Anda di halaman 1dari 149

PERBEDAAN TINGKAT KEPARAHAN NEUROPATI PERIFER SEBELUM

DAN SESUDAH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA PENDERITA


DIABETES MELITUS DI LAKESLA DRS. MED. R. RIJADI
SASTROPANOELAR, PHYS SURABAYA

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh:
Reny Citra Pratiwi
NIM: 165070201111024

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAN BRAWIJAYA
MALANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS AKHIR

PERBEDAAN TINGKAT KEPARAHAN NEUROPATI PERIFER SEBELUM DAN


SESUDAH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA PENDERITA DIABETES
MELITUS DI LAKESLA DRS. MED. R. RIJADI SASTROPANOELAR, PHYS
SURABAYA

Oleh:
Reny Citra Pratiwi
165070201111024

Dipertahankan di depan penguji


Pada tanggal : 14 Juli 2021
Dan dinyatakan memenuhi syarat

Menyetujui:

Penguji-I, Penguji-II/Pembimbing-I,

Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp., M.Kes. Ns. Suryanto, S.Kep., M.Nurs., PhD.
NIP. 197702262003122001 NIP. 198011152008121001

Penguji-III/Pembimbing-II, Pembimbing-III/Klinis,

Ns. Ikhda Ulya, S.Kep., M.Kep. Letkol Laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes.
NIP. 2012088505172001 NRP. 13689/P

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan

Dr. Yati Sri Hayati, S.Kp., M.Kes.


NIP. 197710052002122002

i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang betandatangan di bawah ini:

Nama : Reny Citra Pratiwi

NIM : 165070201111024
Program Sudi : Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil-alihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya. Apa bila
dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan,
maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Malang, 8 Juli 2021


Yang membuat pernyataan

Reny Citra Pratiwi


NIM. 165070201111024

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

member rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan

Judul “Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum dan Sesudah

Terapi Oksigen Hiperbarik pada Penderita Diabetes Melitus di Lakesla Drs. Med.

R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya”.

Ketertarikan penulisan topik ini didasari fakta bahwa terapi oksigen

hiperbarik telah banyak digunakan sebagai pengobatan diabetes melitus

sehingga penulis ingin menggali lebih dalam terkait kebermanfaatan terapi

tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat keparahan

neuropati perifer baik sebelum maupun sesudah terapi oksigen hiperbarik.

Dengan selesainya penulisan Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan

terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. dr. Wisnu Barlianto, MSi Med, SpA(K) sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah memberikan penulis

kesempatan menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

2. Dr. Asti Melani Astari, S.Kep., M.Kep., Sp.Mat., selaku Ketua Jurusan Ilmu

Keperawatan, Fakultas kedokteran, Universitas Brawijaya Malang.

3. Dr. Yati Sri Hayati, S.Kp., M.Kes sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan yang telah membimbing penulis menurut ilmu di Program Studi

Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

4. Ns. Suryanto, S.Kep., M.Nurs., PhD, sebagai pembimbing pertama yang

dengan sabar telah membimbing dan memberikan bantuan dalam

iii
penyusunan tugas akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

ini.

5. Ns. Ikhda Ulya, S.Kep., M.Kep, sebagai pembimbing kedua yang dengan

sabar telah membimbing dan memberikan bantuan dalam penyusunan tugas

akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Dr. Titut Harnanik, dr. M. Kes, sebagai pembibing ketiga/ klinik yang dengan

sabar telah membimbing dan memberikan bantuan dalam penyusunan tugas

akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Ns. Ika Setyo Rini, S.Kep., M.Kep, selaku dosen PA dan berperan serta

dalam pembuatan perjanjian kerja sama.

8. Segenap anggota Tim Pengelola Tugas Akhir FKUB, yang telah membantu

melancarkan urusan administrasi, sehingga penulis dapat melaksanakan

penulisan proposal Tugas Akhir dengan lancar.

9. Kolonel Laut (K) dr. Sapta Prihartono, Sp.B., Sp.BA, yang saat persentasi

proposal menjabat sebagai kepala Lakesla serta seluruh staff yang terlibat.

10. Keluarga yaitu Ayah, Kakek dan Nenek, Tante Ana; sahabat tercinta yaitu

Unyati, Amar, Kak Cyntia, Nasrul Anas, Gioni Arthur, Trisno; serta Kapten

Elfan, dr. Bayu, Kls. Erdhy Leba, Lettu (Inf) Pranoto.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang

membangun. Akhrinya, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat.

Malang, 8 Juli 2021

Peneliti

iv
ABSTRAK

Pratiwi, Reny Citra. 2021. Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer


Sebelum dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik pada Penderita
Diabetes Melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys
Surabaya. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) Ns. Suryanto,
S.Kep., M.Nurs., PhD. (2) Ns. Ikhda Ulya, S.Kep., M.Kep. (3) Dr. Titut
Harnanik, dr. M. Kes.

Komplikasi diabetes melitus yang paling banyak terjadi adalah neuropati


perifer. Neuropati perifer merupakan kerusakan yang terjadi pada saraf otonom,
sensorik, dan motorik. Salah satu terapi modern untuk diabetes melitus adalah
terapi oksigen hiperbarik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan
tingkat keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen
hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
Sastropanoelar, Phys Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode analisis
komparatif. Terapi diberikan sebanyak 10 kali; 2,4 ATA; 90 menit. Instrumen
yang digunakan adalah lembar pemeriksaan neuropati perifer yang terdiri dari
pemeriksaan saraf otonom, sensorik, motorik yang diadopsi dari MNSI (Michigan
Neuropathy Screening Instrument) dan MDNS (Michigan Diabetic Neuropathy
Score). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive
sampling. Dari 6 responden, 5 diantaranya memenuhi kriteria inklusi. Uji analisa
menggunakan Paired T-Test untuk data berdistribusi normal dan Wilcoxon
Signed-Rank Sum Test untuk data berdistribusi tidak normal. Hasil uji analisa
didapatkan perbedaan yang signifikan pada neuropati perifer sacara keseluruhan
(p 0,0028). Hasil berdasarkan masing-masing sub pemeriksaan didapatkan
perbedaan yang signifikan pada saraf otonom (p 0,0326); perbedaan yang
signifikan pada saraf sensorik (p 0,0312); dan perbedaan yang tidak signifikan
pada saraf motorik (p 0,1875). Dengan demikian terapi oksigen hiperbarik dapat
dijadikan sebagai terapi alternatif untuk meringankan gejala neuropati perifer.

Kata Kunci: Terapi Oksigen Hiperbarik, Neuropati Perifer, Diabetes Melitus

v
ABSTRACK

Pratiwi, Reny Citra. 2021. Differences in Severity of Peripheral Neuropathy


Before and After Hyperbaric Oxygen Therapy in Diabetes Mellitus
Patients at Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.
Final Assignment, Nursing Program, Faculty of Medicine, Brawijaya
University. Supervisor: (1) Ns. Suryanto, S.Kep., M.Nurs., PhD. (2) Ns.
Ikhda Ulya, S.Kep., M.Kep. (3) Dr. Titut Harnanik, dr. M.Kes

The most common complication of diabetes mellitus is peripheral


neuropathy. Peripheral neuropathy is damage to the autonomic, sensory, and
motor nerves. One of the modern for diabetes is hyperbaric oxygen therapy. This
study was conducted to determine the differences in severity of peripheral
neuropathy before and after hyperbaric oxygen therapy in diabetes mellitus
patients at Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya. This
study used a comparative analysis design. Therapy was give 10 times; 2,4 ATA;
90 minutes. The instrument used is a peripheral neuropathy examination sheet
consisting of autonomic, sensory, motor nerve examinations adopted from the
MNSI (Michigan Neuropathy Screening Instrument) and MDNS (Michigan
Diabetic Neuropathy Score). The sampling technique in this research is
purposive sampling. Of the 6 respondents, 5 of them met the inclusion criteria.
Analysis test used Paired T-Test for data with normal distribution and Wilcoxon
Signed-Rank Sum Test for data with abnormal distribution. The results of the
analysis test showed a significant difference in overall peripheral neuropathy (p
0.0028). The results based on each sub-examination showed significant
differences in autonomic nerves (p 0.0326); significant difference in sensory
nerves (p 0.0312); and a non-significant difference in motor nerves (p 0.1875).
Thus hyperbaric oxygen therapy can be used as an alternative therapy to relieve
symptoms of peripheral neuropathy.

Keywords: Hyperbaric Oxygen Therapy, Peripheral Neuropathy, Diabetes


Mellitus

vi
DAFTAR ISI

Judul ........................................................................................................ .... i


Halaman Pengesahan .................................................................... ............. i
Pernyataan Keaslian Tulisan ............................................. ....................... ii
Kata Pengatar.................................................................... ....................... iii
Abstrak ............................................................................. ........................ v

Abstrack ............................................................................ ....................... vi


Daftar Isi ............................................................................ ...................... vii

Daftar Tabel ....................................................................... ...................... xi


Daftar Gambar ................................................................... ...................... xii

Daftar Lampiran ................................................................ ...................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................ ........................ 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................... ........................ 1


1.3 Tujuan Penelitian ........................................................ ........................ 6

1.3.1 Tujuan Umum ................................................... ........................ 6


1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................... .... 6
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... .... 7
1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................................... ... 7
1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................... ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus ……………………………………………..................... 8


2.1.1 Definisi ……………………………………………......................... . 8

2.1.2 Etiologi ……………………………………………......................... . 8


2.1.3 Faktor Risiko ……………………………………………................ 11

2.1.4 Klasifikasi …………………………………………….................... . 11


2.1.5 Patofisiologi ………………………………………….................... .. 12
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik ………………………………………..... . 14

2.1.7 Manifestasi Klinis ……………………………………………......... . 16


2.1.8 Penatalaksanaan …………………………………………….......... 17

2.1.9 Komplikasi …………………………………………….................. .. 19


2.2 Neuropati Perifer …………………………………………….................. .. 20

2.2.1 Definisi …………………………………………….......................... 20


2.2.2 Etiologi …………………………………………….......................... 20
2.2.3 Faktor Risiko …………………………………………….............. .. 20
2.2.4 Klasifikasi …………………………………………….................. ... 21
2.2.5 Patofisiologi ……………………………………………............... ... 22
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik ……………………………............... ..... 24
2.2.7 Manifestasi Klinis …………………………………………….......... 33

2.2.8 Penatalaksanaan …………………………………………….... ..... 34


2.3. Terapi Oksigen Hiperbarik …………………………………………... ..... 36

2.3.1 Definisi …………………………………………….......................... 36


2.3.2 Teori Dasar ……………………………………………................... 37

2.3.3. Klasifikasi ……………………………………………............... ..... 38


2.3.4 Indikasi …………………………………………….................... ..... 39

2.3.5 Kontraindikasi …………………………………………….……....... 30


2.3.6 Efek Samping …………………………………………….…….. ..... 41
2.3.7 Prosedur Pelaksanaan ……………………………………...... ...... 42

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep ………………………………............................. ........ 44


3.2 Hipotesis ...................................................................... ...................... 45

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian …………………………………..….……….... ..... 46

4.2 Populasi dan Sampel ……………………………………..…….......... ..... 47

viii
4.3 Variabel penelitian …………………………………………................ ..... 48

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………..…......... ..... 48


4.5 Bahan dan Alat/ Instrumen Penelitian ……………………….......... ....... 49

4.5.1 Instrumen Penelitian ……………………………………......... ...... 49


4.5.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen …………………….. ...... 50
4.6 Definisi Operasional …………………………………………............ ...... 51
4.7 Prosedur Penelitian/ Pengumpulan Data ……………………....... . ..... 55
4.7.1 Prosedur Penelitian ………………………………………....... ...... 55
4.7.2 Pengumpulan Data ......................................................... .......... 57
4.7.3 Prinsip Etik ……………………………………..……................. .... 58
4.8 Analisis Data ………………………………………….......................... ... 60

BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

5.1 Data Karakteristik Responden ..................................................... ........ 62


5.2 Data Univariat ............................................................. ..................... 64
5.3 Data Bivariat ............................................................... ..................... 69
5.3.1 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum
dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................... ...................... 69
5.3.2 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik Sebelum
dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................... ...................... 70
5.3.3 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ................................. ...................... 71
5.3.4 Analisis Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum
dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................... ...................... 72

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan


Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ................................. ..................... 74
6.2 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ................................. ..................... 77

ix
6.3 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ................................. ..................... 79
6.4 Analisis Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum
dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................... ..................... 81

6.5 Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 84

BAB VII PENUTUP


7.1 Kesimpulan .................................................................................. ........ 85

7.2 Saran ........................................................................................... ........ 85

Daftar Pustaka …………………………………………................................. 87

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Etiologi Diabetes Melitus ........................................................... 9

Tabel 2.2 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes

Melitus ..................................................................................................... 15
Tabel 2.3 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes

Melitus Gestasional ………………………………........................................ 15


Tabel 2.4 Obat Oral Diabetes Melitus …………...............………….... ....... 17

Tabel 2.5 Daftar Obat Neuropati Perifer pada Diabetes …………..... ........ 35
Tabel 2.6 Nilai Tekanan Berdasarkan Satuan Tertentu …………....... ....... 36

Tabel 4.1 Rincian Durasi Pengambilan Data ................................... ......... 58

Tabel 5.1 Data Karakteristik Responden .................................................. 63


Tabel 5.2 Frekuensi Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 64
Tabel 5.3 Frekuensi Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 66

Tabel 5.4 Frekuensi Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan


Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 67
Tabel 5.5 Frekuensi Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 68

Tabel 5.6 Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan


Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 70
Tabel 5.7 Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 71
Tabel 5.8 Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 72

Tabel 5.9 Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati PeriferSebelum dan


Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................................ 73

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Presentasi Klinis Neuropati Perifer ....................... .... 21

Gambar 2.2 Mekanisme Neuropati pada Diabetes …………................. .... 24

Gambar 2.3 Gejala Kerusakan Otonom ..............................…………... ..... 25


Gambar 2.4 Perubahan Bentuk Kaki .................................………....... ...... 26

Gambar 2.5 Pemeriksaan Kekuatan Otot Kaki …………....…………...... ... 26


Gambar 2.6 Pergerakan Monofilamen ..................................................... . 28

Gambar 2.7 Titik Area Pemeriksaan Monofilamen ............................... ..... 28


Gambar 2.8 Neurothesiometer ............................................................... ... 29

Gambar 2.9 Pemeriksaan Menggunakan Garpu Tala ........................... .... 30


Gambar 2.10 Pemeriksaan Refleks Ankle Kaki ......................................... 31

Gambar 2.11 Pemeriksaan Refleks Peregangan Otot ............................ .. 33


Gambar 3.1 Kerangka Konsep .......................................................... ........ 44
Gambar 4.1 Prosedur Penelitian ............................................. ....... ...........55

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Lembar Penjelasan Penelitian ........................... ................... 100

Lampiran II Pernyataan Persetujuan untuk Berpartisipasi dalam Penelitian


…………...............……...……...…........... ................................................ 103
Lampiran III Lembar Pemeriksaan Karakteristik Responden ................. . 104

Lampiran IV Lembar Pemeriksaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer


............................. ................................................................................... 106

Lampiran V Prosedur Pemeriksaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer


.......................... ...................................................................................... 111
Lampiran VI Prosedur Terapi Oksigen Hiperbarik ................................ ... 118
Lampiran VII Surat Keterangan Kelaikan Etik .......................................... 119

Lampiran VIII Surat Izin Penelitian ........................................................ .. 120

Lampiran IX Surat Keterangan Sudah Menyelesaikan Penelitian ........ ... 121

Lampiran X Tabulasi Hasil Penelitian ..................................................... 122

Lampiran XI Hasil Uji Data ..................................................................... 130

Lampiran XII Dokumentasi ..................................................................... 135

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus adalah penyakit gangguan metabolik akibat pankreas

tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin

yang diproduksi secara efektif akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa

dalam darah (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Estimasi penderita diabetes

melitus di dunia mengalami peningkatan. Pada tahun 2013, penderita diabetes

melitus sebesar 382 juta jiwa (International Diabetes Federation, 2013). Pada

tahun 2017 meningkat menjadi 425 juta jiwa (International Diabetes Federation,

2018). Pada tahun 2019, peningkatan tersebut terjadi lagi menjadi sebesar 463

juta jiwa (International Diabetes Federation, 2019).

Prevalensi diabetes melitus di Asia Tenggara juga mengalami

peningkatan. Pada tahun 2013, penderita diabetes melitus sebesar 72 juta jiwa

(International Diabetes Federation, 2013). Pada tahun 2017 sebesar 82 juta jiwa

(International Diabetes Federation, 2018). Pada tahun 2019, meningkat menjadi

88 juta jiwa (International Diabetes Federation, 2019). Peningkatan tersebut juga

terjadi di Indonesia. Berdasarkan riset kesehatan dasar, prevalensi diabetes

melitus pada penduduk usia 15 tahun sebesar 1,5% dari 722.329 sampel pada

tahun 2013 (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Jumlah tersebut meningkat

menjadi 2,0% dari 713.783 sampel pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan

RI, 2018).

Jawa Timur menduduki peringkat kelima dengan jumlah penderita

diabetes melitus terbanyak di Indonesia pada tahun 2018. Berdasarkan data

1
2

Riskesdas (2018), prevalensi diabetes melitus pada penduduk yang berusia 15

tahun sebesar 2,6% dari 113.045 sampel. Sedangkan prevalensi diabetes

melitus di keseluruhan usia sebesar 2,02% dari 151.878 sampel. Surabaya

menjadi kota yang menduduki peringkat ketiga dengan jumlah prevalensi

penderita diabetes melitus terbanyak di Jawa Timur (Kementerian Kesehatan RI,

2018). Meski menduduki peringkat ketiga namun jumlah tersebut telah

mengalami peningkatan sebesar 5% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah

tersebut didominasi oleh rentang usia 15-59 tahun dengan jumlah penderita

sebanyak 57 ribu (Istiawan, 2019). Peningkatan tersebut dimungkinkan oleh

peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-

kota besar (Decroli, 2019).

Peningkatan jumlah penderita diabetes melitus menjadi salah satu

ancaman kesehatan global (Soelistijo et al., 2015). Hal tersebut dikarenakan

diabetes melitus memiliki dampak terhadap produktivitas dan dapat menurunkan

sumber daya manusia (Decroli, 2019). Selain itu diabetes melitus juga sering

menimbulkan komplikasi (Tjokroprawiro, 2000 dalam Huda, 2010). Dari penelitian

sebelumnya, yang melibatkan 1.785 responden didapatkan beberapa komplikasi

yang muncul pada penderita diabetes melitus diantaranya 7,3% nefropati, 16%

komplikasi makrovaskuler, 42% retinopati, 63,5% mengalami neuropati perifer.

Dengan demikian salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita

diabetes melitus adalah neuropati perifer (Soewondo et al., 2010).

Neuropati perifer merupakan komplikasi diabetes melitus berupa

kerusakan saraf otonom, sensorik, dan motorik. (Suyanto, 2017; Malazy et al.,

2011). Kerusakan saraf otonom menyebabkan vasodilatasi dan kehilangan

integritas kulit sehingga memicu invasi mikrobial. Kerusakan saraf sensorik


3

menyebabkan hilangnya sensasi terhadap rangsang nyeri, tekanan, dan panas.

Kerusakan saraf motorik menyebabkan kelemahan otot, atrofi, dan paresis

(Decroli, 2019). Kondisi neuropati perifer perlu diperhatikan karena dapat

menimbulkan berbagai masalah diantaranya frekuensi jantung dapat meningkat,

ulkus kaki, disfungsi seksual, impotensi dan gangguan sistem saraf lain termasuk

retinopati diabetik (Smeltzer, 2013 dalam Syafi’i, 2018). Berdasarkan penelitian

yang dilakukan pada 176 pria dan 208 wanita yang menderita diabetes melitus

didapatkan hasil bahwa jenis neuropati perifer yang paling banyak terjadi yaitu

polineuropati simetris distal yakni sebanyak 48,2%. Polineuropati simetris distal

merupakan kerusakan saraf pada ekstermitas yang biasanya bersifat simetris

(Jarso et al., 2011).

Neuropati perifer disebabkan oleh dua faktor yaitu perubahan

metabolisme dan faktor iskemik. Perubahan metabolisme berupa resistensi

insulin sehingga menyebabkan hiperglikemia (Creager et al., 2003 dalam Silih

2012). Sedangkan iskemik ditimbulkan oleh hiperglikemia yang dapat

menyebabkan hipoksia endoneurol sehingga transportasi akson menjadi rusak

dan konduksi akson pun terganggu. Akibatnya penderita diabetes melitus

mengalami penurunan sensibilitas terhadap rangsang (Rajeev, 2012 dalam

Ardiyati, 2014). Dengan demikian penderita diabetes melitus memerlukan

modalitas terapi yang sangat dinamis (Decroli, 2019). Salah satu terapi modern

dan terkini adalah terapi oksigen hiperbarik (Usiska, 2015; Zaetun et al., 2015).

Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi di mana penderita harus berada

dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen 100%

pada tekanan udara lebih dari 1 ATA (Zaetun et al., 2015). Terapi oksigen

hiperbarik merupakan salah satu terapi adjuvan yang efektif bagi penderita
4

diabetes melitus. Selain dapat meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan

kadar gula darah, dan meningkatkan perfusi perifer; terapi oksigen hiperbarik

juga efektif dalam meningkatkan proses penyembuhan ulkus diabetik serta

meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes melitus (Usiska, 2015; Sarabhai

et al., 2019; Peni, 2017; Huda, 2010; Dismalyansa, 2019).

Salah satu penyedia terapi oksigen hiperbarik di Kota Surabaya adalah

Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL (LAKESLA) Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys yang telah menjadi rujukan nasional terapi oksigen

hiperbarik sejak tahun 2017 (KOMINFO Jatim, 2017). Protokol umum terapi di

Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys ialah dengan memberikan

100% oksigen dan tekanan berkisar 1,5 hingga 2,4 ATA serta durasi waktu

antara 60-120 menit. Pemberian oksigen diberikan dalam interval waktu setiap

30 menit, masker pasien akan dilepas selama 5 menit (Djauw, 2015). Rata-rata

jumlah terapi minimal setiap pasien adalah 10 kali (1 sesi) yang dilakukan secara

berkesinambungan sebanyak 1 kali per hari selama 10 hari. Sedangkan jumlah

terapi maksimal tergantung pada hasil pemeriksaan pasien setelah terapi

(Lakesla 2009 dalam Dismalyansa 2019). Rata-rata jumlah pasien terapi berkisar

60 orang per hari dengan 70% diantaranya merupakan penderita diabetes

melitus (Ginanjar, 2019). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dengan

pemeriksaan monofilamen pada hari kamis, 25 Juni 2020 dari 8 orang penderita

diabetes melitus yang sedang menjalankan terapi oksigen hiperbarik didapatkan

hasil bahwa 4 diantaranya mengalami neuropati perifer dengan rincian 1

perempuan dan 3 laki-laki.

Secara teori, terapi oksigen hiperbarik dapat memperbaiki fungsi neuron

yang terganggu akibat iskemik/ hipoksia (Jain, 2017). Hal tersebut didukung oleh
5

hasil pada beberapa penelitian sebelumnya diantaranya penelitian berjudul Effect

of Hyperbaric Oxygenation on Normal and Chronic Streptozotocin Diabetic

Peripheral Nerves yang menggunakan metode true experiment dengan jumlah

terapi sebanyak 20 kali. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil yang signifikan

(Low et al., 1988). Penelitian lain berjudul A Study of Peripheral Neural

Conduction, Motor, and Sensory, in diabetic patients treated with hyperbaric

oxygenationI dengan metode quasi eksperimen. Dari penelitian tersebut

didapatkan hasil yang signifikan (Viera et al., 1999). Penelitian selanjutnya

berjudul Effect of Hyperbaric Oxygen on Peripheral Nerve Conduction Velocity in

Diabetics yang menggunakan metode true experiment dengan jumlah terapi

sebanyak 30 kali. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil yang signifikan (Wang

et al., 2005). Penelitian lain berjudul Does Hypebaric Oxygen Therapy Have a

Role in Diabetic Autonomic Neuropathy yang menggunakan metode quasi

eksperimen dengan jumlah terapi sebanyak 8-20 kali. Dari hasil penelitian

tersebut didapatkan hasil yang signifikan (Alnjadat et al., 2015). Dalam penelitian

ini menggunakan 10 kali terapi sebagai protokol terapi sesuai dengan standart

minimal yang berlaku di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys.

Berdasarkan wawancara terhadap beberapa pasien diabetes melitus yang

menjalani terapi oksigen hiperbarik di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys Surabaya, didapatkan hasil bahwa pasien mengalami

perbaikan kondisi seperti merasakan sensasi nyeri pada daerah yang

sebelumnya mati rasa serta ukuran ulkus kaki yang makin mengecil. Bahkan

salah satu pasien menceritakan pengalamannya yang tidak jadi diamputasi

setelah menjalani terapi oksigen hiperbarik. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan penurunan tingkat


6

keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik pada

penderita diabetes melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys

Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan tingkat keparahan neuropati perifer sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla

Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui adanya perbedaan tingkat keparahan neuropati perifer sebelum

dan sesudah terapi oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di

Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis perbedaan tingkat kerusakan saraf otonom sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla

Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.

2. Menganalisis perbedaan tingkat kerusakan saraf sensorik sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla

Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.

3. Menganalisis perbedaan tingkat kerusakan saraf motorik sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla

Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.


7

4. Menganalisis perbedaan tingkat keparahan neuropati perifer sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla

Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk keilmuwan di bidang

kesehatan kelautan bahwa terapi oksigen hiperbarik sebagai pengobatan cedera

penyelaman memiliki manfaat lain dalam bidang keperawatan medikal bedah

yaitu dapat meringankan gejala neuropati perifer pada penderita diabetes

melitus.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai terapi alternatif dalam

meringankan gejala neuropati perifer pada penderita diabetes melitus.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus adalah gangguan metabolik yang menyebabkan

hiperglikemia akibat dari ketidakadekuatan produksi insulin, ketidakadekuatan

sekresi insulin, atau kombinasi keduanya (Soelistijo et al., 2015; Hardika, 2018).

