Anda di halaman 1dari 7

Nama : Zizie Athirah

NIM : 1964201016

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER :


ISLAM DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
1. Jelaskan ringkasan Kontruktivitisme dalam konteks Hubungan Internasional dari
perspektif Islam! (Minimal: 250 kata)
2. Jelaskan secara ringkas Realisme dalam konteks Hubungan Internasional dari
perspektif Islam! (Minimal: 250 kata)
3. Berikan deskripsi singkat terkait kontribusi dan pengaruh yang diberikan Ibnu
Khaldun dalam Hubungan Internasional! (Minimal: 500 kata)

JAWAB:
NOMOR 1 :

Hubungan Internasional dalam perspektif Islam memiliki unsur kajian yang berada
jauh dari bayang-bayang perspektif Barat secara kontemporer.

Sesuai dengan kajiannya, Hubungan Internasional dalam perspektif Islam lebih


mengarah pada pembelajaran Islam yang sangat meyakini bahwa suatu realisme memiliki dua
wujud, antara lain ‘alam as-syahadah atau wujud fisik serta ‘alam al-ghaib atau wujud
metafisik.

Berlainan dengan perspektif Islam, pada Hubungan Internasional perspektif Barat


lebih cenderung mengarah pada konsep rasionalitas dan empiris yang sama sekali tidak
meyakini adanya konsep metafisik sebagai landasan keilmuan yang mereka terapkan.

Landasan pemikiran Hubungan Internasional dalam perpektif Islam berasal dari ayat-
ayat yang termuat pada Al-Quran dan Al-Hadist. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran
bahwa wahyu dari Allah adalah sumber keilmuan yang sangat penting bagi
peradaban masyarakat.

Dalam Hubungan Internasional, perspektif Islam telah muncul dalam aktivitas yang
dinamakan al ‘adalah al ‘alamiyyah (keadilan universal) serta al Silm (konsep perdamaian)
ketika membangun hubungan kenegaraan secara bilateral dan multilateral dengan negara lain.
Landasan pemikiran ini terdapat pada Surah Al Mumtahanan ayat 8. Berdasarkan ayat
tersebut dapat diidentifikasikan bahwa konsep keadilan dapat membentuk suatu hubungan
negara yang aman.

Mampu menciptakan solidaritas masyarakat yang kuat agar terhindar dari persaingan
yang tidak sehat serta memupuk perhatian yang cenderung mengarah pada asas kebaikan dan
kebenaran dalam hubungan kenegaraan.

Hal tersebut menandakan bahwa Hubungan Internasional dalam Islam telah


dijalankan menggunakan metode yang berlandaskan epistemologi keilmuan Islam.

NOMOR 2 :

Realisme merupakan paham yang terbilang cukup klasik dalam ilmu Hubungan
Internasional. Realisme merupakan teori dasar pertama yang akan dibahas dalam konsep
worldview barat pada Hubungan Internasional. Berpacu pada kekuasaan mutlak sebuah
negara, Realisme dibangun berdasarkan 4 prinsip utama, yaitu: pandangan pesimis terhadap
sifat dasar manusia, sifat sistem internasional yang anarkis, kepentingan akan keamanan
nasional dan kebertahanan (national security and state survival), bahwa kepentingan politik
domestik dan internasional adalah berbeda. Konsep utama yang diusung oleh realisme sendiri
adalah statism, survival, self-help. Yang mana apabila diakumulasikan kembali, akan
bermuara pada satu statemen, yaitu balance of power.

Pemikiran Realisme berkembang dari beberapa tokoh besar diantaranya Thucydides,


Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, dan lainnya. Pada dasarnya, Realisme menghalalkan
apapun untuk mencapai kepentingan. Hingga perang dan konflik yang dirasa tak masalah
demi negara pun menjadi main idea oleh Realisme sendiri. Tak mengenal proses, dan fokus
pada hasil.

Namun, bagaimana Islam memandang Realisme sebagai satu paham dalam proses
berinteraksi antar agama? Islam memandang tidak ada yang salah dengan paham ini, karena
pada hakikatnya manusia diciptakan dengan watak yang egois dan ingin menang dengan
segala kepentingannya. Hal ini dibahas dalam Qur'an Al-Baqoroh ayat 30. Namun, yang
membedakannya adalah, seburuk-buruk manusia, ia pasti akan tetap tunduk pada satu
kekuatan yang dapat mengaturnya. Disini Islam menganggap tentang satu sebab tersebut
sebagai faktor selain dari hubungan dan unsur metafisik lainnya.

Realisme dengan anarkismenya sendiri masih membutuhkan satu organisasi untuk


menaunginya dalam proses pertukaran informasi demi kepentingannya, bagaimanapun ia
akan tunduk pada satu norma dasar dalam HI.

NOMOR 3 :

Ibnu Khaldun merupakan salah seorang pemikir dan cendekiawan dalam sejarah
perkembangan Islam. Kontribusi pemikiran yang disampaikannya diakui oleh banyak pihak
meskipun dunia telah mengalami rangkaian evolusi yang sangat panjang selama berabad-
abad.

Sangat beragam sebenarnya kontribusi pemikiran yang disampaikan oleh Ibnu


Khaldun, karena berbagai pemikirannya demi kemajuan Islam merupakan konsep pemikiran
yang bersifat multidisipliner. Ini tidaklah mengherankan, karena Ibnu Khaldun sendiri
merupakan cendekiawan Islam yang banyak belajar dalam berbagai hal semasa mudanya,
sehingga ilmu yang dimilikinya juga bersifat multidisiplin. Ini dapat terlihat dari rangkaian
pemikirannya yang dikenal dengan nama 8 kebijaksanaan yang terdiri dari :

– kekuatan penguasa tidak dapat diwujudkan kecuali dengan adanya


implementasi syariah.
– Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh para penguasa
– Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali yang datang dari
masyarakat.
– Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan
– Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan
– Pembangunan tidak dapat dicapai melalui keadilan
– Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi oleh Allah pada umat-Nya
– Penguasa dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk
mewujudkan keadilan.

Ibnu Khaldun juga berbicara tentang konsep bea dan cukai yang dilakukan oleh
negara. Akan tetapi, bea dan cukai yang dipungut oleh negara tersebut dilakukan ketika
negara sudah berada dalam waktu yang cukup lama. Dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa ”
biaya hidup negara bertambah, yang menyebabkan secara khusus biaya hidup raja juga
bertambah banyak sekali karena dia harus menghidupi para pengiringnya dan banyaknya
jumlah hadiah yang harus dia keluarkan. Pendapatan dari pajak tidak cukup untuk membayar
itu semua, yang menyebabkan negara harus meningkatkan pendapatannya”. Karena itulah,
maka ” raja selaku kepala negara harus menentukan pajak yang baru,yang ditarik dari proses
jual beli, dimana raja menentukan pajak dalam jumlah tertentu bagi harga yang berlaku di
pasar dan bagi barang-barang bagus yang ada di pintu kota ”. Ini merupakan salah satu
konsep Ibnu Khaldun dalam bidang bea cukai, sebagai bagian dari keuangan publik.

Yang juga sudah ada dalam pemikiran Ibnu Khaldun dan dituangkan dalam bukunya,
Muqaddimah dikatakan bahwa ” kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh raja berbahaya
bagi rakyat dan akan dapat merusak pendapatan dalam bidang perpajakan ”. Dalam bagian ini
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa negara dapat mengalami kesulitan dalam bidang keuangan
karena adanya kebiasaan hidup mewah yang dilakukan di dalam negara tersebut, serta adanya
budaya korupsi yang ada di negara tersebut. Akan tetapi, ada satu hal yang lebih berbahaya
bagi perkembangan negara, yaitu bila raja juga melakukan kegiatan perdagangan dengan
tujuan dan dalih untuk meningkatkan pendapatan dari dirinya. Ini dapat terjadi karena raja
merasakan bahwa hal itu merupakan hal yang dapat memperkaya dan memakmurkan
rakyatnya. Bila bisa dilakukan oleh rakyatnya, maka mengapa tidak bisa dilakukan untuk
dirinya juga, demikian yang ingin disampaikan oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya tersebut.
Dalam konteks negara modern Ibnu Khaldun dapat melihat hal ini sebagai kesalahan yang
besar, dan mendatangkan kerugian tidak hanya bagi rakyat, akan tetapi juga bagi negara
tersebut, yaitu diantaranya adalah bagipara pengusaha pada masa itu, yaitu para petani dan
pedagang saat itu sudah mendapatkan kesukaran untuk dapat membeli ternak serta berbagai
barang dagangan, karena rata-rata pada masa tersebut rakyat memiliki jumlah kekayaan yang
sama, atau bahkan hampir sama. Hal itu menyebabkan diantara mereka menjadi sulit untuk
berkompetisi. Akan tetapi, akan menjadi lebih sulit bagi mereka untuk berkompetisi bila raja
juga menjadi pemain dalam komoditi yang sama dengan yang mereka usahakan. Dengan kata
lain, Ibnu Khaldun ingin menyatakan bahwa bila penguasa sudah mulai ikut berbisnis yang
sama dengan yang dilakukan oleh rakyatnya, maka rakyat dalam menjalankan usahanya
mulai menjadi tidak tenang, dan banyak dihinggapi oleh perasaan khawatir karena bersaing
dengan kepala negara mereka. Kekhawatiran ini dikarenakan bahwa kepala negara dapat
melakukan bisnisnya dengan secara paksa melalui proses monopoli ( trading by monopoly
sistem ). Dalam konteks negara modern saat ini, apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun
banyak menjadi kenyataan. Yang dikhawatirkan sebagai akibat kejadian ini adalah para
pengusaha, dimana dalam buku Muqaddimah karyanya disebutkan akan menjadi apatis dalam
melaksanakan kegiatan perdagangan mereka. Sebagai akibat sikap apatis yang mereka
lakukan, kegiatan perekonomian di dalam negara tersebut menjadi melemah, berkurang dan
dampaknya akan mengakibatkan penurunan bagi sektor perpajakan. Dikatakan oleh Ibnu
Khaldun bahwa ” sesungguhnya sebagian besar pendapatan pajak datang dari para petani dan
pedagang. Bila para petani berhenti bekerja, dan para pedagang tidak lagi berdagang, maka
pendapatan pajak akan hilang sama sekali, atau akan mengalami kemerosotan yang
menakutkan. Bagi Ibnu Khaldun, seorang kepala negara seharusnya bisa membandingkan dan
melihat tentang hal ini dengan lebih jelas, bahwa keuntungan yang diperolehnya dari praktik
monopoli perdaganngan yang dilakukannya tidak akan sebanding dengan penurunan dari
nilai pajak untuk negara yang diperolehnya, seperti yang dikatakannya yaitu “ apabila raja
membandingkan pendapatan pajak yang diperoleh dengan keuntungan yang sedikit ini, dia
akan tahu bahwa keuntungan yang diperolehnya dari perdagangan dan pertanian amat kecil
bila dibandingkan dengan pendapatan pajak. Meskipun dia beruntung dalam berdagang,
sebenarnya dia kehilangan sejumlah besar pendapatan pajak, sejauh hubungannya dengan
jual beli “.

Selain itu, dalam bukunya Ibnu Khaldun juga menyampaikan pemikiran yang penting
mengenai kapan seharusnya seorang pemimpin Negara juga merasakan kemakmuran seiring
dengan berhasilnya pembangunan yang dilakukan di negaranya. Menurut Ibnu Khaldun,
seorang pemimpin negara selayaknya juga baru merasakan kemakmuran seiring dengan
semakin majunya usia sebuah negara. Ini akan terjadi seiring dengan semakin berdaulatnya
negara tersebut. Dengan kata lain, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa mustahil seorang
pemimpin negara akan langsung mendapatkan kemakmuran bila negara yang dipimpinnya
benar-benat dari bawah dan masih harus membangun. Hanya praktik korupsi dan
ketidakjujuran dalam siklus keuangan publik yang dapat menyebabkan hal itu terjadi.

Dalam bukunya yang terkenal, The Future Of Economic, An Islamic Perspective, Dr


M Umer Chapra menyampaikan tentang konsep keuangan public yang ada di dalam
pemerintahan Islam. Dikatakan oleh Umer bahwa pemerintahan Islam bukanlah sebuah
pemerintahan yang tidak hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat, akan tetapi juga
pemerintahan yang harus memainkan peranan yang efektif dan juga sesuai dengan
karakteristik yang ada di dalam masyarakat Islam, yaitu dengan adanya konsepsi moral dan
spiritual. Atas dasar itulah Islam sangat memandang pentingnya peranan yang harus
dijalankan oleh negara, termasuk pengaturan tentang keuangan publik yang ada di dalam
negara tersebut. Pada dasarnya konsep keuangan publik yang ada di dalam Islam adalah 2 hal
saja , yaitu :

– zakat
– pajak dan berbagai jenisnya.

Pada masa awal perkembangan dan kemajuan Islam di masa Rasulullah SAW, sudah
ada beberapa jenis pajak yang diberlakukan kepada umat Islam dan juga kepada umat non
Islam yang ada dan hidup di dalam pemerintahan Islam akan tetapi tetap memilih di dalam
agamanya yang lama. Hal ini juga berlanjut di dalam masa pemerintahan khalifah pengganti
Rasulullah SAW, yaitu para 4 khulafaur rasyidin. Akan tetapi, masalah wajib pajak di dalam
pemerintahan Islam ini menjadi kontroversi karena dalam perkembangan selanjutnya, akibat
sengketa politik pemerintahan Islam berubah menjadi kerajaan dan banyaknya penguasa yang
kejam serta berkembangnya praktik korupsi di dalam pemerintahan Islam. Sebagai akibat dari
itu semua, sebagian ulama di zaman dahulu lalu banyak yang melarang umat Islam untuk
membayar pajak hingga adanya perbaikan secara internal di dalam tubuh pemerintahan Islam
untuk kembali menjadi pemerintahan yang adil dan tidak korup [4]. Meskipun begitu, pada
dasarnya pendirian ini tidak bisa diteruskan, karena dengan begitu akan ada sebuah
pertanyaan mendasar yang muncul dari masalah ini, yaitu ” bagaimana pemerintah Islam bisa
membangundan melakukan pembiayaan yang sangat besar seiring dengan semakin
kompleksnya masalah yang dihadapinya, bila mereka sama sekali tidak diizinkan untuk
melakukan pemungutan pajak kepada rakyatnya”.

Atas dasar itulah, mayoritas ulama Islam pada akhirnya hanya menetapkan tiga
kriteria yang sangat penting dalam usaha pemungutan pajak pajak yang dipungut haruslah
digunakan untuk membiayai berbagai hal yang benar-benar dianggap perlu serta untuk
kepentingan masyarakat secara umum. Beban pajak yang dipungut sama sekali tidak boleh
terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan orang yang ada untuk memikulnya,
dan yang penting juga adalah beban pajak tersebut haruslah terdistribusi secara adil kepada
semua orang yang dianggap mampu untuk membayar pajak tersebut.

hasil dari pajak yang ada harus dikeluarkan dan dimanfaatkan oleh pemerintah dengan
hati-hati dan sesuai dengan tujuan awal dari pengumpulan pajak tersebut.
Dalam masalah perpajakan ini, sebagai bagian dari konsep keuangan publik, Ibnu
Khaldun memiliki kontribusi yang sangat besar di dalamnya. Dan yang paling penting adalah
bagaimana konsep ini kemudian terimplementasi secara nyata dalam dunia modern yang
sekarang melalui para pemikir barat yang kini dikenal dengan aliran Keynesian melalui
pemikiran ekonomi yang bertumpu pada kebijakan fiscal dan juga “ Sisi Penawaran “.
Meskipun begitu sebelum pembahasan tentang masalah keuangan publik ini, maka dibahas
pula tentang konsep dan tujuan kebijakan ekonomi yang ada didalam suatu negara sebagai
bagian dari pembangunan yang merupakan perwujudan peran pemerintah
dalam perekonomian.

Anda mungkin juga menyukai