Anda di halaman 1dari 44

Halaqah 01 | Muqoddimah #01 Biografi Nama, Gelar, Nasab, Guru, Murid, dan Madzhab Penulis

Kitab 🎙 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Halaqah yang pertama dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang
ditulis oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Dan pada kesempatan kali ini yang akan kita sampaikan adalah tentang biografi dari Mu’allif yaitu
Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah.

Dan ini adalah apa yang sudah kita biasakan selama ini sebelum kita membahas sebuah kitab
terlebih dahulu kita mengenal siapa pengarang kitab ini, supaya kita juga mengetahui tentang
kedudukan kitab ini. Dan di antara faedah yang lain juga ketika kita mempelajari biografi para ulama,
apalagi mereka adalah ulama-ulama yang sudah dikenal ketakwaannya, ilmunya, dan telah diambil
faedahnya oleh banyak kaum muslimin, maka tentunya di dalam pembacaan biografi mereka ini
akan banyak pelajaran yang bisa kita ambil, yang dengannya seseorang akan semakin semangat
didalam menuntut ilmu, semakin bersabar apabila mereka membaca tentang kesabaran para ulama
didalam menuntut ilmu, dalam mengajarkan ilmu, didalam berdakwah.

Maka beliau rahimahullāh, nama beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin
Abdullah bin Al Khadr bin Muhammad bin Al Khadr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Harani. Ada
yang mengatakan bahwasanya kenapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyyah, siapakah Ibnu
Taimiyyah, ada yang mengatakan bahwasanya laqab Taimiyyah bahwa kakek beliau yang kelima
yaitu Muhammad Ibnu Khadr pernah beliau melakukan haji melalui sebuah daerah yang dinamakan
dengan Taima’. Kemudian di sana beliau melihat seorang anak wanita dan ketika beliau pulang
kembali mendapatkan bahwasanya istri beliau sudah melahirkan yaitu melahirkan seorang anak
wanita. Kemudian beliau mengatakan “Ya Taimiyah! Ya Taimiyah!” menisbahkan anak tersebut
kepada Taima’, dan Taima’ ini adalah sebuah daerah dekat Tabuk sehingga dilaqabi dengan
Taimiyah.

Kemudian beliau dilahirkan pada hari Senin, 10 bulan Rabi’ul Awal pada tahun 661 Hijriyah di Harran,
dan Harran ini termasuk daerah Syam. Dan laqob beliau adalah Syaikhul Islām, Syaikhul Islām
Taqiyuddin, sehingga terkadang dalam penyebutan beliau sebagian ulama mengatakan qāla Syaikhul
Islām atau mengatakan qāla taqiyuddin dan semisalnya atau terkadang menyebutkan kunyah beliau
yaitu Abul Abbas, lakoqnya Syaikhul Islām Taqiyuddin dan kunyahnya adalah Abul Abbas.

Tentang makna Syaikhul Islām ada yang mengatakan bahwasanya dinamakan Syaikhul Islām, Syaikh
itu artinya adalah orang yang sudah tua dan ada yang mengatakan seseorang dinamakan Syaikhul
Islām karena dia adalah syaikhun fil islām qad syāba, dia adalah orang yang sudah memasuki waktu
tua yaitu sebagai seorang yang sudah syaikh yaitu sudah tua dan beliau beda dengan yang lain yaitu
beda dengan orang-orang yang sebaya dengan beliau yang biasanya mungkin yang namanya
pemuda ini bergelimang dengan syahwatnya dengan nafsunya adapun beliau maka berbeda dengan
pemuda-pemuda yang lain sehingga dinamakan dengan Syaikhul Islām, ada yang mengatakan
demikian.

Dan ada yang mengatakan bahwasanya seseorang dinamakan Syaikhul Islām karena dia adalah
tempat kembalinya manusia yaitu dalam bertanya, dalam bertanya tentang hukum-hukum Islam,
mereka kembalinya kepada orang tersebut tentunya setelah Allāh ‫ﷻ‬. Kembali kepada Allāh ‫ﷻ‬
kemudian menjadikan beliau-beliau ini yang dilaqobi oleh manusia oleh para ulama dengan Syaikhul
Islām karena ketika ada sesuatu mereka kembali kepada para ulama tadi, bertanya kepada mereka
dan menjadikan mereka sebagai sandaran di dalam bertanya. Ini di antara sebab kenapa dinamakan
seseorang sebagai Syaikhul Islām, dan Al-Imam as Syafi’I, Al-imam Ahmad bin Hanbal dan selain
keduanya sudah menggunakan istilah Syaikhul Islām ini sejak dahulu, ini bukan sesuatu yang baru
yang ada di zaman Ibnu Tamiyah.

Dan tentang keluarga beliau, ini adalah keluarga yang dikenal dengan keluarga ālu Taimiyyah, ālu
artinya adalah keluarga, dan kakek dari Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah yaitu Abdus Salam beliau
adalah seorang ulama, beliau adalah Abul Barakat Majduddin, termasuk ulama Hanabilah yang
dikenal dan diantara karangan-karangan beliau adalah ‫ المنتقى من أخب ار مص طفى‬yang di Syarah dan
dijelaskan oleh Asy-Syaukani di dalam kitab beliau Nail al-Authar syarh Muntaqa al-Akhbar, yaitu
kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Bapak beliau yaitu Abdul Halim, beliau adalah Syihabuddin dan ini laqob beliau, namanya Abdul
Halim dan kunyah beliau adalah Abul Mahasin dan beliau menjadi seorang ulama juga setelah
bapaknya dan mengajarkan kepada kedua anaknya, kedua anaknya adalah Syaikhul Islām Ibnu
Taimiyyah Abul Abbas kemudian saudara beliau yaitu Abu Muhammad. Saudara Syaikhul Islām Ibnu
Taimiyyah Abu Muhammad ini, beliau juga seorang ulama yang mempelajari mazhab Hanbali dan
dikenal dengan kepandaiannya juga di dalam ilmu agama.

Jadi kalau kita melihat bapaknya, kakeknya, saudaranya, maka keluarga ini adalah keluarga yang
berbarokah yaitu keluarga yang memperhatikan tentang masalah agama, masalah ilmu, dan ini yang
seharusnya dilakukan oleh seseorang, bagaimana dia menjadikan keluarga dan mendidik
keluarganya ini untuk cinta dengan ilmu agama semenjak mereka masih kecil. Dan tentunya ini
semuanya bisa dilakukan kalau kita bisa menjadi qudwah, bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-
anak kita.

Apabila anak-anak kita melihat kita sibuk dengan mendengarkan ceramah, sibuk menulis, sibuk
menyampaikan ilmu, maka ini memiliki pengaruh yang besar terhadap anak-anak kita. Tapi kalau kita
dilihat oleh anak-anak kita sibuk dengan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, menonton sesuatu
yang tidak bermanfaat bahkan bersama-sama dengan mereka maka ini mereka akan mencontoh apa
yang kita lakukan.

Diantara guru-guru beliau disebutkan oleh murid beliau yaitu Ibnu Abdil Hadi, bahwasanya guru-
guru Syaikhul Islām ini lebih dari 200, di antara guru beliau adalah Syamsuddin Abu Muhammad
Abdurrahman Ibnu Qudamah al-Maqdisi yang meninggal pada tahun 682 Hijriyah. Kemudian di
antara guru beliau adalah Abdus Shomad Ibnu Asyakir ad-Dimasyqi 686 Hijriyah dan disana ada
Syamsudin Abu Abdillah Muhammad Ibnul Qawi al-Mardawi yang meninggal pada tahun 703
Hijriyah.

Adapun murid-murid beliau maka telah berguru dari Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah banyak ulama
yang kita insyaAllāh mengenal mereka dan nama-nama mereka tidak asing di telinga kita, ternyata
mereka ini adalah murid-murid dari Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh. Diantaranya adalah
Ibnu Abdil Hadi meninggal tahun 744 Hijriyah, disana ada Adz-Dzahabi 748 hijriyah, di sana ada Ibnul
Qoyyim yang meninggal 751 Hijriyah, di sana ada Ibnu Muflih yang mengarang ‫ اآلداب الشرعية‬yang
meninggal pada tahun 763 Hijriyah, dan di sana ada Ibnu Katsir yang memiliki tafsir Ibnu Katsir,
ternyata beliau adalah juga murid dari Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah meninggal pada tahun 774
Hijriyah.

Ini menunjukkan tentang keberkahan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah bagaimana beliau bisa dengan
izin Allāh ‫ﷻ‬, karunia dari Allāh ‫ ﷻ‬mencetak para ulama-ulama yang mereka mutkin, mumpuni di
dalam ilmunya dan dikenal dengan ketakwaannya dan kesungguhannya dalam menyebarkan ilmu,
tentunya kita khususnya para du’ad dan juga para thulabul ilm ingin memiliki murid-murid yang
demikian, murid-murid yang berbarokah yang menyampaikan ilmu setelahnya, maka kita tiru apa
yang dilakukan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah. Tentunya tidaklah keluar ulama-ulama seperti
mereka ini kecuali ketika mereka memiliki qudwah yang baik, memiliki guru yang bisa ditiru dari sisi
ilmunya, dari sisi ketakwaannya, dari sisi akhlaknya dan juga perlu seorang guru memperhatikan
tentang keikhlasannya dalam mengajarkan ilmu kemudian juga memperhatikan kesungguhannya
dalam mengajarkan ilmu.

Halaqah 02 | Muqoddimah #02 Madzhab Penulis Kitab

🎙 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Halaqah yang ke dua dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang ditulis
oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Kemudian Madzhab Beliau, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah ini adalah seorang Hanbali, beliau tumbuh
sebagai seorang Hanbali yaitu bermadzhab dengan madzhabnya imam Ahmad bin Hanbal, tapi apa
yang dimaksud dengan Hanbali disini, apakah yang dimaksud beliau adalah orang yang fanatik
sehingga tidak mengambil pendapat kecuali dari madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, jawabannya
tidak, dinamakan dengan Hanbali karena beliau mengawali menuntut ilmu fiqihnya dengan mazhab
Hanbali dan inilah yang dimaksud oleh para ulama ketika mereka menambahkan atau menisbahkan
diri mereka kepada Syafi’i, Hanafi, Maliki, bukan berarti mereka ta’asub dan fanatik terhadap
madzhab tersebut. Awal mereka menuntut ilmu adalah dengan mempelajari kitab-kitab Hanbali atau
Syafi’i atau yang lain, cuma setelahnya ketika mereka sudah sampai pada marhalah tertentu, sampai
pada tingkatan tertentu di situ mereka tidak melihat lagi ini madzhab fulan atau madzhab fulan tapi
mereka melihat dalil, kalau pendapat tersebut itulah yang sesuai dengan dalil itulah yang mereka
ambil.

Berkata adz-Dzahabi rahimahullāh “wa lahul āna ‘iddatussinīn lā yu’ti bimadzhabin mu’ayyan bal
bima qāmaddalīlu alaihi ‘indah”, ini menceritakan tentang gurunya dan beliau yaitu Syaikhul Islām
Ibnu Taimiyyah sekarang, ini Imam adz-Dzahabi berbicara tentang apa yang ada di masanya sudah
beberapa tahun terakhir ini beliau tidak berfatwa dengan madzhab tertentu tapi dengan pendapat
yang sesuai dengan dalil menurut beliau, jadi bukan berfatwa berdasarkan madzhab Hanbali atau
madzhab Syafi’i tapi berfatwa menjawab sesuai dengan apa yang menurut beliau lebih dekat dengan
dalil. Sungguh beliau telah menolong sunnah secara murni dan menolong tharīqah salafīyyah yaitu
menyebarkan manhaj salaf dan berhujah untuk menolong sunnah ini dan menolong manhaj salaf ini
dengan berbagai bukti, berbagai muqaddimah, dengan berbagai perkara yang bukti-bukti tersebut
atau alasan-alasan tersebut mungkin sebelum beliau belum ada yang menyebutkan atau
menampakkan.

Ini menunjukkan tentang bagaimana manhaj Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, jadi memang beliau
bertumbuh dan berkembang dan mungkin di sekitar beliau, lingkungan beliau rata-rata adalah
bermazhab Hanbali cuma beliau bukan seorang yang ta’asub atau fanatik terhadap madzhab beliau,
ta’asub dengan dalil. Adapun aqidah maka jelas aqidah beliau adalah aqidah para salafush sholeh
dan ini kita lihat dari karangan-karangan beliau termasuk diantaranya adalah kitab yang insyaAllāh
akan kita pelajari bersama yaitu Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, di situ kita akan melihat bagaimana
aqidah Syaikhul Islām tentang Asma’ dan juga Sifat Allāh ‫ﷻ‬, bagaimana aqidah Syaikhul Islām
tentang sahaba dan InsyaAllāh nanti akan kita sebutkan dalam pembahasan-pembahasan
selanjutnya yaitu tentang muqaddimah yang berkaitan dengan kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyyah.

Karangan-karangan beliau, disebutkan oleh Adz-Dzahabi bahwasanya beliau pernah mencoba untuk
mengumpulkan karangan-karangan gurunya Syaikhul Islām Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul
Halim bin Abdus Salam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh, kemudian beliau menyebutkan mendapatkan
seribu mushonnaf yaitu seribu karangan, tulisan dan ternyata setelah beliau mengumpulkan tulisan-
tulisan Syaikhul Islām beliau setelah itu melihat karangan-karangan yang lain, menunjukkan begitu
banyaknya tulisan-tulisan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, beliau rahimahullāh termasuk orang yang
banyak dibukakan oleh Allāh ‫ ﷻ‬pintu-pintu, pintu menulis, beliau orang yang kuat didalam menulis,
pintu berdakwah, berjihad dengan tangannya dengan lisannya maka ini adalah Fadlullāh, keutamaan
yang Allāh ‫ ﷻ‬berikan kepada siapa yang Allāh ‫ ﷻ‬kehendaki dan tidak semua dari kita dibukakan
oleh Allāh ‫ ﷻ‬untuk banyak menulis.

Cuma yang perlu kita ingat kan disini menulis ini adalah perkara yang penting karena kalau kita
menulis dan memiliki kitab, memiliki buku maka itu akan insyaAllāh lebih lama meskipun kita sudah
meninggal dunia, namanya buku masih bisa di baca dan dibacakan dipelajari oleh orang lain. Adapun
seseorang hanya berbicara saja apalagi tidak ada di sana rekaman maka ketika dia meninggal dunia
hilang begitu saja, maka penting seseorang di sini menulis. Dan yang perlu diketahui di sini
hendaklah seseorang menulis apa yang memang dibutuhkan oleh manusia artinya bukan hanya
sekedar menulis dan punya buku tapi dia menulis sesuatu yang memang dibutuhkan.

Dan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah banyak di dalam tulisan-tulisan termasuk di antaranya adalah
aqidah wasithiyah ini, kenapa beliau menulis karena ada sebabnya dan nanti akan kita sebutkan
sejarah bagaimana beliau menulis kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, permintaan dari seseorang yang
dia tidak mau kecuali tulisan Syaikhul Islām Ibnu Taimmiyah padahal di sana banyak kitab-kitab
aqidah sebelum masa Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah. Cuma orang yang tanya tadi tidak mau kecuali
yang ditulis oleh Syaikhul Islam, akhirnya beliau pun mengabulkan permintaan tersebut.

Dan tulisan-tulisan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dikenal dengan bagusnya dan ungkapan-ungkapan
yang dipakai oleh syaikhul Islam adalah ungkapan-ungkapan yang baik dan susunannya juga sangat
rapi kemudian juga dikenal beliau ini dengan taksimatnya yaitu dalam pembagian-pembagian ini luar
biasa sehingga banyak para ulama para thulabul ‘ilm yang mereka bisa mengambil faedah dan
banyak mengambil faedah dari pembagian pembagiannya. Dengan adanya pembagian sebuah
masalah ternyata dia terbagi menjadi beberapa bagian, seseorang lebih jelas dan lebih praktis lebih
paham sehingga dia tidak menyamakan sesuatu yang beda dan tidak membedakan sesuatu yang
sama.

Dan ada yang mengatakan bahwasanya beliau bisa berbahasa Abriah, bahasa abriah ini adalah
bahasa orang-orang Yahud dan juga bisa bahasa Latiniyyah ini dipahami dari sebagian ungkapan
beliau yang di mana beliau menyatakan bahwasanya bahasa Abria ini dekat dengan bahasa Arab, ini
sebagian memahami bahwasanya beliau berarti paham tentang lughah tentang bahasa Abriah.

Tentang sifat beliau syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari sisi akhlak beliau adalah seorang ulama yang
pemurah, karīm, dan itu semua kemurahan tadi bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh beliau tapi
sepertinya adalah sesuatu yang memang bawaan dari sejak kecil dan beliau adalah seorang
pemberani bukan seorang pengecut, dan beliau adalah seorang yang zuhud di dalam dunia, tidak
tergantung hatinya dengan sedikit pun dari dunia bahkan disebutkan bahwasanya beliau banyak
meninggalkan perkara yang mubah, banyak meninggalkan perkara yang sebenarnya boleh karena
takut terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan, dan tentunya ini semua menunjukkan tentang
buah dari ilmu yaitu zuhud terhadap dunia dan keinginan terhadap akhirat dan bagaimana beliau
meninggalkan perkara yang mubah karena takut terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan oleh
Allāh ‫ﷻ‬.

Beliau Rahimahullāh semasa hidupnya berjihad dijalan Allāh ‫ ﷻ‬baik dengan lisannya, yaitu dengan
berdakwah dengan lisannya dan juga dengan tulisannya, banyak menulis bagaimana jumlah tulisan-
tulisan beliau dan beliau memerangi tentara Tartar dan mendorong kaum muslimin untuk berjihad
dan bahkan dalam peperangan-peperangan beliau senantiasa berada di shaf yang awwal. Ini
menunjukkan bagaimana beliau sebagai seorang ulama bukan hanya sekedar bisa menulis, bisa
memberikan pengarahan kepada manusia, tetapi beliau menjadi orang yang menjadi contoh bagi
yang lain di dalam jihad fī sabīlillāh dan mendorong manusia untuk jihad memerangi orang-orang
kuffar dan jihad yang dimaksud disini tentunya adalah jihad yang syar’i bukan jihad yang dipahami
oleh sebagian orang-orang yang tersesat dari jalan Allāh ‫ﷻ‬.

Halaqah 03 | Muqoddimah #03 Pujian Para Ulama, Ujian, dan Wafatnya Penulis Kitab
Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
Halaqah yang ke-3 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang
ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Adapun pujian para ulama kepada beliau rahimahullāh, maka ini telah banyak pujian kepada
beliau baik dari orang yang merupakan teman-teman beliau atau murid-murid beliau bahkan juga
termasuk pujian dari musuh-musuh beliau, maka ini sesuatu yang luar biasa tentunya seseorang
dipuji oleh musuhnya sendiri, mereka melihat tentang bagaimana sidq (kejujuran) Syaikhul Islam
dalam menyampaikan hujjah, bukan orang yang curang dalam bermunadzaroh dan mereka
mengetahui tentang akhlak beliau, tidak menjadikan permusuhan yang terjadi antara beliau
dengan ulama yang lain kemudian beliau menjadi orang yang dzholim ini diakui oleh para ulama.

Saya sebutkan di sini di antara ucapan para ulama tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ibnu
Sayyidinnas ulama yang mengarang kitāb ‘Uyunul Atsar beliau mengatakan

Aku mendapatkan beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) ini adalah orang yang mendapatkan
bagian yang banyak dari ilmu. Ketika beliau memperhatikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
maka beliau hampir-hampir menguasai hadits-hadits dan juga atsar-atsar para salaf dengan
hafalan beliau, hampir-hampir beliau itu menguasai hadits-hadits Nabi ‫ ﷺ‬dan juga atsar – atsar
para salaf bukan hanya dengan maknanya saja

Kalau beliau berbicara di dalam masalah tafsir maka beliau adalah orang yang membawa
benderanya, membawa benderanya maksudnya adalah orang yang jago di dalam masalah ilmu
tafsir, kalau bicara tentang ayat, bicara tentang surat, berbicara tentang tafsir Al-Quran seakan-
akan tidak ada yang lebih halim tentang tafsir dan perkara-perkara yang detail dan faidah-faidah
yang bisa diambil dari sebuah ayat dari beliau rahimahullāh, maka beliau adalah orang yang
membawa bendera

Kalau beliau berfatwa tentang masalah fiqih maka beliau sampai kepada tujuan, sampai kepada
puncaknya, artinya ketika berbicara tentang hukum, bicara tentang fiqih ternyata beliau juga
orang yang luas ilmunya tentang masalah madzahib al-arba’a juga madzhab yang lain dan apa
dalil mereka, apa alasan mereka dan mana yang rojih, kenapa yang rojih adalah demikian,
ternyata beliau adalah seorang yang faqih

Dan kalau sedang bermudzakarah tentang masalah hadits maka ternyata beliau adalah orang yang
punya ilmunya dan belia punya riwayatnya

Atau ketika beliau memberikan ceramah, memberikan pengetahuan tentang masalah aliran-aliran,
tentang agama-agama, tidak dilihat orang yang lebih luas pengetahuannya tentang aliran dan juga
agama tadi daripada beliau rahimahullāh. Jadi kalau berbicara tentang aliran, tahu siapa yang
mendirikan, apa isinya, apa syubhat mereka, apa alasan mereka sehingga sebagian atau banyak
diantara aliran-aliran tadi ataupun pembesar-pembesar aliran tadi yang mengakui bahwasanya
Syaikhul Islam itu lebih tahu tentang alirannya dari pada mereka sendiri dan ini menunjukkan
tentang luasnya ilmu beliau, dan beliau tahu bagaimana kok bisa sampai mereka kepada
kesesatan-kesesatan tadi

Dan tidak ada yang lebih tinggi daripada beliau dalam masalah pemahaman tentang aliran-aliran
tadi

Beliau muncul didalam setiap ilmu, di atas orang-orang yang sebaya dengan beliau, artinya
nampak dan terlihat ilmunya daripada yang lain, maka orang yang melihatnya tidak pernah
melihat yang semisal dengan beliau, dan mata beliau, yaitu Syaikhul Islam, tidak melihat orang
yang semisal dengan dirinya sendiri. Ibarat seperti ini menunjukkan tentang pujian dan
menunjukkan tentang bagaimana kelebihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang Allāh ‫ﷻ‬
berikan kepada beliau rahimahullāh.

