Anda di halaman 1dari 25

15

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Dalam Bahasa Indonesia Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh.14 Perkawinan disebut juga “pernikahan”,

berasal dari kata nikah )‫(انُكاح‬yang arti bahasa artinya mengumpulkan, saling

memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).15 Kata “nikah”

sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus),juga untuk arti

akad nikah.16 Menurut istilah hukum Islam , perkawinan menurut syara‟

untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan

dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Di dalam ketentuan pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dikemukakan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan yang Maha Esa”.17 Dari bunyi pasal tersebut arti dari perkawinan

adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri.

14
Departemen Pendidikan nasional, op.cit., h. 639
15
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 7
16
Wahbah Al-zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beriut, Cet. Ke-3,
Dár al-fikr,1989, h. 29
17
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Arkola, Surabaya. h. 5

15
16

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika sebagaimana dikutip dalam buku

Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjiankarya Muttaqien Dadan,

berpendapat: “Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila yang sila

pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka antara perkawinan

dengan agama atau kerohanian mempunyai hubungan yang sangat erat,

karena perkawinan bukan saja mumpunyai unsur jasmani tetapi juga

mempunyai unsur rohani yang memegang peran penting”.18

Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 apabila dirincikan sebagai berikut:

a) Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri.

b) Ikatan batin ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia, kekal dan sejahtera.

c) Ikatan batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada

ketuhanan Yang Maha Esa.

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

a. Pengertian Rukun, Syarat dan Sah

Rukun Yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu, separti membasuh untuk wudhu dan takbiratul

18
Muttaqien Dadan, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian,
Insania Cita Pres, Yogyakarta, 2006, h. 59
17

ihram untuk shalat.19 atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan

dalam perkawinan.

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah),tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.20Atau

menurut Islam , calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama

Islam .

Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan

syarat.21

b. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bawa rukun perkawinan itu tediri atas.22

a) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan

b) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita

Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau

wakilnya yang akan menikahkannya. Berdasarkan sabda Nabi SAW:

ِ‫حَٓا بَاطِمٌ(سٔا‬
ُ ‫َٓا فَ ُِكَا‬ِٛ ِ‫ٌ َٔن‬
ِ ْ‫شِ إِر‬ْٛ َ‫ًَا ا ْيشََأةٍ َكَحَجْ ِبغ‬ُٚ َ‫أ‬

)‫انخًغت اال نهُغاء‬

Artinya: perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya,


maka pernikahanya batal.

19
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, Bulan Bintang, Cet.Ke-1,
Juz 1, Jakarta, 1976, h. 9
20
Wahbah Al-zuhaili, op.cit., h. 36
21
Ibid.
22
Slamet Abidin Dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, Cv. Pustaka Setia.
Bandung, 1999, h. 64-48
18

c) Adanya dua orang saksi

Pelaksananya akad nikah akan sah apabila dua orang saksi

yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi

SAW:

ٍ‫ٍ َٔ شَاِْذَٖ عَذْل‬ٙ


ّ ‫الَ َِكَاحَ اِالَّ بَِِٕن‬
Artinya: Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang
adil.23

d) Sighat akad nikah, sighat akad adalah ijab dan qabul. Keduanya

menjadi rukun akad, ijab diucapkan oleh wali atau wakilnya dari

pihak wanita, dan qabul dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta

penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: ”Aku

nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab, sedangkan yang lain

berkata: “Aku terima” adalah qabul.24

Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:

mazhab mailikyyah berpendapat bahwa rukun nikah ini ada lima

macam yaitu:

a) Sighat

b) Calon Suami

c) Calon Isteri

d) Wali

23
Diriwayatkan oleh Daruquthni di dalam Sunnah Darutquthni,
Kitab “an-nikah,” jilid III, h, 225-226, nomor 22
24
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Dr. Abdul Wahab
Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat, Amzah, Jakarta, 2009, h. 60
19

e) Mahar.25

Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun itu ada lima macam:

a) Calon pengantin laki-laki

b) Calon pengantin perempuan

c) Wali

d) Dua orang saksi

e) Sighat akad nikah

Menurut mazhab Hanbaliy rukun nikah hanya tiga, yaitu:

