Anda di halaman 1dari 14

Biografi Imam At Tirmidzi

Imam At-Tirmidzi merupakan sosok orang pertama yang mengelompokan hadis kedalam
kategori hasan. Beliau adalah salah satu ulama hadis yang terkenal. Imam At-Tirmidzi tinggal
disebuah kota kecil dan nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Isa bin Saurah bin Adh-
Dhahak As-Salami Al-Bughi atau biasa dipanggil dengan sebutan Abu Isa.

 Imam At-Tirmidzi  dilahirkan pada bulan zulhijah tahun 2019 hijriah, diceritakan bahwa
beliau dilahirkan dalam keadaan buta. Sedari kecil beliau memang sangat senang
mempelajari berbagai ilmu keislaman, termasuk ilmu hadis. Kegemarannya terhadap ilmu
hadis muncul setelah beliau membaca karangan imam syafi’i yang disitu menjelaskan cara
mengambil dalil dari sebuah hadis.

 Hadis dari imam at-tirmidzi  kini sudah tidak asing lagi untuk diterapkan dikalangan anak
usia dini, Beberapa kumpulan hadis pendek yang diriwayatkan oleh imam at-tirmidzi yang
dapat orangtua atau guru ajarkan kepada anak usia dini diantaranya yaitu : Pertama, hadis
senyum, “tabassumuka fii wajhii akhiika shadaqatu”, yang artinya senyum dihadapan
saudaramu adalah shadaqoh (HR. Tirmidzi). Kedua, hadis keutamaan doa, “ Addu ‘au huwal
ibaadah” yang artinya doa itu adalah ibadah (HR. Tirmidzi).

 Didalam mengenalkan hadis kepada anak usia dini Orangtua mempunyai peran yang tidak
pernah lepas untuk membimbing anak-anaknya. Tugas orangtua tidak hanya merawat dan
mengasuh, akan tetapi harus membimbing agar anak-anaknya selalu terkontrol dan tumbuh
dengan baik. Tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga terutama
orangtua.

 Anak adalah investasi pahala untuk kedua orangtuanya dimasa yang akan mendatang. Oleh
sebab itu, doa anak adalah salah satu amal yang tidak akan pernah terputus pahalanya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis  yang berbunyi “ ketika seseorang telah meninggal, maka
terputuslah amalannya kecuali 3 perkara diantaranya yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang
manfaat, dan doa anak yang sholeh.”

 Rosulullah Muhammad saw dalam sebuah riwayat berkata “ sesungguhnya, semua anak
yang lahir kedunia itu dalam keaadaan suci dan karena didikan dari orangtuanya anak
tersebut akan tumbuh menjadi orang yang beragama.” Dalam hal tersebut dapat dipertegas
bahwasanya semua anak yang lahir didunia ini layaknya kertas putih yang masih polos dan
bersih. Anak yang baru lahir tidak mempunyai dosa.
 Sebagai orangtua atau guru ketika mengenalkan hadis tirmidzi kepada anak-anak sebaiknya
dimulai dari yang pendek dan mudah untuk dihafal. Dalam hal tersebut guru dan orangtua
mempunyai peran yang sangat penting dalam mengajarkan hadis karena dengan belajar
menghafal sejak dini dapat mengembangkan kecerdasan spiritual pada anak.

 Peran orangtua dan guru sangat dibutuhkan dalam mendampingi anak ketika menghafal
hadis tirmidzi, ketika mengajarkan hadis kepada anak usia dini hendaknya menggunakan
gerakan atau lagu. Dengan hal tersebut tentunya anak-anak akan mudah untuk mengingatnya.
Pada saat kegiatan menghafal bisa juga dilakukan dengan metode yang menarik atau bisa
juga dilagukan agar menjadi pusat perhatian untuk anak-anak.