Adz-Dzahabi rahimahullāh, murid beliau, mengatakan beliau Syaikhul Islam yaitu guru Adz-
Dzahabi beliau mengatakan bahwasanya orang yang semisal sepertiku ini tidak pantas untuk
mensifati beliau, artinya beliau lebih tinggi daripada sifat yang aku berikan kepada beliau,
seandainya, kurang lebih demikian makna ucapan Adz-Dzahabi, seandainya saya mensifatkan
sesuatu tentang Syaikhul Islam ketahuilah bahwasanya kenyataannya lebih daripada itu

Maka seandainya aku ini disuruh untuk bersumpah antara rukun dengan maqam, maksudnya
adalah rukun Hajar Aswad dengan maqam Ibrahim, seandainya aku disuruh untuk bersumpah
niscaya aku akan bersumpah aku tidak melihat orang yang semisal dengan beliau, dan tentunya
sumpah atas nama Allāh ‫ ﷻ‬ini adalah sumpah yang harus jujur, seandainya aku disuruh untuk
bersumpah dengan nama Allāh ‫ ﷻ‬antara rukun Hajar Aswad dengan makam Ibrahim niscaya aku
akan mengatakan aku tidak pernah melihat dengan mataku orang yang semisal dengan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah.

Adz-Dzahabi, shahibus siyr, memiliki kitab Siyar A’lamin Nubala’ yang dikenal tentang
keahliannya dalam masalah hadits dalam masalah tarikh dalam masalah geografi dan ilmu-ilmu
yang lain mengatakan ucapan ini, saya tidak pernah melihat dengan mataku orang yang semisal
dengan Syaikhul Islam dan demi Allāh ‫ ﷻ‬beliau tidak pernah melihat orang yang semisal dengan
beliau di dalam masalah ilmu. Maka ini juga termasuk keutamaan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.

Kemudian saya sebutkan disini ucapan dari Taqiyuddin as-Subki beliau adalah bapak dari
Tajuddin shabibut thabaqat al-syafi’iyah al-kubra, beliau mengatakan

Telah besar keutamaan beliau dan juga luasnya ilmu beliau dan bagaimana luasnya ilmu beliau
dalam ilmu syar’i maupun dari bukti-bukti yang berkaitan dengan akal, jadi beliau dalam berdalil
selain berdalil dengan dalil-dalil yang syar’i dari Al-Quran dan as-sunnah dengan dalil-dalil yang
kuat dan istidlal yang kuat maka beliau juga banyak menyampaikan dalil dari akal

Dan bagaimana cerdasnya beliau dan kesungguhan beliau, dan bagaimana sampainya beliau di
dalam setiap perkara-perkara tadi sampai pada derajat yang tidak bisa disifatkan. Ini ucapan dari
Taqiyuddin as-Subki.
Halaqah 04 | Muqoddimah #04 Pujian Para Ulama, Ujian, dan Wafatnya Penulis Kitab Ustadz
Dr. Abdullah Roy, M.A ‫الى‬ ‫ه هلل تع‬ ‫حفظ‬
 
Halaqah yang ke-4 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang
ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.
Kemudian di sana ada as-Subki Muhammad bin Abdul Barr asy-Syafi’I yang meninggal pada
tahun 777 Hijriyah, beliau mengatakan tidak membenci Ibnu Taimiyyah kecuali orang yang
bodoh atau orang yang mengikuti hawa nafsu, ini semuanya menunjukkan tentang bagaimana
pujian para ulama terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ini menunjukkan tentang
keutamaan beliau.

Saya nukilkan juga di sini ucapan dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengarang kitab Fathul Bari.
Ibnu Hajar memuji Syaikhul Islam dan mengatakan bahwasanya laki-laki ini adalah orang yang
paling kuat di dalam memerangi ahlul bid’ah dari kalangan orang-orang Rafidhah dan orang-
orang Hululiyah dan Ittihadiyah (yaitu orang-orang yang mengaku Allāh ‫ ﷻ‬bersatu dengan
makhluk-Nya atau Allāh ‫ ﷻ‬di mana-mana), dan karangan-karangan beliau didalam masalah ini
adalah banyak syahirah dan dikenal dan fatwa-fatwa beliau tentang aliran-aliran tadi tidak bisa
dibatasi, karena saking banyaknya yaitu dengan ilmu kita kita tidak bisa menentukan batasnya
karena keterbatasan ilmu yang kita miliki.

Didalam ucapan beliau yang lain Ibnu Hajar mengatakan seandainya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah tidak memiliki keutamaan kecuali keutamaan yang satu yaitu dia memiliki seorang
murid yang bernama Ibnu Qayyim, yang memiliki karangan-karangan yang banyak yang telah
mengambil manfaat dari karangan beliau orang yang setuju dengan beliau maupun orang yang
memusuhi beliau, niscaya ini menunjukkan tentang keutamaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Kemudian setelahnya beliau rahimahullāh, ini adalah sunnatullah bagi setiap orang yang
berdakwah kepada apa yang didakwakan oleh para Nabi dan juga para rasul banyak menerima
ujian dan juga cobaan, banyak musuh musuh beliau yang ada di zaman beliau yang berdusta atas
nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mereka adalah orang-orang Sufi, orang-orang ahlul kalam,
ahlul bid’ah dan ini bukan hanya di zaman beliau saja bahkan sampai hari ini.

Ini menunjukkan tentang bagaimana ujian yang beliau terima dan sebagian berdusta atas nama
beliau, seperti misalnya dusta yang diucapkan oleh sebagian bahwasanya dia melihat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sedang menjelaskan tentang turunnya Allāh ‫ ﷻ‬ke langit dunia kemudian
dia menceritakan, dan ini adalah dusta, mengatakan bahwasanya Ibnu Taimiyyah saat itu berada
di atas mimbarnya kemudian dia turun dari atas mimbarnya pelan-pelan, yaitu satu tingkat
kemudian tingkat berikutnya dan seterusnya kemudian mengatakan bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬itu
turun seperti turunku ini, maka ini adalah dusta atas nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan
yang menceritakan tadi dia mengatakan bahwasanya dia melihat itu pada tahun 726 Hijriyah,
artinya dua tahun sebelum beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah meninggal dunia.

Dan kalau diteliti yang menunjukkan tentang kedustaannya, ternyata saat itu karena saat itu yang
menceritakan ini dia melihatnya di bulan Ramadan tahun 726 Hijriyah, dan kalau kita melihat
sejarah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari murid-murid beliau bahwasanya beliau pada tahun
726 Hijriyah di bulan Sya’ban ini beliau sudah dipenjara, tidak bebas lagi dalam berdakwah dan
ini menunjukkan bahwasanya ini adalah ucapan yang dusta. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
bukan seorang musyabbih (orang yang menyerupakan Allāh ‫ ﷻ‬dengan makhluk atau
menyerupakan sifat Allāh ‫ ﷻ‬dengan sifat makhluk) dan insyaAllāh nanti akan kita melihat
sendiri bagaimana beliau rahimahullāh berlepas diri dari tasybih, dari takyif, dari tamsil.
Beliau rahimahullāh diuji oleh Allāh ‫ ﷻ‬dengan berbagai ujian dan diantara orang-orang yang
banyak memusuhi beliau saat itu adalah qurra yaitu para qadhi dan juga para fuqoha karena
mereka merasa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini banyak menyelisihi mereka di dalam fatwa
mereka dan juga dapat pendapat-pendapat mereka, karena beliau bukan orang yang fanatik
terhadap madzhab tertentu tetapi beliau ta’asubnya adalah kepada dalil. Demikian pula di antara
musuh-musuh beliau adalah orang-orang Sufiyyah dan juga ahlul kalam sehingga dengan sebab
ini beliau beberapa kali di penjara di antaranya adalah pada tahun 705 Hijriyah kemudian pernah
beliau juga dikeluarkan kemudian masuk dan dikeluarkan lagi kemudian masuk kembali dan
sebabnya adalah bermacam-macam terkadang sebabnya adalah dari tuduhan-tuduhan orang-orang
Sufiyyah pernah beliau di penjara karena tuduhan-tuduhan orang-orang Sufiyyah atau terkadang
mereka adalah dari para qurro tadi dari para qodhi tadi yang merasa bahwasanya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah ini banyak menyelisihi mereka dalam masalah fatwa dan juga pendapat-
pendapat.

Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah beliau meninggal dunia pada malam Senin tanggal 20
Dzulqo’dah tahun 728 Hijriyah dan yang menghadiri jenazah beliau saat itu adalah cukup banyak
dan ini adalah seperti yang diucapkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Katakan kepada ahlul bid’ah bahwasanya yang akan menentukan antara kami dan juga kalian
adalah ketika disaksikannya jenazah-jenazah itu, maksud beliau adalah diantara hal yang
menunjukkan bahwa seseorang diatas haq adalah ketika manusia memiliki qobul, memiliki rasa
cinta Allāh ‫ ﷻ‬menanamkan rasa cinta tadi kepada para hamba-Nya, ketika Allāh ‫ ﷻ‬mencintai
seorang hamba maka Allāh ‫ ﷻ‬akan menjadikan di dalam hati para hamba-Nya yang lain ini rasa
cinta terhadap hamba tadi, sehingga ketika dia meninggal dunia banyak orang yang berkeinginan
untuk menghadiri jenazahnya, mendoakan beliau.

Berbeda dengan ahlu bid’ah yang mereka adalah orang yang melakukan perkara-perkara yang
menyimpang yang menjadikan murka Allāh ‫ ﷻ‬dan terkadang mereka melakukan itu diantaranya
adalah untuk mencari pujian manusia atau pengikut yang banyak tapi justru yang mereka
dapatkan adalah kebencian dari manusia, meskipun secara dhohir mungkin mereka mengikuti di
belakang ahlul bid’ah tapi didalam hatinya tidak ada kecintaan sebagaimana mereka mencintai
ulama ahlussunnah, sehingga ketika meninggal dunia para ahlul bid’ah tadi yang mungkin dalam
kehidupan sehari-hari sebelumnya dia punya banyak pengikut tapi ketika meninggal dunia
ternyata tidak menghadiri jenasahnya kecuali sangat sedikit, karena manusia benci dan
ditancapkan didalam hati mereka oleh Allāh ‫ ﷻ‬perasaan tidak senang dengan ahlul bid’ah tadi.

Maka itu adalah sejarah singkat, biografi singkat tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Halaqah 05 | Muqoddimah #05 Penjelasan Umum Tentang Kitab Aqidah Wasithiyyah Ustadz
Dr. Abdullah Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
Halaqah yang ke-5 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Kitab Aqidah Wasithiyyah memiliki kedudukan yang tinggi di antara kitab-kitab yang
lain, dia memiliki beberapa kelebihan dan juga keistimewaan. Diantara yang menjadi
keutamaan kitab aqidah Wasithiyyah, pertama bahwasanya aqidah yang disebutkan oleh
syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam kitab ini adalah aqidah yang berdasarkan Al-
Quran dan Sunnah Nabi ‫ ﷺ‬dan juga ijma’ para salaf, ijma’ imam-imam para salaf.
Diantara keutamaan kitab ini juga beliau sangat teliti didalam masalah penggunaan
lafadz, jadi sebisa mungkin lafadz yang digunakan adalah lafadz yang ada dalam Al-
Qur’an dan Hadits atau yang diucapkan oleh para salaf.

Beliau berusaha untuk menjaga lafadz dan juga makna, beliau mengatakan, aku
berusaha, berusaha di dalam menulis aqidah ini, yaitu Aqidah Wasithiyyah, mengikuti Al-
Qur’an dan Sunnah baik lafadz maupun maknanya. Didalam ucapan beliau, beliau
mengatakan, dan setiap lafadz yang aku sebutkan di dalam kitab ini maka aku berusaha
untuk menulis ayat atau hadits atau ijma para salaf, artinya lafadz yang beliau sebutkan
di dalam kitab ini berusaha semaksimal mungkin adalah lafadz-lafadz yang syar’i tidak
keluar dari lafadz-lafadz yang syar’i.

Ini menunjukkan tentang ilmu beliau dan bagaimana luasnya ilmu beliau dan kehati-
hatian beliau dalam menulis kitab ini, karena ini akan dibaca oleh banyak orang sehingga
beliau berusaha untuk benar-benar baik lafadz maupun maknanya itu sesuai dengan Al-
Qur’an dan juga hadits, tidak mendatangkan makna atau lafadz yang baru, sebagaimana
yang banyak dilakukan oleh ahlul kalam mereka mendatangkan lafadz-lafadz yang baru,
istilah-istilah yang baru yang tidak disebutkan oleh Allāh ‫ ﷻ‬dan juga Rasul-Nya dan
mereka menginginkan untuk mentalbis yaitu mencampur adukkan antara kebenaran
dengan kebatilan, mempermainkan manusia dengan lafadz-lafadz tadi.

Kemudian juga diantara kelebihan kitab ini selain dia adalah berdasarkan Al-Quran dan
Hadits, dan nanti akan kita lihat bagaimana beliau rahimahullāh ketika berbicara tentang
masalah nama dan juga sifat hanya menyebutkan ayat, tentang masalah Allāh ‫ﷻ‬
berbicara disebutkan oleh beliau ayat-ayat bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬berbicara, ketika beliau
menyebutkan bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa beliau sebutkan ayat tentang istiwa,
demikian pula menyebutkan tentang hadits Nabi ‫ﷺ‬. Ini adalah cara syaikhul Islam di
dalam menulis kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah.

Dan kemudian yang kedua adalah apa yang beliau tulis dalam Aqidah Wasithiyyah ini
adalah hasil dan juga buah dari tatabbu dan juga istikra’, hasil penelitian beliau dan hasil
membaca beliau terhadap ucapan-ucapan para salaf baik didalam masalah nama dan
juga sifat Allāh ‫ ﷻ‬atau tentang hari akhir atau tentang iman dengan takdir atau tentang
sikap kita terhadap para sahabat dan permasalahan-permasalahan akhirnya yang lain.

Beliau mengatakan, tidaklah aku menulis dalam kitab ini kecuali aqidah para Salafus
Sholih semuanya. Orang semisal beliau banyak membaca kitab-kitab para ulama yang
isinya adalah nukilan-nukilan dari para ulama salaf tentang masalah aqidah, beliau baca
dan beliau simpulkan dan kemudian beliau tuangkan di dalam kitab Al Aqidah Al
Wasithiyyah ini. Diantara keutamaan kitab ini bahwasanya beliau rahimahullāh berusaha
dengan seluruh tenaga yang beliau miliki untuk mentaḥrir, untuk benar-benar teliti
dalam menyebutkan masalah aqidah ini, beliau memberikan khulashoh, memberikan
ringkasan.
Diantara ketelitian beliau, beliau mengatakan, diantara kehati-hatian beliau, dan ini
menunjukkan tentang tawadhu beliau, aku telah memberikan kesempatan kepada setiap
orang yang menyelisihi aku dalam perkara-perkara ini, tiga tahun beliau memberikan
kesempatan. Artinya beliau membuka pintu siapa yang ingin menunjukkan kesalahan
dari kitab ini, selama tiga tahun beliau menunggu dan beliau mengatakan kalau memang
ada yang menyelisihi, artinya ini bukan keyakinan para salaf, maka beliau siap untuk
kembali artinya siap untuk menghilangkan sesuatu yang bertentangan dengan aqidah
para salaf tadi kemudian kembali kepada jalan yang benar.

Ini menunjukkan tentang tawadhu beliau dan bagaimana kehati-hatian beliau, beliau
tidak ingin tersebar kitab tadi dalam keadaan salah, beliau bahkan menawarkan kepada
para ulama khususnya bahkan yang menjadi orang-orang yang berseberangan dengan
beliau, kalau muridnya saja atau orang yang sepaham dengan beliau mungkin biasa-
biasa saja suruh meneliti mereka sudah percaya begitu saja, tapi kalau musuh, ini maka
ketika mereka meneliti kitab musuhnya maka dia berusaha tapi ternyata selama 3 tahun
diberikan kesempatan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak ada diantara mereka
yang memberikan bantahan atau bisa menunjukkan mana aqidah beliau yang tidak
sesuai dengan aqidah pada salaf.

Ini menunjukkan tentang tentunya keyakinan beliau, tentang ilmu beliau yang dalam dan
tawadhu beliau, beliau mengatakan yang demikian bukan karena sombong atau
menentang atau hanya sekedar ingin berdebat, tidak, beliau ingin kebenaran, kalau
memang ada yang tidak sesuai dengan pemahaman para salaf untuk apa kita
mempertahankan sebuah kebathilan, maka beliau siap untuk ruju’, dan ketika ditunggu
sedemikian lamanya tiga tahun, bukan satu bulan dua bulan, ternyata tidak ada. Ini
menunjukkan bahwasanya kitab ini memiliki kelebihan, sudah dibaca oleh musuh-musuh
beliau dan dibaca oleh orang yang sependapat dengan beliau dan ternyata para ulama
menerima kitab ini dengan qabulan hasanah, yaitu menerima dengan baik.

Kemudian diantara keutamaannya, kitab ini adalah kitab yang ringkas, subhanallāh,
menyebutkan dalil, menyebutkan ringkasan aqidah ahlussunnah wal jama’ah, meskipun
dia ringkas ternyata isi dari kitab Al-Aqidah Wasithiya ini sebagian besar permasalahan-
permasalahan aqidah yang merupakan ushul, pondasi aqidah ahlussunnah wal jamaah,
disebutkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab ini. Jadi dia adalah kitab
aqidah yang ringkas dan dia lengkap meskipun tidak semua tapi sebagian besar
permasalahan aqidah yang membedakan antara ahlussunnah dengan ahlul bid’ah
disebutkan oleh beliau rahimahullāh, tentunya ini adalah sebuah kelebihan, kita cari
kitab-kitab yang seperti ini.

Kemudian juga ditambah oleh beliau di akhir kitabnya tentang pentingnya seorang
ahlussunnah, dan ini adalah ciri ahlussunnah wal jama’ah firqatun najiyah, bahwasanya
mereka ya’muruna bil ma’ruf, mereka menyuruh kepada yang baik, melarang dari yang
mungkar, mereka ini berakhlak yang baik. Beliau sebutkan tentang masalah akhlak
karena tidak cukup seseorang menjadi ahlussunnah wal jama’ah hanya memperhatikan
masalah aqidah, bahkan kalau aqidah yang dia pelajari ini benar dan dia adalah orang
yang mengamalkan aqidah tadi, ini akan memunculkan, akan mewariskan rasa takut
kepada Allāh ‫ ﷻ‬yang akan terlihat pada baiknya akhlak dia kepada orang lain.

Inilah beberapa keutamaan kitab Al Aqidah Al Wasithiya sehingga tidak heran kalau Adz-
Dzahabi rahimahullāh ketika beliau berkomentar tentang kitab Al Aqidah Al Wasithiya
beliau mengatakan, telah sepakat baik musuh maupun kawan maupun lawan
bahwasanya ini adalah aqidah salafi yang jayyid yaitu aqidah para salaf yang bagus. Dan
Ibnu Rajab Rahimahullāh beliau mengatakan (ini juga muridnya syaikhul Islam), telah
sepakat semuanya bahwasanya aqidah wasithiyyah ini adalah aqidah yang sunniyyah
yang salafiyyah, yang sesuai dengan sunnah dan adalah aqidah para salaf kita.

Halaqah 06 | Muqoddimah #06 Penjelasan Umum Tentang Kitab Aqidah Wasithiyyah Ustadz
Dr. Abdullah Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
Halaqah yang ke-6 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Para ulama dan juga para penuntut ilmu agama mereka memperhatikan kitab ini,
memiliki perhatian yang besar terhadap kitab Al aqidah Al Wasithiyyah ini baik dengan
menghafalnya ataupun mengajarkannya atau mempelajarinya sehingga banyak diantara
ulama yang mensyarah yaitu menjelaskan tentang kitab ini, yang akan kita sebutkan
bahwasanya disana ada sebagian ulama yang ringkas didalam mensyarahnya, ada yang
diantara mereka yang panjang didalam syarahnya berbeda-beda. Ada diantara mereka
yang mensyarah kitab Al aqidah Wasithiyyah dengan ucapan syaikhul Islam juga,
mu’alifnya yaitu di dalam kitab-kitab yang lain.

Saya sebutkan disini beberapa syarah yang mungkin bisa kita ambil faedahnya yang
telah ditulis oleh para ulama kita diantaranya adalah Syarah Al aqidah Wasithiyyah yang
ditulis oleh Haras, beliau adalah Muhammad Khalil Haras, kelebihannya adalah syarah
beliau ringkas dan jelas, tidak bertele-tele namun ketika kita melihat, beliau meringkas
dan bagus tapi ketika di akhir-akhir sangat ringkas sehingga sebagian dari ucapan
syaikhul Islam ini bahkan di lewati artinya mungkin beliau memandang itu adalah
perkara yang sangat jelas sehingga tidak perlu di syarah secara panjang lebar. Wallāhu
ta’ala a’lam.

Kemudian di antara Syarah aqidah Wasithiyyah adalah Tanbihat Al Lathifah fī mā ihtawat


‘alaihi al wasithiyah minal mabahit al manīfah, ini ditulis oleh Syaikh As sa’di. kemudian
juga Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin beliau juga punya syarah Al Aqidah
Wasithiya dan kita mengetahui bagaimana kedudukan Syaikh Muhammad bin Sholih al-
Utsaimin, bagaimana penjelasan beliau yang sangat mudah dipahami, tidak
menggunakan kata-kata yang sulit, dan banyak faedah-faedah yang bisa kita ambil
selain dari pembahasan utama yang disebutkan oleh mu’allif. Disana ada yang
menjadikan soal dan jawab, pertanyaan dan juga jawaban tentang hal yang berkaitan
dengan Al aqidah Al Wasithiyyah. Syaikh shalih Al Fauzan juga memiliki syarah terhadap
aqidah Wasithiyyah, kemudian di sana ada Ar-Raudah An-Nadiyah yang ditulis oleh Zaid
bin Abdil Aziz bin Fayyadh dan dia adalah syarah yang luas.