Suami, isteri dan Sighat . Bahkan bagi mazhab hanafi, rukun nikah

ini hanya ijab dan qabul saja(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak

wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).26Sedangkan menurut

segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:

a) Sighat (ijab dan qobul)

b) Calon pengantin laki-laki

c) Calon pengantin perempuan

d) Wali dari calon pengantin perempuan

Pendapat yang menyatakan bahwa rukun nikah itu ada empat,

karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan

digabung menjadi satu rukun, seperti dibawah ini:

Rukun Perkawinan:

25
Prof. Dr. H. Abdul Hadi, M.A., Fiqh Munakahat, CV. Karya
Abadi Jaya, Semarang, 2015, h. 105-106
26
Ibid.
20

a) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni

mempelai laki-laki dan mempelai perempuan

b) Adanya wali

c) Adanya dua orang saksi

d) Dilakukan dengan sighat tertentu.

Adanya perbedaan pendapat menurut Imam Syafi‟i dan Imam

Maliki, Imam Maliki mengatakan bahwa mahar (maskawin)

merupakan salah satu rukun nikah sedangkan saksi bukan bagaian

dari rukun nikah dan sebaliknya Imam Syafi‟i mengatakan dua orang

saksi merupakan rukun nikah sedangkan mahar (maskawin)tidak

terdapat di dalam rukun nikah.

c. Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya

perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu

sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami

istri. Syarat sah nikah adalah yang membuat akad itu patut menimbulkan

beberapa hukum. Jika satu syarat tidak ada, maka akadnya rusak, adapun

syarat sah akad ada tiga; adanya persaksiaan, wanita yang tidak haram

untuk selamanya atau sementara bagi suami, dan shighat akad hendaknya

selamanya.27

Secara rinci, masing-masing syarat sahnya perkawinan akan

dijelaskan sebagai berikut:

27
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Dr. Abdul Wahab Sayyed
Hawwas, op.cit., h. 100
21

1. Syarat-syarat kedua mempelai

a) Syarat-syarat pengantin pria.

Syari‟at Islam menentukan beberapa syaratyang harus

dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:

1) Calon suami beragama Islam

2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki

3) Orangnya diketahui dan tertentu

4) Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin dengan calon

istri.

5) Calon mepelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta

tahu betul calon istrinya halah baginya.

6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan

perkawinan itu.

7) Tidak sedang melakukan ihram

8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon

istri

9) Tidak sedang mempunyai istri empat.28

b) Syarat-syarat calon pengantin perempuan:

1) Beragama Islam atau ahli kitab

2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)

3) Wanita itu tentu orangnya

4) Halal bagi calon suami

28
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu
Fiqh, IAIN Jakarta, Jakarta, 1985, h. 49-50
22

5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam

„iddah.

6) Tidak dipaksa/ikhtiyar

7) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umroh.

2. Syarat-syarat Wali

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai

perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.

Perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya seorang wali maka

perkawinan itu tidak sah.Adapun syarat-syarat wali sebagai

berikut:

a. Beragama Islam

b. Laki-laki

c. Baligh

d. Berakal

e. Tidak dalam keadaan dipaksa

f. Tidak sedang ihram haji

3. Syarat-syarat Saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-

laki, muslim baligh, berakal, melihat dan mendengar serta

memahami(paham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut

golongan hanafi saksi boleh satu orang laki-laki dan dua orang

perempuan.Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu

adalah sebagai berikut:


23

a. Berakal, bukan orang gila

b. Baligh, bukan anak-anak

c. Merdeka, bukan budak

d. Islam

e. Kedua orang saksi itu mendengar.29

4. Syarat-syarat Ijab Kabul

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan

lisan. Inilah yang dinamakan akd nikah (ikatan atau perjanjian

perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinanya dengan isyarat

tangan atau kepala yang bisa dipahaimi. Dalam perkawinan ijab

dan kabul merupakanrukun utama dan persyaratan paling

terpenting. Tanpa adanya sebuah ijab dan kabul perkawinan itu

tidak sah dan menjadi batal, adapun syarat-syarat ijab kabul

sebagai berikut:

a. Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majelis.