 Orangtua dan guru harus mampu mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki oleh anak.
Potensi-potensi tersebut dapat berkembang ketika semua kegiatan yang anak lakukan
mendapat arahan dan bimbingan dari orangtua atau gurunya. Mengajarkan dan mengenalkan
anak terhadap hadis dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya seperti :

 Pertama, memberikan keteladanan. Anak usia dini memiliki sifat suka meniru gaya orang
dewasa, dengan sifat meniru dapat orangtua atau guru optimalkan dengan cara memberikan
keteladanan kepada anak. Anak biasanya suka meniru apa yang sering dia dengar dan dia
lihat, oleh sebab itu, orangtua atau guru mulai mengajarkannya kepada anak secara rutin.
Dengan cara memberikan keteladanan ini, anak akan  mengikuti apa yang orangtua atau guru
ucapkan atau lakukan setiap harinya.

 Kedua, Nasihat. Nasihat tersebut bisa diterapkan pada anak sesuai dengan karateristiknya,
untuk anak usia dini nasihat sebaiknya dilakukan dengan cara bercerita-cerita atau melalui
dongeng ketika mau tidur, ataupun diberikan nasihat secara langsung asalkan jangan
memarahinya, karena ketika memberikan nasihat kepada anak dengan marah-marah malah
akan membuat anak semakin takut bahkan trauma.

 Ketiga, memberikan perhatian. Sebagai orangtua dan guru Memberikan perhatian atau
pemantauan bagi anak merupakan hal yang sangat penting. Memberikan perhatian kepada
anak juga bisa berupa kata-kata pujian atau memberikannya hadiah agar anak merasa dihargai
dan lebih semangat lagi untuk terus belajar menghafal hadis.
Biografi Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti
Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-
Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan
hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara
lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai
seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh
secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-
Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam
bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia
termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya.
Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa
karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai
magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin
Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq
fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir
ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat
dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama
yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu ‘Atha’illah dan para pengikutnya
melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi
banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang
ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang
pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn
‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi
keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibnu ‘Atha’illah dibaca luas
oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama
kitab Al Hikam yang melegenda ini.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-
Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki
al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah
satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal
dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu
tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga
kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas.
Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar
tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-
Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ :
“Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili,
lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang
suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada
pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur
nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada
ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota
Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir,
karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan
ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para
Auliya’ Sholihin

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih,
sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada
tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah
seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya.
Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari
seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,

… dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi
bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi.
Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau
engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi
mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid
dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim
fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik
juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan
tasawuf.
Biografi Jalaludin Rumi

Nama lengkapnya adalah Maulana Jalaluddin Rumi. Ia lebih dikenal dengan sebutan
Jalaluddin Rumi serta lebih akrab disapa dengan panggilan Rumi.

Nama persianya dapat dieja dalam Jalāl ad-Dīn Muhammad Balkhī (dalam bahasa
Persia: ‫)جالل‌ال""دین محم""د بلخى‬, atau dalam bacaan Persian dieja dʒælɒːlæddiːn mohæmmæde
bælxi, atau juga dikenal sebagai Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī (‫)جالل‌الدین محمد رومی‬.

Jalaluddin Rumi adalah seorang pujangga atau penyair Muslim dari Persia abad ke -13. Ia
lebih dikenal sebagai seorang sufi mistic. Rumi telah diakui sebagai seorang ahli spiritual
terbesar dan penyair intelek yang hebat sepanjang sejarah.

Hasil karya besarnya berupa syair telah dikenal sangat baik oleh seluruh dunia, khususnya di
kalangan pujangga Persia, Afghanistan, Iran dan Tajikistan. Beberapa syair Rumi juga sangat
populer di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Jalaluddin Rumi lahir pada tanggal 30 bulan September tahun 1207 Masehi di Balkh
(sekarang adalah wilayah Afghanistan). Tepatnya, Rumi lahir di sebuah desa bernama
Wakhsh, sebuah kota kecil di dekat sungai Wakhsh di Persia, yang merupakan bagian dari
provinsi Balkh.