Kesimpulannya disini banyak yang telah mensyarah kitab Al aqidah Al Wasithiyyah ini,
ada yang sedang ada yang ringkas ada yang panjang lebar, maka seorang thalabul ‘ilm
mengambil faedah dari apa yang dijelaskan oleh para ulama dan saya mendorong bagi
yang memiliki kemampuan untuk bisa menghafal, antum yang hafal Quran itu lebih
mudah InsyaAllāh, kan syaikhul Islam banyak menyebutkan ayat, maka ini kesempatan
bagi antum di waktu yang pas sebisa mungkin antum menghafal apa yang disebutkan
oleh beliau, dan kalau kita punya keinginan ada waktu luang dan kalau bisa di sana ada
tempat orang yang kita setorkan hafalan kita mungkin dengan teman-teman maka ini
lebih baik, jangan kita sia-siakan waktu yang sangat panjang dan sangat luas ini dalam
perkara yang sia-sia, untuk murojaah untuk menghafal untuk berbagai perkara yang
bermanfaat insya Allāh.

Untuk perkara-perkara yang disebutkan dalam kitab ini, disebutkan oleh syaikhul Islam
didalam aqidah wasithiya di antara yang beliau sebutkan pertama adalah tentang
masalah nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬, kemudian beliau menyebutkan aqidah
ahlussunnah wal jamaah tentang masalah Iman, kemudian beliau menyebutkan tentang
masalah nama yang muslim, kafir, iman, Islam wal ahkam dan hukum-hukum mereka ini
semua berkaitan dengan aqidah ahlussunnah yang membedakan antara mereka dengan
ahlul bid’ah, beliau juga menyebutkan tentang masalah takdir, beliau juga menyebutkan
tentang masalah hari akhir dan beberapa perinciannya seperti misalnya hisab kemudian
syafaat kemudian timbangan, surga dan juga neraka beliau sebutkan. Masalah nama dan
juga sifat tadi berkaitan dengan beriman kepada Allāh ‫ﷻ‬, kemudian beliau juga
menyebutkan iman dengan takdir iman dengan hari akhir.

Beliau juga menyebutkan tentang masalah karomāt karena disana ada ahlul bid’ah yang
berbeda dengan ahlul sunnah didalam masalah karomah, ada yang berlebihan, ada yang
menyia-nyiakan, ada yang mengingkari, ada yang meyakini sesuatu yang bukan
karomah, diyakini itu sebagai sesuatu karomah, tidak bisa membedakan antara karomat
dengan apa yang dinamakan dengan sihir. Kemudian juga beliau menyebutkan tentang
sikap ahlul sunnah terhadap pemerintah, ini juga ada ahlul bid’ah yang menyimpang
didalam masalah ini, kemudian juga sikap ahlussunnah terhadap para sahabah, sikap
ahlussunnah di dalam masalah mashadil talaqqi, yaitu darimana mereka mengambil ilmu
ini, mengambil agama ini.

Bahkan beliau juga menyebutkan tentang bagaimana akhlak ahlussunnah, bagaimana


suluq mereka dan bagaimana mereka beramar ma’ruf nahi mungkar, dan sikap ahlus
sunah dalam berjihad dalam menegakkan syiar-syiar Allāh ‫ﷻ‬. Kemudian beliau
mengakhiri kitabnya dengan menyebutkan berbagai tingkatan ahlussunnah wal jamaah,
bahwasanya ternyata mereka ini bukan hanya satu golongan, mereka ada yang ada yang
fuqahah ada yang muhadditsun dan mereka semuanya ahlul sunnah, ada yang ahlu tafsir
ada yang bermacam-macam jadi mereka semuanya adalah ahlul sunnah yang
mengumpulkan mereka adalah keinginan untuk mengikuti sunnah Nabi ‫ﷺ‬.

Kemudian tentang masalah sebab ditulisnya kitab ini, bahwasanya kitab ini sebabnya
adalah sebagian qadhi yang ada di daerah yang dinamakan dengan Wāsith (sebuah
daerah di Irak saat itu). Ada seorang qadhi yang beliau ini diceritakan syaikhul Islam
datang kepadanya kemudian menceritakan tentang kebodohan yang ada di negara
beliau, karena beliau sebagai seorang qadhi melihat bagaimana kerusakan manusia di
daerah beliau, banyaknya kebodohan, banyaknya kedzholiman, banyak perkara-perkara
agama yang ditinggalkan oleh manusia, maka qadhi ini dengan tawadhonya meminta
kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tolong dituliskan sebuah kitab tentang masalah
aqidah.

Apa yang menjadi jawaban beliau, beliau mengatakan banyak ulama yang sudah menulis
tentang kitab-kitab aqidah, kenapa harus saya. Ini menunjukkan tentang tawadhu’nya
syaikhul Islam. Maka qadhi ini pun dia meminta dengan sangat mengulang-ulang
permintaan, dan ini menunjukkan seseorang kalau memang memandang itu ada banyak
kebaikan ya kita sungguh-sungguh ketika meminta kepada orang lain, artinya di sini
meminta kepada gurunya karena dia tahu kedudukan syaikhul Islam dan bagaimana
tulisan beliau maka beliau berusaha bukan hanya meminta sekali, ketika tahu itu ditolak
kemudian dia mundur ke belakang, tidak, dia punya hirs.

Kemudian qadhi ini yang berasal dari Wāsith mengatakan aku tidak senang kecuali
sebuah aqidah yang kamu tulis, meskipun mungkin sama apa yang disebutkan oleh
syaikhul Islam dengan yang disebutkan oleh ulama ahlussunnah wal jamaah karena
beliau juga mengambil dari ulama ahlus sunnah sebelum beliau, tapi dia ingin tulisan
syaikhul Islam. Ini mungkin bisa diambil faedah terkadang tidak ada salahnya seorang
ustadz dia mengarang tentang sebuah kitab yang mungkin sama dengan yang dikarang
oleh ustadz yang lain atau da’i yang lain, jangan kita mengatakan itu kan ustadz beliau
sudah menulis.

Kenapa demikian, karena yang ada di bawah kita mereka ini banyak, ada diantara
mereka yang Allāh ‫ ﷻ‬jadikan lebih senang untuk mendengarkan ceramah ustadz fulan
karena menurut dia lebih bisa menangkap misalnya, tapi yang lain ternyata pendapatnya
berbeda. Dia lebih bisa menangkap kalau yang menyampaikan adalah ustadz fulan. Jadi
yang sini memiliki perhatian terhadap kitab-kitab si fulan, yang lainnya memiliki
perhatian terhadap kitab-kitab ustadz yang lain sehingga tidak ada salahnya masing-
masing menulis kitab. Dan demikian yang dilakukan oleh para salaf, ini menulis tentang
aqidah ahlussunnah, ini aqidah ashabul hadits dan sampai sekarang kitab-kitab tersebut
dipelajari dan saling melengkapi satu dengan yang lain.

Disini syaikhul Islam akhirnya beliau menulis kitab ini dan beliau tulis ini waktunya
setelah shalat ashar, kitab aqidah Wasithiyyah ini dari awal sampai akhir ini beliau tulis
setelah shalat ashar dan ini menunjukkan tentang bagaimana berkahnya ilmu beliau dan
bagaimana ilmu itu sudah melekat pada diri beliau sehingga ketika diminta untuk
menulis aqidah ahlussunnah langsung beliau tulis dalam waktu yang sangat singkat dan
ternyata kitab tadi adalah kitab yang mutqan, sangat teliti dan disebutkan dalil-dalilnya
dan dengan istidlal yang kuat dan diteliti oleh kawan maupun lawan dan mereka tidak
menemukan disana sesuatu yang bertentangan dengan manhaj salaf, ini semua
menunjukkan tentang keutamaan beliau.

Dan ini adalah sejarah dari ditulisnya kitab ini dan sampai sekarang kitab ini terus
dipelajari oleh para thulabul ‘ilm dan mereka mengambil faedah dari kitab yang
berharga ini dan antum bisa lebih mengetahui tentang kedudukan kitab ini kalau antum
mempelajari kitab aqidah yang lain.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya

Halaqah 07 | Muqoddimah #07 Basmallah, Hamdallah, Syahadat, dan Sholawat Ustadz Dr.
Abdullah Roy, M.A ‫الى‬ ‫ه هلل تع‬ ‫ حفظ‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Halaqah yang ke-7 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang ditulis
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

ِ ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن الر‬


Beliau mengatakan rahimahullāh di awal kitabnya ‫َّح ِيم‬

Membuka kitab beliau dengan basmalah, sebagaimana yang sudah berlalu, berulang-ulang,
bahwasanya demikian adalah mengikuti Allāh ‫ ﷻ‬di dalam Al-Qur’an karena Allāh ‫ﷻ‬
menjadikan ayat yang pertama di dalam Al-Qur’an adalah ‫َّح ِيم‬ ِ ‫ بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن الر‬dengan kesepakatan
para ulama bahwasanya ayat yang pertama dalam basmalah. Dan Nabi ‫ﷺ‬, ketika Beliau ‫ﷺ‬
menulis surat yang isinya adalah dakwah kepada sebagian raja yang ada di zaman Beliau ‫ﷺ‬,
ِ ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن الر‬. Dan apa yang dilakukan oleh mu’allif di
Beliau ‫ ﷺ‬memulai suratnya dengan ‫َّح ِيم‬
sini yaitu menulis kitab pada hakekatnya dia adalah surat yang ingin disampaikan kepada para
pembaca yang isinya adalah dakwah, dakwah kepada aqidah yang benar, aqidah ahlussunnah
waljama’ah.

Dan hikmah dimulainya menulis kitab dengan basmalah yang pertama adalah bertabarruk dengan
memulai kitab ini dengan menyebut nama Allāh ‫ ﷻ‬karena nama Allāh ‫ ﷻ‬adalah nama yang
berbarokah, sehingga memulai kitab dengan menyebut nama Allāh ‫ ﷻ‬diharapkan kitabnya
adalah menjadi kitab yang berbarokah. Kemudian yang kedua adalah meminta pertolongan
kepada Allāh ‫ ﷻ‬dalam menulis kitab, sehingga dimudahkan oleh Allāh ‫ ﷻ‬untuk menyelesaikan
kitab ini, selesai dan menjadi kitab yang berbarokah dan bermanfaat bagi kaum muslimin.

Kemudian beliau mengatakan ‫الحمد هلل‬

Dan Allāh ‫ ﷻ‬di dalam Al-Qur’an memulai setelah basmalah kemudian yang kedua adalah ِ ‫ۡٱل َحمۡ ُد هَّلِل‬
َ‫ َربِّ ۡٱل ٰ َعلَ ِمين‬yaitu pujian kepada diri-Nya, maka disini Mu’allif juga demikian, beliau rahimahullāh
juga berusaha untuk meniru apa yang Allāh ‫ ﷻ‬lakukan di dalam Al-Qur’an setelah menyebutkan
basmalah maka beliau memuji Allāh ‫ ﷻ‬dengan mengatakan ‫ق‬ ِّ ‫ين ْال َح‬
ِ ‫الحمد هلل الَّذي َأرْ َس َل َرسُولَهُ بِ ْالهُدَى َو ِد‬
Segala puji bagi Allāh ‫ ﷻ‬yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan juga agama yang
benar.

Allāh ‫ ﷻ‬dipuji, sebabnya diantaranya adalah karena dia yang memiliki nama-nama yang Husna
dan sifat-sifat yang mulia sehingga Allāh ‫ ﷻ‬dipuji, karena nama-nama Allāh ‫ ﷻ‬mengandung
makna yang indah, makna yang paling baik dan setiap nama mengandung sifat, dan sifat-sifat
Allāh ‫ ﷻ‬adalah sifat-sifat yang paling baik sehingga Allāh ‫ ﷻ‬dipuji karena dia yang memiliki
nama dan juga sifat yang sempurna. Demikian pula Allāh ‫ ﷻ‬dipuji diantaranya adalah karena
Allāh ‫ ﷻ‬Dia-lah yang memberikan seluruh kenikmatan kepada kita semuanya, Allāh ‫ ﷻ‬selalu
dipuji karena Dia-lah yang memberikan kenikmatan semuanya kepada kita. Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan
ِ ‫ٍة فَ ِمنَ هَّللا‬ ‫ا بِ ُك ْم ِم ْن نِ ْع َم‬ ‫َو َم‬
An-Nahl ayat 53

Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian maka itu adalah dari Allāh ‫ﷻ‬

Di antara kenikmatan tersebut, dan ini adalah kenikmatan yang paling besar adalah diutusnya
Rasulullāh ‫ﷺ‬, maka ini adalah kenikmatan yang besar yang kalau dibandingkan dengan
kenikmatan makan, minum, kenikmatan dunia yang dirasakan oleh seseorang, maka nikmat
diutusnya Rasulullāh ‫ ﷺ‬adalah kenikmatan yang lebih besar. Karena ketika Beliau ‫ ﷺ‬diutus
oleh Allāh ‫ ﷻ‬kita mengenal Al-Haqq (kebenaran), kita mengenal Tauhid yang untuknya kita
diciptakan oleh Allāh ‫ ﷻ‬dan ini adalah syarat untuk masuk ke dalam surganya Allāh ‫ﷻ‬,
dengannya kita mengetahui tentang hakikat dunia dan kita terlepas dari keresahan dunia,
kesedihan dengan sebab dunia, dan kebaikan-kebaikan yang lain yang didapatkan oleh seseorang
َ ‫[ ﷺ لَقَ ۡد َم َّن ٱهَّلل ُ َعلَى ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ ِإ ۡذ بَ َع‬Ali Imran:164]
dengan sebab diutusnya Rasulullāh ‫ث فِي ِهمۡ َر ُسواٗل‬

Sungguh Allāh ‫ ﷻ‬telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman dengan
mengutusmu kepada mereka seorang rasul dari diri mereka sendiri.

Membacakan kepada mereka ayat-ayat Allāh ‫ ﷻ‬maka ini adalah nikmat yang besar dan
Alhamdulillah Allāh ‫ ﷻ‬menjadikan kita termasuk umat Beliau ‫ﷺ‬, meskipun kita adalah umat
yang terakhir tidak ada umat setelah kita namun Allāh ‫ ﷻ‬memberikan banyak keutamaan kepada
kaum muslimin. Mereka menjadi orang yang pertama dihisab dan mereka yang pertama kali
masuk ke dalam surga ُ‫ الحمد هلل الَّذي َأرْ َس َل َرسُولَه‬Segala puji bagi Allāh ‫ ﷻ‬yang telah mengutus
rasul-Nya yaitu Nabi Muhammad ‫ﷺ‬

‫ بِ ْالهُدَى‬dengan petunjuk, dengan ilmu yang dengannya Allāh ‫ ﷻ‬mengeluarkan kita dari kegelapan
(kejahilan) menuju alam ilmu yang terang benderang, banyak perkara yang tidak kita ketahui
sebelumnya kemudian sekarang kita mengetahui tentang hakekatnya, tidak mungkin kita
mengetahuinya kecuali dengan perantara Wahyu. Kita memiliki akal, kita memiliki pikiran cuma
itu sangat terbatas, banyak di sana perkara-perkara yang tidak mungkin kita ketahui kecuali
dengan jalan Wahyu yang dibawa oleh Rasulullāh ‫ﷺ‬

ِّ ‫ين ْال َح‬


‫ق‬ ِ ‫ َو ِد‬Dan juga dengan agama yang haqq.

Ada yang mengatakan bahwasanya Dīnul Haqq di sini maknanya adalah Al-‘Amal, Al-Huda
ditafsirkan dengan Al-Ilmu dan Dīnul Haqq disini ditafsirkan dengan Al-‘Amal, yaitu amalan.
Artinya Nabi ‫ ﷺ‬diutus oleh Allāh ‫ ﷻ‬bukan hanya sekedar memberikan pengetahuan,
memberikan ilmu kepada kita tapi juga memerintahkan kita untuk mengamalkan ilmu yang sudah
kita dapatkan. Inilah agama yang dibawa oleh Nabi ‫ﷺ‬, kenapa kita belajar seperti ini tujuannya
adalah untuk mengamalkan, bukan hanya sekedar untuk dicatat dan dihafalkan, amal.

Maka seseorang tholibul ilm hendaklah dia bertanya kepada dirinya sendiri, sudah sampai mana
amalan dia terhadap ilmu yang selama ini dia dapatkan, kita belajar seperti ini adalah untuk
mengamalkan dan jangan kita menunggu sampai selesai kitab tapi apa yang kita dengarkan hari
ini ya kita amalkan, ada niat dalam hati kita untuk mengamalkan apa yang kita dengarkan, itu niat
kita.
Ana menuntut ilmu ingin mengamalkan apa yang Ana pelajari. Kalau seorang seorang tholibul
ilm (penuntut ilmu) niatnya demikian maka dia akan diberikan Taufik dalam ilmunya,
dimudahkan oleh Allāh ‫ ﷻ‬untuk menerima ilmu yang selanjutnya, karena mengamalkan ilmu
adalah bentuk bersyukur, karena ilmu adalah nikmat, ketika kita amalkan berarti kita bersyukur
dengan nikmat ilmu tadi dan kalau kita bersyukur ditambah oleh Allāh ‫ﷻ‬, Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan
ۖۡ‫َدنَّ ُكم‬ ‫َك ۡرتُمۡ َأَل ِزي‬ ‫لَِئن َش‬
[Ibrahim : 7] Kalau kalian bersyukur Aku akan tambah

Mengamalkan ilmunya adalah bentuk syukur kita atas nikmat ilmu tadi, betapa banyak orang
yang tidak sampai kepadanya ilmu ini atau tidak mendapatkan ilmu ini, padahal mereka adalah
orang yang cerdas mungkin orang yang kaya tapi mereka tidak mendapatkan ilmu tadi. Allāh ‫ﷻ‬
memilih kita, memilih hati kita, memilih telinga kita untuk mendengarkan ilmu yang mulia ini,
maka syukurilah dengan cara mengamalkan apa yang kita dapatkan berupa ilmu ini meskipun
sedikit, sehingga sebagian salaf mengatakan “man ‘amila bimā ‘alima ‘allamahullāhu mā lakun
ya’lam”, barang siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui maka Allāh ‫ ﷻ‬akan mengajarkan
kepadanya sesuatu yang sebelumnya dia tidak tahu, ditambah ilmunya terus.

Makanya tidak heran kalau para salaf, para ulama, ilmu mereka luas, apa yang mereka dengar
menetap di dalam hati mereka karena mereka berusaha untuk mengamalkan apa yang mereka
dapatkan. Dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh, beliau adalah seorang muhaddits, seorang
faqih, beliau menyebutkan bahwasanya saya membaca sebuah hadits yang isinya bahwasanya
Nabi ‫ ﷺ‬mengundang seorang tukang bekam kemudian memberikan kepadanya uang, maka
beliau untuk mengamalkan hadits ini mengundang seorang tukang bekam kemudian memberikan
kepada orang tersebut uang sejumlah uang yang diberikan oleh Nabi ‫ﷺ‬, sampai demikian para
ulama kita mengamalkan ilmunya.

Maka lihat diri kita apakah kita sudah termasuk orang yang demikian atau mendekati yang
demikian. Betapa banyak hadits-hadits yang berkaitan dengan fadhailul ‘amal, tentang keutamaan
shalat berjama’ah, tentang bersegera di dalam shalat berjama’ah, tentang keutamaan shalat
malam, tentang keutamaan membaca Al-Qur’an yang berlalu di telinga kita dan kita biarkan
begitu saja, seakan-akan ilmu itu hanya sekedar untuk pengetahuan bukan untuk diamalkan.

‫ِّين ُكلِّ ِه‬ ْ ‫ لِي‬Supaya Allāh ‫ ﷻ‬menampakan agama Allāh ‫ ﷻ‬ini diatas seluruh agama.
ِ ‫ُظ ِه َرهُ َعلَى الد‬

Allāh ‫ ﷻ‬menjanjikan akan menampakan agama ini meskipun orang-orang kafir benci dengan
nampaknya agama Allāh ‫ ﷻ‬di atas agama yang lain dan Allāh ‫ ﷻ‬tidak akan menyelisihi janji-
Nya. Lihat bagaimana Allāh ‫ ﷻ‬menolong Rasul-Nya dan juga menolong para sahabat dari yang
awalnya hanya satu orang yaitu Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬kemudian Beliau ‫ ﷺ‬berdakwah dengan
sabarnya sehingga satu persatu mulai dari orang yang ada disekitarnya, kerabatnya, yang satu
kabilah dengan Beliau ‫ ﷺ‬mereka masuk ke dalam agama Islam, diusir dan justru semakin
menyebar agama Islam, orang Anshor mereka masuk ke dalam agama Islam dan orang-orang
yang ada di sekitar Mekah dan juga Madinah mereka masuk ke dalam agama Islam. Allāh ‫ﷻ‬
menampakan agama ini di atas seluruh agama.

‫ َو َكفَى بِاهللِ َش ِهيدًا‬Dan cukuplah Allāh ‫ ﷻ‬sebagai saksi.

Jadi Allāh ‫ ﷻ‬Dia-lah yang menjadi saksi bahwa Nabi-Nya ini, yaitu Muhammad ‫ ﷺ‬adalah
seorang Rasul dan bahwasanya Dia-lah yang akan menolong Nabi-Nya dan ucapan ini yaitu

‫ِّين ُكلِّ ِه َو َكفَى بِاهللِ َش ِهيدًا‬ ْ ‫ق لِي‬


ِ ‫ُظ ِه َرهُ َعلَى الد‬ ِّ ‫ين ْال َح‬
ِ ‫الَّذي َأرْ َس َل َرسُولَهُ بِ ْالهُدَى َو ِد‬

Ini diambil dari sebuah ayat yaitu surat al-Fatah ayat yang ke-28.

Disini bagaimana beliau rahimahullāh dalam masalah lafadz beliau berusaha untuk taqayyud,
mengikuti apa yang ada di dalam Al-Qur’an, karena itu lebih selamat, ini di ambil dari Firman
Allāh ‫ﷻ‬.