b. Tidak boleh ada jarak yang lama anatara ijab dan kabul yang

merusak kesatuan akad nikah dan kelangsungan akad,

c. Ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah

pihak dan dua orang saksi.

d. Di dalam suatu sigah dua elemen, pertama ucapan ijab dari

wali atau wakilnya dengan kata zawwajtuka atau ankahtuka,

dan kedua sigah qabul dari calon mempelai laki-laki yang

29
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, op.cit., h. 64
24

bersambungan dengan sigah ijab, ucapanya bisa dengan kata-

kata tazawwajtu atau nakahtu.30

Adapun beberapa hukum yang berkenan dengan pernikahan,

adanya syarat yang harus dipenuhi pihak suami, yatu syarat yang manfaat

dan faedahnya kembali kepada isteri. Misalnya memberikan syarat

kepada calon suaminya untuk tidak membawanya keluar dari rumah atau

kampungnya. Semua persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh calon

suami, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut , maka pihak wanita boleh

membatalkan pernikahan.31

Dalam hukum perkawinan nasional, tepatnya dalam Undang-

undang Perkawinan dinyatakan bahwa untuk dapat melaksanakan

perkawinan secara sah harus memenuhi syarat-syarat perkawinan.

Syarat-syarat perkawina menurut Undang-undang perkawinan No. 1

Tahun 1974 diatur dalam:

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai.

(2) Untuk melaksanakan perkawinan seorang yang belum mencapai

unur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang

tua.

30
Prof. Dr. H. Abdul Hadi, M.A., op.cit., h. 125-126
31
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Dar At-Tauji wa An-
Nashr Al-Islamiyah, 1999, h. 106
25

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,

maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang

tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka isin

diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluaraga yang

mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas

selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih

di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan

dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinaan atas permintaan prang tersebut dapat

memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang

tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu

dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.


26

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur

19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur

16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

kedua orang tua pihak pri maupun pihak wanita.

(3) Ketentua-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua

orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang

ini, berlaku juga dalam permintaan dispensasi tersebut ayat (2)

pasal ini denga tidak mengurang yang dikmaksud dalam pasal 6

ayat (6).

Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) Bab IV disebutkan secara

jeld rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan dalam KHI pasal

14 terdiri dari lima macam, yaitu:

1) Calon suami

2) Calon isteri

3) Wali nikah

4) Dua orang saksi

5) Ijab dan kabul.32

Dari penjelasan rukun dan syarat sahnya perkawinan dapat

disimpulkan bahwa rukun dan syarat sahnya perkawinan merupakan

32
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi umat Islam
Indonesia, Unissula Press, Semarang, 2015, h. 50
27

dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi maka

perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban

sebagai suami istri.

Para Imam madzhab pun juga menetapkan rukun dan syarat sahnya

perkawinan yang tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI). Sehingga antara pendapat imam madzhab dan

peraturan yang sudah diatur dalam KHI tidak memiliki perbedaan yang

berarti.

C. Prinsip-prinsip Perkawinan

Undang-undang perkawinan memberikan ketentuan-ketentuan yang

dapat dijadikan dasar atau prinsip dari suatu perkawinan yang akan

dilaksanakan dan mengandung segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan

zaman. Adapun prinsip-prinsip perkawinan sebagaia berikut:

1. Memenuhi dan melaksanakan perintah Agama.33

Perkawinan adalah sunnah Nabi, pada hakikatnya melaksanakan

perkawinan merupakan pelaksanaan dari ajaran Agama, dalam Firman

Allah SWT (QS. Annur: 32)

‫كَُُٕٕا‬َٚ ٌِْ‫ٍَ يٍِْ عِبَادِكُىْ َِٔإيَا ِئكُىْ إ‬ِٛ‫َايَٗ يِ ُْكُ ْى َٔانصَانِح‬َٚ‫َٔأَ َْكِحُٕا ا ْنؤ‬