Orang tuanya adalah warga Persia dan penutur asli bahasa Persia.  Ibunya adalah Mumina
Khatun, sedangkan ayahnya bernama Bahaduddin Walad, yang merupakan seorang ahli ilmu
agama, ahli hukum dan juga ahli ilmu kebatinan. Ketika Rumi lahir, ayahnya adalah seorang
guru atau pengajar.

Latar belakang keluarganya memang sangat dekat dengan ilmu agama. Karenanya, Rumi
juga mengisi hari -harinya semenjak kecil dengan berbagai ilmu agama dan ilmu kebatinan.

Rumi meninggalkan daerah kelahirannya di Balkh ketika Mongol melakukan invasi di


wilayah Asia Tengah antara tahun 1215 dan tahun 1220.
Ia meninggalkan Balkh bersama dengan keluarganya dan beberapa kelompok pelajar yang
merupakan murid ayahnya. Mereka bermigrasi dan berpindah -pindah menuju ke tanah -tanah
Muslim, termasuk ke Baghdad, Damascus, Erzincan, Malatya, Sivas, Kayseri dan Nigde.

Mereka juga melakukan ziarah ke Mecca. Setelah ziarahnya inilah, Rumi beserta kelmpoknya
tinggal menetap di Konya (sekarang Turki bagian barat).

Tepatnya, pada tanggal 1 Mei 1228, mereka diundang oleh ‘Alā' ud-Dīn Key-Qobād, seorang
pemimpin Anatolia. Ayah Rumi pun menerima undangan ini dan kemudian menetap di
Konya, di Anatilia yang merupakan wilayah dari kesultanan Seljuk of Rûm. Di sana,
Bahaduddin menjadi kepala dari sebuah sekolah agama atau Madrassa.

Selama perjalanan dengan keluarganya ini, Rumi selalu rajin untuk mempelajari ilmu agama,
terutama agama Islam. Hari -hari dan lingkungannya pun sangat kental dengan hal -hal yang
berbau spiritual.

Perjalanan Pendidikan Rumi

Rumi menjadi seorang murid di Sayyed Burhan ud-Din Muhaqqiq Termazi, dan termasuk
salah satu murid dari ayahnya sendiri, Bahaduddin. Di bawah bimbingan dari Sayyed
Termazi inilah, Rumi belajar tentang ilmu Sufi.

Ia mempelajari mengenai banyak sekali ilmu spiritual dan rahasia tentang jiwa dan dunia ini.
Setelah Bahaduddin meninggal di tahun 1231 Masehi, Rumi pun melanjutkan posisi sang
ayah sebagai seorang guru agama terkemuka di sana.

Rumi juga menjadi seorang Imam dan penceramah di Konya untuk meneruskan tugas sang
Ayah. Ketika itu, usia Rumi masih 24 tahun. Meski masih muda, ia berhasil membuktikan
bahwa dirinya adalah seorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam terutama
mengenai ilmu agama.

Ayahnya memang menjadi salah seorang yang berpengaruh terhadap cara berpikir dan
kecerdasannya. Selain ayahnya yang selalu mengajarkan budaya Persia dan ajaran agama
Islam, Rumi juga banyak mempelajari tentang pemikiran Sufi.
Biografi Ibnu Hajar Al Asqolani

Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa
keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah
ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu
memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan
memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini
menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan
menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah
seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.
Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab


Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin
Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan
Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)

Gelar dan Kunyah Beliau


Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi, syaikhul
islam, hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang
hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl.
Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu
Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya
nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.

Kelahirannya
Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno.
Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid. (Lihat Adh-Dahu’ Al-
Laami’ karya imam As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani
1/87 no. 51).

Sifat beliau
Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya
bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna
putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat,
kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya,
fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin
dimasanya.

Pertumbuhan dan belajarnya


Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4
tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab
777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut.
Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan
diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal.
Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar
kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.)
untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada
syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu
Hajar kecil.

Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari
dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut.
Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam
memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar
ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk
menghafal Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang
saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar
belum berhasil menghafal Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar
sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’.
Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika
berumur sembilan tahun.
Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil
Haram pada tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar
menyertainya sampai tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah
kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk seperti Al-‘Umdah Al-
Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-Hadits karya guru beliau Al-
Haafizh Al-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu Al-Haajib fi
Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’rob serta yang lainnya.
Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal
nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H.
dan menjadi pakar dalam syair.
Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau
belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau
konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.
Biografi Imam Syafi’i

Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy- Syafi`i atau
Imam Syafi’i adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab Syafi’i.
Beliau lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina, pada tahun yang sama wafat Imam Abu
Hanifah, seorang ulama besar Sunni Islam dan beliau wafat pada malam Jum’at menjelang
subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H atau tahun 809 M pada usia 52 tahun

Beliau dinamai ayahnya, Idris bin Abbas ketika mengetahui bahwa istrinya, Fatimah al-
Azdiyyah sedang mengandung. Idris bin Abbas berkata, “Jika engkau melahirkan seorang
putra, maka akan aku namakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah
seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib”.

Ayah Imam Syafi’i meninggal setelah dua tahun kelahirannya, lalu ibunya membawanya ke
Makkah, tanah air nenek moyang. Sejak kecil beliau cepat menghafal syair, pandai bahasa
Arab dan sastra sampai-sampai al-Ashma’i berkata, “Saya mentashih syair-syair bani
Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris, ia adalah imam
bahasa Arab”.

Perjalanan pendidikan di Makkah, beliau berguru kepada Muslim bin Khalid Az Zanji,
Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al- Ayyad dan
beberapa ulama lainnya pada bidang fikih.

Saat usia 20 tahun, beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas pada
bidang fikih. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9
malam. Beliau sangat mengagumi Imam Malik di Al- Madinah dan Imam Sufyan bin
Uyainah di Makkah. Hal itu terlihat ketika menjadi Imam, beliau pernah menyatakan,
“Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu
dari Hijaz.”
Selain kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada beberapa ulama besar lainnya di
Madinah seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-
Darawardi.

Setelah belajar di Madinah, beliau melanjutkan perjalanan ke Yaman dan belajar kepada
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Kemudian
beliau melanjutkan belajarnya kepada Muhammad bin Al- Hasan, seorang ahli fiqih, Isma’il
bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi di negeri Irak.

Setelah itu beliau bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan di
Baghdad tahun 195 H. Darinya, beliau menimba ilmu fikihnya, ushul maẓhabnya, penjelasan
nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis perkataan lamanya (Qaul
Qadim) dan di Mesir pada tahun 200 H beliau menuliskan perkataan baru (Qaul Jadid).

Kisah Imam Syafi’i Yang Perlu Diteladani

Tidak sewenang-wenang meskipun kepada murid

Suatu hari Imam Syafi’i yang saat itu berada di Mesir memanggil seorang muridnya yang
bernama Rabi’ bin Sulaiman. Imam Syafi’i berkata, “Wahai Rabi’, Ini Surahku. Pergilah dan
sampaikan Surah ini kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal). Sesampai di sana
kamu tunggu jawabannya dan sampaikan padaku”.

Setelah Rabi’ menyampaikannya kemudian Imam Ahmad mencopot salah satu baju gamis
yang menempel di tubuhnya dan memberikannya kepada Rabi’. Rabi’ pun kembali ke Mesir
dan segera menemui Imam Syafi’i dan memberikan Surah balasan dari Imam Ahmad.

Setelah itu Imam Syafi’i bertanya, “Apa yang diberikannya padamu?” Rabi’ menjawab, “Ia
memberikan baju gamisnya.” Kemudian Imam Syafi’i berkata, “Aku bukan hendak
menyusahkanmu dengan memintamu memberikan baju itu padaku. Namun basuhlah baju itu
kemudian berikan air basuhannya padaku agar aku bisa bertabarruk dengannya.”

Imam Rabi’ menjelaskan bila Imam Syafi’i menyimpan air tersebut dan menggunakannya
untuk cuci muka setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan guru dan murid ini tak
menghalangi untuk bertabarruk sebagai bentuk pengakuan akan kesalehan dan keilmuan
seseorang.

Mendamaikan perselisihan

Suatu ketika Ar-Rabi’ sebagai murid memberikan informasi kepada gurunya, Imam Syafi’i
bahwa kondisi di Mesir saat itu terbagi menjadi dua kelompok yang kukuh pada pendapatnya
yaitu kelompok penganut Maẓhab Maliki dan kelompok penganut Maẓhab Hanafi. Imam al-
Syafi’i pun memiliki niat untuk mendamaikan dua kelompok tersebut.

Perselisihan kedua kelompok itu terjadi karena cara pandang dalam menggali hukum yang
berbeda. Kelompok Maẓhab Maliki berpendapat bahwa jika suatu persoalan hukum tidak
ditemukan dalam al-Quran maka selanjutnya adalah mencari pada hadis Rasulullah Saw baik
mutawatir atau pun ahad. Sedangkan kelompok Maẓhab Hanafi berpendapat bahwa setelah
al-Qur`an, hadis mutawatir saja yang dapat dijadikan landasan, bila tidak ditemukan maka
selanjutnya dengan melakukan ijtihad dengan akal.
Biografi Syaikh Yasin Al-Fadani

Muhammad Yâsîn al-Fâdânî al-Makki. Dilihat dari namanya, al-Fâdânî, maka dapat
diketahui bahwa beliau masih punya hubungan dekat dengan kota Padang Sumatera Barat,
sedang al-Makkî menunjuk kepada kota Makkah Arab Saudi. Memang benar bahwa beliau
adalah seorang ulama yang mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan kota Padang
karena orang tua dan nenek moyangnya berasal dari sana, akan tetapi beliau sendiri
dilahirkan di kota Makkah.

Ayah Syekh Yâsîn bernama Isa dan kakeknya bernama Udik. Sedangkan anaknya bernama
Muhammad dan Faydh. Oleh karenanya Syekh mendapat laqab (julukan) Abu al-Faydh,
ayahnya Faidh. Saudara Syekh Yâsîn bernama Muhammad Thaha dan Ibrâhîm.

Muhammad Yâsîn dilahirkan di Kota Makkah pada tahun 1335 H/1917 M dan meninggal
pada tahun 1410 H/ 1990 M. Muhammad Yâsîn dibesarkan dalam keluarga yang relijius dan
dalam tradisi keilmuan yang kuat. Ayahnya yang bernama Isa adalah seorang alim terutama
dalam bidang ilmu hadis. Ia pernah mendapatkan ijazah dari ‘Abdullah Ibn Ibrâhim as-
Sûdâni, seorang guru dari Madrasah al-Falâh dan di Masjidil Haram, dari Muhammad
Mukhtâr Ibn ‘Athârid al-Boghori al-Makki pada tahun 1348 H, kelahiran Bogor yang
mengajar di Masjid al-Haram selama lebih kurang 28 tahun, mulai 1321 H/ 1903 M hingga
tahun 1349 H/1930 M (1862-1930), dan dari para Syekh terkenal di Masjidil Haram.

Kedua saudaranya, Muhammad Thâha dan Ibrâhim, juga seorang yang alim dan keduanya
pernah mendapatkan ijazah dari Abu al-Mahâsin al- Bayrutî dan dari Syams ad-Dîn
Muhammad Ibn Ibrâhîm al- Miski. Sedangkan Muhammad Thaha sendiri adalah lulusan
Madrasah Dâr al-‘Ulûm ad-Dîniyah tahun 1358 H.
Pendidikan Syaikh Yasin Al-Fadani
Syekh Yâsîn menimba ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri, Syaikh ‘Isa al-Fâdânî, lalu
kepada pamannya, Syekh Mahmûd al-Fâdânî. Setelah itu melanjutkan pendidikannya di
Madrasah Shawlathiyyah (1346 H) dan akhirnya di Dar al-‘Ulûm ad-Dîniyyah, Makkah
(tamat 1353 H).

