ibu ini tua mengemban tugas untuk melakukan cenderung lebih menonjol, khususnya pendidikan moral bagi anak-anaknya, pada usia lima tahun yang pertama dalam merupakan suatu hal yang layak. Manusia diri anak. Seperti dikatakan oleh Sigmund bermoral tidak terwujud dengan sen- Freud, sebagaimana dikutip oleh Hall and dirinya melainkan perlu dibentuk dan Lindzey (1987:50); the first five years of
life are decisive for the formation of identifikasi, internalisasi, pemodelan, dan personality. sejenisnya, di mana setiap saat proses- Jadi bagi Freud, lima tahun pertama proses tersebut terjadi dalam interaksi dalam kehidupan seorang anak sangat dan komunikasi antara sesama anggota menentukan corak kepribadiannya, keluarga. dimana peran ibu dalam hal ini sangat Namun demikian banyak orang tua menonjol. Pentingnya pendidikan yang kurang menyadari keberadaan keluarga dalam pembentukan kepribadian proses-proses pendidikan yang terjadi di anak tidak sekedar dalam arti urutan lingkungan keluarga. Hal ini berakibat peristiwanya melainkan dalam arti tidak berfungsinya keluarga sebagai pilar penghayatan dan pemaknaan situasi pendidikan sehingga tumbuh generasi- kehidupan dari pendidikanya. Keluarga generasi muda yang tidak memiliki memegang peranan penting dalam moralitas dan kepribadian yang pendidikan akhlak terhadap anak-anak diharapkan. Secara sosiologis maupun sebagai institusi yang mula-mula sekali politis hal semacam ini kurang berintekrasi dengan anak. Oleh sebab itu menguntungkan. Sebab keteraturan dan haruslah keluarga mengajar mereka keharmonisan suatu masyarakat berawal akhlak yang mulia yang diajarkan Islam dari keteraturan dan keharmonisan seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, keluarga yang berada di dalamnya sebagai kesabaran, kasih sayang, cinta kebaikan, unit sosial terkecil. Hanya masyarakat pemurah, berani dan lain sebagainya. Di yang teratur dan harmonislah yang samping itu juga mengajarkan nilai dan mampu menciptakan kehidupan bangsa faedah berpegang teguh pada akhlak yang tenteram dan dinamis. dalam hidup, membiasakan mereka berpe- Kosasih Djahiri seperti dikutip gang kepada akhlak semenjak kecil. Sebab Zakiyah Daradjat (1983:34) menunjukkan manusia menurut asasinya mene-rima rincian variabel-variabel yang terkait nasihat jika datangnya melalui rasa cinta dengan efektifitas pendidikan di dan kasih sayang, sedang ia menolaknya lingkungan keluarga, yaitu: (1) Orientasi jika disertai dengan kekerasan ini sesuai nilai dan keluarga; (2) Keeratan hubungan firman Allah SWT: antara ayah dengan ibu; (3) Corak dan . keluarga; (4) Banyaknya anggota keluarga; (5) Kualitas intelektual dan potensi sosial budaya; (6) Lingkungan yang “Jika engkau (Muhammad) kasar dan meradiasinya; (7) Tingkat keterbukaan bengis tentu mereka akan komunikasi. Pendidikan moral me- meninggalkanmu”. (QS. Ali Imran, 3:159). rupakan upaya untuk membina dan Keluarga merupakan salah satu pilar mengembangkan sturuktur dan potensi pusat pendidikan. Para ahli pendidikan serta pengalaman afektual (affective tidak meragukan lagi efektifitas usaha components and experiences), jati diri atau pendidikan yang terjadi dalam keluarga. hati nurani manusia (the conssience of Setiap perilaku orang tua atau anggota man), dan suara hati (al- qalbu) manusia keluarga yang sudah dewasa baik berupa dengan perangkat tatanan nilai, moral, dan verbal maupun tindakan, begitu juga norma. dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi Proses pendidkan secara inherent di dalamnya akan secara langsung mem- terjadi dalam kehidupan keluarga, maka bentuk kepribadian dan moral anak. Hal sebenarnya pendidikan moral terjadi sejak ini terjadi melalui proses-proses awal bahkan sejak anak lahir. Hal ini