Halaqah 08 | Muqoddimah #08 Basmallah, Hamdallah, Syahadat, dan Sholawat Ustadz Dr.
Abdullah Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Kemudian setelahnya, setelah mengucapkan pujian kepada Allāh ‫ ﷻ‬maka beliau mengucapkan
dua kalimat syahadat dan ini yang biasa dilakukan oleh para penulis kitab, para ulama yang
menulis kitab biasanya disebutkan basmalah kemudian hamdalah kemudian dua kalimat syahadat
dan shalawat dan salam untuk Nabi ‫ﷺ‬. Beliau mengatakan ُ‫ك لَه‬ ِ ‫وَأ ْشهَ ُد َأن الَّ إلَهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ ال ش‬
َ ‫َري‬

Dan aku bersaksi, dan kalimat syahadah (bersaksi) ini memiliki beberapa makna dan terkumpul
dalam kalimat asyhadu ini beberapa makna tersebut. Maknanya adalah diantaranya a’lamu (saya
tahu), kemudian di antara maknanya adalah ukhbir (saya mengabarkan) kepada orang, kemudian
diantara maknanya adalah aḥlif (saya bersumpah), ini semuanya ada di dalam makna asyhadu

ُ‫وَأ ْشهَ ُد َأن الَّ إلَهَ ِإالَّ هللا‬

Dan aku bersaksi, yaitu saya tahu makna ُ‫ الَّ إلَهَ ِإالَّ هللا‬dan juga konsekuensinya, dan saya kabarkan
ini kepada orang lain dan saya bersumpah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allāh ‫ﷻ‬. Berarti di sini ada sumpah, janji dari seseorang untuk tidak menyembah kecuali
hanya kepada Allāh ‫ ﷻ‬semata. Kemudian ُ‫ك لَه‬ ِ ‫َوحْ َدهُ ال ش‬
َ ‫َري‬

Waḥdah ini adalah penguat dari kalimat sebelumnya yaitu ُ‫ِإالَّ هللا‬, hanya Allāh ‫ ﷻ‬saja dikuatkan
dengan kalimat wahdahu, hanya Allāh ‫ ﷻ‬saja. Kemudian juga ُ‫ك لَه‬ َ ‫َري‬
ِ ‫ ال ش‬tidak ada sekutu baginya
ini adalah penguat dari kalimat َ‫ الَّ إلَه‬yaitu nafī, di dalam kalimat ُ‫ الَّ إلَهَ ِإالَّ هللا‬ini ada itsbat dan juga
nafī (ada penetapan dan juga penafian), penetapan pada ُ‫ ِإالَّ هللا‬dikuatkan dengan ُ‫ َوحْ َده‬hanya Allāh
‫ ﷻ‬saja, dan penafian pada kalimat َ‫ الَّ إلَه‬dikuatkan dengan ُ‫ك لَه‬
َ ‫َري‬
ِ ‫ال ش‬

‫ِإ ْق َرارًا بِ ِه َوتَوْ ِحيدًا‬


‫ ِإ ْق َرارًا بِ ِه‬ini menguatkan kalimat ‫ َأ ْش هَ ُد‬karena makna ‫ ِإ ْق َرار‬menetapkan, dan ini juga terkandung
didalam kalimat asyhadu, ‫ ِإ ْق َرارًا بِ ِه‬ini menguatkan kalimat asyhadu,‫ َوتَوْ ِحيدًا‬ini menguatkan kalimat
ُ‫ك لَه‬ ِ ‫الَّ إلَهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ ال ش‬
َ ‫َري‬

Kemudian beliau menyebutkan syahadat yang kedua dan mengatakanُ‫َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُه‬

Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬adalah hamba Allāh ‫ ﷻ‬dan juga Rasul-Nya

Ini adalah syahadat yang kedua dan ini adalah satu kesatuan dengan syahadat yang pertama,
orang yang mengikrarkan syahadat yang pertama melazimkan dia untuk mengikrarkan syahadat
yang kedua demikian pula sebaliknya, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dan
barangsiapa yang mengingkari satu diantara dua syahadat ini dia telah keluar dari agama Islam,
dia adalah satu kesatuan dan keduanya adalah rukun Islam yang pertama, dua kalimat syahadat.

‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا‬Aku bersaksi bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬adalah hamba Allāh ‫ ﷻ‬dan juga Rasul-
Nya

Maka beliau menyebutkan ُ‫ َع ْب ُدهُ َو َرسُولُه‬ini juga mengambil dari hadits Nabi ‫ﷺ‬, dan dalam sebuah
hadits ُ‫َم ْن َش ِه َد َأ ْن اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوَأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُهُ َوَأ َّن ِعي َسى َع ْب ُد هَّللا ِ َو َرسُولُه‬

Dan juga dalam hadits yang lain ُ‫ِإنَّ َما َأنَا َعبْد فَقُولُوا َع ْب ُد هَّللا ِ َو َرسُولُه‬

Dan yang dimaksud dengan persaksian bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬adalah hamba Allāh ‫ﷻ‬
artinya beliau adalah hamba yang menyembah kepada Allāh ‫ﷻ‬, menyembah bukan di sembah,
sehingga disini ada isyarat larangan kita untuk ghuluw terhadap Rasulullāh ‫ ﷺ‬dan diantara
bentuk ghuluw adalah menyerahkan sebagian ibadah kepada Beliau ‫ ﷺ‬baik doa misalnya atau
meminta syafaat kepada Beliau ‫ﷺ‬.

ُ‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُده‬Kita bersaksi bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬adalah hamba artinya bukan Tuhan
dan bukan sesembahan, dia adalah seorang hamba Allāh ‫ ﷻ‬sebagaimana kita

ُ‫ َو َرسُولُه‬dan Beliau ‫ ﷺ‬adalah seorang rasul yang diutus yang harus kita muliakan, yang harus kita
imani. Berarti di sini ada bantahan terhadap orang yang ghuluw terhadap Rasul dan juga orang
yang menyepelekan Rasulullāh ‫ﷺ‬, orang yang ghuluw terhadap Rasul ‫ ﷺ‬sampai menyifati
Rasulullāh ‫ ﷺ‬dengan sifat-sifat uluhiyah maka ini terbantahkan dengan ُ‫وَأ ْش هَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُده‬.
َ
Adapun orang yang menyepelekan Rasulullāh ‫ ﷺ‬maka ini terbantahkan dengan ُ‫( َو َر ُس ولُه‬dan
Beliau ‫ ﷺ‬adalah seorang rasul), karena kalau kita yakin Beliau ‫ ﷺ‬adalah seorang rasul
kewajiban kita adalah menghormati Beliau ‫ﷺ‬.

Kemudian setelahnya disebutkan nama Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, setelah nya beliau mengucapkan
shalawat dan salam untuk Beliau ‫ﷺ‬

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬


َ Semoga shalawat Allāh ‫ ﷻ‬atas Beliau ‫ﷺ‬, yang dimaksud dengan shalawat adalah

‫ثناء هللا عليه ِع ْن َد المأل االعلى‬


Pujian Allāh ‫ ﷻ‬kepada Beliau ‫ ﷺ‬di depan para malaikat. Al-Mala’ artinya adalah kumpulan, Al-
A’la adalah yang paling tinggi. Di sini ada juga perkumpulan, ada perkumpulan thulab, ada
perkumpulan petani, dan seterusnya, perkumpulan yang paling tinggi adalah perkumpulan para
malaikat, menunjukkan tentang banyaknya mereka dan mereka berada di atas. Allāh ‫ ﷻ‬memuji
Nabi ‫ ﷺ‬yaitu memuji Beliau ‫ ﷺ‬di hadapan para malaikat-Nya, inilah makna shalawat Allāh ‫ﷻ‬
untuk Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, sehingga ketika kita mengatakan ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬
َ maka maksudnya adalah
semoga Allāh ‫ ﷻ‬memuji Beliau ‫ ﷺ‬di depan para malaikat.

Berarti kita mendoakan dan balasannya kalau kita mengucapkan shalawat untuk Nabi ‫ﷺ‬, Allāh
‫ ﷻ‬akan bershalawat atas kita sepuluh kali artinya menyebut nama kita di hadapan para
malaikatnya sepuluh kali atau memuji kita dihadapan para malaikatnya sepuluh kali. Siapa
diantara kita yang tidak ingin dipuji Allāh ‫ ﷻ‬di hadapan para malaikatnya, maka kalau kita ingin
dipuji oleh Allāh ‫ ﷻ‬dan banyak dipuji Allāh ‫ ﷻ‬dihadapan para malaikat adalah kita banyak
mengucapkan shalawat untuk Nabi ‫ﷺ‬, tentunya dengan sholawat-sholawat yang disyariatkan dan
sholawat yang paling baik adalah shalawat ibrahimiyah yang disebutkan disitu nama Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam dan boleh membaca sholawat-sholawat yang lain dengan syarat tidak ada
didalamnya ghuluw terhadap Rasulullāh ‫ﷺ‬.

‫ص لَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه‬


َ Dan juga para keluarganya yaitu ahlul bait, mereka memiliki kedudukan
didalam agama Islam sehingga Nabi ‫ ﷺ‬pernah mengatakan ‫ُأ َذ ِّك ُر ُك ُم هللاَ َأ ْه ِل بَ ْيتِ ْي ُأ َذ ِّك ُر ُك ُم هللاَ َأ ْه ِل بَ ْيتِ ْي‬

Aku ingatkah kalian kepada Allāh ‫( ﷻ‬takutlah kalian kepada Allāh ‫ )ﷻ‬tentang keluargaku,
artinya Beliau ‫ ﷺ‬berpesan, karena Beliau ‫ ﷺ‬akan segera meninggal dunia dan meninggalkan
keluarga maka Beliau ‫ ﷺ‬memberikan pesan kepada kita untuk hormat terhadap keluarga Beliau
‫ﷺ‬, termasuk di antara cara penghormatannya adalah dengan kita mendoakan untuk keluarga
Beliau ‫ﷺ‬.

Dan yang dimaksud dengan ahlut bait adalah setiap muslim dan juga muslimah yang mereka
merupakan keturunan dari Abdul Muthalib termasuk diantaranya adalah anak-anaknya Abu
Tholib yang mereka masuk ke dalam agama Islam seperti Ali, Ja’far kemudian Aqīl, mereka
adalah anak-anak Abu Tholib dan mereka masuk ke dalam agama Islam. Mereka dan juga
keturunan mereka, muslim dan juga muslimah, adalah ahlul bait termasuk diantaranya adalah
anak-anaknya Abbas, keluarganya Abbas, kemudian Hasan dan Husein karena mereka adalah
anak dari Ali bin Abi Thalib dan mereka ahlul bait diharamkan untuk memakan dari zakat yang
wajib adapun shadaqoh maka Wallāhu A’lam masih diperbolehkan, yang dilarang adalah zakat
yang wajib maka tidak boleh mereka memakan dari harta zakat yang wajib.

Demikian ahlul sunnah wal jama’ah mereka memiliki kecintaan terhadap keluarga Nabi ‫ﷺ‬.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah adalah orang yang sangat mencintai para keluarga Nabi ‫ ﷺ‬dan ini
bantahan kepada orang-orang rafidhah yang mereka menuduh ahlussunnah wal jama’ah
bahwasanya mereka adalah nawāsib, orang yang menegakkan permusuhan kepada keluarga Nabi
‫ﷺ‬, tidak cinta kepada keluarga Nabi ‫ﷺ‬, tidak. Antum mendengarkan sendiri bagaimana para
masyaikh, para ulama ahlussunnah, para asatidzah senantiasa mereka mengulang-ulang kalimat
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو‬
‫صحْ بِ ِه‬ َ mendoakan untuk keluarga Nabi ‫ﷺ‬.

Adapun mereka misalnya dalam ketika disebutkan Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan shallallāhu ‘alaihi
wasallam tidak menyebutkan keluarga Nabi ‫ ﷺ‬bukan menunjukkan bahwasanya mereka benci
dengan keluarga Nabi ‫ﷺ‬, mereka juga mendoakan kebaikan untuk keluarga Nabi ‫ ﷺ‬tapi bukan
merupakan kewajiban ketika di sebutkan nama Nabi ‫ ﷺ‬kemudian harus disebutkan juga keluarga
Nabi ‫ﷺ‬. Sehingga orang yang tidak menyebutkan keluarga Nabi ‫ ﷺ‬dianggap adalah ciri-ciri
orang yang nawasib orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi ‫ﷺ‬, bukan demikian. Boleh
silahkan seandainya kita mengatakan shallallāhu ‘alaihi wa ‘ala ālihi wa sallam, tidak masalah,
jangan sampai dikatakan itu adalah sebuah kewajiban atau bahkan dikatakan itu adalah syiar
diantara syiar-syiar agama.

‫َو َسلَّ َم تسلي ًما َم ِزيدًا‬

Dan semoga salam dengan keselamatan yang bertambah untuk Nabi kita Muhammad ‫ﷺ‬, dan
yang dimaksud dengan salam adalah keselamatan yaitu selamat dari berbagai kejelekan baik di
dunia maupun di akhirat, dan bukan berarti bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬tidak selamat tapi makna dari
meminta kepada Allāh ‫ ﷻ‬semoga Allāh ‫ ﷻ‬memberikan keselamatan kepada Beliau ‫ ﷺ‬adalah
tambahan, tambahan keselamatan atau ditetapkan di atas keselamatan artinya diselamatkan oleh
Allāh ‫ ﷻ‬dan terus dijaga oleh Allāh ‫ ﷻ‬di dunia maupun di akhirat.

Jadi bukan berarti bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬tidak selamat sehingga harus didoakan oleh umatnya,
tidak, kita meminta kepada Allāh ‫ ﷻ‬semoga Allāh ‫ ﷻ‬terus menjaga Beliau ‫ ﷺ‬terus memberikan
keselamatan kepada Beliau ‫ ﷺ‬dan penyebutan shalawat dan salam, yaitu dua perkara ini,
mengikuti apa yang disebutkan oleh Allāh ‫ ﷻ‬di dalam Al-Qur’an, karena Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan

ْ ‫وا َعلَ ۡي ِه َو َسلِّ ُم‬


‫وا ت َۡسلِي ًما‬ ْ ُّ‫صل‬ ْ ُ‫( ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬QS. Al-Ahzab:56)
َ ‫وا‬

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kalian bersholawat untuknya, yaitu untuk Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬, dan hendaklah kalian mengucapkan salam untuk Beliau ‫ ﷺ‬dengan sebenar-
benar salam.

Jadi Allāh ‫ ﷻ‬memerintahkan dengan 2 perkara dari sini beliau mendatangkan dua-duanya,
bersholawat dengan mengatakan ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه‬
َ dan beliau juga mengucapkan salam dengan
mengatakan ‫َو َسلَّ َم تسلي ًما َم ِزيدًا‬

Disini beliau menggunakan sajak, awalnya beliau mengatakan ‫ َو َكفَى بِاهللِ َش ِهيدًا‬kemudian
mengatakan ‫ ِإ ْق َرارًا بِ ِه َوتَوْ ِحيدًا‬kemudian ‫ َو َسلَّ َم تسلي ًما َم ِزيدًا‬. Boleh seseorang menggunakan sajak dan ini
keindahan di dalam berbahasa, cuma tidak boleh seseorang takalluf, membebani diri diluar
kemampuannya. Kalau memang itu datang begitu saja dan dengan mudah dia mendatangkan
sajak tidak masalah, dan sampai sekarang para masyaikh ketika mereka berkhotbah dan ini adalah
keindahan di dalam bahasa Arab mereka juga sering menggunakan sajak ini.

Boleh-boleh saja yang penting jangan takalluf bahkan terkadang sampai takallufnya sehingga
maknanya menjadi rusak hanya karena ingin sajak tadi, kalau demikian maka tidak
diperbolehkan. Terkadang dalam doa pun dia takalluf, kalau memang doa tadi ada dari Nabi ‫ﷺ‬
maka tidak masalah seperti misalnya

ٍ ‫ َو ِم ْن قَ ْل‬,ُ‫ك ِم ْن ِع ْل ٍم اَل يَ ْنفَع‬


ٍ ‫ َو ِم ْن نَ ْف‬،ُ‫ب اَل يَ ْخ َشع‬
‫ َو ِم ْن َد ْع َو ٍة اَل يُ ْستَ َجابُ لَهَا‬،ُ‫س اَل تَ ْشبَع‬ َ ِ‫اللَّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ُعوْ ُذب‬

“Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’,
jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim:2722, an-Nasa’i
VIII/260).
Ini ada sajak tidak masalah, tapi kalau kita pas membuat doa sendiri dan kemudian kita takalluf
sehingga keluar dari makna yang sebenarnya dan menjauhkan kita dari kekhusyukan maka
dihindari yang demikian.

Halaqah 09 | Inti Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A ‫حفظه هلل‬
‫ تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
Halaqah yang ke-9 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang
ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.
Beliau mengatakan Rahimahullāh

‫َف َه َذا اعْ ِتقَا ُد ا ْلفِرْ َق ِة النَّا ِجيَ ِة ا ْل َم ْنصُ ورَ ِة ِإلَى ِقي َِام السَّاعَ ِة‬

I’tiqād yaitu keyakinan (aqidah) dan i’tiqād diambil dari kata ‘aqada yang artinya adalah
mengikat. Yang dimaksud dengan aqidah adalah sesuatu yang kita gunakan untuk
mengikat hati kita sehingga dia tidak bergerak kemana-mana dan itulah keyakinan dia,
dan i’tiqād atau aqidah itu terbagi menjadi dua, ada Al-Aqidah yang shahihah dan ada di
antaranya adalah aqidah yang Al-Bathilah.

Aqidah yang shahihah adalah aqidah yang berdasarkan Al-Qur’an, berdasarkan Hadits
Nabi ‫ ﷺ‬dengan pemahaman para salaf, ini adalah keyakinan yang benar, bersumber dari
sumber yang benar yaitu Al-Qur’an dan Hadits karena itu adalah wahyu dari Allāh ‫ﷻ‬.
Allāh ‫ ﷻ‬dialah yang mengabarkan kepada kita tentang keyakinan-keyakinan yang benar
tadi melalui Al-Qur’an dan Hadits, dengan pemahaman para salaf (pendahulu kita) yang
telah dipuji oleh Allāh ‫ﷻ‬, ini adalah aqidah yang benar.

Dan disana ada aqidah yang bathilah, ini adalah keyakinan-keyakinan yang digunakan
oleh sebagian orang untuk mengikat hatinya tapi dia tidak berdasarkan Al-Qur’an dan
hadits dengan pemahaman para salaf. Dan yang ingin disampaikan oleh beliau disini
adalah aqidahnya ‫ا ْلفِرْ َق ِة النَّا ِجيَ ِة‬. Beliau mengatakan

‫اعْ ِتقَا ُد ا ْلفِرْ َق ِة النَّا ِجيَ ِة‬

Aqidah dan keyakinan firqoh (kelompok) yang nājiyah, kelompok yang selamat. Pertama
adalah selamat dari perpecahan, mereka tidak menyimpang dari jalannya Rasulullāh ‫ﷺ‬
dan juga para sahabat dan kelompok ini adalah yang akan selamat dari nerakanya Allāh
‫ﷻ‬, sehingga dinamakan dengan an-nājiyah, kelompok yang selamat.

Diambil dari hadits di mana Rasulullāh ‫ ﷺ‬mengabarkan tentang adanya perpecahan


umat menjadi tujuh puluh tiga golongan kemudian Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan kulluha fīnnār
(semuanya masuk ke dalam neraka), perpecahan masuk ke dalam neraka illa wāhidah
(kecuali satu), berarti ada satu ini yang selamat dari perpecahan dan mereka selamat dari
nerakanya Allāh ‫ﷻ‬. Kemudian beliau mengabarkan bahwasanya golongan yang selamat
ini mereka adalah orang-orang yang menetapi jalan Beliau ‫ ﷺ‬dan juga jalan para
sahabatnya sehingga dinamakan mereka ini sebagai golongan yang selamat.

Semuanya ada tujuh puluh tiga firaq, tapi tujuh puluh dua firqah terancam dengan
neraka adapun satu firqoh maka merekalah yang selamat sehingga kelompok ini
dinamakan dengan Al Firqotun nājiyah, ini adalah golongan yang selamat. Di sana ada al
firq al hālikah (aliran-aliran yang binasa) dan di sana ada al-firqoh an-najiyah. Kalau kita
mengambil aqidah firoq tadi maka tempat ancamannya adalah sebagaimana dalam
hadits kulluha fīnnār, itu kalau kita mengambil aqidah mereka, aqidah khawarij, aqidah
mu’tazilah, aqidah murji’ah. Tapi kalau kita mengambil aqidahnya firqotun nājiyah maka
InsyaAllāh kita akan selamat, sebagaimana firqotun najiyah mereka selamat.

Yang akan beliau sampaikan dalam kitab ini bukan aqidahnya firoq (aliran-aliran yang
sesat) tapi yang akan beliau sampaikan adalah aqidah dari firqatun nājiyah (kelompok
yang selamat) yang disebutkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬dalam hadits tadi

‫ا ْل َم ْنصُ ورَ ِة‬

Dan mereka adalah golongan yang manshūroh (yang ditolong oleh Allāh ‫ )ﷻ‬diambil
dari hadits juga, Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan yang maknanya

‫ي َأمْ رُ اللَّ ِه‬


َ ‫ال تزال طائفة من امتي على الحق منصورة اَل يَضُ رُّ ُه ْم مَنْ خَ َذلَ ُه ْم واَل مَنْ خَ الَ َف ُه ْم حَ تَّى يَْأ ِت‬

Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang mereka berada di atas kebenaran,
berpegang teguh dengan kebenaran, Al-Qur’an dan hadits dengan pemahaman para
salaf, kemudian beliau mengatakan ‫( منصورة‬mereka akan senantiasa di tolong), mereka
ditolong karena mereka berada di atas kebenaran, orang yang berada di atas kebenaran,
istiqomah menyebarkan Al-Haqq berarti dia menolong Allāh ‫ ﷻ‬dan orang yang
menolong Allāh ‫ ﷻ‬dialah yang akan ditolong oleh Allāh ‫ﷻ‬

‫[ ِإنْ تَ ْنصُ رُ وا اللَّ َه يَ ْنصُ رْ ُك ْم؛ وَ يُثَ ِبّتْ َأ ْقدَا َم ُك ْم‬QS. Muhammad: 7]

Kalau kalian menolong Allāh ‫ ﷻ‬maka Allāh ‫ ﷻ‬akan menolong kalian dan menjadikan
kalian istiqomah di atas agama-Nya. Akan senantiasa ada diantara umat ini segolongan
mereka atau sekelompok mereka yang berada diatas kebenaran, merekalah yang
ditolong oleh Allāh ‫ﷻ‬

‫اَل يَضُ رُّ ُه ْم مَنْ خَ َذلَ ُه ْم واَل مَنْ خَ الَ َف ُه ْم‬

Tidak akan memudhoroti mereka orang yang meninggalkan mereka, ketika mereka
butuh pertolongan manusia meninggalkan tidak peduli dengan nasib mereka, maka ini
tidak memudhoroti mereka, yang akan menolong mereka Allāh ‫ﷻ‬, kemudian juga
‫واَل مَنْ خَ الَ َف ُه ْم‬

Dan orang-orang yang menyelisihi mereka juga tidak akan memudhoroti mereka,
senantiasa ditolong oleh Allāh ‫ ﷻ‬dimanapun mereka berada, di berikan istiqomah di
tengah-tengah fitnah

‫ي َأمْ رُ اللَّ ِه‬


َ ‫حَ تَّى يَْأ ِت‬

sampai datang perkara Allāh ‫ﷻ‬, yaitu dengan diutusnya angin yang apabila dihirup oleh
seorang yang beriman maka dia akan meninggal dunia.