ٌ‫ى‬ِٛ‫غْ ُِِٓىُ انَهُّ يٍِْ فَضِْهِّ َٔانَهُّ َٔاعِعٌ عَه‬ُٚ َ‫فُ َمشَاء‬

33
Abdul Rahman Ghozali. op.cit., h. 32
28

Artinya: dan nikahkanlah orang-orang yang masih


membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak
(menikah) dari hamba-hamba sahyamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha
Mengetahui.34

2. Kerelaan dan Persetujuan.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan

melangsukan sebuah perkawian ialah “Ikhtiyar” (tidak dipaksa) yang

ditandai dengan sebuah kata kerelaan calon istri dan calon suamiatau

persetujuan mereka berdua. Untuk sebuah kesempurnaan

diperlukanKhithbah atau peminangan adalah suatu langkah sebelum

mereka melangsungkan perkawinan, agar semua pihak dapat

mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan..

3. Perkawinan untuk Selamanya.

Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan dan

untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang.

Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan

adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.

Karena prinsip perkawinan dalam Islam itu untuk selamanya,

bukan untuk suatu masa tertentu saja, maka Islam tidak membenarkan:

a. Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu

perkawinan, seperti ucapan wali: “Aku nikahkan engkau dengan

34
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, PT. Karya Toha
Putra, Semarang, 2010, h. 494
29

anak saya Maimunah dengan mahar Mushaf Al-Qur‟an untuk

selama 3 bulan atau 1 tahun”, dan sebagainya.

b. Nikah Mut‟ah. Nikah mut‟ah hukumnya haram. Nikah mut‟ah

disebut juga “Ziwaj Muwaqqat” atau “Ziwaj Munqathi”, artinya

nikah yang ditentukan untuk suatu waktu tertentu dengan maksud

untuk dapat bersenang-senang melepaskan keperluan syahwatnya.

Perkawinan mut‟ah pernah dibolehkan dalam keadaan darurat,

yakni pada waktu peperangan Autas, dan pembukaan kota Mekah,

di mana pada waktu itu tentara Islam telah lama pisah dengan

keluarga, agar mereka tidak melakukan perbuatan terlarang, maka

diizinkan oleh Nabi melakukan nikah Mut‟ah. Kemudian Nabi

melarang untuk selama-lamanya.

c. Nikah Muhallil. Nikah Muhallil adalah nikah yang dilakukan oleh

seseorang terhadap wanita yang telah dicerai tiga kali oleh

suaminya yang pertama, setelah selesai iddahnya. Oleh suami

kedua, wanita itu dikumpuli dan dicerainya agar dapat kawin lagi

dengan suami pertama. Jadi dalam nikah muhallil itu ada unsur

perencanaan dan niat bukan untuk selamanya. Hukum perkawinan

itu haram dan akibatnya tidak sah.

d. Nikah Syighar. Nikah Syighar adalah seorang wali mengawinkan

putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki itu

mengawinkan putrinya dengan si wali tadi tanpa bayar mahar.


30

4. Suami Sebagai Penanggung Jawab Umum Dalam Rumah Tangga.

Sekalipun suami istri masing-masing mempunyai hak dan

kewajiban yang telah ditentukan, namun menurut ketentuan hukum

Islam, suami mempunyai kedudukan lebih dari istri, sesuai dengan

FirmanAllah dalam surat an-Nisa‟ ayat 34:

ٍ‫عهَى تَعْض‬
َ ْ‫عهَى ان ُِسَاءِ ِتًَا فَّضَمَ انَههُ تَعّْضَهُى‬
َ ٌَ‫انرِجَالُ قَىَايُى‬

ِ‫وَ ِتًَا أََْفَقُىا ِيٍْ أَيْىَانِهِىْ فَانصَانِحَاخُ قَاَِتَاخٌ حَافِظَاخٌ ِنهْغَ ْية‬

ٍَُ‫ٍ فَعِظُى ُهٍَ وَاهْجُرُوه‬


َ ‫ِتًَا حَفِظَ انَههُ وَانهَاتِي تَخَافُىٌَ َُشُى َز ُه‬

‫عهَيْ ِهٍَ سَثِيهًا‬


َ ‫فِي ا ْنًَّضَاجِعِ وَاضْرِتُى ُهٍَ َف ِإٌْ أَطَعَُْكُ ْى َفهَا تَثْغُىا‬

‫عهِيًا كَثِيرًا‬
َ ٌَ‫ِإٌَ انَههَ كَا‬
Artinya:”Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),
karena Allah telah melebihkan sebagaian mereka (laki-laki ) atas
sebagaian yang lain(perempuan ) dan karena mereka (laki-laki)telah
memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang
saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah ) dan menjaga diri
saat(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). [191].
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,[192]
hendekalah kamu beri nasehati kepada mereka dan tinggalkan lah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang ) dan (kalau perlu) pukullah
mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari Alasan untuk menyusahkannya Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar”.35

Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti

bahwa suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam

rumah tangga, karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Sudah

35
Departemen Agama RI, op.cit., h. 108
31

sewajarnyalah pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih

dari warga yang ada dalam rumah tangga. Disamping itu, pada

umumnya laki-laki dikaruniai jasmani lebih kuat dan lebih lincah serta

lebih cenderung banyak menggunakan pikiran daripada perasaan.

Maka kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan

menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka

dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau

mendasar.

Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut

Undang-undang Perkawinan, disebtkan di dalam penjelasan umumnya

sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual

dan material.

b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan

adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap

perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan

yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya

denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan

seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam


32

surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam

daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama

dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat

beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang

suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat

dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan

diputuskan oleh Pengadilan Agama.

d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu

harus masuk jiwa raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat

keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur,

karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah

kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang

lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon

suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang

lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan

laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas

umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-


33

Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik

bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16

tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini

menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk

memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19

Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di

depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan

Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam .

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun

dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian

segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama suami istri.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip-

prinsip perkawinan dalam Islam adalah:

a. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama

b. Kerelaan dan persetujuan

c. Perkawinan untuk selamanya

d. Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga


34

Jika dibandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut

Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat

dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

D. Tujuan Perkawinan

Ada beberapa tujuan disyariatkanya perkawinan atas umat Islam. Di

antaranya adalah

1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan

generasi yang akan datang.36 Hal ini terlihat dari isyarat ayat 1 surat

an-Nisa

‫َٓا انَُاطُ احَمُٕا سَبَكُىُ انَزِ٘ خَهَ َمكُىْ يٍِْ َفْظٍ َٔاحِ َذةٍ َٔخََهكَ يِ َُْٓا‬ُٚ َ‫َا أ‬ٚ

ٌَُٕ‫شًا ََِٔغَاءً َٔاحَمُٕا انَهَّ انَزِ٘ حَغَاءَن‬ِٛ‫جَٓا َٔبَّثَ يِ ُْ ًَُٓا سِجَانًا كَث‬
َ َْٔ‫ص‬

‫بًا‬ِٛ‫كُىْ َسل‬ْٛ َ‫ِبِّ َٔا ْنَؤسْحَاوَ إٌَِ انَهَّ كَاٌَ عَه‬


Artinya “Wahai manusia!. Bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu (adam), dan (Allah )
menciptakan pasanganya (hawa) dari (dirinya), dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta (172) dan (peliaharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu”.37

Keinginan untuk mrlanjutkan keturunan merupakan naluri atau

garizah umat manusia bahkan juga garizah bai makhluk hidup yang

diciptakan Allah . Untuk maksud itu Allah menciptakan bagi manusia

nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan

36
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, op.cit., 46
37
Departemen Agama RI, op.cit., h. 99
35

hidupnya untuk menyalurkan nafsu syaheat tersebut, untuk memberi

saluran yang sah dan legal bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut

adalah melalui lembaga perkawinan.

2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup

dan kasih sayan, hal ini terlihat dari Firman Allah SWT dalam surat

ar-Rum ayat 21:

َ‫جعَم‬
َ َٔ ‫َٓا‬ْٛ َ‫غكُُُٕا إِن‬
ْ َ‫غكُىْ َأصَْٔاجًا نِخ‬
ِ ُ‫َا ِحِّ أٌَْ خََهكَ َنكُىْ يٍِْ أََْف‬ٚ‫َٔيٍِْ آ‬

ٌَُٔ‫َخَ َف َكش‬ٚ ٍ‫َاثٍ نِمَْٕو‬ٚ‫ رَِنكَ نَآ‬ِٙ‫ح ًَتً إٌَِ ف‬


ْ َ‫ْ َُكُىْ يََٕ َد ًة َٔس‬َٛ‫ب‬

Artinya “Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan-Nya) ialah Dia


menciptakan untukmu pasang-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah
)bagi kaum yang berfikir”.38
Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan

perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi

lima yaitu:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan,

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayang.

c. Memenuhi pangilan agama, memelihara diri dan kejahatan dan

kerusakan.

38
Ibid., h. 572
36

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima

hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh

harta kekayaan yang halal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang

tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun1974 pasal 1

tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (ruamh tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.39 Untuk

meraih tujuan perkawinan ini dengan baik maka suami isteri perlu saling

membantu dan melngkapi agar masing-masing dapat mengmbangkan

keperibadianya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan

material.

Rumusan tujuan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam

sangat sederhana namun memiliki makana yang sangat luas dan dalam,

karena menggunakan term dan al-Qur’an yaitu mewujudkan rumah tangga

yang sakinah mawaddah dan rahmah (KHI pasal 3).

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa:

39
Undang-undang Perkawinan, op.cit., h. 5
37

a. Perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu

mendapatkan keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari

suami istri dan anak-anaknya.

b. Perkawinan itu untuk selama-lamanya, hal ini dapat kita tarik dari

kata “kekal”.

c. Perkawinan itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.

Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 bila kita rasakan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan

itu tidak hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat

adanya suatu pertautan batin antara suam dan istri yang ditujukan untuk

membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi

keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

E. Perkawinan Usia Muda

Persyaratan perkawinan pada pasal 6 ayat 2 Undang-undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan

suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapat ijin dari kedua orang tua. Pasal 6 tersebut menitik beratkan pada

izin silang orang tua kepada anak dan anak kepada orang tua atau

pengantinya. Ketentuan itu bertujuan agar suami dan isteri dapat membentuk

keluarga yang kekal dan bahagia, dan menyesuaikan hak asasi manusia

sebagaiman secara eksplisit diterangkan dalam penjelasan atas pasal Undang-

undang RI No. 1 tahun 1974, perkawinan harus disetuji oleh kedua belah
38

pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan.40

Namun dalam prakteknya di dalam masyarakat sekarang ini masih banyak

dijumpai sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan pada usia

muda .Perkawinan usia muda dalam hal ini dapat diartikan perkawinan dalam

usia yang masih muda yaitu sangat diawal waktu tertentu, dalam artian

keadaaan kehidupanya yang belum mapan secara finansial.

Jadi Undang-undang ini menyeimbangkan hak-hak orang tua dan hak-

hak anak. Orang tua yang akan mengawinkan anaknya harus meminta izin

kepadanya terlebih dahulu baik laki-laki maupun perempuan, calon mempelai

yang berusia kurang dari 21 tahun harus meminta izin:

(1) Orang tua

(2) Wali

(3) Orang yang memelihara

(4) Keluarga

(5) Orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas.

(6) Jika semua tidak ada maka izin dapat diperoleh dari Pengadilan Agama

setempat.41

Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun

sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi

perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan kuat dan baik, serta

siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara

laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu

40
Prof. Dr. H. Abdul Hadi, M.A., op.cit., h. 80
41
Ibid.,
39

menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional,

ekonomi dan sosial.

Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang

dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak apresiatif terhadap makna

nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan

sebuah pernikahan.

Anda mungkin juga menyukai