terjadi melalui keteladanan orang tua ukuran tata nilai yang bersumberkan pada dalam melakukan interaksi dengan anak- hati nurani manusia, sebagai fitrah dari anaknya. Sehingga dengan demikian Tuhan. Perbuatan yang bertentangan keteladanan orang tua merupakan faktor dengan tata nilai yang bersumberkan pada utama terjadinya pendidikan moral. hati nurani manusia dikatakan sebagai Seperti ditegaskan oleh Zakiyah Daradjat perbuatan amoral. Orang yang bermoral (1983:88) bahwa pembinaan akhlak adalah orang yang memenuhi ketentuan- sebenarnya dimulai sejak anak baru lahir ketentuan kodrat yang tertanam dalam melalui perlakuan orang tua yang sesuai dirinya sendiri. Pengejawantahannya dengan akhlak, dan dilanjutkan dengan adalah mulai dan munculnya kehendak, membiasakan anak melalukan nilai-nilai yaitu kehendak yang baik sampai kepada sopan santun yang sesuai dengan agama adanya tingkah laku dan tujuan yang baik serta mendidiknya agar meninggalkan pula. yang tercela dan terlarang dalam agama. Kedua, moralitas mencakup dalam Mewujudkan moral dalam diri anak tiga unsur yaitu perilaku, kognisi, dan tidaklah berlangsung secara singkat afeksi. Apabila diperhatikan ajaran agama melainkan memerlukan waktu bagi dalam kontek ini, bahwa dimensi proses-proses yang panjang. Itulah moralitas berangkat dari ajaran tauhid, sebabnya pembinaan moral khususnya penghayatan dan pengalaman Agama dalam lingkungan kehidupan keluarga Islam terbagi kedalam tiga aspek yaitu tidak cukup sekedar diajarkan melalui îmân, Islâm, dan ihsân. Pada akhirnya suasana formal dan khusus (berupa ketiga aspek tersebut melahirkan tiga nasihat dan petuah), melainkan melalui macam orientasi keagamaan dalam proses pendidikan pada segala suasana epistemologi Islam. Aspek îmân telah dalam interaksi dan komunikasi antara mendapatkan kajian secara sistematis orang tua dan anak-anaknya. Setiap yang melahirkan ilmu kalam. Sedangkan pengalaman yang dilalui oleh anak dalam kajian terhadap aspek Islâm telah hidupnya baik melalui penglihatan, memformulasikan hukum-hukum Islam pendengaran, perlakuan yang diterimanya secara terorganisir dengan melahirkan dan sebagainya, akan ikut menjadi bagian ilmu fiqh. Dengan kedua ilmu tersebut di dalam membentuk moralitasnya. atas telah terbentuk orientasi keagamaan yang lebih eksoteris. Sedangkan ihsân membentuk persepsi keagamaan lebih SIMPULAN bersifat intuitif, lebih menekankan Berdasarkan uraian di atas dapat pentingnya penghayatan melalui disimpulkan bahwa: Pertama, moralitas pengamalan-pengamalan nyata oleh merupakan tolok ukur untuk menentukan rohani. Kecenderungan ini tidak hanya betul salahnya sikap dan tindakan membentuk perilaku dan pandangan manusia, dilihat dan sisi baik buruknya moral saja bahkan melahirkan wawasan sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku keilmuan yaitu ilmu akhlaq (tasawuf). peran tertentu. Dengan demikian moral Ketiga, moralitas dalam pendidikan mengandung muatan nilai dan norma yang agama dapat dilihat dari sistem nilai bersumber pada hati nurani manusia. Islami yang hendak dibentuk dalam Moral merupakan standar kualitas pribadi anak didik dalam wujud kese- perbuatan manusia yang dengannya dapat luruhannya dapat diklasifikasikan ke dikatakan bahwa perbuatan tersebut dalam norma-norma. Misalkan norma benar atau salah, baik atau buruk, dalam hukum (syarî’ah) Islam, norma akhlak dan