ُ ‫ ا ْل َمن‬disini juga diambil dari hadits, golongan inilah yang akan


Berarti kalimat ‫ورَ ِة‬vv‫ْص‬
disebutkan oleh syaikhul Islam aqidah mereka, tentunya kita ingin mempelajari tentang
aqidah golongan yang selamat ini dan golongan yang ditolong oleh Allāh ‫ ﷻ‬supaya kita
ditolong oleh Allāh ‫ﷻ‬, supaya aqidah kita ini sama dengan aqidah mereka sehingga kita
ditolong oleh Allāh ‫ ﷻ‬sebagaimana mereka ditolong oleh Allāh ‫ﷻ‬

‫ِإلَى ِقي َِام السَّاعَ ِة‬

Aqidah Al-firqotun nājiyahAl-mansyuroh sampai datangnya hari kiamat. Yang dimaksud


dengan datangnya hari kiamat disini bisa diartikan yang pertama ilā qurbi qiyāmissā’ah,
sampai dekatnya datangnya hari kiamat, menjelang, bukan pas hari kiamat ketika ditiup
sangkakala yang pertama, tidak, tapi menjelang terjadinya qiyāmussā’ah, karena yang
akan menghadapi qiyāmussā’ah hanyalah orang-orang kuffar, meskipun bukan semua
orang kafir tapi yang saat itu menghadapi qiyāmussā’ah mereka adalah kuffar,
merekalah syirārul halq ‘indallāh sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Adapun seorang muslim maka dia tidak akan menemui qiyāmussā’ah, Allāh ‫ ﷻ‬dengan
rahmatnya akan mencabut nyawa mereka sebelum datangnya qiyāmussā’ah, yang
dimaksud dengan ‫ ِإلَى ِقي َِام السَّاعَ ِة‬adalah sampai menjelang datangnya hari kiamat dan ini
menunjukkan bagaimana aqidah ahlussunnah wal jama’ah ini adalah aqidah yang
tsabitah (aqidah yang kokoh), dia tidak akan berubah dimanapun dia, kapanpun dia,
sampai menjelang hari kiamat, sampai firqoh najiyah yang mereka yang terakhir di ambil
nyawanya oleh Allāh ‫ ﷻ‬aqidahnya sama dengan aqidah firqoh nājiyahyang sekarang
masih hidup, karena dia berdasarkan al-quran dan hadits dengan pemahaman para
sahabah.

Dan ada yang mengartikan ‫اعَ ِة‬v‫الس‬ َّ ‫ ِإلَى ِقي َِام‬disini adalah ilā qiyāmissā’ati mautihim, yaitu
sampai kematian mereka. Allāhu a’lam yang pertama itu yang lebih jelas menurut saya
yaitu sampai mendekati hari kiamat dan ini sesuai dengan yang ada dalam hadits tadi
‫ رُ اللَّ ِه‬vْ‫ي َأم‬
َ ‫ْأ ِت‬vَ‫ حَ تَّى ي‬sampai datang diutus angin yang barangsiapa diantara orang beriman
yang menghirup angin tadi dia akan meninggal dunia. Disebutkan dalam hadits yang
bahkan seandainya ada seorang yang beriman masuk ke dalam gunung niscaya angin
tadi akan mengikuti, artinya menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman saat
itu sekecil apapun iman dia, dia akan meninggal dunia dengan sebab menghirup angin
tadi.

ُّ ‫َأ ْه ِل ال‬
: ‫سنَّ ِة وَ ا ْلجَ مَاعَ ِة‬

Ahli sunnah wal jama’ah, ini adalah nama lain dari Al-firqoh An-Nājiyah (golongan yang
selamat), nama lain dari Ath-Thā’ifah Al-Manshūrah (golongan yang ditolong), mereka
adalah ahlussunnah wal jama’ah dan ini adalah isyarat bahwa sifat dari golongan yang
selamat dan tertolong tadi mereka adalah ahli didalam sunnah Nabi ‫ ﷺ‬dan sunnah Nabi
‫ ﷺ‬adalah jalan Rasulullāh ‫ﷺ‬, jalan hidup Rasulullāh ‫ ﷺ‬adalah Islam sehingga sunnah di
sini adalah Islam itu sendiri, Islam adalah jalan hidup Rasul ‫ ﷺ‬dan itulah jalan hidup kita.

Ahlussunnah adalah orang yang ahli di dalam Islam, kenapa mereka bisa dinamakan
dengan ahli, ahli ini adalah orang yang paling dekat dengan sesuatu. Ada seorang Arab
misalnya mengatakan āli ahli, isyarat kepada anaknya, kepada istrinya, kenapa
dinamakan ahli karena mereka adalah orang yang paling dekat dengan kita. Ahli waris
artinya adalah orang yang paling dekat dan dia adalah pewaris, dialah yang berhak
untuk mewarisi harta seseorang.

Dan ahlussunnah kenapa dinamakan dengan ahlul sunnah, karena mereka sangat dekat
dengan Islam yang dibawa oleh Nabi ‫ﷺ‬, bukan hanya sekedar mengaku saya adalah
muslim tapi mereka getol dalam mempelajari islam itu sendiri, ditelusuri oleh mereka,
dipelajari aqidahnya, dipelajari fiqihnya, sampai ada yang terus mengembangkan
ilmunya, belajar tentang Ushul fiqih, belajar tentang bahasa yang digunakan, ini adalah
sifat Ahlul Sunnah. Dan mereka bukan hanya mempelajari tapi mereka juga dekat dari
sisi pengamalan, mereka bukan hanya masalah aqidah yang mereka amalkan, tentang
tata cara shalatnya, bagaimana cara berpakaian mereka perhatikan, bagaimana mereka
bermuamalah dengan orang lain juga mereka perhatikan, ingin benar-benar
mempraktekkan Islam yang dibawa oleh Nabi ‫ ﷺ‬bukan hanya sekedar pengakuan atau
hiasan saja tapi benar-benar mereka praktekkan, merekalah ahlussunnah. Berarti kenapa
mereka selamat dan kenapa mereka ditolong, karena sifat ini, karena mereka ahli dalam
sunnah ‘ilman wa ‘amal (baik ilmu maupun amalan).

Halaqah 10 | Inti Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A ‫حفظه هلل‬
‫ تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
Halaqah yang ke-10 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang
ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.
Beliau mengatakan Rahimahullāh ‫وَ ا ْلجَ مَاعَ ِة‬

Dan mereka adalah ahli Al jama’ah, asalnya ahli sunnah ahli al jama’ah. Yang dimaksud
dengan jama’ah, ini adalah mashdar, Al jama’ah artinya adalah Al-ijtima’, sehingga
ahlussunnah wal jama’ah artinya adalah ahlussunnah wal ijtima’, mereka adalah ahli
dalam persatuan. Mereka dinamakan dengan ahli dalam persatuan karena mereka
menjaga persatuan umat Islam, yaitu persatuan mereka di atas jalan Nabi ‫ﷺ‬. Mereka
firqoh, mereka adalah sebuah kelompok, mereka adalah sebuah golongan tapi mereka
adalah golongan Nabi ‫ ﷺ‬yang terus berkumpul bersama Nabi ‫ ﷺ‬menetapi jalan Beliau
‫ ﷺ‬sampai mereka meninggal dunia.

Sehingga merekalah orang-orang yang menjaga persatuan, berbeda dengan aliran-


aliran yang menyimpang ke kiri dan juga menyimpang ke kanan mereka berarti tidak
sabar untuk berjalan di atas jalannya Rasul ‫ﷺ‬, maunya terpecahbelah, maunya berpisah-
pisah sehingga di sana ada ahlussunnah wal jama’ah dan di sana ada ahlul bid’ati
walfurqoh, karena bid’ah ini berarti mengharuskan adanya perpecahan. Adapun sunnah,
kalau semua kita mengamalkan maka ini akan membawa kita kepada persatuan, jadi
orang yang sebenarnya menjaga persatuan Islam, menjaga persatuan kaum muslimin
adalah ahlussunnah wal jama’ah, berarti aqidah mereka inilah yang akan kita pelajari,
aqidah firqoh yang selamat dan merekalah yang ditolong oleh Allāh ‫ ﷻ‬dan mereka
adalah orang yang ahli didalam sunnah dan merekalah yang menjaga persatuan umat,
aqidah mereka yang akan kita pelajari di dalam kitab ini.

Apa aqidah mereka yang menjadikan mereka memiliki sifat-sifat yang mulia seperti itu
aqidah mereka itu intinya adalah pada rukun iman yang enam, aqidah mereka dari
sekian banyak masa’il (permasalahan) aqidah, maka ini intinya adalah pada rukun iman
yang ke enam, sehingga beliau mengatakan di sini

ِ ‫ وَ ا ْلبَع‬،‫ ِل ِه‬v ‫س‬


‫ْث‬ ُّ ‫ َأ ْه ِل ال‬:‫اعْ ِتقَا ُد ا ْلفِرْ َق ِة النَّا ِجيَ ِة ا ْل َم ْنصُ ورَ ِة ِإلَى ِقي َِام السَّاعَ ِة‬
ِ ‫انُ ِبا‬vv‫سنَّ ِة وَ ا ْلجَ مَاعَ ِة وَ هُوَ اِإليم‬
ُ ُ‫ وَ ر‬،‫ ِه‬v‫ وَ ُكت ُِب‬،‫ ِه‬v ‫هلل وَ َمالَِئ َك ِت‬
َ َ‫َان ِبا ْل َقد َِر ِخي ِْر ِه و‬
‫ش ِرّ ِه‬ ِ ‫ واِإليم‬،‫ت‬ ِ ْ‫بَ ْع َد ا ْلمَو‬

Rukun iman yang enam, beriman kepada Allāh ‫ﷻ‬, malaikat malaikat-Nya, kitab kitab-
Nya, rasul rasul-Nya, dan beriman dengan kebangkitan setelah kematian, dan beriman
dengan takdir yang baik maupun yang buruk. Ini adalah rukun iman yang enam yang
disebutkan oleh Allāh ‫ ﷻ‬dalam Firman-Nya

ِ َ‫[ وَ ٰلَكِنَّ ۡٱل ِبرَّ م َۡن ءَامَنَ ِبٱللَّ ِه وَ ۡٱلي َۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ِر وَ ۡٱل َم ٰلَِٓئ َك ِة وَ ۡٱل ِك ٰت‬Al Baqarah:177]
َ‫ب وَ ٱلن َِّبِ‍يّۧن‬

yang Allāh ‫ ﷻ‬sebutkan didalam Firman-Nya

ُ ُ‫ُونَ ُك ٌّل ءَامَنَ ِبٱللَّ ِه وَ َم ٰلَِٓئ َك ِت ِهۦ وَ ُكت ُِب ِهۦ وَ ر‬


‫س ِل ِهۦ‬ ۚ ‫نز َل ِإلَيۡ ِه ِمن رَّ ِبّ ِهۦ وَ ۡٱلم ُۡؤ ِمن‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ءَامَنَ ٱلرَّ سُو ُل ِبمَٓا‬

ِ ‫[ وَ ِإلَيۡ كَ ۡٱلم‬Al Baqarah:285]


Kemudian setelahnya Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan ُ‫َصير‬

Berarti disebutkan lima rukun iman ditambah dengan rukun iman yang keenam yaitu
yang disebutkan oleh Allāh ‫ﷻ‬

‫شيۡ ٍء خَ لَقۡ ٰنَ ُه ِب َقد َٖر‬


َ ‫[ ِإنَّا ُك َّل‬Al Qamar:49]
Dan disebutkan oleh Allāh ‫ﷻ‬

ٗ ‫شيۡ ٖء َف َقدَّرَ ُهۥ تَقۡ ِد‬


‫يرا‬ َ ‫[ وَ خَ لَقَ ُك َّل‬Al Furqan:2]

Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan tentang keharusan kita untuk beriman
dengan takdir. Dan keenam rukun Iman ini disebutkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬dalam sebuah hadits
yaitu hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab
bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬ditanya oleh malaikat Jibril yang menjelma sebagai seorang laki-
laki beliau mengatakan

‫َأ‬
ِ ‫َف خْ ِبرْ نِيْ عَ ِن اِإل ْيم‬
‫َان‬

Dan kabarkan kepadaku tentang masalah Iman, kemudian Nabi ‫ ﷺ‬menjawab

ُ ُ‫َأنْ تُْؤ مِنَ ِباللَّ ِه وَ َمالَِئ َك ِت ِه وَ ُكت ُِب ِه وَ ر‬


‫ وَ تُْؤ مِنَ ِبا ْل َقد ِْر خَ ي ِْر ِه وَ ش َِّر ِه‬,‫ وَ ا ْليَوْ ِم اآل ِخ ِر‬،‫س ِل ِه‬

Itu adalah dalil yang menunjukkan tentang rukun Iman yang enam ini, jadi rukun iman
yang enam ini adalah inti dari aqidah ahlussunnah wal jama’ah sehingga tidak heran
ketika misalnya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika beliau menulis kitab
Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang beliau tulis adalah penjelasan dari rukun iman
yang enam. Demikian pula Syaikh bin Baz kalau tidak salah beliau juga mengarang
sebuah kitab yang judulnya Al Aqidah shahihah wa ma yudhoduha, aqidah yang benar
dan apa yang bertentangan dengannya, beliau juga bahas penjelasan tentang rukun
iman yang enam.

Jadi inti dari aqidah kita umat Islam adalah benar rukun iman yang enam ini sehingga
kalau kita ingin mengajari aqidah kepada orang lain maka ajarkanlan kepada mereka
rukun iman yang enam. Beriman kepada Allāh ‫ ﷻ‬yang didalamnya ada iman kepada
rububiyah Allāh ‫ﷻ‬, kepada uluhiyah Allāh ‫ﷻ‬, kepada nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬.
Kemudian beriman dengan malaikat bahwasanya malaikat ini ada, dia adalah makhluk
Allāh ‫ ﷻ‬yang memiliki sifat baik sifat yang ma’nawi maupun sifat yang khalqi, maka kita
beriman dengan nama-namanya dengan sifat-sifatnya sesuai dengan apa yang ada
dalam dalil.

Kemudian juga kita beriman dengan kitab-Nya, bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬menurunkan kitab
kepada manusia lewat para rasul, yang didalamnya ada petunjuk, ada diantaranya yang
diberitahukan kepada kita tentang namanya, ada di antaranya tidak diberitahukan
kepada kita tentang namanya. Jadi kita yakini bahwasanya kitab tersebut yang paling
akhir adalah Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya ini adalah di mansukh dengan Al-
Qur’an, kewajiban kita adalah beramal dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an.

Beriman dengan para rasul, bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬mengutus para rasul kepada manusia
dan masing-masing umat diutus kepadanya Rasul dan kewajiban kita adalah beriman
secara global dan Allāh ‫ ﷻ‬mengutus para rasul, ada di antara yang diberitahukan
kepada kita namanya dan ada diantaranya yang tidak diberitahukan kepada kita. Maka
yang diberitahukan kepada kita, kita tetapkan namanya dan adapun beriman dengan
Rasulullāh ‫ ﷺ‬maka ini beriman secara terperinci karena kita diperintahkan untuk
mengikuti syariat Beliau ‫ﷺ‬.

Kemudian juga beriman dengan hari akhir, yaitu beriman dengan seluruh apa yang
terjadi setelah kematian, baik adzab kubur maupun nikmat kubur, kemudian hari
kebangkitan kepada Mahsyar, hari dikumpulkannya manusia, dihisabnya manusia
kemudian sampai masuknya manusia ke dalam surga dan juga neraka.

Beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk dan bahwasanya Allāh ‫ﷻ‬
mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya dan Allāh ‫ ﷻ‬menulis segala sesuatu dan
tidak lah terjadi sesuatu kecuali dengan kehendak Allāh ‫ ﷻ‬dan sesuai dengan kehendak
Allāh ‫ﷻ‬, kemudian juga bahwasanya segala sesuatu adalah dengan diciptakan oleh Allāh
‫ﷻ‬, ini adalah penjelasan secara singkat dari beriman dengan enam perkara ini.

ِ ْ‫ْث بَ ْع َد ا ْلمَو‬
Tadi disebutkan oleh beliau disini ‫ت‬ ِ ‫وَ ا ْلبَع‬

Dan beriman dengan kebangkitan setelah kematian, dan dalam lafadz yang lain wal
yaumil ākhir, beriman dengan hari akhir, yang beliau datang kan di sini adalah satu
ِ ‫وَ ا ْلبَع‬
lafadz di dalam sebuah riwayat, ada memang di sebagian riwayat disebutkan ‫ْث بَ ْع َد‬
‫ت‬ِ ْ‫ ا ْلمَو‬yaitu beriman dengan kebangkitan setelah kematian.

Dan didalam sebuah hadits ketika Nabi ‫ ﷺ‬kedatangan sebuah rombongan, utusan dari
sebuah qabilah, maka beliau memerintahkan kepada mereka dengan lima perkara, yaitu
beriman kepada Allāh ‫ﷻ‬, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan beriman
dengan kebangkitan setelah kematian. Sebagaimana kita tahu bahwasanya orang-orang
kafir saat itu mereka mengingkari kebangkitan setelah kematian, kalau kebangkitan
setelah kematian saja diingkari apalagi pengumpulan, hisab, surga dan neraka, bangkit
saja tidak. Karena ini adalah inti dari pengingkaran itu semua sehingga disebutkan oleh
Nabi ‫ ﷺ‬beriman dengan kebangkitan, karena ketika sudah beriman dengan kebangkitan
berarti dia konsekuensinya ada di sana hisab, di sana ada hasyr dan seterusnya.

ِ ْ‫ْث بَ ْع َد ا ْلمَو‬
Makanya disini beliau menggunakan lafadz ini ‫ت‬ ِ ‫وَ ا ْلبَع‬

Kemudian beliau menjelaskan disini ‫هلل‬


ِ ‫َان ِبا‬
ِ ‫وَ مِنَ اإليم‬

Diantara beriman kepada Allāh ‫ ﷻ‬adalah

َ َ‫ف و‬v
‫ال‬ ٍ v‫ر تَحْ ِري‬vِ v‫لم ؛ مِنْ َغ ْي‬v‫ه وس‬vv‫لى هللا علي‬vv‫ولُ ُه مُحَ َّم ٌد ص‬v‫س‬ ُ َ‫ ِه ر‬v‫ َف ُه ِب‬v‫ص‬ ِ v‫ ِه ا ْلع َِزي‬v‫س ُه ِفي ِك ِت ِاب‬
َ َ‫ا و‬vv‫ وَ ِب َم‬،‫ز‬v َ ‫اِإليمَانُ ِبمَا وَ صَ فَ ِب ِه نَ ْف‬
‫ ٍل‬vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv‫ف وَ الَ تَمْ ِثي‬vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
ٍ ‫ر تَ ْك ِيي‬vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
ِ ‫ وَ مِنْ َغ ْي‬،‫ ٍل‬vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv‫ْطي‬ ِ ‫تَع‬
ُ‫َصير‬
ِ ‫سمِيعُ الب‬ َ ‫هللا ِ لَيْسَ َك ِم ْث ِل ِه‬
َّ ‫شيْ ٌء وَ هُوَ ال‬ ‫َأ‬
َ َّ‫بَ ْل يُْؤ ِمنُونَ ِب ن‬
Beliau mengatakan ‫هلل‬
ِ ‫َان ِبا‬
ِ ‫وَ مِنَ اإليم‬

Diantara iman kepada Allāh ‫ﷻ‬, setelah beliau menyebutkan secara global maka beliau
ingin menjelaskan sekarang tentang rukun iman yang pertama namun yang beliau
jelaskan pada rukun iman yang pertama ini tidak secara keseluruhan, beliau tidak
berbicara terlebih dahulu tentang rububiyah kemudian uluhiyah tapi langsung berbicara
tentang masalah nama dan juga sifat Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan ‫هلل‬
ِ ‫َان ِبا‬
ِ ‫وَ مِنَ اإليم‬

Diantara iman kepada Allāh ‫ﷻ‬, dan setelahnya beliau akan berbicara tentang iman
kepada nama dan juga sifat Allāh ‫ ﷻ‬secara panjang lebar. Dimulai dengan kaidah secara
umum dan ini bagusnya kitab beliau dan seperti yang sudah kita sebutkan bahwasanya
kitab ini adalah kitab yang sangat bernilai dan sangat berharga.

Beliau memulai dengan kaidah secara umum, bagaimana ahlussunnah wal jama’ah, Al
firqotun nājiyah, Ath-Thā’ifah Al-Manshūrah, mereka memahami nama dan juga sifat
Allāh ‫ﷻ‬, akan beliau sebutkan kaidah nya secara umum, kemudian setelah itu akan
diperinci dengan menyebutkan satu persatu dari sifat-sifat Allāh ‫ ﷻ‬yang Allāh ‫ﷻ‬
sebutkan dalam Al-Qur’an atau yang disebutkan oleh Rasulullāh ‫ ﷺ‬didalam sunnah
Beliau ‫ﷺ‬.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya

Halaqah 11 | Beriman Kepada Sifat-Sifat Yang Allāh ‫ ﷻ‬Sandangkan Pada Diri-Nya Di Dalam
Kitab-Nya Dan Sifat-Sifat Yang Rasul-Nya Sandangkan Pada-Nya Bag 01  Ustadz Dr. Abdullah
Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬ Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
Halaqah yang ke-11 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang
ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Beliau mengatakan ِ‫ان بِاهلل‬


ِ ‫َو ِمنَ اإلي َم‬

Dan termasuk iman kepada Allāh ‫ﷻ‬, merupakan rukun iman yang pertama dan disini beliau akan
berbicara tentang beriman dengan nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬, mengapa beliau tidak berbicara
tentang masalah rububiyah Allāh ‫ ﷻ‬dan juga uluhiyah Allāh ‫ﷻ‬. Wallāhu a’lam mungkin beliau
ingin mengkonsentrasikan tentang masalah nama dan juga sifat ini karena sebagaimana yang
sudah kita sampaikan bahwa asal dari Al aqidah Al wasithiyah ini adalah permintaan dari seorang
qadhi yang berasal dari Wāsith yang dia mengabarkan tentang keadaan daerahnya, dan mungkin
di antara yang disebutkan oleh qadhi tersebut adalah penyimpangan manusia di dalam masalah
nama dan juga sifat Allāh ‫ ﷻ‬sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beliau ingin
mengkonsentrasikan dan memperbanyak tentang masalah beriman kepada nama dan juga sifat
Allāh ‫ﷻ‬, Allāhu a’lam.

Maka beliau mengatakan ِ‫ان بِاهلل‬


ِ ‫ َو ِمنَ اإلي َم‬termasuk beriman kepada Allāh ‫ ﷻ‬adalah

‫صفَهُ بِ ِه َرسُولُهُ ُم َح َّم ٌد صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫صفَ بِ ِه نَ ْف َسهُ فِي ِكتِابِ ِه ْال َع ِز‬
َ ‫ َوبِ َما َو‬،‫يز‬ َ ‫اِإل ي َمانُ بِ َما َو‬
Beriman dengan apa-apa yang Allāh ‫ ﷻ‬sifati diri-Nya di dalam kitab-Nya, َ‫ص ف‬
َ ‫ َو‬disini ini
fa’ilnya adalah dhamir mustatir taqdiru huwa kembali kepada Allāh ‫ﷻ‬.

Termasuk beriman kepada Allāh ‫ ﷻ‬kita beriman, kita meyakini, kita percaya, kita menetapkan
dan juga mempercayai apa yang Allāh ‫ ﷻ‬sifati diri-Nya di dalam kitab-Nya, yaitu dengan
percaya dengan sifat-sifat Allāh ‫ ﷻ‬yang telah Allāh ‫ ﷻ‬kabarkan sifat-sifat-Nya tersebut didalam
kitab ini maka ini termasuk beriman kepada Allāh ‫ﷻ‬, dan insya Allāh namanya orang yang
beriman, beriman kepada rukun Iman.

Kalau masing-masing kita memang mengakui dan mempercayai, beriman kepada Allāh ‫ ﷻ‬maka
ketahuilah termasuk di antara iman kepada Allāh ‫ ﷻ‬adalah beriman dengan sifat Allāh ‫ ﷻ‬yang
telah Allāh ‫ ﷻ‬kabarkan kepada kita di dalam kitab-Nya. Kita imani, kita yakini bahwasanya itu
adalah sifat Allāh ‫ﷻ‬. Misalnya di dalam kitab Allāh ‫ﷻ‬, di dalam Al-Qur’an, Allāh ‫ﷻ‬
mengabarkan tentang bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬memiliki sifat tinggi ‫[ َءَأ ِمنتُم َّمن ِفي ٱل َّس َمٓا ِء‬Al Mulk:16]
Apakah kalian merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas.

Diantara sifat Allāh ‫ ﷻ‬yang Allāh ‫ ﷻ‬sebutkan dalam Al-Qur’an, Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan ُ‫بَ ۡل يَدَاه‬
ِ ‫[ َم ۡبسُوطَت‬Al Ma’idah:64] Akan tetapi kedua tangan Allāh ‫ ﷻ‬terbentang.
‫َان‬

Diantara sifat Allāh ‫ ﷻ‬yang Allāh ‫ ﷻ‬sebutkan di dalam Al-Qur’an bahwasanya Allāh ‫ﷻ‬
memiliki pendengaran, Allāh ‫ ﷻ‬memiliki penglihatan dan dalil-dalil yang lain dan sebentar lagi
InsyaAllāh akan kita pelajari bersama sebagian dari ayat-ayat didalam Al-Qur’an yang
menyebutkan tentang sifat Allāh ‫ﷻ‬. Allāh ‫ ﷻ‬telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an, banyak
ayat yang berisi tentang sifat-sifat Allāh ‫ﷻ‬. Tidaklah kita membuka satu halaman di dalam
mushaf kecuali akan kita dapatkan di situ sifat Allāh ‫ﷻ‬, Allāh ‫ ﷻ‬mengabarkan kepada kita
sebagian sifat-sifat-Nya di dalam Al-Qur’an. Termasuk di antara iman kita kepada Allāh ‫ ﷻ‬dan
keyakinan kita kepercayaan kita kepada Allāh ‫ ﷻ‬adalah kita menetapkan dan kita mengimani,
membenarkan apa yang Allāh ‫ ﷻ‬tetapkan di dalam kitab-Nya berupa sifat-sifat-Nya.

Apakah hanya di dalam Al-Qur’an Allāh ‫ ﷻ‬menyebutkan sifat-Nya, tidak. Ada di antara sifat-
sifat Allāh ‫ ﷻ‬yang Allāh ‫ ﷻ‬sebutkan melalui lisan rasul-Nya kalau kita cari dalam Al-Qur’an
tidak ada tapi disebutkan oleh Rasulullāh ‫ ﷺ‬dan dia juga adalah termasuk Wahyu

ٓ ٰ ‫ق ع َِن ۡٱلهَ َو‬


]3:‫ى [ الـنحـم‬ ُ ‫نط‬
ِ َ‫ َو َما ي‬Dia yaitu Muhammad ‫ ﷺ‬tidak berbicara dari hawa nafsunya

]4:‫ي يُو َح ٰى [ الـنحـم‬ٞ ‫ ِإ ۡن هُ َو ِإاَّل َو ۡح‬Tidaklah itu kecuali Wahyu yang diwahyukan kepada Beliau ‫ﷺ‬.

Itu adalah wahyu, sebagaimana Al-Qur’an adalah wahyu maka ucapan dan sunnah Nabi ‫ ﷺ‬juga
merupakan wahyu yang harus kita yakini ‫صفَهُ بِ ِه َرسُولُهُ ُم َح َّم ٌد صلى هللا عليه وسلم‬
َ ‫َوبِ َما َو‬

Dan beriman dengan apa yang ُ‫ َرسُولُه‬, utusan-Nya nabi Muhammad ‫ ﷺ‬telah mensifati Allāh ‫ﷻ‬
dengan sifat tersebut.

Allāh ‫ ﷻ‬memilih nabi kita Muhammad ‫ ﷺ‬untuk menjadi rasul, menjadi utusan, utusan Allāh ‫ﷻ‬
untuk kita, menjadi perantara antara Dia dengan kita. Diantara yang Beliau ‫ ﷺ‬bawa adalah
tentang sifat-sifat Allāh ‫ﷻ‬, Allāh ‫ ﷻ‬mengabarkan kepada Beliau ‫ ﷺ‬diantara sifat Allāh ‫ﷻ‬
adalah demikian dan demikian dikabarkan kepada kita, maka termasuk beriman kepada Allāh ‫ﷻ‬
adalah kita mensifati Allāh ‫ ﷻ‬dengan sifat yang dikabarkan oleh Rasulullāh ‫ﷺ‬.
Ini termasuk iman kita kepada Allāh ‫ ﷻ‬yang harus dilakukan oleh seorang yang beriman dan ini
menunjukkan kepada kita isyarat dari mu’allif bahwasanya yang namanya nama dan juga sifat
Allāh ‫ ﷻ‬ini adalah tauqifiyah yaitu kita menerima jadi dan bahwasanya tidak boleh kita
menetapkan sifat Allāh ‫ ﷻ‬kecuali berdasarkan dalil. Dari mana dalil tersebut kita dapatkan, dari
kitabihi atau dari sunnah Rasulullāh ‫ﷺ‬, tidak boleh kita mengada-ngada membuat sifat diantara
sifat-sifat Allāh ‫ ﷻ‬atau mengada-ngada nama diantara nama-nama Allāh ‫ﷻ‬. Kembali kepada
dalil, apa yang memang datang di dalam dalilnya kita tetapkan yang tidak ada dalilnya maka
tidak boleh kita tetapkan.

Kemudian di antara yang bisa kita ambil faedahnya dari ucapan beliau

ُ‫صفَ بِ ِه نَ ْف َسه‬
َ ‫ اِإل ي َمانُ بِ َما َو‬:ِ‫ان بِاهلل‬
ِ ‫َو ِمنَ اإلي َم‬

dan seterusnya, di sana ada yang dinamakan dengan isbat yaitu menetapkan, jadi termasuk
beriman kepada Allāh ‫ ﷻ‬adalah kita menetapkan, yaitu menetapkan apa yang Allāh ‫ ﷻ‬tetapkan
untuk diri-Nya dan menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullāh ‫ ﷺ‬untuk Allāh ‫ﷻ‬.
Maka nama dan juga sifat yang Allāh ‫ ﷻ‬tetapkan dan juga Rasulullāh ‫ ﷺ‬tetapkan kita sebagai
orang yang beriman harus menetapkan, tidak ada pilihan yang lain, kata para salaf hendaklah
ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَ ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َءا ِمن‬
kalian jalankan sebagaimana datangnya. Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan ‫وا بِٱهَّلل ِ َو َر ُس ولِِۦه‬
]136:‫[ النساء‬

Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allāh ‫ ﷻ‬dan juga rasul-Nya

Kita disuruh untuk beriman, disuruh untuk percaya, meyakini Allāh ‫ ﷻ‬dan juga rasul-Nya, di
antaranya adalah termasuk masalah nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬.

Kemudian setelah itu beliau memberikan kaidah yang lain, pertama kita tetapkan kemudian
beliau menambah kaidah yang lain dan ini adalah kaidah yang penting yang harus kita pahami
sebelum kita masuk pada perincian penyebutan sifat-sifat Allāh ‫ ﷻ‬di dalam Al-Qur’an maupun
di dalam hadits.

Yang akan beliau sebutkan di sini adalah kaidah-kaidah yang penting yang di atasnya Ahlul
sunnah wal jamaah yang insya Allāh dengan kita memegang kaidah ini apapun yang sampai
kepada kita tentang sifat Allāh ‫ ﷻ‬tidak akan masalah bagi kita, bukan sesuatu yang musykilah,
bukan sesuatu yang problem bagi kita selama kita memegang kaidah.

Dan kaidah yang beliau sebutkan di sini adalah kaidah para salaf kaidah yang berjalan di atasnya
para sahabah, para tabi’in, para tabi’-tabi’in, inilah aqidah ahlussunnah wal jamaah dari zaman
dahulu dan sampai dekatnya hari kiamat, mereka menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allāh ‫ﷻ‬
dan juga Rasul-Nya, bukan menolak, Allāh ‫ ﷻ‬menetapkan kemudian ada di antara manusia yang
menafikan. Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬memiliki sifat Rahmah, ada sebagian
orang menolak Allāh ‫ ﷻ‬tidak memiliki sifat Rahmah karena sifat kasih sayang ini seperti
makhluk. Allāh ‫ ﷻ‬menetapkan bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬memiliki dua tangan, ada sebagian orang
mengatakan tidak, Allāh ‫ ﷻ‬tidak memiliki dua tangan. Ini berarti bukan menetapkan apa yang
Allāh ‫ ﷻ‬tetapkan tapi dia menolak, menafikan apa yang Allāh ‫ ﷻ‬tetapkan, tentunya ini
bertentangan dengan ikrar kita terhadap Allāh ‫ ﷻ‬dan iman kita kepada Allāh ‫ ﷻ‬dan juga rasul-
Nya.
Halaqah 12 | Beriman Kepada Sifat-Sifat Yang Allāh ‫ ﷻ‬Sandangkan Pada Diri-Nya Di Dalam
Kitab-Nya Dan Sifat-Sifat Yang Rasul-Nya Sandangkan Pada-Nya Bag 02  Ustadz Dr. Abdullah
Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬ Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Kemudian beliau mengatakan ‫يل‬ ٍ ِ‫ َو ِم ْن َغي ِْر تَ ْكي‬،‫يل‬


ٍ ِ‫يف َوالَ تَ ْمث‬ ِ ‫يف َوالَ تَع‬
ٍ ‫ْط‬ ٍ ‫ِم ْن َغي ِْر تَحْ ِر‬

Ahlul sunnah wal jamaah mereka menetapkan apa yang Allāh ‫ ﷻ‬dan juga rasul-Nya tetapkan
ٍ ‫ ِم ْن َغي ِْر تَحْ ِر‬, tanpa mereka melakukan taḥrīf.
sebagaimana datangnya namun ‫يف‬

Dan taḥrīf secara bahasa artinya adalah taghyīr, merubah dan perubahan di sini bisa merubah
dengan cara menambah huruf atau mengurangi huruf atau bisa juga dengan merubah harokat,
berarti perubahan di sini bisa berupa perubahan yang berkaitan dengan lafadz dari sifat tersebut.

Maka ini termasuk taḥrīf, contohnya adalah apa yang dilakukan oleh sebagian mereka ketika
membaca firman Allāh ‫ﷻ‬

‫[ َو َكلَّ َم ٱهَّلل ُ ُمو َس ٰى ت َۡكلِ ٗيما‬An-Nisa’:164]

Kemudian merubahnya, merubah harokat lafdzul jalālah menjadi fatha, kemudian membacanya
‫و َكلَّ َم ٱهَّلل ُمو َس ٰى ت َۡكلِ ٗيما‬,
َ dirubah harokat. Harokat yang asalnya adalah ُ ‫ َو َكلَّ َم ٱهَّلل‬berarti Allāh ‫( ﷻ‬lafdzul
jalālah) di sini sebagai fa’il, Allāh ‫ ﷻ‬yang kallam (berbicara) kepada Musa sesuai dengan
keagungan-Nya, dengan pembicaraan yang sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan
bicaranya makhluk, demikian ahlus sunnah menetapkan. Namun al-muḥarrif (orang yang ingin
merubah, mentaḥrīf) dia rubah harokatnya dan mengatakan dan membacanya ‫َو َكلَّ َم ٱهَّلل ُمو َس ٰى ت َۡكلِ ٗيما‬

Dan Musa berbicara kepada Allāh ‫ﷻ‬, dibalik, bukan Allāh ‫ ﷻ‬yang berbicara kepada Musa tapi
Musa yang berbicara kepada Allāh ‫ﷻ‬, maka ini termasuk taḥrīf lafdzi, perubahan yang berkaitan
dengan lafadz, ahlul sunnah tidak melakukan yang demikian. Nabi Musa ‘alaihissalam adalah
kalimullāh, ini adalah keistimewaan yang Allāh ‫ ﷻ‬berikan kepada beliau karena Allāh ‫ﷻ‬
berbicara dengan beliau, tidak semua nabi Allāh ‫ ﷻ‬berbicara langsung kepada mereka, Allāh ‫ﷻ‬
mengatakan

ُ ۖ ‫ض ِّم ۡنهُم َّمن َكلَّ َم ٱهَّلل‬ َ ‫ك ٱلرُّ ُس ُل فَض َّۡلنَا بَ ۡع‬


ٖ ۘ ‫ضهُمۡ َعلَ ٰى بَ ۡع‬ َ ‫[ تِ ۡل‬Al Baqarah:253]

Ada diantara mereka yang Allāh ‫ ﷻ‬berbicara kepadanya, termasuk diantaranya adalah Nabi
Musa.

Kalau dibaca ‫ َو َكلَّ َم ٱهَّلل ُمو َس ٰى ت َۡكلِ ٗيما‬Musa berbicara kepada Allāh ‫ﷻ‬, maka hamba-hamba Allāh ‫ﷻ‬
mereka semuanya pernah berbicara kepada Allāh ‫ﷻ‬, ketika mereka mengatakan ya Allāh ‫ ﷻ‬ya
Rabb berbicara kepada siapa, mereka tidak lain kecuali mereka berbicara kepada Allāh ‫ﷻ‬. Kalau
hamba yang berbicara kepada Allāh ‫ ﷻ‬maka hamba-hamba Allāh ‫ ﷻ‬mereka berbicara kepada
Allāh ‫ ﷻ‬di dalam dzikirnya didalam doanya.

Maka ini dinamakan dengan taḥrīf lafdzi, dan di sana ada taḥrīf merubah dari sisi makna seperti
misalnya orang yang memaknai istawa yang asalnya adalah ‘ala wartafa’a, washa’ada wastaqarr,
meninggi, kemudian merubah namanya menjadi istawla (‫ )اِ ْستَوْ لَى‬yang artinya adalah menguasai.
Maka ini merubah makna yang benar yang sesuai dengan bahasa Arab, kemudian dirubah dengan
istawla dan al-mutaakhirūn mereka menamakan tahrifun ma’nawi ini dengan takwil, dan
hakikatnya adalah tahrifun ma’nawiun, ini adalah merubah dari sisi maknanya cuma mereka
datangkan istilah-istilah yang baru sesuai dengan keinginan mereka untuk mengelabui manusia,
seakan-akan dengan kalimat tersebut mereka adalah orang yang akalnya matang, orang yang
pandai, orang yang lebih paham tentang Al-Qur’an, ini adalah takwilnya, maka ini dinamakan
dengan tahrifun maknawiyun.

Ahlul sunnah tidak melakukan yang demikian, ahlul sunnah wal jamaah memaknai sifat-sifat
Allāh ‫ ﷻ‬dengan makna yang benar, yang sesuai dengan bahasa Arab, sesuai dengan apa yang
dipahami oleh para salaf, bukan memaknai istawa dengan istawla dan akan datang pembahasan
khusus tentang sifat Allāh ‫ ﷻ‬istawa.

Kemudian ‫يل‬ ِ ‫َوالَ تَع‬


ٍ ‫ْط‬

Dan mereka tidak menta’thīl, ta’thīl dalam bahasa Arab artinya adalah mengosongkan atau
mengingkari. Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan wabi’ri muaththola, dan sumur yang kosong yang
ditinggalkan orang tidak dipakai, itu dinamakan dengan bi’r muaththola

‫يل‬ ِ ‫َوالَ تَع‬


ٍ ‫ْط‬

Mereka ahlussunnah wal jama’ah menetapkan tanpa mereka menta’thīl, yang dimaksud
menta’thīl dengan sifat Allāh ‫ ﷻ‬diantaranya adalah mengingkari, mengingkari sifat Allāh ‫ﷻ‬.
Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan istawa dia mengatakan Allāh ‫ ﷻ‬tidak istawa tapi istawla, berarti di sini dia
mengingkari, mengingkari terlebih dahulu baru setelah itu dia mentaḥrīf, jadi dua-duanya
sekaligus.

Karena ketika dia mengatakan tidak istawa berarti dia mengosongkan, mengingkari sifat Allāh
‫ﷻ‬, ketika dia mengatakan tapi adalah istawla berarti di sini dia mentaḥrīf maknanya. Berarti
setiap muḥarrif adalah muaththi, setiap orang yang mentaḥrīf berarti dia muaththi, tidaklah dia
mentaḥrīf kecuali dia menta’til terlebih dahulu. Dia mengatakan tidak istawa ini ta’til, setelah itu
dia mengatakan tapi istawla di sini mentaḥrīf.

Apakah setiap yang muaththil dia muḥarrif, belum tentu. Ada sebagian yang dia muaththil, dia
mengingkari dan dia tidak mendatangkan makna yang baru, hanya mengatakan Allāh ‫ ﷻ‬tidak
beristiwa, di situ saja tanpa dia mendatangkan makna yang baru, maka ini berarti muaththil saja.
Berarti kullu muḥarrifin muaththil, wa laysa kullu muaththilin muḥarrif.

Jadi terkadang seseorang menta’til sifatnya dan terkadang seorang menta’til lafadznya dan juga
terkadang menta’til maknanya. Maka Ahlussunnah Wal jamaah tidak melakukan ta’til, mereka
beriman kepada nama dan juga sifat Allāh ‫ ﷻ‬yang sudah Allāh ‫ ﷻ‬dan juga rasul-Nya tetapkan.
Bagaimana mereka berani untuk menafikan apa yang Allāh ‫ ﷻ‬tetapkan, mereka adalah orang-
orang yang biasa, tunduk terhadap kabar-kabar Allāh ‫ﷻ‬, apa yang Allāh ‫ ﷻ‬kabarkan kepada
mereka, mereka benarkan. Yu’minūna bil ghaib, mereka adalah orang-orang yang beriman
dengan perkara yang ghoib, dan nama dan juga sifat Allāh ‫ ﷻ‬ini adalah perkara yang ghoib ‫ِم ْن‬

‫يل‬ ِ ‫يف َوالَ تَع‬


ٍ ‫ْط‬ ٍ ‫ َغي ِْر تَحْ ِر‬.
Dan muaththila disini mereka bertingkat-tingkat, ada diantara mereka yang mengingkari nama
Allāh ‫ ﷻ‬dan juga sifat-Nya seperti jahmiyah, ada diantara mereka yang menetapkan nama dan
juga mengingkari sifat, dan ada diantara mereka yang menetapkan nama, menetapkan sebagian
sifat dan mengingkari sebagian sifat, ini juga termasuk muaththila. Mereka bertingkat-tingkat
semuanya masuk di dalam muaththila yaitu orang-orang yang menta’til.