Kedua madrasah ini sangat terkenal dan banyak murid nusantara yang belajar di sana.
Madrasah Shawlathiyyah adalah Madrasah yang didirikan oleh seorang tokoh perempuan dari
India, Shaulah al-Nisâ’, pada 1874, karena itu disebut Shawlathiyyah. Pengelolaan madrasah
itu diserahkan kepada seorang ulama militan yang dikenal karena polemik-polemiknya
melawan para misionaris Kristen di India dan menjadi salah seorang pemimpin
pemberontakan anti-Inggris pada tahun 1857, yaitu Rahmatullah ibn Khalîl al-’Utsmânî.

Sedangkan pendirian Madrasah Dâr al-‘Ulûm berlatar belakang kejadian yang menyinggung
rasa nasionalisme Syekh Yâsîn dan murid- murid Indonesia lainnya. Ada suatu kejadian di
madrasah Shawlatiyah yang membuat Syekh Yâsîn marah dan kemudian memutuskan untuk
keluar. Pada suatu hari, seorang guru di madrasah itu merobek koran berbahasa Indonesia
yang dibaca oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Guru itu juga mengejek aspirasi
nasonalis orang-orang Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh yang memakai
bahasa seperti itu tak akan bisa meraih kemerdekaan. Kejadian ini disaksikan langsung oleh
Syekh Yâsîn, dan tentu saja membuatnya marah dan memutuskan untuk keluar dari madrasah
itu. Ia kemudian terlibat dalam usaha-usaha untuk mendirikan madrasah terpisah guna
menampung mahasiswa asal Indonesia. Berdirilah Madrasah Dâr al-‘Ulûm ad-Dîniyyah pada
1934. Ada sekitar 120 santri Jawa (istilah Jawa saat itu mencakup seluruh kawasan Indonesia,
Melayu, bahkan juga Thailand Selatan) yang pindah ke madrasah baru itu, termasuk Syekh
Yâsîn sendiri.

Selain pendidikan formal, Syekh Yâsîn juga banyak berguru kepada para ulama besar Timur
Tengah. Diantaranya beliau belajar ilmu Hadist pada Syekh ‘Umar Hamdân, pada Syekh
Muhammad ‘Ali bin Husayn al-Mâliki, Syekh ‘Umar Bajunaid, mufti Syâfi’iyyah Makkah,
lalu pada Syekh Sa’îd bin Muhammad al-Yamâni, dan Syekh Hassan al-Yamâni. Dalam
disiplin ilmu Ushul fiqh, beliau menimba ilmu diantaranya pada Syekh Muhsin Ibn ‘Ali al-
Falimbâni al-Makki (ulama keturunan Palembang yang tinggal di Makah), Sayyid ‘Alwi bin
‘Abbâs al-Mâliki al-Makki (ayah kandung Sayyid Muhammad, ulama Sunni Kontemporer
dari Arab Saudi) dan banyak ulama berpengaruh lainnya. Bahkan disebutkan bahwa jumlah
gurunya mencapai kisaran 700 orang, lelaki maupun perempuan.
Kehidupan sehari-hari Muhammad Yâsîn selalu diperuntukkan untuk ilmu. Di segala tempat
dan kesempatan selalu dimanfaatkan untuk mencari ilmu. Hal itu dapat dilihat dari
banyaknya Syekh yang menjadi gurunya dari berbagai madrasah seperti Madrasah ash-
Shawlathiyah, Madrasah Dâr al-‘Ulûm, Masjidil Haram, Madrasah al-Falâh, dan lainlain.
Selain itu ia juga berguru kepada Syekh yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam,
seperti dari Yaman, Beirut, Damaskus, Indonesia, Mesir, Tunisia, Turki, dan lain- lain.
Dalam setiap kesempatan ia gunakan untuk mencari ilmu dengan berbagai cara, seperti
berikut: Pertama, belajar secara formal di suatu madrasah, seperti di Madrasah ash-
Shawlatiyah dan Madrasah Dar al-‘Ulûm ad-Dîniyah. Kedua, belajar pada Syekh yang
membuka halaqah di Masjid al- Haram atau kuttab di rumahnya. Ketiga, mendatangi Syekh
tertentu dari berbagai daerah untuk mendapatkan hadis ketika mereka melaksanakan ibadah
haji atau pada kesempatan yang lainnya, seperti ketika ia mendapatkan ijazah dari Kyai Bâqir
al-Jogjawi saat beliau berkunjung untuk menghadiri Ihtifâl an- Nihâ`i di Madrasah Dâr
al-‘Ulûm, atau mendatangi seorang Syekh di rumah atau penginapannya. Keempat, melalui
surat menyurat, seperti yang beliau lakukan untuk Syekh dari negeri yang jauh seperti
Yaman, Irak, Indonesia dan lain-lain.

Pada bulan 27 Ramadan 1354 H Syekh Muhammad Yâsîn bin ‘Isa al- Fâdânî menyelesaikan
kitab berjudul Janî ats-Tsamar Syarh Manzhûmah Manâzil al-Qamar yang merupakan
syarahan karya al- ‘Allâmah Khalîfah Ibn Ahmad an-Nabhâni al-Falaki. Sebenarnya sebelum
kitab tersebut disyarah oleh Syekh Muhammad Yâsîn bin Isa al-Fâdânî, ia terlebih dulu
pernah diberi taqrirât (memberi pujian dan keterangan untuk memperkukuhkan sesuatu
perkara) pada bagian bawahnya oleh Sayid Muhsin al-Masâwi.
Selama bertahun-tahun Syekh Yâsîn aktif mengajar dan memberi kuliah di Masjidil Haram
dan Dâr al-‘Ulûm ad-Dîniyyah, Makkah, terutama pada mata kuliah ilmu Hadits. Pada tiap-
tiap bulan Ramadhan selalu membaca dan mengijazahkan salah satu diantara Kutub al-Sittah
(6 kitab utama ilmu Hadits). Hal itu berlangsung lebih kurang 15 tahun.

Muhammad Yâsîn kemudian menjadi seorang yang alim dan disegani bahkan disebut-sebut
sebagai ‘allâmah dan merupakan salah satu dari dua orang muhaddits (ahli hadis) terbesar
abad ke-XIV H sampai abad ke- XV H. Dan termasuk salah satu ulama Jawi yang mengajar
di Masjidil Haram. Pada tahun 1384 H/1964 M, Muhammad Yâsîn dipercaya untuk menjadi
kepala Madrasah di Madrasah Dâr al-‘Ulûm yang keempat sampai pada tahun 1410 H/1990
M.

Selain itu beliau juga dianggap sebagai perintis Madrasah Banât (sekolah perempuan), yakni
Madrasah Ibtidaiyah putri di Syamiyyak Makkah pada bulan Rabiul Awal tahun 1362 H.
Perjalanan Madrasah banat ini dari tahun ke tahun berkembang pesat, hal ini terbukti semakin
banyaknya pelajar dan alumni, karena Madrasah banat ini adalah yang pertama di kota
Makkah bahkan di kerajaan Saudi Arabia, sehingga pada tahun 1347 H didirikan Ma’had
Mu’allimât.

Semasa dia masih hidup, banyak jamaah haji Indonesia yang selalu menyempatkan mampir
di madrasah yang dikepalainya. Syekh Yâsîn juga memelihara relasi dengan sejumlah kiai di
Indonesia, bahkan menuliskan semacam thabâqat/tarâjum atau biografi sejumlah kiyai di
tanah air. Dia sempat hadir dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang pada 1979. Pada
kesempatan itulah dia menyempatkan diri untuk mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa
Tengah.

Di kalangan santri Indonesia, Syekh Yâsîn dikenal sebagai “benteng” doktrin Ahl al-Sunnah
wa al-Jamâ’ah di tanah Haramayn berhadapan dengan kampanye agresif ideologi Wahabi
yang disokong oleh pemerintah Saudi.

Anda mungkin juga menyukai