sebagainya. Oleh karena pendidikan Islam Qur’an Departemen Agama Republik bertujuan pokok pada pembinaan akhlak Indonesia. mulia, maka sistem moral Islami yang al-Abrasyi, Muhammad Athiah. 1984. ditumbuh kembang dalam proses Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, pendidikan adalah norma yang terjamahan, Jakarta: Bulan Bintang. berorientasi kepada nilai-nilai islami. Arifin, H.M. 1995. Filsafat Pendidikan Dalam konteks dunia persekolahan di Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Indonesia, kehadiran program pendidikan Daradjat, Zakiyah. 1983. Membina Nilai- Agama dimaksudkan untuk menjadi dasar Nilai Moral di Indonesia, Jakarta: bagi pengembangan para anak didik Bulan Bintang. menjadi manusia yang baik, yang Daradjat, Zakiyah. 1984. Dasar-Dasar selanjutnya dikembangkan pula aspek- Agama Islam, Buku Teks Pendidikan aspek intelektualitas dan keterampilan Agama Islam di Perguruan Tinggi, yang bersifat spesialisasi sesuai dengan Jakarta: Bulan Bintang. minat dan bakat yang terdapat pada diri Drijakara, S.J. 1996. Tentang Pendidikan, anak didik. Jakarta: Pembangunan. Keempat, pendidikan moral dimulai Downey, Meriel & Kelly. 1998. Moral dari keluarga berlangsung dalam suasana Education, Theory and Practise, informal, pada setiap situasi, baik disadari London: Harper and Row atau pun tidak oleh orang tua. Publication. Memberikan pujian pada saat anak al-Ghazali, al-Imam Abi Hamid Muhammad melakukan hal-hal yang baik dan benar bin Muhammad. 1986. Ihyâ serta menegur bahkan memberikan ‘Ulûmuddîn, Jilid III, Kairo: Dâr al- hukuman pada saat anak melakukan Kutûb al-‘Arabiyyah. kesalahan, tanpa disadari pada dasarnya Ghose, Ajit & Griffin, Keith. 1980. Rural merupakan proses pembinaan nilai moral. Poverty and Deploment Alternative in Nuansanya pun tidak hanya diwujudkan Sout and Sautheast Asia, Sone Policy dalam jalinan interaksi antara orang tua Issues Developmen, New York: dengan anak, dimana orang tua McGrow Hill Book. mengambil posisi sebagai pembimbing Hills, Jean R. 1952. Toward an Science of dan anak sebagai terbimbing, melainkan Organization: New York: Center For pula melalui transaksi antara individu The Advanceed Studi of Stone. dalam keluarga secara berimbang. Mereka al-Jarohi, As-Syaikh Ismail bin Muhammad saling mengawasi perilaku sikap masing- al-A’jaluni. 1351 H. Min al-Ahâdîs A’la masing pihak, apakah selaras dengan al-Sinât al-Nâs, Damaskus: Dar al- tuntutan moralitas atau tidak. Adalah Fikr al-‘Arabi keluarga yang pertama kali menegur dan al-Mundziri, Zaki al-Din ‘abdi al-‘azim. memberikan peringatan jika salah seorang 1996. Mukhtashar Shahîh Muslim, anggota keluarganya keluar dari rel moral Beirut: al-Yamamah. yang berlaku, sebelum masyarakat Poespoprojo. 1986. Fisafat Moral menegurya. Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya. Qutub, Sayyid. 1984. Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, DAFTAR RUJUKAN Beirut: Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabŷ. Al-Qur’ân al-Karîm. 1981/1982. Jakarta: Setiadi, Gunawan. 1990. Dialektika Hukum Proyek Pengadaan Kitab Suci al- dan moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Jakarta: BPK Soelaiman, Moh. Isa. 1998. Suatu Telaah Gunung Mulia. tentang Manusia Religi Pendidikan, Soedjono. 1980. Pendahuluan Ilmu Pengetahuan Umum, Bandung: Jakarta: RajaGrafindo Persada. Pustaka Ilmu. al-Suyuti. t.t. Jamî’ al-Shaghîr fi Ahâdîts al- Suseno, Frans Magnis. 1991. Etika Dasar: Basŷir al-Nadzîr, terjemahan, Jakarta: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yokyakarta: Kanisius. Dâr al-Ihyâ’ al-Kutûb al-’Arabiyyah.