Diabetes melitus juga disebut sebagai penyakit kencing manis (Wirawan, 2017).

2.1.2 Etiologi

Diabetes melitus disebabkan karena tubuh kekurangan insulin baik

secara absolut maupun relatif. Pada penderita diabetes tipe 1 terjadi defisiensi

insulin secara absolut. Sedangkan pada diabetes tipe 2 terjadi akibat resisten

insulin (Decroli, 2019). Pada diabetes melitus gestasional, hiperglikemia

disebabkan oleh peningkatan produksi hormon antagonis insulin pada saat

kehamilan. Hormon tersebut diantaranya progesteron, estrogen, human placenta

lactogen, dan kortisol. Hal tersebut mengakibatkan resistensi insulin yang

kemudian meningkatkan kadar gula darah pada ibu hamil (NIDDK, 2014 dan

ADA, 2015 dalam Sari, 2018; Kusnanto 1999 dalam Rahmawati et al., 2016).

Pada diabetes melitus tipe lainnya bisa disebabkan karena cacat genetik dalam

aksi insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, penggunaan obat dan

bahan kimia tertentu, infeksi, diabetes yang dimediasi oleh kekebalan tubuh,

sindrom genetik. Etiologi diabetes melitus berbeda-beda tergantung dari tipe

8
9

diabetes melitus. Berbagai macam etiologi diabetes melitus dapat dilihat pada

tabel 2.1 berikut (American Diabetes Association, 2011).

Tabel 2.1 Etiologi Diabetes Melitus

Tipe Diabetes Melitus Etiologi


Diabetes melitus tipe 1 Kerusakan sel β, biasanya 1. Immune mediated
menyebabkan defisiensi insulin 2. Idiopatik
absolut

Diabetes melitus tipe 2 1. Dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif.
2. Dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
Diabetes melitus tipe lainnya Kerusakan genetik fungsi sel β 1. Kromosom 12, HNF-1α
(MODY3)
2.Kromosom 7, glukokinase
(MODY2)
3. Kromosom 20, HNF-4α
(MODY1)
4. Kromosom 13, faktor
promotor insulin faktor-1 (IPF-
1; MODY4)
5. Kromosom 17, HNF-1β
(MODY5)
6. Kromosom 2, NeuroD1
(MODY6)
7. DNA mitokondria
8. Lainnya

Cacat genetik dalam aksi 1. Resistensi insulin tipe A


insulin 2. Leprechaunism
3. Sindrom Rabson-
Mendenhall
4. Diabetes lipoatrofik
5. Lainnya

Penyakit eksokrin pankreas 1. Pankreatitis


2. Trauma / pankreatektomi
3. Neoplasia
4. Cystic fibrosis
5. Hemochromatosis
6. Pankreatopati fibrokalkulus
7. Lainnya
10

Tipe Diabetes Melitus Etiologi

Diabetes melitus tipe Endokrinopati 1. Akromegali


lainnya 2. Sindrom Cushing
3. Glucagonoma
4. Pheochromocytoma
5. Hipertiroidisme
6. Somatostatinoma
7. Aldosteronoma
8. Lainnya
Obat-obatan dan bahan kimia 1. Vaksin
2. Pentamidine
3. Asam nikotinat
4. Glukokortikoid
5. Hormon tiroid
6. Diazoksida
7. agonis β-adrenergik
8. Tiazid
9. Dilantin
10. γ-Interferon
11. Lainnya
Infeksi 1. Rubella bawaan
2. Sitomegalovirus
3. Lainnya

Diabetes melitus tipe Diabetes yang dimediasi dari 1. Sindrom "Stiff-man"


kekebalan tubuh 2. Antibodi reseptor anti-insulin
lainnya
Sindrom genetik lainnya 1. Down syndrome
2. Sindrom Klinefelter
3. Sindrom turner
4. Sindrom Wolfram
5. Ataksia Friedreich
6. Huntington chorea
7. Sindrom Laurence-Moon-
Biedl
8. Distrofi miotonik
9. Porfiria
10. Sindrom Prader-Willi
11. Lainnya

Diabetes melitus gestasional


(American Diabetes Association, 2011)
11

2.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko diabetes melitus diantaranya adalah faktor genetik berupa

adanya riwayat keluarga yang pernah menderita diabetes melitus. Selain itu

karakteristik demografi seperti jenis kelamin, usia, dan etnis (Trisnawati &

Setyorogo, 2012). Berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih beresiko mengidap

penyakit diabetes melitus karena fisik wanita mempunyai peluang peningkatan

indeks masa tubuh yang lebih besar. Kondisi hormonal wanita membuat

distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi sehingga wanita beresiko

menderita diabetes melitus tipe 2 (Irawan, 2010). Sedangkan berdasarkan

kelompok usia ≥ 45 tahun lebih berisiko menderita diabetes melitus. Etnis Afrika-

Amerika, Latin, penduduk pribumi Amerika, Asia-Amerika, kepulauan Pasifik juga

berisiko lebih tinggi terkena diabetes melitus (Trisnawati & Setyorogo, 2012).

Faktor lainnya yaitu terkait gaya hidup seperti obesitas, aktivitas fisik, diet, dan

stres (Eisenbarth & Buse, 2011).

2.1.4 Klasifikasi

Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi diabetes melitus tipe 1, diabetes

melitu tipe 2, diabetes melitus gestasional dan diabetes tipe lain (Decroli, 2019;

American Diabetes Association, 2017; Soelistijo et al., 2015). Diabetes melitus

tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga menyebabkan

kekurangan prooduksi insulin dalam tubuh. Pada umumnya insufiensi insulin

yang terjadi bersifat absolut sedangkan diabetes melitus tipe 2 disebabkan

karena adanya resistensi insulin dan defisiensi relatif dari sekresi insulin (Decroli,

2019).
12

Diabetes melitus gestasional merupakan diabetes yang muncul pada saat

kehamilan. Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa

yang pertama kali dikenali selama kehamilan. Diabetes melitup tipe lain

disebabkan oleh kelainan genetik pada fungsi sel beta atau kerja insulin,

pengaruh obat atau zat kimia, penyakit eksokrin pankreas, dsb (American

Diabetes Association, 2017; Decroli, 2019).

2.1.5 Patofisiologi

Glukosa adalah substrat berukuran besar yang tidak mudah melewati

membran sel. Oleh sebab itu glukosa membutuhkan pembawa tertentu berupa

protein yang disebut GLUT (Gailliot & Baumeister, 2007; Hall, 2015). Ada 14

jenis GLUT namun hanya ada beberapa yang bertindak dalam homeostasis

glukosa yaitu GLUT -1, GLUT ‐2, GLUT ‐3, dan GLUT ‐4 (Hall, 2015). Fungsi

GLUT -1, GLUT -2, GLUT -3 ialah independen terhadap hormon insulin (Vieira et

al., 2016). Sedangkan GLUT ‐4 sepenuhnya tergantung pada insulin (Hall, 2015;

Vieira et al., 2016).

GLUT -1 memediasi transpor glukosa ke dalam sel endotel, sel darah

merah, dan di seluruh sawar darah otak. GLUT -2 memediasi transpor glukosa

ke hati dan sel-sel pankreas. GLUT -3 adalah transporter utama dalam neuron.

Sedangkan GLUT -4 diekspresikan dalam otot dan jaringan adiposa (Doege et

al., 2000; Simmons, 2017; Thorens, 2015; Bryant et al., 2000 dalam Navale &

Paranjape, 2016). Proses ini sangat penting karena membantu menurunkan

glukosa darah setelah makan (Kavanagh et al., 2018). Sel otot rangka bertindak

sebagai gudang penyimpanan untuk glukosa dalam bentuk glikogen, oleh karena

itu GLUT ‐4 memainkan peran penting dalam homeostasis glukosa seluruh tubuh

(Huang & Czech, 2007).


13

Insulin adalah hormon peptida yang diproduksi oleh sel beta pankreas

sebagai respons terhadap peningkatan kadar glukosa dan asam amino plasma

serta menormalkannya ke tingkat fisiologis (Weiss et al., 2014). Pelepasan

insulin dirangsang oleh glukosa yang masuk ke dalam sel beta hati melalui difusi

difasilitasi GLUT -2 (Koeppen & Stanton, 2017). Dalam sel beta, glukosa

difosforilasi menjadi G6P oleh aktivitas glukokinase yang kemudian

meningkatkan laju pelepasan insulin (Rutter et al., 2015).

Insulin memberikan efek yang kuat pada hiperglikemia melalui beberapa

mekanisme diantaranya menginduksi glikogenesis dalam sel hati, mengurangi

glukosa dalam plasma dengan mengantarkannya masuk ke dalam sel terutama

otot rangka (Topp et al., 2007; Weiss et al., 2014). Insulin juga menekan sekresi

glukagon dari sel α pankreas yang merupakan penginduksi hiperglikemia (Færch

et al., 2016).

Faktor risiko genetik dan lingkungan mempengaruhi peradangan,

autoimunitas, dan stres metabolisme. Keadaan ini mempengaruhi massa sel β

dan/atau fungsinya sehingga kadar insulin pada akhirnya tidak mampu

merespons secara memadai terhadap tuntutan insulin. Hal tersebut

menyebabkan hiperglikemia. Dalam beberapa kasus, faktor risiko genetik dan

lingkungan serta interaksi gen-lingkungan dapat secara langsung mempengaruhi

massa dan/atau fungsi sel-sel (Skyler et al., 2017).

Pada diabetes melitus tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses

autoimun. Kerusakan sel-sel beta pankreas menyebabkan defisiensi insulin

sehingga metabolisme glukosa, protein, dan lemak terganggu. Metabolisme

glukosa yang terganggu menyebabkan hiperglikemia sedangkan gangguan


14

metabolisme lemak dan protein menyebabkan terjadinya penurunan berat badan

(Brunner & Suddarth, 2012).

Pada diabetes melitus tipe 2 terdapat dua masalah utama yaitu resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin merupakan gangguan

ikatan antara insulin dan reseptor khusus insulin di permukaan sel yang

mengakibatkan penurunan reaksi intra sel dan insulin menjadi tidak efektif untuk

menstimulasi pengambilan gula jaringan. Gangguan sekresi insulin merupakan

penurunan sekresi insulin namun jumlah insulin masih adekuat untuk mencegah

pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya (Brunner &

Suddarth, 2012).

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar

glukosa darah. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan

menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler yaitu glukometer. Diagnosis

tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria (Soelistijo et al., 2015).

Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apa bila terdapat keluhan

klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa badan lemah,

kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva

pada wanita (Decroli, 2019).

Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah

vena dengan sistem enzimatik dengan hasil: gejala klasik + gula darah puasa

≥126 mg/dl; gejala klasik + gula darah sewaktu ≥200 mg/dl; gejala klasik + gula

darah 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral ≥200 mg/dl; tanpa gejala klasik +

2x Pemeriksaan gula darah puasa ≥126 mg/dl; tanpa gejala klasik + 2x


15

pemeriksaan gula darah sewaktu ≥200 mg/dl; tanpa gejala klasik + 2x

Pemeriksaan gula darah 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral ≥200 mg/dl;

HbA1c ≥6.5%. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes melitus

dapat dilihat pada tabel 2.2 (Soelistijo et al., 2015).

Tabel 2.2 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Daibetes Melitus
HbA1c (%) Glu
HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dl) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥6,5 ≥126 mg/dL ≥200mg/dl
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199 mg/dl
Normal < 5,7 <100 <140 mg/dl

(Soelistijo et al., 2015))

Penilaian risiko untuk diabetes melitus gestasional harus dilakukan pada

kunjungan prenatal pertama. Wanita dengan karakteristik klinis yang konsisten

dengan risiko tinggi diabetes melitus gestasional seperti obesitas, riwayat

diabetes melitus gestasional pada individu dan keluarga, serta glikosuria harus

menjalani tes glukosa sesegera mungkin. Jika ditemukan tidak memiliki diabetes

melitus gestasional pada skrining awal itu, maka harus diuji ulang antara usia

kehamilan 24 dan 28 minggu. Wanita dengan risiko diabetes melitus gestasional

harus menjalani tes pada usia kehamilan 24-28 minggu. Pemeriksaan diagnostik

untuk diabetes melitus gestasional dapat dilakukan dengan mengukur kadar

HbA1c, melakukan tes glukosa plasma puasa, glukosa plasma 2 jam setelah tes

toleransi glukosa oral, dan glukosa plasma acak yang ditunjukkan pada tabel 2.3

berikut (American Diabetes Association, 2010):

Tabel 2.3 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Daibetes Melitus

Gestasional

Pemeriksaan Keterangan
16

HbA1C ≥6,5% Tes harus dilakukan di laboratorium


menggunakan metode yang bersertifikat NGSP
dan standar untuk uji DCCT.

Pemeriksaan Keterangan

Glukosa plasma puasa ≥126 mg / dl (7,0 mmol Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan
/ l) kalori selama setidaknya 8 jam.

Glukosa plasma 2 jam ≥200 mg / dl (11,1 Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan
mmol / l) selama TTGO (tes toleransi glukosa oleh Organisasi Kesehatan Dunia,
oral). menggunakan muatan glukosa yang
mengandung setara dengan 75 g glukosa
anhidrat yang dilarutkan dalam air.

Glukosa plasma acak ≥200 mg / dl (11,1 mmol Hasil pemeriksaan tersebut harus disertai pula
/ l) dengan adanya gejala klasik hiperglikemia pada
pasien.

(American Diabetes Association, 2010)

2.1.7 Manifestasi Klinis

Gejala klasik diabetes seperti poliuria, polidipsia, dan polifagia terjadi

secara umum pada diabetes tipe 1 yang memiliki perkembangan cepat terhadap

hiperglikemia. Gejala-gejala tersebut juga terjadi pada penderita diabetes melitus

tipe 2 dengan kadar hiperglikemia yang sangat tinggi (Ramachandran, 2014).

Poliura terjadi karena adanya penurunan aktivitas insulin sehingga

mengakibatkan hiperosmolaritas cairan intravaskuler. Tingginya osmolaritas

intravaskuler membuat cairan intra sel berdifusi kedalam sirkulasi sehingga

volume dan aliran darah meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan diuresis

osmotik sehingga produksi urin meningkat. Polidipsia terjadi karena peningkatan

difusi cairan intra sel ke dalam vaskuler membuat volume cairan intra sel

menurun sehingga menimbulkan dehidrasi sel yang akan mengaktifkan sensor

haus. Glukosa darah diekskresi melalui urin dalam bentuk diuresis bersamaan

cairan dan elektrolit tubuh sehingga pasien menjadi dehidrasi. Dehidrasi inilah
17

yang membuat pasien selalu merasa haus dan meminum air dalam jumlah

banyak. Sedangkan polifagia terjadi karena adanya penurunan intake glukosa

darah kedalam intra sel, menstimulasi rasa lapar yang menjadikan penderita

diabetes melitus selalu ingin makan (Mutoharoh, 2017).

Gejala lain yaitu penurunan berat badan secara signifikan. Gejala

tersebut umum terjadi pada diabetes melitu tipe 1. Namun pada penderita

diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdeteksi dalam jangka waktu lama juga dapat

menyebabkan penurunan berat bedan. Gejala lainnya yaitu kelelahan dan

kegelisahan serta nyeri tubuh (Ramachandran, 2014).

2.1.8 Penatalaksanaan

Pilar penatalaksanaan pada diabetes melitus yaitu edukasi, terapi nutrisi

medis, latihan jasmani, terapi farmakologis, dan monitoring (Soelistijo et al.,

2015). Terapi farmakologis terdiri dari obat suntikan (insulin) dan obat oral yang

terdiri dari sulfonilurea, glinid, metformin, glukosidase-alfa inhibitor, tiazolidindon,

DPP-4 inhibitor, inkretin analog yang mana cara kerja, efek samping, reduksi

HbA1c, keuntungan, dan kerugian dapat dilihat pada tabel 2.4 (Decroli, 2019).

Tabel 2.4 Obat Oral Diabetes Melitus

Obat Cara kerja Efek samping Reduksi Keuntungan Kerugian


utama HbA1c

Sulfonilurea Meningkatkan BB naik, 1,0-2,0% Sangat efektif Meningkatkan


sekresi insulin hipoglikemia BB,
hipoglikemia

Metformin Menekan Dispepsia, 1,0-2,0% Tidak ada Efek samping


produksi diare, kaitan dengan gastrointestinal,
glukosa hati asidosis BB kontraindikasi
dan laktat pada
menambah insufisiensi
sensitifitas renal.
18

insulin

Obat Cara kerja Efek samping Reduksi Keuntungan Kerugian


utama HbA1C

Glinid Meningkatkan BB naik, 0,5-1,5% Sangat efektif Meningkatkan


sekresi insulin hipoglikemia BB, pemberian
3x sehari,
mahal,
hipoglikemia

Glukosidase- Menghambat Flatulens, 0,5-0,8% Tidak ada Efek samping


alfa inhibitor absorbsi tinja lembek kaitan dengan gastrointestinal,
glukosa BB pemberian 3x
sehari, mahal.

Tiazolidindon Menambah Edema 0,5-1,4% Memperbaiki Retensi cairan


sensitifitas profil lipid, CHF, fraktur,
terhadap berpotensi berpotensi
insulin menurunkan menimbulkan
infark miokard infark miokard,
(pioglitazone) mahal

DPP-4 Meningkatkan Sebah, 0,5-0,8% Tidak ada Penggunaan


inhibitor sekresi insulin, muntah kaitan dengan jangka panjang
menghambat BB tidak
sekresi disarankan,
glucagon mahal

Inkretin Meningkatkan Sebah, 0,5-1,0% Penurunan BB Ineksi 2x


analog sekresi insulin, muntah sehari,
menghambat penggunaan
sekresi jangka panjang
glucagon tidak
disarankan,
mahal.

SGLT-2 Menghambat Dehidrasi, 0,8-1,0% Efektif pada


inhibitor penyerapan infeksi kelainan
kembali saluran kardiovaskuler
glukosa di kemih
19

tubuli distal
ginjal

(Decroli, 2019)

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi akut dari diabetes melitus terdiri dari diabetik ketoasidosis

(DKA) dan hiperglikemi hiperosmolar sindrom (HHS) yang disebabkan oleh

defisiensi insulin absolut maupun relatif bersamaan dengan peningkatan pusat

regulasi hormon (Chawla, 2012). Sedangkan komplikasi kronis dibagi menjadi

mikrovaskuler dan makrovaskuler (McMillan et al., 2016). Keadaan hiperglikemi

yang kronis pada penderita diabetes melitus menimbulkan efek adanya

kerusakan mikrovaskular yang menyebabkan gangguan pada mata (retinopati),

ginjal (nefropati), dan sistem saraf (neuropati) (Wass & Stewart, 2011).

Pembuluh darah mikro adalah unit fungsional dasar dari sistem

kardiovaskular yang terdiri dari arteriol, kapiler, dan venula. Mikrosirkulasi

memiliki sistem pengaturan yang mengontrol permeabilitas pembuluh darah dan

respons miogenik yang dapat mengadaptasi aliran darah sesuai dengan

kebutuhan metabolisme lokal. Diabetes menginduksi perubahan patognomonik

pada mikrovaskular yang memengaruhi membran basal kapiler termasuk arteriol

di glomeruli, retina, miokardium, kulit, dan otot, dengan meningkatkan

ketebalannya. Hal tersebut mengarah pada pengembangan mikroangiopati

diabetik. Penebalan ini pada akhirnya menyebabkan kelainan fungsi pembuluh

darah, menyebabkan berbagai masalah klinis seperti hipertensi, penyembuhan

luka yang tertunda, dan hipoksia jaringan (Chawla et al., 2016). Sedangkan

kerusakan makrovaskular berupa penyakit jantung, stroke, penyakit


20

serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (McMillan et al., 2016; Wass &

Stewart, 2011).

2.2 Neuropati Perifer

2.2.1 Definisi

Istilah "neuropati perifer" (PN) mengacu pada gangguan pada sistem

saraf tepi (Hanewinckel et al., 2016). Neuropati adalah gangguan saraf perifer

yang meliputi kelemahan motorik, gangguan sensorik, otonom dapat bersifat akut

atau kronik (Azhary et al., 2010). Penyebab tersering neuropati perifer adalah

diabetes melitus yang biasanya disebut diabetic peripheral neuropathy (DPN)

(Davis et al., 2010; Albers & Pop-Busui, 2014; Iqbal et al., 2018).

2.2.2 Etiologi

Etiologi dari neuropati secara umum adalah faktor metabolik meliputi

diabetes, penyakit ginjal, porfiria; nutrisi meliputi defisiensi B1, B6, B12 dan asam

folat, toksik; arsenik, merkuri, kloramfenikol dan metronidazol, karbamazepin,

phenytoin; Infeksi-inflamasi meliputi lepra, difteri; autoimun meliputi Immune-

mediated demyelinating disorders; defisiensi tiamin, asam nikotinat dan asam

pentotenat; timah dan logam menghambat aktivasi enzim dalam proses aktifitas

oksidasi glukosa sehingga mengakibatkan neuropati yang sulit dibedakan

dengan defisiensi vitamin B; keganasan; trauma (Azhary et al., 2010; Greenberg

et al., 2002; Harsono, 2011; Alport & Sander, 2012).

2.2.3 Faktor Risiko


21

Faktor risiko neuropati perifer secara umum sama seperti etiologi.

Diabetes tipe 1 dan diabetes 2 merupakan faktor risiko yang paling banyak

terjadi, glukosa darah yang tidak terkontrol, penyakit autoimun seperti lupus,

guillain-barre syndrom, hipotiroid, amyloidosis, HIV, hepatitis B,

trauma/penekanan pada saraf, carpal tunnel syndrom, defisiensi vitamin

terutama B12, kemoterapi, penyakit ginjal, konsumsi alkohol, dsb

(Medifocus.com, 2011).

Faktor risiko neuropati perifer pada penderita diabetes melitus adalah

usia, lama waktu menderita diabetes melitus, dan rendahnya kontrol gula darah

(Katulanda et al dalam Suyanto, 2016; Jaiswal et al., 2017; Bal et al., 2008).

Faktor lain yaitu riwayat merokok dan dislipidemia (Jaiswal et al., 2017; Bal et al.,

2008).

2.2.4 Klasifikasi

Berdasarkan presentasi klinis, neuropati perifer diklasifikasikan menjadi

polineuropati simetris distal, neuropati radiculoplexus, neuropati fokal tekan,

neuropati otonom. Skema presentasi klinis neuropati perifer dapat dilihat dalam

gambar 2.1 (Thomas 1997 dalam Nascimento et al., 2016).


22

Gambar 2.1 Skema Presentasi Klinis Neuropati Perifer (Callaghan et al.,


2012)
Keterangan: A) Polineuropati simetris distal; B) Neuropati radiculoplexus; C) Neuropati fokal; D)
Neuropati otonom.

Polineuropati distal simetris merupakan kerusakan saraf pada ekstermitas

dan biasanya bersifat simetris. Gejala dapat menyebar secara proksimal. Gejala

sensorik lebih sering terjadi dari pada motorik dan otonom. Penderita akan

merasakan kesemutan, mati rasa, nyeri, dan kehilangan sensasi, serta

kelemahan otot. Neuropati radiculoplexus merupakan kerusakan pada saraf

daerah pinggul dan paha. Gejala bersifat asimetris. Gejala yang timbul berupa

pembengkakak pada perut, penurunan berat badan, kelemahan otot paha serta

nyeri pada daerah pinggul dan paha. Neuropati fokal merupakan kerusakan pada

satu atau beberapa saraf. Tanda dan gejala berupa nyeri, mati rasa, dan

kelemahan terbatas pada sebagian daerah di salah satu ekstermitas.Neuropati

fokal biasanya disebabkan oleh kompresi atau trauma. Neuropati otonom

merupakan kerusakan saraf sistem otonom pada jantung, paru-paru,

pencernaan, dan organ seks sehingga menyebabkan ketidakmampuan dalam

mengontrol buang air kecil, pengosongan perut yang lambat, peningkatan

tekanan darah dan detak jantung, serta disfungsi ereksi (Callaghan et al., 2012).

2.2.5 Patofisiologi

Mekanisme neuropati perifer terdiri dari degenerasi wallerian,

demyelinisasi segmental, dan degenerasi aksonal. Degenerasi wallerian adalah

kematian atau degenerasi pada struktur akson setelah terjadinya suatu cedera.

Struktur akson distal akan mengalami degenerasi yang akan diikuti oleh struktur

myelin yang melingkupinya. Demyelinisasi segmental merupakan gangguan yang

terjadi akibat kerusakan yang mengenai langsung pada selubung myelin maupun
23

sel schwann. Pada demyelinisasi segmental, serabut akson dapat tidak

terpengaruh sehingga sebagian besar tidak menimbulkan atrofi otot. Sedangkan

degenerasi aksonal terjadi akibat dari adanya gangguan pada badan sel, di

mana pada akhirnya serabut akson yang paling distal akan mulai mengalami

degenerasi dan akan diikuti oleh degenerasi dari selubung myelin (Davis et al.,

2010).

Pada penderita diabetes, terjadi penurunan Nrf2. Nrf2 merupakan faktor

transkripsi untuk menghasilkan antioksidan endogen sebagai bentuk kompensasi

terhadap peningkatan ROS (Kumar & Mittal, 2017; Bhakkiyalakshmi et al. 2015;

De Haan 2011). Penurunan Nrf2 menyebabkan stres oksidatif yang merupakan

gangguan ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas dengan sistem

antioksidan sehingga menyebabkan kerusakan pada biomolekul (Hendriyani et

al., 2018; Aguilar et al., 2016; Pisoschi et al., 2015). Penurunan Nrf2 juga

menyebabkan perubahan mikrovaskular diantaranya penurunan aliran darah ke

endoneurium. Akibatnya sel saraf mengalami iskemik sehingga transpor akson

terganggu (Jansen 2007 dalam Rosyida, 2016). Hal tersebut mengakibatkan

kerusakan pada segmen proksimal dan distal saraf sehingga serat saraf pada

intraepidermal berkurang (Schreiber, 2015). Dengan demikian stres oksidaktif

berdampak pada sistem saraf perifer sehingga menyebabkan neuropati perifer

(Kurniawan, 2012).

Di samping itu, dalam keadaan hiperglikemia, glukosa yang berlebihan di

dalam sel saraf perifer dimetabolisme melalui jalur poliol. Akibatnya terjadi

peningkatan akumulasi sorbitol dan fruktosa serta penurunan ekspresi inositol

sehingga aktivasi Na+/K+ -ATPase berkurang. Hal tersebut menyebabkan

kecepatan konduksi saraf melambat (Yagihashi et al., 2007 dalam Zan et al.,
24

2017; Nayak et al., 2011). Pada kondisi hiperglikemia, terjadi peningkatan AGE

yang akan berkombinasi dengan RAGE sehingga meningkatkan produksi ROS.

Produksi ROS yang berlebih dapat merusak protein mitokondria sehingga

menyebabkan apoptosis dan nekrosis. Kondisi hiperglikemia juga mendorong

aktivasi PKC sehingga menginduksi aktivasi NF-kB. Hal tersebut memicu

terjadinya perubahan patologis pada pembuluh darah berupa kontraksi vaskular

dan permeabilitas kapiler (Madonna et al., 2011; Zan et al., 2017). Nf-kB juga

meningkatkan sekresi sitokin yang akhirnya mengarah pada peradangan (Negre

et al., 2009). Selain mekanisme tersebut, jalur heksosamin juga merupakan jalur

untuk metabolisme glukosa. Jalur heksosamin yang diinduksi hiperglikemia

selain dapat menyebabkan aterosklerosis, juga menyebabkan degenerasi neuron

dan nekrosis. Mekanisme-mekanisme tersebut yang menyebabkan terjadinya

neuropati perifer pada penderita diabetes melitus (Zan et al., 2017). Patofisiologi

diabetes melitus dapat dilihat dalam bagan pada gambar 2.2 (Shakeel, 2014).

Gambar 2.2 Mekanisme Neuropati pada Diabetes (Shakeel, 2014)


25

Keterangan: NF-kB=nuclear factor-kappaB; MAPK=mitogen-activated protein kinase;


eNOS=endothelial nitric oxide synthase.

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Rosyida (2016), pemeriksaan neuropati perifer terdiri dari

penilaian kerusakan otonom, sensorik, dan motorik. Gejala kerusakan otonom

yang paling umum adalah adanya kulit kering yang dapat menyebabkan fisura

serta adanya vena yang menggembung. Gejala kerusakan otonom tersebut

dapat dilihat dalam gambar 2.3 (Edmonds & Foster, 2014).

Gambar 2.3 Gejala Kerusakan Otonom (Edmonds & Foster, 2014)


Keterangan: A) Kulit kering; B) Vena yang menggembung pada dorsum ankle kaki.

Kerusakan saraf otonom dapat diuji menggunakan neuropad® untuk

menilai status kelembaban kaki. Neuropad diletakkan pada metatarsal pertama

pasien. Apa bila terjadi perubahan warna dari biru ke merah muda, maka hal

tersebut masuk ke dalam kategori normal. Namun apa bila warna tidak berubah

maka menunjukkan adanya kerusakan saraf otonom (Edmonds & Foster, 2014).

Pada kerusakan saraf motorik, tanda yang dapat diamati adalah adanya

perubahan bentuk kaki seperti flat feet, bunion, prominent metatarsal heads,

hammer toe, claw toe, mallet toes, overlapping, charcot foot yang ditunjukkan
26

dalam gambar 2.4 (Edmonds & Foster, 2014; Feldman et al., 1994; Rosyida,

2016).

Gambar 2.4 Perubahan Bentuk Kaki (Supplements, 2019; Dounis et al., 2010;
Thomas et al., 2009 dalam DiPreta, 2014; Black et al., 1985 dalam Talusan et al.,
2013; Edmonds & Foster, 2014)
Keterangan: A) Flat feet=tidak adanya lengkungan pada telapak kaki; B) Bunion=kelainan
bentuk tulang di dasar ibu jari; C) Prominent metatarsal heads ditunjukkan pada telapak
kaki kanan; D) Hammer toe=flexi proximal interphalangeal joint (PIJ) dan ekstensi
metatarsophalangeal joint (MPJ) dengan ada atau tidaknya hiperekstensi dari distal
interphalangeal joint (DIPJ); E) Claw toe= flexi pada PIJ dan DIPJ disertai dengan
ekstensi MPJ; F) Mallet toes=flexi pada DIPJ; G) Overlapping ditunjukkan pada jari
kelingking; H) Charcot foot.

Pemeriksaan motorik lebih lanjut terkait kekuatan otot kaki dilakukan

dengan abduksi jari kaki, ekstensi jari kaki serta uji dorsofleksi pada ankle kaki

yang dapat dilihat pada gambar 2.5 (Rosyida, 2016; Edmonds & Foster, 2014).
27

Gambar 2.5 Pemeriksaan Kekuatan Otot Kaki (Fritz, 2014)


Keterangan: A) Abduksi jari kaki; B) Ekstensi jari kaki; C) Dorsofleksi ankle kaki

Pada kerusakan saraf sensorik dapat dideteksi secara sederhana

dengan monofilamen atau neurothesiometri. Apa bila menggunakan

monofilamen maka berat monofilamen yang digunakan ialah 10g (Edmons,

2014). Prosedur pemeriksaan monofilamen menggunakan British Columbia

Provincial Nursing Skin and Wound Committee (2012):

1. Pemeriksa cuci tangan terlebih dahulu dan menggunakan sarung

tangan bersih jika diperlukan. Sarung tangan bersih harus dipakai jika

terdapat area terbuka, ruam, discharge pada area kaki termasuk

pergelangan kaki.

2. Minta klien untuk melepas kaos kaki dan sepatu dari kedua kaki.

3. Jelaskan prosedur kepada klien dan tunjukkan monofilamen kepada

klien.

4. Sentuhkan monofilamen ke tangan (pergelangan tangan bagian

dalam) klien sehingga klien memahami apa yang diharapkan ketika

pengujian monofilamen dilakukan pada kaki (Booth & Young, 2000).

5. Minta klien menutup mata dan menunjukkan kapan monofilamen

dirasa menyentuh kaki dengan mengatakan “ya”.

6. Pegang monofilamen tegak lurus ke kaki dan dengan gerakan yang

halus dan yakin, sentuhkan ke kulit sampai monofilamen tertekuk

sekitar 1 cm. Pertahankan monofilamen pada kulit selama kurang lebih


28

2 detik. Pergerakan monofilamen dapat dilihat dalam gambar 2.6

(British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee,

2012).

Gambar 2.6 Pergerakan Monofilamen (British Columbia Provincial


Nursing Skin and Wound Committee, 2012)
Keterangan: A) Monofilamen tegak lurus ke kaki; B) Monofilamen menyentuh kulit
dan menekuk sekitar 1cm dan dipertahankan selama 2 detik; C) Monofilamen
dijauhkan dari area pemeriksaan.

7. Lakukan pemeriksaan monofilamen secara acak pada 10 area kaki

yaitu plantar jari kaki pertama, ketiga, kelima; metatarsal pertama,

ketiga, kelima; arches medial dan lateral; tumit; dorsum kaki (Rosyida,

2016). 10 titik area pemeriksaan dapat dilihat dalam gambar 2.7

(Nather, 2016).

Gambar 2.7 Titik Area Pemeriksaan Monofilamen (Nather, 2016)


Keterangan: 1)Plantar jari kaki pertama; 2)Plantar jari kaki ketiga; 3) Plantar jari
kaki kelima; 4) Metatarsal pertama; 5) Metatarsal ketiga; 6) Metatarsal kelima; 7)
Arches medial; 8) Arches lateral; 9) Tumit; 10) Dorsum kaki.
29

8. Ulangi tes hingga 3 kali pada area di mana klien tidak dapat

merasakan monofilamen.

9. Cuci tangan Anda saat pengujian selesai.

10. Jika menggunakan kembali monofilamen, beri label monofilamen

berupa nama klien dan tanggal. Monofilamen dapat digunakan untuk

pengujian ulang hanya pada satu pasien yang sama.

Penilaian hasil pemeriksaan: positif, jika dapat merasakan tekanan

monofilamen pada 2-3 kali pemeriksaan dan negatif jika tidak dapat merasakan

tekanan pada 2-3 kali pemeriksaan. Hasil positif skor=1, hasil negatif skor=0.

Sehingga skor total pada satu kaki bervariasi antara 0-10 (Rosyida, 2016).

Pemeriksaan monofilamen dilakukan pada area yang tidak terdapat ulkus,

kalus, jaringan parut atau nekrotik (Booth & Young, 2000). Namun jika didapati

hal-hal tersebut pada kaki maka pemeriksaan monofilamen dilakukan pada

daerah yang berdekatan. Apa bila klien mengalami amputasi, tes dilakukan pada

titik yang memungkinkan saja (Ardiyati, 2014).

Pemeriksaan saraf sensorik juga dapat dilakukan menggunakan

neurothesiometer. Alat tersebut diletakkan pada kaki seperti yang ditunjukkan

dalam gambar 2.8. Alat tersebut bekerja dengan memberikan rangsangan

berupa getaran ketika tegangan dinaikkan. Apa bila pasien tidak merasakan

getaran 25 Volt maka pasien berisiko mengalami ulserasi (Edmonds & Foster,

2014).
30

Gambar 2.8 Neurothesiometer (Edmonds & Foster, 2014)

Pemeriksaan klinis lain yang lebih sederhana yaitu dengan garpu tala 128

Hz (Edmons & Foster, 2014). Durasi rata-rata sensasi getaran garpu tala yaitu

10,2 detik dengan standart deviasi ± 1,3 detik (Oyer et al., 2007 dalam Taylor,

2013). Pemeriksa memegang garpu tala dengan telunjuk dan ibu jari tangan.

Pemeriksaan dilakukan dengan cara menempatkan garpu tala di atas penonjolan

tulang interphalang distal dorsum jari kaki pertama secara bilateral. Pasien

diminta untuk melaporkan adanya getaran. Apa bila pasien bisa merasakan

vibrasi <10 detik, dikatakan normal (skor 0), menurun apa bila pasien merasakan

vibrasi >10 detik (skor 1), dan jika pasien tidak merasakan vibrasi diberikan skor

2 (Rosyida, 2016). Pemeriksaan menggunakan garpu tala dapat dilihat dalam

gambar 2.9 (Reese, 2012; Bickley et al., 2009).

Gambar 2.9 Pemeriksaan Menggunakan Garpu Tala (Reese, 2012; Bickley et


al., 2009)
Keterangan: A) Garpu tala digetarkan oleh pemeriksa; B) Garpu tala diletakkan pada
sendi interphalangeal ibu jari.

Pemeriksaan neuropati pada penderita diabetes dapat dilakukan dengan

menggunakan dua kuesioner baku yaitu MNSI (Michigan Neuropathy Screening

Instrument) dan MDNS (Michigan Diabetic Neuropathy Score) (Mohammed 2014

dalam Rosyida, 2016). MNSI mencakup dua penilaian terpisah: kuesioner yang

diisi sendiri sebanyak 15 butir dan pemeriksaan ekstremitas bawah. Pemeriksaan


31

ekstermitas bawah terdiri dari inspeksi, penilaian sensasi getaran, dan refleks

ankle kaki. Inspeksi mencakup adanya kelainan bentuk, kulit kering, kapalan,

infeksi, celah dan bisul. Penilaian sensasi getaran dilakukan menggunakan garpu

tala 128 Hz (Herman et al., 2012). Sedangkan pemeriksaan refleks ankle kaki

ditunjukkan dalam gambar 2.10 (Weber & Kelley, 2009).

Gambar 2.10 Pemeriksaan Refleks Ankle Kaki (Weber & Kelley, 2009)

MNSI digunakan untuk menilai neuropati perifer pada diabetes dengan

menggunakan 2 penilaian terpisah yaitu kuesioner yang terdiri daru 15 butir

pertanyaan dan pemeriksaan ekstermitas bawah yang mencakup inspeksi

berupa adanya kelainan bentuk, kulit kering, kapalan, infeksi, celah dan bisul;

penilaian sensasi getaran menggunakan garpu tala 128 Hz pada daerah sendi

interphalangeal distal dorsum pada jari kaki pertama, dan refleks pergelangan

kaki (Young, 1994 dalam Yeboah, 2016; Korean Diabetes Association, 2011;

Rosyida, 2016).

Sedangkan MDNS terdiri dari dua bagian yaitu pemeriksaan fungsi

neurologis dan pemeriksaan hantaran saraf. Persepsi ambang getaran, rasa

sakit, dan sentuhan ringan yang masing-masing dinilai dengan garpu tala 128

Hz, pin prick, dan monofilamen 10g (Feldman et al.,1994). Pin prick merupakan

penilaian untuk memeriksa adanya sensai nyeri. Penilaian dilakukan pada


32

dorsum ibu jari kaki pertama. Pasien ditutup matanya kemudian diberikan

sentuhan dengan jarum pentul. Pasien ditanya apakah merasakan nyeri atau

tidak merasakan nyeri. Jika merasa nyeri diberikan skor 0 dan jika tidak merasa

nyeri diberikan skor 1 (Mete et al., 2013 dalam Rosyida 2016).

Sedangkan pemeriksaan refleks peregangan otot yang terdiri dari bisep

brakii, trisep brakii, brachioradialis, quadrisep femoris, dan achilles dinilai

menggunakan palu refleks (Feldman et al., 1994; Rosyida, 2016). Pada

pemeriksaan bisep brakii, lengan subjek diletakkan di atas tangan lawan

pemeriksaan, sehingga berat lengan subjek ditanggung oleh pemeriksa. Siku

yang akan dinilai diposisikan sedikit fleksi. Pemeriksa mempertahankan lengan

subjek di sepanjang siku medial, menempatkan ibu jari secara distal pada tendon

bisep brakii, dan menekan tendon. Kemudian dengan ujung palu refleks

berbentuk segitiga, pemeriksa memukul kuku ibu jari; menekan tendon. Respon

normal di mana didapati respon berupa fleksi siku. Pada pemeriksaan trisep

brakii posisi subjek sama dengan yang dijelaskan sebelumnya. Menggunakan

ujung palu segitiga, pemeriksa memukul tendon trisep hanya pada daerah

proksimal processus olecranon. Refleks normal adalah ekstensi siku. Pada

pemeriksaan brachioradialis, pemeriksa memukul sisi radial lengan tepat di atas

processus styloid di atas tendon brachioradialis. Refleks normal akan

menimbulkan respons fleksi siku (Palmer et al., 1998).

Sedangkan untuk menilai kontraksi otot quadrisep femoris dilakukan

pemeriksaan refleks patela. Pasien dapat duduk di meja pemeriksaan dengan

posisi kaki menggantung. Jika pasien menggunakan pakaian longgar, pemeriksa

dapat menangguhkan kedua kaki dengan memegang pakaian. Hasil normal apa

bila terdapat ekstensi pada lutut (Campbell & DeJong, 2005). Pada pemeriksaan
33

refleks achilles, kaki subjek dalam posisi menggantung dan sediki dorsofleksi

untuk meregangkan tendon. Namun subjek tetap dalam posisi santai. Ketuk

tendon calcaneal dan amati respon kaki. Refleks normal jika didapati fleksi

plantar ketika tendon achilles diketuk oleh palu refleks (Allen & Harper, 2011).

Pemeriksaan refleks peregangan otot tersebut dapat dilihat dalam gambar 2.11

(Weber & Kelley, 2009).

Gambar 2.11 Pemeriksaan Refleks Peregangan Otot (Weber &Kelley,


2009)
Keterangan: A) Achilles; B) Bisep brakii; C) Quadrisep Femoris; D) Trisep brakii; E)
Brachioradialis.

2.2.7 Manifestasi Klinis

Gejala neuropati perifer dapat melibatkan saraf otonom, sensorik, dan

motorik. Kerusakan saraf otonom menyebabkan aliran darah tidak lancar

sehingga kulit terutama pada kaki tidak mendapatkan nutrisi dengan baik.

Kerusakan saraf sensorik meliputi parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa

raba, vibrasi dan posisi. Hilangnya sensasi (getar, posisi/ proprioseptif, suhu, dan
34

nyeri) pada bagian distal ekstremitas. Kerusakan saraf motorik berupa

kelemahan otot-otot, refleks tendon menurun, fasikulasi. Manifestasi klinis lain

yang muncul akibat neuropati sensorimotor adalah kulit yang kering dan pecah-

pecah bahkan hingga menimbulkan callus. Kondisi kulit yang demikian

mempercepat timbulnya ulkus pada kaki (Azhary et al., 2010; Watson & Dick,

2015; Widyawati, 2010; Frykberg, 2006 dalam Istiroha, 2017).

2.2.8 Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan definitif yang dapat mengurangi atau

mengembalikan neuropati perifer (Zilliox & Russell, 2011). Penatalaksanaan

yang dilakukan bertujuan untuk memperlambat perkembangan, mengurangi

keparahan gejala, dan mencegah komplikasi neuropati perifer. Pengobatan

neuropati perifer yang diinduksi diabetes melitus terdiri dari pengobatan

farmakologis dan non farmakologis. Pengobatan farmakologis terdiri dari α-Lipoic

acid, aldose reductase inhibitor, asetil-I-Karnitin, PKC inhibitor, pemberian steroid

dan vitamin, serta manajemen nyeri dapat dilihat dalam tabel 2.5 (Zilliox &

Russell, 2011; Javed et al., 2016). Sedangkan pengobatan non farmakologi bisa

dilakukan dengan senam kaki (Suhertini & Subandi, 2016; Yulita et al., 2019).

Tabel 2.5 Daftar Obat Neuropati Perifer pada Diabetes


Keterangan

Asetil-I- Penelitian yang dilakukan pada tikus menghasilkan bahwa Asetil-I-


Karnitin Karnitin bermanfaat mengurangi rasa nyeri, meningkatkan konduksi
saraf dan regenerasi saraf.

PKC inhibitor Ruboxistaurin efektif dalam mengobati gejala kerusakan sensorik.

Aldose Sorbinil, tolrestat, fidarestat berfungsi dalam memperbaiki disfungsi


reductase neuron, mencegah gangguan induksi saraf, menginduksi
35

inhibitor pematangan serabut saraf, merangsang perbaikan serabut saraf, dan


menghentikan penghancuran serabut saraf.

Keterangan

Pemberian Vitamin B berperan dalam pembentukan mielin. Pada penderita


vitamin diabetes melitus, kadar vitamin B1 (tiamin) dan vitamin B12 lebih
rendah dari pada orang normal. Hal ini disebabkan oleh tingginya
pengeluaran tiamin pada ginjal serta penggunaan metformin dosis
tinggi dapat menginduksi kekurangan vitamin B12. Mecobalamin
adalah turunan dari vitamin B12 yang terlibat dalam perbaikan mielin
sedangkan vitamin B1 (tiamin) dikonversi menjadi tiamin pirofosfat
berperan dalam transmisi impuls saraf (Khalil et al., 2016).

Steroid Steroid dapat mengurangi aktivitas peradangan sehingga membantu


mencegah kerusakan jaringan. Namun steroid dapat menyebabkan
lonjakan kadar gula darah dengan membuat hati resisten terhadap
insulin. Ketika kadar gula darah tinggi, pankreas mengeluarkan
insulin. Insulin tersebut memicu penurunan jumlah gula yang
dikeluarkan oleh hati, namun pemberian steroid dapat membuat hati
kurang sensitif terhadap insulin sehingga menyebabkan hati tetap
melepaskan gula meskipun pankreas telah melepaskan insulin
(Cowley, 2019).

Manajemen Manajemen nyeri merupakan pengobatan simptomatik yang

nyeri bertujuan untuk meringankan gejala nyeri pada neuropati perifer.


 Antidepresan (Amitriptyline, imipramine, notriptyline)
 Antikonvulsan (carbamazepine, gabapentin, pregabalin,
lamotrigine)
 Serotonin-norepinefrin reuptake inhibitor / SNRIs (Venlafaxine
dan duloxetine).
 Lidokain topical dapat meredakan nyeri superfisial.
 Capsaicin topical. Capsaicin tidak mempengaruhi sensasi lain
seperti suhu dan getaran.

(Zilliox & Russell, 2011; Javed et al., 2016)


36

2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik

2.3.1 Definisi

Terapi oksigen hiperbarik merupakan pengobatan yang melibatkan

penggunaan oksigen dengan konsentrasi tinggi (100%) pada tekanan yang lebih

dari 1 ATA (Jones & Wyatt, 2019; Lam et al., 2017). Berdasarkan ketetapan

Undersea and Hyperbaric Medical Society bahwa tekanan harus lebih besar dari

atau sama dengan 1,4 ATA. Dalam praktik klinis, tekanan yang diterapkan

biasanya berkisar antara 2 hingga 3 ATA (Lam et al., 2017). Apa bila pasien

menghirup 100% oksigen pada tekanan 1 ATA maka bukan termasuk terapi

oksigen hiperbarik (Saleh, 2018). Besar nilai tekanan berdasarkan satuan mmHg,

fsw, msw, psi, dan atm dapat dilihat pada tabel 2.6 (Jain, 2017).

Tabel 2.6 Nilai Tekanan Berdasarkan Satuan Tertentu

ATA Tekanan Absolut (bar) Tekanan Gauge

mmHg (torr) fsw msw Psi atm

1 760 0 0 0 0

1,5 1140 16 5,16 7,35 0.5

2 1520 33 10,32 14,7 1

2,5 1900 50 15,48 21,05 1.5

3 2280 66 20,64 29,4 2

4 3040 99 30,97 44,0 3

5 3800 132 41,29 58,7 4

6 4560 165 51,61 73,3 5

Keterangan: ATA = atmospheres absolute; mmHg = millimeters of mercury; fsw =


feet of sea water; msw = meters of sea water; psi = pounds per square inch; atm
= atmospheres
37

(Jain, 2017)

Terapi oksigen hiperbarik dilakukan 10 hari untuk 1 sesi. Penentuan

frekuensi terapi yang dilakukan oleh pasien sesuai dengan pemeriksaan pada

pasien setelah terapi. Apa bila hasil pemeriksaan sudah sesuai target

penyembuhan penyakit maka terapi dapat dihentikan. Terapi dilakukan pada

tekanan 2,4 ATA selama 90 menit. Tiap 30 menit, pasien diberikan waktu

istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen

oleh pasien (Lakesla 2009 dalam Dismalyansa 2019).

2.3.2 Teori Dasar

Mekanisme kerja terapi oksigen hiperbarik melibatkan prinsip kerja hukum


Henry, Fick, dan Boyle.

Concgas = P (Sol)

Keterangan: Concgas=konsentrasi gas terlarut; P=tekanan parsial gas;


Sol=koefisien kelarutan

Hukum Henry menyatakan bahwa tekanan parsial gas berbanding lurus

dengan konsentrasi gas terlarut (Edwards, 2010; Choudhury, 2018). Pada terapi

oksigen hiperbarik, tekanan oksigen dalam chamber meningkat sehingga

tekanan parsial gas oksigen dalam paru juga meningkat. Peningkatan tersebut

menyebabkan konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam plasma juga

meningkat. (Latham, 2018; Ferreira et al., 2018; Choudhury, 2018).

Vgas = 𝐷 (𝑃1 − 𝑃2)

Keterangan: Vgas= laju difusi; D = konstanta difusi; (P1-P2)=perbedaan tekanan


parsial gas
38

Dari Hukum Fick menyatakan bahwa laju difusi gas berbanding lurus

dengan tekanan parsial gas. Jika ada peningkatan perbedaan tekanan parsial

(driving pressure) antara 2 area jaringan maka laju difusi gas akan meningkat.

Hal tersebut menyebabkan gas mampu berdifusi lebih jauh ke dalam jaringan

(Edwards, 2010).

Pada terapi oksigen hiperbarik, tekanan oksigen dalam chamber

meningkat sehingga tekanan parsial gas oksigen dalam paru juga meningkat

(Choudhury, 2018). Hal tersebut membuat adanya perbedaan tekanan di paru-

paru dengan jaringan sehingga meningkatkan laju difusi. Peningkatan tersebut

menyebabkan oksigen mampu berdifusi lebih jauh ke dalam jaringan sehingga

bermanfaat dalam mengatasi kondisi hipoksia (Edwards, 2010; Lam et al., 2017).

P1 x V1 = P2 x V2

Keterangan: P1=tekanan gas 1; V=volume gas 1; P2=tekanan gas 2; V2=volume


gas 2

Boyle menyatakan bahwa tekanan (P) berbanding terbalik dengan volume

gas (V) (Edwards, 2010; Heyboer et al., 2017). Hukum tersebut mendasari

mekanisme kerja terapi oksigen hiperbarik dalam mengatasi fenomena

dekompresi dan emboli gas arteri (AGE) (Edwards, 2010). Tekanan oksigen yang

meningkat membuat ukuran volume gelembung nitrogen dalam jaringan menurun

(Hexdall et al, 2016).

2.3.3 Klasifikasi

Secara umum, terapi oksigen hiperbarik dibagi menjadi 2 yaitu

monoplace chamber dan multiple chamber (Hexdall et al., 2016). Namun masih

ada beberapa jenis chamber lainnya (Kemenkes, 2008). Monoplace chamber


39

hanya dapat menampung satu pasien sedangkan Multiplace chamber dapat

menampung lebih dari satu pasien (Hexdall et al., 2016). Chamber jenis lainnya

yaitu portable/ mobile chamber yang dapat difungsikan sebagai rumah sakit di

medan tempur untuk mendukung operasional militer. Selain itu ada chamber

tertentu dimana ruangannya distimulasikan sesuai kedalaman penyelam.

Chamber tersebut digunakan untuk melakukan uji coba terhadap penyelam.

Chamber yang digunakan untuk neonatus dan hewan percobaan disebut small

hyperbaric chamber (Kemenkes, 2008).

2.3.4 Indikasi

Penggunaan terapi oksigen hiperbarik sebagai pengobatan telah

ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan oleh pemerintah Indonesia.

Terapi oksigen hiperbarik digunakan sebagai pengobatan utama pada penyakit

dekompresi, emboli udara, luka bakar, crush injury, dan keracunan gas karbon

monoksida. Terapi oksigen hiperbarik digunakan sebagai pengobatan tambahan

pada gas gangren, komplikasi diabetes melitus (gangren diabeticum), eritema

nodosum, osteomyelitis, buerger’s disease, morbus hansen, psoriasis vulgaris,

edema serebral, klerodema, lupus erimatosus, rheumatoid artritis. Terapi oksigen

hiperbarik digunakan sebagai pengobatan pilihan untuk pelayanan kesehatan

dan kebugaran, pelayanan kesehatan olahraga, pasien lanjut usia, dermatologi

dan kecantikan. Terapi oksigen hiperbarik juga dapat digunakan sebagai

penunjang diagnostik untuk pasien rawat inap dengan penyakit dekompresi berat

(Kemenkes, 2008).

2.3.5 Kontraindikasi

Kontraindikasi absolut untuk terapi oksigen hiperbarik adalah pasien

dengan pneumotoraks yang tidak diobati. Sebab terapi oksigen hiperbarik dapat
40

memperburuk kondisi tersebut (Lam et al., 2017). Semua pasien harus dilakukan

pencitraan terhadap paru sebelum melakukan terapi. Jika seorang pasien

mengalami penumotoraks namun harus menerima pengobatan terapi maka perlu

dilakukan evaluasi terhadap perbandingan antara risiko dengan manfaat dari

terapi tersebut (Dubose & Cooper, 2019). Kontraindikasi absolut lainnya adalah

keganasan (kanker) (Kemenkes, 2008).

Penggunaan terapi oksigen hiperbarik untuk kehamilan masih pro dan

kontra. Di Indonesia, kehamilan merupakan kontraindikasi absolut dalam

penggunaan terapi oksigen hiperbarik (Kemenkes, 2008). Namun di lain negara,

kehamilan menjadi kontraindikasi relatif dalam penggunaan terapi oksigen

hiperbarik (Choudhury, 2018).

Kontraindikasi relatif terapi oksigen hiperbarik adalah hipertensi yang

tidak terkendali sebab terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan tekanan

darah; penderita diabetes mellitus dengan kadar glukosa lebih dari 300 atau

kurang dari 100; gagal jantung kongestif dengan fraksi ejeksi kurang dari 35%

sebab terapi oksigen hiperbarik dapat memperburuk gagal jantung dan/atau

edema pada paru-paru; kecemasan claustrophobia/kurungan yang biasanya

terjadi pada monoplace chamber sehingga pasien yang demikian dapat

dilakukan terapi pada multiplace chamber; spherocytosis sebab terapi oksigen

hiperbarik dapat menyebabkan hemolisis parah; infeksi saluran pernapasan atas

dan sinus kronis sebab hal tersebut dapat mengganggu kemampuan untuk

menyamakan penurunan tekanan. Kedua situasi tersebut dapat menyebabkan

barotrauma (Dubose & Cooper, 2019; Ferreira et al., 2018).

Kontraindikasi relatif yang lain adalah demam sebab demam dapat

menurunkan ambang kejang selama pengobatan; penggunaan alat pacu


41

jantung/implan sebab terapi oksigen hiperbarik memungkinkan terjadinya

kegagalan fungsi pada alat tersebut terutama ketika terjadi penurunan tekanan.

Selain itu alat pacu dapat berisiko menyebabkan percikan api pada lingkungan

yang memiliki kadar oksigen 100% sehingga perlu dilakukan koordinasi dengan

petugas hiperbarik dan memastikan alat tersebut telah lulus uji tekanan; pasien

dengan riwayat bedah mata/ retina/ katarak/ neuritis optik sebab terapi oksigen

hiperbarik berisiko terjadinya gelembung di dalam bagian tersebut sehingga

biasanya pasien harus menunggu beberapa bulan setelah operasi untuk

melakukan terapi oksigen hiperbarik; pasien dengan riwayat pembedahan

thoraks, penyakit paru obstruktif/ penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)/ asma;

riwayat kejang yang tidak terkontrol sehingga dianjurkan kejang perlu dikontrol

sebelum memulai terapi; serta penggunaan kontak lensa (Dubose & Cooper,

2019; Lam et al., 2017).

Penggunaan obat-obatan pasien perlu dikaji terlebih dahulu dan

dievaluasi adanya interaksi farmakoterapi dengan terapi oksigen hiperbarik.

Penggunaan bleomycin dapat menyebabkan pneumotitis interstial dan fibrosis

paru. Pasien dapat melakukan terapi setelah 12 bulan pemberian bleomycin.

Selain itu penggunaan sulfamylon dan cisplatin dapat mengganggu proses

penyembuhan luka. Disulfiram dapat memblokir superoksida dismutase yang

melindungi terhadap toksisitas oksigen. Selain itu doxorubicin dapat

menyebabkan kardiotoksisitas. Pasien harus menunggu minimal 72 jam setelah

pemberian dosis terakhir. Oleh sebab itu sebaiknya obat-obatan tersebut

dihentikan sebelum dilakukan terapi (Dubose & Cooper, 2019).

2.3.6 Efek Samping


42

Terapi oksigen hiperbarik adalah bentuk terapi yang relatif aman dengan

sedikit efek samping yang umumnya bersifat sementara (Ferreira et al., 2018).

Penyebab efek samping tersebut karena dua mekanisme utama pada proses

terapi yaitu efek dari perubahan tekanan gas pada ruang tertutup dan hiperoksia

(Ferreira et al., 2018; Eggleton et al., 2015). Perubahan tekanan yang meningkat

berisiko menyebabkan barotrauma pada pasien sedangkan hiperoksia dapat

menyebabkan miopia progresif (Eggleton et al., 2015). Barotrauma dan miopia

yang terjadi biasanya bersifat ringan dan sementara (Ferreira et al., 2018).

Komplikasi dari terapi oksigen hiperbarik adalah toksik oksigen yang dapat

berpengaruh pada sistem saraf pusat (Deluca et al., 2019).

Efek samping lain yang jarang terjadi namun bersifat serius adalah

eksaserbasi gagal jantung kongestif, edema paru, dan perubahan retina (Ferreira

et al., 2018; Lam et al., 2017). Beberapa pasien juga mengeluh mual,

berkeringat, batuk kering, sakit dada, kedutan, dan tinitus (Kemenkes, 2008).

2.3.7 Prosedur Pelaksanaan

Sebelum terapi oksigen hiperbarik dilakukan, dokter jaga dan perawat

(tender) melaksanakan anamnesis yang terdiri dari identitas, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, kontraindikasi absolut dan relatif untuk terapi

oksigen hiperbarik; Indikasi terapi oksigen hiperbarik; pemeriksaan fisik lengkap;

X-foto thorak PA; pemeriksaan tambahan bila dianggap perlu seperti EKG,

bubble detector untuk kasus penyelaman, perfusi da PO2 transcutanes,

laboratorium darah, dan konsultasi dokter spesialis; menerangkan manfaat, efek

samping, proses, dan program terapi yaitu terapi dilaksanakan di dalam ruang

udara bertekanan tinggi, cara adaptasi terhadap perubahan tekanan yaitu

manuver valsava atau equalisasi, bernafas menghirup oksigen 100% melalui


43

masker selama 3 x 30 menit untuk tabel terapi Kindwall atau sesuai tabel terapi

kasus penyelaman, efek samping barotrauma, intoksikasi oksigen, selama terapi

didampingi oleh perawat, serta menandatangani inform consent (Lakesla, 2009

dalam Dismalyansa, 2019).

Selama proses kompresi, tender membantu adaptasi peserta terapi

terhadap peningkatan tekanan lingkungan. Selama proses menghirup O2 100%:

observasi tanda-tanda intoksikasi oksigen seperti pucat, keringat dingin,

twitching, mual, muntah dan kejang. Bila terjadi hal demikian maka perawat akan

memberitahukan kepada petugas diluar bahwa terapi dihentikan sementara

sampai menunggu kondisi penderita baik, kemudian penderita dikeluarkan dan

diberikan perawatan sampai kondisi adekuat; observasi TTV dan keluhan peserta

terapi; Untuk kasus penyelaman, observasi sesuai keluhan yaitu gangguan

motorik, sensorik, rasa nyeri. Selama proses dekompresi, perawat membantu

adaptasi peserta terapi oksigen hiperbarik terhadap pengurangan tekanan

lingkungan dengan valsava manuver, menelan ludah, atau minum air putih

(Lakesla, 2009 dalam Dismalyansa, 2019).

Setelah terapi selesai dilaksanakan, dokter dan perawat jaga terapi

oksigen hiperbarik melaksanakan anamnesis setelah terapi, evaluasi penyakit,

evaluasi ada tidaknya efek samping. Bila kondisi baik maka pasien akan

dikembalikan ke ruang perawatan seperti semula (Lakesla, 2009 dalam

Dismalyansa, 2019).
BAB III

KERANGKA KONSEP & HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Pasien Diabetes Melitus

Komplikasi Akut Komplikasi Kronis

Diabetik Hiperglikemi Neuropati Retinopati Nefropati


Ketoasidosis Hiperosmolar Perifer
Sindrom

Kerusakan Kerusakan Kerusakan


Saraf Saraf Saraf Motorik
Otonom Sensorik

Terapi

Farmakologi Non Farmakologi


Senam kaki

Senam Terapi
Kaki Oksigen
Hiperbarik
Faktor yang
berhubungan:
1. Usia
2. Lama waktu
Penurunan Tingkat
menderita Keparahan Neuropati Perifer
diabetes melitus
3. Rendahnya
kontrol gula Keterangan:
darah = Diteliti
4. Riwayat merokok
5. Dislipidemia
= Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

44
45

Diabetes melitus menyebabkan komplikasi akut dan kronis. Komplikasi

akut terdiri dari diabetik ketoasidosis (DKA) dan hiperglikemi hiperosmolar

sindrom (HHS) sedangkan komplikasi kronis terdiri dari neuropati perifer,

retinopati, dan nefropati. Neuropati perifer menimbulkan manifestasi berupa

kerusakan pada saraf otonom, sensorik, dan motorik sehingga dilakukan terapi

yang terdiri dari farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi yang

disarankan berupa senam kaki. Pada penelitian ini akan mengidentifikasi apakah

terapi oksigen hiperbarik dapat dijadikan sebagai alternatif untuk meningkatkan

perbaikan neuropati perifer yang mana perbaikan tersebut berhubungan dengan

beberapa faktor diantaranya usia, lama waktu menderita diabetes melitus,

rendahnya kontrol gula darah, riwayat merokok, dan dislipidemia.

3.2 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan tingkat

keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik pada

penderita diabetes melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys

Surabaya.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analisis komparatif. Kelompok

dilakukan pemeriksaan untuk mengukur tingkat keperahan neuropati perifer

sebelum terapi oksigen hiperbarik. Setelah menjalani 10 kali terapi, kelompok

dilakukan pemeriksaan kembali untuk mengukur tingkat keperahan neuropati

perifer sesudah terapi oksigen hiperbarik.Setelah itu peneliti menghitung selisih

di antara keduanya untuk mengetahui adanya perbaikan atau tidak.

Responden yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pasien baru

yang datang ke Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys untuk

menjalani terapi oksigen hiperbarik dengan indikasi diabetes melitus baik yang

disertai ulkus maupun tidak. Peneliti tidak meminta/ menghadirkan responden

secara sengaja untuk mengikuti terapi oksigen hiperbarik. Dengan demikian,

terapi yang diberikan bukan atas dasar semata-mata keperluan peneliti, namun

juga merupakan kebutuhan pasien terkait pengobatan non farmakologi untuk

diabetes melitus yang diderita sehingga segala biaya terapi oksigen hiperbarik

menjadi tanggung jawab pasien.

Peneliti juga tidak terlibat dalam pemberian intervensi secara langsung.

Intervensi diberikan oleh tim kesehatan hiperbarik (dokter, perawat, dan teknisi)

Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys. Peneliti hanya melakukan

observasi saja selama prosedur pemberian terapi oksigen hiperbarik. Sedangkan

pemeriksaan neuropati perifer dilakukan oleh peneliti dengan bantuan dari

tenaga kesehatan yang telah ditentukan oleh pihak Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

46
47

Sastropanoelar, Phys. Pemeriksaan tersebut akan dilakukan bersamaan dengan

anamnesis dan evaluasi dari pihak Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar,

Phys.

4.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini merupakan penderita diabetes melitus yang

disertai neuropati perifer dan pertama kali terdaftar sebagai pasien terapi oksigen

hiperbarik di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys pada saat

kegiatan penelitian ini sedang berlangsung.

Berdasarkan studi pendahuluan, rata-rata pasien diabetes melitus baru

yang disertai neuropati perifer dalam 10 hari adalah 4 orang. Rata-rata dalam

sebulan sebanyak 12 orang. Besarnya jumlah sampel dihitung menggunakan

rumus Slovin sebab populasi < 10.000 (Cahyono, 2018):

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 × 𝑑2

Keterangan:

n = besarnya sampel

N = besarnya populasi

d = besarnya penyimpangan yang masih ditolerir

Dari rumus tersebut didapati jumlah sampel sebanyak:


𝑁 12
𝑛 = 1+𝑁×𝑑2 = 1 +12 × 0,052 = 11,65 = 12 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling yakni pemilihan subjek berdasarkan kriteria spesifik yang

ditetapkan oleh peneliti (Chandra 2007 dalam Prihanti, 2016).

Kriteria inklusi:

1. Penderita diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2.


48

2. Penderita diabetes melitus yang memiliki salah satu atau lebih gejala

neuropati perifer dengan hasil pemeriksaan neuropati perifer

menunjukkan minimal skor 1 (ringan).

3. Penderita diabetes melitus yang mendapatkan terapi farmakologi α-

Lipoic acid, aldose reductase inhibitor, asetil-I-Karnitin, PKC inhibitor.

4. Penderita diabetes melitus yang bersedia menjadi responden dalam

penelitian ini ditandai dengan menandatangani lembar inform consent.

Kriteria eksklusi:

1. Penderita diabetes melitus yang memiliki riwayat penyakit stroke dan

cedera kepala.

2. Penderita diabetes melitus yang tidak menyelesaikan seluruh tahapan

terapi oksigen hiperbarik yang telah ditetapkan peneliti yaitu sebanyak

10 kali.

3. Penderita diabetes melitus yang mengajukan pengunduran diri

sebagai responden di tengah proses penelitian berlangsung.

4.3 Variabel Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi oksigen hiperbarik.

Sedangkan variabel dependen adalah tingkat keparahan neuropati perifer

sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar,

Phys yang berlokasi di Jl.Gadung No.1, Jagir, Kec. Wonokromo, Kota Surabaya.

Penelitian diawali dengan Studi pendahuluan di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys Surabaya pada tanggal 25 Juni 2020. Perjanjian kerja

sama dan MOU dikeluarkan oleh FKUB pada bulan Agustus 2020. Surat
49

Keterangan Kelaikan Etik dikeluarkan oleh FKUB pada tanggal 13 Maret 2021.

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 23 April 2021 - 24 Mei 2021.

Setelahnya dilakukan perhitungan data dan seminar hasil.

4.5 Bahan dan Alat/ Instrumen Penelitian

4.5.1 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan neuropati

perifer adalah lembar pemeriksaan neuropati perifer yang diadopsi dari penelitian

sebelumnya oleh Rosyida (2016) yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya.

Instrumen tersebut merupakan hasil adopsi serta adaptasi dari MNSI (Michigan

Neuropathy Screening Instrument) dan MDNS (Michigan Diabetic Neuropathy

Score). Ada 3 bagian dalam lembar pemeriksaan neuropati perifer yaitu

pemeriksaan kerusakan otonom, sensorik, dan motorik.

Pada pemeriksaan tingkat kerusakan saraf otonom dilakukan dengan

inspeksi keadaan kaki kiri maupun kanan untuk mengetahui adanya kulit kering,

pecah-pecah, dan callus (kapalan). Rentang skor pada tiap bagian sisi kaki

adalah 0-2. Sehingga rentang skor untuk kaki kiri dan kanan adalah 0-4. Pada

pemeriksaan tingkat kerusakan saraf sensorik terdapat 3 sub pemeriksaan yaitu

pemeriksaan sensitifitas kaki, sensasi vibrasi, dan sensasi nyeri. Pemeriksaan

sensitifitas kaki menggunakan monofilamen 10 g. Pemeriksaan sensasi vibrasi

menggunakan garpu tala 128 Hz. Pemeriksaan sensasi nyeri menggunakan pin

prick (jarum). Pemeriksaan dilakukan pada kaki kiri dan kanan dengan rentang

skor adalah 0-5 pada setiap bagian sisi kaki sehingga rentang skor pada kedua

sisi adalah 0-10.

Pada pemeriksaan tingkat kerusakan saraf motorik terdapat 3 sub

pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan deformitas, kekuatan otot, dan refleks.


50

Pemeriksaan deformitas dengan melakukan inspeksi pada kaki kiri maupun

kanan. Pemeriksaan kekuatan otot dengan meminta pasien melakukan abduksi,

ekstensi, dan dorsofleksi pada kaki kiri dan kanan. Pemeriksaan refleks

menggunakan palu refleks pada ekstermitas kiri dan kanan. Rentang skor pada

setiap sisi ekstermitas adalah 0-16 sehingga rentang skor pada kedua sisi adalah

0-32. Berdasarkan pengkajian objektif tersebut, rentang skor keseluruhan pada

salah satu sisi ekstermitas adalah 0-23 sehingga rentang skor pada kedua sisi

adalah 0-46. Semakin tinggi nilai skor maka semakin berat pula tingkat

keparahan neuropati perifer yang dialami oleh pasien penderita diabetes melitus

(Rosyida, 2016).

4.5.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Instrumen penelitian ini berupa lembar pemeriksaan neuropati perifer

telah diuji validitas dan reliabilitasnya oleh peneliti sebelumnya. Pengujian

validitas dilakukan dalam dua cara yaitu dengan content validity dan construct

validity. Hasil uji content validity secara keseluruhan sudah sesuai dengan teori.

Sedangkan untuk uji construct validity dilakukan melalui pilot study kepada 30

penderita diabetes di wilayah kerja Puskesmas Padangsari Semarang. Uji

construct validity menggunakan uji Pearson Product Moment dan dinyatakan

instrumen pemeriksaan neuropati perifer yang digunakan pada penelitian ini

adalah valid dengan r hitung 0.371-0.765 (r tabel 0.361). Sedangkan uji

reliabilitas dilakukan pada subjek yang sama dengan menggunakan Alpha

Cronbach. Hasil uji reliabilitas nilai Alpha Cronbach sebesar 0,703. Hasil tersebut

menyatakan bahwa lembar pemeriksaan neuropati perifer reliabel digunakan

dalam penelitian ini (Rosyida, 2016).


51

4.6 Definisi Istilah / Operasional

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor

Independen: Terapi dengan memberikan oksigen Terapi diberikan sebanyak 10 kali (1 SOP - -
sesi) secara berturut-turut 1 hari sekali
Terapi Oksigen berkonsentrasi tinggi (100%) pada
pada hari kerja.
Hiperbarik tekanan 2,4 ATA selama 90 menit pada

penderita diabetes melitus di Lakesla

Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar,

Phys Surabaya.

Dependen: Kerusakan fungsi saraf perifer yang Terdapat 3 komponen untuk menilai Lembar pemeriksaan Rasio 0-46

dinilai dari kerusakan fungsi otonom, neuropati perifer yaitu kerusakan saraf neuropati perifer.
Tingkat
sensorik, dan motorik pada kedua sisi otonom dengan 3 item pemeriksaan,
Keparahan
ekstermitas penderita diabetes melitus kerusakan saraf sensorik dengan 12
Neuropati Perifer
baik sebelum maupun sesudah terapi item pemeriksaan, dan kerusakan saraf

oksigen hiperbarik di Lakesla Drs. motorik dengan 15 item pemeriksaan.

Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Sehingga keseluruhan pemeriksaan

Surabaya. berjumlah 30 item.


52

Sub Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor

Tingkat Pemeriksaan yang ditujukan Kerusakan fungsi otonom dinilai oleh - Rasio 0-4

Kerusakan saraf untuk mengetahui adanya peneliti dengan melakukan inspeksi pada

otonom kerusakan saraf otonom dengan kedua sisi kaki terkait terkait ada/tidaknya

melakukan inspeksi terkait ada gejala berikut:

atau tidaknya kulit kering, kulit 1. Kulit kering

pecah-pecah, dan callus pada 2. Kulit pecah-pecah

kedua sisi kaki penderita diabetes 3. Callus

melitus yang menjalani terapi

oksigen hiperbarik di Lakesla Drs.

Med. R. Rijadi Sastropanoelar,

Phys Surabaya.
53

Sub Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor

Tingkat Pemeriksaan yang ditujukan Kerusakan fungsi sensorik dinilai oleh 1. Monofilamen 10g Rasio 0-10

Kerusakan saraf untuk mengetahui adanya peneliti yang dilakukan pada kedua sisi
2. Garpu tala 128Hz
sensorik kerusakan saraf sensorik dengan kaki dengan melakukan pemeriksaan
3. Jarum pentul
melakukan pemeriksaan berikut :

sensitivitas kaki, sensasi vibrasi, 1. Sensitivitas kaki

dan sensasi nyeri pada kedua 2. Sensasi vibrasi

sisi kaki penderita diabetes 3. Sensasi nyeri

melitus yang menjalani terapi

oksigen hiperbarik di Lakesla Drs.

Med. R. Rijadi Sastropanoelar,

Phys Surabaya.
54

Sub Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor

Tingkat Pemeriksaan yang ditujukan Kerusakan fungsi motorik dinilai oleh 1. Palu refleks Rasio 0-32

Kerusakan saraf untuk mengetahui adanya petugas Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

motorik kerusakan saraf motorik dengan Sastropanoelar, Phys Surabaya yang

melakukan inspeksi deformitas, dilakukan pada kedua sisi ekstermitas

pemeriksaan kekuatan otot, dan dengan melakukan pemeriksaan berikut:

pemeriksaan refleks pada kedua 1. Inspeksi deformitas

sisi ekstermitas penderita 2. Pemeriksaan kekuatan otot

diabetes melitus yang menjalani 3. Pemeriksaan refleks

terapi oksigen hiperbarik di

Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys Surabaya.


55

3.7 Prosedur Penelitian/ Pengumpulan Data

4.7.1 Prosedur Penelitian

Pasien diabetes melitus yang baru terdaftar

Skrining tingkat keparahan neuropati perifer

Skor 0 Skor  1

Skrining Kriteria Inklusi &Eksklusi

Ada kriteria eksluksi Tidak ada kriteria eksluksi

Informed Consent

Menolak Bersedia

Pengisian Riwayat Kesehatan

Pre Test (Data diambil dari


skrining neuropati perifer)

Terapi tidak sesuai Terapi Oksigen Hiperbarik


protokol/mengundurkan diri sebanyak 10 kali.

Post Test

Gambar 4.1 Prosedur Penelitian


56

Pasien diabetes melitus yang baru terdaftar di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys Surabaya akan dilakukan skrining tingkat keparahan

neuropati perifer menggunakan lembar pemeriksaan neuropati perifer. Data

skrining tersebut disimpan untuk juga digunakan sebagai data pre test. Jika skor

pasien <1 maka pasien tidak dilibatkan sebagai responden. Apa bila skor pasien

 1 maka pasien akan dilakukan skrining kriteria inklusi & eksklusi.

Penapisan pasien tidak menggunakan terapi farmakologi sebelum terapi

oksigen hiperbarik yaitu dengan menanyakan langsung kepada pasien terkait

penggunaan obat-obatan tersebut. Sedangkan penapisan pasien tidak

menggunakan terapi farmakologi selama 10 kali terapi oksigen hiperbarik yaitu

sesuai hasil diskusi selama paparan proposal di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys Surabaya bahwa dokter tidak memberikan obat-obatan

neuropati dan mereka tidak menyediakan fasilitas untuk itu.

Apa bila pasien lulus skrining kriteria inklusi & eksklusi maka pasien akan

diminta ketersediaannya untuk mengikuti penelitian dengan menandatangani

lembar informed consent. Pasien yang setuju kemudian akan diwawancara

mengenai riwayat kesehatan. Lembar pencatatan terkait skor skrining tingkat

keparahan neuropati perifer, kriteria inklusi & eksklusi, checklist persetujuan

informed consent, dan riwayat kesehatan pasien tersusun secara sistematis dan

berurutan dalam satu berkas yang disebut lembar pemeriksaan karakteristik

responden.

Setelahnya pasien akan dilakukan terapi oksigen hiperbarik sesuai

standart minimal yang berlaku di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar,

Phys Surabaya yaitu 10 kali. Jika pasien melakukan terapi tidak sesuai standart
57

tersebut maka pasien akan dikeluarkan dari responden penelitian. Namun jika

pasien melakukan terapi sesuai standart minimal yang berlaku maka pasien akan

dilakukan post test yakni pemeriksaan tingkat keparahan neuropati perifer untuk

mengetahui perbaikan yang dialami pasien.

Apa bila selama proses penelitian pasien mengalami komplikasi atau efek

samping, hal tersebut menjadi tanggungjawab Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys Surabaya. Penatalaksanaan efek samping sesuai SOP

yang berlaku oleh Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.

Apa bila penatalaksanaan tersebut menyebabkan terapi yang diterima pasien

tidak sesuai dengan protokol dalam penelitian (jumlah terapi) maka pasien akan

dikeluarkan dari penelitian. Penelitian ini di bawah pembimbing klinik Dr. Titut

Harnanik, dr. M. Kes.

4.7.2 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi

dan pemeriksaan. Ketiga teknik tersebut digunakan untuk mengumpulkan

informasi mengenai data karakteristik responden. Hasil pengkajian tersebut

ditulis dalam lembar pemeriksaan karakteristik responden.

Teknik observasi digunakan untuk mengumpulkan data terkait

pelaksanaan intervensi terapi oksigen hiperbarik apakah sesuai dengan prosedur

atau tidak. Hasil pengamatan ditulis pada lembar prosedur terapi oksigen

hiperbarik dalam bentuk checklist. Sedangkan teknik pemeriksaan digunakan

untuk mengumpulkan data tingkat keparahan neuropati perifer pada responden.

Pemeriksa mencatat setiap tahap pemeriksaan yang telah dilakukan ke dalam


58

lembar prosedur pemeriksaan neuropati perifer dalam bentuk checklist. Hasil

pemeriksaan tersebut dicatat dalam lembar pemeriksaan neuropati perifer.

Waktu yang dibutuhkan untuk pengkajian karakteristik responden serta

pemeriksaan tingkat keparahan neuropati perifer yaitu 17 menit/pasien dengan

rincian dalam tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Rincian Durasi Pengambilan Data

No Kegiatan Durasi
(menit)
1 Mengkaji riwayat kesehatan 5
2 Pemeriksaan saraf otonom 1
3 Pemeriksaan saraf sensorik
Sensitivitas 3
Vibrasi 2
Sensasi 1
4 Pemeriksaan saraf motorik
Deformitas 1
Kekuatan otot 2
Refleks otot 2
Durasi Keseluruhan 17

Pengambilan data tidak dapat dilakukan secara daring karena peneliti

harus turun langsung untuk melakukan pemeriksaan fisik ke pasien. Namun

dalam kegiatan pengumpulan data, peneliti akan menerapkan penggunaan

protokol kesehatan sesuai arahan dan perintah dari pihak Lakesla Drs. Med. R.

Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya. Peneliti juga akan melakukan swab

antigen baik sebelum ke Surabaya maupun setelahnya.

4.7.3 Prinsip Etik

Penelitian ini mendapatkan surat keterangan laik etik dari komisi etik

penelitian kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dengan


59

nomor surat No. 69 / EC/ KEPK – S1 – PSIK / 03 / 2021 . Ada pun prinsip-

prinsip etik yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan dalam penjelasan

di bawah ini.

1. Respect for Person

Peneliti mempertimbangkan hak-hak subjek dengan memberikan

informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta

memberikan kebebasan kepada subjek untuk berpartisipasi atau tidak

dalam kegiatan penelitian (autonomy). Peneliti mempersiapkan lembar

informed consent yang terdiri dari penjelasan manfaat penelitian,

penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang dapat

ditimbulkan, menjelaskan manfaat yang akan didapat, persetujuan peneliti

dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan

dengan prosedur penelitian, persetujuan subjek dapat mengundurkan diri

kapan saja, jaminan anonimitas dan kerahasiaan. Peneliti juga akan

menyampaikan hasil pemeriksaan tingkat keparahan neuropati perifer

pada responden dengan sebenar-benarnya.

2. Beneficience

Penelitian ini sudah diperhitungkan manfaatnya. Manfaat tersebut

diantaranya responden dapat mengetahui tingkat keparahan neuropati

perifer yang dialami. Selain itu responden juga dapat mengetahui apakah

terapi oksigen hiperbarik yang dijalani memiliki manfaat lain selain untuk

meningkatkan sensitivitas insulin dan perbaikan diabetic foot ulcer.

Kerugian yang ditimbulkan berkaitan dengan waktu. Pasien yang menjadi

responden akan memerlukan waktu pemeriksaan dan evaluasi lebih lama


60

dibandingkan pasien lain yang tidak menjadi responden. Durasi yang

diperlukan sekitar 17 menit untuk pengambilan data.

3. Justice

Peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender. Pada

penelitian ini baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama

untuk keterlibatan dalam penelitian. Seluruh responden akan

mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun

sesudah berpartisipasi dalam penelitian. Seluruh responden akan

diperlakukan ramah dan baik oleh peneliti termasuk responden yang

memenuhi kriteria drop out.

4.8 Analisis Data

Seluruh penghitungan dalam analisis univariat maupun bivariat baik

dilakukan menggunakan bantuan program komputer yaitu SPSS. Analisis

univariat digunakan untuk mengetahui frekuensi dari karakteristik responden.

Analisis univariat juga digunakan untuk mengetahui frekuensi, mean, standart

deviasi, median, nilai minimal dan maksimal pada tingkat keparahan neuropati

perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

Analisis bivariat terdiri dari uji normalitas dan uji komparasi. Uji normalitas

data dilakukan untuk mengetahui suatu data bersifat normal atau tidak. Uji

normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Saphiro-Wilk karena jumlah

sampel yang digunakan dalam penelitian ini ≤50. Uji komparasi dilakukan untuk

mengetahui adanya perbedaan tingkat keparahan neuropati perifer sebelum

dengan sesudah dilakukan terapi oksigen hiperbarik. Apa bila data berdistribusi

normal, maka uji komparasi dilakukan menggunakan uji T berpasangan (Paired

T-Test). Namun apa bila data tidak berdistribusi normal maka dilakun uji
61

Wilcoxon. Pengujian akan dilakukan dengan 2 tahap yaitu pengujian pada

masing-masing komponen (tingkat kerusakan saraf otonom, sensorik, motorik)

dan pengujian seluruh komponen (tingkat keparahan neuropati perifer).


BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini menguraikan hasil penelitian dan analisa data mengenai

perbedaan tingkat keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi

oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi

Sastropanoelar, Phys Surabaya. Total keseluruhan pasien baru yang masuk

sebanyak 6 orang. Satu orang memenuhi kriteria eksklusi sebab

memberhentikan terapi sebelum 10 kali. Oleh sebab itu, hanya 5 orang sisanya

yang kemudian dilibatkan sebagai responden dalam penelitian.

5.1 Data Karakteristik Responden

Data karakteristik responden meliputi distribusi frekuensi data demografi

yang tercantum dalam tabel 5.1.

62
63

Tabel 5.1 Frekuensi Data Demografi

Parameter Sub Parameter N %


Dewasa awal
1 20%
(26-35 tahun)
Lansia awal
Usia 3 60%
(46-55 tahun)
Lansia akhir
1 20%
(56-65 tahun)
Laki-laki 3 60%
Jenis Kelamin
Perempuan 2 40%
Lama 2,5 tahun 2 40%
Menderita
3 tahun 2 40%
Diabetes
Melitus 15 tahun 1 20%
Riwayat Normal 2 40%
Kolesterol
Sebelum Tinggi 3 60%
Terapi Pertama
Gula Darah Stabil 1 20%
Selama Proses Tidak stabil
10 kali Terapi 4 80%
(Peningkatan)
Kiri 3 60%
Ulkus Kaki Kanan 1 20%
Kiri dan Kanan 1 20%

Dari 5 responden yang terlibat dalam penelitian, kategori usia yang paling

banyak ada lansia awal (47 tahun dan 48 tahun) dan lansia akhir (56 tahun dan

60 tahun). Kategori jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki. Kategori

pendidikan terakhir yang paling banyak adalah SMA. Berdasarkan lamanya

pasien menderita diabetes melitus yang dihitung dari pertama kali pasien

mengetahui diagnosis penyakitnya paling banyak sekitar 2,5 tahun dan 3 tahun.

Berdasarkan riwayat penyakit, keseluruhan responden tidak memiliki

tekanan darah tinggi. Keseluruhan responden memiliki ulkus pada kaki. 80%

responden tidak memiliki riwayat kolesterol tinggi. 80% responden juga


64

mengalami ketidakstabilan gula darah berupa peningkatan selama proses

pemberian 10 kali terapi oksigen hiperbarik yang disebabkan oleh pola makan.

Berdasarkan hasil wawancara mengenai gaya hidup responden, seluruh

responden tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol.

5.2 Data Univariat

Data univariat pada penelitian ini terdiri dari hasil pemeriksaan tingkat

kerusakan saraf otonom, sensorik, motorik, dan kesimpulan tingkat keparahan

neuropati perifer yang masing-masing terdiri dari pre dan post. Frekuensi skor

tingkat kerusakan saraf otonom sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik

yang tercantum dalam tabel 5.2; frekuensi skor tingkat kerusakan saraf sensorik

sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik yang tercantum dalam tabel 5.3;

frekuensi skor tingkat kerusakan saraf motorik sebelum dan sesudah terapi

oksigen hiperbarik yang tercantum dalam tabel 5.4; frekuensi skor tingkat

keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik yang

tercantum dalam tabel 5.5.

Tabel 5.2 Frekuensi Skor Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 4 2 2
2 4 3 1
3 3 3 0
4 2 0 2
5 2 1 1

Skor maksimal kerusakan saraf otonom adalah 4 yang terdiri dari rentang

0-2 (kaki kiri) dan 0-2 (kaki kanan). Responden 1 mendapat skor pre test 4
65

karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada kaki kiri

dan kanan. Responden 1 mendapat skor post test 2 karena memiliki gejala kulit

kering pada kaki kanan; callus pada kaki kanan. Responden 2 mendapat skor

pre test 4 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada

kaki kiri dan kanan. Responden 2 mendapat skor post test 3 karena memiliki

gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; serta callus pada kaki kanan.

Responden 3 mendapat skor pre test 3 karena memiliki gejala kulit kering pada

kaki kiri dan kanan; serta callus pada kaki kanan. Responden 3 mendapat skor

post test 3 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; serta

callus pada kaki kanan. Responden 4 mendapat skor pre test 2 karena memiliki

gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan. Responden 4 mendapat skor post

test 0 karena tidak memiliki gejala kerusakan saraf otonom. Responden 5

mendapat skor pre test 2 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan

kanan. Responden 5 mendapat skor post test 1 karena memiliki gejala kulit

kering pada kaki sebelah kanan. Dengan demikian, skor 2 dan 4 paling banyak

ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 3 paling banyak ditemukan pada

hasil post test.


66

Tabel 5.3 Frekuensi Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik Sebelum dan


Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 3 1 2
2 3 1 2
3 2 0 2
4 1 0 1
5 3 1 2

Skor maksimal kerusakan saraf sensorik adalah 10 yang terdiri dari

rentang 0-5 (kaki kanan) dan 0-5 (kaki kiri). Responden 1 mendapat skor pre test

3 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri dan kanan;

serta ketidakmampuan merasakan sensasi nyeri pada kaki kiri. Responden 1

mendapat skor post test 1 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan

pada kaki kiri. Responden 2 mendapat skor pre test 3 karena memiliki gejala

penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri; serta penurunan sensasi vibrasi

pada kaki kiri dan kanan. Responden 2 mendapat skor post test 1 karena

memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri. Responden 3

mendapat skor pre test 2 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan

pada kaki kiri; serta penurunan sensasi vibrasi pada kaki kiri. Responden 3

mendapat skor post test 1 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan

pada kaki kiri. Responden 4 mendapat skor pre test 1 karena memiliki gejala

penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan. Responden 4 mendapat skor post

test 0 karena tidak memiliki gejala kerusakan saraf sensorik. Responden 5

mendapat skor pre test 3 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan

pada kaki kiri dan kanan; serta penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan.

Responden 5 mendapat skor post test 1 karena memiliki gejala penurunan


67

sensasi sentuhan pada kaki kanan. Dengan demikian, skor 3 paling banyak

ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 1 paling banyak ditemukan pada

hasil post test.

Tabel 5.4 Frekuensi Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 2 0 2
2 1 0 1
3 1 0 1
4 2 2 0

Skor maksimal kerusakan saraf motorik adalah 32 yang terdiri dari

rentang 0-16 (ekstermitas kiri) dan 0-16 (ekstermitas kanan). Dari 5 responden, 4

diantaranya yang memiliki gejala kerusakan saraf motorik. Responden 1

mendapat skor pre test 2 karena memiliki gejala tidak mampu melakukan abduksi

jari pada kaki kiri. Responden 1 mendapat skor post test 0 karena tidak memiliki

gejala kerusakan saraf motorik. Responden 2 mendapat skor pre test 1 karena

memiliki gejala penurunan refleks achilles pada kaki kiri. Responden 2 mendapat

skor post test 0 karena tidak memiliki gejala kerusakan saraf motorik. Responden

3 mendapat skor pre test 1 karena memiliki gejala penurunan refleks achilles

pada kaki kiri. Responden 3 mendapat skor post test 0 karena tidak memiliki

gejala kerusakan saraf motorik. Responden 4 mendapat skor pre test 2 karena

memiliki gejala adanya 2 bentuk deformitas (hammer toes dan bunion) pada kaki

kiri. Responden 4 mendapat skor post test 2 karena memiliki gejala adanya 2

bentuk deformitas (hammer toes dan bunion) pada kaki kiri. Dengan demikian,
68

skor 1 dan 2 paling banyak ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 0

paling banyak ditemukan pada hasil post test.

Tabel 5.5 Frekuensi Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 9 3 6
2 8 4 4
3 6 3 3
4 5 2 3
5 5 2 3

Skor maksimal keparahan neuropati perifer adalah 0-46 yang terdiri dari

0-23 (ekstermitas kiri) dan 0-23 (ekstermitas kanan). Responden 1 mendapat

skor pre test 9 karena memiliki gejala kulit kering dan callus pada kaki kiri dan

kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri dan kanan; ketidakmampuan

merasakan sensasi nyeri pada kaki kiri; tidak mampu melakukan abduksi jari

pada kaki kiri. Responden 1 mendapat skor post test 3 karena memiliki gejala

kulit kering dan callus pada kaki kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki

kiri. Responden 2 mendapat skor pre test 8 karena memiliki gejala kulit kering

dan callus pada kaki kiri dan kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri;

penurunan sensasi vibrasi pada kaki kiri dan kanan; serta penurunan refleks

achilles pada kaki kiri. Responden 2 mendapat skor post test 4 karena memiliki

gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada kaki kanan; penurunan

sensasi sentuhan pada kaki kiri. Responden 3 mendapat skor pre test 6 karena

memiliki gejala gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada kaki

kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kanan; penurunan sensasi vibrasi
69

pada kaki kanan; penurunan refleks achilles pada kaki kiri. Responden 3

mendapat skor post test 3 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan

kanan; callus pada kaki kanan.

Responden 4 mendapat skor pre test 5 karena memiliki gejala kulit kering

pada kaki kiri dan kanan; penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan; gejala

adanya 2 bentuk deformitas (hammer toes dan bunion) pada kaki kiri.

Responden 4 mendapat skor post test 2 karena memiliki gejala deformitas

(hammer toes dan bunion). Responden 5 mendapat skor pre test 5 karena

gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; penurunan sensasi sentuhan pada

kaki kiri dan kanan; serta penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan.

Responden 5 mendapat skor post test 2 karena memiliki gejala kulit kering pada

kaki kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kanan. Dengan demikian,

skor 5 paling banyak ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 3 dan 2

paling banyak ditemukan pada hasil post test.

5.3 Data Bivariat

Data bivariat pada penelitian ini terdiri dari analisis perbedaan tingkat

kerusakan saraf otonom, sensorik, motorik, dan tingkat keparahan total neuropati

perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

5.3.1 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik.

Analisis perbedaan tingkat kerusakan saraf otonom pada sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik dilakukan menggunakan bantuan SPSS 20

untuk Windows 7 32 bit. Hasil tersebut tercantum dalam tabel 5.6.


70

Tabel 5.6 Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Parameter Pre Test Post Test


Mean 3,0 1,8
Median 3,0 2,0
Varians 1,0 1,7
Standard Deviation 1,0 1,304
Standard Error of Mean 0,447 0,583
95% CI of Mean (1,76) – (4,24) (0,18)-(3,42)
Nilai Minimum 2,0 0,0
Nilai Maximum 4,0 3,0
Range 2,0 3,0
N 5 5
Uji
Saphiro Wilk P = 0,1185 P = 0,4211
Normalitas
Uji
Paired T-Test P = 0,0326
Komparasi

Berdasarkan uji normalitas menggunakan Saphiro Wilk, data pre test ( p =

0,1185) dan post test (p = 0,4211) pada pemeriksaan saraf otonom merupakan

data yang berdistribusi normal karena nilai p > 0,05. Dengan demikian, uji

komparasi yang digunakan menggunakan Paired T-Test. Dari perhitungan

didapat p value = 0,0326 ( p < 0,05) yang artinya bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan antara tingkat kerusakan saraf otonom antara sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik.

5.3.2 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik pada Sebelum

dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Analisis perbedaan tingkat kerusakan saraf sensorik sebelum dan

sesudah terapi oksigen hiperbarik dilakukan menggunakan bantuan SPSS 20

untuk Windows 7 32 bit. Hasil tersebut tercantum dalam tabel 5.7.


71

Tabel 5.7 Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Parameter Pre Test Post Test


Mean 2,4 0,6
Parameter Pre Test Post Test
Median 3,0 1,0
Varians 0,8 0,3
Standard Deviation 0,894 0,548
Standard Error of Mean 0,4 0,245
95% CI of Mean (1,29) – (3,51) (-0,08)-(1,28)
Nilai Minimum 1,0 0,0
Nilai Maximum 3,0 1,0
Range 2,0 1,0
N 5 5
Uji
Saphiro Wilk P = 0,0460 P = 0,0065
Normalitas
Uji
Wilcoxon Signed-Rank Sum Test P = 0,0312
Komparasi

Berdasarkan uji normalitas menggunakan Saphiro Wilk, data pre test ( p =

0,0460) dan post test (p = 0,0065) pada pemeriksaan saraf sensorik merupakan

data yang berdistribusi tidak normal karena nilai p < 0,05. Dengan demikian, uji

komparasi yang digunakan adalah Wilcoxon Signed-Rank Sum Test yang

didapat p value = 0,0312 (p < 0,05). Dengan demikian dari analisa tersebut

didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat

kerusakan saraf sensorik antara sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

5.3.3 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Analisis perbedaan tingkat kerusakan saraf motorik sebelum dan sesudah

terapi oksigen hiperbarik dilakukan menggunakan bantuan SPSS 20 untuk

Windows 7 32 bit. Hasil tersebut tercantum dalam tabel 5.8.


72

Tabel 5.8 Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Parameter Pre Test Post Test


Mean 1,5 0,5
Median 1,5 0,0
Varians 0,333 1,0
Standard Deviation 0,577 1,0
Standard Error of Mean 0,289 0,5
95% CI of Mean (0,58) – (2,42) (-1,09)-(2,09)
Nilai Minimum 1,0 0,0
Nilai Maximum 2,0 2,0
Range 1,0 2,0
N 4 4
Uji
Saphiro Wilk P = 0,0239 P = 0,0012
Normalitas
Uji
Wilcoxon Signed-Rank Sum Test P = 0,1875
Komparasi

Berdasarkan uji normalitas menggunakan Saphiro Wilk, data pre test ( p =

0,0239) dan post test (p = 0,0012) merupakan data yang berdistribusi tidak

normal karena nilai p < 0,05. Dengan demikian, uji komparasi yang digunakan

adalah Wilcoxon Signed-Rank Sum Test yang didapat p value = 0,1875 (p >

0,05). Dengan demikian dari analisa tersebut didapatkan hasil bahwa tidak

terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kerusakan saraf motorik antara

sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

5.3.4 Analisis Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Hasil pemeriksaan tingkat keparahan neuropati perifer merupakan skor

total dari tingkat kerusakan saraf otonom, sensorik, dan motorik. Analisis

perbedaan tingkat keparahan neuropati perifer pada sebelum dan sesudah


73

terapi oksigen hiperbarik dilakukan menggunakan bantuan SPSS 20 untuk

Windows 7 32 bit. Hasil tersebut tercantum dalam tabel 5.9.

Tabel 5.9 Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum dan


Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Parameter Pre Test Post Test


Mean 6,6 2,8
Median 6,0 3,0
Varians 3,3 0,7
Standard Deviation 1,817 0,837
Standard Error of Mean 0,812 0,374
95% CI of Mean (4,34) – (8,86) (1,76)-(3,84)
Nilai Minimum 5,0 2,0
Nilai Maximum 9,0 4,0
Range 4,0 2,0
N 5 5
Uji Normalitas Saphiro Wilk P = 0,2538 P = 0,3140
Uji Komparasi Paired T-Test P = 0,0028

Berdasarkan uji normalitas menggunakan Saphiro Wilk, data pre test ( p =

0,2538) dan post test (p = 0,3140) pada pemeriksaan tingkat keparahan

neuropati perifer merupakan data yang berdistribusi normal karena nilai p > 0,05.

Dengan demikian, uji komparasi yang digunakan menggunakan Paired T-Test.

Dari perhitungan didapat p value = 0,0028 ( p < 0,05) yang artinya bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat keparahan neuropati perifer

sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Hasil penelitian didapatkan mean pre test 3,0 dan mean post test 1,8.

Berdasarkan analisa tersebut terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat

kerusakan saraf otonom antara sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya pada 31 pasien diabetes

tipe II yang disertai ulkus kaki bahwa terapi oksigen hiperbarik efektif untuk

diabetic autonomic neuropathy (p 0,01) (Alnjadat et al., 2015).

Pada jumlah glukosa yang normal dalam darah, metabolisme glukosa

terjadi melalui reaksi enzimatik dengan bantuan enzim heksokinase. Namun

pada penderita diabetes melitus, terjadi peningkatan jumlah glukosa dalam

darah. Hal ini menyebabkan kejenuhan pada enzim heksokinase, sehingga

kelebihan glukosa dimetabolisme melalui reaksi non enzimatik yaitu jalur poliol.

Mekanisme jalur poliol yaitu glukosa direduksi menjadi sorbitol oleh aldose

reduktase. Reaksi tersebut mengoksidasi NADPH menjadi NADP+. Kemudian

sorbitol mengalami oksidasi menjadi fruktosa oleh sorbitol dehydrogenase.

Reaksi tersebut mengubah NAD+ menjadi NADH. Dengan demikian

metabolisme glukosa pada penderita diabetes melitus menghasilkan peningkatan

kadar sorbitol dan fruktosa, serta penurunan NADPH dan NAD+ (Nayak et al.,

2011).

74
75

Peningkatan kadar sorbitol dan fruktosa menyebabkan stress oksidatif

juga meningkat. Peningkatan stress oksidatif memicu disfungsi endotel sehingga

terjadi penurunan aliran darah pada sel saraf otonom yang menyebabkan

hipoksia endoneural. Akumulasi sorbitol juga dapat mengganggu sintesis

kolagen. Sedangkan penurunan NADPH menyebabkan berkurangnya sintesis

glutathione. Serta penurunan NAD+ dapat mempercepat proses penuaan.

Mekanisme tersebut yang pada akhirnya menyebabkan penderita diabetes

melitus mengalami gejala kulit kering. Kulit yang kering ditandai dengan adanya

kulit yang kasar, garis-garis halus, pengelupasan, sisik, pecah-pecah bahkan

kemerahan hingga gatal. Kulit yang kering dapat menyebabkan penebalan yang

timbul akibat adanya gesekan atau tekanan pada kaki yang disebut dengan

kapalan (Zan et al., 2017).

Tekanan tinggi dalam terapi oksigen hiperbarik mampu melakukan

reperfusi pada sel saraf otonom yang mengalami iskemia. Pemberian terapi

oksigen hiperbarik secara berulang juga dapat menurunkan stres oksidatif

dengan mengatur aktivitas enzim antioksidan seperti superoksida dismutase. Hal

ini efektif untuk regenerasi saraf otonom. Selain itu Terapi oksigen hiperbarik

juga dapat meningkatkan sintesis glutathione dan kolagen yang mana keduanya

berperan dalam menjaga kelembaban dan meningkatkan elastisitas kulit. Hal ini

membuat terapi oksigen hiperbarik efektif mengatasi permasalahan kulit kering

(Gurdol et al., 2010).

Hasil penelitian ini seluruh responden memiliki gejala kulit kering dengan

3 diantaranya disertai callus. 10 kali terapi oksigen hiperbarik mampu

meningkatkan kelembaban kulit pada responden yang memiliki gejala kulit kering
76

berupa garis-garis halus yang disertai sedikit pengelupasan. Begitu pun pada 3

responden yang memiliki gejala otonom berupa callus. 10 kali terapi oksigen

hiperbarik mampu menghilangkan callus yang berukuran kecil, agak tebal, dan

sedikit. Berdasarkan pengamatan peneliti, responden yang memiliki gejala kulit

kering berupa sisik serta gejala callus yang berukuran lebar dan ditemukan di

beberapa lokasi, terapi oksigen hiperbarik hanya mampu menurunkan

kuantitasnya namun tidak dengan menghilangkannya.

Pada penelitian ini, 3 responden laki-laki memiliki skor pre test 3 dan 4.

Sedangkan 2 responden perempuan memiliki skor pre test 2. Tingkat kerusakan

saraf otonom sebelum terapi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Hal ini disebabkan gaya hidup di mana perempuan lebih memperhatikan

kesehatan kulit dibandingkan laki-laki. Sedangkan untuk hasil post test, 4

responden mengalami perbaikan dan 1 responden tidak. Responden yang tidak

mengalami perbaikan berjenis kelamin laki-laki dan memiliki skor pre test 3. Hal

ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memang tidak dikontrol dalam

penelitian termasuk penggunaan kaos kaki, suhu lingkungan di rumah, dan

sebagainya.

Berdasarkan lama responden menderita diabetes melitus, tidak ada

perbedaan skor perbaikan antara responden yang menderita diabetes selama

2,5 tahun, 3 tahun, dan 15 tahun. Responden yang menderita diabetes melitus

selama 15 tahun memiliki skor pre test 4. Responden tersebut mengalami

penurunan tingkat kerusakan saraf otonom sebanyak 1 sehingga skor post test

yang didapat adalah 3. Sedangkan responden yang menderita diabetes melitus


77

selama 3 tahun memiliki skor pre test 3 namun tidak mengalami perbaikan

berdasarkan pengukuran menggunakan instrumen.

Berdasarkan ketidakstabilan gula darah, 4 dari 5 responden sempat

mengalami lonjakan gula darah disebabkan karena pola makan yang tidak

dikontrol. Namun lonjakan tersebut hanya berlangsung 1 hingga 2 hari. Skor pre

test dari 4 responden tersebut terletak pada rentang 2 hingga 4. Meski demikian

3 dari 4 responden tersebut mengalami perbaikan pada saraf otonom.

6.2 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik Sebelum dan

Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik

Hasil penelitian didapatkan mean pre test 2,4 dan mean post test 0,6.

Berdasarkan analisa tersebut terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat

kerusakan saraf sensorik antara sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada 69 penderita

diabetes melitus (31 pasien kelompok kontrol dan 38 pasien kelompok

perlakuan). Median sebelum perlakuan 39,7 m/s ± 5,4 m/s menjadi 41,9 m/s ±

4,8 m/s setelah perlakuan. Dengan demikian terdapat pengaruh yang signifikan

(p < 0,05) pada kecepatan konduksi saraf sensorik (Wang et al., 2005).

Perubahan metabolik pada penderita diabetes melitus menyebabkan

berkurangnya pembebasan oksigen oleh eritrosit pada pembuluh darah kapiler

akibatnya terjadi mikrohipoksia endoneural. Apa bila hipoksia terjadi pada sel

saraf sensorik makan akan menimbulkan kerusakan dengan gejala berupa

penurunan persepsi terhadap sentuhan, getaran, dan nyeri. Kerusakan diawali

dengan degenerasi akson yang terjadi dari bagian proksimal ke distal. Kemudian

sel scwaan melepaskan sitokin dan kemokin sehingga merangsang makrofag


78

untuk melakukan fagositosis pada puing-puing hasil sisa degenerasi akson.

Proses tersebut membuat penghantaran impuls dari reseptor terganggu. Tahap

selanjutnya adalah regenerasi. Terapi oksigen hiperbarik dapat membantu

regenerasi sel saraf sensorik dengan cara mengaktifkan hipoxia-inducible factor

1 (HIF-1) sehingga meningkatkan proses neurogenesis (Viera et al., 1999).

Hasil penelitian ini bahwa 5 responden memiliki gejala sensorik.

Keseluruhan pasien mengalami penurunan sensasi vibrasi. 4 diantaranya

mengalami penurunan sensitivitas kaki. 1 diantaranya mengalami

ketidakmampuan merasakan sensasi nyeri. 10 kali terapi oksigen hiperbarik

mampu memberikan perbaikan pada ketiga hal tersebut. Responden mengalami

peningkatan sensitivitas kaki pada beberapa titik lokasi yang sebelumnya

abnormal. Responden mampu mendeskripsikan sensasi vibrasi secara tepat

dibandingkan sebelumnya. Responden mampu merasakan nyeri pada dorsum

ibu jari kaki yang sebelumnya tidak mampu merasakan sensasi nyeri.

Pada penelitian ini, 3 responden laki-laki memiliki skor pre test 2 dan 3.

Sedangkan 2 responden perempuan memiliki skor pre test 1 dan 3. Keseluruhan

responden mengalami perbaikan dengan rentang skor perbaikan 1 hingga 2.

Tidak ada perbedaan baik pada laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan

analisis skor pre test dan post test, responden dengan skor kerusakan 1 dan 2

memiliki skor post test 0. Namun responden dengan skor pre test 3 memiliki skor

post test 1.

Skor perbaikan yang dimiliki oleh 4 responden adalah 2, hanya 1

responden yang mendapatkan skor perbaikan 1. Hal ini disebabkan karena

tingkat kerusakan saraf sensorik sebelum terapi sangat ringan yaitu 1 sehingga
79

dengan demikian skor post test yang didapat responden tersebut adalah 0. Tidak

terdapat perbedaan skor perbaikan antara responden yang menderita diabetes

melitus selama 2,5 tahun, 3 tahun, atau 15 tahun. Keseluruhan responden

mengalami perbaikan saraf sensorik. Begitu pula dengan ketidakstabilan gula

darah. Keseluruhan responden antara yang mengalami lonjakan gula darah atau

tidak tetap mengalami perbaikan.

6.3 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan

Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik

Hasil penelitian didapatkan mean pre test 1,5 dan mean post test 0,5.

Berdasarkan analisa tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor

saraf motorik sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik. Hal ini

bertentangan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan pada 69 penderita

diabetes melitus (31 pasien kelompok kontrol dan 38 pasien kelompok

perlakuan). Median sebelum perlakuan 41,9 m/s ± 7,8 m/s menjadi 43,5 m/s ±

5,1 m/s setelah perlakuan 30 kali terapi. Dengan demikian terdapat pengaruh

yang signifikan (p < 0,01) pada kecepatan konduksi saraf motorik (Wang et al.,

2005).

Dari 5 responden, 4 orang diantaranya yang memiliki gejala motorik.

Gejala motorik merupakan gejala yang paling minimal terjadi dibandingkan

dengan gejala otonom dan sensorik pada neuropati perifer penderita diabetes

melitus. 3 responden mengalami perbaikan sedangkan 1 responden tidak. Hal ini

disebabkan adanya perbedaan gejala motorik yang nampak. 3 responden yang

mengalami perbaikan memiliki gejala ketidakmampuan melakukan abduksi jari

kaki dan penurunan refleks achilles. 10 kali terapi oksigen hiperbarik mampu

memberikan perbaikan pada gejala tersebut. Namun 1 responden yang tidak


80

mengalami perbaikan memiliki gejala 2 bentuk deformitas diantaranya bunion

dan hammer toes. 10 kali terapi oksigen hiperbarik nampaknya tidak efektif untuk

memperbaiki deformitas. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

berhubungan dengan keefektifan terapi seperti jumlah terapi. Namun peneliti

belum menemukan jumlah terapi minimal yang efektif untuk deformitas. Selain itu

adanya faktor lain seperti penggunaan alas kaki yang tidak dikaji dalam

penelitian ini.

Deformitas terjadi akibat adanya kelemahan otot baik pada fleksor,

ekstensor, plantar aponeurosis dan plat plantar. Kelemahan otot yang terjadi

disebabkan adanya kerusakan pada serabut saraf motorik akibat reinervasi yang

tidak optimal setelah proses hilangnya akson. Akibatnya terjadi gangguan

konduksi pada proses penghantaran impuls dari sistem saraf pusat ke efektor

(otot). Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan growht factor yang berperan

dalam neovaskularisasi pada sel saraf yang rusak serta mengaktifkan hipoxia-

inducible factor 1 (HIF-1) sehingga meningkatkan proses neurogenesis pada

saraf motorik. Dengan demikian terapi oksigen hiperbarik dapat merangsang

perbaikan sel saraf motorik sehingga dapat menghantarkan kembali impuls

secara normal (Wang et al., 2005).

Namun penelitian terbaru menemukan bahwa ada penyebab lain dari

munculnya gejala kelemahan otot pada penderita diebetes melitus yaitu adanya

gangguan genetik pada gen yang memproduksi protein VPS39. Protein tersebut

memiliki peran dalam proses regenerasi otot. Namun belum ada penelitian terkait

pengaruh terapi oksigen hiperbarik terhadap kelemahan otot yang disebabkan

karena penurunan produksi VPS39 (Davegardh et al., 2021). Dalam penelitian

ini, peneliti tidak mengetahui deformitas yang terjadi pada responden disebabkan
81

karena kerusakan pada saraf motorik saja atau juga disertai gangguan genetik

dalam pembentukan protein VPS39.

6.4 Analisis Perbedaan Hasil Pemeriksaan Neuropati Perifer Sebelum dan

Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik

Hasil penelitian didapatkan mean pre test 6,6 dan mean post test 2,8.

Berdasarkan analisa tersebut terdapat perbedaan yang signifikan pada skor

neuropati perifer secara keseluruhan sebelum dan sesudah terapi oksigen

hiperbarik. Hal ini sesuai dengan penelitian eksperimen yang dilakukan pada

tikus. Terapi oksigen hiperbarik memiliki pengaruh yang signifikan pada diabetic

peripheral nerves ( P < 0,001) (Low et al., 1988). Hasil tersebut juga sesuai

dengan penelitian true experiment pada 69 penderita diabetes melitus yang

didapatkan hasil bahwa terapi oksigen hiperbarik memiliki pengaruh yang

signifikan pada diabetic peripheral nerves (Wang et al., 2005).

Pada penderita diabetes melitus, terjadi ketidakseimbangan antara radikal

bebas dengan antioksidan. Penumpukan ROS pada sel endotel dapat

menyebabkan disfungsi sehingga terjadi penurunan aliran darah. Apa bila hal ini

terjadi pada sel saraf maka saraf akan mengalami hipoksia. Lambat-laun akan

terjadi iskemik dan nekrosis. Kerusakan yang terjadi pada saraf tepi baik otonom,

sensorik, motorik disebut neuropati perifer. Saraf yang rusak akan mengalami

degenerasi wallerian. Degenerasi diawali dari bagian akson kemudian diikuti oleh

degradasi selubung mielin. Selanjutnya makrofag akan membersihkan puing-

puing sisa degenerasi. Tahap selanjutnya adalah regenerasi (Hanewinckel et al.,

2016).

Terapi oksigen hiperbarik dengan mekanisme kerja melibatkan 2 hukum

fisika yaitu hukum Henry dan Fick. Hukum Henry menyatakan bahwa tekanan
82

berbanding lurus dengan konsentrasi gas yang larut. Sedangkan hukum Fick

menyatakan bahwa tekanan berbanding lurus dengan laju difusi gas. Dengan

demikian terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan konsentrasi dan laju

difusi oksigen dalam darah. Hal ini mampu mengatasi hipoksia pada sel saraf

serta merangsang VEGF yang berperan dalam neovaskularisasi sehingga dapat

mempercepat proses regenerasi sel saraf. Tekanan oksigen yang meningkat

dapat mempertahankan ATP dalam jaringan saraf sehingga mempertahankan

metabolisme aerobik dan menghambat peningkatan kadar laktat. Selain itu,

beberapa temuan terbaru juga menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik

dapat meningkatkan sensitivitas insulin yang artinya dapat membantu mencegah

kerusakan saraf akibat faktor metabolik. Terapi oksigen hiperbarik dapat

merangsang peroksisom proliferator-activated receptor dalam proses transkripsi

gen. Hal tersebut dapat mengaktifkan glucose transporter khususnya GLUT-2

(Choudhury, 2018 ; Thorens, 2015).

Hasil penelitian ini menunjukkan 5 responden memiliki gejala otonom dan

sensorik sedangkan hanya 4 responden yang memiliki gejala motorik. 10 kali

terapi oksigen hiperbarik mampu memberikan perbaikan pada 80% responden

yang memiliki gejala otonom, pada 100% responden yang memiliki gejala

sensorik, dan pada 75% responden yang memiliki gejala motorik. Terapi oksigen

hiperbarik mampu memperbaiki gejala kulit kering; meningkatkan sensitivitas kaki

terhadap sentuhan, vibrasi, dan nyeri; serta meningkatkan kekuatan otot dan

memperbaiki refleks.

Pada penelitian ini, skor pre test pada 3 responden laki-laki berutur-turut

adalah 6,8,9. Sedangkan skor pre test pada 2 responden perempuan adalah 5.

Tingkat keparahan neuropati perifer sebelum terapi lebih tinggi pada laki-laki
83

dibandingkan perempuan. Hal tersebut dapat disebabkan karena lama

responden menderita diabetes melitus. 3 responden laki-laki mengalami diabetes

melitus sejak 3 tahun lalu dan 15 tahun lalu. Sedangkan 2 responden perempuan

mengalami diabetes melitus sejak 2,5 tahun yang lalu. Selain itu gaya hidup

seperti pola makan dan aktivitas fisik juga dapat mempengaruhi tingkat

keparahan neuropati perifer. Meski demikian, seluruh responden mengalami

perbaikan. Temuan unik dalam penelitian ini adalah semakin tinggi tingkat

keparahan maka semakin tinggi pula skor perbaikan. Hal ini dapat dipengaruhi

oleh gaya hidup responden di rumah yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti.

Seluruh responden dalam penelitian memiliki rentang skor pre test 5

hingga 9. Hal tersebut menunjukkan bahwa keseluruhan responden memiliki

tingkat keparahan neuropati perifer yang sama pada saat sebelum terapi yaitu

ringan. Tingkat keperahan menjadi salah satu faktor keefektifan dari terapi

oksigen hiperbarik. Dengan demikian terapi oksigen hiperbarik mampu

memberikan perbedaan pada tingkat keparahan neuropati perifer dalam kategori

ringan.

Seluruh responden dalam penelitian memiliki rentang skor post test 2

hingga 4. Sepuluh kali terapi mampu memberikan penurunan tingkat keparahan

neuropati perifer meskipun 4 diantaranya mengalami ketidakstabilan gula darah

akibat pola makan yang tidak terkontrol. Namun seluruh responden tidak

merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Hal ini tentu mempengaruhi

keefektifan terapi oksigen hiperbarik. Seluruh responden dalam penelitian

memiliki rentang skor perbaikan 3 hingga 6. Skor perbaikan pada 3 responden

laki-laki berturut-turut 3,4,6. Sedangkan skor perbaikan pada 2 responden


84

perempuan adalah 3. Skor perbaikan dipengaruhi oleh tingkat keparahan awal

neuropati perifer.

6.5 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan utama dalam penelitian ini adalah jumlah responden yang

sedikit. Hal ini disebabkan karena pengambilan data dilakukan pada fase

pandemi covid 19 sehingga jumlah pasien dibatasi. Dalam penelitian ini

diharapkan melibatkan minimal 12 responden. Namun pada kenyatannya

penelitian ini hanya mampu melibatkan 5 responden. Selain itu alat ukur yang

digunakan kurang sensitif terutama untuk menilai sensasi sentuhan

menggunakan monofilament. Sensitivitas yang dapat dirasakan pada 1-7 lokasi

masuk ke dalam kategori skor yang sama yaitu 1 sehingga apa bila terdapat

perbaikan dalam rentang skor 1 hingga 7 maka tidak didapati perubahan skor

yang bermakna. Selain itu variasi skor keparahan neuropati perifer dalam

penelitian kami terbatas. Seluruh responden mendapat skor keparahan ≤ 11

sehingga memiliki kesamaan tingkat keparahan yaitu dalam kategori ringan.

Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah durasi waktu pengambilan

data yang relatif agak lama yaitu membutuhkan 10 hari kerja per pasien untuk 10

kali terapi oksigen hiperbarik. Dengan durasi tersebut, peneliti tidak bisa

mengontrol hal-hal lain yang mungkin mempengaruhi neuropati perifer pada

pasien selama di rumah. Faktor-faktor lain tersebut antara lain ketidakstabilan

gula darah, penggunaan alas kaki, dan gaya hidup keseharian pasien seperti

pola makan, pola istirahat, dan aktivitas fisik selama di rumah. Hal tersebut

dimungkinkan dapat memberikan bias pada hasil penelitian.


BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kerusakan saraf otonom

sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kerusakan saraf sensorik

sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

3. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kerusakan saraf

motorik sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

4. Terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat keparahan neuropati perifer

secara keseluruhan sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

7.2 Saran

1. Saran bagi perawat dapat merekomendasikan terapi oksigen hiperbarik

sebagai salah satu terapi komplementer pada penderita diabetes melitus yang

disertai neuropati perifer.

2. Saran bagi pasien dapat memanfaatkan terapi oksigen hiperbarik sebagai

terapi komplementer atau alternatif untuk mengurangi neuropati perifer.

3. Saran bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian ini

dengan menambah jumlah responden serta meningkatkan variasi skor

keparahan neuropati perifer. Peneliti selanjutnya dapat mempertimbangkan

metode penelitian lain seperti experiment yang memberikan kontrol pada

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil penelitian. Peneliti selanjutnya juga

85
86

dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah terapi minimal yang

efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Aguilar T.A.F., Navarro B.C.H., Perez J.A.M. (2016). Endogenous Antioxidants: A


Review of Their Role in Oxidative Stress.
https://www.intechopen.com/books/a-master-regulator-of-oxidative-stress-
the-transcription-factor-nrf2/endogenous-antioxidants-a-review-if-their-role-
in-oxidative-stress diakses pada tanggal 22 Oktober 2019.

Albers J.W., Pop-Busui R. (2014). Diabetic Neuropathy: Mechanisms, Emerging


Treatments, And Subtypes. Curr Neurol Neurosci Rep, 14(8), 473.

Allen C., Harper V. (2011). Laboratory Manual for Anatomy and Physiology, 4th
Ed. USA: John Wiley & Sons.

Alnjadat, I.M., Sa’ideh N., Jaloukh M. (2015). Does Hyperbaric Oxygen Therapy
Have a Role in Diabetic Autonomic Neuropathy?. Journal of the Royal
Medical Services, 22(3), 46-52.

Alport AR, Sander HW. (2012). Clinical Approach To Peripheral Neuropathy:


Anatomic Localizaion And Diagnostic Testing. Continuum Lifelong Learning
Neurol, 18(1),13-38.

American Diabetes Association. (2010). Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care, 33(Supplement 1), S62–S69.

American Diabetes Association. (2011). Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care, 34(1), 562-569.

American Diabetes Association. (2017). Standards of Medical Care in Diabetes.


Diabetes Care, 40(1), S1-S135.

Ardiyati A.V. (2014). Hubungan Antara Skor Monofilamen dengan Ulkus


Diabetika di Klinik Perawatan Luka Rumat Bekasi, Skripsi. Tidak diterbitkan,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.

Armitage A. (2015). Advanced Practice Nursing Guide to the Neurological Exam,


Springer Publishing Company, New York.

87
88

Azhary H., Faroog M.U., Bhanushali M., Majid A., Kassab M.Y. (2010). Peripheral
Neuropathy: Differential Diagnosis and Management. American Family
Physician, 81(7), 887-892.

Bal A., Joshi S.R., Mohan V., Mohan P.C., I. Ranjit U., Shinde J. (2008). ECAB
Clinical Update: Diabetology. India: Elsevier.

Bhakkiyalakshmi E., Sireesh D., Rajaguru P., Paulmurugan R., Ramkumar KM.
(2015). The Emerging Role Of Redox-Sensitive Nrf2–Keap1 Pathway In
Diabetes. Pharmacol Res, 91, 104–114.

Bickley L.S., Szilagyi P.G., Bates B. (2009). Bates' Guide to Physical


Examination and History Taking. Philadelphia USA: Lippincott Williams &
Wilkins.

Booth J., Young M. (2000). Differences in the performance of commercially


Available 10-g Monofilaments, Diabetes Care, 23(7), 984-988.

British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee. (2012).


Procedure: Monofilament Testing for Loss of Protective Sensation of
Diabetic/Neuropathic Feet for Adults & Children.
https://www.clwk.ca/buddydrive/file/procedure-monofilament
testing/?download=106%253Aprocedure-monofilament-testing-for-lops
diakses pada tanggal 22 Oktober 2019.

Brunner., Suddarth. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 10,
Volume 2. Jakarta: EGC.

Cahyono. (2018). Statistika Terapan dan Indikator Kesehatan. Yogyakarta:


Deepublish.

Callaghan BC, Cheng HT, Stables CL, Smith AL, Feldman EL. (2012). Diabetic
Neuropathy: Clinical Manifestations And Current Treatments. Lancet Neurol,
11(6), 521-34.

Campbell W.W., DeJong R.N. (2005). DeJong's the Neurologic Examination, 6th
Ed. Philadelphia USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Chawla A., Chawla R., Jaggi S. (2016). Microvasular and macrovascular


complications in diabetes mellitus: Distinct or continuum?. Indian J
Endocrinol Metab, 20(4), 546–551.

Chawla, R. (2012). Complications of Diabetes First Edition. 2012.


Https://books/google.co.id/books?id=18vIBAAAQBAJ&lpg=PP1&dq=complic
89

ationsofdiabetic&hl=id&pg=PR4#v=onepage&q&f=false diakses pada


tanggal 22 Oktober 2019.

Cowley, G. (2019). What is The Link Between Prednison and Diabetes?.


Https://www.medicalnewstoday.com/articles/317015&hl=en-ID diakses pada
23 Februari 2020.

Choudhury R. (2018). Hypoxia And Hyperbaric Oxygen Therapy: A Review. Dove


Press Journal:International Journal Of General Medicine, 11, 431–442.

Davis L.E. (2010). Neurology In Clinical Practice. New York: Demos Pub.

De Haan J.B. (2011). Nrf2 Activators As Attractive Therapeutics For Diabetic


Nephropathy. Diabetes, 60, 2683–2684.

Decroli E. (2019). Diabetes Melitus Tipe 2 Edisi Pertama. Padang: Pusat


Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.

DeLuca M., Barkhuff D., Duggan N.M., Wittels K., Wilcox S.R. (2019). Case
Presentations of the Harvard Affiliated Emergency Medicine Residencies:
Weakness after Diving. J Emerg Med, 56(3), 332-336.

Devagard C., Sall J., Benrick A., Broholm C., Volkov P., Perfilyev A., et al.
(2021). VPS39-Deficiency Observed in Type 2 Diabetes Impairs Muscle
Stem Cell Differentiation Via Altered Autophagy and Epigenetics. . Nature
Communications, 12(1), 2431.

Djauw L. (2015). Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB) di Lembaga Kesehatan


Kelautan Angkatan Laut (Lakesla).
Https://lakesla.com/artikel/view/9/TERAPI%20OKSIGEN%20HIPERBARIK%
20(TOHB)%20DI%20LEMBAGA%20KESEHATAN%20KELAUTAN%20ANG
KATAN%20LAUT%20(LAKESLA) diakses pada tanggal 16 September 2019.

DiPreta J. (2014). Managing and Treating Common Foot and Ankle Problems, An
Issue of Medical Clinics Of North America. New York: Elsevier.

Dismalyansa. (2019). Pengaruh Hiperbarik Oksigen Terhadap Kualitas Hidup


Penderita Ulkus Kaki Diabetik di RSAL Dr. Ramelan Surabaya, Skripsi. Tidak
diterbitkan, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Surabaya.

Doege H., Bocianski A., Joost H.G., Schurmann A. (2000). Activity and genomic
organization of human glucose transporter 9 (GLUT9), a novel member of
the family of sugar-transport facilitators predominantly expressed in brain
and leucocytes. Biochem J, 350(Pt 3), 771–776.
90

Dounis E., Makrilakis K., Tentolouris N., Tsapogas P. (2010). Atlas of the
Diabetic Foot, 7th Ed. London UK: WILEY Blackwell.

DuBose K.J., Cooper J.S. (2019). Hyperbaric Patient Selection. StatPearls


Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499820/ diakses pada
tanggal 16 April 2019.

Edmonds M.E., Foster A.V.M. (2014). Managing the Diabetic Foot, 3th Ed.
London UK: WILEY Blackwell.

Edwards M.L. (2010). Hyperbaric Oxygen Therapy. Part 1: History And


Principles. Journal Of Veterinary Emergency And Critical Care, 20(3), 284–
297.

Eggleton P., Bishop A.J., Smerdon G.R. (2015). Safety And Efficacy Of
Hyperbaric Oxygen Therapy In Chronic Wound Management: Current
Evidence. Dove Press Journal:International Journal Of General Medicine, 2:
81-93.

Eisenbarth GS, Buse JB. (2011). Type 1 Diabetes Mellitus In: Kronenberg HM,
Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR. Williams Textbook of Endocrinology.
12th Ed. Philadelphia PA: Elsevier.

Færch K., Vistisen D., Pacini G., Torekov S.S., Johansen N.B., Witte D.R. (2016).
Insulin Resistance Is Accompanied By Increased Fasting Glucagon And
Delayed Glucagon Suppression In Individuals With Normal And Impaired
Glucose Regulation. Diabetes, 65(11), 3473–3481.

Feldman E.L., Stevens M.J., Thomas P.K., Brown M.B., Canal N., Greene D.A.
(1994). A Practical Two-Step Quantitative Clinical and Electrophysiological
Assessment for the Diagnosis and Staging of Diabetic Neuropathy. Diabetes
Care, 17(11), 1281-1289.

Ferreira J.M.S., Monteiro F., Silva J.V., Almeida A.F.D., Conde A. (2018).
Hyperbaric Oxygen Therapy: Clinical Applications In Otorhinolaryngology.
Biomedical Journal Of Scientific & Technical Research (Bjstr), 7(4): 1-2.

Fritz S. (2014). Mosby’s Massage Therapy Review, 4th Ed., Elsevier, China.

Gailliot, M. T., Baumeister, R. F. (2007). The Physiology Of Willpower: Linking


Blood Glucose To Selfcontrol. Personality and Social Psychology Review,
11(4), 303–327.
91

Glass A., Zazulia A.R. (2011). Clinical Skills: Neurological Examination.


https://neuro.wustl.edu/Portals/Neurology/Education/PDFs/Neurological-
Exam-Lecture-Notes.pdf diakses pada tanggal 22 Oktober 2019.

Ginanjar D. (2019). Terapi Hiperbarik Didominasi Pasien Diabetes.


Https://www.google.com/amp/s/www.jawapos.com/kesehatan/07/09/2019/ter
api-hiperbarik-didominasi-pasien-diabetes/%3famp diakses pada tanggal 18
September 2019.

Greenberg., David.A, Aminoff., Michael J., Simon., Roger.P. (2002). Clinical


Neurology Greenber, 5th Ed. San Francisco: McGraw-Hill Companies.

Greenstein B., Diana W. (2010). At Glance: Sistem Endokrin Edisi 2. Jakarta:


Erlangga.

Hall, J. E. Guyton And Hall Textbook Of Medical Physiology Ebook, Elsevier


Health Sciences, Amsterdam.

Hanewinckel R., Drenthen J., Oijen M.V., Hofman A., Doorn P.A.V., Ikram A.A.
(2016). Prevalence Of Polyneuropathy In The General Middle-Aged And
Elderly Population. Neurology, 87(18), 1892–1898.

Hardika B.D. (2018). Penurunan Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
II Melalui Senam Kaki Diabetes. (Abstract). Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Kesehatan, 16(2), 60-66.

Harsono. (2011). Buku Ajar Neurologi Klinik. Yogyakarta: UGM Press.

Herman W.H., Pop-Busui R., Braffett B.H., Martin C.L., Cleary P.A., Albers J.W.
et al. (2012). Use Of The Michigan Neuropathy Screening Instrument As A
Measure Of Distal Symmetrical Peripheral Neuropathy In Type 1 Diabetes:
Results From The Diabetes Control And Complications Trial/Epidemiology Of
Diabetes Interventions And Complications. Diabet Med, 29(7), 937–944.

Hexdall E., Brave R., Kraft K., Siewers J. (2016). Hyperbaric . Nursing Center,
46(10), 29-36.

Heyboer III M., Sharma D., Santiago W., Mcculloch N. (2017). Hyperbaric
Oxygen Therapy: Side Effects Defined And Quantified. Adv Wound Care
(New Rochelle) 6(6): 210-224.

Huang, S., Czech, M.P. (2007). The GLUT4 glucose transporter. Cell
Metabolism, 5(4), 237–252.
92

Huda N. (2010). Pengaruh Hiperbarik Oksigen (HBO) Terhadap Perfusi Perifer


Luka Gangren pada Penderita DM di RSAL Dr.Ramelan Surabaya. Tesis.
Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta.

International Diabetes Federation. (2013). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.


https://www.idf.org/component/attachments/attachments.html?id=813&task=
download diakses pada tanggal 18 September 2019.

International Diabetes Federation. (2017). IDF Diabetes Atlas Eight Edition.


http://fmdiabetes.org/wp-content/uploads/2018/03/IDF-2017.pdf diakses
pada tanggal 18 September 2019.

International Diabetes Federation. (2019). IDF Diabetes Atlas Nineth


Edition.https://www.diabetesatlas.org/upload/resources/2019/IDF_Atlas_9th_
Edition_2019.pdf diakses pada tanggal 17 Januari 2020.

Iqbal Z., Azmi S., Yadav R., Ferdousi M., Kumar M., Cuthbertson D.J et al.
(2018). Diabetic Peripheral Neuropathy: Epidemiology, Diagnosis, and
Pharmacotherapy. Clin Ther, 40(6), 828-849.

Irawan D. (2010). Prevalensi dan Faktor Resiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe
2 di Daerah Urban Indonesia (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2007).
Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

Istiawan H. (2019). Penderita Diabetes di Kalangan Usia Muda Terus Meningkat.


https://jatimnet.com/penderita-diabetes-di-kalangan-usia-muda-terus-
meningkat diakses pada tanggal 28 Oktober 2019.

Jain K.K. (2017). Textbook of Hyperbaric Medicine, 6th Ed. New York: Springer.

Jaiswal M., Divers J., Dabalea D., Isom S., Bell R.A., Martin C.L. et al. (2017).
Prevalence of and Risk Factors for Diabetic Peripheral Neuropathy in Youth
With Type 1 and Type 2 Diabetes: Search for Diabetes in Youth Study.
Diabetes care, 40(9), 1226–1232.

Javed S., Petropoulos I.N., Alam U., Malik R.A. (2015). Treatment of Painful
Diabetic. Neuropathy Ther Adv Chronic Dis., 6(1), 15-28.

Jones M.W., Wyatt H.A. (2019). Hyperbaric, Physics. StatPearls Publishing.


2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448104/ diakses pada tanggal
22 Oktober 2019.

Kahlil H., Chambers H., Khalil V., Ang C.D. (2016). Vitamin B for Treating
Diabetic Peripheral Neuropathy.
93

Https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD012237/full
&hl=en-ID diakses pada tanggal 23 Februari 2020.

Kavanagh W.M., Coombes N., Juszczak F., Athanasopoulos M., Khan M., Eykyn
T. (2018). Upregulation Of Glucose Uptake And Hexokinase Activity Of
Primary Human CD4 + T Cells In Response To Infection With HIV‐1. Viruses,
10(3), 114.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar


2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta, hal 11-90.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Situasi dan Analisis Diabetes. Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, 2014. hal 1.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional


RISKESDAS 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, 2018. hal 9-130.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


120/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Medik Hiperbarik.
2008. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Koeppen B., Stanton B. (2017). Berne & Levy Physiology, 7th Ed. USA: Elsevier.

KOMINFO Jatim. (2017). Chamber Hiperbarik Lakesla Jadi Rujukan Nasional


Terapi Hiperbarik. Https://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/chamber-
hiperbarik-lakesla-jadi-rujukan-nasional-terapi-oksigen diakses pada tanggal
19 Juli 2019.

Kumar A., Mittal R. (2017). Nrf2: A Potential Therapeutic Target For Diabetic
Neuropathy. Inflammopharmacol, 25, 393–402.

Kurniawan, S.N. (2012). Patofisiologi Biomolekular Neuropati Diabetes. Neurona,


29(4), 66-75.

Korean Diabetes Association. (2011). Treatment Guideline For Type 2 Diabetes,


4th Ed., Korean Diabetes Association, Seoul.

Lam G., Fontaine R., Ross F.L., Chiu E.S. (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy:
Exploring The Clinical Evidence. Wound Care Journal, 30(4), 181-190.

Latham E. (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy.


https://emedicine.medscape.com/article/1464149-overviwe diakses pada
tanggal 19 Juli 2019.
94

Leung J.K.S., Lam R.P.K. (2018). Hyperbaric Oxygen Therapy: Its Use In
Medical Emergencies And Its Development In Hong Kong. Hong Kong Med
J, 24(2), 191–199.

Low P.A., Schmelzer J.D., Ward K.K., Curran G.I., Poduslo J.F. (1998). Effect Of
Hyperbaric Oxygenation On Normal And Chronic Streptozotocin Diabetic
Peripheral Nerves. Experimental Neurology, 99(1), 201–212.

Madonna R., De Caterina R. (2011). Cellular And Molecular Mechanisms Of


Vascular Injury In Diabetes--Part I: Pathways Of Vascular Disease In
Diabetes. Vascul Pharmacol, 54(3-6), 68–74.

Malazi O.T., Tehrani M.R., Madani S.P., Heshmar R., Larijani B. (2011). The
Prevalence of Diabetic Peripheral Neuropathy and Related Factors. Iriana
Journal of Public Health, 40(3), 55-62.

McMillan T., Girgis R., Sellers E.A.C. (2016). Neonatal Diabetes and Protein
Losing Enteropathy: A Case Report. BMC Medical Genetics, 17(1), 32.

Medifocus.com. (2011). Medifocus Guidebook On: Peripheral Neuropathy. USA:


Medifocus.com, Inc. Staff.

Moraes-Vieira P.M., Saghatelian A., Kahn B.B. (2016). GLUT4 Expression in


Adipocytes Regulates De Novo Lipogenesis and Levels of a Novel Class of
Lipids With Antidiabetic and Anti-inflammatory Effects. Diabetes care, 65(7),
1808-1815.

Mutoharoh. (2017). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat


Pengetahuan Tentang Penyakit Diabetes Melitus Pada Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 di Desa Ngadiwarno Sukorejo Kendal. Skripsi. Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017.

Nather A. (2016). Surgery For Diabetic Foot: A Practical Operative Manual. USA:
Scientific Publishing Co.Pte.Ltd.

Nascimento O.J.M.D., Pupe C.C.B., Cavalcanti E.B.U., (2016). Diabetic


Neuropathy. Rev Dor. São Paulo, 17(Suppl 1), S46-51.

Navale A.M., Paranjape A.M. (2016). Glucose Transporters: Physiological And


Pathological Roles. Biophys Rev, 8(1), 5-9.

Nayak B., Kondeti V.K., Xie P., Lin S., Viswakarma N., Raparia K., Kanwar Y.S.
(2011). Transcriptional And Post-Translational Modulation Of Myo-Inositol
95

Oxygenase By High Glucose And Related Pathobiological Stresses. J Biol


Chem, 286(31), 27594–27611.

Negre S.A., Salvayre R., Auge N., Pamplona R., Portero-Otin M. (2009).
Hyperglycemia and Glication in Diabetic Complications. Antioxid Redox
Signal, 11(12), 3071-109.

Nursalam. (2008). Konsep dan Pedoman Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Okur M.E., Karantas I.D., Siafaka P. (2017). Diabetes Mellitus: A Review on


Pathophysiology, Current Status of Oral Medications and Future
Perspectives. Acta Pharmaceutica Sciencia, 55(1), 61-82.

Palmer M.L., Epler M.E., Epler M.F. (1998). Fundamentals of Musculoskeletal


Assessment Techniques. 2th Ed. Philadelpia PA: Lippincontt Williams &
Wilkins..

Peni, I. (2017). Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Kadar Gula


Darah Pasien Diabetes Mellitus. Jurnal Skolastik Keperawatan, 3(1), 19-24.

Pisoschi A.M., Pop A. (2015). The Role Of Antioxidants In The Chemistry Of


Oxidative Stress: A Review. European Journal of Medicinal Chemistry, 97,
55-74.

Prihanti G.S. (2016). Pengantar Biostatistik, UMM Press, Malang.

Rahmawati F., Natosba J., Jaji. (2016). Skrining Diabetes Mellitus Gestasional
Faktor Risiko yang Mempengaruhinya. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 3(2),
33-43.

Ramachandran A. (2014). Know the Signs and Symptoms of Diabetes. Indian J


Med Res, 140(5), 579–581.

Reese N.B. (2012). Muscle and Sensory Testing, 3th Ed., Elsevier, USA.

Rosyida K. (2016). Gambaran Neuropati Perifer Pada Diabetisi Di Wilayah Kerja


Puskesmas Kedungmundu Semarang. Skripsi. Jurusan Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Rutter G.A., Pullen T. J., Hodson D.J., Martinez‐Sanchez A., McLuskey K.,
Mottram J. (2015). Pancreatic Β‐Cell Identity, Glucose Sensing And The
Control Of Insulin Secretion. Biochemical Journal, 466(2), 203–218.
96

Said P.G. (2015). Peripheral Neuropathy & Neuropathic Pain: Into The Light, 1th
Ed. America: TFM Publishing.

Saleh L.M. (2018). Keselamatan & Kesehatan Kerja Kelautan Cetakan I.


Yogyakarta: Penerbit Deep Publish.

Sarabhai T., Schmitz E.A., Katsuyama H., Markgraf D., Busch L., Guthoff R. et al.
(2019). 1777-P: Acute Hyperbaric Oxygen (HBO) Treatment Increases
Hepatic Insulin Sensitivity and Muscle Reactive Oxygen Species in Type 2

Diabetes. (2009).
https://diabetes.diabetesjournals.org/content/68/Supplement_1/1777-P
diakses pada tanggal 19 Oktober 2019.

Sari D.M. (2018). Pengaruh Senam Diabetes Mellitus Terhadap Kadar Gula
Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2, Skripsi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Insan Cendekia Medika, Jombang.

Schreiber A.K. (2015). Diabetic Neuropathic Pain: Physiopathology and


Treatment. World Journal of Diabetes, 6(3), 432-444.

Shakeel M. (2014). Recent Advances In Understanding The Role Of Oxidative


Stress In Diabetic Neuropathy. Diab Met Syndr, 9(4), 373-8.

Silih Y. (2012). Hubungan Antara Diabetes Melitus Dengan Kejadian Hipertensi


Di Kecamatan Pontianak Selatan. Skripsi. Tidak diterbitkan, Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura, Pontianak, 2012.

Simmons, R. A. (2017). Cell Glucose Transport and Glucose Handling During


Fetal and Neonatal Development. Fetal and Neonatal Physiology, 428–
435.e3.

Skyler J.S., Bakris G.L., Bonifacio E., Darsow T., Eckel R.H., Groop L.
(2016). Differentiation of Diabetes by Pathophysiology, Natural History, and
Prognosis. Diabetes, 66(2), 241–255.

Soelistijo S.A., Novida H., Rudijanto A., Soewondo P., Suastika K., Manaf A. et
al. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia 2015 Cetakan Pertama. Jakarta: PB PERKENI.

Soeowondo P., Soegondo S., Suastika K., Pranoto A., Soeatmadji D.W.,
Tjokroprawiro A. (2010). The DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on
Control and Complications of Type 2 Diabetic Patients in Indonesia. Medical
Journal of Indonesia, 19(4), 235-244.
97

Sommer C., Geber C., Young P., Forst R., Birklein F., Schoser B. (2018).
Polyneuropathies Etiology, Diagnosis, and Treatment Options. Deutsches
Ärzteblatt International, 115, 83–90.

Suhertini C., Subandi. (2016). Senam Kaki Efektif Mengobati Neuropati Diabetik
Pada Penderita Diabetes Mellitus. Jurnal Kesehatan, 7(3), 480-487.

Supplements, Focus on foot health. https://www.pharmaceutical-


journal.com/publications/supplements/focus-foot-health/identifying-common-
foot-conditions/20203278.article?firstPass=false, diakses 03 Desember
2019.

Suyanto S. (2017). Gambaran Karakteristik Penderita Neuropati Perifer Diabetik.


Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah, 3(1), 1-6.

Syafi’i M.R. (2018). Gambaran Klinis Neuropati Perifer Pada Penyandang


Diabetes Melitus Di Wilayah Puskesmas Purwosari. Skripsi. Program Studi
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta.

Talusan P.G., Milewski M.D., Reach J.S. (2013). Fifth Toe Deformities:
Overlapping and Underlapping Toe.
http://fas.sagepub.com/content/early/2013/02/19/1938640013477129
diakses pada tanggal 7 September 2019.

Taylor R.B. (2013). Diagnostic Principles and Applications: Avoiding Medical


Errors, Passing Board Exams, and Providing Informed Patient Care. New
York: Springer Science & Business Media.

Thorens. (2015). GLUT2, Glucose Sensing and Glucose Homeostasis.


Diabetologia, 58(2), 221-32.

Trisnawati S.K., Setyorogo S. (2012). Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus


Tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1), 6-11.

Topp B.G., Atkinson L. L., & Finegood D.T. (2007). Dynamics Of Insulin
Sensitivity, Beta Cell Function, And Beta Cell Mass During The Development
Of Diabetes In Fa/Fa Rats. American Journal of Physiology‐Endocrinology
and Metabolism, 293(6), E1730-5.

Umapathy D., J.R.Pooja V., Alladi V., Arumugam S., Dornadula S., Amin K. et al.
(2019). 33-LB: Nuclear Factor Erythroid 2 Related Factor 2 (Nrf2) Increases
with Hyperbaric Oxygen Therapy and Promotes Wound Healing in Diabetic
Foot Ulcers. Diabetes, 68(Supplement 1), 33.
98

Usiska Y.S. (2015). Pengaruh Metode Rawat Luka Modern dengan Terapi
Hiperbarik Terhadap Proses Penyembuhan Luka Ulkus Diabetik Pada
Pasien Diabetes Mellitus di Jember Wound Center (J W C) Rumah Sakit
Paru Jember, Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Verma R., Chopra A., Giardina C., Sabbisetti V., Smyth J.A., Hightower L.E. et al.
(2015). Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) Suppresses Biomarkers Of Cell
Stress And Kidney Injury In Diabetic Mice. Cell Stress Chaperones, 20(3),
495.

Viera C., Galvez A., Carrasco B., Santos C., Castellanos R. (1999). A Study of
Peripheral Neural Conduction, Motor, And Sensory, in Diabetic Patients
Treated With Hyperbaric Oxygenation. Rev Neurol, 28(9), 868-72.

Wang W.F., Hang H., Li Y.M., Xie W. (2005). Effect of Hyperbaric Oxygen on
Peripheral Nerve Conduction Velocity in Diabetics Chinese, Journal of
Clinical Rehabilitation, 9(3), 36-37.

Wass J., Stewart P.M. (2011). Oxford Textbook in Endocrinology, 2th Ed. Oxford:
University Press.

Watson J.C., Dyck P.J. (2015). Peripheral Neuropathy: A Practical Approach to


Diagnosis and Symptom Management. Mayo Clin Proc, 90(7), 940-51.

Weber J., Kelley J. (2009). Health Assessment Nursing. Philadelphia USA:


Lippincott Williams & Wilkins.

Weiss, M., Steiner, D.F., Philipson, L.H. (2014). Insulin biosynthesis, secretion,
structure, and structure–activity relationships.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279029/ diakses pada tanggal 15
Oktober 2019.

Widyawati I.Y. (2010). Pengaruh latihan rentang gerak sendi bawah secara aktif
(Active Lower Range of Motion Exercise) terhadap tanda dan gejala
neuropati diabetikum pada penderita DM Tipe II di Persedia Unit RSU Dr.
Soetomo Surabaya, Tesis. Program Paska Sarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.

Wilkinson D., Chapman I.M., Heilbronn L.K. (2012). Hyperbaric Oxygen Therapy
Improves Peripheral Insulin Sensitivity In Humans. Diabet Med, 29(8), 986-
9.
Wilkinson D., Nolting M., Mahadi M.K., Chapman I., Heilbronn L. (2015).
Hyperbaric Oxygen Therapy Increases Insulin Sensitivity In Overweight Men
With And Without Type 2 Diabetes. Diving Hyperb Med, 45(1), 30-6.
99

Wirawan I.M.C. (2017). Mengenal Berbagai Penyakit. Jakarta: Noura e-Lite.

Yeboah K., Puplampu P., Boima V., Antwi D.A., Gyan B., Amoah A.G.B. (2016).
Peripheral Sensory Neuropathy In Type 2 Diabetes Patients: A Case Control
Study In Accra, Ghana. J Clin Transl Endocrinol, 20(5), 26-31.

Yulita R.F., Waluyo A., Azzam R. (2019). Pengaruh Senam Kaki Terhadap
Penurunan Skor Neuropati Dan Kadar Gula Darah Pada Pasien Dm Tipe 2.
Journal of Telenursing (JOTING), 1(1), 80-95.

Zaetun S., Kerti L.B., Srigede L. (2015). Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik
Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus di Instalasi Kesehatan
Penyelaman Dan Hiperbarik Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Mataram.
Media Bina Ilmiah, 9(2), 13-18.

Zan Y., Kuai C., Huang F. (2017). The Primary Biochemical Mechanisms Of
Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN). J Pharmacol Res, 1(1), 6-9.

Zilliox L., Russell J.W. (2011). Treatment of Diabetic Sensory Polyneuropathy.


Curr Treat Options Neurol, 13(2), 143-159.
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Lembar Penjelasan Penelitian

PENJELASAN UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN

1. Saya Reny Citra Pratiwi mahasiswa Universitas Brawijaya Jurusan


Keperawatan Fakultas Kedokteran dengan ini meminta Bapak/ibu/sdr
untuk berpartisipasi dengan sukarela dalam penelitian yang berjudul
Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum dan Sesudah
Terapi Oksigen Hiperbarik pada Penderita Diabetes Melitus di Lakesla
Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.

2. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat


keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen
hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
Sastropanoelar, Phys Surabaya.

3. Penelitian ini memiliki manfaat diantaranya manfaat teoritis dan manfaat


praktis. Manfaat teoritis yaitu dapat dijadikan referensi untuk keilmuwan di
bidang kesehatan kelautan khususnya hiperbarik serta keperawatan
medikal bedah pada pasien diabetes melitus. Sedangkan manfaat praktis
yaitu memberikan informasi adanya perbedaan tingkat keparahan
neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik pada
penderita diabetes melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar,
Phys Surabaya.

4. Penelitian ini akan berlangsung selama 1 bulan dengan bahan penelitian


berupa tingkat keparahan neuropati perifer yang akan diambil dengan
cara pemeriksaan pada saat sebelum terapi oksigen hiperbarik dan
sesudah 10 kali terapi oksigen hiperbarik.

5. Keuntungan yang Bapak/ibu/sdr peroleh dengan keikutsertaan


Bapak/ibu/sdr adalah responden dapat mengetahui tingkat keparahan
neuropati perifer yang diderita serta mengetahui apakah terapi oksigen
hiperbarik memiliki pengaruh dalam peningkatan perbaikan neuropati
perifer yang dialami.

6. Manfaat langsung yang Bapak/ibu/sdr peroleh responden dapat


mengetahui tingkat keperahan neuropati perifer yang diderita serta tingkat
perbaikan yang dialami setelah terapi oksigen hiperbarik.

7. Ketidaknyamanan/ resiko yang mungkin muncul yaitu responden


memerlukan waktu pengkajian dan evaluasi 17 menit lebih lama
dibandingkan pasien yang tidak terlibat sebagai responden.

8. Pada penelitian ini, prosedur pemilihan subjek yaitu berdasarkan kriteria


tertentu. Kriteria tersebut diantaranya: penderita diabetes melitus tipe 1

100
101

dan tipe 2; penderita diabetes melitus yang memiliki salah satu atau lebih
gejala neuropati perifer dengan hasil pemeriksaan neuropati perifer
menunjukkan minimal skor 1 (ringan); bersedia sebagai responden
dengan menandatangani lembar informed consent. Mengingat
Bapak/ibu/sdr memenuhi kriteria tersebut, maka peneliti meminta
kesediaan Bapak/ibu/sdr untuk mengikuti penelitian ini setelah penjelasan
peneletian ini diberikan.

9. Sebelum dilakukan pemeriksaan neuropati perifer, peneliti akan bertanya


seputar riwayat kesehatan pasien. Wawancara dilakukan satu kali pada
saat pertemuan pertama.

10. Selama proses wawancara, responden berhak memberikan pertanyaan


apa bila peneliti kurang jelas dalam menyampaikan pertanyaan. Jawaban
akan ditulis oleh peneliti sendiri ke dalam lembar karakteristik responden.

11. Pemeriksaan neuropati perifer dilakukan pada daerah kedua sisi kaki dan
tangan, menggunakan peralatan yang aman dan dibawah bimbingan dari
pihak Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.

12. Bapak/ibu/sdr dapat memberikan umpan balik dan saran pada peneliti
baik selama maupun setelah proses pengambilan data secara langsung
pada peneliti.

13. Jika Bapak/ibu/sdr menyatakan bersedia menjadi responden namun


disaat penelitian berlangsung anda ingin berhenti, maka Bapak/ibu/sdr
dapat menyatakan mengundurkan diri atau tidak melanjutkan ikut dalam
penelitian ini. Tidak akan ada sanksi yang diberikan kepada Bapak/ibu/sdr
terkait hal ini.

14. Apa bila terjadi komplikasi, efek samping, dan kesalahan teknis dalam
pelaksanaan terapi oksigen hiperbarik, hal tersebut di luar tanggungjawab
peneliti.

15. Nama dan jati diri Bapak/ibu/sdr akan tetap dirahasiakan.

16. Jika Bapak/ibu/sdr merasakan ketidaknyamanan atau dampak karena


mengikuti penelitian ini, maka Bapak/ibu/sdr dapat menghubungi peneliti
yaitu 085731616630 (Reny Citra Pratiwi).

17. Perlu Bapak/ibu/sdr ketahui bahwa penelitian ini telah mendapatkan


persetujuan kelaikan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, sehingga Bapak/ibu/sdr tidak perlu
khawatir karena penelitian ini akan dijalankan dengan menerapkan prinsip
etik penelitian yang berlaku.

18. Hasil penelitian ini kelak akan dipublikasikan namun tidak terdapat
identitas Bapak/ibu/sdr dalam publikasi tersebut sesuai dengan prinsip
etik yang diterapkan.
102

19. Peneliti akan bertanggung jawab secara penuh terhadap kerahasiaan


data yang Bapak/ibu/sdr berikan dengan menyimpan data hasil penelitian
yang hanya dapat diakses oleh peneliti. Kecuali hasil pemeriksaan juga
akan disampaikan kepada dokter Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
Sastropanoelar, Phys Surabaya apa bila diperlukan untuk tujuan rencana
terapi pasien berikutnya.

20. Peneliti akan memberi tanda terima kasih dengan harga keseluruhan
sebesar 45.000, yakni berupa:
Botol minum + Leaflet edukasi manfaat air putih; alat pemeriksaan
monofilament 10g + Leaflet edukasi cara pemeriksaan monofilament; 2
pcs kasah steril.

Peneliti Utama

(Reny Citra Pratiwi)


103

Lampiran II Pernyataan Persetujuan untuk Berpartisipasi dalam Penelitian

Pernyataan Persetujuan untuk


Berpartisipasi dalam Penelitian

Saya yang bertandatangan dibawah ini meyatakan bahwa :

1. Saya telah mengerti tentang apa yang tercantum dalam lembar


penjelasan dan telah dijelaskan oleh peneliti.
2. Dengan ini saya menyatakan bahwa secara sukarela bersedia untuk ikut
serta menjadi salah satu subyek penelitian yang berjudul.
PERBEDAAN TINGKAT KEPARAHAN NEUROPATI PERIFER
SEBELUM DAN SESUDAH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS DI LAKESLA DRS. MED. R. RIJADI
SASTROPANOELAR, PHYS SURABAYA.
.

Surabaya, ......................., 2021

Peneliti Yang membuat pernyataan

(Reny Citra Pratiwi) (..........................................)


NIM. 165070201111024

Saksi I Saksi II

(.....................................) (................................................)
104

Lampiran III Lembar Pengkajian Karakteristik Responden

LEMBAR PEMERIKSAAN KARAKTERISTIK RESPONDEN


Jawablah pertanyaan dibawah ini.
Tgl Pengkajian Pukul

A. DATA RESPONDEN
Nama Inisial : Kode:
No. RM :
Usia :
Pekerjaan :
Jenis Kelamin : □ Laki-Laki □ Perempuan

B. SKRINING NEUROPATI PERIFER PRE TEST


Skor Tingkat Keparahan Neuropati Perifer

C. SKRINING KRITERIA EKSKLUSI


1 Apakah Bapak/Ibu memiliki salah satu riwayat penyakit berikut?
□Ht □Cedera kepala □Stroke
□Lainnya,.................
2 Apakah Bapak/Ibu sedang mengkonsumsi obat untuk gangguan saraf berikut?
□Prednisolon □Metilprednisolon □Deksametason
□Asetil-I-Karnitin □Ruboxistaurin □Sorbinil □Tolrestat □Fidarestat
□Asam Alfa Lipoit □Lainnya, ...................................

D. TANDA TANGAN INFORM CONSENT


□Ya □Tidak

E. RIWAYAT KESEHATAN
1 Kapan Bapak/Ibu mengetahui menderita diabetes melitus?
□ ≤3 bulan □>3 bulan
2 Kapan Bapak/Ibu merasakan gejala diabetes melitus (polidipsi, polifagia, poliuria)?
□ ≤3 bulan □>3 bulan
3 Apakah Bapak/Ibu sedang mengkonsumsi obat diabetes melitus berikut?
105

□Metformin □Sulfonilurea □Glinid □Tiazolididion


□Lainnya, ..........
4 Apakah Bapak/Ibu mendapatkan terapi insulin?
□ Ya □Tidak
5 Apakah Bapak/Ibu mengkonsumsi alkohol?
□ Ya □Tidak
6 [Observasi Riwayat Amputasi]
□ Ya □Tidak
Jika Ya, □Lokasi: ...................................

7 [Observasi Diabetic Foot Ulcer]


□ Ya □Tidak
Jika Ya, □Lokasi: ...................................
8 Apakah Bapak/Ibu ingat hasil pemeriksaan kolesterol terakhir?
□ Ya, sebutkan ........................................mg/dL
□Tidak
9 Apakah Bapak/Ibu melakukan diet khusus makanan rendah gula?
□ Ya □Tidak
10 Apakah Bapak/Ibu melakukan diet khusus makanan rendah lemak?
□ Ya □Tidak
11 Dalam seminggu, berapa kali Bapak/Ibu melakukan aktivitas fisik?
.........................................................................................................
12 Apakah Bapak/Ibu juga melakukan terapi lain selain terapi oksigen hiperbarik?
□ Ya □Tidak
Jika Ya, sebutkan ...................................................................................................
13 [Pemeriksaan Gula Darah]
Hari ....... Tgl ......
□ Gula darah sewaktu, ................................................mg/dl
□ Gula darah puasa, ....................................................mg/dl
□ 2 jam setelah TTGO, .................................................mg/dl
14 Peningkatan gula darah selama proses penelitian □ Ya □Tidak

□Protokol terapi tidak sesuai metode penelitian □Mengajukan Pengunduran diri


106

Lampiran IV Lembar Pemeriksaan Neuropati Perifer pada Diabetisi

LEMBAR PEMERIKSAAN
NEUROPATI PERIFER PADA DIABETISI
Isilah ruang yang kosong, berilah tanda centang (√) atau lingkari bagian yang sesuai.

Kode:
Tgl Pengkajian Pukul
Keterangan □ Sebelum terapi □Sesudah 10x terapi

PEMERIKSAAN NEUROPATI PERIFER


A. Pemeriksaan Kerusakan Otonom
Keadaan Kaki (Inspeksi kaki) Kaki kanan Kaki kiri
Kulit kering □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Pecah-pecah □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Kapalan (callus) □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Hasil Penilaian □ Nilai 0 : Tidak ditemukan
kerusakan otonom
□ Nilai 1 : Ditemukan 1 kerusakan
otonom
□ Nilai 2 : Ditemukan lebih dari 1
kerusakan otonom
PENILAIAN KERUSAKAN OTONOM (SKOR MAKSIMAL 4)
Normal : 0
Kerusakan otonom tunggal : 1
Kerusakan otonom multipel : 2
Jadi, hasil penilaian kerusakan fungsi otonom: Kanan ............. Kiri .....................

B. Pemeriksaan Kerusakan Sensorik


Pemeriksaan Sensitifitas Kaki dengan Monofilamen 10 g
Kaki kanan Kaki kiri
Plantar jari 1 □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Plantar jari 3 □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Plantar jari 5 □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Metatarsal head jari 1 □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Metatarsal head jari 3 □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Metatarsal head jari 5 □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Medial arches □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Lateral arches □Ya □Tidak □Ya □Tidak
107

Tumit □Ya □Tidak □Ya □Tidak


Dorsum kaki □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Jumlah respon
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Jika merespon 8 titik
lokasi
□ Nilai 1 : Jika merespon 1-7 titik
lokasi
□ Nilai 2 : Tidak ada respon
Pemeriksaan Sensasi Vibrasi dengan Garpu Tala 128 Hz
Kaki kanan Kaki kiri
Penonjolan tulang interphalang distal □ Normal □ Normal
dorsum jari kaki □ Menurun □ Menurun
□ Tidak ada □ Tidak ada
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Normal, jika pasien
mampu merasakan vibrasi < 10
detik
□ Nilai 1 : Menurun, jika pasien
mampu merasakan vibrasi > 10
detik
□ Nilai 2 : Jika pasien tidak
merasakan vibrasi sama sekali
Pemeriksaan Sensasi Nyeri dengan Pin Prick (Jarum)
Kaki kanan Kaki kiri
Dorsum ibu jari □ Nyeri □ Nyeri
□ Tidak nyeri □ Tidak nyeri
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Jika pasien merasa nyeri
□ Nilai 1 : Jika pasien tidak merasa
nyeri
HASIL PENILAIAN KERUSAKAN SENSORIK (SKOR MAKSIMAL 10)
Normal : 0
Penurunan sensasi : 1-3
Tidak ada sensasi : 4-5
Jadi, hasil penilaian kerusakan fungsi sensorik: Kanan ............. Kiri .....................

C. Pemeriksaan Kerusakan Motorik


Pemeriksaan Deformitas (Inspeksi kaki)
Kaki kanan Kaki kiri
Flat feet □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Hammer toes □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Claw toes □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Mallet toes □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Overlapping toes □Ya □Tidak □Ya □Tidak
108

Halux valgus (bunion) □Ya □Tidak □Ya □Tidak


Prominent metatarsal heads □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Charcot foot □Ya □Tidak □Ya □Tidak
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Tidak ditemukan adanya
deformitas
□ Nilai 1 : Ditemukan 1 bentuk
deformitas
□ Nilai 2 : Ditemukan lebih dari 1
bentuk deformitas
Pemeriksaan Kekuatan Otot
Kaki kanan Kaki kiri
Abduksi jari kaki □Normal □Normal
□ Sedang □ Sedang
□ Berat □ Berat
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Normal, jika pasien
mampu melakukan abduksi sesuai
rentang derajat tanpa merasakan
rasa sakit.
□ Nilai 1 : Sedang, jika pasien
melakukan abduksi tapi disertai
rasa sakit.
□ Nilai 2 : Berat, jika pasien tidak
bisa melakukan abduksi sama
sekali.
Ekstensi jari kaki □Normal □Normal
□ Sedang □ Sedang
□ Berat □ Berat
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Normal, jika pasien
mampu melakukan ekstensi sesuai
rentang derajat tanpa merasakan
rasa sakit.
□ Nilai 1 : Sedang, jika pasien
melakukan ekstensi tapi disertai
rasa sakit.
□ Nilai 2 : Berat, jika pasien tidak
bisa melakukan ekstensi sama
sekali.
Dorsofleksi ankle □Normal □Normal
□ Sedang □ Sedang
□ Berat □ Berat
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Normal, jika pasien
mampu melakukan dorsofleksi
sesuai rentang derajat tanpa
merasakan rasa sakit.
□ Nilai 1 : Sedang, jika pasien
109

melakukan dorsofleksi tapi disertai


rasa sakit.
□ Nilai 2 : Berat, jika pasien tidak
bisa melakukan dorsofleksi sama
sekali.
Pemeriksaan Reflek dengan Palu Reflek
Reflek di tangan Tangan kanan Tangan kiri
Bisep brakii □Ada reflek □Ada reflek
□ Reflek kurang □ Reflek kurang
□ Tidak ada □ Tidak ada
reflek reflek
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Ada reflek, jika terdapat
kontraksi otot disertai adanya
gerakan sendi.
□ Nilai 1 : Reflek kurang, jika
menurun atau hanya ada kontraksi
otot.
□ Nilai 2 : Tidak ada reflek dan
tidak ada gerakan sendi.
Trisep brakii □Ada reflek □Ada reflek
□ Reflek kurang □ Reflek kurang
□ Tidak ada □ Tidak ada
reflek reflek
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Ada reflek, jika terdapat
kontraksi otot disertai adanya
gerakan sendi.
□ Nilai 1 : Reflek kurang, jika
menurun atau hanya ada kontraksi
otot.
□ Nilai 2 : Tidak ada reflek dan
tidak ada gerakan sendi.
Reflek di kaki Kaki kanan Kaki kiri
Quadrisep femoris □Ada reflek □Ada reflek
□ Reflek kurang □ Reflek kurang
□ Tidak ada □ Tidak ada
reflek reflek
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Ada reflek, jika terdapat
kontraksi otot disertai adanya
gerakan sendi.
□ Nilai 1 : Reflek kurang, jika
menurun atau hanya ada kontraksi
otot.
□ Nilai 2 : Tidak ada reflek dan
tidak ada gerakan sendi.
Achilles □Ada reflek □Ada reflek
110

□ Reflek kurang □ Reflek kurang


□ Tidak ada □ Tidak ada
reflek reflek
Hasil penilaian □ Nilai 0 : Ada reflek, jika terdapat
kontraksi otot disertai adanya
gerakan sendi.
□ Nilai 1 : Reflek kurang, jika
menurun atau hanya ada kontraksi
otot.
□ Nilai 2 : Tidak ada reflek dan
tidak ada gerakan sendi.

HASIL PENILAIAN KERUSAKAN MOTORIK (SKOR MAKSIMAL 32)


Normal : 0
Penurunan kekuatan otot : 1-12
Tidak ada kekuatan otot : 13-16
Jadi, hasil penilaian kerusakan fungsi sensorik: Kanan ............. Kiri .....................

TINGKATAN NEUROPATI PERIFER (Skor maksimal untuk semua bagian kanan


maupun kiri adalah 46)
Tidak ada neuropati : 0
Neuropati ringan : 1-11
Neuropati sedang : 12-25
Neuropati berat : 26-46
Jadi, hasil penilaian tingkatan neuropati perifer adalah ...........

Sumber:
Rosyida K. 2016. Gambaran Neuropati Perifer Pada Diabetisi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu Semarang. Skripsi. Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
111

Lampiran V Prosedur Pemeriksaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer

PROSEDUR PEMERIKSAAN TINGKAT KEPARAHAN NEUROPATI PERIFER

Kode:

No Prosedur Dilakukan
oleh peneliti
Ya Tidak
1 Siapkan alat:
a. Sarung tangan bersih
b. Monofilamen 10 g
c. Garpu tala 128 Hz
d. Jarum pentul
e. Palu reflek
f. Jam tangan/stopwatch
g. Lembar pemeriksaan neuropati perifer
2 Jelaskan prosedur
3 Cuci tangan dan pakai sarung tangan bersih jika
diperlukan.
4 Minta klien untuk membuka kaos kaki/stocking, serta alas
kaki yang dipakai.
5 Posisikan klien senyaman mungkin (duduk).
Pemeriksaan Kerusakan Otonom
A. Keadaan kaki Ya Tidak
(Rosyida, 2016)
1 Inspeksi kaki secara menyeluruh untuk melihat adanya
kulit kering, pecah-pecah, dan kapalan (callus).
2 Catat hasil pemeriksaan pada lembar pemeriksaan.
Pemeriksaan Kerusakan Sensorik
A. Pemeriksaan sensitifitas kaki dengan monofilamen 10 g Ya Tidak
(British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound
Committee, 2012; Nather, 2016)
1 Jelaskan prosedur pemeriksaan sensitifitas kaki dan
tunjukkan monofilamen kepada klien.
2 Tes monofilamen pada tangan klien yang normal (lengan
atau pergelangan tangan bagian dalam) sehingga klien
memahami apa yang diharapkan ketika pemeriksaan
monofilamen dilakukan pada kaki.
3 Minta klien menutup mata dan minta klien untuk berkata
112

“ya” apa bila klien merasakan monofilamen menyentuh


kaki.
4 Letakkan monofilamen tegak lurus ke kaki dan dengan
gerakan yang halus dan yakin, sentuhkan ke kulit sampai
monofilamen tertekuk sekitar 1 cm. Pertahankan
monofilamen pada kulit selama kurang lebih 2 detik.

5 Lakukan pemeriksaan monofilamen pada 10 titik lokasi.

6 Ulangi tes hingga 3 kali pada area di mana klien tidak


dapat merasakan monofilamen.
 Jika dapat merasakan tekanan monofilamen pada
2-3 kali pemeriksaan = positif
 Jika tidak dapat merasakan tekanan pada 2-3 kali
pemeriksaan = negatif
7 Catat hasil pemeriksaan pada lembar pemeriksaan
Catatan:
 Pemeriksaan monofilamen dilakukan pada area yang tidak terdapat ulkus,
kalus, jaringan parut atau nekrotik (Booth&Young, 2000).
 Namun jika didapati hal-hal tersebut pada kaki maka pemeriksaan
113

monofilamen dilakukan pada daerah yang berdekatan. Apa bila klien


mengalami amputasi, tes dilakukan pada titik yang memungkinkan saja
(Ardiyati, 2014).
 Jika menggunakan kembali monofilamen, beri label monofilamen berupa
nama klien dan tanggal. Monofilamen dapat digunakan untuk pengujian
ulang hanya pada satu pasien yang sama (British Columbia Provincial
Nursing Skin and Wound Committee, 2012).

B. Pemeriksaan Sensasi Vibrasi dengan Garpu Tala 128 Hz Ya Tidak


(Glass & Zazulia, 2011; Bickley et al., 2009)
1 Jelaskan prosedur pemeriksaan sensasi vibrasi dan
tunjukkan garpu tala 128 Hz kepada klien.
2 Tes garpu tala 128 Hz pada bagian distal jari klien
sehingga klien memahami apa yang diharapkan ketika
garpu tala diterapkan pada kaki.
3 Getarkan garpu tala kemudian letakkan pada bagian
penonjolan tulang interphalang distal dorsum pada ibu jari
kaki.

6 Minta klien untuk mengatakan kapan sensasi getaran


mulai dirasa dengan merespon “ya”.
7 Jika vibrasi dirasakan, tanyakan kapan sensasi tersebut
menghilang. Minta klien mengatakan kapan sensasi
menghilang dengan mengatakan “stop” saat vibrasi sudah
tidak dirasakan.
8 Pemeriksa menghitung lamanya vibrasi yang dirasakan
oleh pasien menggunakan jam
tangan/stopwatch(pengukuran dalam satuan detik).
9 Catat hasil pemeriksaan pada lembar pemeriksaan.
C. Pemeriksaan Sensasi Nyeri dengan Pin Prick (Jarum) Ya Tidak
(Rosyida, 2016)
1 Jelaskan prosedur pemeriksaan dan tunjukkan jarum
pentul pada klien.
2 Klien diminta untuk menutup mata.
3 Sentuhkan jarum pentul pada bagian dorsum ibu jari kaki.
114

4 Tanyakan pada klien, apakah klien merasakan nyeri atau


tidak saat jarum pentul disentuhkan.
5 Catat hasil pemeriksaan pada lembar pemeriksaan.
Pemeriksaan Kerusakan Motorik
A. Pemeriksaan Deformitas Ya Tidak
(Glass & Zazulia, 2011)
1 Inspeksi kaki untuk melihat adanya perubahan bentuk
kaki.
2 Catat hasil pemeriksaan pada lembar pemeriksaan.
B. Pemeriksaan Kekuatan Otot Ya Tidak
(Rosyida, 2016; Fritz, 2014)
1 Jelaskan prosedur pemeriksaan pada klien.
2 Klien diberikan perintah untuk melakukan abduksi,
ekstensi jari kaki, serta men dorsofleksikan ankle kaki.

Keterangan: A) Abduksi; B) Ekstensi; C) Dorsofleksi ankle

3 Bantu pasien jika pasien memerlukan bantuan.


4 Kaji adanya rasa nyeri saat pasien melakukan setiap
gerakan tersebut.
5 Catat hasil pemeriksaan pada lembar pemeriksaan.
C. Pemeriksaan Reflek dengan Palu Reflek
(Glass & Zazulia, 2011; Weber &Kelley, 2009)
Bisep Brakii Ya Tidak
1 Tangan pasien dalam posisi menekuk pada bagian siku
dengan telapak tangan menghadap ke bawah.
2 Letakkan Ibu jari pemeriksa pada tendon bisep pasien.
3 Pukul jari pemeriksa tersebut dengan palu reflek.
115

4 Perhatikan respon pasien. Respon normal berupa fleksi


siku (Armitage, 2015).
5 Catat pada lembar pemeriksaan.
Trisep Brakii Ya Tidak
1 Topang lengan atas pasien dan biarkan lengan bawah
menggantung bebas.

2 Pukul tendon trisep pada bagian atas siku.


3 Perhatikan respon pasien. Reflek normal adalah ekstensi
siku (Armitage, 2015).
4 Catat pada lembar pemeriksaan.
Quadrisep Femoralis Ya Tidak
1 Pasien dalam posisi duduk dengan lutut tertekuk dan
menggantung.
116

2 Pukul tendon patela tepat di bawah patela.


3 Perhatikan respon pasien. Reflek normal adalah ekstensi
lutut (Armitage, 2015).
4 Catat pada lembar pemeriksaan.
Achilles Ya Tidak
1 Dorsofleksi pergelangan kaki pasien.
2 Pukul tendon achilles dengan palu reflek.

3 Perhatikan respon pasien. Reflek normal jika didapati


fleksi plantar ketika tendon achilles diketuk oleh palu reflek
(Allen & Harper, 2011).
4 Catat pada lembar pemeriksaan.
117

Sumber:
British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee. (2012). Procedure:
Monofilament Testing for Loss of Protective Sensation of Diabetic/Neuropathic Feet
for Adults & Children. https://www.clwk.ca/buddydrive/file/procedure-monofilament-
testing/?download=106%253Aprocedure-monofilament-testing-for-lops Diakses pada
Januari 2020.
Allen C. Harper V. (2011). Laboratory Manual for Anatomy and Physiology 4th Edition.
USA: John Wiley & Sons. p. 292.
Armitage A. (2015). Advanced Practice Nursing Guide to the Neurological Exam. New
York: Springer Publishing Company, p. 82-85.
Glass A., Zazulia A.R. (2011). Clinical Skills: Neurological Examination. 2011
https://neuro.wustl.edu/Portals/Neurology/Education/PDFs/Neurological-Exam-
Lecture-Notes.pdf
Weber J., Kelley J. (2009). Health Assessment Nursing. Philadelphia USA: Lippincott
Williams & Wilkins, p. 588-589.
Nather A. (2016). Surgery for Diabetic Foot: A Practical Operative Manual. USA:
Scientific Publishing Co.Pte.Ltd, p. 42-45.
Bickley L.S., Szilagyi P.G., Bates B. (2009). Bates' Guide to Physical Examination and
History Taking. Philadelphia USA: Lippincott Williams & Wilkins, p. 629.
Fritz S. (2014). Mosby’s Massage Therapy Review, 4th Edition. China: Elsevier, p. 100.
Rosyida K. (2016). Gambaran Neuropati Perifer Pada Diabetisi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu Semarang. Skripsi. Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
118

Lampiran VI Prosedur Terapi Oksigen Hiperbarik

Prosedur Terapi Oksigen Hiperbarik


(Lakesla, 2009 dalam Dismalyansa, 2019)

Kode :
Tgl Pengkajian Pukul
Terapi ke-
Durasi Menit
Tekanan ATA

No Prosedur Dilakukan
Sebelum terapi oksigen hiperbarik Ya Tidak
1 Anamnesis
2 Indikasi
3 Pemeriksaan fisik lengkap
4 X Foto Thoraks PA
5 Pemeriksaan tambahan (bila perlu)
6 Menerangkan manfaat, efek samping, proses dan program
terapi oksigen hiperbarik (termasuk inform consent)
Selama terapi oksigen hiperbarik Ya Tidak
1 Selama proses kompresi, perawat membantu adaptasi
klien terhadap peningkatan tekanan.
2 Selama proses menghirup oksigen 100%, observasi TTV
dan keluhan klien.
3 Selama proses dekompresi, perawat membantu adaptasi
klien terhadap penurunan tekanan.
Setelah terapi oksigen hiperbarik Ya Tidak
1 Dokter dan perawat melakukan anamnesis, evaluasi
penyakit, serta evaluasi ada tidaknya efek samping.

Sumber:
Dismalyansa. (2019). Pengaruh Hiperbarik Oksigen Terhadap Kualitas Hidup Penderita
Ulkus Kaki Diabetik di RSAL Dr. Ramelan Surabaya, Skripsi. Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga.
119

Lampiran VII Surat Keterangan Kelaikan Etik


120

Lampiran VIII Surat Izin Penelitian


121

Lampiran IX Surat Keterangan Sudah Menyelesaikan Penelitian


130

Lampiran X Tabulasi Hasil Penelitian

Responden Usia Jenis Kelamin Pendidikan Durasi DM Riwayat Ketidakstabilan Ulkus Kaki
(Tahun) Kolesterol gula darah
tinggi sebelum selama
terapi pertama penelitian
1 47 Th Laki-laki S1 3 Tidak Ya (meningkat) Kiri
2 48 Th Laki-laki SMA 2,5 Ya Ya (meningkat) Kiri
3 56 Th Laki-laki SD 2,5 Ya Ya (meningkat) Kanan
4 60 Th Perempuan SMP 3 Ya Tidak Kiri
5 31 Th Perempuan SMA 2,5 Tidak Ya (meningkat) Kiri & Kanan

Responden Hipertensi Merokok Minum Alkohol


1 Tidak Tidak Tidak
2 Tidak Tidak Tidak
3 Tidak Tidak Tidak
4 Tidak Tidak Tidak
5 Tidak Tidak Tidak
123

Hasil Pemeriksaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom (Pre Test)


Responden Kiri Kanan Skor Kiri Skor Kanan Skor Total
√Kulit kering √ Kulit kering
1 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 2 2 Skor 4
√ Callus √ Callus
√ Kulit kering √ Kulit kering
2 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 2 2 Skor 4
√ Callus √ Callus
√ Kulit kering √ Kulit kering
3 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 1 2 Skor 3
□ Callus √ Callus
√ Kulit kering √ Kulit kering
4 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 1 1 Skor 2
□ Callus □ Callus
√ Kulit kering √ Kulit kering
5 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 1 1 Skor 2
□ Callus □ Callus
124

Hasil Pemeriksaan Tingkat Kerusakan Saraf Otonom (Post Test)


Responden Kiri Kanan Skor Kiri Skor Kanan Skor Total
□Kulit kering √ Kulit kering
1 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 1 1 Skor 2
√ Callus □ Callus
√ Kulit kering √ Kulit kering
2 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 1 2 Skor 3
□ Callus √ Callus
√ Kulit kering √ Kulit kering
3 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 1 2 Skor 3
□ Callus √ Callus
□ Kulit kering □ Kulit kering
4 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 0 0 Skor 0
□ Callus □ Callus
□ Kulit kering √Kulit kering
5 □ Pecah-pecah □ Pecah-pecah 0 1 Skor 1
□ Callus □ Callus
125

Hasil Pemeriksaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik (Pre Test)


Responden Sensitivitas Kaki Vibrasi Nyeri Total
□ Skor 0: Merespon 8 titik □ Skor 0: Normal □ Skor 0 : Terasa nyeri
□ Skor 1: Merespon 1-7 titik □ Skor 1 : Menurun □ Skor 1 : Tidak terasa nyeri
□ Skor 2: Tidak ada respon □ Skor 2 : Tidak terasa
Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan

1 1 1 1 0 1 0 Skor 3
2 1 0 1 1 0 0 Skor 3
3 1 0 1 0 0 0 Skor 2
4 0 0 0 1 0 0 Skor 1
5 1 1 0 1 0 0 Skor 3
126

Hasil Pemeriksaan Tingkat Kerusakan Saraf Sensorik (Post Test)


Responden Sensitivitas Kaki Vibrasi Nyeri Total
□ Skor 0: Merespon 8 titik □ Skor 0: Normal □ Skor 0 : Terasa nyeri
□ Skor 1: Merespon 1-7 titik □ Skor 1 : Menurun □ Skor 1 : Tidak terasa nyeri
□ Skor 2: Tidak ada respon □ Skor 2 : Tidak terasa
Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan
1 1 0 0 0 0 0 Skor 1
2 1 0 0 0 0 0 Skor 1
3 0 0 0 0 0 0 Skor 0
4 0 0 0 0 0 0 Skor 0
5 0 1 0 0 0 0 Skor 1
127

Hasil Pemeriksaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik (Pre Test)


Respon Deformitas Abduksi Jari Ekstensi Jari Dorsofleksi Refleks Refleks Refleks Refleks Total
den Kaki Kaki Jari Kaki Bisep Trisep Quadricep Achilles
□ Skor 0 : Tidak
□ Skor 0: □ Skor 0: □ Skor 0: □ Skor 0: Ada □ Skor 0: Ada □ Skor 0: Ada
ada □ Skor 0: Ada
Normal Normal Normal reflek reflek reflek
□ Skor 1: 1 reflek
□ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1:
bentuk □ Skor 1: Reflek
Sedang Sedang Sedang Reflek Reflek Reflek
deformitas kurang
□ Skor 2: Berat □ Skor 2: □ Skor 2: kurang kurang kurang
□ Skor 2: >1 □ Skor 2: Tidak
Berat Berat □ Skor 2 : □ Skor 2: □ Skor 2:
bentuk ada reflek
deformitas Tidak ada Tidak ada Tidak ada
reflek reflek reflek
Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan
1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 Skor 1
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Skor 1
4 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 2
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 0
128

Hasil Pemeriksaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik (Post Test)


Respon Deformitas Abduksi Jari Ekstensi Jari Dorsofleksi Refleks Refleks Refleks Refleks Total
den Kaki Kaki Jari Kaki Bisep Trisep Quadricep Achilles
□ Skor 0 : Tidak
□ Skor 0: □ Skor 0: □ Skor 0: □ Skor 0: Ada □ Skor 0: Ada □ Skor 0: Ada
ada □ Skor 0: Ada
Normal Normal Normal reflek reflek reflek
□ Skor 1: 1 reflek
□ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1: □ Skor 1:
bentuk □ Skor 1: Reflek
Sedang Sedang Sedang Reflek Reflek Reflek
deformitas kurang
□ Skor 2: Berat □ Skor 2: □ Skor 2: kurang kurang kurang
□ Skor 2: >1 □ Skor 2: Tidak
Berat Berat □ Skor 2 : □ Skor 2: □ Skor 2:
bentuk ada reflek
deformitas Tidak ada Tidak ada Tidak ada
reflek reflek reflek
Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 0
4 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 2
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Skor 0
129

Hasil Pemeriksaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer (Pre Test)


Responden Otonom Sensorik Motorik Total
1 4 3 2 9
2 4 3 1 8
3 3 2 1 6
4 2 1 2 5
5 2 3 0 5

Hasil Pemeriksaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer (Post Test)


Responden Otonom Sensorik Motorik Total
1 2 1 0 3
2 3 1 0 4
3 3 0 0 3
4 0 0 2 2
5 1 1 0 2
130

Lampiran XI Hasil Uji Data


131
132
133
134
135

Lampiran XII Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai