TUGAS AKHIR
Oleh:
Reny Citra Pratiwi
NIM: 165070201111024
TUGAS AKHIR
Oleh:
Reny Citra Pratiwi
165070201111024
Menyetujui:
Penguji-I, Penguji-II/Pembimbing-I,
Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp., M.Kes. Ns. Suryanto, S.Kep., M.Nurs., PhD.
NIP. 197702262003122001 NIP. 198011152008121001
Penguji-III/Pembimbing-II, Pembimbing-III/Klinis,
Ns. Ikhda Ulya, S.Kep., M.Kep. Letkol Laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes.
NIP. 2012088505172001 NRP. 13689/P
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
NIM : 165070201111024
Program Sudi : Program Studi Ilmu Keperawatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil-alihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya. Apa bila
dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan,
maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
Terapi Oksigen Hiperbarik pada Penderita Diabetes Melitus di Lakesla Drs. Med.
1. Dr. dr. Wisnu Barlianto, MSi Med, SpA(K) sebagai Dekan Fakultas
2. Dr. Asti Melani Astari, S.Kep., M.Kep., Sp.Mat., selaku Ketua Jurusan Ilmu
3. Dr. Yati Sri Hayati, S.Kp., M.Kes sebagai Ketua Program Studi Ilmu
iii
penyusunan tugas akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
ini.
5. Ns. Ikhda Ulya, S.Kep., M.Kep, sebagai pembimbing kedua yang dengan
6. Dr. Titut Harnanik, dr. M. Kes, sebagai pembibing ketiga/ klinik yang dengan
7. Ns. Ika Setyo Rini, S.Kep., M.Kep, selaku dosen PA dan berperan serta
8. Segenap anggota Tim Pengelola Tugas Akhir FKUB, yang telah membantu
9. Kolonel Laut (K) dr. Sapta Prihartono, Sp.B., Sp.BA, yang saat persentasi
proposal menjabat sebagai kepala Lakesla serta seluruh staff yang terlibat.
10. Keluarga yaitu Ayah, Kakek dan Nenek, Tante Ana; sahabat tercinta yaitu
Unyati, Amar, Kak Cyntia, Nasrul Anas, Gioni Arthur, Trisno; serta Kapten
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang
Peneliti
iv
ABSTRAK
v
ABSTRACK
vi
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
viii
4.3 Variabel penelitian …………………………………………................ ..... 48
BAB VI PEMBAHASAN
ix
6.3 Analisis Perbedaan Tingkat Kerusakan Saraf Motorik Sebelum dan
Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ................................. ..................... 79
6.4 Analisis Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum
dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik ........................... ..................... 81
x
DAFTAR TABEL
Melitus ..................................................................................................... 15
Tabel 2.3 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes
Tabel 2.5 Daftar Obat Neuropati Perifer pada Diabetes …………..... ........ 35
Tabel 2.6 Nilai Tekanan Berdasarkan Satuan Tertentu …………....... ....... 36
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin
melitus sebesar 382 juta jiwa (International Diabetes Federation, 2013). Pada
tahun 2017 meningkat menjadi 425 juta jiwa (International Diabetes Federation,
2018). Pada tahun 2019, peningkatan tersebut terjadi lagi menjadi sebesar 463
peningkatan. Pada tahun 2013, penderita diabetes melitus sebesar 72 juta jiwa
(International Diabetes Federation, 2013). Pada tahun 2017 sebesar 82 juta jiwa
melitus pada penduduk usia 15 tahun sebesar 1,5% dari 722.329 sampel pada
menjadi 2,0% dari 713.783 sampel pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan
RI, 2018).
1
2
Riskesdas (2018), prevalensi diabetes melitus pada penduduk yang berusia 15
tersebut didominasi oleh rentang usia 15-59 tahun dengan jumlah penderita
sumber daya manusia (Decroli, 2019). Selain itu diabetes melitus juga sering
yang muncul pada penderita diabetes melitus diantaranya 7,3% nefropati, 16%
Dengan demikian salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita
kerusakan saraf otonom, sensorik, dan motorik. (Suyanto, 2017; Malazy et al.,
ulkus kaki, disfungsi seksual, impotensi dan gangguan sistem saraf lain termasuk
yang dilakukan pada 176 pria dan 208 wanita yang menderita diabetes melitus
didapatkan hasil bahwa jenis neuropati perifer yang paling banyak terjadi yaitu
modalitas terapi yang sangat dinamis (Decroli, 2019). Salah satu terapi modern
dan terkini adalah terapi oksigen hiperbarik (Usiska, 2015; Zaetun et al., 2015).
dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen 100%
pada tekanan udara lebih dari 1 ATA (Zaetun et al., 2015). Terapi oksigen
hiperbarik merupakan salah satu terapi adjuvan yang efektif bagi penderita
4
kadar gula darah, dan meningkatkan perfusi perifer; terapi oksigen hiperbarik
hiperbarik sejak tahun 2017 (KOMINFO Jatim, 2017). Protokol umum terapi di
100% oksigen dan tekanan berkisar 1,5 hingga 2,4 ATA serta durasi waktu
antara 60-120 menit. Pemberian oksigen diberikan dalam interval waktu setiap
30 menit, masker pasien akan dilepas selama 5 menit (Djauw, 2015). Rata-rata
jumlah terapi minimal setiap pasien adalah 10 kali (1 sesi) yang dilakukan secara
(Lakesla 2009 dalam Dismalyansa 2019). Rata-rata jumlah pasien terapi berkisar
pemeriksaan monofilamen pada hari kamis, 25 Juni 2020 dari 8 orang penderita
yang terganggu akibat iskemik/ hipoksia (Jain, 2017). Hal tersebut didukung oleh
5
terapi sebanyak 20 kali. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil yang signifikan
sebanyak 30 kali. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil yang signifikan (Wang
et al., 2005). Penelitian lain berjudul Does Hypebaric Oxygen Therapy Have a
eksperimen dengan jumlah terapi sebanyak 8-20 kali. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan hasil yang signifikan (Alnjadat et al., 2015). Dalam penelitian
ini menggunakan 10 kali terapi sebagai protokol terapi sesuai dengan standart
sebelumnya mati rasa serta ukuran ulkus kaki yang makin mengecil. Bahkan
setelah menjalani terapi oksigen hiperbarik. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk
keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik pada
Surabaya.
melitus.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
sekresi insulin, atau kombinasi keduanya (Soelistijo et al., 2015; Hardika, 2018).
Diabetes melitus juga disebut sebagai penyakit kencing manis (Wirawan, 2017).
2.1.2 Etiologi
secara absolut maupun relatif. Pada penderita diabetes tipe 1 terjadi defisiensi
insulin secara absolut. Sedangkan pada diabetes tipe 2 terjadi akibat resisten
kemudian meningkatkan kadar gula darah pada ibu hamil (NIDDK, 2014 dan
ADA, 2015 dalam Sari, 2018; Kusnanto 1999 dalam Rahmawati et al., 2016).
Pada diabetes melitus tipe lainnya bisa disebabkan karena cacat genetik dalam
bahan kimia tertentu, infeksi, diabetes yang dimediasi oleh kekebalan tubuh,
8
9
diabetes melitus. Berbagai macam etiologi diabetes melitus dapat dilihat pada
Diabetes melitus tipe 2 1. Dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif.
2. Dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
Diabetes melitus tipe lainnya Kerusakan genetik fungsi sel β 1. Kromosom 12, HNF-1α
(MODY3)
2.Kromosom 7, glukokinase
(MODY2)
3. Kromosom 20, HNF-4α
(MODY1)
4. Kromosom 13, faktor
promotor insulin faktor-1 (IPF-
1; MODY4)
5. Kromosom 17, HNF-1β
(MODY5)
6. Kromosom 2, NeuroD1
(MODY6)
7. DNA mitokondria
8. Lainnya
adanya riwayat keluarga yang pernah menderita diabetes melitus. Selain itu
karakteristik demografi seperti jenis kelamin, usia, dan etnis (Trisnawati &
indeks masa tubuh yang lebih besar. Kondisi hormonal wanita membuat
kelompok usia ≥ 45 tahun lebih berisiko menderita diabetes melitus. Etnis Afrika-
berisiko lebih tinggi terkena diabetes melitus (Trisnawati & Setyorogo, 2012).
Faktor lainnya yaitu terkait gaya hidup seperti obesitas, aktivitas fisik, diet, dan
2.1.4 Klasifikasi
melitu tipe 2, diabetes melitus gestasional dan diabetes tipe lain (Decroli, 2019;
karena adanya resistensi insulin dan defisiensi relatif dari sekresi insulin (Decroli,
2019).
12
yang pertama kali dikenali selama kehamilan. Diabetes melitup tipe lain
disebabkan oleh kelainan genetik pada fungsi sel beta atau kerja insulin,
pengaruh obat atau zat kimia, penyakit eksokrin pankreas, dsb (American
2.1.5 Patofisiologi
membran sel. Oleh sebab itu glukosa membutuhkan pembawa tertentu berupa
protein yang disebut GLUT (Gailliot & Baumeister, 2007; Hall, 2015). Ada 14
jenis GLUT namun hanya ada beberapa yang bertindak dalam homeostasis
glukosa yaitu GLUT -1, GLUT ‐2, GLUT ‐3, dan GLUT ‐4 (Hall, 2015). Fungsi
GLUT -1, GLUT -2, GLUT -3 ialah independen terhadap hormon insulin (Vieira et
al., 2016). Sedangkan GLUT ‐4 sepenuhnya tergantung pada insulin (Hall, 2015;
merah, dan di seluruh sawar darah otak. GLUT -2 memediasi transpor glukosa
ke hati dan sel-sel pankreas. GLUT -3 adalah transporter utama dalam neuron.
al., 2000; Simmons, 2017; Thorens, 2015; Bryant et al., 2000 dalam Navale &
glukosa darah setelah makan (Kavanagh et al., 2018). Sel otot rangka bertindak
sebagai gudang penyimpanan untuk glukosa dalam bentuk glikogen, oleh karena
itu GLUT ‐4 memainkan peran penting dalam homeostasis glukosa seluruh tubuh
Insulin adalah hormon peptida yang diproduksi oleh sel beta pankreas
sebagai respons terhadap peningkatan kadar glukosa dan asam amino plasma
insulin dirangsang oleh glukosa yang masuk ke dalam sel beta hati melalui difusi
difasilitasi GLUT -2 (Koeppen & Stanton, 2017). Dalam sel beta, glukosa
otot rangka (Topp et al., 2007; Weiss et al., 2014). Insulin juga menekan sekresi
et al., 2016).
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
Pada diabetes melitus tipe 2 terdapat dua masalah utama yaitu resistensi
ikatan antara insulin dan reseptor khusus insulin di permukaan sel yang
mengakibatkan penurunan reaksi intra sel dan insulin menjadi tidak efektif untuk
penurunan sekresi insulin namun jumlah insulin masih adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya (Brunner &
Suddarth, 2012).
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria (Soelistijo et al., 2015).
Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apa bila terdapat keluhan
klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa badan lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva
vena dengan sistem enzimatik dengan hasil: gejala klasik + gula darah puasa
≥126 mg/dl; gejala klasik + gula darah sewaktu ≥200 mg/dl; gejala klasik + gula
darah 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral ≥200 mg/dl; tanpa gejala klasik +
Pemeriksaan gula darah 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral ≥200 mg/dl;
HbA1c ≥6.5%. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes melitus
Tabel 2.2 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Daibetes Melitus
HbA1c (%) Glu
HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dl) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥6,5 ≥126 mg/dL ≥200mg/dl
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199 mg/dl
Normal < 5,7 <100 <140 mg/dl
diabetes melitus gestasional pada individu dan keluarga, serta glikosuria harus
menjalani tes glukosa sesegera mungkin. Jika ditemukan tidak memiliki diabetes
melitus gestasional pada skrining awal itu, maka harus diuji ulang antara usia
harus menjalani tes pada usia kehamilan 24-28 minggu. Pemeriksaan diagnostik
HbA1c, melakukan tes glukosa plasma puasa, glukosa plasma 2 jam setelah tes
toleransi glukosa oral, dan glukosa plasma acak yang ditunjukkan pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Daibetes Melitus
Gestasional
Pemeriksaan Keterangan
16
Pemeriksaan Keterangan
Glukosa plasma puasa ≥126 mg / dl (7,0 mmol Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan
/ l) kalori selama setidaknya 8 jam.
Glukosa plasma 2 jam ≥200 mg / dl (11,1 Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan
mmol / l) selama TTGO (tes toleransi glukosa oleh Organisasi Kesehatan Dunia,
oral). menggunakan muatan glukosa yang
mengandung setara dengan 75 g glukosa
anhidrat yang dilarutkan dalam air.
Glukosa plasma acak ≥200 mg / dl (11,1 mmol Hasil pemeriksaan tersebut harus disertai pula
/ l) dengan adanya gejala klasik hiperglikemia pada
pasien.
secara umum pada diabetes tipe 1 yang memiliki perkembangan cepat terhadap
volume dan aliran darah meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan diuresis
difusi cairan intra sel ke dalam vaskuler membuat volume cairan intra sel
haus. Glukosa darah diekskresi melalui urin dalam bentuk diuresis bersamaan
cairan dan elektrolit tubuh sehingga pasien menjadi dehidrasi. Dehidrasi inilah
17
yang membuat pasien selalu merasa haus dan meminum air dalam jumlah
darah kedalam intra sel, menstimulasi rasa lapar yang menjadikan penderita
tersebut umum terjadi pada diabetes melitu tipe 1. Namun pada penderita
diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdeteksi dalam jangka waktu lama juga dapat
2.1.8 Penatalaksanaan
2015). Terapi farmakologis terdiri dari obat suntikan (insulin) dan obat oral yang
DPP-4 inhibitor, inkretin analog yang mana cara kerja, efek samping, reduksi
HbA1c, keuntungan, dan kerugian dapat dilihat pada tabel 2.4 (Decroli, 2019).
insulin
tubuli distal
ginjal
(Decroli, 2019)
2.1.9 Komplikasi
ginjal (nefropati), dan sistem saraf (neuropati) (Wass & Stewart, 2011).
luka yang tertunda, dan hipoksia jaringan (Chawla et al., 2016). Sedangkan
serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (McMillan et al., 2016; Wass &
Stewart, 2011).
2.2.1 Definisi
saraf tepi (Hanewinckel et al., 2016). Neuropati adalah gangguan saraf perifer
yang meliputi kelemahan motorik, gangguan sensorik, otonom dapat bersifat akut
atau kronik (Azhary et al., 2010). Penyebab tersering neuropati perifer adalah
(Davis et al., 2010; Albers & Pop-Busui, 2014; Iqbal et al., 2018).
2.2.2 Etiologi
diabetes, penyakit ginjal, porfiria; nutrisi meliputi defisiensi B1, B6, B12 dan asam
pentotenat; timah dan logam menghambat aktivasi enzim dalam proses aktifitas
Diabetes tipe 1 dan diabetes 2 merupakan faktor risiko yang paling banyak
terjadi, glukosa darah yang tidak terkontrol, penyakit autoimun seperti lupus,
(Medifocus.com, 2011).
usia, lama waktu menderita diabetes melitus, dan rendahnya kontrol gula darah
(Katulanda et al dalam Suyanto, 2016; Jaiswal et al., 2017; Bal et al., 2008).
Faktor lain yaitu riwayat merokok dan dislipidemia (Jaiswal et al., 2017; Bal et al.,
2008).
2.2.4 Klasifikasi
neuropati otonom. Skema presentasi klinis neuropati perifer dapat dilihat dalam
dan biasanya bersifat simetris. Gejala dapat menyebar secara proksimal. Gejala
sensorik lebih sering terjadi dari pada motorik dan otonom. Penderita akan
daerah pinggul dan paha. Gejala bersifat asimetris. Gejala yang timbul berupa
pembengkakak pada perut, penurunan berat badan, kelemahan otot paha serta
nyeri pada daerah pinggul dan paha. Neuropati fokal merupakan kerusakan pada
satu atau beberapa saraf. Tanda dan gejala berupa nyeri, mati rasa, dan
tekanan darah dan detak jantung, serta disfungsi ereksi (Callaghan et al., 2012).
2.2.5 Patofisiologi
kematian atau degenerasi pada struktur akson setelah terjadinya suatu cedera.
Struktur akson distal akan mengalami degenerasi yang akan diikuti oleh struktur
terjadi akibat kerusakan yang mengenai langsung pada selubung myelin maupun
23
degenerasi aksonal terjadi akibat dari adanya gangguan pada badan sel, di
mana pada akhirnya serabut akson yang paling distal akan mulai mengalami
degenerasi dan akan diikuti oleh degenerasi dari selubung myelin (Davis et al.,
2010).
terhadap peningkatan ROS (Kumar & Mittal, 2017; Bhakkiyalakshmi et al. 2015;
al., 2018; Aguilar et al., 2016; Pisoschi et al., 2015). Penurunan Nrf2 juga
kerusakan pada segmen proksimal dan distal saraf sehingga serat saraf pada
(Kurniawan, 2012).
dalam sel saraf perifer dimetabolisme melalui jalur poliol. Akibatnya terjadi
kecepatan konduksi saraf melambat (Yagihashi et al., 2007 dalam Zan et al.,
24
2017; Nayak et al., 2011). Pada kondisi hiperglikemia, terjadi peningkatan AGE
dan permeabilitas kapiler (Madonna et al., 2011; Zan et al., 2017). Nf-kB juga
et al., 2009). Selain mekanisme tersebut, jalur heksosamin juga merupakan jalur
neuropati perifer pada penderita diabetes melitus (Zan et al., 2017). Patofisiologi
diabetes melitus dapat dilihat dalam bagan pada gambar 2.2 (Shakeel, 2014).
yang paling umum adalah adanya kulit kering yang dapat menyebabkan fisura
pasien. Apa bila terjadi perubahan warna dari biru ke merah muda, maka hal
tersebut masuk ke dalam kategori normal. Namun apa bila warna tidak berubah
maka menunjukkan adanya kerusakan saraf otonom (Edmonds & Foster, 2014).
Pada kerusakan saraf motorik, tanda yang dapat diamati adalah adanya
perubahan bentuk kaki seperti flat feet, bunion, prominent metatarsal heads,
hammer toe, claw toe, mallet toes, overlapping, charcot foot yang ditunjukkan
26
dalam gambar 2.4 (Edmonds & Foster, 2014; Feldman et al., 1994; Rosyida,
2016).
Gambar 2.4 Perubahan Bentuk Kaki (Supplements, 2019; Dounis et al., 2010;
Thomas et al., 2009 dalam DiPreta, 2014; Black et al., 1985 dalam Talusan et al.,
2013; Edmonds & Foster, 2014)
Keterangan: A) Flat feet=tidak adanya lengkungan pada telapak kaki; B) Bunion=kelainan
bentuk tulang di dasar ibu jari; C) Prominent metatarsal heads ditunjukkan pada telapak
kaki kanan; D) Hammer toe=flexi proximal interphalangeal joint (PIJ) dan ekstensi
metatarsophalangeal joint (MPJ) dengan ada atau tidaknya hiperekstensi dari distal
interphalangeal joint (DIPJ); E) Claw toe= flexi pada PIJ dan DIPJ disertai dengan
ekstensi MPJ; F) Mallet toes=flexi pada DIPJ; G) Overlapping ditunjukkan pada jari
kelingking; H) Charcot foot.
dengan abduksi jari kaki, ekstensi jari kaki serta uji dorsofleksi pada ankle kaki
yang dapat dilihat pada gambar 2.5 (Rosyida, 2016; Edmonds & Foster, 2014).
27
tangan bersih jika diperlukan. Sarung tangan bersih harus dipakai jika
pergelangan kaki.
2. Minta klien untuk melepas kaos kaki dan sepatu dari kedua kaki.
klien.
2012).
ketiga, kelima; arches medial dan lateral; tumit; dorsum kaki (Rosyida,
(Nather, 2016).
8. Ulangi tes hingga 3 kali pada area di mana klien tidak dapat
merasakan monofilamen.
monofilamen pada 2-3 kali pemeriksaan dan negatif jika tidak dapat merasakan
tekanan pada 2-3 kali pemeriksaan. Hasil positif skor=1, hasil negatif skor=0.
Sehingga skor total pada satu kaki bervariasi antara 0-10 (Rosyida, 2016).
kalus, jaringan parut atau nekrotik (Booth & Young, 2000). Namun jika didapati
daerah yang berdekatan. Apa bila klien mengalami amputasi, tes dilakukan pada
berupa getaran ketika tegangan dinaikkan. Apa bila pasien tidak merasakan
getaran 25 Volt maka pasien berisiko mengalami ulserasi (Edmonds & Foster,
2014).
30
Pemeriksaan klinis lain yang lebih sederhana yaitu dengan garpu tala 128
Hz (Edmons & Foster, 2014). Durasi rata-rata sensasi getaran garpu tala yaitu
10,2 detik dengan standart deviasi ± 1,3 detik (Oyer et al., 2007 dalam Taylor,
2013). Pemeriksa memegang garpu tala dengan telunjuk dan ibu jari tangan.
tulang interphalang distal dorsum jari kaki pertama secara bilateral. Pasien
diminta untuk melaporkan adanya getaran. Apa bila pasien bisa merasakan
vibrasi <10 detik, dikatakan normal (skor 0), menurun apa bila pasien merasakan
vibrasi >10 detik (skor 1), dan jika pasien tidak merasakan vibrasi diberikan skor
dalam Rosyida, 2016). MNSI mencakup dua penilaian terpisah: kuesioner yang
ekstermitas bawah terdiri dari inspeksi, penilaian sensasi getaran, dan refleks
ankle kaki. Inspeksi mencakup adanya kelainan bentuk, kulit kering, kapalan,
infeksi, celah dan bisul. Penilaian sensasi getaran dilakukan menggunakan garpu
tala 128 Hz (Herman et al., 2012). Sedangkan pemeriksaan refleks ankle kaki
Gambar 2.10 Pemeriksaan Refleks Ankle Kaki (Weber & Kelley, 2009)
berupa adanya kelainan bentuk, kulit kering, kapalan, infeksi, celah dan bisul;
penilaian sensasi getaran menggunakan garpu tala 128 Hz pada daerah sendi
interphalangeal distal dorsum pada jari kaki pertama, dan refleks pergelangan
kaki (Young, 1994 dalam Yeboah, 2016; Korean Diabetes Association, 2011;
Rosyida, 2016).
sakit, dan sentuhan ringan yang masing-masing dinilai dengan garpu tala 128
Hz, pin prick, dan monofilamen 10g (Feldman et al.,1994). Pin prick merupakan
dorsum ibu jari kaki pertama. Pasien ditutup matanya kemudian diberikan
sentuhan dengan jarum pentul. Pasien ditanya apakah merasakan nyeri atau
tidak merasakan nyeri. Jika merasa nyeri diberikan skor 0 dan jika tidak merasa
subjek di sepanjang siku medial, menempatkan ibu jari secara distal pada tendon
bisep brakii, dan menekan tendon. Kemudian dengan ujung palu refleks
berbentuk segitiga, pemeriksa memukul kuku ibu jari; menekan tendon. Respon
normal di mana didapati respon berupa fleksi siku. Pada pemeriksaan trisep
ujung palu segitiga, pemeriksa memukul tendon trisep hanya pada daerah
dapat menangguhkan kedua kaki dengan memegang pakaian. Hasil normal apa
bila terdapat ekstensi pada lutut (Campbell & DeJong, 2005). Pada pemeriksaan
33
refleks achilles, kaki subjek dalam posisi menggantung dan sediki dorsofleksi
untuk meregangkan tendon. Namun subjek tetap dalam posisi santai. Ketuk
tendon calcaneal dan amati respon kaki. Refleks normal jika didapati fleksi
plantar ketika tendon achilles diketuk oleh palu refleks (Allen & Harper, 2011).
Pemeriksaan refleks peregangan otot tersebut dapat dilihat dalam gambar 2.11
sehingga kulit terutama pada kaki tidak mendapatkan nutrisi dengan baik.
raba, vibrasi dan posisi. Hilangnya sensasi (getar, posisi/ proprioseptif, suhu, dan
34
yang muncul akibat neuropati sensorimotor adalah kulit yang kering dan pecah-
mempercepat timbulnya ulkus pada kaki (Azhary et al., 2010; Watson & Dick,
2.2.8 Penatalaksanaan
dan vitamin, serta manajemen nyeri dapat dilihat dalam tabel 2.5 (Zilliox &
Russell, 2011; Javed et al., 2016). Sedangkan pengobatan non farmakologi bisa
dilakukan dengan senam kaki (Suhertini & Subandi, 2016; Yulita et al., 2019).
Keterangan
2.3.1 Definisi
penggunaan oksigen dengan konsentrasi tinggi (100%) pada tekanan yang lebih
dari 1 ATA (Jones & Wyatt, 2019; Lam et al., 2017). Berdasarkan ketetapan
Undersea and Hyperbaric Medical Society bahwa tekanan harus lebih besar dari
atau sama dengan 1,4 ATA. Dalam praktik klinis, tekanan yang diterapkan
biasanya berkisar antara 2 hingga 3 ATA (Lam et al., 2017). Apa bila pasien
menghirup 100% oksigen pada tekanan 1 ATA maka bukan termasuk terapi
oksigen hiperbarik (Saleh, 2018). Besar nilai tekanan berdasarkan satuan mmHg,
fsw, msw, psi, dan atm dapat dilihat pada tabel 2.6 (Jain, 2017).
1 760 0 0 0 0
(Jain, 2017)
frekuensi terapi yang dilakukan oleh pasien sesuai dengan pemeriksaan pada
pasien setelah terapi. Apa bila hasil pemeriksaan sudah sesuai target
tekanan 2,4 ATA selama 90 menit. Tiap 30 menit, pasien diberikan waktu
istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen
Concgas = P (Sol)
dengan konsentrasi gas terlarut (Edwards, 2010; Choudhury, 2018). Pada terapi
tekanan parsial gas oksigen dalam paru juga meningkat. Peningkatan tersebut
Dari Hukum Fick menyatakan bahwa laju difusi gas berbanding lurus
dengan tekanan parsial gas. Jika ada peningkatan perbedaan tekanan parsial
(driving pressure) antara 2 area jaringan maka laju difusi gas akan meningkat.
Hal tersebut menyebabkan gas mampu berdifusi lebih jauh ke dalam jaringan
(Edwards, 2010).
meningkat sehingga tekanan parsial gas oksigen dalam paru juga meningkat
bermanfaat dalam mengatasi kondisi hipoksia (Edwards, 2010; Lam et al., 2017).
P1 x V1 = P2 x V2
gas (V) (Edwards, 2010; Heyboer et al., 2017). Hukum tersebut mendasari
dekompresi dan emboli gas arteri (AGE) (Edwards, 2010). Tekanan oksigen yang
2.3.3 Klasifikasi
monoplace chamber dan multiple chamber (Hexdall et al., 2016). Namun masih
menampung lebih dari satu pasien (Hexdall et al., 2016). Chamber jenis lainnya
yaitu portable/ mobile chamber yang dapat difungsikan sebagai rumah sakit di
medan tempur untuk mendukung operasional militer. Selain itu ada chamber
Chamber yang digunakan untuk neonatus dan hewan percobaan disebut small
2.3.4 Indikasi
dekompresi, emboli udara, luka bakar, crush injury, dan keracunan gas karbon
penunjang diagnostik untuk pasien rawat inap dengan penyakit dekompresi berat
(Kemenkes, 2008).
2.3.5 Kontraindikasi
dengan pneumotoraks yang tidak diobati. Sebab terapi oksigen hiperbarik dapat
40
memperburuk kondisi tersebut (Lam et al., 2017). Semua pasien harus dilakukan
terapi tersebut (Dubose & Cooper, 2019). Kontraindikasi absolut lainnya adalah
darah; penderita diabetes mellitus dengan kadar glukosa lebih dari 300 atau
kurang dari 100; gagal jantung kongestif dengan fraksi ejeksi kurang dari 35%
dan sinus kronis sebab hal tersebut dapat mengganggu kemampuan untuk
kegagalan fungsi pada alat tersebut terutama ketika terjadi penurunan tekanan.
Selain itu alat pacu dapat berisiko menyebabkan percikan api pada lingkungan
yang memiliki kadar oksigen 100% sehingga perlu dilakukan koordinasi dengan
petugas hiperbarik dan memastikan alat tersebut telah lulus uji tekanan; pasien
dengan riwayat bedah mata/ retina/ katarak/ neuritis optik sebab terapi oksigen
thoraks, penyakit paru obstruktif/ penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)/ asma;
riwayat kejang yang tidak terkontrol sehingga dianjurkan kejang perlu dikontrol
sebelum memulai terapi; serta penggunaan kontak lensa (Dubose & Cooper,
Terapi oksigen hiperbarik adalah bentuk terapi yang relatif aman dengan
sedikit efek samping yang umumnya bersifat sementara (Ferreira et al., 2018).
Penyebab efek samping tersebut karena dua mekanisme utama pada proses
terapi yaitu efek dari perubahan tekanan gas pada ruang tertutup dan hiperoksia
(Ferreira et al., 2018; Eggleton et al., 2015). Perubahan tekanan yang meningkat
yang terjadi biasanya bersifat ringan dan sementara (Ferreira et al., 2018).
Komplikasi dari terapi oksigen hiperbarik adalah toksik oksigen yang dapat
Efek samping lain yang jarang terjadi namun bersifat serius adalah
eksaserbasi gagal jantung kongestif, edema paru, dan perubahan retina (Ferreira
et al., 2018; Lam et al., 2017). Beberapa pasien juga mengeluh mual,
berkeringat, batuk kering, sakit dada, kedutan, dan tinitus (Kemenkes, 2008).
sekarang, riwayat penyakit dahulu, kontraindikasi absolut dan relatif untuk terapi
X-foto thorak PA; pemeriksaan tambahan bila dianggap perlu seperti EKG,
samping, proses, dan program terapi yaitu terapi dilaksanakan di dalam ruang
masker selama 3 x 30 menit untuk tabel terapi Kindwall atau sesuai tabel terapi
twitching, mual, muntah dan kejang. Bila terjadi hal demikian maka perawat akan
diberikan perawatan sampai kondisi adekuat; observasi TTV dan keluhan peserta
lingkungan dengan valsava manuver, menelan ludah, atau minum air putih
evaluasi ada tidaknya efek samping. Bila kondisi baik maka pasien akan
Dismalyansa, 2019).
BAB III
Terapi
Senam Terapi
Kaki Oksigen
Hiperbarik
Faktor yang
berhubungan:
1. Usia
2. Lama waktu
Penurunan Tingkat
menderita Keparahan Neuropati Perifer
diabetes melitus
3. Rendahnya
kontrol gula Keterangan:
darah = Diteliti
4. Riwayat merokok
5. Dislipidemia
= Tidak diteliti
44
45
kerusakan pada saraf otonom, sensorik, dan motorik sehingga dilakukan terapi
yang terdiri dari farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi yang
disarankan berupa senam kaki. Pada penelitian ini akan mengidentifikasi apakah
3.2 Hipotesis
keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik pada
Surabaya.
BAB IV
METODE PENELITIAN
menjalani terapi oksigen hiperbarik dengan indikasi diabetes melitus baik yang
terapi yang diberikan bukan atas dasar semata-mata keperluan peneliti, namun
diabetes melitus yang diderita sehingga segala biaya terapi oksigen hiperbarik
Intervensi diberikan oleh tim kesehatan hiperbarik (dokter, perawat, dan teknisi)
tenaga kesehatan yang telah ditentukan oleh pihak Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
46
47
anamnesis dan evaluasi dari pihak Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar,
Phys.
disertai neuropati perifer dan pertama kali terdaftar sebagai pasien terapi oksigen
yang disertai neuropati perifer dalam 10 hari adalah 4 orang. Rata-rata dalam
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 × 𝑑2
Keterangan:
n = besarnya sampel
N = besarnya populasi
Kriteria inklusi:
2. Penderita diabetes melitus yang memiliki salah satu atau lebih gejala
Kriteria eksklusi:
cedera kepala.
10 kali.
Phys yang berlokasi di Jl.Gadung No.1, Jagir, Kec. Wonokromo, Kota Surabaya.
sama dan MOU dikeluarkan oleh FKUB pada bulan Agustus 2020. Surat
49
Keterangan Kelaikan Etik dikeluarkan oleh FKUB pada tanggal 13 Maret 2021.
perifer adalah lembar pemeriksaan neuropati perifer yang diadopsi dari penelitian
sebelumnya oleh Rosyida (2016) yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya.
Instrumen tersebut merupakan hasil adopsi serta adaptasi dari MNSI (Michigan
inspeksi keadaan kaki kiri maupun kanan untuk mengetahui adanya kulit kering,
pecah-pecah, dan callus (kapalan). Rentang skor pada tiap bagian sisi kaki
adalah 0-2. Sehingga rentang skor untuk kaki kiri dan kanan adalah 0-4. Pada
menggunakan garpu tala 128 Hz. Pemeriksaan sensasi nyeri menggunakan pin
prick (jarum). Pemeriksaan dilakukan pada kaki kiri dan kanan dengan rentang
skor adalah 0-5 pada setiap bagian sisi kaki sehingga rentang skor pada kedua
ekstensi, dan dorsofleksi pada kaki kiri dan kanan. Pemeriksaan refleks
menggunakan palu refleks pada ekstermitas kiri dan kanan. Rentang skor pada
setiap sisi ekstermitas adalah 0-16 sehingga rentang skor pada kedua sisi adalah
salah satu sisi ekstermitas adalah 0-23 sehingga rentang skor pada kedua sisi
adalah 0-46. Semakin tinggi nilai skor maka semakin berat pula tingkat
keparahan neuropati perifer yang dialami oleh pasien penderita diabetes melitus
(Rosyida, 2016).
validitas dilakukan dalam dua cara yaitu dengan content validity dan construct
validity. Hasil uji content validity secara keseluruhan sudah sesuai dengan teori.
Sedangkan untuk uji construct validity dilakukan melalui pilot study kepada 30
Cronbach. Hasil uji reliabilitas nilai Alpha Cronbach sebesar 0,703. Hasil tersebut
Independen: Terapi dengan memberikan oksigen Terapi diberikan sebanyak 10 kali (1 SOP - -
sesi) secara berturut-turut 1 hari sekali
Terapi Oksigen berkonsentrasi tinggi (100%) pada
pada hari kerja.
Hiperbarik tekanan 2,4 ATA selama 90 menit pada
Phys Surabaya.
Dependen: Kerusakan fungsi saraf perifer yang Terdapat 3 komponen untuk menilai Lembar pemeriksaan Rasio 0-46
dinilai dari kerusakan fungsi otonom, neuropati perifer yaitu kerusakan saraf neuropati perifer.
Tingkat
sensorik, dan motorik pada kedua sisi otonom dengan 3 item pemeriksaan,
Keparahan
ekstermitas penderita diabetes melitus kerusakan saraf sensorik dengan 12
Neuropati Perifer
baik sebelum maupun sesudah terapi item pemeriksaan, dan kerusakan saraf
Tingkat Pemeriksaan yang ditujukan Kerusakan fungsi otonom dinilai oleh - Rasio 0-4
Kerusakan saraf untuk mengetahui adanya peneliti dengan melakukan inspeksi pada
otonom kerusakan saraf otonom dengan kedua sisi kaki terkait terkait ada/tidaknya
Phys Surabaya.
53
Tingkat Pemeriksaan yang ditujukan Kerusakan fungsi sensorik dinilai oleh 1. Monofilamen 10g Rasio 0-10
Kerusakan saraf untuk mengetahui adanya peneliti yang dilakukan pada kedua sisi
2. Garpu tala 128Hz
sensorik kerusakan saraf sensorik dengan kaki dengan melakukan pemeriksaan
3. Jarum pentul
melakukan pemeriksaan berikut :
Phys Surabaya.
54
Tingkat Pemeriksaan yang ditujukan Kerusakan fungsi motorik dinilai oleh 1. Palu refleks Rasio 0-32
Kerusakan saraf untuk mengetahui adanya petugas Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
Skor 0 Skor 1
Informed Consent
Menolak Bersedia
Post Test
Pasien diabetes melitus yang baru terdaftar di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
skrining tersebut disimpan untuk juga digunakan sebagai data pre test. Jika skor
pasien <1 maka pasien tidak dilibatkan sebagai responden. Apa bila skor pasien
sesuai hasil diskusi selama paparan proposal di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
Apa bila pasien lulus skrining kriteria inklusi & eksklusi maka pasien akan
informed consent, dan riwayat kesehatan pasien tersusun secara sistematis dan
responden.
Phys Surabaya yaitu 10 kali. Jika pasien melakukan terapi tidak sesuai standart
57
tersebut maka pasien akan dikeluarkan dari responden penelitian. Namun jika
pasien melakukan terapi sesuai standart minimal yang berlaku maka pasien akan
dilakukan post test yakni pemeriksaan tingkat keparahan neuropati perifer untuk
Apa bila selama proses penelitian pasien mengalami komplikasi atau efek
yang berlaku oleh Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.
tidak sesuai dengan protokol dalam penelitian (jumlah terapi) maka pasien akan
dikeluarkan dari penelitian. Penelitian ini di bawah pembimbing klinik Dr. Titut
atau tidak. Hasil pengamatan ditulis pada lembar prosedur terapi oksigen
No Kegiatan Durasi
(menit)
1 Mengkaji riwayat kesehatan 5
2 Pemeriksaan saraf otonom 1
3 Pemeriksaan saraf sensorik
Sensitivitas 3
Vibrasi 2
Sensasi 1
4 Pemeriksaan saraf motorik
Deformitas 1
Kekuatan otot 2
Refleks otot 2
Durasi Keseluruhan 17
protokol kesehatan sesuai arahan dan perintah dari pihak Lakesla Drs. Med. R.
Penelitian ini mendapatkan surat keterangan laik etik dari komisi etik
nomor surat No. 69 / EC/ KEPK – S1 – PSIK / 03 / 2021 . Ada pun prinsip-
prinsip etik yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan dalam penjelasan
di bawah ini.
2. Beneficience
perifer yang dialami. Selain itu responden juga dapat mengetahui apakah
terapi oksigen hiperbarik yang dijalani memiliki manfaat lain selain untuk
3. Justice
penelitian ini baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama
deviasi, median, nilai minimal dan maksimal pada tingkat keparahan neuropati
Analisis bivariat terdiri dari uji normalitas dan uji komparasi. Uji normalitas
data dilakukan untuk mengetahui suatu data bersifat normal atau tidak. Uji
sampel yang digunakan dalam penelitian ini ≤50. Uji komparasi dilakukan untuk
dengan sesudah dilakukan terapi oksigen hiperbarik. Apa bila data berdistribusi
T-Test). Namun apa bila data tidak berdistribusi normal maka dilakun uji
61
oksigen hiperbarik pada penderita diabetes melitus di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi
memberhentikan terapi sebelum 10 kali. Oleh sebab itu, hanya 5 orang sisanya
62
63
Dari 5 responden yang terlibat dalam penelitian, kategori usia yang paling
banyak ada lansia awal (47 tahun dan 48 tahun) dan lansia akhir (56 tahun dan
60 tahun). Kategori jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki. Kategori
pasien menderita diabetes melitus yang dihitung dari pertama kali pasien
mengetahui diagnosis penyakitnya paling banyak sekitar 2,5 tahun dan 3 tahun.
tekanan darah tinggi. Keseluruhan responden memiliki ulkus pada kaki. 80%
pemberian 10 kali terapi oksigen hiperbarik yang disebabkan oleh pola makan.
Data univariat pada penelitian ini terdiri dari hasil pemeriksaan tingkat
neuropati perifer yang masing-masing terdiri dari pre dan post. Frekuensi skor
tingkat kerusakan saraf otonom sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik
yang tercantum dalam tabel 5.2; frekuensi skor tingkat kerusakan saraf sensorik
sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik yang tercantum dalam tabel 5.3;
frekuensi skor tingkat kerusakan saraf motorik sebelum dan sesudah terapi
oksigen hiperbarik yang tercantum dalam tabel 5.4; frekuensi skor tingkat
keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik yang
Tabel 5.2 Frekuensi Skor Tingkat Kerusakan Saraf Otonom Sebelum dan
Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 4 2 2
2 4 3 1
3 3 3 0
4 2 0 2
5 2 1 1
Skor maksimal kerusakan saraf otonom adalah 4 yang terdiri dari rentang
0-2 (kaki kiri) dan 0-2 (kaki kanan). Responden 1 mendapat skor pre test 4
65
karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada kaki kiri
dan kanan. Responden 1 mendapat skor post test 2 karena memiliki gejala kulit
kering pada kaki kanan; callus pada kaki kanan. Responden 2 mendapat skor
pre test 4 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada
kaki kiri dan kanan. Responden 2 mendapat skor post test 3 karena memiliki
gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; serta callus pada kaki kanan.
Responden 3 mendapat skor pre test 3 karena memiliki gejala kulit kering pada
kaki kiri dan kanan; serta callus pada kaki kanan. Responden 3 mendapat skor
post test 3 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; serta
callus pada kaki kanan. Responden 4 mendapat skor pre test 2 karena memiliki
gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan. Responden 4 mendapat skor post
mendapat skor pre test 2 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan
kanan. Responden 5 mendapat skor post test 1 karena memiliki gejala kulit
kering pada kaki sebelah kanan. Dengan demikian, skor 2 dan 4 paling banyak
ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 3 paling banyak ditemukan pada
Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 3 1 2
2 3 1 2
3 2 0 2
4 1 0 1
5 3 1 2
rentang 0-5 (kaki kanan) dan 0-5 (kaki kiri). Responden 1 mendapat skor pre test
3 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri dan kanan;
mendapat skor post test 1 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan
pada kaki kiri. Responden 2 mendapat skor pre test 3 karena memiliki gejala
penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri; serta penurunan sensasi vibrasi
pada kaki kiri dan kanan. Responden 2 mendapat skor post test 1 karena
mendapat skor pre test 2 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan
pada kaki kiri; serta penurunan sensasi vibrasi pada kaki kiri. Responden 3
mendapat skor post test 1 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan
pada kaki kiri. Responden 4 mendapat skor pre test 1 karena memiliki gejala
penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan. Responden 4 mendapat skor post
mendapat skor pre test 3 karena memiliki gejala penurunan sensasi sentuhan
pada kaki kiri dan kanan; serta penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan.
sensasi sentuhan pada kaki kanan. Dengan demikian, skor 3 paling banyak
ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 1 paling banyak ditemukan pada
Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 2 0 2
2 1 0 1
3 1 0 1
4 2 2 0
rentang 0-16 (ekstermitas kiri) dan 0-16 (ekstermitas kanan). Dari 5 responden, 4
mendapat skor pre test 2 karena memiliki gejala tidak mampu melakukan abduksi
jari pada kaki kiri. Responden 1 mendapat skor post test 0 karena tidak memiliki
gejala kerusakan saraf motorik. Responden 2 mendapat skor pre test 1 karena
memiliki gejala penurunan refleks achilles pada kaki kiri. Responden 2 mendapat
skor post test 0 karena tidak memiliki gejala kerusakan saraf motorik. Responden
3 mendapat skor pre test 1 karena memiliki gejala penurunan refleks achilles
pada kaki kiri. Responden 3 mendapat skor post test 0 karena tidak memiliki
gejala kerusakan saraf motorik. Responden 4 mendapat skor pre test 2 karena
memiliki gejala adanya 2 bentuk deformitas (hammer toes dan bunion) pada kaki
kiri. Responden 4 mendapat skor post test 2 karena memiliki gejala adanya 2
bentuk deformitas (hammer toes dan bunion) pada kaki kiri. Dengan demikian,
68
skor 1 dan 2 paling banyak ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 0
Skor
Responden Skor Pre Test Skor Post Test
Perbaikan
1 9 3 6
2 8 4 4
3 6 3 3
4 5 2 3
5 5 2 3
Skor maksimal keparahan neuropati perifer adalah 0-46 yang terdiri dari
skor pre test 9 karena memiliki gejala kulit kering dan callus pada kaki kiri dan
kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri dan kanan; ketidakmampuan
merasakan sensasi nyeri pada kaki kiri; tidak mampu melakukan abduksi jari
pada kaki kiri. Responden 1 mendapat skor post test 3 karena memiliki gejala
kulit kering dan callus pada kaki kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki
kiri. Responden 2 mendapat skor pre test 8 karena memiliki gejala kulit kering
dan callus pada kaki kiri dan kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kiri;
penurunan sensasi vibrasi pada kaki kiri dan kanan; serta penurunan refleks
achilles pada kaki kiri. Responden 2 mendapat skor post test 4 karena memiliki
gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada kaki kanan; penurunan
sensasi sentuhan pada kaki kiri. Responden 3 mendapat skor pre test 6 karena
memiliki gejala gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; callus pada kaki
kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kanan; penurunan sensasi vibrasi
69
pada kaki kanan; penurunan refleks achilles pada kaki kiri. Responden 3
mendapat skor post test 3 karena memiliki gejala kulit kering pada kaki kiri dan
Responden 4 mendapat skor pre test 5 karena memiliki gejala kulit kering
pada kaki kiri dan kanan; penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan; gejala
adanya 2 bentuk deformitas (hammer toes dan bunion) pada kaki kiri.
(hammer toes dan bunion). Responden 5 mendapat skor pre test 5 karena
gejala kulit kering pada kaki kiri dan kanan; penurunan sensasi sentuhan pada
kaki kiri dan kanan; serta penurunan sensasi vibrasi pada kaki kanan.
Responden 5 mendapat skor post test 2 karena memiliki gejala kulit kering pada
kaki kanan; penurunan sensasi sentuhan pada kaki kanan. Dengan demikian,
skor 5 paling banyak ditemukan pada hasil pre test. Sedangkan skor 3 dan 2
Data bivariat pada penelitian ini terdiri dari analisis perbedaan tingkat
kerusakan saraf otonom, sensorik, motorik, dan tingkat keparahan total neuropati
0,1185) dan post test (p = 0,4211) pada pemeriksaan saraf otonom merupakan
data yang berdistribusi normal karena nilai p > 0,05. Dengan demikian, uji
didapat p value = 0,0326 ( p < 0,05) yang artinya bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara tingkat kerusakan saraf otonom antara sebelum dan
0,0460) dan post test (p = 0,0065) pada pemeriksaan saraf sensorik merupakan
data yang berdistribusi tidak normal karena nilai p < 0,05. Dengan demikian, uji
didapat p value = 0,0312 (p < 0,05). Dengan demikian dari analisa tersebut
kerusakan saraf sensorik antara sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.
0,0239) dan post test (p = 0,0012) merupakan data yang berdistribusi tidak
normal karena nilai p < 0,05. Dengan demikian, uji komparasi yang digunakan
adalah Wilcoxon Signed-Rank Sum Test yang didapat p value = 0,1875 (p >
0,05). Dengan demikian dari analisa tersebut didapatkan hasil bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kerusakan saraf motorik antara
total dari tingkat kerusakan saraf otonom, sensorik, dan motorik. Analisis
neuropati perifer merupakan data yang berdistribusi normal karena nilai p > 0,05.
Dari perhitungan didapat p value = 0,0028 ( p < 0,05) yang artinya bahwa
PEMBAHASAN
Hasil penelitian didapatkan mean pre test 3,0 dan mean post test 1,8.
kerusakan saraf otonom antara sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.
tipe II yang disertai ulkus kaki bahwa terapi oksigen hiperbarik efektif untuk
kelebihan glukosa dimetabolisme melalui reaksi non enzimatik yaitu jalur poliol.
Mekanisme jalur poliol yaitu glukosa direduksi menjadi sorbitol oleh aldose
kadar sorbitol dan fruktosa, serta penurunan NADPH dan NAD+ (Nayak et al.,
2011).
74
75
terjadi penurunan aliran darah pada sel saraf otonom yang menyebabkan
melitus mengalami gejala kulit kering. Kulit yang kering ditandai dengan adanya
kemerahan hingga gatal. Kulit yang kering dapat menyebabkan penebalan yang
timbul akibat adanya gesekan atau tekanan pada kaki yang disebut dengan
reperfusi pada sel saraf otonom yang mengalami iskemia. Pemberian terapi
ini efektif untuk regenerasi saraf otonom. Selain itu Terapi oksigen hiperbarik
juga dapat meningkatkan sintesis glutathione dan kolagen yang mana keduanya
berperan dalam menjaga kelembaban dan meningkatkan elastisitas kulit. Hal ini
Hasil penelitian ini seluruh responden memiliki gejala kulit kering dengan
meningkatkan kelembaban kulit pada responden yang memiliki gejala kulit kering
76
berupa garis-garis halus yang disertai sedikit pengelupasan. Begitu pun pada 3
responden yang memiliki gejala otonom berupa callus. 10 kali terapi oksigen
hiperbarik mampu menghilangkan callus yang berukuran kecil, agak tebal, dan
kering berupa sisik serta gejala callus yang berukuran lebar dan ditemukan di
Pada penelitian ini, 3 responden laki-laki memiliki skor pre test 3 dan 4.
saraf otonom sebelum terapi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
mengalami perbaikan berjenis kelamin laki-laki dan memiliki skor pre test 3. Hal
ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memang tidak dikontrol dalam
sebagainya.
2,5 tahun, 3 tahun, dan 15 tahun. Responden yang menderita diabetes melitus
penurunan tingkat kerusakan saraf otonom sebanyak 1 sehingga skor post test
selama 3 tahun memiliki skor pre test 3 namun tidak mengalami perbaikan
mengalami lonjakan gula darah disebabkan karena pola makan yang tidak
dikontrol. Namun lonjakan tersebut hanya berlangsung 1 hingga 2 hari. Skor pre
test dari 4 responden tersebut terletak pada rentang 2 hingga 4. Meski demikian
Hasil penelitian didapatkan mean pre test 2,4 dan mean post test 0,6.
kerusakan saraf sensorik antara sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada 69 penderita
perlakuan). Median sebelum perlakuan 39,7 m/s ± 5,4 m/s menjadi 41,9 m/s ±
4,8 m/s setelah perlakuan. Dengan demikian terdapat pengaruh yang signifikan
(p < 0,05) pada kecepatan konduksi saraf sensorik (Wang et al., 2005).
akibatnya terjadi mikrohipoksia endoneural. Apa bila hipoksia terjadi pada sel
dengan degenerasi akson yang terjadi dari bagian proksimal ke distal. Kemudian
ibu jari kaki yang sebelumnya tidak mampu merasakan sensasi nyeri.
Pada penelitian ini, 3 responden laki-laki memiliki skor pre test 2 dan 3.
analisis skor pre test dan post test, responden dengan skor kerusakan 1 dan 2
memiliki skor post test 0. Namun responden dengan skor pre test 3 memiliki skor
post test 1.
tingkat kerusakan saraf sensorik sebelum terapi sangat ringan yaitu 1 sehingga
79
dengan demikian skor post test yang didapat responden tersebut adalah 0. Tidak
darah. Keseluruhan responden antara yang mengalami lonjakan gula darah atau
Hasil penelitian didapatkan mean pre test 1,5 dan mean post test 0,5.
Berdasarkan analisa tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor
saraf motorik sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik. Hal ini
perlakuan). Median sebelum perlakuan 41,9 m/s ± 7,8 m/s menjadi 43,5 m/s ±
5,1 m/s setelah perlakuan 30 kali terapi. Dengan demikian terdapat pengaruh
yang signifikan (p < 0,01) pada kecepatan konduksi saraf motorik (Wang et al.,
2005).
dengan gejala otonom dan sensorik pada neuropati perifer penderita diabetes
kaki dan penurunan refleks achilles. 10 kali terapi oksigen hiperbarik mampu
dan hammer toes. 10 kali terapi oksigen hiperbarik nampaknya tidak efektif untuk
belum menemukan jumlah terapi minimal yang efektif untuk deformitas. Selain itu
adanya faktor lain seperti penggunaan alas kaki yang tidak dikaji dalam
penelitian ini.
ekstensor, plantar aponeurosis dan plat plantar. Kelemahan otot yang terjadi
disebabkan adanya kerusakan pada serabut saraf motorik akibat reinervasi yang
konduksi pada proses penghantaran impuls dari sistem saraf pusat ke efektor
dalam neovaskularisasi pada sel saraf yang rusak serta mengaktifkan hipoxia-
munculnya gejala kelemahan otot pada penderita diebetes melitus yaitu adanya
gangguan genetik pada gen yang memproduksi protein VPS39. Protein tersebut
memiliki peran dalam proses regenerasi otot. Namun belum ada penelitian terkait
ini, peneliti tidak mengetahui deformitas yang terjadi pada responden disebabkan
81
karena kerusakan pada saraf motorik saja atau juga disertai gangguan genetik
Hasil penelitian didapatkan mean pre test 6,6 dan mean post test 2,8.
hiperbarik. Hal ini sesuai dengan penelitian eksperimen yang dilakukan pada
tikus. Terapi oksigen hiperbarik memiliki pengaruh yang signifikan pada diabetic
peripheral nerves ( P < 0,001) (Low et al., 1988). Hasil tersebut juga sesuai
menyebabkan disfungsi sehingga terjadi penurunan aliran darah. Apa bila hal ini
terjadi pada sel saraf maka saraf akan mengalami hipoksia. Lambat-laun akan
terjadi iskemik dan nekrosis. Kerusakan yang terjadi pada saraf tepi baik otonom,
sensorik, motorik disebut neuropati perifer. Saraf yang rusak akan mengalami
degenerasi wallerian. Degenerasi diawali dari bagian akson kemudian diikuti oleh
2016).
fisika yaitu hukum Henry dan Fick. Hukum Henry menyatakan bahwa tekanan
82
berbanding lurus dengan konsentrasi gas yang larut. Sedangkan hukum Fick
menyatakan bahwa tekanan berbanding lurus dengan laju difusi gas. Dengan
difusi oksigen dalam darah. Hal ini mampu mengatasi hipoksia pada sel saraf
yang memiliki gejala otonom, pada 100% responden yang memiliki gejala
sensorik, dan pada 75% responden yang memiliki gejala motorik. Terapi oksigen
terhadap sentuhan, vibrasi, dan nyeri; serta meningkatkan kekuatan otot dan
memperbaiki refleks.
Pada penelitian ini, skor pre test pada 3 responden laki-laki berutur-turut
adalah 6,8,9. Sedangkan skor pre test pada 2 responden perempuan adalah 5.
Tingkat keparahan neuropati perifer sebelum terapi lebih tinggi pada laki-laki
83
melitus sejak 3 tahun lalu dan 15 tahun lalu. Sedangkan 2 responden perempuan
mengalami diabetes melitus sejak 2,5 tahun yang lalu. Selain itu gaya hidup
seperti pola makan dan aktivitas fisik juga dapat mempengaruhi tingkat
perbaikan. Temuan unik dalam penelitian ini adalah semakin tinggi tingkat
keparahan maka semakin tinggi pula skor perbaikan. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh gaya hidup responden di rumah yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti.
tingkat keparahan neuropati perifer yang sama pada saat sebelum terapi yaitu
ringan. Tingkat keperahan menjadi salah satu faktor keefektifan dari terapi
ringan.
akibat pola makan yang tidak terkontrol. Namun seluruh responden tidak
neuropati perifer.
sedikit. Hal ini disebabkan karena pengambilan data dilakukan pada fase
penelitian ini hanya mampu melibatkan 5 responden. Selain itu alat ukur yang
masuk ke dalam kategori skor yang sama yaitu 1 sehingga apa bila terdapat
perbaikan dalam rentang skor 1 hingga 7 maka tidak didapati perubahan skor
yang bermakna. Selain itu variasi skor keparahan neuropati perifer dalam
data yang relatif agak lama yaitu membutuhkan 10 hari kerja per pasien untuk 10
kali terapi oksigen hiperbarik. Dengan durasi tersebut, peneliti tidak bisa
gula darah, penggunaan alas kaki, dan gaya hidup keseharian pasien seperti
pola makan, pola istirahat, dan aktivitas fisik selama di rumah. Hal tersebut
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
7.2 Saran
sebagai salah satu terapi komplementer pada penderita diabetes melitus yang
85
86
dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah terapi minimal yang
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Allen C., Harper V. (2011). Laboratory Manual for Anatomy and Physiology, 4th
Ed. USA: John Wiley & Sons.
Alnjadat, I.M., Sa’ideh N., Jaloukh M. (2015). Does Hyperbaric Oxygen Therapy
Have a Role in Diabetic Autonomic Neuropathy?. Journal of the Royal
Medical Services, 22(3), 46-52.
87
88
Azhary H., Faroog M.U., Bhanushali M., Majid A., Kassab M.Y. (2010). Peripheral
Neuropathy: Differential Diagnosis and Management. American Family
Physician, 81(7), 887-892.
Bal A., Joshi S.R., Mohan V., Mohan P.C., I. Ranjit U., Shinde J. (2008). ECAB
Clinical Update: Diabetology. India: Elsevier.
Bhakkiyalakshmi E., Sireesh D., Rajaguru P., Paulmurugan R., Ramkumar KM.
(2015). The Emerging Role Of Redox-Sensitive Nrf2–Keap1 Pathway In
Diabetes. Pharmacol Res, 91, 104–114.
Brunner., Suddarth. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 10,
Volume 2. Jakarta: EGC.
Callaghan BC, Cheng HT, Stables CL, Smith AL, Feldman EL. (2012). Diabetic
Neuropathy: Clinical Manifestations And Current Treatments. Lancet Neurol,
11(6), 521-34.
Campbell W.W., DeJong R.N. (2005). DeJong's the Neurologic Examination, 6th
Ed. Philadelphia USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Davis L.E. (2010). Neurology In Clinical Practice. New York: Demos Pub.
DeLuca M., Barkhuff D., Duggan N.M., Wittels K., Wilcox S.R. (2019). Case
Presentations of the Harvard Affiliated Emergency Medicine Residencies:
Weakness after Diving. J Emerg Med, 56(3), 332-336.
Devagard C., Sall J., Benrick A., Broholm C., Volkov P., Perfilyev A., et al.
(2021). VPS39-Deficiency Observed in Type 2 Diabetes Impairs Muscle
Stem Cell Differentiation Via Altered Autophagy and Epigenetics. . Nature
Communications, 12(1), 2431.
DiPreta J. (2014). Managing and Treating Common Foot and Ankle Problems, An
Issue of Medical Clinics Of North America. New York: Elsevier.
Doege H., Bocianski A., Joost H.G., Schurmann A. (2000). Activity and genomic
organization of human glucose transporter 9 (GLUT9), a novel member of
the family of sugar-transport facilitators predominantly expressed in brain
and leucocytes. Biochem J, 350(Pt 3), 771–776.
90
Dounis E., Makrilakis K., Tentolouris N., Tsapogas P. (2010). Atlas of the
Diabetic Foot, 7th Ed. London UK: WILEY Blackwell.
Edmonds M.E., Foster A.V.M. (2014). Managing the Diabetic Foot, 3th Ed.
London UK: WILEY Blackwell.
Eggleton P., Bishop A.J., Smerdon G.R. (2015). Safety And Efficacy Of
Hyperbaric Oxygen Therapy In Chronic Wound Management: Current
Evidence. Dove Press Journal:International Journal Of General Medicine, 2:
81-93.
Eisenbarth GS, Buse JB. (2011). Type 1 Diabetes Mellitus In: Kronenberg HM,
Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR. Williams Textbook of Endocrinology.
12th Ed. Philadelphia PA: Elsevier.
Færch K., Vistisen D., Pacini G., Torekov S.S., Johansen N.B., Witte D.R. (2016).
Insulin Resistance Is Accompanied By Increased Fasting Glucagon And
Delayed Glucagon Suppression In Individuals With Normal And Impaired
Glucose Regulation. Diabetes, 65(11), 3473–3481.
Feldman E.L., Stevens M.J., Thomas P.K., Brown M.B., Canal N., Greene D.A.
(1994). A Practical Two-Step Quantitative Clinical and Electrophysiological
Assessment for the Diagnosis and Staging of Diabetic Neuropathy. Diabetes
Care, 17(11), 1281-1289.
Ferreira J.M.S., Monteiro F., Silva J.V., Almeida A.F.D., Conde A. (2018).
Hyperbaric Oxygen Therapy: Clinical Applications In Otorhinolaryngology.
Biomedical Journal Of Scientific & Technical Research (Bjstr), 7(4): 1-2.
Fritz S. (2014). Mosby’s Massage Therapy Review, 4th Ed., Elsevier, China.
Hanewinckel R., Drenthen J., Oijen M.V., Hofman A., Doorn P.A.V., Ikram A.A.
(2016). Prevalence Of Polyneuropathy In The General Middle-Aged And
Elderly Population. Neurology, 87(18), 1892–1898.
Hardika B.D. (2018). Penurunan Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
II Melalui Senam Kaki Diabetes. (Abstract). Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Kesehatan, 16(2), 60-66.
Herman W.H., Pop-Busui R., Braffett B.H., Martin C.L., Cleary P.A., Albers J.W.
et al. (2012). Use Of The Michigan Neuropathy Screening Instrument As A
Measure Of Distal Symmetrical Peripheral Neuropathy In Type 1 Diabetes:
Results From The Diabetes Control And Complications Trial/Epidemiology Of
Diabetes Interventions And Complications. Diabet Med, 29(7), 937–944.
Hexdall E., Brave R., Kraft K., Siewers J. (2016). Hyperbaric . Nursing Center,
46(10), 29-36.
Heyboer III M., Sharma D., Santiago W., Mcculloch N. (2017). Hyperbaric
Oxygen Therapy: Side Effects Defined And Quantified. Adv Wound Care
(New Rochelle) 6(6): 210-224.
Huang, S., Czech, M.P. (2007). The GLUT4 glucose transporter. Cell
Metabolism, 5(4), 237–252.
92
Iqbal Z., Azmi S., Yadav R., Ferdousi M., Kumar M., Cuthbertson D.J et al.
(2018). Diabetic Peripheral Neuropathy: Epidemiology, Diagnosis, and
Pharmacotherapy. Clin Ther, 40(6), 828-849.
Irawan D. (2010). Prevalensi dan Faktor Resiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe
2 di Daerah Urban Indonesia (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2007).
Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Jain K.K. (2017). Textbook of Hyperbaric Medicine, 6th Ed. New York: Springer.
Jaiswal M., Divers J., Dabalea D., Isom S., Bell R.A., Martin C.L. et al. (2017).
Prevalence of and Risk Factors for Diabetic Peripheral Neuropathy in Youth
With Type 1 and Type 2 Diabetes: Search for Diabetes in Youth Study.
Diabetes care, 40(9), 1226–1232.
Javed S., Petropoulos I.N., Alam U., Malik R.A. (2015). Treatment of Painful
Diabetic. Neuropathy Ther Adv Chronic Dis., 6(1), 15-28.
Kahlil H., Chambers H., Khalil V., Ang C.D. (2016). Vitamin B for Treating
Diabetic Peripheral Neuropathy.
93
Https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD012237/full
&hl=en-ID diakses pada tanggal 23 Februari 2020.
Kavanagh W.M., Coombes N., Juszczak F., Athanasopoulos M., Khan M., Eykyn
T. (2018). Upregulation Of Glucose Uptake And Hexokinase Activity Of
Primary Human CD4 + T Cells In Response To Infection With HIV‐1. Viruses,
10(3), 114.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Situasi dan Analisis Diabetes. Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, 2014. hal 1.
Koeppen B., Stanton B. (2017). Berne & Levy Physiology, 7th Ed. USA: Elsevier.
Kumar A., Mittal R. (2017). Nrf2: A Potential Therapeutic Target For Diabetic
Neuropathy. Inflammopharmacol, 25, 393–402.
Lam G., Fontaine R., Ross F.L., Chiu E.S. (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy:
Exploring The Clinical Evidence. Wound Care Journal, 30(4), 181-190.
Leung J.K.S., Lam R.P.K. (2018). Hyperbaric Oxygen Therapy: Its Use In
Medical Emergencies And Its Development In Hong Kong. Hong Kong Med
J, 24(2), 191–199.
Low P.A., Schmelzer J.D., Ward K.K., Curran G.I., Poduslo J.F. (1998). Effect Of
Hyperbaric Oxygenation On Normal And Chronic Streptozotocin Diabetic
Peripheral Nerves. Experimental Neurology, 99(1), 201–212.
Malazi O.T., Tehrani M.R., Madani S.P., Heshmar R., Larijani B. (2011). The
Prevalence of Diabetic Peripheral Neuropathy and Related Factors. Iriana
Journal of Public Health, 40(3), 55-62.
McMillan T., Girgis R., Sellers E.A.C. (2016). Neonatal Diabetes and Protein
Losing Enteropathy: A Case Report. BMC Medical Genetics, 17(1), 32.
Nather A. (2016). Surgery For Diabetic Foot: A Practical Operative Manual. USA:
Scientific Publishing Co.Pte.Ltd.
Nayak B., Kondeti V.K., Xie P., Lin S., Viswakarma N., Raparia K., Kanwar Y.S.
(2011). Transcriptional And Post-Translational Modulation Of Myo-Inositol
95
Negre S.A., Salvayre R., Auge N., Pamplona R., Portero-Otin M. (2009).
Hyperglycemia and Glication in Diabetic Complications. Antioxid Redox
Signal, 11(12), 3071-109.
Rahmawati F., Natosba J., Jaji. (2016). Skrining Diabetes Mellitus Gestasional
Faktor Risiko yang Mempengaruhinya. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 3(2),
33-43.
Reese N.B. (2012). Muscle and Sensory Testing, 3th Ed., Elsevier, USA.
Rutter G.A., Pullen T. J., Hodson D.J., Martinez‐Sanchez A., McLuskey K.,
Mottram J. (2015). Pancreatic Β‐Cell Identity, Glucose Sensing And The
Control Of Insulin Secretion. Biochemical Journal, 466(2), 203–218.
96
Said P.G. (2015). Peripheral Neuropathy & Neuropathic Pain: Into The Light, 1th
Ed. America: TFM Publishing.
Sarabhai T., Schmitz E.A., Katsuyama H., Markgraf D., Busch L., Guthoff R. et al.
(2019). 1777-P: Acute Hyperbaric Oxygen (HBO) Treatment Increases
Hepatic Insulin Sensitivity and Muscle Reactive Oxygen Species in Type 2
Diabetes. (2009).
https://diabetes.diabetesjournals.org/content/68/Supplement_1/1777-P
diakses pada tanggal 19 Oktober 2019.
Sari D.M. (2018). Pengaruh Senam Diabetes Mellitus Terhadap Kadar Gula
Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2, Skripsi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Insan Cendekia Medika, Jombang.
Skyler J.S., Bakris G.L., Bonifacio E., Darsow T., Eckel R.H., Groop L.
(2016). Differentiation of Diabetes by Pathophysiology, Natural History, and
Prognosis. Diabetes, 66(2), 241–255.
Soelistijo S.A., Novida H., Rudijanto A., Soewondo P., Suastika K., Manaf A. et
al. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia 2015 Cetakan Pertama. Jakarta: PB PERKENI.
Soeowondo P., Soegondo S., Suastika K., Pranoto A., Soeatmadji D.W.,
Tjokroprawiro A. (2010). The DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on
Control and Complications of Type 2 Diabetic Patients in Indonesia. Medical
Journal of Indonesia, 19(4), 235-244.
97
Sommer C., Geber C., Young P., Forst R., Birklein F., Schoser B. (2018).
Polyneuropathies Etiology, Diagnosis, and Treatment Options. Deutsches
Ärzteblatt International, 115, 83–90.
Suhertini C., Subandi. (2016). Senam Kaki Efektif Mengobati Neuropati Diabetik
Pada Penderita Diabetes Mellitus. Jurnal Kesehatan, 7(3), 480-487.
Talusan P.G., Milewski M.D., Reach J.S. (2013). Fifth Toe Deformities:
Overlapping and Underlapping Toe.
http://fas.sagepub.com/content/early/2013/02/19/1938640013477129
diakses pada tanggal 7 September 2019.
Topp B.G., Atkinson L. L., & Finegood D.T. (2007). Dynamics Of Insulin
Sensitivity, Beta Cell Function, And Beta Cell Mass During The Development
Of Diabetes In Fa/Fa Rats. American Journal of Physiology‐Endocrinology
and Metabolism, 293(6), E1730-5.
Umapathy D., J.R.Pooja V., Alladi V., Arumugam S., Dornadula S., Amin K. et al.
(2019). 33-LB: Nuclear Factor Erythroid 2 Related Factor 2 (Nrf2) Increases
with Hyperbaric Oxygen Therapy and Promotes Wound Healing in Diabetic
Foot Ulcers. Diabetes, 68(Supplement 1), 33.
98
Usiska Y.S. (2015). Pengaruh Metode Rawat Luka Modern dengan Terapi
Hiperbarik Terhadap Proses Penyembuhan Luka Ulkus Diabetik Pada
Pasien Diabetes Mellitus di Jember Wound Center (J W C) Rumah Sakit
Paru Jember, Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.
Verma R., Chopra A., Giardina C., Sabbisetti V., Smyth J.A., Hightower L.E. et al.
(2015). Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) Suppresses Biomarkers Of Cell
Stress And Kidney Injury In Diabetic Mice. Cell Stress Chaperones, 20(3),
495.
Viera C., Galvez A., Carrasco B., Santos C., Castellanos R. (1999). A Study of
Peripheral Neural Conduction, Motor, And Sensory, in Diabetic Patients
Treated With Hyperbaric Oxygenation. Rev Neurol, 28(9), 868-72.
Wang W.F., Hang H., Li Y.M., Xie W. (2005). Effect of Hyperbaric Oxygen on
Peripheral Nerve Conduction Velocity in Diabetics Chinese, Journal of
Clinical Rehabilitation, 9(3), 36-37.
Wass J., Stewart P.M. (2011). Oxford Textbook in Endocrinology, 2th Ed. Oxford:
University Press.
Weiss, M., Steiner, D.F., Philipson, L.H. (2014). Insulin biosynthesis, secretion,
structure, and structure–activity relationships.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279029/ diakses pada tanggal 15
Oktober 2019.
Widyawati I.Y. (2010). Pengaruh latihan rentang gerak sendi bawah secara aktif
(Active Lower Range of Motion Exercise) terhadap tanda dan gejala
neuropati diabetikum pada penderita DM Tipe II di Persedia Unit RSU Dr.
Soetomo Surabaya, Tesis. Program Paska Sarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Wilkinson D., Chapman I.M., Heilbronn L.K. (2012). Hyperbaric Oxygen Therapy
Improves Peripheral Insulin Sensitivity In Humans. Diabet Med, 29(8), 986-
9.
Wilkinson D., Nolting M., Mahadi M.K., Chapman I., Heilbronn L. (2015).
Hyperbaric Oxygen Therapy Increases Insulin Sensitivity In Overweight Men
With And Without Type 2 Diabetes. Diving Hyperb Med, 45(1), 30-6.
99
Yeboah K., Puplampu P., Boima V., Antwi D.A., Gyan B., Amoah A.G.B. (2016).
Peripheral Sensory Neuropathy In Type 2 Diabetes Patients: A Case Control
Study In Accra, Ghana. J Clin Transl Endocrinol, 20(5), 26-31.
Yulita R.F., Waluyo A., Azzam R. (2019). Pengaruh Senam Kaki Terhadap
Penurunan Skor Neuropati Dan Kadar Gula Darah Pada Pasien Dm Tipe 2.
Journal of Telenursing (JOTING), 1(1), 80-95.
Zaetun S., Kerti L.B., Srigede L. (2015). Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik
Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus di Instalasi Kesehatan
Penyelaman Dan Hiperbarik Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Mataram.
Media Bina Ilmiah, 9(2), 13-18.
Zan Y., Kuai C., Huang F. (2017). The Primary Biochemical Mechanisms Of
Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN). J Pharmacol Res, 1(1), 6-9.
100
101
dan tipe 2; penderita diabetes melitus yang memiliki salah satu atau lebih
gejala neuropati perifer dengan hasil pemeriksaan neuropati perifer
menunjukkan minimal skor 1 (ringan); bersedia sebagai responden
dengan menandatangani lembar informed consent. Mengingat
Bapak/ibu/sdr memenuhi kriteria tersebut, maka peneliti meminta
kesediaan Bapak/ibu/sdr untuk mengikuti penelitian ini setelah penjelasan
peneletian ini diberikan.
11. Pemeriksaan neuropati perifer dilakukan pada daerah kedua sisi kaki dan
tangan, menggunakan peralatan yang aman dan dibawah bimbingan dari
pihak Lakesla Drs. Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya.
12. Bapak/ibu/sdr dapat memberikan umpan balik dan saran pada peneliti
baik selama maupun setelah proses pengambilan data secara langsung
pada peneliti.
14. Apa bila terjadi komplikasi, efek samping, dan kesalahan teknis dalam
pelaksanaan terapi oksigen hiperbarik, hal tersebut di luar tanggungjawab
peneliti.
18. Hasil penelitian ini kelak akan dipublikasikan namun tidak terdapat
identitas Bapak/ibu/sdr dalam publikasi tersebut sesuai dengan prinsip
etik yang diterapkan.
102
20. Peneliti akan memberi tanda terima kasih dengan harga keseluruhan
sebesar 45.000, yakni berupa:
Botol minum + Leaflet edukasi manfaat air putih; alat pemeriksaan
monofilament 10g + Leaflet edukasi cara pemeriksaan monofilament; 2
pcs kasah steril.
Peneliti Utama
Saksi I Saksi II
(.....................................) (................................................)
104
A. DATA RESPONDEN
Nama Inisial : Kode:
No. RM :
Usia :
Pekerjaan :
Jenis Kelamin : □ Laki-Laki □ Perempuan
E. RIWAYAT KESEHATAN
1 Kapan Bapak/Ibu mengetahui menderita diabetes melitus?
□ ≤3 bulan □>3 bulan
2 Kapan Bapak/Ibu merasakan gejala diabetes melitus (polidipsi, polifagia, poliuria)?
□ ≤3 bulan □>3 bulan
3 Apakah Bapak/Ibu sedang mengkonsumsi obat diabetes melitus berikut?
105
LEMBAR PEMERIKSAAN
NEUROPATI PERIFER PADA DIABETISI
Isilah ruang yang kosong, berilah tanda centang (√) atau lingkari bagian yang sesuai.
Kode:
Tgl Pengkajian Pukul
Keterangan □ Sebelum terapi □Sesudah 10x terapi
Sumber:
Rosyida K. 2016. Gambaran Neuropati Perifer Pada Diabetisi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu Semarang. Skripsi. Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
111
Kode:
No Prosedur Dilakukan
oleh peneliti
Ya Tidak
1 Siapkan alat:
a. Sarung tangan bersih
b. Monofilamen 10 g
c. Garpu tala 128 Hz
d. Jarum pentul
e. Palu reflek
f. Jam tangan/stopwatch
g. Lembar pemeriksaan neuropati perifer
2 Jelaskan prosedur
3 Cuci tangan dan pakai sarung tangan bersih jika
diperlukan.
4 Minta klien untuk membuka kaos kaki/stocking, serta alas
kaki yang dipakai.
5 Posisikan klien senyaman mungkin (duduk).
Pemeriksaan Kerusakan Otonom
A. Keadaan kaki Ya Tidak
(Rosyida, 2016)
1 Inspeksi kaki secara menyeluruh untuk melihat adanya
kulit kering, pecah-pecah, dan kapalan (callus).
2 Catat hasil pemeriksaan pada lembar pemeriksaan.
Pemeriksaan Kerusakan Sensorik
A. Pemeriksaan sensitifitas kaki dengan monofilamen 10 g Ya Tidak
(British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound
Committee, 2012; Nather, 2016)
1 Jelaskan prosedur pemeriksaan sensitifitas kaki dan
tunjukkan monofilamen kepada klien.
2 Tes monofilamen pada tangan klien yang normal (lengan
atau pergelangan tangan bagian dalam) sehingga klien
memahami apa yang diharapkan ketika pemeriksaan
monofilamen dilakukan pada kaki.
3 Minta klien menutup mata dan minta klien untuk berkata
112
Sumber:
British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee. (2012). Procedure:
Monofilament Testing for Loss of Protective Sensation of Diabetic/Neuropathic Feet
for Adults & Children. https://www.clwk.ca/buddydrive/file/procedure-monofilament-
testing/?download=106%253Aprocedure-monofilament-testing-for-lops Diakses pada
Januari 2020.
Allen C. Harper V. (2011). Laboratory Manual for Anatomy and Physiology 4th Edition.
USA: John Wiley & Sons. p. 292.
Armitage A. (2015). Advanced Practice Nursing Guide to the Neurological Exam. New
York: Springer Publishing Company, p. 82-85.
Glass A., Zazulia A.R. (2011). Clinical Skills: Neurological Examination. 2011
https://neuro.wustl.edu/Portals/Neurology/Education/PDFs/Neurological-Exam-
Lecture-Notes.pdf
Weber J., Kelley J. (2009). Health Assessment Nursing. Philadelphia USA: Lippincott
Williams & Wilkins, p. 588-589.
Nather A. (2016). Surgery for Diabetic Foot: A Practical Operative Manual. USA:
Scientific Publishing Co.Pte.Ltd, p. 42-45.
Bickley L.S., Szilagyi P.G., Bates B. (2009). Bates' Guide to Physical Examination and
History Taking. Philadelphia USA: Lippincott Williams & Wilkins, p. 629.
Fritz S. (2014). Mosby’s Massage Therapy Review, 4th Edition. China: Elsevier, p. 100.
Rosyida K. (2016). Gambaran Neuropati Perifer Pada Diabetisi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu Semarang. Skripsi. Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
118
Kode :
Tgl Pengkajian Pukul
Terapi ke-
Durasi Menit
Tekanan ATA
No Prosedur Dilakukan
Sebelum terapi oksigen hiperbarik Ya Tidak
1 Anamnesis
2 Indikasi
3 Pemeriksaan fisik lengkap
4 X Foto Thoraks PA
5 Pemeriksaan tambahan (bila perlu)
6 Menerangkan manfaat, efek samping, proses dan program
terapi oksigen hiperbarik (termasuk inform consent)
Selama terapi oksigen hiperbarik Ya Tidak
1 Selama proses kompresi, perawat membantu adaptasi
klien terhadap peningkatan tekanan.
2 Selama proses menghirup oksigen 100%, observasi TTV
dan keluhan klien.
3 Selama proses dekompresi, perawat membantu adaptasi
klien terhadap penurunan tekanan.
Setelah terapi oksigen hiperbarik Ya Tidak
1 Dokter dan perawat melakukan anamnesis, evaluasi
penyakit, serta evaluasi ada tidaknya efek samping.
Sumber:
Dismalyansa. (2019). Pengaruh Hiperbarik Oksigen Terhadap Kualitas Hidup Penderita
Ulkus Kaki Diabetik di RSAL Dr. Ramelan Surabaya, Skripsi. Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga.
119
Responden Usia Jenis Kelamin Pendidikan Durasi DM Riwayat Ketidakstabilan Ulkus Kaki
(Tahun) Kolesterol gula darah
tinggi sebelum selama
terapi pertama penelitian
1 47 Th Laki-laki S1 3 Tidak Ya (meningkat) Kiri
2 48 Th Laki-laki SMA 2,5 Ya Ya (meningkat) Kiri
3 56 Th Laki-laki SD 2,5 Ya Ya (meningkat) Kanan
4 60 Th Perempuan SMP 3 Ya Tidak Kiri
5 31 Th Perempuan SMA 2,5 Tidak Ya (meningkat) Kiri & Kanan
1 1 1 1 0 1 0 Skor 3
2 1 0 1 1 0 0 Skor 3
3 1 0 1 0 0 0 Skor 2
4 0 0 0 1 0 0 Skor 1
5 1 1 0 1 0 0 Skor 3
126