ٍ ِ‫َو ِم ْن َغي ِْر تَ ْكي‬


ٍ ِ‫يف َوالَ تَ ْمث‬
Kemudian beliau mengatakan ‫يل‬

Dan mereka menetapkan sifat Allāh ‫ ﷻ‬tanpa takyīf, dari kata kayyafa – yukayyifu – takyīfan,
artinya adalah ja’ala lillahi kaifiyyah, menentukan bagi Allāh ‫ ﷻ‬atau membuat bagi Allāh ‫ﷻ‬
kaifiyyah yaitu cara, menentukan bagaimananya, menentukan kaifiyahnya inilah makna kayyaf.
Dan bukan yang dimaksud dengan takyīf disini adalah bertanya bagaimana, tidak. Bertanya
tentang bagaimana Allāh ‫ﷻ‬, betul ini adalah pertanyaan yang tidak benar, bertanya tentang
bagaimananya ini adalah tidak benar dan ini adalah bid’ah dalam agama tapi itu tidak dinamakan
dengan takyīf.

Takyīf artinya adalah menentukan kaifiyyah, kayyafa – yukayyifu – takyīfan artinya adalah ja’ala
lahu kaifiyyah. Seandainya ada pertanyaan apa yang dimaksud dengan takyīf jangan dijawab
bertanya tentang bagaimana, bukan bertanya, tapi takyīf adalah menentukan kaifiyyah.
Ahlussunnah Wal jama’ah tidak menentukan kaifiyyah, tidak menentukan Allāh ‫ ﷻ‬itu tangannya
seperti ini, Allāh ‫ ﷻ‬istiwanya seperti ini, Ahlul sunnah tidak melakukan yang demikian.

Mereka mengatakan Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa tapi sama sekali mereka tidak menentukan bagaimana
Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa, nanti akan disebutkan kenapa mereka tidak melakukan yang demikian. Jadi
tidak ada kelaziman menetapkan Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa atau Allāh ‫ ﷻ‬memiliki sifat, kemudian pasti
kita ini menentukan kaifiyyah, tidak, bukan merupakan kelaziman bahwa Isbat mengharuskan
kita untuk menentukan kaifiyyah.

Kita meyakini adanya malaikat dan bahwasanya dia memiliki sayap dan kita memahami makna
sayap tapi menentukan bagaimana sayapnya malaikat kita tidak bisa, kita tidak pernah melihat
malaikat. Kita mengitsbat bahwasanya di dalam surga ada buah-buahan

‫وا بِ ِهۦ ُمتَ ٰ َشبِهٗ ۖا‬


ْ ُ‫[ َوُأت‬Al Baqarah:25]

Mereka diberikan buah-buahan yang serupa, yaitu serupa dengan apa yang mereka lihat di dunia
dari sisi wujudnya mungkin atau warnanya, tapi hakekatnya, rasanya berbeda. Kita dikabarkan
tentang hurun ‘in (wanita-wanita yang cantik dalam surga), kita dikabarkan tentang qasr (istana)
di dalam surga itu semua kita pahami dan kita tetapkan namun kita tidak bisa menentukan
bagaimana hakikat karena kita tidak diberitahukan oleh Allāh ‫ ﷻ‬tentang bagaimana hakikatnya,
cuma dikabarkan kepada kita tentang adanya kenikmatan-kenikmatan tersebut.

Demikian pula Ahlussunnah mereka menetapkan sifat Allāh ‫ ﷻ‬tapi mereka tidak men takyīf
(tidak menentukan bagaimananya)

ٍ ِ‫َوالَ تَ ْمث‬
‫يل‬

Dan mereka tidak mentamtsīl, yang dimaksud dengan tamtsīl adalah menjadikan bagi Allāh ‫ﷻ‬
matsil (sesuatu yang sebanding atau serupa) atau mumatsil (sesuatu yang serupa dengan Allāh
‫)ﷻ‬. Contohnya misalnya mengatakan bahwa istiwa Allāh ‫ ﷻ‬seperti istiwanya raja fulan, tangan
Allāh ‫ ﷻ‬seperti tangannya fulan berarti di sini mendatangkan mumatsil, mendatangkan sesuatu
yang dibandingkan. Kalau takyīf tadi apakah harus mendatangkan sesuatu yang dibandingkan,
tidak harus, seandainya dia mengatakan tangan Allāh ‫ ﷻ‬itu demikian dan demikian, ini berarti
menentukan kaifiyyahnya, tidak harus dia mendatangkan mumatsil (sesuatu yang dibandingkan)
dengan tangan Allāh ‫ﷻ‬

Maka disini kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya setiap mumatsil mukayyif, kullu
mumatsilin mukayyif, setiap orang yang mumatsil maka dia telah menentukan kaifiyyah, wa
laysa kullu mukayyifin mumatsilan, dan tidak semua orang yang mukayyif kemudian dia
dinamakan mumatsilan, karena orang yang mentakyīf (menentukan kaifiyyah) belum tentu dia
mendatangkan sesuatu yang dibandingkan diantara makhluk.

Demikian ahlu sunnah wal jama’ah, ini adalah kaidah yang harus kita pahami, menetapkan tanpa
kita merubah lafadznya, tanpa kita merubah maknanya, tanpa kita menta’wil. Menetapkan tanpa
kita menta’til, tanpa kita mengingkari maknanya atau mengingkari sebagian sifat-Nya,
menetapkan sebagian yang lain. Kita mengitsbat tanpa kita menentukan kaifiyyahnya, tanpa kita
menentukan sesuatu yang sebanding dengan Allāh ‫ﷻ‬. Ini kaidah yang kalau kita pahami,
membantah banyak syubhat yang didatangkan oleh orang-orang yang menyimpang di dalam
masalah nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu
kembali pada halaqoh selanjutnya

Halaqah 13 | Beriman Kepada Sifat-Sifat Yang Allāh ‫ ﷻ‬Sandangkan Pada Diri-Nya Di Dalam
Kitab-Nya Dan Sifat-Sifat Yang Rasul-Nya Sandangkan Pada-Nya Bag 02 Ustadz Dr.
Abdullah Roy, M.A ‫الى‬333333‫ه هلل تع‬333333‫ حفظ‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Halaqah yang ke-13 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

َ َّ‫بَ ْل يُْؤ ِمنُونَ ِبَأن‬


Beliau mengatakan ‫هللا‬

Bahkan mereka beriman bahwasanya Allāh ‫ﷻ‬

ُ‫َصير‬
ِ ‫سمِيعُ الب‬ َ ‫لَيْسَ َك ِم ْث ِل ِه‬
َّ ‫شيْ ٌء وَ هُوَ ال‬

Mereka beriman dan percaya bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬Dia-lah yang ‫ ِه‬vv‫لَيْسَ َك ِم ْث ِل‬. Beliau
mendatangkan firman Allāh ‫ ﷻ‬yang Allāh ‫ ﷻ‬sebutkan dalam surat Asy-Syūrā ayat yang
ke-11. Meskipun ini adalah ayat yang ringkas namun ternyata di dalamnya mengandung
kaidah yang besar yang di atasnya ahlussunnah wal jamaah berjalan di dalam masalah
nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬. Kaidah yang tadi disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
َ ‫لَيْسَ َك ِم ْث ِل ِه‬
Tamiyyah yang terkandung di dalam firman Allāh ‫ ﷻ‬ini ‫شيْ ٌء‬
Tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ ﷻ‬sesuatu apapun. ‫شيْ ٌء‬ َ ini adalah nakirah, tidak ada
al-nya disini, َ‫ لَيْس‬disini adalah nafyun (pengingkaran, penafian), nakirah dan dia adalah
nafyi maka dia adalah umum, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allāh ‫ﷻ‬.

َ ‫ ِه‬vvvv‫ لَيْسَ َك ِم ْث ِل‬Tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ﷻ‬. Seseorang berusaha
‫يْ ٌء‬vvvv‫ش‬
membayangkan, mencari apapun dan sampai kapanpun tidak ada sesuatu yang serupa
dengan Allāh ‫ﷻ‬. Berarti di sini tidak boleh seseorang mentakyif dan mentamtsil, ‫لَيْسَ َك ِم ْث ِل ِه‬
َ tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ﷻ‬. Kemudian
‫شيْ ٌء‬

ُ‫َصير‬
ِ ‫سمِيعُ الب‬
َّ ‫ وَ هُوَ ال‬Dan Dia-lah Allāh ‫ ﷻ‬yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Disini ada isbat, menetapkan yaitu menetapkan nama Allāh ‫ ﷻ‬As-Samī’ Al-Bashīr yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Kenapa Allāh ‫ ﷻ‬di sini mendatangkan dua nama
As-Samī’ Al-Bashīr, Allāhu A’lam, ada sebagian yang mengatakan karena sebagian besar
makhluk mereka memiliki sifat ini, jadi makhluk hidup mereka mendengar dan juga
mereka melihat.

Allāh ‫ ﷻ‬memiliki sifat As-Sama’ wa Al-Bashar, memiliki sifat pendengaran dan juga
penglihatan dan kalimat sebelumnya tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ﷻ‬. Berarti
ketika seseorang menetapkan bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬Maha Mendengar (memiliki
pendengaran) dan dia Maha Melihat (memiliki penglihatan) bukan berarti kita
menyamakan Allāh ‫ ﷻ‬dengan makhluk

َ ‫ ِه‬v‫ لَيْسَ َك ِم ْث ِل‬Tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ ﷻ‬sedikitpun. Berarti menetapkan
‫يْ ٌء‬v‫ش‬
nama dan juga sifat bagi Allāh ‫ ﷻ‬tidak mengharuskan seseorang menyamakan sifat
Allāh ‫ ﷻ‬dengan sifat makhluk. Sehingga seperti yang dikatakan oleh sebagian, menuduh
Ahlu Sunnah Wal jamaah sebagai musyabbihah yaitu orang yang menyamakan Allāh ‫ﷻ‬
dengan makhluk atau ada yang menuduh ahlu sunnah sebagai mujassimah karena ketika
ahlu sunnah menetapkan tangan bagi Allāh ‫ ﷻ‬menetapkan dua mata bagi Allāh ‫ﷻ‬
kemudian ketika mereka melihat jism (jasad) manusia kemudian mereka akhirnya
menuduh ahlul sunnah sebagai mujassimah, Allāh ‫ ﷻ‬memiliki jasad sebagaimana
manusia atau jism sebagaimana manusia, ini salah paham. Tidak ada di sana talāzum
bahwasanya orang yang menentukan sebuah sifat bagi Allāh ‫ ﷻ‬kemudian berarti dia
menyamakan Allāh ‫ ﷻ‬dengan makhluk, tidak.

Kita berjalan diatas firman Allāh ‫ﷻ‬

َ ‫ لَيْسَ َك ِم ْث ِل ِه‬Tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ ﷻ‬dan Dia-lah yang Maha Mendengar
‫شيْ ٌء‬
lagi Maha Melihat. Kita semuanya meyakini Allāh ‫ ﷻ‬Maha Mendengar tapi pendengaran
Allāh ‫ ﷻ‬tidak sama dengan pendengaran makhluk, pendengaran Allāh ‫ ﷻ‬adalah
pendengaran yang sempurna berbeda dengan pendengaran kita yang lemah dan
banyak perkara yang tidak bisa kita dengar padahal itu dekat dengan kita, apalagi suara-
suara yang jauh. Dan Allāh ‫ ﷻ‬Maha Melihat dan Maha Sempurna Penglihatan-Nya,
adapun kita maka kita memiliki penglihatan tapi penglihatan kita adalah penglihatan
yang penuh dengan kekurangan. Jadi dari mana kita dinamakan sebagai musyabbihah
mujassimah padahal kita tidak pernah menyerupakan sifat tersebut dengan sifat
makhluk.

Sebagian memberikan permisalan, contoh misalnya seseorang yang datang kepada kita
kemudian membawa hewan yang aneh yang mungkin kita baru pertama kali atau belum
pernah melihatnya. Tapi dia karungi hewan tadi dan mengatakan saya membawa sebuah
hewan, dia punya tangan punya kaki punya mata tapi kamu belum pernah melihatnya
dan ketika dia berbicara dia punya tangan punya kaki kemudian kita membenarkan.
Teman ini dia bukan orang yang suka guyon atau orang yang suka bohong, kita yakini
kita benarkan apa yang dia ucapkan.

Ketika kita mengatakan oh ya dia punya tangan dia punya kaki dia punya mata, apakah
ketika kita membenarkan demikian berarti kita mengatakan bahwa hewan yang ada
dalam karung ini tangannya sama dengan tangan kita, kakinya sama dengan kaki kita, ini
diucapkan orang yang paham dan orang yang berakal. Ketika dia mengatakan iya saya
benarkan karena dia memahami makna tangan makna kaki, dia paham, tapi ketika dia
membenarkan bukan berarti dia menyamakan antara tangan hewan yang ada dalam
karung ini dengan tangan manusia, tidak, itu menunjukkan tentang pemahaman dia.

Jadi Allāh ‫ ﷻ‬menggunakan kata-kata istawa, al-yad, ini dengan bahasa Arab yang jelas
yang bisa dipahami oleh orang yang mempelajari bahasa arab, yang maknanya jelas
sehingga kita memahami istawa, al-yad, al-‘ain mata ini dengan bahasa yang turun
dengannya Al-Qur’an, bahasa yang digunakan oleh Rasulullāh ‫ﷺ‬. Tapi ini permisalan
untuk memudahkan, sekali lagi ketika Ahlus Sunnah menetapkan bukan berarti mereka
mentasybih. Kalau demikian sangat mudah sekali kita memahami nama dan juga sifat
Allāh ‫ﷻ‬, tidak ada sesuatu yang masalah, tidak ada sesuatu yang berat untuk kita
tetapkan.

Bahkan di dalam dalil yang para ulama berselisih pendapat apakah ini berbicara tentang
sifat Allāh ‫ ﷻ‬atau bukan, ketika kita memahami faedah ini mudah, seandainya ini adalah
sifat Allāh ‫ ﷻ‬ya kita tetapkan sebagai mana datangnya sesuai dengan keagungan Allāh
‫ﷻ‬, sehingga para sahabat, para salaf, para tabi’in, para tabi’-tabi’in inilah aqidah mereka.
Tidak ada takalluf dan tidak ada isykal bagi mereka, para sahabat radhiallāhu ta’ala
‘anhum menetapkan apa yang Allāh ‫ ﷻ‬tetapkan dan juga rasul-Nya tetapkan di dalam
Al-Qur’an dan juga hadits, tidak ada diantara mereka yang mengatakan bagaimana,
kenapa bisa demikian, mereka dididik oleh Rasulullāh ‫ ﷺ‬dengan didikan yang benar
dalam masalah nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬.

ُ‫َصير‬
ِ ‫سمِيعُ الب‬ َ ‫لَيْسَ َك ِم ْث ِل ِه‬
َّ ‫شيْ ٌء وَ هُوَ ال‬
Al imam Malik Rahimahullah, guru dari imam Syafi’I, imam penduduk kota Madinah di
zamannya pernah didatangi oleh seseorang atau ada orang yang bertanya di majelis
ِ ‫ٱلرَّ ۡح ٰ َمنُ عَ لَى ۡٱلع َۡر‬
beliau dan dia mengatakan ]5:‫ش ٱسۡ تَوَ ٰى [ طه‬

Membaca firman Allāh ‫ ﷻ‬bahwasanya Ar Rahman yaitu Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa di atas arsy.
Dia mengatakan kaifastawa? Bagaimana Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa. Al imam Malik Rahimahullah
ketika mendengar pertanyaan ini dan ini pertanyaan yang tidak pernah diucapkan oleh
para sahabat kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, tidak pernah ditanyakan oleh tabi’in kepada
para sahabat Nabi ‫ﷺ‬, berubah wajah beliau, marah dengan pertanyaan seperti ini.

Kemudian beliau mengucapkan sebuah ucapan yang ini merupakan kaidah yang besar
dalam masalah nama dan sifat Allāh ‫ﷻ‬, beliau mengatakan “al-istiwa’u ma’lum”, Al-
Istiwa adalah sesuatu yang maklum, yaitu yang di ketahui maknanya, dia bukan bahasa
asing yang kita yaitu orang-orang Arab tidak mengetahui maknanya, tidak, itu adalah
kalimat yang maklum di dalam bahasa Arab, maknanya adalah ‘ala wartafa’a, washa’ada
wastaqarr, meninggi, menetap, al-istiwa’u ma’lum.

‫وَ ا ْل َكيْفُ مَجْ ُهوْ ل‬

Dan bagaimana tata caranya, yaitu bagaimana Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa majhul, tidak diketahui.
Allāh ‫ ﷻ‬tidak pernah memberitahukan kepada kita tentang bagaimananya, tidak
diketahui, tidak ada satu ayat pun didalam Al-Qur’an atau satu hadits yang berisi tentang
bagaimana Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa, majhul, tapi dia memiliki kaifiyah, yang mengetahui
kaifiyahnya adalah Allāh ‫ﷻ‬. Kita tidak mengetahui kaifiyah tapi Allāh ‫ ﷻ‬mengetahui
kaifiyah, karena segala sesuatu pasti ada kaifiyahnya, yang kita ingkari disini bukan
kaifiyahnya atau bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬tidak ada kaifiyahnya, yang kita ingkari adalah
ilmu kita, kita tidak mengetahui tentang kaifiyah dan bagaimana istiwa Allāh ‫ﷻ‬.

ٌ‫وَ ْاِإل ْيمَانُ ِب ِه وَ ا ِجب‬

Beriman‫ ِب ِه‬, yaitu dengan istiwa Allāh ‫ ﷻ‬adalah sesuatu yang wajib. Kenapa wajib karena
Allāh ‫ ﷻ‬mengabarkan di dalam Al-Qur’an ‫تَوَ ٰى‬v‫ٱس‬ ۡ ‫ش‬ ۡ v‫رَّ ۡح ٰ َمنُ عَ لَى ۡٱل َع‬vv‫ٱل‬, kemudian Allāh ‫ﷻ‬
ِ ‫ر‬v
mengatakan ‫ش‬ ْ َ ْ ‫ ثُ َّم ا‬dalam 6 ayat dalam Al-Qur’an dengan lafadz yang sama.
ِ ْ‫ستَوَ ى عَ لى العَر‬
Berarti beriman bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬berisitwa itu wajib, Allāh ‫ ﷻ‬mengabarkan bahkan
bukan hanya satu ayat tapi tujuh ayat dalam Al-Qur’an Allāh ‫ ﷻ‬mengabarkan
bahwasanya Diri-Nya beristiwa menunjukkan ta’qid, menunjukkan penguatan.
Bagaimana seseorang yang beriman dia mengingkari, beriman dengan istiwa Allāh ‫ﷻ‬
adalah wajib

‫سَؤ ا ُل عَ ْن ُه ِبدْعَ ٌة‬


ُّ ‫وَ ال‬

Dan bertanya tentang istiwa Allāh ‫ﷻ‬, yaitu bertanya tentang bagaimananya,
sebagaimana diucapkan oleh laki-laki tadi bagaimana Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa, pertanyaan
seperti ini adalah pertanyaan yang bid’ah, kenapa dinamakan bid’ah, tidak pernah
diajarkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬dan tidak pernah ditanyakan para sahabat kepada Nabi ‫ﷺ‬
padahal para sahabat adalah orang yang paling semangat untuk mengetahui perkara
yang bermanfaat bagi mereka di dalam agama mereka, mereka bertanya kepada Nabi ‫ﷺ‬
tentang ahillah, bertanya tentang masalah hail, mereka bertanya tentang syahrul harām,
dan juga pertanyaan-pertanyaan yang lain, tapi tidak ada satupun pertanyaan mereka
berupa seperti pertanyaan laki-laki ini, yaitu mengatakan bagaimana Allāh ‫ ﷻ‬beristiwa,
bagaimana tangan Allāh ‫ ﷻ‬karena mereka mengetahui firman Allāh ‫ﷻ‬

‫لَيْسَ َك ِم ْث ِل ِه‬

Tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ﷻ‬, itu saja yang mereka pegang kaidahnya.
Sehingga Al-imam Malik mengatakan

‫سَؤ ا ُل عَ ْن ُه ِبدْعَ ٌة‬


ُّ ‫وَ ال‬

Ini adalah imam diantara imam imam Ahlus Sunnah, guru dari imam Syafi’i dan imam
Syafi’i di atas manhaj beliau yaitu manhaj ahlussunnah wal jama’ah dan inilah manhaj al-
imamu Ahmad bin hanbal dan seluruh imam imam ahlus Sunnah wal jamaah.
Dan apa yang diucapkan oleh Imam Malik ini bisa digunakan untuk memahami sifat-sifat
Allāh ‫ ﷻ‬yang lain, misalnya tangan Allāh ‫ﷻ‬, kita katakan al-yad ma’lūmah, tangan itu
dalam bahasa Arab suatu yang maklum maknanya, wal kaifu majhul dan bagaimana
tangan Allāh ‫ ﷻ‬majhul (tidak diketahui), wal imanu biha wājib, beriman dengan tangan
Allāh ‫ ﷻ‬adalah wajib, wassu’alu ‘anhu bid’ah, dan bertanya tentang bagaimana tangan
Allāh ‫ ﷻ‬adalah sesuatu yang bid’ah. Gunakan kaidah ini dalam seluruh nama dan
seluruh sifat-sifat Allāh ‫ﷻ‬.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya

Halaqah 14 | Beriman Kepada Sifat-Sifat Yang Allāh ‫ ﷻ‬Sandangkan Pada Diri-Nya Di Dalam
Kitab-Nya Dan Sifat-Sifat Yang Rasul-Nya Sandangkan Pada-Nya Bag 03Ustadz Dr. Abdullah
Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Halaqah yang ke-14 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-
Wāsithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.
َ ‫َف‬
َ ‫ال يَ ْنفُونَ عَ ْن ُه مَا وَ صَ فَ ِب ِه َن ْف‬
Beliau mengatakan ‫س ُه‬

Maka mereka (ahlussunnah wal jama’ah, Al firqotun nājiyah, Ath-Thā’ifah Al-Manshūrah)


َ‫ الَ يَ ْنفُون‬tidak menafikan ‫ عَ ْن ُه‬dari Allāh ‫ه نَ ْفسَه‬vِ ‫ف ِب‬
vَ َ‫ وَ ص‬v‫ ﷻ َما‬apa yang Allāh ‫ ﷻ‬sifati dengannya
untuk diri-Nya. Ahlussunnah tidak berani dan takut untuk menafikan apa yang Allāh ‫ﷻ‬
tetapkan, mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman, benar-benar pasrah
kepada Allāh ‫ﷻ‬.
َ ‫َفالَ يَ ْنفُونَ عَ ْن ُه مَا وَ صَ فَ ِب ِه نَ ْف‬
Ucapan ‫س ُه‬

ِ ‫ وَ الَ تَع‬ini Allāhu A’lam adalah


berati disini menguatkan ucapan beliau sebelumnya yaitu ‫ْطيل‬
penjelasan lebih luas dari makna َ‫وَ ال‬

‫ْطيل‬ ِ ‫تَع‬
ِ َ‫وَ الَ يُحَ ِرّ ُفونَ ا ْل َك ِل َم عَ ن مَّو‬
‫اض ِع ِه‬

Dan mereka tidak merubah ucapan dari tempat-tempat, ini adalah penjelasan dari
makna dari ucapan beliau sebelumnya ‫ مِنْ َغي ِْر تَحْ ِريف‬mereka tidak mentahrif, menguatkan
apa yang diucapkan oleh beliau sebelumnya dan ini diambil dari ayat

ِ َ‫يُحَ ِّر ُفونَ ۡٱل َك ِل َم عَ ن مَّو‬


‫اض ِع ِهۦ‬

Dan sifat mentahrif ini adalah termasuk sifat orang-orang yahud, mereka merubah lafadz
merubah ucapan ketika mereka disuruh untuk mengatakan hittho’ mereka mengatakan
ِ َ‫يُحَ ِّر ُفونَ ۡٱل َك ِل َم عَ ن مَّو‬
hintho’, menambah nun. Mereka termasuk orang-orang yang ‫اض ِع ِۦه‬

‫هللا وآيَا ِت ِه‬ ْ ‫وَ الَ يُ ْل ِحدُونَ ِفي َأ‬


ِ ‫سمَا ِء‬

Dan mereka tidak meng’ilhad, ilhad artinya adalah memiringkan, alhada – yulhidu artinya
adalah amala – yumilu yaitu memiringkan, dan liang lahad dinamakan liang lahad karena
dia adalah miring yaitu miring kearah kiblat, sebelumnya digali ke bawah kemudian
setelah sampai dasarnya maka lobangnya dimiringkan kearah kiblat sehingga dinamakan
dengan lahad.

Mereka tidak melakukan ilhad di dalam nama Allāh ‫ ﷻ‬dan juga ayat-ayat-Nya, karena
ilhad terkadang didalam nama Allāh ‫ ﷻ‬sebagaimana firman Allāh ‫ﷻ‬

‫ي َأسۡ ٰ َٓمِئ ۚ ِهۦ‬


ٓ ‫[ وَ ِللَّ ِه ٱَأۡلسۡ مَٓا ُء ۡٱل ُحسۡ نَىٰ َفٱدۡ عُ و ُه ِب َه ۖا وَ َذرُ و ْا ٱلَّذِينَ ي ُۡل ِحدُونَ ِف‬Al-A’raf: 180]

Dan tinggalkanlah orang-orang yang melakukan ilhad, di dalam nama nama-Nya.

Ahlus sunnah tidak melakukan ilhad, tidak memiringkan didalam masalah nama-nama
Allāh ‫ﷻ‬, maksudnya tidak menyimpang, menyimpang itu artinya miring, mereka tidak
menyimpang di dalam masalah nama -nama Allāh ‫ ﷻ‬tapi lurus di atas shirathal
mustaqim, tidak menyimpang baik dalam nama Allāh ‫ ﷻ‬maupun dalam perkara yang
lain.

Termasuk diantara penyimpangan dalam masalah nama Allāh ‫ ﷻ‬adalah yang telah
berlalu, mentahrif atau menta’til ini termasuk penyimpangan di dalam nama Allāh ‫ﷻ‬,
atau mentasybih ini juga termasuk penyimpangan di dalam nama Allāh ‫ ﷻ‬atau memberi
nama Allāh ‫ ﷻ‬dengan nama makhluk atau memberi nama kepada makhluk dengan
nama Allāh ‫ ﷻ‬seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin ketika mereka
menamakan sesembahan mereka dengan al-lata, al-uzza, al-manah. Al-manah diambil
dari kata al-mannan, al-uzza diambil dari kata al-aziz, al-lata diambil dari kata Allāh, ini
berarti menamakan sesembahan mereka dengan nama Allāh ‫ﷻ‬, ini termasuk
penyimpangan didalam nama Allāh ‫ﷻ‬.

Atau menamakan Allāh ‫ ﷻ‬dengan sesuatu yang bukan nama-Nya seperti yang dilakukan
oleh orang-orang Nasrani menamakan Allāh ‫ ﷻ‬dengan abb (bapak) maka ini berarti
menamakan Allāh ‫ ﷻ‬dengan yang bukan nama-Nya, ini termasuk ilhad. Maka
ahlussunnah wal jamaah mereka

‫هللا‬ ْ ‫ دُونَ ِفي َأ‬vv‫ الَ يُ ْل ِح‬dengan berbagai bentuk ilhad didalam masalah nama Allāh ‫ﷻ‬
ِ ‫مَا ِء‬vv‫س‬
sebagaimana tadi kita sebutkan.

‫وآيَا ِته‬

Dan mereka juga tidak melakukan Ilhad di dalam ayat-ayat Allāh ‫ﷻ‬. Terkadang
penyimpangan bukan hanya dalam nama Allāh ‫ ﷻ‬tapi juga dalam ayat-ayatnya, Allāh ‫ﷻ‬
mengatakan ‫ى ءَا ٰيَ ِتنَا اَل يَخْ َفوْ نَ عَ لَ ْينَٓا‬
ٓ ‫[ ۗ ِإنَّ ٱلَّذِينَ يُ ْل ِحدُونَ ِف‬Fussilat Ayat 40]

Orang-orang yang melakukan ilhad (penyimpangan) di dalam ayat-ayat kami, mereka


tidak sama dengan kita. Allāh ‫ ﷻ‬Maha mengetahui tentang apa yang mereka lakukan.

Jadi ketika beliau mengatakan ‫هللا وآيَا ِت ِه‬ ْ ‫يُ ْل ِحدُونَ ِفي َأ‬
ِ ‫سمَا ِء‬

Karena beliau tahu bahwasanya didalam Al-Quran Allāh ‫ ﷻ‬menyebutkan ilhad ada dua
jenis, ada ilhad di dalam masalah nama Allāh ‫ﷻ‬, ada ilhad di dalam masalah ayat-ayat
Allāh ‫ﷻ‬

َ‫ وَ الَ يُ َك ِيّفُون‬Dan mereka tidak mentakyif, ini berarti menguatkan ucapan beliau ‫وَ مِنْ َغي ِْر تَ ْك ِييف‬
telah beliau menyebutkan kaidah bagaimana yang dilakukan ahlussunnah.

َ Mereka tidak menentukan kaifiyah


َ‫ال يُ َك ِيّفُون‬

‫َات خَ ْل ِقه‬
ِ ‫ف‬vv‫ص‬ ِ َ‫ون‬vvُ‫ال يُ َم ِثّل‬
ِ ‫فَا ِت ِه ِب‬vv‫ص‬ َ َ‫ و‬Dan mereka Ahlussunnah tidak menyamakan sifat Allāh ‫ﷻ‬
dengan sifat makhluk-Nya, berarti tidak melakukan tamtsil. Jadi ucapan beliau

َ‫ون‬vvُ‫ وَ الَ يُ َك ِيّفُونَ وَ الَ يُ َم ِثّل‬،‫هللا وآيَا ِت ِه‬ ْ ‫ وَ الَ يُ ْل ِحدُونَ ِفي َأ‬،‫اض ِع ِه‬
ِ ‫سمَا ِء‬ ِ َ‫ وَ الَ يُحَ ِرّ ُفونَ ا ْل َك ِل َم عَ ن مَّو‬،ُ‫سه‬
َ ‫َفالَ يَ ْنفُونَ عَ ْن ُه مَا وَ صَ فَ ِب ِه نَ ْف‬
‫َات خَ ْل ِقه‬
ِ ‫صف‬ ِ ‫صفَا ِت ِه ِب‬ ِ

ini seperti penjelasan atau penguat dari kaidah yang beliau sebutkan sebelumnya
َ‫ف وَ ال‬v ِ v‫لم ؛ مِنْ َغ ْي‬v‫ه وس‬vv‫لى هللا علي‬vv‫ولُ ُه مُحَ َّم ٌد ص‬v‫س‬
ٍ v‫ر تَحْ ِري‬v ُ َ‫ ِه ر‬v‫ َف ُه ِب‬v‫ص‬ ِ v‫ ِه ا ْلع َِزي‬v‫س ُه ِفي ِك ِت ِاب‬
َ َ‫ا و‬vv‫ وَ ِب َم‬،‫ز‬v َ ‫اِإليمَانُ ِبمَا وَ صَ فَ ِب ِه نَ ْف‬
‫يف وَ الَ تَمْ ِثي ٍل‬
ٍ ‫ وَ مِنْ َغي ِْر تَ ْك ِي‬،‫ْطي ٍل‬
ِ ‫تَع‬

‫سبْحَ انَ َه وَ تَعَالَى‬


ُ ‫ال يُ َقاسُ ِبخَ ْل ِق ِه‬
َ ‫ و‬.ُ‫ وَ الَ ِن َّد له‬،ُ‫ وَ الَ ُكفْ َء َله‬،ُ‫ي لَه‬ ُ ‫َألنَّ ُه‬
َ َ‫ ال‬:ُ‫سبْحَ انَه‬
َّ ‫س ِم‬

Setelah itu beliau menyebutkan mengapa ahlus sunnah wal jama’ah mereka tidak
mentakyif dan juga tidak menta’til, kenapa mereka tidak menyerupakan sifat Allāh ‫ﷻ‬
dengan sifat makhluk, disini jawabannya dan ini yang harus menjadi perhatian bagi
orang yang menuduh ahlussunnah sebagai musyabbiha mujassima. Kita mengetahui
tentang firman-firman Allāh ‫ﷻ‬, ayat-ayat Allāh ‫ ﷻ‬yang menunjukkan bahwasanya Allāh
‫ ﷻ‬tidak sama dengan makhluk

‫ي لَ ُه‬
َّ ‫س ِم‬
َ ‫ال‬ ُ ‫ َألنَّ ُه‬Karena Allāh ‫ ﷻ‬tidak ada yang serupa dengan-Nya, ‫ي َل ُه‬
َ :ُ‫سبْحَ ا َنه‬ َّ ‫س ِم‬ َ tidak ada
َ ‫ال‬
yang serupa dengan Allāh ‫ ﷻ‬karena Allāh ‫ ﷻ‬mengatakan ‫س ِم ًيّا‬ َ ‫[ َه ْل تَ ْعلَ ُم لَ ُهۥ‬Maryam:65]

Apakah engkau mengetahui bagi Allāh ‫ ﷻ‬samiyya, sesuatu yang serupa dengan Allāh
‫ﷻ‬, sesuatu yang sebanding dengan Allāh ‫ﷻ‬. Ini adalah pertanyaan yang isinya adalah
pengingkaran, apakah engkau tahu sesuatu yang serupa dengan Allāh ‫ﷻ‬, yang
meskipun dia mungkin seorang makhluk memiliki nama seperti nama Allāh ‫ ﷻ‬tapi
hakikatnya berbeda. Ada di antara makhluk yang bernama Malik misalnya tapi apakah
sama dia dengan Al-Malik, Allāh ‫ ﷻ‬yang memiliki segala sesuatu, yang memiliki apa
yang ada di langit dan apa yang dibumi, tidak ada yang sebanding dengan Allāh ‫ﷻ‬.

‫ وَ الَ ُكفْ َء لَه‬Dan tidak ada yang sebanding dengan Allāh ‫ﷻ‬, yang sama dengan Allāh ‫ﷻ‬, di
ambil dari firman Allāh ‫ﷻ‬

‫ وَ لَ ْم يَ ُكن لَّ ُهۥ ُكفُوً ا َأحَ ۢ ٌد‬Tidak ada sesuatu yang musawwin yang serupa dengan Allāh ‫ﷻ‬

‫ وَ الَ ِن َّد ل ُه‬Dan tidak ada yang sebanding dengan Allāh ‫ ﷻ‬diambil dari firman Allāh ‫ﷻ‬

َ‫َفاَل ت َۡج َعلُو ْا ِللَّ ِه َأندَادٗ ا وَ َأنت ُۡم تَعۡ لَمُون‬

Ini semua menunjukkan bahwasanya tidak ada yang serupa, tidak ada yang sebanding,
tidak ada yang sama dengan Allāh ‫ﷻ‬, diambil kata-kata ini dari Al-Qur’an

‫الَى‬vv‫بْحَ انَ َه وَ تَ َع‬v ‫س‬


ُ ‫ ِه‬v ‫اسُ ِبخَ ْل ِق‬vv‫ال يُ َق‬
َ ‫ و‬dan tidak boleh mengkiaskan Allāh ‫ ﷻ‬dengan makhluknya,
diambil dari firman Allāh ‫ﷻ‬

‫ُوا ِللَّ ِه ٱَأْلمْ ثَا َل‬


۟ ‫َفاَل تَضْ ِرب‬

Jangan kalian membuat perumpamaan-perumpamaan, permisalan-permisalan bagi Allāh


‫ﷻ‬, karena kias yang seperti ini berarti disana ada menyamakan Allāh ‫ ﷻ‬dengan
makhluk. Ahlussunnah wal jama’ah tidak yumatsilun, mereka tidak menyerupakan Allāh
‫ ﷻ‬dengan makhluk, tidak menyerupakan sifat Allāh ‫ ﷻ‬dengan sifat makhluk, karena
tidak ada yang serupa dengan Allāh ‫ ﷻ‬berdasarkan ayat-ayat yang banyak.

Halaqah 15 | Beriman Kepada Sifat-Sifat Yang Allāh ‫ ﷻ‬Sandangkan Pada Diri-Nya Di Dalam
Kitab-Nya Dan Sifat-Sifat Yang Rasul-Nya Sandangkan Pada-Nya Bag 03Ustadz Dr. Abdullah
Roy, M.A ‫ حفظه هلل تعالى‬Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah

Halaqah yang ke-15 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-
Wāsithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.
Kemudian beliau mengatakan ‫ وَ َأحْ سَنُ حَ ِدي ًثا مِنْ خَ ْل ِق ِه‬v،ً‫ وَ َأصْ دَقُ ِقيال‬،‫ْس ِه وَ ِب َغي ِْر ِه‬
ِ ‫َفإنَّ ُه َأعْ لَ ُم ِب َنف‬

Kemudian beliau menyebutkan kenapa kita harus berdasarkan dalil dalam menetapkan
nama dan juga sifat Allāh ‫ﷻ‬, kenapa harus kembali kepada Al-Qur’an, kenapa harus
kembali kepada hadits, beliau sebutkan disini sebabnya. Kenapa kita kembali kesana dan
kalau Allāh ‫ ﷻ‬sudah mengabarkan harus kita benarkan dan kalau Rasulullāh ‫ ﷺ‬sudah
mengabarkan maka harus kita benarkan ini jawabannya. Ini adalah sebab kenapa nama
dan juga sifat Allāh ‫ ﷻ‬ini adalah tauqifiyyah.

Pertama ‫ وَ َأحْ سَنُ حَ ِديثًا مِنْ خَ ْل ِق ِه‬،ً‫ وَ َأصْ دَقُ ِقيال‬،‫ْس ِه وَ ِب َغي ِْر ِه‬
ِ ‫َفإنَّ ُه َأعْ لَ ُم ِبنَف‬

Karena sesungguhnya Allāh ‫ ﷻ‬Dia-lah yang lebih tahu tentang diri-Nya dan yang lain.
Siapa yang lebih tahu tentang diri Allāh ‫ﷻ‬, apakah ada yang lebih tahu tentang diri Allāh
‫ ﷻ‬daripada Allāh ‫ﷻ‬, jawabanya tidak.

‫[ ُقلۡ َءَأنت ُۡم َأ ۡعلَ ُم َأ ِم ٱللَّ ۗ ُه‬Al Baqarah:140]

Katakanlah apakah kalian lebih tahu atau Allāh ‫ ﷻ‬yang lebih tahu. Allāh ‫ ﷻ‬Dia-lah yang
lebih tahu tentang diri-Nya sendiri dan juga perkara-perkara yang lain, tidak ada yang
lebih mengetahui dari pada Allāh ‫ﷻ‬

َ ‫[ وَ ٱللَّ ُه ِب ُك ِ ّل‬Al Baqarah:282] Dan Allāh ‫ ﷻ‬Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu.
‫م‬ٞ ‫شيۡ ٍء عَ ِلي‬

Ketika dia mengabarkan tentang diri-Nya, bahwasanya Dia memiliki sifat demikian,
bagaimana seseorang ragu dengan kabar yang Allāh ‫ ﷻ‬kabarkan, padahal Dia-lah yang
mengetahui tentang sifat-sifat diri-Nya daripada yang lain, itu yang pertama.

Kemudian ً‫وَ َأصْ دَقُ ِقيال‬

Dan Allāh ‫ ﷻ‬adalah yang paling benar ucapan-Nya, yang paling jujur ucapan-Nya, yang
sesuai dengan kenyataan. Allāh ‫ﷻ‬ mengatakan ۡ ‫وَ م َۡن َأ‬
‫دَقُ مِنَ ٱللَّ ِه ِقياٗل‬vvvvvvvv‫ص‬
[An-Nisa’:122]
ۡ ‫[ وَ م َۡن َأ‬An-Nisa’:87]
‫صدَقُ مِنَ ٱللَّ ِه حَ ِد ٗيثا‬

Dan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allāh ‫ﷻ‬. Allāh ‫ ﷻ‬tidak berdusta dan
untuk apa Allāh ‫ ﷻ‬berdusta.

Dusta ini muncul dari orang yang takut, anak misalnya dia takut kepada orang tuanya,
dusta. Adapun Allāh ‫ ﷻ‬tidak ada yang Allāh ‫ ﷻ‬takuti. Ketika Allāh ‫ ﷻ‬mengabarkan
demikian maka itu adalah kebenaran yang nyata yang harus kita imani, yang harus kita
percayai, yang harus kita yakini, apakah kita meyakini bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬bohong
dalam ucapannya, na’udzubillah. Kita harus benarkan, kita imani dan kita benarkan apa
yang Allāh ‫ ﷻ‬ucapkan, amiruha kama ja’ats, lakukan ini dan jalankan itu sebagaimana
datangnya, jangan kita dustakan, jangan kita ke mana-manakan.

Kemudian yang ketiga ‫وَ َأحْ سَنُ حَ ِديثًا مِنْ خَ ْل ِقه‬

Dan lebih baik ucapan-Nya, yaitu lebih fasih ucapan-Nya. Allāh ‫ ﷻ‬menggunakan kata-
kata di dalam Al-Qur’an dengan kata-kata yang paling fasih, yang paling jelas, sehingga
tidak perlu di takwil atau dicari mungkin tafsir bathilnya, itu adalah َ‫َأحْ سَنُ حَ ِديث‬, Allāh ‫ﷻ‬
ِ ‫ٱللَّ ُه نَزَّ َل َأحْ سَنَ ٱ ْلحَ ِد‬
mengatakan ‫يث ِك ٰتَبًا‬

Allāh ‫ ﷻ‬menurunkan kitab yang paling baik, yang paling fasih, yang paling jelas, tidak
ada yg lebih fasih daripda ucapan Allāh ‫ﷻ‬. Dan Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan ‫يث كتاب‬ِ ‫َفإن أحسن ا ْلحَ ِد‬
‫هللا‬

Sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah kitabullah, dan didalam sebagian lafadz
ِ ‫َفإن أصدق ا ْلحَ ِد‬
beliau mengatakan ‫يث كتاب هللا وخير الهدي‬

Yang paling benar ucapannya adalah Al-Qur’an, berarti dalam kitabullah (Al-Qur’an)
terkumpul kabar yang berasal dari Allāh ‫ﷻ‬, Dia-lah yang A’lam (yang paling
mengetahui), Dia-lah yang paling asdaq (yang paling benar ucapannya) dan Dia-lah
yang paling baik, yang paling fasih ucapan-Nya. Dan kalau dalam sebuah kabar
terkumpul tiga perkara ini tidak ada alasan sedikitpun bagi orang yang mendengarnya
untuk mengingkari/mendustakan.

Contoh misalnya dalam kehidupan sehari-hari kalau kita mengenal seseorang, dia
orangnya adalah pintar secara keilmuan kita mengakui tapi dia tidak jujur. Ada orang
pintar tapi dia tidak jujur, mengabarkan sesuatu kepada kita apakah kita berhak untuk
tidak membenarkan apa yang dia ucapkan, ya berhak, kenapa, karena dia dikenal
sebagai orang yang pembohong meskipun dia pintar. Kalau misalnya ada orang yang
pintar, dia jujur, tapi dia dikenal kadang salah salah dalam mengabarkan sesuatu, tidak
jelas ketika dia berbicara, terbalik-balik ucapannya, apakah ketika dia mengabarkan
kepada kita dengan sebuah kabar kita berhak untuk tidak percaya, jawabannya berhak,
kita tidak meragukan tentang kepandaian dia, kita tidak meragukan tentang
kejujurannya tapi dikawatirkan ini dia salah dalam berbicara.

Tapi ketika terkumpul dalam sebuah kabar, berasal dari orang yang mengabarkan adalah
orang yang berilmu, dan orang yang mengabarkan adalah orang yang jujur, dan dia
adalah orang yang jelas dalam pembicaraan maka di sini tidak ada udzur bagi kita untuk
tidak menerima kabar tadi. Lalu bagaimana kalau ini yang mengabarkan adalah Allahu
rabbul ‘alamin, bagaimana kita mendustakan sifat yang Allāh ‫ ﷻ‬kabarkan didalam Al-
Qur’an. Ini adalah alasan kenapa kita harus kembali kepada kitabullah dalam
menentukan sifat Allāh ‫ﷻ‬.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai