Anda di halaman 1dari 124

ANALISIS TINDAKAN POLRI DALAM PENANGANAN

PERSELISIHAN ANTAR KAMPUNG DI WILAYAH


LAMPUNG TENGAH

(Studi Kasus Perselisihan Antar Kampung Kebagusan dengan Kampung


Bumiratu Nuban)

(Tesis)

Diajukan Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Hukum
Program Pascasarjana (S2)
Universitas Bandar Lampung

Oleh :
BENIDIKTUS PRAMONO
201244022

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG
2022
ANALISIS TINDAKAN POLRI DALAM PENANGANAN
PERSELISIHAN ANTAR KAMPUNG DI WILAYAH
LAMPUNG TENGAH

(Studi Kasus Perselisihan Antar Kampung Kebagusan dengan


Kampung Bumiratu Nuban)

(Tesis)

Diajukan Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program


Studi Hukum Program Pascasarjana (S2)
Universitas Bandar Lampung

Oleh :
BENIDIKTUS PRAMONO
201244022

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG
2022

i
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Benidiktus Pramono
NPM : 201244022

Dengan Ini Menyatakan Bahwa Penelitian Saya yang berjudul “Analisis


Tindakan Polri Dalam Penanganan Perselisihan Antar Kampung di Wilayah
Lampung Tengah (Studi Kasus Perselisihan Antar Kampung
Kebagusan dengan Kampung Bumiratu Nuban )” adalah karya saya
sendiri dan bersifat orisinil. Bila mana dikemudian hari ketidak sesuaian dengan
pernyataan ini, maka saya bersedia di tuntut dan diproses sesuai ketentuan yang
berlaku.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan sebenar-benarnya.

Bandar Lampung, Februari 2022


Yang Menyatakan,

Benidiktus Pramono
NPM. 201244022

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : BENIDIKTUS PRAMONO

NPM : 201244022

Program Studi : Ilmu Hukum

Program : Pascasarjana

Konsentrasi : Hukum Pidana

Judul Tesis :Analisis Tindakan Polri Dalam Penanganan

Perselisihan Antar Kampung Di Wilayah Lampung

Tengah (Studi Kasus Perselisihan Antar Kampung

Kebagusan dengan Kampung Bumiratu Nuban)

Bandar Lampung, Februari 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Bambang Hartono, S.H., M.hum. Dr Ketut Seregig, S.H.M.H

iii
MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua Dewan Penguji: .......................

Penguji Utama : ........................

Penguji Kedua : ........................

2. Direktur Program Pascasarjana

Universitas Bandar Lampung

Dr. Andala Rama Putra Barusman S.E., M.A,Ec

Tanggal Lulus Ujian Tesis :

iv
PERSELISIHAN ANTAR KAMPUNG DI WILAYAH
LAMPUNG TENGAH

(Studi Kasus Perselisihan Antar Kampung Kebagusan dengan


Kampung Bumiratu Nuban)

TESIS

OLEH :
BENIDIKTUS PRAMONO
201244022

Telah dipertahankan di depan Komisi Penguji

Pada Tanggal : Februari 2022

TIM PENGUJI
Ketua Dewan Penguji Penguji Utama Penguji Kedua

Bandar Lampung, Februari 2022


Ketua Program Studi Magister Hukum

Prof. Dr. Lintje Anna Marpaung, S.H., M.H.

v
MOTTO

“Hiduplah Seakan-akan Kamu Akan Mati Besok, Belajarlah Seakan Kamu Akan
Hidup Selamanya”

Mahatma Gandhi

vi
PERSEMBAHAN

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
Karunia-Nya selama ini penulis dan keluarga besar tak henti-hentinya mengucap
syukur atas Berkat yang Tuhan telah berikan dan dilimnpahkanNya, maka dengan
ini penulis persembahkan Tesisi ini :

Kepada Ayahanda Matius Sadikun (Alm) dan Ibunda Yulia Tuminah Tercinta
Istri penulis yang Tercinta Fransisca Eka Sari,S.Pd., M.Pd.
Anak penulis yang Tersayang Michaela Alfa Prakasari
Tak lupa untuk keluarga besar penulis yang selama ini selalu mendukung penulis
mendapatkan cita-cita.

Terimakasih kepada semua Dosen dan Staf Universitas Bandar Lampung dan
semua teman-teman satu almamaterku tersayang, engkau semua akan tersimpan
dalam memoriku sampai akhir masa

vii
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG

PROGRAM PASCASARJANA-PROGRAM STUDI HUKUM

Jl. Zainal Abidin Pagar Alam No. 89 Telpn (0721) 789825

LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVSI) TESIS


Fax. (0721) 770261 Bandar Lampung 35142
Tanggal Ujian : Februari 2022
Nama : Benidiktus
E-mail: Pramono
info@ubl.ac.id
NPM : 201244022
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Pidana
Judul Tesis : Analisis Tindakan Polri Dalam Penanganan Perselisihan
Antar Kampung Di Wilayah Lampung Tengah (Studi
Kasus Perselisihan Antar Kampung Kebagusan dengan
Kampung Bumiratu Nuban)

Telah Direvisi Dan Disetujui Oleh Tim Penguji/Tim Pembimbing Dan


Diperkenankan Untuk Diperbanyak/Dicetak.
NO NAMA TIM PENGUJI KOMISI TANDA
TANGAN
1 Dr. Bambang Hartono, S.H.,M.Hum Ketua Tim Penguji
2 Penguji Utama
3 Penguji Kedua

Bandar Lampung, Februari 2022

Mengetahui :

Pembimbing I

Dr. Bambang Hartono, S.H., M.hum.

viii
KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis

ini tepat pada waktunya, dengan judul “Anakisis Tindakan Polri Dalam

Penanganan Perselisihan Antar Kampung di Wilayah Lampung Tengah (

Studi Kasus Perselisihan Antar Kampung Kebagusan dengan Kampung

Bumiratu Nuban)”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai

gelar Magister Hukum pada Universitas Bandar Lampung.

Penulis dalam menyelesaikan tesis ini banyak mendapatkan bantuan dan

bimbingan serta saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Dra. Hj. Sri Hayati Barusman selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan

Administrasi Lampung.

2. Bapak Dr. Andala R. Putra Barusman, M.A.Ec., selaku Ketua Yayasan

Administrasi Lampung dan sekaligus selaku Direktur Pascasarjana Univesitas

Bandar Lampung.

3. Prof. Dr. Ir. M. Yusuf Sulfarano Barusman, MBA selaku Rektor Universitas

Bandar Lampung.

4. Ibu Dr. Haninun, S.E., M.S., Ak., selaku Wakil Direktur Bidang Akademik

Pascasarjana Universitas Bandar Lampung.

5. Prof. Dr. Lintje Anna Marpaung, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi

Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Bandar Lampung.

ix
6. Bapak Dr. Bambang Hartono, S.H. M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Bandar Lampung.

7. Bapak Dr. I Ketut Seregig, S.H., M.H. selaku Pembimbing yang telah banyak

memberikan saran dan motivasi serta meluangkan waktu bagi penulis untuk

dapat menyelesaikan Tesis ini.

8. Seluruh dosen beserta staff karyawan Sekretariat Program Pascasarjana

Universitas Bandar Lampung, khususnya dosen dan staff karyawan Program

Studi Magister Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL).

9. Dirreskrimum Polda Lampung Kombes Pol Dr. Reynold Elisa P. Hutagalung,

S.E., S.I.K., M.Si., M.H. Atas Arahan dan Bimbingan Dalam Penelitian Tesis

ini.

10. Rekan-rekan Angkatan MH-44 UBL yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

11. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Tesis ini.

12. Almamater tercinta, Universitas Bandar Lampung.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT, membalas segala kebaikan yang

diberikan oleh berbagai pihak hingga tersusunnya Tesis ini. Apabila terdapat

kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Tesis ini, hanya sebatas inilah

kemampuan yang penulis miliki.

Bandar Lampung, Februari 2022

Penulis

x
ANALISIS TINDAKAN POLRI DALAM PENANGANAN PERSELISIHAN
ANTAR KAMPUNG DI WILAYAH LAMPUNG TENGAH

(Studi Kasus Perselisihan Antar Kampung Kebagusan dengan


Kampung Bumiratu Nuban)

ABSTRAK

OLEH
BENIDIKTUS PRAMONO

Tugas pokok lembaga kepolisian mencukup dua hal yaitu Pemeliharaán Keamanan dan
Ketertiban serta Penegakan Hukum. Namun dalam implikasinya tugas "Pemeliharaan"
dipandang pasif sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan. Polisi secara proaktif
melakukan "pembinaan", sehingga tidak hanya "menjaga" agar keamanan dan
pemeliharaan terpelihara tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat, mengajak
peran serta masyarakat dalam pemeliharaan keamanan dan bahkan ikut memecahkan
masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan. Tugas-tugas ini dipersembahkan oleh
polisi untuk membantu (to support) masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan rasa
aman sehingga memungkinkan kebutuhannya akan rasa aman sehingga tercapainya
kesejahteraan, disamping mendukung sebagai penegak hukum.
Penelitian ini Bertujuan Untuk mengetahui tugas memelihara keamanan masyarakat,
yakni Tugas dan fungsi Kepolisian Resort Lampung Tengah dalam Penanganan
Perselisihan Antar kampung di Wilayah Lampung Tengah (Studi kasus perselisihan antar
Kampung Kebagusan dengan Kampung Bumiratu Nuban).
Hasil penelitian ini adalah masyarakat mudah terprovokasi terhadap tindakan anarkis
sehingga kejadian perselisihan antar kampung, selain itu juga masyarakat kurangnya
wawasan tentang Peraturan Peundang-Undangan di Indonesia, maka dari itu, masyarakat
mudah mnelakukan tindakan anarkis, penanggulangan konflik antar kampung yang
anarkis oleh kepolisian dan jajarannya sudah berdasarkan dan berpedoman dengan
Undang-Undang 1945 dengan tetap memperhatikan Hak Asasi Manusia dengan
mengutamakan jalan perdamaian yang bertujuan menyatukan pihak-pihak yang bertikai,
faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konfik antar
kampung oleh Kepolisian faktor penghambat dalam menanggulangi masalah terhadap
tindakan anarkis dalam konflik antar kampung yaitu faktor hukum, faktor penegak
hukum, faktor sarana pendukung, faktor masyarakat dan SDM.
Saran dari penelitian ini adalah hendaknya masyarakat, supaya patuh hukum tidak main
hukum sendiri dan terprovokasi dengan orang lain, agar terciptanya keamanan dan
ketertiban masyarakat. Kepolisian sudah cukup tepat meskipun dalam hal ini kepolisian
dinilai gagal karena konflik yang terjadi di Lampung Tengah sudah memakan korban
harta dan jiwa yang tidak sedikit dan terus bertambah sehingga perlu ditingkatkan lagi
dalam hal koordinasi secara cepat dan tanggap agar kerusuhan serupa tidak semakin
meluas dan berkepanjangan.

Kata Kunci : Upaya Kepolisian, Penanggulangan Perselisihan antar Kampung

xi
ANALYSIS OF POLICE ACTIONS IN HANDLING DISPUTES BETWEEN
VILLAGES IN THE LAMPUNG CENTRAL AREA

( Case Study Of Disputes Between Kebagusan Village and Bumiratu Nuban)

ABSTRACT

OLEH :
BENIDIKTUS PRAMONO

The main tasks of the police institution are two things, namely the maintenance of
security and order and law enforcement. However, in its implication, the task of
"maintenance" is seen as passive so that it is unable to tackle crime. The police
proactively carry out "coaching", so that they not only "keep" security and maintenance
maintained but also raise public awareness, invite community participation in security
maintenance and even participate in solving social problems that are the source of crime.
These tasks are presented by the police to help (to support) the community in fulfilling
their need for security so as to enable their need for security so that welfare can be
achieved, in addition to supporting them as law enforcers.
This study aims to determine the task of maintaining public security, namely the duties
and functions of the Central Lampung Police in Handling Disputes between Villages in
the Central Lampung Region (a case study of disputes between Kebagusan Village and
Bumiratu Nuban Village).
The results of this study are that people are easily provoked by anarchic actions so that
disputes occur between villages, besides that the community lacks insight into the laws
and regulations in Indonesia, therefore, it is easy for people to carry out anarchic
actions, overcoming conflicts between anarchic villages by the police and their staff.
already based on and guided by the 1945 Constitution while still paying attention to
human rights by prioritizing the way of peace which aims to unite the warring parties, the
inhibiting factor in efforts to overcome anarchist actions in conflicts between villages by
the police, the inhibiting factor in tackling the problem of anarchist actions in Conflicts
between villages are legal factors, law enforcement factors, supporting facilities factors,
community factors and human resources.
The suggestion from this research is that the community should obey the law, not play the
law alone and be provoked by others, in order to create security and public order. The
police are quite right, although in this case the police are considered to have failed
because the conflict that occurred in Central Lampung has taken a toll on property and
lives that is not small and continues to grow, so it needs to be improved in terms of
coordination quickly and responsively so that similar riots do not become more
widespread and prolonged.

Keywords: Police Efforts, Handling Disputes Between Villages

xii
BIODATA PENULIS

Nama : Benidiktus Pramono


NPM : 201244022
Tempat/Tanggal lahir : Gisting Jaya, 20 Maret 1993
Agama : Katolik
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Gotong Royong, Terbanggi Subing
Kecamatan Gunung Sugih
Kabupaten Lampung Tengah
Kode Pos 34161.
Pekerjaan : Kepolisian RI (POLRI)
Status : Menikah

Riwayat Pendidikan :
1. SD (1999-2005) : SD Negeri 1 Gisting Jaya
2. SMP (2005-2008) : SMP Negeri 2 Negara Batin
3. SMA (2008-2011) : SMA Negeri 1 Negara Batin
4. S1 (2016-2020) : Universitas Bandar Lampung

Bandar Lampung, Februari 2022

Mahasiswa

Benidiktus Pramono

xiii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PENGUJI ................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ....................................................... v
HALAMAN MOTTO .............................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................. vii
KATA PENGANTAR .............................................................................. ix
ABSTRAK................................................................................................ xi
BIODATA PENULIS ............................................................................. xiii
DAFTAR ISI .......................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1


B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ................................ 2
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ................................... 3
D. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 4
E. Metode Penelitian........................................................................ 15
F. Sistimatika Penulisan ................................................................... 19

BAB II KONSEPSI TUGAS DAN FUNGSI KEPOLISIAN


A. Hakikat, Fungsi dan Tujuan Hukum ............................................ 21
B. Teori Negara Hukum ................................................................... 30
C. Penegakan Hukum Kewenangan Kepolisian ................................ 33
D. Hukum Pidana ............................................................................... 42
E. Keamanan dan Ketertiban Masyarakat ........................................... 51
F. Teori Kebijakan Kriminal .............................................................. 56

BAB III TINDAKAN POLRI DALAM PENANGANAN


PERSELISIHAN ANTAR KAMPUNG YANG TERJADI
DIWILAYAH LAMPUNG TENGAH
A. Gambaran Umum Kepolisian Resort Lampung Tengah ................. 58
B. Organisasi Kepolisian Resort Lampung Tengah Kedudukan Tugas
dan Fungsi ..................................................................................... 60

xiv
C. Gambaran Tindak Pidana di Wilayah Kepolisian Resort Lampung
Tengah .......................................................................................... 67
D. Tugas dan Fungsi Kepolisian Resort Lampung Tengah.................. 68
E. Tugas dan Wewenang Forkopimda ( Forum Komunikai Pimpinan
Daerah) dan Kominda (Komunitas Intelejen Daerah) ..................... 72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian ............................................................................. 77
B. Pembahasan ................................................................................... 84

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 102
B. Saran ........................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA

xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aspek Keamanan dan Ketertiban merupakan suatu kebutuhan dasar yang

diharapkan masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Oleh sebab

itu, masyarakat sangat menyukai perhatian akan rasa aman dari segala bentuk

situasi dan kondisi yang mengarah pada hal-hal yang merusak tatanan

kehidupan masyarakat. Adanya rasa aman dan tertib dalam kehidupan

bermasyarakat akan dapat menciptakan kehidupan yang harmonis, sebaliknya

apabila kondisi masyarakat dihadapkan pada kondisi tidak aman akan

mengganggu tatanan kehidupan masyarakat yang akan mengganggu

pemenuhan taraf hidup.

Menjaga keamanan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama sebagai

warga negara yang baik. Salah satu bagian terpenting dalam pemeliharan

keamanan lingkungan adalah peran serta warga. Namun demikian untuk

menciptakan, menjaga dan melindungi masyarakat Indonesia dari segala

bentuk ketidakamanan dan ketidaktertiban adalah tugas Kepolisian Republik

Indonesia mulai dari tingkat pusat sampai ke seluruh pelosok tanah air. Peran

dan tugas pokok Polisi Republik Indonesia (Polri) meliputi:

(1) Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas),

(2) Memberikan Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat.

(3) Menegakkan Hukum.

Tugas pokok lembaga kepolisian mencukup dua hal yaitu Pemeliharaán


Keamanan dan Ketertiban serta Penegakan Hukum. Namun dalam
implikasinya tugas "Pemeliharaan" dipandang pasif sehingga tidak mampu

1
menanggulangi kejahatan. Polisi secara proaktif melakukan "pembinaan",
sehingga tidak hanya "menjaga" agar keamanan dan pemeliharaan terpelihara
tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat, mengajak peran serta
masyarakat dalam pemeliharaan keamanan dan bahkan ikut memecahkan
masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan. Tugas-tugas ini
dipersembahkan oleh polisi untuk membantu (to support) masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya akan rasa aman sehingga memungkinkan
kebutuhannya akan rasa aman sehingga tercapainya kesejahteraan, disamping
mendukung sebagai penegak hukum (to support)1.

Upaya mencegah dan mengatasi berbagai bentuk tindakan yang mengancam

Kamtibmas, maka kesiapan dan tindakan cepat dari Polres sangat mudah atau

tidak ada informasi dari masyarakat dan semua unsur yang ikut bertanggung

jawab dalam menjaga Kamtibmas sebagai mitra polisi dalam menciptakan

dan meningkatkan kualitas kamtibmas. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa berhasil atau tidaknya akan Kamtibmas sangat bergantung dengan

kebijakan koordinasi kepolisian dengan semua pihak yang terkait. Oleh

karenanya, maka sesuai tupoksinya bahwa polisi harus melaksanakan tugas

dan kewajiban profesional dengan mengedepankan integritas yang tinggi.

Mengingat peran Polres sangat menentukan tercapainya stabilitas Kamtibmas


di wilayah kabupaten, maka Peneliti merasa tertarik untuk meneliti dan
menganalisis tentang tugas dan fungsi Polres tersebut berkaitan dengan
Kamtibmas. Hasilnya disajikan ke dalam karya ilmiah berupa tesis dengan
judul: Analisis Tindakan Polri Dalam Penyelesaian Perselisihan Antar
Kampung Yang Terjadi di Wilayah Lampung Tengah (Studi Kasus
Perselisihan Antar Kampung Kebagusan dan Kampung Bumiratu
Nuban).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

1
Soewadji, Merubah Image Polisi, Pustaka Bintang, Jakarta, 2005, hlm. 31

2
Berdasarkan uraian dan latar belakang Resort tersebut diatas, maka dapat

ditemukan permasalahan sebagai berikut :

a. Apa Faktor penyebab terjadinya perselisihan antar kampung di

Kabupaten Lampung Tengah?

b. Apakah Faktor Penghambat dalam Penanganan peselisihan di Kabupaten

Lampung Tengah ?

2. Ruang Lingkup penelitian

Untuk mengetahui tugas memelihara keamanan masyarakat, penulis

membatasi ruang lingkup penelitian ini Pada :

a. Tugas dan fungsi Kepolisian Resort Lampung Tengah dalam Penanganan

Perselisihan Antar kampung di Wilayah Lampung Tengah (Studi kasus

perselisihan antar Kampung Kebagusan dengan Kampung Bumiratu

Nuban).

b. Faktor penghambat Kepolisian Resort Lampung Tengah dalam upaya

Penanganan perselisihan antar kampung di Wilayah Lampung Tengah

(Studi kasus perselisihan antar Kampung Kebagusan dengan Kampung

Bumiratu Nuban).

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui tugas dan fungsi Kepolisian Resort Lampung Tengah

dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Studi kasus

3
perselisihan antar Kampung Kebagusan dengan Kampung Bumiratu

Nuban).

b. Untuk mengetahui faktor penghambat Kepolisian Resort Lampung

Tengah dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat

(Studi kasus perselisihan antar Kampung Kebagusan dengan Kampung

Bumiratu Nuban).

2. Manfaat Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan menjadi suatu karya ilmiah yang bermanfaat

sebagai sumbangsih dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya

perkembangan Hukum Pidana

b. Kegunaan Praktis

1. Dapat dijadikan pedoman bagi Kepolisian Resort Lampung Tengah

dalam Penanganan Penyelesaian Antar Kampung di Wilayah

Lampung Tengah (Studi kasus perselisihan antar Kampung

Kebagusan dengan Kampung Bumiratu Nuban).

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas dalam upaya

turut menjaga keamanan dan masyarakat serta perilaku sadar hukum

3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum

(MH) pada Program Pascasarjana Universitas Bandar Lampung.

D. Kerangka Pemikiran

Kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mengamanatkan bahwa salah satu

4
tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan yang didasarkan pada keadilan sosial. Tujuan tersebut menurut
Jimly Asshiddiqie merupakan tujuan tertinggi secara konstitusional dan
dibentuknya suatu negara selain untuk mencapai keadilan, ketertiban dan
kemerdekaan atau kebebasan, karena hal ini merupakan amanat dari
konstitusi2.

Hugo Grotius sebagai pemuka aliran hukum alam modern menyatakan bahwa
terbentuknya negara bertolak dari alam manusia, karena semua manusia
memiliki alam yang sama dan kecenderungan-kecenderungan yang sama
untuk berhubungan dengan satu sama berkehendak hidup bersama untuk
membentuk masyarakat, untuk itu negara adalah hasil kehendak orang-orang
individu untuk hidup untuk bersama 3.

Selanjutnya dikemukakan bahwa prinsip dasar dari hukum alam adalah setiap
orang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama dengan orang lain secara
damai. kecenderungan tersebut ada pada manusia lepas dari kemauannya,
sehingga kecenderungan untuk hidup bersama secara damai ini menjadi dasar
objektif dari seluruh hukum4.

Terbentuknya negara Indonesia memperlibatkan bahwa rakyat Indonesia

berkeinginan untuk hidup bersama secara damai dengan prinsip-prinsip dasar

yang harus ditaati.

Selanjutnya Hugo Grotius menyatakan bahwa prinsip yang perlu ditaati


supaya hidup bersama orang lain secara damai dapat berjalan dengan baik
adalah: pertama prinsip kupunya dan kaupunya, milik orang lain harus dijaga,
kedua, prinsip kesetiaan pada janji; ketiga, prinsip ganti rugi, yakni kerugian
yang disebabkan karena kesalahan orang lain; dan keempat, prinsip perlunya
hukuman karena ada pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum
lainnya5.

Sehingga menjadi dasar objektif dari seluruh hukum di Indonesia.

Untuk maksud tersebut di atas diperlukan campur tangan Negara, meksipun

hal tersebut sifatnya privat. Campur tangan negara (pemerintah) dalam bidang

hukum yang bercirikan sebagai negara kesejahteraan (Welfare state)

2
Jimly Assiddiqie, Konstitusi Ekonomi. PT. Kompas, Jakarta, 2010. hlm. 9.
3
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm,
59.
4
Ibid, hlm, 60.
5
Jimly Assiddiqie. Konstitusi...,Loc. Cit, hlm. 60.

5
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan

bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai wujud pembangunan hukum.

Secara teoritik, W.Friedman menyatakan mengenai fungsi Negara, bahwa


terdapat 4 fungsi negara :
1. Negara sebagai penjamin/penyedia (provider) yang dalam kapasitas ini,
upaya-upaya untuk memenuhi standar minimal yang diperlukan
masyarakat.
2. Fungsi negara sebagai pengatur (regulator) untuk menjamin agar tidak
muncul kekacauan.
3. Fungsi negara sebagai pengusaha (enterpreneur) campur tangan langsung
bidang perekonomian karena ada bidang usaha tertentu yang vital bagi
masyarakat atau usaha yang berhubungan dengan kepentingan pelayanan
umum (public service).
4. Negara sebagai pengawas (umpire) dari produk aturan hukum untuk
merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor ekonomi
termasuk perusahaan Negara (State Corporation), menjaga keadilan dan
keadilan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum6.

Fungsi Negara (pemerintah) seperti yang dikatakan oleh W. Friedmann,

menunjukkan bahwa sebenanya dalam paham negara kesejahteraan, Negara

boleh campur dalam bidang perekonomian7, itu semua bertujuan untuk

mencapai kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat

Indonesia sebagai wujud pembangunan hukum. Peran Negara Diperlukan

sebagai regulator dalam membuat peraturan perundang-undangan yang

berkeadilan sebagaimana cita-cita demokrasi Indonesia mewujudkan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan memberikan kepastian hukum yang

jelas dan tegas bagi masyarakat dalam pembangunan perekonomian, sehingga

menyandang pemihakan (parsialisme, special Favour) terhadap yang lemah,

yang miskin dan yang terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan

perlakuan khusus ke arah pemberdayaan.

6
Johny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, ITS Press, Surabaya, 2009, hlm, 141.
7
Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hk Atas Air Pro-Rakyat. Surya Pena Gemilang, Malang, 2010.
hlm. 168. Sebagaimana Dikutip dari Wolfgang Friedmann, The State and Rule of Law in a Mised Economy,
Steven and Son, London, 1971. Hlm. 3.

6
Parsialisme terhadap yang tertinggal ini menurut Sri Edi Swasono 8, bukanlah

sikap yang diskriminatori apalagi bersikap "sara", melainkan memberi makna

positif pada doktrin kebersamaan dalam seperti kekeluargaan Indonesia. Dari

sinilah titik tolak untuk menegaskan bahwa efisiensi ekonomi berdimensi

kepentingan sosial. Inilah yang membedakan dengan pandangan ekonomi

liberal yang memaknai "efisiensi ekonomi" pada maximum gain (dalam badan

usaha ekonomi) dan maximum satifaction (dalam transaksi ekonomi orang-


scorang
). Perumusan kata "efisensi berkeadilan" yang termaktub dalam Pasal 33

Ayat (4) UUD 1945, terkadang maksud untuk menangkal masuknya

pandangan neoliberalisme dalam sistem demokrasi ekonomi Indonesia.

Sistem Demokrasi ekonomi yang dimaksud pelaksanaaan kegiatan ekonomi

Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

dengan berbasis pada kemakmuran rakyat.

Tugas dan Tanggung jawab di atas, dapatlah dikatakan bahwa (pemerinah)


Indonesia menganut faham negara kesejahteraan (welfare state). Ini
tercermin dalam Paal 33 UUD 1945, yang kewajiban kewajiban negara dalam
mengelola sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Manuel
Kaisiepo9.

Jika memiliki cita-cita dan pemikiran perumusan Pasal 33 UUD 1945, yang

selanjutnya dijadikan landasan konstitusional perekonomian Indonesia, maka

model negara yang paling sesuai untuk merealisasikan cita-cita tersebut

adalah negara kesejahteraan (welfare state).

Terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan


Undang- Undang Dasar 1945 dilaksanakan melalui konsep negara
kesejahteraan. Konsep negara kesejahteraan pada dasarnya mengacu pada
peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian

8
Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, UI-Press, Jakarta, 1987, hlm.118.
9
Manuel Kaisiepo. Pancasila dan Keadilan Sosial: Peran Negara Dalam Buku Restorasi
(Mendamaikan Politik dan Identitas dan Modernitas) Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila,
Jakarta Fisip UI dan Brigten Press, 2006, hlm. 187.

7
yang di dalamnya "mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin
ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi
warganya10.

Teori Negara kesejahteraan ini dijadikan sebagai teori utama dalam

menganalisis permasalahan untuk mewujudkan Negara kesejahteraan.

Teori negara kesejahteraan (welfare state) mulai populer pada abad ke -20.
Menurut Bagir Manan, Negara kesejahteraan adalah negara atau pemerintah
tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban massyarakat,
tetapi pemikul utama tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat 11.

Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.


Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya
hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi
demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang
sedang membangun, karena hasil-hasil pembangunan itu harus dipelihara,
dilindungi dan diamankan. Pada masyarakat yang sedang membangun, fungsi
hukum tidaklah cukup hanya untuk memelihara dan mempertahankan
pembangunan, tetapi hukum juga harus dapat membantu proses perubahan
masyarakat. Perubahan yang dikehendaki dalam masyarakat hendaknya
dilakukan dengn cara yang tertib, selama itu pula masih ada tempat bagi
peranan hukum12.

Hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang


mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga (Institutions) dan proses-proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dasar pengertian hukum
tersebut, hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakat,
schingga dapat dipahami apabila hukum itu merupakan salah satu sarana
pembaharuan dan pembangunan masyarakat 13.

Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social

engineering) bertujuan tercapainya ketertiban, kepastian hukum dan rasa

keadilan dalam masyarakat14. Sejalan dengan pemikiran tersebut dalam

10
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo. Mimpi Negara Kesejahteraan. Pustaka. LP3ES,
Jakarta, 2006, hlm. 9.
11
Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi
Ekonomi”. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasionaldi Fakultas Hukum Universitas Lampung,
1996, hlm. 16.
12
Muchtar Kusumaatmaja, Konsep - Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung,
2002, hlm. 3.
13
Ibid, hlm. 14.
14
Ibid, hlm. 30.

8
kaitannya dengan pembangunan hukum dalam pembangunan jangka panjang

nasional tahun 2005-2025, reformasi hukum dan birokrasi diarahkan untuk:

pertama, mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan;

kedua, mengalur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama

dunia usaha dan dunia industri: serta ketiga, menciptakan kepastian investasi,

terutama penegakan dan perlindungan hukum.

Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat,

nilai-nilai itu tidak lepas dari sifat yang dimiliki anggota masyarakat. Mochtar

Kusumaatmadja mengatnkan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah

pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup. Hukum harus mampu memenuhi

kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan serta tahapan pembangunan

disegala bidang, schingga dapat mencpitakan ketertiban dan kepastian hukum

untuk menjamin serta memperlancar pembangunan. Hukum dalam arti kaidah

bisa berfungsi sebagai pengatur arah yang dikehendaki pembangunan, untuk

itu pembangunan hukum harus berada di depan. Melaksanakan pembangunan

di Indonesia, hukum harus maju di depan menjadi motor pembangunan.

Penegakan hukum dalam bahasa belanda disebut dengan rechtstoepassing


atau rechtshandhaving dan dalam bahasa inggris law enforcement, meliputi
pengertian yang bersifat makro dan mikro. Bersifat makro mencakup seluruh
aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan benegara, sedangkan dalam
pengertian mikro terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan
pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penegakan hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep- konsep hukum
yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. 15

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan bayak hal.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan

15
Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2012. hlm. 5.

9
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabatkan didalam kaidah-kaidah

atau pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide


keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi
penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat
menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal16.

Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam

praktik sebagaimana seharusnya patut dipatáhi. Oleh karena itu, memberikan

keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam

mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil déngan

menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:


1. Ditinjau dari sudut subjeknya:
Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek
hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan
aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan bukum yang berlaku, berarti
dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit,
penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu sturan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
2. Ditinjau dari sudut objeknya,
yaitu dari segi hukumnya: Dalam arti luas, penegakkan hukum yang
mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermaryarakat.

16
Dellyana, Shant, Konsep Penegakan Hukum. Liberty Yogyakarta. 1988. hlm. 31.

10
Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan
peraturan yang formal dan tertulis17.

Dalam melakukan tindakan represif anggota Kepolisian selalu berdasarkan

pada prosedur tetap Direktur Shabara Babinkam POLRI No. Pol:

Protap/01/V/2004, dengan indikator-indikator situasi anarkis pada angka 10

yang menyatakan :

1. Tindakan kepolisian awal/preventif dalam bentuk: negoisasi, himbauan,

tembakan peringatan/salvo, dorongan dengan menggunakan peralatan

dalmas (tameng,tongkat,gas air mata) sudah tidak diindahkan dan

kerusuhan cenderung meluas serta brutal.

2. Masa perusuh menunjukkan sikap dan tindakan melawan perintah petugas

Polri dan tidak mengindahkan sama sekali peringatan untuk tidak

melakukan pelanggaran hukum.

3. Masa perusuh mulai melakukan tindakan kekerasan yang membahayakan

keselamatan jiwa, raga dan harta benda masyarakat dengan cara:

melempar, memukul, menganiaya, memperkosa, menyandra dan

membunuh.

Tindakan yang dilakukan polisi untuk melakukan penangunan atau


penyampingan terhadap perkara pidana, jika dilihat menurut sikap hukum
pidana yang kaku dimana tidak mengenal kompromi, maka tidak bisa
dibenarkan begitu saja tentunya. Sedangkan jika dilibat dari alasan sosiologis
yang terkadang digunakan dalam praktek, biasanya lebih dipengaruhi olch
unsur subyektif yang melekat pada diri polisi, juga situasi dan kondisi untuk
menjamin yang baik bagi masyarakat pada umumnya maupun polisi pada

17
Ibid

11
khususnya diperlukan adanya aturan sebagai dasar yang tegas untuk
mengaturya.

Berkaitan dengan landasan hal tersebut, bagi petugas penyidik dari kepolisian

terdapat beberapa aturan perundang-undangan yang langsung maupun tidak

berhubungan dengan masalah diskresi kepolisian ini. Dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada

Pasal 7 (j), memberikan wewenang kepada penyidik yang karena

kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Terlepas dari batasan perkara yang serba ringan yang ditetapkan oleh

perundang- undangan untuk mengenyampingkan perkara itu, disini juga

terlihat bahwa di dalam melaksanakan tugas itu polisi diberi wewenang oleh

undang-undang untuk dapat melaksanakan tindakan kepolisian dalam bentuk

apapun yang disebut diskresi, sepeti yang tercantum dalam ketentuan Pasal

18 Undng-Undang Nomor 2 Tahun 2002 lentang Kepalisan Negara Republik

Indonesia, sehingga polisi mmang benar-benar mempunyai wewenang untuk

melakukan diskresi terutama dalam hal penyidikan seperti menghentikan,

mengenyampingkan perkara atau tidak melaksanakan tindakan terhadap suntu

pelanggaran, tetapi dalam batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Undang-undang memberikan wewenang yang begitu besar kepada polisi

dalam rangka melaksanakan tugasnya, sehingga tidak salah kiranya jika

tindakan-tindakan kepolisian tersebut perlu diimbangi dengan adanya

pengawasan-pengawasan dan harus dapat dipertanggungjawabkan oleh

ketentuan-ketentuan yang berlaku agar tidak terjadi penyalahgunaan

12
kekuasaan. Hal ini dikarenakan antara sub sistem yang satu dengan yang

lainnya terdapat keterkaitan satu dengan yang lainnnya. Ketidaksempurnaan

kerja dalam salah satu sub sistem, akan menimbulkan dampak pada

subsistem-subsistem lainnya. Demikian pula, reaksi yang timbul sebagai

akibat kesalahan pada salah satu subsistem akan menimbulkan dampak

kembali pada subsistem yang lainnya.

Keamanan yang asal katanya aman adalah suatu kondisi yang bebas dari
segala macam bentuk gangguan dan hambatan. Sedangkan pengertian
ketertiban adalah suatu keadaan dimana segala kegiatan dapat berfungsi dan
berperan sesuai ketentuan yang ada. Pengertian Kamtibmas adalah keamanan
dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai
salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam
rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan,
ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang
mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan
kekuatan masyarakat dalam menangkal, memcegah, dan menanggulangi
segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang
dapat meresahkan masyarakat 18.

Perkataan aman dalam pemahaman tersebut mengandung 4 (empat)

pengetian dasar yaitu :

1. Security yaitu perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis,

2. Surety yaitu perasaan bebas dari kekhawatiran;

3. Safety yaitu perasaan terlindung dari segala bahaya; dan

4. Peace yaitu perasaan damai Iahiriah dan batiniah.

Masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah

sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi

adalah antara individu- individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata

"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarnk. Lebih

abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan

18
Pasal 1 Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002.

13
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang

interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah

masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama

daiam satu komunitas yang teratur.

Penggunaan kekerasan oleh seseorang terhadap orang lain, merupakan hal

yang dilarang dalam hukum pidana karena penggunaan kekerasaan membawa

akibat berupa luka ataupun kematian. Untuk itu dalam KUHPidana telah

dirumuskan dan diancamkan pidana terhadap berbagai cara dan akibat dari

perbuatan yang menggunakan kekerasan.

KUHPidana mengancamkan pidana terhadap penggunaan kekerasan, antara

lain pembunuhan dan penganiayaan, mulai dari pembunuhan dan

penganiayaan yang merupakan serangan dari seseorang terhadap seorang lain,

perkelahian,di mana dua orang secara sadar sepenuhnya memulai duel satu

lawan satu, sampai pada penggunaan kekerasan oleh sejumlah orang

bersama-sama dalam berbagai bentuknya.

Larangan terhadap penggunaan kekerasan secara bersama dapat ditemukan

antara lain dalam Pasal 170 KUHPidana, terletak dalam Buku II (Kejahatan),

Bab V (Kejahatan terhadap Ketertiban Umum), yang menentukan bahwa,

(1) Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama

menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam :

14
1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja

menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan

mengakibatkan luka-luka;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan

mengakibatkan luka berat;

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan

mengakibatkan maut.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan maalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif dan Pendekatan empirik19.

a. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan terhadap masalah yang ingin diteliti di lakukan

menggunakan pendekatan yuridis normative yang bersifat teoritis.

Peadekatan melalui studi pustaka mempelajari dan memahami ilmu-

ilmuhukum terutama tentang kepolisian, asas-asas hukum, serta

peraturan perundang-undangan yang turtulis dan berlaku

b. Pendekatan Empiris

Pendekatan yang digunakan dalam pendekatan yuridis empiris, yaitu

menelusuri tentang tugas dan fungsi kapolsek dalam menjaga

kamtibmas.

2. Sumber dan Jenis Data

19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan 3, UI Press, Jakarta, 1986. hlm. 63.

15
Penelitian ini mènggunakan data yang diperlukan yaitu berupa data :

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari melakukan studi

pustaka atau studi kepustakaan atau bisa disebut studi dokumen, Data

skunder sebagai sumber atau bahan informasi merupakan:

1) Bahan Hukum Primer

Dalam mengadakan penelitian menggunakan data primer berupa :

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia

c) Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Sektor dan

Kepolisian Resor.

d) Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Sektor dan

Kepolisian Resor.

e) KUHP Pasal 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya

Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang

Peraturan Hukum Pidana Untuk seluruh wilayah Republik

Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(1) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(2) UU Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Republik

Indonesia

(3) UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman

16
(4) SE Kapolri Nomor 8 tahun 2008 tentang Penerapan

Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana

(5) Perkap kapolri no 6 th 2019 menjelaskan tentang Penyelidikan

Tindak Pidana

f) UU kepolisian tahun 2002 Pasal 14 ,Pasal 16, dan Pasal 18

menjelaskan tentang Tugas dan Wewenang Kepolisian Republik

Indonesia

g) Perkap no 6 th 2019 tentang restorasi justice

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer

misalnya : literatur-literatur yang berkaitan dengan kepolisian,

kamus hukum, media cetak dan situs website.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

buku-buku refrensi yang ada kaitannya dalam tesis ini.

b. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat

sebagai sumber pertama dengan melalui sumber lapangan, perolehan

data primer dari penelitian dilapangan dapat dilakukan dengan cara

hasil pengamatan (observasi), hasil wawancara, penyebaran data

pertanyaan. Data primer ini hanya bersifat pendukung dari data

sekunder dalam penelitian.

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

17
1. Data Sekunder

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka atau kepustakaan,

pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara memahami,

membaca, dan mengutip serta mencatat literatur berupa buku-buku,

dokumen, penelitian-penelitian yang terkait dengan permasalahan

yang dibahas.

2. Data Primer

Dilakukan dengan cara melakukan Pengumpulan data primer

wawancara atau interview berupa pertanyaan yang bersifat terbuka,

dimana wawancara ini mengggunakan teknik acak sederhana.

b. Presedur Pegolahan Data

Data yang diperoleh atau diolah melahai tahapan-tahapan:


1. Editing yaitu memperbaiki atau membetulkan jawaban yang kurang
jelas meneliti jawahan responden serta kegiatan lain sehingga data
bemanfaat bagi penelitian ini.
2. Klasifikasi Data adalah penempatan data dan pengolahan data atau
penggolongan data sesuai dengan pokok bahasan yang akan dibahas
dalam penelitian
3 Penyusunan data yaitu data yang telah diperiksa dan diklasifikasikan
dan kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan urutanya
sehingga mempermudah dalam pembahasan analisis dan
interprestasi20.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan

mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti

yang disarankan oleh data Sementara itu dalam suatu penelitian antara
20
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, PT, Rineka Cipta, Jakarta,
2002. hlm. 101.

18
analisis yuridis dan analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali

apabila digunakan dengan tepat, sepanjang hal itu mungkin keduanya

dapat saling menunjang.

Kegiatan analisis dalam penulisan ini dimulai dengan dilakukannya

pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang

dilakukan, inventarisasi peraturan perundang-undangan, karya ilmiah,

dokumen-dokumen resmi yang ada dan laporan-taporan penelitian yang

berkaitan dengan penulisan ini. Kemudian data primer dan data sekunder

yang ada dilakukan analisis secara yuridis. Kemudian ditarik kesimpulan

dengan menggunakan metode deduktif sebagai jawaban atas segala

permasalahan hukum yang ada dalam penulisan ini.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh dan memahami isi penelitian ini maka penulisan

disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu :

Bab I. Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang masalah,

Permasalahan dan ruang lingkup penelitian, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian

Bab II. Konsepsi Tindakan Polri Dalam Penanganan Perselisihan

Antar Kampung yang terjadi di Wilayah Lampung Tengah, bab ini

memuat tentang Pengertian Hukum Pidana, Pengertian Tindak Pidana,

Pengertian Pertanggung jawaban Pidana, Pengertian Peran Polres dan

Tugas serta Wewenang Kepolisian Republik Indonesia

19
Bab III. Gambaran Umum Kepolisian Resort Lampung Tengah bab

ini berisi tugas dan tanggung jawab Kepolisian Polres Lampung Tengah,

Gumbaran Umum Polres Lampung Tengah, Gambaran Tindak Pidana di

Wilayah Polres Lampung Tengah, dan Teori Kebijakan Kriminal.

Bab IV. Penanganan Perselisihan Antar Kampung yang terjadi di

Wilayah Lampung Tengah ( Studi Kasus Perselisihan antar Kampung

Kebagusan dengan Kampung Bumiratu Nuban)

Bab ini memuat tentang Kronologis kejadian Perselisihan Antar kampung

yang terjadi di Wilayah Lampung Tengah,Tugas dan Tanggung Jawab

Kepolisian Polres Lampung Tengah.

Bab V Penutup, dalam bab ini membahas kesimpulan terhadap jawaban

permaalahan dari penelitian dan saran-aran dari penulis yang merupakan

alternative penyelesalan masalah.

20
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Hakekat, Fungsi dan Tujuan Hukum

Pemahaman terhadap hukum harus di mulai terlebih dahulu mengenai


pengertian tentang hukum itu sendiri. Terdapat banyak definisi yang di
kemukakan oleh para sarjana tentang hukum. Definisi yang di kemukakan oleh
para ahli hukum, bisa dikatakan tidak terdapat rumusan yang sama mengenai
definisi hukum. Perbedaan definisi yang di kemukakan oleh para ahli tentang
hukum disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, dalam hal ini
adalah perbedaan pandangan dan pemahaman para ahli hukum itu sendiri.
Sebagaimana dikemukakan oleh Lemaire, babwa hukum itu banyak segi yang
meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak
mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif 21.

Namun setidaknya untuk mengetahui apa yang di maksud dengan hukum,

maka berikut ini akan ditunjukkan berbagai pandangan para ahli mengenai

definisi hukum baik yang di kemukakan oleh ahli hukum dari luar negeri

maupun ahli hukum dalam negeri.

a. Va Vollenhoven

Sebagaimana dikutip oleh Eami Warasih, pengertian hukum oleh Van


Vollenboven diartikan sebagai suatu gejala dalam pergaulan hidup yang
bergolak dan terus menerus dalam keadaan bentuk dan membentur tanpa
henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya22.

b. J. Van Kan

mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan tententuan-ketentuan kehidupan

yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang

dalam masyarakat 23

c. Utrecht

21
Esmi Warasih, Pranata hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005,
hlm. 22.
22
Ibid
23
Abdul Gofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Gajah Mada Universuty
Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 35.

21
Utrecht mendefinisikan hukum sebagai himpunan petunjuk-petunjuk
(perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam
sesuatu masyarakat, dn seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu 24.

d. O. Notohamidjojo

Notohamidjojo mendefinisikan hukum yang ditinjau dari sudut pandang


filsafat hukum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak
tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam
masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu
keadilan dan gaya guna demi tata dan damai dalam masyarakat 25.

e. Sudikno Mertokusumo

Hukum sebagai keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan kaedah- kaedah


dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku
yang berlaku dalam suntu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 26

f. Achmad Ali

Hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang
salah, yang dibuat atau diakul eksistensinya oleh pemerintah, yang
dituangkan baik sebagai aturan tertulis (peraturan) ataupun yang tidak
tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara
keseluruhan, dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan itu.27

Dari definisi-definisi yang sudah pénulis sebutkan, di ketahui betapa luasnya

pengertian mengenal hukum, Dengan begitu luasnya definisi mengenai hukum

tersebut, sehingga Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka

mengidentifikasi setidaknya ada sembilan arti yang harus dipenuhi agar bisa

dikatakan sebagai suatu hukum.

Meskipun pengertian hukum itu begitu luas dan rumit namun ada tiga metode
yang dapat digunakam untuk melihat hukum. Ketiga metode untuk melihat

24
Utrecht, Pengantar Dalam Buku Indonesia, Cet, Ketujuh, PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar,
Jakarta, 1962, hlm. 10.
25
O, Notohamidjojo, Soal – Soal Pokok Filsafat Hukum, Editor Tri Budiyono, Griya Media, Salatiga,
2011, hlm. 121.
26
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Cet, Keempat,
2008, hlm. 40.
27
Ahmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum,
Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 2.

22
hukum tersebut menurut Satjipto Rahardjo, yaitu: pertama, metode yang
bersifat idealis, metode ini digumakan melihat hukum sebagai perwujudan dari
nilai-nilai tertentu. kedua, metode normatif analitis, metode ini digunakan
untuk melihat hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak,
maka perhatiannya akan terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang
benar-benar otonom, yakni yang bisa kita bicarakan sebagai subyek sendiri,
terlepas dari kaitan-kaitannya dengan hal-hal diluar peraturan-peraturan
tersebut. Ketiga, metode sosiologis, metode ini đignakan untuk melihat hukum
sebagai alat untuk mengatur masyarakat 28.

Pada hakikatnya hukum dimaksudkan untuk mengatur hubungan tingkah laku

dan pargaulan yang ada di dalam masyarakat. Baik yang dilakukan oleh orang

yang satu dengan orang yang lainnya, orang perorang dengan negara maupun

mengatur mengenai hubungan lembaga-lembaga yang ada di dalam negara

tersebut. Dengan adanya hukum maka kekuasaan yang dijalankan agar sesuai

degan fungsi dan tujuan dari pada hukum itu sendiri.

Hukum di bentuk oleh manusia untuk mengendialikan setiap pergaulan di


antara manusia itu sendiri. Dimana manusia dikenal sebagai zoon politicon
yaitu mahluk yang mempunyai kecenderungan untuk hidup berkelompok. Hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Cicero yaitu ubi societas ibi ius dimana
ada masyarakat di situ ada hukum. Hakekat tentang hukum sendiri dapat dilihat
dari tiga teori, yaitu teori imperatif, teori indikatif, dan teori optatif29.

Di dalam teori imperatif, hakekat hukum dapat ditemukan dari asal mula

hukum itu diciptakan. Misalnya teori yang mengatakan bahwa hukum berasal

dari negara atau teori yang mengatakan bahwa hukum berasal dari perjanjian

dalam masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, John Locke

dan J.J Rouseau. Dalam teori indikatif, hakekat hukum ditemukan dalam

kenyataan di dalam hukum itu sendiri. Dalam hal ini misalnya menunjukkan

pada paham Volkgeist jiwa bangsa yang dikemukakan oleh Von Savigny.

28
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet, Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 5-6.
29
O, Notohamidjojo, Soal – Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1974, hlm.
26-29.

23
Sedangkan teori optatif mengatakan bahwa hakekat hukum dapat ditemukan di

dalam tujuan dari hukum itu sendiri.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam teori optatif bahwa hakekat hukum

diketemukan dalam tujuan hukum. Yang dimaksud dengan tujuan hukum

adalah apa yang hendak dicapai oleh hukum. Dalam hal ini hukum ingin

mencapai keseimbangan agar hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan

masyarakat agar tidak terjadi kekacauan. Untuk menjamin keseimbangan

tersebut maka diperlukan tujuan hukum. Seperti halnya dengan definisi tentang

hukum, maka tujuan hukum pun banyak ragamnya. Namun secara umum

tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan.

Tujuan hukum untuk mencapai keadilan dalam teori hukum di kenal sebagai

etis. Menurut para penganut teori etis, dikatakan bahwa hakekat keadilan itu

terletak pada pemilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini

ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang

diperlakukan. 65 Teori etis ini dipelopori oleh Aristoteles. Dalam memandang

keadilan, Aristoteles membedakannya menjadi dua macam, yaitu justisia

distributiva dan justisia comutativa. Dalam jurtisia distributiva dikehendaki

bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya yang harus ia terima.

Sedangkan dalam justisia comutativa atau keadilan yang menyamakan. Dalam

fustisia comtativa dikatakan bahwa setiap orang berhak menerima hak yang

sama banyaknya seperti orang lain.

Selain tujuan hukum ditinjau dari teori etis, juga ada tujuan hukum dari teori
utilitas. Teori ini di perkenalkan oleh Jeremy Bentham. Tujuan utilitas
dimaksudkan untuk menghasilkan sebesar-besamya kebahagiaan dan
kesenangan bagi sebanyak-banyaknya orang. Hal ini sebagaimana dikatakan
olch Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah the
greatest good of the greatest number (kebahagiaan yang terbesar bagi manusia

24
dalam jumlah yang sebesar-besarnya). Artinya bahwa menurut teori ini,
masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar
kebahagiaan dan memperkecil ketidak bahagiaan, atau masyarakat yang
mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada
umumnya, agar ketidak bahagian di usahakan sedikit mungkin di rasakan oleh
rakyat pada umumnya30.

Selain kedua teori tujuan hukum yang sudah disebutkan (teori etis dan teori

utilitas), juga dikenal dengan tujuan hukum campuran. Tujuan hukum

campuran dianggap sebagai tujuan hukum jalan tengah bagi tujuan etis dan

tujuan utilitas. Dalam teori tujuan hukum campuran, tujuan hukum adalah

untuk mencapai ketertiban. Pada intinya tujuan hukum campuran adalah untuk

mengatur pergaulan dan kedamaian hidup manusia yang meliputi ketertiban

pribadi internal maupun pribadi ekstemal masyakarat secara damai.

Menurut Gustav Radburgh, hukum mempunyai tiga tujuan, yaitu: kepastian


hukum, Keadilan dan daya guna (doelmatigheid). Pertama, kepastian hukum.
Kepastian hukum mempunyai arti bahwa hukum itu harus pasti yang tidak
mudah untuk berubab-ubah sesuai dengan perubahan dalam masyarakat dan
dapat ditaati-oleh masyarakat pada waktu dan tempat manapun. Sehingga
dengan tidak mudahnya hukum untuk berubah-ubah maka setiap tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat itu dapat ditentukan apakah perbuatan masyarakat
tersebut melanggar dan menyimpang dari peraturan hukum atau tidak.
Dengan demikian maka kepastian hukum mempunyai fungsi memastikan
bahwa hukum (yang berisi keadilan dan noma-norma yang memajukan
kebaikan manusia), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.
Dengan adanya kepastian bahwa aturan-aturan itu ditaati, maka keadilan benar-
benar mendatangkan manfaat bagi kebaikan manusia, baik sebagai individu
maupun sebagai komunitas.31

Kedua Keadilan, Keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting dan

utama. Membicarakan masalah keadilan sama sulitnya dengan membicarakan

mengenai hukum itu sendiri. Bahkan pengertian keadilan itu berbeda-beda

antara satu orang dengan orang yang lainnya hal ini karena keadilan

mempunyai pengertian yang relatif tergantung pada pemahaman dan

30
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Loc Cit, hlm. 62.
31
Bernard L. Tanya, Politik Hukum: Agenda Kepentingan Bersama, Genta Publishing, Yogyakarta,
2011, hlm. 2.

25
pandangan seseorang terhadap falsafah yang dianutnya. Orang yang menganut

faham individual (individualism) akan berbeda pandangan dengan orang yang

menganut faham kolektif (collectivism) dalam memandang apa itu keadilan.

Meskipun sulit untuk dirumuskan, pembahasan mengenai keadilan selalu

menjadi bahan pembicaraan pada setiap aliran dalam filsafat hukum. Namun

penulis akan membahas secara singkat mengenai keadilan. Oleh John Rawl

suatu keadilan hanya dapat di capai oleh suatu masyarakat jika dalam

masyarakat tersebut terpenuhi dua prinsip, yaitu:

a. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya

institusi-institusi dan praktek-praktek institusional;

b. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam

memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi

ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu. Sehingga keadilan

dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Keadilan Umum ( Justisia generalis) atau keadilan legal, yaitu

keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan

demi kepentingan umum32.

2. Keadilan Khusus, yaitu keadilan atas dasa kesamaan atau

proposionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi :

a) Keadilan distributif (justisia distributiva), yaitu keadilan yang


secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik
secara umum;
b) Keadilan komutatif (justisia commutativa), yaitu keadilan dengan
mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi; dan
c) Keadilan vindikatif (justisia vindicativa), yaitu keadilan dalam hal
menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana.

32
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 163.

26
d) Aequitas yaitu keadilan yang berlaku umum, obycktif dan tidak
memperhitungkan situasi dari pada orang yang bersangkutan 33.

3. Daya Guna (doelmatigheid).

Yang dimaksud dengan daya guna adalah bahwa dalam proses

bekerjanya hukum, hukum itu dapat memaksa masyarakat pada

umumnya dan para penegak hukum khususnya untuk melakukan

segala aktivitasnya selalu berkaca pada hukum yang mengaturnya.

Jadi hukum menuju kepada tujuan yang penuh harga (waardevol),

Sehingga dalam daya guna ada tiga nilai penting bagi hukum, yaitu:

a. Individualwerte, nilai-nilai pribadi yang penting untuk

mewujudkan kepribadian manusia. Hal ini didapati didalam

liberalisme dan demokrasi.

b. Gemeinschaftswerte, nilai-nilai masyarakat, nilai yang hanya

dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Hal ini didapati di

dalam konservatisme Jerman.

c. Werkwerte, nilai-nilai dalam karya manusia (ilmu, kesenian) dan

pada umumnya dalam kebudayaan.

Agar tujuan hukum yang sebagaimana telah disebutkan dapat tercapai maka

diperlukan fungsi hukum yang diharapkan dapat menggerakkan berbagai

tingkah laku dari masyarakat. Fungsi hukum tidak hanya sebagai kontrol

masyarakat tetapi lebih daripada itu. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh

Iskandar Siahaan yang melihat fungsi hukum dari sudut pandang sosiologi

hukum. Iskandar Siahaan dalam bukunya yang berjudul Hukum dan

Kecongkakan Kekuasaan mengatakan bahwa:

33
O, Notohamidjojo, Soal – Soal Pokok Filsafat Hukum, Loc Cit, hlm. 79.

27
"Hukum selain mempunyai fungsi sebagai social control, juga berfungsi
sebagai alat perubahan sosial (social engeenering), fungsi tersebut akan tidak
tercipta dan akan menghambat terciptanya keadilan ekonomi maupun keadilan
politik apabila hukum tidak digunakan dengan penggunaan kekuasaan tidak
sesuai dengan hakikat sebab kalau hukum sudah benar penggunaannya maka
kekuasaan pun cenderung digunakan secara tidak benar 34.

Menurut Bernard Arief Sidharta, hukum mengemban dua fungsi, yaitu pertama
fungsi ekspresif, yakni mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya
dan keadilan. Kedua, fungsi instrumental, yakni sarana untuk menciptakan dan
memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan
nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta
pengadaban masyarakat, dan sara pembaharuan masyarakat (mendorong,
mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan masyarakat).35

Selanjutnya menurut Hoebel, mempunyai empat fungsi dasar, yaitu:


a. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,
dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku - tingkah laku apa yang
diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
b. Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh
melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus
memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;
c. Menyelesaikan sengketa;
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan
kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat36.

Jika ditinjau dari segi penegakan hukum, maka hukum itu mempunyai lima
fungsi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sjahran Basah dan Mukhsin, kelima
fungsi hukum tersebut adalah:
a. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk
masyarakat hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
b. Integratif, sebagai pembina persatuan bangsa;
c. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
d. Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administratif
negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
e. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara
maupun warga apabila terjadi bertentangan hak dan kewajiban antuk
mendapatkan keadilan37.
Keseluruhan fungsi hukum yang sudah dikemukakan diatas pada intinya
adalah bahwa hukum itu berfungsi untuk melakukan peacegahan terhadap

34
H. Harris Soche, Loc Cit, hlm. 8.
35
Bernard Arief Sidharta, Loc Cit, hlm. 189.
36
Esmi Warasih, Loc Cit, hlm. 26-27.
37
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2011,
hlm. 259.

28
konflik kepentingan yang terjadi di masyarakat. Jika terjadi konflik
kepentingan dalam masyarakat maka hukum akan memerankan fungsinya
sebagai penyedia cara untuk memecahkan konflik kupentingan di masyarakat
tersebut dengan berdasarkan kepada kebijakan yang berdasarkan pada norma
yang berlaku. Dengan kata lain bahwa deagan adanya hukum maka konflik
kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan
berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-
nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah. 38

Membicarakan masalah negara hukum tidak dapat dipisahkan dari dua

variable yang berbeda yaitu negara dan hukum. Karena negara dan hukum

sebagai organisasi kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama dan niscaya

selalu dibahas bersama ketika kita membicarakan mengenai negara hukum. Hal

ini sebagaimana dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah negara

hukum adalah penggabungan dari istilah negara dan istilah hukum.

Di pihak lain, Mukthtie Fadjar menjelaskan bahwa untuk mengetahui apa


sebenarnya yang disebut dengan negara hukum itu, pikiran-pikiran yang
terkandung di dalamnya, motivasi, tujuan dan elemen-elemennya perlu di
bahas terlebih dahulu mengenai fungsi serta tujuan dari negara dan hukum,
karena cita atau tujuan negara hukum tidak dapat dipisahkan dari tujuan serta
fungsi negara dan hukum itu sendiri39.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Gustav Radbrugh yang mengatakan bahwa

soal- soal tujuan hukum dan tujuan negara tidak dapat dipisahkan karena

hukum atau bagian penting daripadanya, adalah kehendak negara, dan negara

atau bagian penting daripadanya adalah suatu lembaga dari pada bukum

sehingga keduanya terkait erat dengan negara hukum dan karena itu untuk

memahami apa itu negara ukum haruslah dipahami tentang negara dan hukum

itu sendiri.

Hukum tanpa negara hanyalah sebuah ilusi belaka, begitu juga sebaliknya

negara tanpa adanya hukum maka akan mengarah kearah kezaliman,

38
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip – Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 77.
39
A. Mukhthie Fadjar, Loc Cit, hlm. 9.

29
kesewenang- wenangan yang akhirnya akan melahirkan penindasan dan

kekerasan terhadap rakyatnya. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang

melekat pada kehidupan benegara, yakni hukum memberikan pelayanan

kepada setiap individu masyarakat, baik alokasi kekuasaan, pembagian sumber

daya dan juga untuk melindungi kepentingan masyarakat itu sendiri. Oleh

karena itu hukum sangat penting peranannya dalam negara guna mewujudkan

kesjahteraan bagi rakyatnya.

B. Teori Negara Hukum

Konsep Rule of Law merupakan konsep negara yang dianggap paling ideal saat
ini meskipun konsep tersebut dijalankan dengan persepsi yang berbeda-beda.
Terhadap istilah "rule of law’’ ini dalam bahasa Indonesia sering juga
diterjemahkan sebagai "supermasi hukum" (supremacy of law) atau
"pemerintahan berdasarkan atas hukum." Disamping itu, istilah negara hukum"
(goverment by law) atau rechstat, juga merupakan istilah yang sering
digunakan40.
"Meskipun banyak istilah dan konsep mengenai negara hukum, namun secesa
umum pengertian negara hukum dibagi menjadi dua, yaitu pengertian negara
hukum dalam arti sempit dan negara hukum dalam arti luas. Negara hukum
dalam arti sempit (Rule Of Law In The Narrow Sence) adalah negara hukum
yang didasarkan pada prinsip-prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahannya
dibatasi oleh hukum tertulis atau Undang- Undang, seperti di Jerman disebut
Gezetsstaal, di Belanda disebut Wetsstaat, dan di Indonesia disebut Negara
Undang-Undang. Sedangkan negara hukum dalam arti luas (Rule Of Law In
Broad Sence) adalah suatu negara yang idealnya dengan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dalam dimenai hukum yang adil (Good Law On
Right). Ditekankan pula pada elemen konstitusi judicial review (pengujian
undang-undang)41.

Konsep rechsstaat dari Freidrich J Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant,

menurutnya unsur-unsur negara hukum (rechsstoat) dalam arti klasik,yaitu :

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;

40
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsteet), Refika Aditama, 2009, hlm.1.
41
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945, Edisi Refisi, Setara Press, Malang, 2010, hlm. 160.

30
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan

d. Peradilan administrasi perselisihan.

Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of
law) dari A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem Anglo saxon. Seperti
yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the
Constitution mencakup:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (adsence of arbitrary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law). Dalil ini
berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.
c. Terjaminnnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta pengadilan 42.

Prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan


masyarakat dan negara yang dipengaruhi oleh semakin kuatnya penerimaan
paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan benegara.
karenanya, Perkembangan negara hukum berkembang memasuki abad ke-20,
perkembangan, dan penyelenggaraan negara oleh pemerintah berubah, kegiatan
negara sudah menyebar untuk mengatur berbagai pokok persoalan kehidupan
bernegara, negara hukum klasik berkembang menjadi negara kesejahteraan
modern (welvaars rechsstaat).43

Adapun yang menjadi ciri- ciri pokok dari suatu welfare state (negara

kesejahteraan/kemakmuran) adalah sebagai berikut 44:

a. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak prinspiil

lagi. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi kerja lebih penting daripada

pertimbangan-pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan dari

organ- organ eksekutif lebih penting daripada organ legislatif,

b. Peranan negara tidak terbatas pada penjaga keamanan dan ketertiban

saja, akan tetapi negara secara aktif berperanan dalam penyelenggaraan

kepentingan rakyat di bidang-bidang sosial, ekonomi dan budaya,

42
Ibid
43
Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar – Pilar Demokrasi; Serpihan Pemikiran
Hukum, Media, dan Ham, Jakarta, 1975, hlm. 54-55.
44
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, 1975, hlm. 54-55.

31
sehingga perencanaan (planning) merupakan alat yang penting dalam

welfare state;

c. Welfare state merupakan negara hukum materiil yang mementingkan

keadilan sosial dan bukan persamaan formil;

d. Hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi

dipandang mempunyai fungsi sosial, yang berarti ada batas-batas dalam

kebebasan penggunaannya; dan

e. Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting

dan semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan

karena semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial,

ekonomi, dan budaya.

Konsepsi Negara Hukum atau "rechtstaar" sebelum perubahan Undang-


Undang Dasar 1945 tercantum di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar
1945, maka dalam Perubahan Keenpat pada tahun 2002, konsepsi negara
hukum dirumuskan dengan tegas dalam Pasal I ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan45: "Negara Indonesia adalah Negara Hukum." Dalam
konsep negara hukum tersebut, diidealkan bahwa yang harus dijadikan
panglima di dalam dinamika kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun
ekonomi.
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum memiliki karakreristik mandiri.
Kemandirian itu terlihat dari penerapan konsep atau pola negara hukum yang
dianut. Artinya, meskipun masih tetap beranjak dari konsep negara hukum
pada umumnya, namun konsep atau pola tersebut telah disesuaikan dengan
kondisi di Indonesia, yaitu dengan menggunakan tolak-ukur pandangan Bangsa
Indonesia ialah Pancasila. Dalam hubungan ini Padmo Wahjono menyatakan
46
:

"Bahwa pola ini merupakan suatu hasil pemikiran yang disesuaikan dengan

keadaan Indonesia, nampak jelas kalau dihubungkan dengan teori lainnya yang

digunakan pembentuk Undang-Undang Dasar kita dalam menyusun dan

menggerakan organisasi negara. Misalnya sistem konstutisional, sisten

45
Padmo Wahjono, Indonesia negara Berdasarkan Atas Hukum, Gahila, Jakarta, 1982, hlm. 7.
46
Ibid

32
mandataris (yang tidak sepenuhnya sama dengan sistem presidensial), sistem

kelembagaan negara, sistem kekuasaan kepala negara yang tidak terbatas, dan

sistem garis-garis besar haluan negara. Kesemuanya ini tidak dalam bentuk

yang telah terkristalisasikan"

Konsep negara hukum Pancasila merupakan konsep negara hukum yang

dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Konsep negara hukum Indonesia

didasarkan pada sistem hukum Pancasila. Dengan perkataan lain hahwa konsep

Penegakan hukan sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan

penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara

ketat diatur oleh kaidah hukum akan tetapi mempunyai unsur-unsur penilaian

pribadi (Wayme Lo-Favre).

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan đi dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, melahirkan dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup47.

Negara hukum Indonesia memiliki ciri khas yang terdapat pada falsafah bangsa
dan negara Indonesia, yaitu falsafah Pancasila. Keberadaan Pancasila sebagai
falsafah kenegaraan atau cita negara (staatsidee) yang berfungsi sebagai
filosofhische gronslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara
warga masyarakat dalam konteks bernegara dalam kesepakatan pertama
penyangga konstitusionalisme menunjukan hakikat Pancasila sebagai ideologi
terbuka.48

C. Penegakan Hukum dan Kewenangan Kepolisian

1. Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai


47
Ibid
48
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 367.

33
yang mantap dan mengejewantahkan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilau tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kendilan,


kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan
hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan
hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep
hukum diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan
suatu proses yang melibatkan banyak hal49.

Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam


praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan
keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam
mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan
menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum formal. Penegakan
hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Ditinjau dari sudut subyeknya:
Daiam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek
hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan
aturan normative tau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum berlaku, berrati dia
menjalankan atau menegakkan sturan hukum. Dalam arti sempit
penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
b. Ditinjau dari sudut obyeknya,
yaitu dari segi hukumnya: Dalam arti luas, penegakkan hukum yang
mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat.
Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut
penegakkan peraturan yang formal dan tertulis50.

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian


yaitu:
a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive
law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin
dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum
acara pidana yang antara lain mencakup aturan aturan penangkapan,

49
Dellyana, Shant, Konsep Penegak Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 31.
50
Ibid

34
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.
Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri
memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu
sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang
lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara
maksimal.
c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini
dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan
keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan
sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya
discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.51

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana

menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application)

yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja

lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah

dipandang dari 3 dimensi:

1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system)

yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-

nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative

System) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak

hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas,

3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam

arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula

diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan

masyarakat.

51
Ibid

35
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-

undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya

adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain

itu ada kecenderungan lain yang mengartikan penegakan hukum sebagai

pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Namun pendapat-pendapat seperti itu

mempunyai kelemahan apabila pelaksanaan undang-undang atau keputusan

hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pokok

penegak hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yaang

mempengaruhinya, faktor tersebut mempunyai arti netral schingga dampak

positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum52:

1. Faktor Hukun

Praktik penyelenggarnan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,

ditentukan secarn normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang

tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat

dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan

dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan

hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena

penyelenggaraan hukum sesungguhnýa merupakan proses penyerasian

52
Ibid

36
antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai

kedamaian.

2. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum

memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci

keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian

penegak hukum.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan

perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.

Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal

yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami

hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang

kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih

diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis

yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari

pula bahwa tugas yang harus diemban olch polisi begitu luas dan banyak.

4. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok

sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul

adalah taraf kepatuhanhukum, yaitų kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,

atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap

37
hukum, merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang

bersangkutan.

5. Faktor Kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering

membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,

mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu

mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,

berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan

orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok

tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus

dilakukan, dan apa yang dilarang.

Tujuan penegakan hukum sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, adalah

untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan dan tujuan hukum

merupakan upayu mewujudkan tercapainya ketertiban dan keadilan. Suatu

ketertiban mustahil akan dapat diwujudkan, jika hukum diabaikan. Kesadaran

dan kepatuhan. masyarakat terhadap hukum, tidak saja berpengaruh terhadap

ketertiban dan keadilan, tetapi berperan membentuk kultur (budaya) hukum

suntu masyarakat karena mengatur perilaku.

Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana tidak lain bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dengan memprosesnya sesuai dengan system yang
berlaku pada peradilan pidana yang ada. Menurut Soerjono Soekanto secara
konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalarn kaidah-kaidah
yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup 53.

53
Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002.

38
Sistem peradilan pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri

dari lembaga-lembaga kepalisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan

terpidana. Tujuan sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat

menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi

sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah

dipidana dan mengusahakan agar mereka yang permah melakukan kejahatan

tidak meegulangi lagi kejahatannya.

2. Kewenangan Kepolisian dalam Penegakan Hukum

Tindakan yang dilakukan polisi untuk melakukan penanganan atau

penyampingan terhadap perkara pidana, jika dilihat menurut sikap hukum

pidana yang kaku dimana tidak mengenal kompromi, maka tidak bisa

dibenarkan begitu saja tentunya. Sedangkan jika dilihat dari alasan sosiologis

yang terkadang digunakan dalam praktek, biasanya lebih dipengaruhi oleh

unsur subyektif yang melekat pada diri polisi, juga situasi dan kondisi untuk

menjamin yang baik bagi masyarakat pada umumnya maupun polisi pada

khususnya diperlukan adanya aturan sebagai dasar yang tegas untuk

mengaturya.

Berkaitan dengan landasan hal tersebut, bagi petugas penyidik dari kepolisian

terdapat beberapa aturan perundang-undangan yang langsung maupun tidak

berhubungan dengan masalah diskresi kepolisian ini. Dalam ketentuan

Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 (j),

memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat

melakukan tindakan apa saja yang menurut bertanggungjawab.

39
Terlepas dari batasan perkara yang serba ringan yang ditetapkan oleh

perundang-undangan untuk meagenyampingkan perkara itu, disini juga terlihat

bahwa didalam melaksanakan tugas itu polisi diberi wewenang undang-undang

untuk melaksanakan tindakan kepolisian dalam bentuk apapun yang disebut

diskersi, seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 18 Uadang Undang

Nomor 2 Tabun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga

polisi memang benar-benar mempunyai wewenang untuk melakukan diskersi

terutama dalam hal penyidikan seperti menghentikan, mengenyampingkan

perkara atau tidak melaksanakan tindakan terhadap suatu pelanggaran, tetapi

dalam batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Undang-undang memberikan wewenang yang begitu besar kepada polisi dalam

rangka melaksanakan tugasnya, sehingga tidak salah kiranya jika tindakan-

tỉndakan kepolisian tersebut perlu diimbangi dengan adanya pengawasan-

pengawasan dan harus dapat dipertanggungjawabkan oleh ketentuan-ketentuan

yang berlaku agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dikarenakan

antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya terdapat keterkaitan satu

dengan yang lainnnya. Ketidaksempurnaan kerja dalam salah satu sub sistem,

akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem lainnya.Demikian pula,

reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistem akan

menimbulkan dampak kembali pada subsistem yang lainnya.

Dengan demikian, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, bukan saja

tanggung jawab kepolisian, tetapi kejaksaan dan pengadilan juga turut

bertanggung jawab melalui putusan yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat

Putusan yang tidak adil, maupun tidak berhasilnya pengadilan mengenakan

40
pidana bagi pelaku, akan mendorong pelaku kejahatan lebih berani melakukan

kejahatan.

Dilihat sebagai sustu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada

hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap, yaitu54:

a. Tahap formulasi, yaitu tuhap penegakan in abstracto oleh badan pembuat

undang-undang. Tahap ini pula disebut tahap kebijakan legislatif,

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat

penegak hukum mulal dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini

dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif,

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidaria secara konkret oleh aparat-

aparat pelaksana hukum pidana, Tahap ini disebut tahap kebijakan

eksekutif atau administratif.

Ketiga tahap itu dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja

direncanakan untuk mencapai tujuan menegakkan hukum pidana dalarm

konteks sistem peradilan pidana, jelas merupakan suatu jalinan kerja yang

merupakan perwujudan dari kebijakan nasional, jadi harus diusahakan

terwujud pada ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana itu. Hal inilah

makna dari pernyataan bahwa penegakan hukum pidana merupakan bagian

integral dari kebijakan sosial seperti uraian di atas. Selanjutnya, keterkaitannya

dengan sistem peradilan pidana, budaya di dalam masyarakat juga sangat besar

pengaruhnya bagi bekerjanya sistem peradilan pidana, disamping lembaga-

lembaga atau penegak hukum.

54
Muladi, dalam Fitriani Kartika Ratnaningsih, Pelaksanaan Diskresi Oleh Polisi Dalam
Penyidikan di Polwiltabes Semarang, Fakultas Ilmu Sosial Jurusan dan Kewarganeganaan Universitas Negri
Semarang, Semarang, 2006, hlm. 25.

41
D. Hukum Pidana

1. Tindak Pidana

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan


abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasanya bertujuan
untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang
dianggap relevan untuk peneliti. Teori yang akan đigunakan untuk
menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah teori mengenai
pertanggungjawaban pidana, dimana dikatakan orang yang melakukan
perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut
dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi
masyarakat menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan
yang telah dilakukan oleh orang tersebut 55. Pertanggungjawaban pidana atau
kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana harus memenuhi rumusan
sebagai berikut:
a. Adanya perbuatan yang disengaja.

b. Pelaku harus mampu bertanggungjawab.

c. Bahwa pelaku insyaf atas perbuatan yang dilakuakan itu adalah

perbuatan yang dapat dipidana.

d. Tidak ada alasan pemaaf.

Untuk membahas permasalahan kedua digunakan teori mengenai bagaimana


peranan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Peranan hakim sebagai pihak
yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta
peraturan yang hidup didalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28
Undang- Undang Nomor 4 tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan "Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat56".

Ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: "Putusan pengadilan selain harus

memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan

55
Soerjono Soekanto, Pengantar Penekitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hlm. 127
56
Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Polri Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana. Prama Media, Jakarta, 2002, hlm. 74.

42
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili".

Hakim dalam memberikan putusan harus memperhatikan hal-hal sebagai


berikut:
a. Keputusan mengenai peristiwanya ialah apakah terdakwn telab
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
b. Keputusan mengenai hukumnya ialah apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa
bersalah dan dapat dipidana.
c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat
dipidana57.
Segala putusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari

peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan

dasar untuk menggali kaedah hukum yang hidup di dalam masyarakat. Putusan

pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya

untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya

dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum,

dirinya sendiri, ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi

putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari "strafbaar feit", di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan

mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri.

Terjamahan atas istilah strafbaar feit ke dalam bahasa indoneala diterjemahkan

dengan barbagai istilah misalnya tindak pidana, delik, peristiwa pidana,

perbuatan yang boleh dabukum, perbuatan pidana, dan sebagainya.

Menurut Moeljatno dapat diketaubi unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1) Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia;

57
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm, 74.

43
2) Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang

undang-undang

3) Perbuatan itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum);

4) Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan;

5) Perbuatan itu harus dipersalahkan kepada si pembuat.

Sementara itu, Loebby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana


meliputi :
1) Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;
2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
3) Perbuatan itu dianggap melawan hukum;
4) Pelakunya dapat dipertanggung jawabkan58.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Subjek;
2) Kesalahan;
3) Bersifat Melawan Hukum (dan tindakan);
4) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/
perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;
5) Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya), 59

2. Unsur Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu


yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan buku III memuat pelanggaran.
Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu
mengenai tingkah laku/perbuatan walaupun ada pengecualian seperti Pasal
351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang
dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan ; sama sekali tidak
dicantumkan mengenai unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai objek
kejahatan maupun perbuatan Secara khusus untuk rumusan tertentu.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui
adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu :
1) Unsur tingkah laku;
2) Unsur melawan hukum;
3) Unsur kesalahan;
4) Unsur akibat konstitutif;
5) Unsur keadaan yang menyertai;
6) Unsur syarat tambahan untuk dapat ditüntut pidana;
7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
9) Unsur objek hukum tỉndak pidana;

58
Ibid
59
Ibid

44
10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana 60.

Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan

hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur

objektif. Misalnya melawan hukum perbuatan mengambil pada pencurian

(Pasal 362 KUHP) terletak bahwa dalam mengambil itu diluar persetujuan

atau kehendak pemilik (melawan hukum objektif). Atau (Pasal 251 KUHP)

pada kalimat "Lanpa izin pemerintah", juga pada Pasal 253 pada kalimat

"menggunakan cap asli secara melawan hukum" adalah berupa melawan

hukum objektif. Akan tetapi, ada juga melawan hukum subjektif misalnya

melawan hukum dalam Penipuan (Pasal 378 KUHP), Pemerasaa (Pasal 368

KUHP), Pengancaman (Pasal 369 KUHP) dimana disebutkan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Begitu

juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan

(Pasal 372 KUHP) yang bersifat subjektif, artinya terdapat kesadaran bahwa

memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu merupakan

celaan masyarakat.

3. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggung jawaban pidana dalam isitilah asing disebut dengan

teorekenbaardheld atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang

terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana

yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan

60
Solahudin, KUHP dan KUHAPdt, Visimedia, Jakarta, 2008.

45
tindak pidaņa yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur delik yang telah

ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan

yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-

tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada

alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang

dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampun bertanggung jawab yang

dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Ada beberapa pandangan dari para ahli mengenai pemahaman kemampuan

bertanggungjawab, antara lain :

a Kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur

sebagai berikut:

1) Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan

ia melakukan perbuatannya.

2) Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya.

3) Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya

b. Van Hamel berpendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah


suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga
macam kemampuan:
1) Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri.
2) Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak diperbolehkan
oleh masyarakat.
3) Terhadap perbuatannya dapat menentukan kebendaknya. 61

c. Syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan sdalah sebagai berikut :

1) Jiwa orang harus sedemikian rupa sehiigga dia mengerti atau

menginsyafi nilai dari perbuatannya.

61
Ilyas, Amir, Asas – Asas Hukum Pidana. Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, 2012.

46
2) Orang harus. menginsyafl bahwa perbuatannya menurut tata cara

kemasyarakatan adalah dilarang.

3) Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatanmya.

Didalam pasal-pasal KUHP unsur-unsur delik dan unsur pertanggungjawaban

pidana bercampur aduk dalam buku Il dan III, sehingga dalam

membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur keduanya.

Menurut pembuat KUHP, syarat pemidanaan disamakan dengan delik, oleh

karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat

dibuktikan juga dalam persidangan.

Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana menjadi tiga unsur, yaitu :

a. Mampu Bertanggung Jawab

Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang

telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu

tindakan yang dilarang, (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-

pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut

bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum

atau rechtsvaardudigingsground atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat

dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang

"mampu bertanggungjawab yang dipertanggungjawabkan". Dikatakan

seseorang mampu bertanggungjawab (1oerekeningsvatbaar), yang menurut

E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi memiliki unsur mampu bertanggung jawab

antara lain :

1) Keadaan jiwanya :

47
a) Tidak terganggu dengan penyakit yang terus-menerus atau

sementara (temporary).

b) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot imbecile, dan

sebagainya)

c) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,

pengaruh bawth sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwndel,

menggigu karena demam/koorts. nyida dan lain sebagainya.

Dengan kata lain dia dalam keadaan sadar.

2) Kemampuan jiwanya :

a) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.

b) Dapat menentukan kehendakya atas tindakan tersebut, apakah

dilaksanakan atau tidak.

c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa : "Kemampuan
bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa" (geestelijke
vermorgens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan "berfikir"
(verstanddelijke vermorgens), dari seseorang, walaupun dalam yang resmi
digunakan dalam pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke vermorgens sengaja
digunakan istilah : keadaan dan kemampuan seseorang62.

Pertanggungjawaban pidana tersebut sebagi "torekenbaarheid" dimaksudkan

menentukan apakah seseorang tersangka terdakwa untuk

dipertanggungjawabkan stas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau

tidak. Petindak disini adalah orang, bukan mahkluk lain untuk membunuh,

mencuri, menghina, dan sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain

halnya jika tindakan merupakan menerima suap menarik kapal dari

pemilik/pengusahanya dan memakainya untuk kepentingan sendiri.

62
Ibid

48
b. Kesalahan

Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian

telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang

dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu

bertanggungjawab. Beliau membagi jenis-jenis kesalahan sebagai berikut :

1) Kesengajaan (Dolus) Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur

kesengajaan atau opzet, bukan unsur cuipa. Ini layak oleh karena biasanya,

yang pantas mendapatkan hukuman pidana itu adalah orang yang

melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai

ketiga unsur pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2 : akibat

yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, ke-3, perbuatan itu

melanggar hukum. Kesengajaan yang dapat dibagi menjadi 3 bagian,

yakni:

a) Sengaja Sebagai Niat (oogmerk)

Kesengajaan sebagai niat atau maksud adalah terwujudnya yang

merupakan tujuan dari peiaku.

b) sengaja sadar akan Kepastian Keharusan (zekerheidsbewustzjin)

Kesengajaan sadar akan kepastian merupakan terwujudnya delik

bukan merupakan tujuan dari pelaku, melainkan merupakan syaral

mutlak sebelum/pada saat/sesudah tujuan pelaku tercapai (ada

delik/tindak pidana yang pasti terjadi sebelum/pada saat/sesudah

tujann pelaku tercapai).

c) Sengaja Sadar Akan Kemungkinan (dolus eventualis,

mogelijkeheidsbewustzjin)

49
merupakan terwujudnya delik bukan merupakan tujuan dari pelaku,

melainkan merupakan syarat yang mungkin timbul sebelum/pada

saa/sesudah tujuan pelaku. Melainkan merupakan syarat yang

mungkin timbul sebelumnya/ pada saat/sesudah tujuan pelaku

tercapai.

d) Kelalaian (Alpa/cupla)

Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena

pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan

menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi karena perilaku orang itu

sendiri. Kesengajaan sadar akan kemungkian merupakan terjadinya

delik/tindak pidana harusnya disadari tentang kemungkinannya dan

tanpa memperhitungkan persentase kemungkinan beserta upaya

pencegahannya, Sedangkan Culpa Lata merupakan terjadinya

delik/tindak pidana harus disadari tentang kemungkinannya namun

yang menbedakan dalam Culpa Lata, pelaku sebelumnya telah

memperhitungkan kemungkinan beserta terjadi diluar namun

kendali/perhitungan si pelaku.

e) Tidak Ada Alasan Pemaaf

Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan

bertanggungjawab dari petindak. Ia menginsgyafi hakekat dari

tindakan yang akan dilakukannye, dapat mengetahui ketercelaan dari

tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan

tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan tindakan

itu, maka bentuk hubungan itu adalah "sengaja" atgu "alpa". Dan

50
untuk penentuan tersebut, bukan akibat atau dorongan dari sesuatu,

yang jika demikian penentuan itu berada diluar kehendaknya sama

sekali.

E. Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas)

Keamanan yang asal katanya aman adalah suatu kondisi yang bebas dari segala

macam bentuk gangguan dan hambatan. Sedangkan pengertian ketertiban

adalah suatu keadaan dimana segala kegiatan dapat berfungsi dan berperan

sesuai ketentuan yang ada.

Pengertian Kamtibmas adalah keamanan dan ketertiban masyarakat adalah


suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya
proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang
ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta
terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta
mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal,
mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-
bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat 63.

Perkataan aman dalam pemahaman tersebut mengandung 4 (empat) pengertian


dasar, yaitu:

1. Security yaitu perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis;

2. Surety yaitu perasaan bebas dari kekhawatiran;

3. Safety yaitu perasaan terlindung dari segala bahaya; dan

4. Peace yaitu perasaan damai lahiriah dan batiniah.

Masalah ketertiban menjadi penting jika suatu bangsa sedang berusaha

membangun guna mencapai suatu kesejahteraan. Keseimbangan dalam

masyarakat dapat terjadi antara lain karena adanya ketertiban. Ketertiban

mengandung unsur suatu keadaan antar pribadi-pribadi dalam masyarakat

63
Pasal 1 Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002

51
berjalan serta teratur dan keadaan itu menurut ukuran yang seharusnya dalam

suatu masyarakat ketertiban yang efektif dapat terjadi jika secara umum warga

masyarakat bertingkah laku sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dan

menghindari perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman, tanpa

memperhatikan motif-motif mengapa ia harus berlaku tertib.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah

ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai

prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi ini,

msyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu

sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu

rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang

memiliki keempat ciri yaitu :

1) Interaksi antar warga-warganya


2) Adat Istiaat
3) Kontinunitas waktu
4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga. 64

Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat pada hakekatnya


merupakan rangkaian upaya pemeliharaan ketertiban umum (maintaining law
and order), penanggulangan kejahatan (fighting crime) dan perlindungan
warga (protecting people) terhadap kejahatan (crime) dan bencana (disaster).65

Upaya-upaya tersebut tentunya tidak akan berhasil tanpa keikutsertaan warga

masyarakat, pada program-program yang kompleks, dan menyentuh langsung

kehidupan sehari-hari. Akar-akar dan sumber potensial kejahatan dan

ketidaktertiban mengendap disetiap sisi kehidupan bermasyarakat dan

berbangsa, yang sewaktu-waktu akan menjelma menjadi peristiwa gangguan

64
Koenjaningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 118
65
Chairuddin Ismail, Tantangan Polri Dalam Memelihra Kamtibmas Dlam Masyarakat
Demokrasi, Jurnal Srigunting, Jakarta, 2012, hlm. 1.

52
keamanan dan ketertiban masyarakat bilamana berinteraksi dengan faktor-

faktor pencetus lainnya.

Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat, menjadi keharusan karena keamanan

dan ketertiban menjadi kebutuhan bersama yang bahkan pada skala tertentu

menentukan keberadaan dan bubarnya masyarakat itu sendiri. “Banyak

masyarakat yang telah hilang lenyap, sepanjang sejarah; bukan disebabkan oleh

perang atau wabah penyakit. Tetapi karena ketidakmampuan untuk menjaga

dan memelihara ketertiban umum.

Pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat lebih mengupayakan hidup

dan berkembangnya peranan dan tanggung jawab masyarakat guna

membangun dan nemingkatkan daya tangkal, daya tanggap dan penyesuaian

terhadap perubahan- rubahan serta dinamika sosial terutama yang berpengaruh

terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Pemahaman keamanan dan

ketertiban masyarakat lalu disepakati sebagai suatu situasi dan kondisi yang

mengandung adanya perasaan bebas dari angguan fisik dan psikis (security),

perasaan bebas dari kekhawatiran (surety). perasaan terlindungi dari bahaya

dan gangguan (safely), dan perasaan damai lahiriah maupun batiniah (peace)

dalam suasana tertib (order), dimana segala sesuatu berjalan teratur, yang

merangsang gairah kerja dan kesibukan dalam rangka mencapai kesejahteraan

masyarakat"

Dengan demikian, Pembinaan keamanan dan Ketertiban masyarakat

dikonsepsikan sejak dini, mulai dari upaya-upaya yang berskala pre-emptif,

preventif, hingga upaya- upaya yang berskala represif. Upaya-upaya pre-emptif

ditujukan untuk menanggulangi akar-akar dan potensi kejahatan dan

53
ketidaktertiban (FKK), upaya-upaya preventif ditujukan untuk mencegah PH

berkembang menjadi peristiwa (AF), sementara upaya- upaya repressif

ditujukan untuk menindak pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang aku.

Dengan konsepsi Pembinaan keamanan dan Ketertiban masyarakat seperti

ini,kebijaksanaan dan strategi penangkalan dan pencegahan sudah barang tentu

akan lebih mengutamakan upaya-upaya yang berskala pre-empitif, dan

preventif, dengan melibatkan segenap warga masyarakat dan komponen

bangsa, untuk bersama-sama memelihara dinamika sosial yang kondusif bagi

ketertiban dan keamanan bersama adapun upaya-upaya bersekala repressif,

akan dilakukan sebagai alternatif terakhir (in the last sektor ) oleh aparat

keamanan, khususnya kepolisian yang menurut Undang-undang memang diberi

kewenangan untuk melakukannya.

Kebjaksanaan umum di dalam Pembinaan keamanan dan Ketertiban


masyarakat dịarahkan untuk mampu membangun dan membina daya serta
kekuatan tangkat masyarakat sehingga mampu menanggulangi setiap
kerawanan dalam bentuk dan wujud apapun. Sedangkan strategi yang
dikembangkan meliputi66.

1. Mengutamakan upaya-upaya penangkalan dan pencegahan tanpa

mengesampingkan upaya-upaya penindakan dan penegakan hukum didalam

menghadapi dan menanggulangi setiap ancaman gangguan Kamtibmas;

2. Meningkatkan menumbuhkembangkan kepekaan dan daya tanggap terhadap

masalah-masalah Kamtibmas dilingkungan masing-masing dalam suatu sistem

Kamtibmas kesadaran warga masyarakat untuk npeda secara swakarsa.

66
Ibid

54
Dengan demikian, Pembinaan keamanan dan Ketertiban masyarakat oleh Polri

meliputi upaya-upaya untuk mewujudkan situasi dan kondisi kamtibmas yang

favourable bagi pembangunan nasional melalui67:

1. Penegakan hukum. Kegiatan-kegiatan yang bertujuan memelihara tetap

tegaknya norma-norma hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 45, baik

melalui upaya- upaya penindakan maupun pencegahan.

2. Perlindungun. Kegiatan dan upaya yang bertujuan memperkecil dan

meniadakan bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, harta benda,

kehormatan setiap individu warga masyarakat.

3. Pengayoman. Kegiatan pemberian jaminan akan adanya kepastian hukum,

bebas dari kekhawatiran, adanys rasa aman damai lahir batin didalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

4.Bimbingan. Kegiatan dan upaya untuk mengajak, mendorong,

mengarahkan, merencanakan dan menata setiap prilaku warga masyarakat

dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa. dan bernegara,

agar dapat dihindarkan kecenderungan yang merugikan derajat kualitas

kamtibmas.

Sebagai suatu kebijaksanaan dan stategi, nampaknya konsep ini cukup

komprehensif dan integralistik, namun ternyata negara dihadapkan kepada

realita yang tak terbantahkan bahwa konsep ini tidak mampu menghadapi

perubahan dan persoalan bangsa, ketika tuntutan reformasi total mulai bergulir

kencang, Stabilitas kantibmas, bahkan juga stabilitas nasional yang kita

67
Ibid

55
banggakan selama 3 (tiga) dekade temyata cukup rentan (fragile), ketika rakyat

sudah mulai jenuh dimobilisasi dan "dipasung" hak-bak sipilnya.

F. Teori Kebijakan Kriminal

Pengertian kebijakan kriminal atau politik kriminal (criminal policy)


merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan.8 Dimana difenisi ini diambil dari Marc Ancel
yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime
by society”. 68

Sedangkan G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy is

the rational organization of the social reactions to crime”.Selanjutnya juga

G. Peter Hoefnagels mengemukakan beberapa definisi mengenai kebijakan

kriminal antara lain:

1. Criminal Policy is the science of response (kebijakan kriminal adalah

ilmu tentang reaksi dalam menghadapi kejahatan).

2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan kriminal adalah

ilmu untuk menanggulangi kejahatan).

3. Criminal policy is a the science of designating human behavior as crime

(Kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk merancang tingkah laku

manusia sebagai kejahatan).

4. Criminal policy is a rational total of response to crime (kebijakan

kriminal adalah satu reaksi terhadap kejahatan yang rasional).

Politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari uapaya


perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal atau kebijakan
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal
pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial. Usaha

68
9 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 2.

56
untuk menanggulangi kejahatan, politik kriminal dapat dijabarkan dalam
berbagai bentuk, antara lain:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application).
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);dan
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime
andpunishment). 69

Dengan demikian politik kriminal disamping dapat dilakukan secara refresif

melalui upaya non penal/criminal law application, dapat pula melalui sarana

non penal/preventionwithout punishment. Melalui sarana non penal ini.

Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa perlu digali, dikembangkan dan

dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam

upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan “extra legal system” atau

“informal and traditional system” yang ada dalam masyarakat

69
Barda Nawawi Arief, Bunga Rapai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, h. 45-46.

57
BAB III

GAMBARAN UMUM KEPOLISIAN RESORT

LAMPUNG TENGAH

A. Gambaran Umum Kepolisian Resprt Lampung Tengah

1. Geografi

Berdasarkan Keputusan Bupati KDH TK II Lampung Tengah Nomor :

188.45 / 06 / 14 / 1993 tanggal 18 Mei 2005 tanggal 18 Mei

1993 tentang Program kerja Pemerintah Daerah TK II Lampung

Tengah yang ditindak lanjuti dengan Keputusan Bupati KDH TK II

Lampung Tengah Nomor : 118.45 / 652 / 01 / 1993 tanggal 18

Agustus 1993, tentang Penyusunan Kesra dalam Penataan dan

pengembangan menjadi 1 ( satu ) Kabupaten TK II Lampung Tengah

Wilayah Hukum Polres Lampung Tengah dengan perincian sebagai

berikut :

1). Wilayah Dati II Lampung Tengah dengan Ibu Kota Gunung

Sugih yang luas wilayahnya 4.789,82 KM2 dengan 26

Kecamatan dan memiliki 282 Desa.

2).Iklim Wilayah Hukum Polres Lampung Tengah rata-rata

beriklim Tropis dengan curah hujan mulai dari bulan

September s/d Maret dan musim kemarau mulai dari bulan

April s/d Agustus

3).Batas Wilayah Hukum Polres Lampung Tengah-Sebelah Barat

dengan Kabupaten Lampung Utara / Tanggamus-Sebelah Utara

58
dengan Kabupaten Lampung Utara / Barat-Sebelah Selatan dengan

Kabupaten Lampung Selatan / Tanggamus-Sebelah Timur

dengan Kabupaten Lampung Timur / Kota Metro

2.Demografi

1).Jumlah Penduduk di Kabupaten Lampung Tengah 1.097.947 jiwa

yang terdiri dari :

a) Laki –laki : 567.848 Jiwa

b) Perempuan : 630.099 Jiwa

2).Komposisi Penduduk menurut mata pencahariannya sebagai

berikut :

a) Petani : 68,80 %

b) Buruh Tambang : 5,78 %

c) Buruh Industri : 4,943 %

d) Buruh Listrik / PPDAM : 1,581 %

e) lain –lain : 16, 330 %

3).Perbandingan Penduduk dengan Polri adalah sebagai berikut :

a) Penduduk : 1.097.947 Jiwa

b)Polri : 690 Jiwa

4) Kecenderungan lingkungan / wilayah hukum sekitar terkait dengan

kamtib / keamanan yang timbul adalah Sering Terjadinya sengketa

tanah.

5) Interaksi ( keterkaitan ) lembaga / Instansi lain dalam dukungan

kinerja Kepolisian baik pinansial maupun dukungan lain yang

diperlukan, instansi/ lembaga Pemerintahan Daerah Lampung

59
Tengah sangat mendukung sekali khususnya dalam pemenuhan

Sarana dan Prasarana Polri.

B. Organisasi Kepolisian Resort Lampung Tengah kedudukan, Tugas dan

Fungsi

1. Unsur Pimpinan

Kapolres bertugas Memimpin, membina, mengawasi, mengatur dan

mengendalikan satuan organisasi dilingkungan Polres dan unsur pelaksana

kewilayahan dalam jajarannya termasuk kegiatan pengamanan markas dan

memberikan saran pertimbangan kepada Kapolres yang terkait dengan

pelaksanaan tugasnya.

Wakapolres bertugas Membantu Kapolres dalam melaksanakan tugasnya

dengan mengawasi, mengatur, mengendalikan dan mengkoordinir

pelaksanaan tugas seluruh satuan organisasi Polres. Dalam batas

kewenangannya memimpin Polres dalam hal Kapolres berhalangan dan

Memberikan saran pertimbangan kepada Kapolres dalam hal pengambilan

keputusan berkaitan dengan tugas pokok Polsres.

2. Unsur Pengawas

a. Unit Provos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 merupakan unsur

Pengawas yang berada di bawah Kapolres.

b. Unit Provos bertugas melaksanakan pembinaan disiplin, pemeliharaan

ketertiban, internal, dalam rangka penegakan disiplin dan kode etik

profesi Polri dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang

penyimpangan perilaku dan tindakan personel Polri;

60
c. Dalam tugas dalam ayat Sikum Dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud pada ayat (2). Unit Provos menyelenggarakan fungsi:

1. Pelayanan pengaduan masyarakat tentang penyimpangan perilaku

dan tindakan personel Polri;

2. Penegakan disìplin dan ketërtibun personel Polres;

3. Pengamanan internal, dalam rangka penegakan disiplin dan kode

etik profesi Polri;

4. Pelaksanaan pengawasan dan penilaian terhadap personel Polres

yang sedang dan telah menjalankan hukuman disiplin dan kode etik

profes,dan

5. Pengusulan rehabilitasi personel Polres yang telah melaksanakan

hukuman berdasarkan hasil pengawasan dan penilaian yang

dilakukan.

3. Unsur Pelayanan dan Pembantu Pimpinan

a. SIUM

(1) Sium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf a merupakan

unsur staf pembantu pimpinan dan pelayanan yang berada di bawah

Kapolres.

(2) Sium bertugas menyelenggarakan perencanaan, pelayanan

administrasi umum, ketatausahaan dan perawatan tahanan serta

pengelolaan barang bukti di lingkungan Polres. urusan dalam,

pelayanan markas,

61
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Sium menyelenggarakan fungsi :

a. Perencanaan kegiatan, pelayanan administrasi umum serta

ketatausahaan dan urusan dalam antara lain kesekretariatan dan

kearsipan di lingkungan Polsek;

b. Pelayanan administrasi personel dan sarpras;

c. Pelayanan markas antara lain pelayanan fasilitas kantor, rapat,

protokoler untuk upacara, danurusan dalam di lingkungan di

lingkungan Polres; dan

d. Perawatan tahanan dan pengelolaan barang bukti;

b. SIKUM

(1) Sebagnimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b merupakan unsur

Pelayanan dan pembantu pimpinan yang berada di bawah

Kapolres

(2) sikum bertugas memberikan pelayanan bantuan hukum, pendapat

dan saran hukum dilingkungan polres

(3) Dalam Melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), sikum

menyelenggarakan fungsi: Pemberian pelayanan bantuan hukum

kepada kesatuan dan personel polres beserta keluarganya.

Pemberian pendapat dan saran hukum dan penyuluhan hukum

kepada personel Polres dan masyarakat serta pembinaan hukum di

lingkungan Polres.

62
c. SIHUMAS

(1) Sibumas Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 83 Huruf C

Merupakan Unsur Pelayanan Dan Pembantu Pimpinan Yang

Berada Di Bawah Kapolres.

(2) Sihumas Bertugas Mengumpulkan, Mengolah Data Dan

Menyajikan Informasi Serta Dokumentasi Yang Berkaitan

Dengan Tugas Polres

(3) Dalam Melaksanakan Tugas Sebagaimana Dimaksud Dalam Ayat

(2), Sihumas Menyelenggarakan Fungsi : Pengumpulan Dan

Pengolahan Data Serta Peliputan Dan Dokumentasi Kegiatan

Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Tugas Polres; Dan

Pengelolaan Dan Penyajian Informasi Sebagai Bahan Publikasi

Kegiatan Polres.

4. Unsur Pelaksana Tugas Pokok

a. Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu :

(1) SPKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf a

merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah

Kapolres.

(2) SPKT bertugas memberikan pelayanan kepolisian secara

terpadu terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberīkan

bantuan dan pertolongan, serta memberikan pelayanan

informasi.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat

(2). SPKT menyelenggarakan fungsi :

63
a) Pelayanan kepolisian kepada masyarakat secara terpadu,

antara lain dalam bentuk Laporan Polisi (LP), Surat Tanda

Terima Laporan Polisi (STTLP), Surat Pemberitahuan

Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), Surat

Keterangan Tanda Lapor Kehilangan (SKTLK), Surat

Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Surat Tanda

Terima Pemberitahuan (STTP), dan Surat Izin Keramaian;

b. Pengkoordinasian dan pemberian bantuan serta pertolongan,

antara lain Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara

(TPTKP), Turjawali, dan pengamanan kegiatan masyarakat

dan instansi pemerintah;

c. Pelayanan masyarakat melalui surat dan alst komunikasi,

antara lain telepon, pesan singkat, faksimile, jejaring sosial

(internet);

d. Pelayanan informasi yang berkaitan dengan kepentingan

masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan Penyiapan registrasi pelaporan, penyusunan

dan penyampaian laporan harian kepada Kapolsek.

b. UNIT INTELKAM

(1) Unit Interlakm sebagaimana dimaksud pasal 84 huruf b merupakan

unsur pelaksanaan tugas pokok yang berada di bawah kapolres .

(2) Unit intelkam bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen di

bidang keamanan meliputi pengumpulan bahan

keterangan/informasi untuk keperluan deteksi dini (carly

64
detection) dan peringatan dini (carly warning), dalam rangka

pencegahan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban

masyarakat, serta pelayanan perizinan;

c. UNIT RESKRIM

(1) Unit reskrim sebagaimana dimaksud Pasal 84 huruf c merupakan

unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolres.

(2) Unit reskrim bertugas melaksanakan penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Unit reskrim menyelenggarakan fungsi :

a. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

b. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan

wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan.

d. UNIT BINMAS

(1) Unit binmas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf

merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah

Kapolres..

(2) Unit binmas bertugas melaksanakan pembinaan masyarakat

meliputi kegiatan pemberdayaan Polmas, kctertiban masyarakat

dan kegiatan koordinasi dengan bentuk-bentuk pengamanan

swakarsa, serta kegiatan kerja sama dalam memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat

65
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Unit binmas menyelengga akan fungsi:

a. Pelaksanaan koordinasi dengan bentuk-bentuk pengamanan

swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan

masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-

undangan

b. Pembinaan dan penyuluhan di bidang ketertiban masyarakat

terhadap komponen masyarakat antara lain remaja pemuda

wanita, dan anak; dan

c. Pemberdayaan peran serta masyarakat dalam kegiatan Polmas

yang meliputi pengembangan kemitraan dan kerja sama antara

Polsek pemerintah tingkat mazyarakat kecamatan/kelurahan

serta organisasi non pemerintah.

e. UNIT SABHARA

(1) unit sabhara sebagaimana dimaksud pasal 84 huruf e merupakan

unsur pelaksanaan tugas pokok yang berada dibawah kapolres.

(2) unit sabhara bertugas melaksanakan Turjawali dan pengamanan

kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, objek vital,

TPTKP,penanganan Tipiring, pengendalian massa dalam rangka

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta

pengamanan markas.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Unit

sabhara menyelenggarakan fungsi :

a. Pelaksanaan tugas Turjawali;

66
b. Penyiapan personel dan peralatan untuk kepentingan tugas patroli,

pengamanan' unjuk rasa, dan pengendalian massa,

c. Pemeliharaan ketertiban umum berupa penegakan hukum Tipiring

dan pengamanan TPTKP;

d. Penjagaan dan pengamanan markas penanganan Tipiring.

f. UNIT LALU LINTAS

(1) Unit lantas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf f

merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah

Kapolres.

(2) Unit lantas bertugas melaksanakan Turjawali bidang lalu lintas,

penyidikan hukum di bidang lalu lintas.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Unitlantas menyelenggarakan fungsi:

a. Pembinaan partisipasi masyarakat di bidang lalu lintas melalui

kerja sama lintas sektoral dan Dikmaslantas;

b. Pelaksanaan Turjawali lalu lintas dalam rangka

Kamseltibcarlantas; dan

c. Pelaksanaan penindakan pelanggaran serta penanganan

kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum.

C. Gambaran Tindak Pidana di Wilayah Kepolisian Resort Lampung

Tengah

Upaya pencegahan dan mengatasi berbagai bentuk tindakan yang

mengancam Kamtibmas, maka kesiapan dan tindakan cepat dari Polres

sangat dituntut ada atau tidak adanya informasi dari masyarakat dan semua

67
unsur yang ikut bertanggung jawab dalam menjaga Kamtibmas sebagai

mitra polisi dalam menciptakan dan meningkatkan kualitas Kamtibmas.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berhasil atai tidaknya stabilitas

Kamtibmas sangat bergantung dengan kebijakan pola koordinasi kepolisian

dengan semua pihak yang terkait. Oleh karenanya, maka sesuai doktrin

bahwa polisi harus melaksanakan tugas dan kewajiban secara profesional

dengan mengedepankan integritas yang tinggi.

D. Tugas dan Fungsi Kepolisian Resort Lampung Tengah

Polisi Merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan

perlindungan kepada masyarakat 70.

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia dalam Pasal I ayat (1) dijelaskan bahwa kepolisian
adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam
Undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan
lembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai salah satu
fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan
pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ
pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan
kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-
undangan71.

Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa:

I) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

70
Satjipto Raharjo,Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,
2009.
71
Satjijono. Memahami Hukum Kepolisian, PT. Laks Bang Persindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 27.

68
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan

dalam negeri.

2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang

merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

Secara garis besar kegiatan polisi dalam menjalankan tugas, fungsi dan

tanggung jawab serta wewenangnya dalam memberikan perlindungan dan

pelayanan kepada masyarakat untuk menciptakan/ menjaga keamanan dan

ketertiban masyarakat sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada

polisi sebagai pembawa/pemegang peranan tersebut.

Adapun peranan Polisi yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah

meliputi :

a) Polisi berperan sebagai pelayan maryarakat

Pelayan atau pelayanan adalah kegiatan melayani orang lain dengan


menampilkan suatu perilaku dan tata cara yang bertujuan untuk
memuaskan harapan, kebutuhan atau keinginan orang lain dalam batas
norma yang telah ditentukan. Pelayanan prima adalah suatu jasa
pelayanan yang dilakukan dengan cermat, langsung, cepat, praktis
yang dapat diterima dengan mudah serta dilakukan dengan bahasa
yang baik72.

Polisi sebagai abdi negara dan masyarakat sebelum melaksanakan

pelayanan prima, harus mengetahui lebih dahulu apa tugas pokok dan

fungsi organisasi, kemudian apa tanggung-jawabnnya. hal ini akan

menentukan proses dan jasa yang akan diberikan organisasi atau oleh

personil di dalamnya (individu), sehingga dapat menentukan

72
Mahmoeddin, As., Pengantar Pelayanan, IBI, Jakarta, 1986, hlm. 41.

69
pelayanan apa yang akan diberikan. Dengan memberikan pelayan

yang baik, maka Polisi akan dapat menciptakan kondisi masyarakat

yang aman dan kondusif serta akan terjalin hubungan yang harmonis

antara polisi dengan masyarakat sebagai mitra dalam membangun

kehidupan yang lebih berguna.

b) Polisi berperan sebagai koordinator Kamtibmas

Koordinasi diartikan sebagai tindakan pimpinan untuk mengusahakan

terjadinya Keselarasan antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh

seseorang/bagian yang satu dengan orang/bagian yang lain.

Dari pengertian diatas, koordinasi mempunyai arti yang sangat penting dalam

setiap proses administasi, karena pada hakekatnya wilayah kecamatan

merupakan suatu organisasi besar yang terdiri dari berbagai unsur dan elemen

masyarakat dan aparatur pemerintah. Untuk mewujudkan koordinasi yang lebih

baik antar instansi dan begitu pula dengan berbagai pihak yang berkepentingan

dituntut kesungguhan dan tanggung-jawab serta kemauan vang tỉnggi untuk

berkoordinasi dengan semua lapisan masyarakat dalam upaya menciptakan dan

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk dapat menghasilkan

suatu organisasi yang baik, maka diperhatikan syarat-syarat dari koordinasi

tersebut. Adapun syarat-syarat koordinasi yang baik menurut, adalah :

1) Pembagian pekerjaan yang jelas dalam organisasi.

2) Suasana persaudaraan dan semangat kerjasama yang besar dalam organisasi.

3) Kontak dan komunikasi yang cukup diantara orang dalam organisasi.

4) Koordinasi ditetapkan dan dilaksanakan sebagai kesatuan dengan

perencanaan, pembimbingan dan pengendalian.

70
5) Pemakaian cara-cara pengkoordinasian yang tepat.

Kepolisian Sektor dikepalai oleh seorang Kapolsek . Kapolsek adalah unsur

pimpinan tingkat Polsek yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Kapolres bertugas memimpin, membina dan mengawasi/mengendalikan

Satuan-satuan organisasi dalam lingkungan Polsek serta memberikan saran

pertimbangan dan melaksanakan tugas lain sesuai perintah Kapolres. Secara

rinci tugas Kapolsek adalah sebagai berikut :

1) mengajukan saran dan pertimbangan ke kapolres khususnya mengenai hal-

hal yang berhubungan dengan bidang tugasnya baik diminta ataupun tidak

diminta oleh Kapolres.

2) Menyusun rencana dan Program kegiatan Polsek sebagai penjabaran dari

rencana dan program kerja Polres serta membuat ren giat Opsnal terpadu

antara Fungsi Opsnal kesatuannnya ( deteksi, binmaspol, preventif) dan

penegakan hukum dalam menanggulangi gangguan kamtibmas dengan

memperhatikan program-program yang dilaksanakan Pemda dan Instansi

Terkait lain di Wilayahnya.

3) Melaksanakan kegiatan sehari - hari berdasarkan rencana kegiatan dengan

menggerakkan dan memimpin anggotanya sehingga mencapai hasil guna

yang seoptimal mungkin.

4) Melaksanakan pembinaan kesatuannya meliputi :

a. Pembinaan mental / disiplin sikap tampang dan ketrampilan teknis

kepolisian, fisik, pembinaan karier dan kesejahteraan anggotanya.

b. Pembinaan sarana materiil meliputi Ranmor, alkomlek, senpi dan lainnya.

Pembinaan administrasi keuangan dan logistik.

71
c. Mengendalikan pengendalian dan pengawasan terhadap segala kegiatan

kesatuan dan anggotanya.

d. Melaksanakan upaya hukum terhadap segala bentuk tindak pidana /

kejahatan berdasarkan ketentuan peraturan dan perundang-undangan

yang berlaku dengan senantiasa memperhatikan norma-norma sosial

yang berlaku dalam masyarakat. sarana dan prasarana, harwat

5. Membina menyelenggarakan Polmas temasuk pembinaan system

lingkungan, system keamanan lingkungan keamanan terutama pemukiman

bersama dengan Tripika melakukan kegiatan dalam rangka membina

pemerintah dan potmas lainnya guna mewujudkan kondisi kamtibmas yang

mantap dalam menunjang keberhasilan pembangunan di wilayah.

6. Dalam pelaksanaan tugas, Kapolsek bertanggung jawab langsung kepada

Kapolres.

E. Tugas dan Wewenang Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan

Daerah) dan Kominda (Komunitas Intelejen Daerah)

Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten/Kota

diinstruksikan harus menggelar rapat forkopimda secara rutin di wilayahnya

masing-masing. aing tidak setiap satu bulan sekali harus dilaksanakan.

Inisiatif boleh datang dari Camati, Kapolsek, Danramil, atau pimpinan

Uspika lainnya. Yang dibahas masalah aktual dengan harapan dapat

ditangani dengan baik.

Tujuannya untuk memaksimalkan fungsi koordinasi antar uspika dalam

pelaksanaan pembangunan dan penyelesaian masalah-masalah aktual di

daerah. Unsur Forkopimda kabupaten/kota dapat memusingkan kembali

72
pusat pengendalian krisis ( pusdalsis) di daerhnya. Dengan demikian

terbangun konektivitas antar pusdalsis kabupaten/kota dan provinsi.

Unsur Forkopimda Kabupaten yaitu Kepala Daerah (Bupati), Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (Ketua DPRD), Kepala Kepolisian Resor,

Komando Distrik Militer, Ketua Pengadilan Agama, Ketua Pengadilan

Negeri, Kepala kejaksaan negri,sehingga setiap permasalahan yang terjadi

sekalipun di ujung pelosok, maupun di kawasan perbatasan pada hari itu,

detik itu sudah sampai di tangan gubernur, pangdam, maupun kapolda agar

di provinsi bisa ambil tindakaan cepat. Sedangkan Uspika kecamatan yaitu

Camat, kapolsek, Danramil juga melaksanakan rapat koordinasi setiap

bulannya sehingga apa saja yang terjadi di kecamatan menjadi tugas instansi

ini. Termasuk membuat sistem pelaporan yang baik ke forkopimda provinsi

berjenjang. secara kabupaten/kota undneu Demikian pula komunitas

intelejen daerah (kominda) diharap dapat melaksanakan perannya menjadi

penyampai informasi situasi daerah terkini. "Baik kominda di lingkungan

Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Polrí harus akrab, kompak, sehingga

bisa benar-benar dapat menerima laporan akurat memastikan informasi

yung berkembang di masyarakat.

Pembentukan forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) ,

merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 pasal 26 tentang

Pemerintah Daerah. Dalam UU Tersebut, dijelaskan bahwa untuk

menunjang kelancaran pelaksanaan urusan Pemerintahan Umum, maka

dibentuklah Forkopimda Provinsi, Forkopimda Kabupaten/Kota dan forum

Koordinasi Pimpinan Kecamatan.

73
Gebernur sebagai ketua untuk daerah provinsi, bupati/wali kota untuk

kabuputen/ keta dan camat untuk kecamatan. Sedangkan untuk nama-nama

anggota di Forkopimda Provinsi dan Forkopimda Kabupaten/Kota terdiri

dari Pimpinan Kepolisian, Kejaksaan dan pimpinan Satuan Teritorial

Tentara Nasional Indonesia di daerah.

F. Kronologis Kejadian

Insiden Perselisihan antar kampung ini bermula pada Sabtu, 28 Juli 2018 Pukul

16.30 WIB ketika itu Seorang warga bernama Alwi Warga Kampung

Bumiratu, yang mengganganti oli kendaraan sepeda motornya dibengkel milik

Yusuf Sukarji Warga Kampung Kebagusan. Namun karena tidak bisa

membayar Alwi pun menjaminkan ponsel miliknya dan diterima oleh Gideon

Dwi Kurniawan (Anak Yusuf Sukarji) .

Keesokan harinya, datang seorang laki-laki yang mengaku disuruh oleh Alwi

untuk menebus ponsel sekaligus membayar hutang kepada Gideon Dwi

Kurniawan sebesar Rp 30.000, Ponsel pun diserahkan oleh Gideon Dwi

Kurniawan kepada laki-laki tersebut.

Senin, 3 September 2018 sekitar Pukul 13.00 WIB, datanglah istri Alwi

menanyakan ponsel yang sama. Gideon Dwi Kurniawan pun mengatakan

bahwa ponsel tersebut sudah ditebus oleh adiknya. Mendengar hal itu, istri

Alwi kemudian pulang.

Namun sekitar pukul 13.30 WIB, istri Alwi datang kembali dan mengatakan

bahwa ponsel tersebut belum di ambil. Istri Alwi pun menelpon Alwi dan

berbicara kepada Gideon Dwi Kurniawan dengan nada tinggi. Korban

mengatakan, “Saya tidak mau tau”.

74
Selanjutnya Gideon Dwi Kurniawan menyuruh istri Alwi agar Alwi

menemuinya untuk menyelesaikan secara baik-baik. Selang beberapa saat,

Gideon Dwi Kurniawan bertemu dengan Alwi. Alwi berkata dengan nada

keras. “Gimana HP saya?”. Dijawab oleh gideon Dwi Kurniawan “kan sudah

di ambil oleh adiknya”. Alwi pun mengajak Gideon Dwi Kurniawan untuk

mencarinya ke kampung Bumiratu. Tetapi terdakwa mengaku tak bisa. “Gak

bisa, kalau sekarang saya lagi repot. Besok saja kalau dia lewat saya panggil,

karena saya kenal tapi tidak tau namanya”. Tiba-tiba Alwi menendang Gideon

Dwi Kurniawan hingga jatuh, kemudian Alwi membacok wajah Gideon Dwi

Kurniawan hingga terluka. Gideon Dwi Kurniawan pun lari menghindar namun

Alwi tetap mengejar Gideon Dwi Kurniawan.

Tak lama kemudian , datang lah Yusuf Sukarji, ia bermaksud melerai tetapi

Alwi malah membacoknya dengan pisau laduk. Yusuf Sukarji mengalami luka

di pipi sebelah kiri dan kanan. Lalu Gideon Dwi Kurniawan berusaha merebut

senjata tajam yang dipegang Alwi hingga melukai tangannya. Kemudian

Gideon Dwi Kurniawan dan Yusuf Sukarji Mengambil batu. Yusuf Sukarji

memukulkan batu tersebut ke Alwi yang mengenai bagian lengan, leher, dan

kepala secara berulang kali. Selanjutnya Yusuf Sukarji berusaha merebut

senjata tajam yang dipegang Alwi. Gideon Dwi Kurniawan dan Alwi terus

berkelahi dengan tangan kosong dengan saling pukul dan saling tendang.

Hingga Alwi terjatuh dan bersimbah darah.

Kerusakan yang terjadi di kampung bumi Bumiratu adalah 1 Rumah terbakar,

akibat sekelompok massa dari pihak alwi yang tidak terima atas kejadian itu.

Bapak Wan Hendri selaku lurah desa Bumiratu sudah melakukan himbauan

75
terhadap masyarakat Bumiratu agar tidak terprovokasi dan menimbulkan

tindakan anarkis.

Sementra itu, Kapolres Lampung Tengah, AKBP Slamet Wahyudi langsung

turun kelokasi kejadian untuk melakukan pengamanan dan melakukan

penjaggan di TKP dengan menyiagakan personil gabungan untuk mencegah

bentrok susulan.

Berdasarkan pendapat Loekman Djoyosoemarto selaku Bupati Lampung

Tengah, Penyerangan di Bumiratu Nuban Diluar prediksi pemkab Lampung

Tengah. Pasalnya persoalan yang dilatar belakangi perkelahian berujung

kematian itu sebelumnya dianggap sudah selesai. Hal ini disampaikan Bupati

Lampung Tengah saat mendatangi TKP penyerangan di Bumiratu Nuban

Lamteng, jumat (15/3/2019). Bahkan, lanjut Bupati, Pemkab telah

menghimpun Bantuan dari kepala-kepala OPD untuk diserahkan kepada pihak-

pihak yang membutuhkan. Selanjutnya Gideon Dwi Kurniawan dan Yusuf

Sukarji diamankan di polsubsektor Bumiratu Nuban.

76
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka faktor-faktor penyebab

terjadinya perselisihan antar kampung di Kabupaten Lampung Tengah yaitu

diantarnya:

1. Faktor Penyebab Konflik Sosial

terdapat setidaknya 4 faktor penyebab konflik sosial yaitu perbedaan antar-

individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan

sosial yang terlalu cepat.

a. Perbedaan Individual

Setiap manusia adalah individu unik karena tidak pernah ada kesamaan

mutlak antara seseorang dengan orang lain.

Ketika terjadi interaksi antarindividu, terjadilah perbedaan perasaan,

pendapat, tujuan, dan keinginan yang menimbulkan konflik sosial.

Setiap pihak yang berkonflik akan berusaha melenyapkan lawannya,

baik secara simbolik maupun tidak untuk dapat memenangkan

kepentingannya.

b. Perbedaan Kebudayaan

Latar belakang budaya yang berbeda dapat memengaruhi pola

pemikiran dan tingkah laku individual dalam sebuah kelompok.

Bahkan, dalam kelompok yang sama, tidak tertutup kemungkinan

77
adanya perbedaan kebudayaan, karena budaya lingkungan keluarga

yang membesarkan setiap individu berbeda-beda.

Ukuran yang dipakai oleh sebuah kelompok tidak akan sama dengan

yang lain. Perbedaan ini dapat menimbulkan sikap etnosentrisme, sikap

bahwa kelompok sendiri adalah yang paling baik, biasanya disertai

dengan meremehkan kelompok lain. Dari hal ini bisa muncul konflik

sosial dengan dasar perbedaan kebudayaan.

c. Perbedaan Kepentingan

Konflik sosial yang terjadi karena perbedaan kepentingan dapat terjadi

di bidang ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Pada dasarnya,

setiap individual/kelompok memiliki kepentingan berbeda terhadap

sesuatu. Jika kepentingan ini dibenturkan, maka yang terjadi adalah

"pertarungan" untuk menentukan kepentingan yang lebih dimenangkan.

d. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat

Perubahan sosial yang terjadi secara cepat dan mendadak akan

menciptakan keguncangan proses sosial didalam masyarakat. Faktor

ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat jadi penting. Perubahan itu

dapat berpengaruh pada bergantinya sistem nilai yang berlaku. Hal ini

terjadi karena setiap individual/kelompok memiliki cara berbeda dalam

menanggapi perubahan sosial tersebut. Ada yang cepat beradaptasi, ada

yang menolak, dan sebagainya. Ada individu/kelompok yang awalnya

mendapatkan keuntungan atas sistem nilai terdahulu, kemudian setelah

terjadi perubahan sosial, justru dirugikan. Sebaliknya, ada pula

78
individu/kelompok yang awalnya dirugikan, kemudian diuntungkan.

Perbedaan cara pandang atas perubahan sosial inilah yang dapat

menimbulkan konflik sosial. Ego masing-masing individu yang tidak

dikendalikan secara tepat dapat menimbulkan konflik dengan individu

lainnya. Karakter seseorang dibentuk dalam lingkungan keluarga dan

masyarakat, sedangkan tidak semua masyarakat memiliki kebiasaan,

nilai-nilai dan norma-norma sosial yang sama. Perbedaan kebiasaan,

nilai dan norma sosial yang dianut oleh masing-masing orang atau

kelompok dapat menjadi pemicu konflik jika seluruh pihak tidak

mencoba mengerti nilai dan norma satu sama lain. Tingkat kebutuhan

hidup yang berbeda-beda seringkali menyebabkan adanya perbedaan

kepentingan antar individu dan kelompok. Perbedaan kepentingan ini

menyangkut kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dalam

masyarakat yang multikultural, sering terjadi pergesekan sistem nilai

dan norma sosial antara etnis yang satu dengan etnis yang lainnya.

Adanya fenomena primordialisme dan etnosentrisme yang tumbuh pada

masing-masing etnis, maka akan tumbuh pertentangan-pertentangan

yang memicu terjadinya konflik sosial. Konflik rasial didasari oleh

paham rasialisme atau diskriminasi ras. Di Indonesia, konflik ras terjadi

akibat adanya kecemburuan sosial terhadap ras tertentu yang menjadi

minoritas, tetapi memiliki kekuatan ekonomi yang jauh lebih besar

daripada ras mayoritas.

79
Berdasarkan uraian diatas penulis mencoba menghubungkan dengan teori

negara kesejahteraan (welfare state). Menurut teori ini negara atau

pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban

massyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab untuk mewujudkan

keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.73

Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam

masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah

konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang

telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat,

termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena hasil-hasil

pembangunan itu harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Pada

masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum tidaklah cukup hanya

untuk memelihara dan mempertahankan pembangunan, tetapi hukum juga

harus dapat membantu proses perubahan masyarakat. Perubahan yang

dikehendaki dalam masyarakat hendaknya dilakukan dengn cara yang

tertib, selama itu pula masih ada tempat bagi peranan hukum. 74

Bahwa berdasarkan kajian penulis bahwasannya terkait dengan tindakan

polri dalam penanganan perselisihan antar kampung di wilayah lampung

tengah yang melibatkan Kampung Kebagusan dengan Bumi ratunuban

tersebut peran korps brimob tidak bisa disalahkan seratus persen dalam

73
Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi
Ekonomi”. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasionaldi Fakultas Hukum
Universitas Lampung, 1996, hlm. 16
74
Muchtar Kusumaatmaja, Konsep - Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni,
Bandung, 2002, hlm. 3.

80
upaya pencegahan konflik antar suku tersebut karena peran polisi tersebut

diterjunkan apabila suasana dalam situasi genting, di kepolisian dikenal

adanya istilah polmas atau polisi masyarakat.

Polmas pada hakikatnya adalah perpolisian atau pemolisian masyarakat

yang digagas berdasarkan kesadaran bahwa untuk menciptakan kondisi

aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai

subyek, melainkan harus dengan cara kemitraan polisi dengan warga

masyarakat sehingga bersama-sama mampu mendeteksi gelala yang

mengarah pada konflik. Polmas dibangun dalam bentuk bhabinkamtibmas

yang ada ditiap desa atau kelurahan.

Peran bhabinkamtibmas di tiap desa atau kelurahan antara lain adalah

memfasilitasi perpecahan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat

termasuk penyelesaian perselirisihan antar warga masyarakat,

memberdayakan dan mengendalikan peran pranata sosial yang ada sebagai

wadah untuk penyelesaian masalah sosial.

Mengenai persyaratan bhabinkamtibmas yang memiliki kepangkatan

brigadir sampai dengan inspektur adalah memiliki pengetahuan dan

pemahaman tentang muatan lokal atau adat istiadat daerah setempat,

memiliki kemampuan membangun kepercayaan masyarakat, memiliki

pengetahuan fungsi kepolisian.

81
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan, bahwa gangguan terhadap

penegak hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak serasian antara nilai-

nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang

bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu

kedamaian pergaulan hidup.

2. Faktor Penghambat dalam Penanganan Perselisihan di Kabupaten

Lampung Tengah

Faktor faktor yang menghambat penegakan hukum antara lain:

a. Faktor Hukun

Praktik penyelenggarnan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan

oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,

ditentukan secarn normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang

tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat

dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan

dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan

hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance,

karena penyelenggaraan hukum sesungguhnýa merupakan proses

penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan

untuk mencapai kedamaian.

b. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum

memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci

82
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian

penegak hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan

perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.

Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal

yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami

hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang

kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih

diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis

yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari

pula bahwa tugas yang harus diemban olch polisi begitu luas dan banyak.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok

sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul

adalah taraf kepatuhanhukum, yaitų kepatuhan hukum yang tinggi,

sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat

terhadap hukum, merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum

yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering

membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono

Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan

83
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana

seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka

berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah

suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan

mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

B. Pembahasan

Tugas dan wewenang kepolisian pada intinya ada dua tugas kepolisian

dibidang penegakan hukum, yaitu :

a. Penegakan hukum dibidang Peradilan Pidana (dengan sarana penal)

b. Penegakan hukum dengan sarana non-penal

Tahapan-tahapan instruksi Kepolisian berdasarkan sprin :

a. Berdasarkan Informasi Khusus Nomor : R / Infosus – 317 / IX / 2018 /

Intelkam tanggal 03 September 2018 tentang Telah terjadi Tindak Pidana

pengeroyokan di Dsn kebagusan luar Kamp. Wates Kec. Bumi Ratu

Nuban Kab. Lampung Tengah.

b. Kepolisian Resort Lampung Tengah mengeluarkan Surat Perintah (Sprin)

Pengamanan Antisipasi Rusuh Massa Dengan Nomor : Sprin / 1054 / IX /

PAM.3.3/2018

Tugas penegakan hukum dibidang Peradilan (dengan sarana penal) sebenarnya

hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari tugas kepolisian,

sebagian tugas kepolisian justru terletak diluar penegakan hukum pidana (non-

penal).

Tugas kepolisian dibidang peradilan pidana hanya terbatas dibidang

penyelidikan dan penyidikan, tugas lainnya tidak secara langsung berkaitan

84
dengan hukum pidana walaupun memang ada beberapa aspek hukum

pidananya. Misalnya, tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum,

mencegah penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan,

perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat yang sedang berkonflik,

mengusahakan ketaatan hukum warga masyarakat tentunya merupakan tugas

yang lebih luas dari sekedar dinyatakan sebagai tindak pidana

(kejahatan/pelanggaran) menurut ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.

1. Upaya Penal

Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan dari integral

perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir

atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat. Penegakan Hukum pidana merupakan

bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan

tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

Dengan demikian penegakan hukum pidana yang merupakan bagian hukum

pidana perlu di tanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa

penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan

pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk

berpartisipasi dalam menangulangi tindak pidana. Tugas dan wewenang

kepolisian dalam hal menanggulangi konflik yang terjadi antar kampung

maknanya tertuang dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia dan di dalam UU Pertahanan dan Keamanan.

85
Selanjutnya dalam Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2001 disebutkan, Dalam rangka

menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14

Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

menganggu ketertiban umum

c. Mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam

persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administratif kepolisian

f. Melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian

dalam rangka pencegahan

g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang

i. Mencari keterangan dan barang bukti

j. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional

k. Mengeluarkan surat dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam

rangka pelayanan masyarakat

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan

pengadilan,kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu

86
Penanggulangan tindakan anarkis yang terjadi akibat adanya konflik antar

kampung yang dilakukan oleh kepolisian sebagaimana berlandas pada butir ke

2 (dua) yang menyatakan polisi memiliki wewenang membantu menyelesaikan

perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum.

Upaya penal yang dapat diterapkan dalam masus konflik antar kampung yang

bersifat anarkis dalam kasus ini hanya dapat dilakukan sebatas pada pelaku

yang dianggap sebagai dalang atau provokator yang dapat untuk diajukan ke

pengadilan menurut pasal-pasal yang menjerat di antaranya , pasal 160 KUHP

tentang penghasutan; Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang.

2. Upaya Non Penal

Penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan

hukuman pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upayaupaya lain

diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan

politi, ekonomi, dan sosial budaya. Di samping itu, upaya non penal juga dapat

ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan

menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Hasil wawancara dengan Direktur Sabhara Polda Lampung Kombespol

Bambang Ponco Setiarso menjelaskan upaya penanggulangan terhadap

tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian dilakukan dalam

tahapan tertentu berdasarkan peraturan yang telah dipakai sebagai landasan

87
polri dalam menangani konflik sosial ditengah masyarakat yaitu dengan

berlandaskan prosedur tetap direktur Shabara Babinkam POLRI No.Pol :

Protap/01/V/2004. Kombespol Bambang Ponco Setiarso juga menjelaskan

bahwa dalam penanganan konflik yang terjadi antar kampung Polri menitik

beratkan pada 2 pendekatan yaitu upaya preventif sebagai pencegahan yang

dilakukan oleh Badan Bimas dengan kesatuannya dan upaya represif dengan

kesatuan Dalmas (Pengendali Masa) ketika terjadinya atau sudah meletusnya

suatu perpecahan sehingga perlu adanya upaya penanggulangan lebih untuk

mencegah perpecahan konflik yang bersifat anarkis meluas lebih besar lagi

dengan memakan korban jiwa.

Selanjutnya hasil wawancara Kombespol Anang Triarsono selaku Direktur

Binmas Polda Lampung menambahkan upaya kepolisian dalam menanggulangi

konflik antar kampung khususnya yang terjadi di Lampung Tengah

sesungguhnya sudah ada upaya kepolisian dalam mencegah agar tidak terjadi

konflik antar kampung yang sifatnya anarkis, hal tersebut sudah dilakukan

koordinasi sebelumnya oleh Kesatuan Binmas Kepolisian dengan upaya

musyawarah dan perdamaian demi mencegah timbulnya perang, namun disisi

lain, gejolak ditengah masyarakat mulai memanas sehingga kepolisian yang

semula menggunaan upaya preventif harus pula menggunakan upaya represif

melalui pasukan Dalmas untuk meredam pertikaian yang terjadi ntara

Kelompok Masyarakat tertentu.

Upaya kepolisian dalam melindungi konflik antar kampung khususnya yang

terjadi di Lampung Tengah juga tidak terlepas dari adanya Intelkam dimana

Intel Kepolisian unsur pelaksanaan tugas pokok kepolisian yang berada

88
dibawah Kapolres bertugas menyelenggarakan dan membina fungsi intelijen

bidang keamanan, termasuk perkiraan intelijen, memberikan pelayanan dalam

bentuk surat izin/keterangan yang menyangkut orang asing, senjata api dan

bahan peledak, kegiatan sosial politik masyarakat dan surat keterangan catatan

Kepolisian (SKCK) kepada masyarakat serta melakukan pengamanan,

pengawasan terhadap pelaksanaannya, selain itu kaitannya dalam kasus ini sat

Intelkam juga bertugas dalam menggali informasi dari masyarakat yang

selanjutnya menjadi informasi tentang indikasi-indikasi terjadinya keruuhan

serta konflik yang terjadi antar kampung agar dapat sesegera mungkin dapat

diantisipasi oleh pihak kepolisian.

Anang Triarsono juga menegaskan pencegahan serta penanggulangan konflik

juga melibatkan seluruh aparatur pemerintah baik Kepolisian maupun aparat

Pemerintah daerah setempat dengan upaya pencegahan konflik antara lain :

a. Memelihara kondisi damai dimasyarakat;

b.Mengutamakan penyelesaian perselisihan secara damai;

c. Meredam potensi konflik;dan

d. Mengembangkan sistem peringatan dini.

Menurut hasil wawancara dengan Anang Triarsono konflik antar kampung

yang merebak menjadi kerusuhan ataupun anarki. Kerusuhan ini disebabkan

karena beberapa faktor, faktor-faktor tersebut antara lain :

a. Faktor potensial kerusuhan adalah psikologi masyarakat yang mempunyai

kemampuan atau potensi sebagai pemicu terjadinya kerusuhan. Hal ini

akan semakin jelas jika didorong oleh unsurunsur seperti kondisi

89
perekonomian masyarakat yang mengalami tekanan terburuk dan kondisi

sosial kultur masyarakat atau lebih cenderung kearah sukuisme.

b. Faktor rekayasa, faktor rekayasa merupakan kesengajaan yang dibuat

pihak tertentu karena adanya kepentingan ternetu dengan cara meletupkan

kerusuhan.

c. Faktor kurang koordinasi antara pihak yang berkonflik dengan aparat

kepolisian sehingga para pihak bertindak diluar batas yang iketahui

kepolisian. Hal ini menjadi penyebab kerusuhan yang bersifat anarkis.

Karena bisa saja ada sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab

masuk kedalam barisan, lalu berusaha mengacaukan keadaan.

d. Aksi teror, pengerusakan, intimidasi ataupun tindak pidana terhadap jiwa

dan benda lain dapt terjadi dalam hal ini. Faktor potensi psikologi massa

yang tidak stabil juga berpengaruh dalam timbulnya kerusuhan ini.

Hasil wawancara terhadap Kasubdit Dalmas Polda Lampung AKBP Darmawan

mengatakan selain berpegang teguh pada Protap Pengendali Massa, beliau juga

menegaskan langkah yang diambil oleh kesatuan Dalmas dalam

menanggulangi konflik antar kampung yang mulai anarkis dengan jalan

penghentian konflik dalam hal ini konflik sudah terarah pada hal yang sifatnya

anarkis dengan kekerasan fisik.

Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a

Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial dilakukan di bawah koordinasi

POLRI, dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh

90
adat, POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dilakukan melalui :

a. Pemisahan para pihak atau kelompok yang berkonflik;

b. Melakukan tindakan penyelamatan dan perlindungan terhadap korban;

c. Pelucutan senjata tajam dan perealatan berbahaya lainnya;dan

d. Melakukan tindakan pengamanan yang diperlukan sesuai peraturan

perundang-undangan.

Polri dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 berwewenang untuk :

a. Menetapkan batas demarkasi wilayah antar kedua kelompok yang terlibat

konflik;

b. Menetapkan zona konflik;

c. Melarang berkumpul dalam jumlah tertentu di daerah konflik;

d. Memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan;dan

e. Mendamaikan dan merekonsiliasi para pihak.

AKBP Darmawan juga mengatakan dalam mengendalikan masyarakat yang

sedang berkonflik kepolisian juga dibekali oleh sarana dan alat yang

menunjang dalam menanggulangi konflik antar kampung khususnya yang

terjadi di Lampung Tengah, Penjagaan objek vital yang akan dilalui massa

termasuk ,melaksanakan patroli di wilayah masingmasing, terutama tempat

rawan berkumpulnya massa, pengamanan objek sasaran konflik, dan

diharapkan Dalmas agar tidak terpancing emosi dan tetap berada dalam

informasi awal informasi awal mencegah kedua belah pihak yang bertikai

kontak fisik secara langsung.

91
AKBP Darmawan juga menambahkan penanggulangan konflik sosial antar

kampung yang mulai menjalar menjadi anarkis perlu penanganan yang cukup

ekstra dengan waktu yang cukup lama untuk mengamankannya, sehingga

kepolisian dalam hal ini polda Lampung perlu menyiapkan beberapa keperluan

antara lain :

1. Negoisator dan perangkatnya

Negosiator adalah anggota Polri Yang melaksanakan Perundingan melalui

tawar-menawar dengan massa pengunjuk rasa untuk mendapatkan

kesepakatan bersama

2. Dalmas Awal

Menurut peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang

Pedoman Pengendalian Massa disebutkan Bahwa :

a. Pengendalian Massa yang selanjutnya disebut Dalmas adalah kegiatan

yang dilakukan oleh satuan Polri dalam rangka menghadapi massa

pengunjuk rasa.

b. Dalmas awal adalah satuan Dalmas yang tidak dilengkapi dengan alat-

alat perlengkapan khusus kepolisian, digerakkan dalam menghadapi

kondisi massa masih tertib dan teratur/situasi hijau.

c. Dalmas Lanujut adalah satuan Dalmas yang dilengkapi dengan alat-

alat perlengkapan khusus Kepolisian, digerakkan dalam menghadapi

kondisi massa sudah tidak tertib/ situasi kuning.

d. Lapis Ganti adalah kegiatan peralihan kendali dari satuan Dalmas

awal ke Dalmas Lanjut.

92
e. Lintas ganti adalah kegiatan peralihan dari satuan Kompi Dalmas

Lanjut kepada Satuan Kompi/Detasemen Penanggulangan Huru-Hara

Brimob.

3. Brimob yang memiliki Tugas

a. Menyiapkan Pasukan Huru-Hura (PHH) dengan kekuatan yang

seimbang dengan jumlah massa yang berkonflik dalam hal ini terbagi

menjadi beberapa desa.

b. Menyiapkan peralatan yang diperlukan, antara lain : Security Barrier,

Water Cannon, Baracuda, alat Pemadam kebakaran

c. Menyiapkan pasukan opdahura agar berada di posisi yang mudah

bergerak dengan cepat ke lokasi, termasuk pasukan lintas ganti.

d. Penggunaan senjata hanya menggunakan peluru hampa dn peluru karet,

sedangkan dilarang menggubakan peluru tajam. Untuk itu, sebelum

pasukan berangkat, para komandan melakukan pengecekan akhir

terhadap senpi dan amunisi yang dibawa.

e. Dukungan logistik untuk pasukan sudah siap dari awal terutama

makan,tenda lapangan, Toilet Lapangan dan Commob.

Selain itu menurut AKBP Darmawan dalam melakukan tindakan represif anggota

kepolisian selalu berlandaskan pada prosedur tetap Direktur Shabara Babinkam

POLRI No.Pol : Protap/01/V/2004, dengan indikator-indikator situasi anarkis

pada angka 10 yang menyatakan :

a. Tindakan kepolisian awal/preventif dalam bentuk : negosiasi, himbauan,

tembakan peringatan/salvo, dorongan dengan menggunakan peralatan dalmas

93
( tameng, tongkat, gas air mata ) sudah tidak diindahkan dan kerusuhan

cenderung meluas serta brutal.

b. Masa perusuhan menunjukkan sikap dan tindakan melawan perintah petugas

Polri dan Tidak mengindahkan sama sekali peringatan untuk tidak melakukan

pelanggaran hukum .

c. Masa perusuh mulai melakukan tindakan kekerasan yang membahayakan

keselamatan jiwa, raga dan harta benda masyarakat dengan cara : melempar,

memukul, menganiaya, memperkosa, menyandra dan membunuh.

Menurut Kombespol Dr.Reynold Elisa P. Hutagalung selaku Direktur Reserse

Kriminal Umum dalam mengatasi tindakan anarkis dalam pertikaian antar

kampung yang sudah terjadi pertikaian antar kampung, anggota kepolisian

mengamankkan beberpa provokator agar tidak terjadi pertikaian, sehingga

masyarakat merasa aman.

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dianalisis penanggulangan konflik antar

kampung yang anarkis oleh kepolisian dan jajarannya sudah berdasarkan dan

berpedoman dengan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tetap memperhatikan

Hak Asasi Manusia dengan mengutamakan jalan perdamaian yang bertujuan

menyatukan pihak-pihak yang bertikai, dengan fungsinya masing-masing jajaran,

dengan langkah awal upaya penanggulangan dengan sedini mungkin terjadinya

konflik dapat dihindari dengan diterjunkannya jajaran Binmas sebagai upaya

prefentif sebelum meluas ke arah sana, sehingga selanjutnya oleh Kepolisian

Daerah Lampung menerjunkan satuan Dalmas (Pengendali Massa) sebagai upaya

penanganan dengan memperhatikan pihk kepolisian hanya sebagai tembok untuk

94
membendung pecahnya konflik yang terjadi di Lampung Tengah agar terhindar

dari kerugian dan korban jiwa lebih banyak lagi. Sependapat dengan responden

diatas bahwasannya penanggulangan konflik antar kampung yang bersifat anarkis

melalui dua tahap sekaligus yaitu prefentif dan represif sebagai upaya yang tidak

dapat dipisahkan sekaligus saling terkait agar konflik yang terjadi secepat

mungkin dapat terselesaikan dan diharapkan dengan upaya Kepolisian dengan

badan Binmas yang terjun pemahaman sehingga pertikaian berdarah seperti yang

terjadi di Lampung Tengah tidak terulang kembali.

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Negara Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Penindakan Huru-Hara :

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Negara Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2019 ,Pelaksanaan Penindakan Huru-Hara dilaksanakan di Jalan

Raya, Gedung atau bangunan, dan Lapangan/lahan terbuka.

Bunyi Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Negara Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 ,yaitu : “Penindakan Huru-Hara dilaksanakan

apabila terjadi peningkatan situasi dari situasi kuning menjadi situasi merah”

Bunyi Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Negara Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2019,yaitu :

(1) Situasi kuning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat berupa:

a. unjuk rasa tidak damai/tidak tertib;

b. massa pengunjuk rasa tidak mengindahkan imbauan/seruan petugas Polri;

c. arus lalu lintas/kegiatan warga masyarakat dan pemerintahan terganggu;

d. pengunjuk rasa mulai melempari petugas yang dapat mengakibatkan luka

ringan; dan/atau

95
e. negosiasi tidak berhasil.

(2) Situasi kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan

Dalmas Lanjut.

(3) Pada saat terjadi pengendalian massa oleh Satuan Dalmas Lanjut, Satuan

PHH Brimob Polri tetap siaga pada lokasi yang telah ditentukan.

(4) Satuan Dalmas Lanjut dan Satuan PHH Brimob Polri merupakan satu

kesatuan yang utuh dan lengkap yang digerakkan secara bertingkat dan

bertahap untuk pengendalian massa atau huru-hara sesuai dengan situasi yang

dihadapi.

Bunyi Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Negara Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2019,yaitu :

(1) Situasi merah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat berupa:

a. unjuk rasa tidak terkendali;

b. pengunjuk rasa tidak mengindahkan seruan Komandan Satuan PHH

Brimob Polri; dan/atau

c. pengunjuk rasa menggunakan benda-benda yang dapat mengakibatkan

luka berat, kerugian harta benda dan hak asasi manusia.

(2) Dalam hal terjadi peningkatan situasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan lintas ganti antara Satuan Dalmas Lanjut dengan Satuan PHH

Brimob Polri atas perintah Kapolri dan/atau Kasatwil.

Upaya mencegah dan mengatasi berbagai bentuk tindakan yang mengancam,

maka kesiapan dan tindakan cepat dari Polres sangat mudah. Dengan demikian

96
dapat dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya Pihak Kepolisian Polres sangat

bergantung dengan kebijakan koordinasi dengan semua pihak yang terkait.

Keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) adalah suatu kondisi dinamis

masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan

nasional yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya

hukum serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina

serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakt dalam mencegah,

menangkal, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-

bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Salah satu tugas Kapolres adalah sebagai berikut : Membina menyelenggarakan

Polmas termasuk pembinaan system keamanan lingkungan, terutama system

keamanan lingkungan pemukiman bersama dengan Tripikal melakukan kegiatan

dalam rangka membina linmas, serta meningkatkan kerja sama dengan aparat

pemerintah dan potmas lainnya guna mewujudkan kondisi kamtibmas yang

mantap dalam menunjang keberhasilan pembangunan di wilayah.

Dalam upaya mencapai tujuan, Kepala Kepolisian Resort Lampung Tengah

memerlukan strategi pencapaian tujuan. Strategi itu berupa Komunikasi Binmas

Kepolisian Resort Lampung Tengah sebagai pembina dari pihak Kepolisian yang

berhubungan dengan masyarakat, yang dikaitkan pula pada beberapa kategori

korelasi antar komponen dalam strategi komunikasi, dari sini dapat terlihat

bagaimana strategi komunikasi melalui program pembinaan keamanan dan

ketertiban masyarakat dalam menciptakan masyarakat Lampung Tengah sadar

keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

97
Akan tetapi upaya penanggulangan tersebut bukan tanpa hambatan adapun faktor

penghambat dalam penanganan peselisihan di Kabupaten Lampung Tengah:

1. Faktor hukumnya sendiri;

Menurut peneliti apabila dilihat dari faktor hukumnya sendiri tidak begitu

dipermasalahkan karena di dalam regulasi sudah ada hukum yang mengatur

dengan tegas mengenai peran Polri dalam menjaga ketertiban umum dan

menegakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012

tentang Penanganan Konflik Sosial, Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Teknis Penanganan

Konflik Sosial, dan Surat Keputusan Kepala Polri (Skep Kapolri) No. Pol.

KEP/53/X/2002 mengenai Brimob

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun


menerapkan hukum;

Menurut peneliti jika dikaji dari faktor penegakan hukumnya memang

terkesan lambat dalam masalah pencegahan sebelum konflik terjadi hal ini

dikarenakan bhabinkamtibmas di desa Bumi Ratu Nuban Lampung Tengah

dapat berfungsi dengan baik maka kekerasan fisik dapat dihindari. Namun

kenyataannya polisi kerap kali terlambat dalam melakukan deteksi dini.

Belum adanya rembuk pekon yang berguna untuk meredakan pertikaian dan

mencari win-win solution mediasi antar kampung tersebut dalam mencegah

terjadinya pertikaian antara warga tersebut dapat disinyalir meledaknya

konflik antar suku tersebut di desa Bumi Ratu Nuban Lampung Tengah.

98
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

Menurut peneliti disamping faktor penegak hukum yang menjadi

permasalahan tersebut juga harus didukung dengan sarana atau fasilitas yang

memadai dalam hal ini keterbatasan jumlah personel anggota kepolisian mulai

dari Sabhara dan juga personel Brimob Lampung Tengah belum sebanding

dengan jumlah massa yang turun dalam konflik antar suku di desa Bumi Ratu

Nuban Lampung Tengah tersebut, jadi dalam hal ini personel Brimob sulit

untuk mengatasi pertikaian tersebut.

4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan diimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan

Faktor masyarakat yang masih ego sentris dan masih memandang prioritas

terhadap suku tertentu masih ditemui di di desa Bumi Ratu Nuban Lampung

Tengah hal ini yang berakibat masing-masing suku misal suku Lampung dan

Jawa juga Bali membuat paguyuban dan persatuan sendiri untuk melindungi

etnisnya hal ini yang sering terjadinya pergesekan antar suku, sebagian suku-

suku yang menetap di di desa Bumi Ratu Nuban Lampung Tengah Tokoh

Adat setempat jarang melakukan asimilasi dan bersoialisasi terhadap antar

suku sehingga masing-masing suku tersebut saling memandang bahwa

sukunya lah yang paling baik.

5. Faktor kebudayaan

Dilihat dari akar penyebabnya, kasus Lampung dalam batas-batas tertentu-

dapat dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang

99
bernuansa primordial, Meski sebagian kalangan melihat konflik antarkampung

di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan faktor ini juga

kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak yang

berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat Sejak

kehadirannya, etnis Bali—berbeda dengan orang Jawa—dipandang membawa

persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung.

Berdasarkan uraian diatas menurut analisa penulis dikaitkan dengan teori Hukum

sebagai sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering)

yang dikemukakan Roscoe Pound yang mana hukum bertujuan tercapainya

ketertiban, kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat sejalan dengan

pemikiran tersebut upaya dalam Penanganan peselisihan di Kabupaten Lampung

Tengah perlu diuapayakan konsolidasi dan mediasi dengan tokoh-tokoh

masyarakat adat setempat. Hal itulah mengapa fungsi restoratif justice sekarang

lebih diprioritaskan untuk menyelesaikan perkara pidana hal ini berguna untuk

menyeimbangkan kepentingan antara pelaku dan korban. Apalagi untuk

menyelesaikan konflik horizontal yang melibatkan perselisihan antar kampung

atau warga.

Lepas dari itu, kasus kerusuhan Lampung ini sebenarnya dapat segera

tertanggulangi dengan baik jika aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, dapat

memainkan peran yang lebih signifikan. Sebagai institusi yang menetapkan peran

preventif (pencegahan) sebagai bagian tugas pokoknya, kepolisian seharusnya

sejak dini dapat mendeteksi dan mengantisipasi potensi apa yang akan terjadi ke

depan. Dengan sederet institusi pelengkap untuk mendeteksi segenap potensi

100
negatif yang ada di masyarakat, kepolisian jelas salah satu institusi yang

seharusnya dapat memimpin dalam soal-soal yang terkait dengan keresahan

masyarakat.

101
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan, maka sebagai penutup dari

pembahasan atas permasalahan Tesis ini, penulis menarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut :

1. Penyebab tindakan anarkis pertikaian antar kampung bahwa masyarakat

mudah terprovokasi terhadap tindakan anarkis sehingga terjadi perselisihan

antar kampung, selain itu juga masyarakat kurangnya wawasan tentang

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, maka dari itu masyarakat

mudah melakukan tindakan anarkis.

2. Upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar

kampung oleh kepolisian dengan langkah preventif dan represif. Langkah

preventif yang dilakukan dalam konflik antar kampung sebelum dan

sesudah terjadinya pertikaian, yaitu kepolisian dengan jajaran Binmas

mengadakan penyuluhan-penyuluhan akan kesadaran hukum masyarakat,

pengamanan langsung dengan jalan evakuasi sebagian masyarakat,

pengamanan langsung dengan jalan evakuasi sebagai masyarakat khususnya

manula, wanita dan anak-anak ke beberapa lokasi agar terhindar dari

anarkisme, melakukan mediasi kepada pihak-pihak masyarakat yang sedang

berkomflik supaya perpecahan tidak serta merta meluas dan lebih besar lagi.

Sedangkan yang masuk dalam langkah represif yang diambil oleh kepolisian

adalah dengan diterjunkannya pasukan Dalmas dan PHH Brimob untuk

102
mengamankan situasi agar tidak meluasnya bentrok antar pihak-pihak yang

berkonflik karena dikhawatirkan akan menimbulkan korban harta benda dan

jiwa lebih banyak lagi.

3. Faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis

dalam konflik antar kampung oleh kepolisian yaitu faktor hukum, faktor

penegak hukum, faktor sarana pendukung, faktor masyarakat dan SDM.

Faktor-faktor tersebut kaitannya dengan sarana pendukung seperti

perlengkapan anti huru hara yang terbatas jumlahnya. Minimal jumlah

personil yang diterjunkan serta luasnya cakupan wilayah konflik sehingga

tidak semua wilayah dapat diamankan oleh kepolisian.

B. Saran

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai

alternatif pemecahan masalah oleh kepolisian di masa yang akan datang yaitu

sebagai berikut :

1. Kepada Masyarakat, supaya patuh hukum tidak main hakim sendiri dan

terprovokasi dengan orang lain, agar terciptanya kemampuan dan ketertiban

masyarakat.

2. Kepada Kepolisian, sudah cukup tepat meskipun dalam hal ini kepolisian

dinilai gagal karena konflik yang terjadi di Lampung Tengah sudah

memakan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit dan terus bertambah

sehingga perlu diingatkan lagi dalam hal koordinasi secara cepat dan

tanggap agar kerusuhan serupa tidak semakin meluas dan berkepanjangan.

3. Kepada Petinggi Kepolisian dan Pemerintahan, Faktor utama penghambat

kepada kepolisian adalah faktor hukum, faktor sarana, faktor penegak

103
hukum, faktor masyarakat itu sendiri sehingga solusinya adalah dengan

fungsi dari Binmas dan intelkam juga perlu diingatkan lagi agar pemahaman

masyarakat akan hukum lebih dimengerti serta segala informasi mengenai

adanya indikasi-indikasi yang sifatnya akan menimbulkan perpecahan dan

konfik secara reponsif dapat diketahui oleh kepolisian yang selanjutnya

dapat diambil langkah-langkah guna mencegah terjadinya konflik antar

kampung yang bersifat anarkis.

104
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU
Abdul Ghofur Anhsori,Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan,Gajah
Mada University Press, Yogyakarta,2006.
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom dan Artikel Pilihan
Dalam Bidang Hukum, Kencana,Jakarta,2008
Alex Nitidemito,Manajemen Suatu Dasar dan Pengantar,Ghalia
Indonesia,Jakarta;1984
Anthon F.Susanto, Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial Tentang
Penyimpangan,Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana),
Refika Aditama,Tanggerang,2004.
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar
Maju,Yogyakarta,2011.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rapai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Bernard L.Tanya,politik Hukum: Agenda Kepentingan Bersama,Genta
Publishing,Yogyakarta,2011.
Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, menuju kepada “Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis
Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban
Pidana.Prama Media,Jakarta,2002.
Chairuddin Ismail, Tantangan Polri dalam pemeliharaan Kamtibmas pada
masyarakat demokrasii,Jurnal Srigunting,Jakarta,2012.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Flsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia),Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta,2008.
Effendi,Erdianto,. Hukum Pidana Indonesia-Suatu Pengantar.T.Refika Aditama.
Bandung,2013.
Esmi Warasih, Pranata Hukum : Sebuah Telaah Ssosiologi, Suryandaru Utama,
Semarang,2005.
Faal M,Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya
Paramita,Jakarta,1991.
Fanz Magnis Suseno, Etik Poltik: Prinsip-Prinsip Moral Dsar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama,Jakarata,1999.
I Dewa Gede Atmaja,Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945,Edisi Revisi,Setara Press,Malang,2010.
Ilyas,Amir.2012.Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Mahakarya Rangkang
Offset
Jimly Asshiddiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi;Serpihan
Pemikiran Hukum,Media,dan Ham. Jakarta,2005.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.2009.
hlm.118
Muladi,Dalam Fitriani Kartika Ratnaningsih, Pelaksanaan Diskresi Oleh Polisi
Dalam Penyidikan di Polwitabes semarang,Fakultas Ilmu Ssosial
Jurusan dan Kewarganegaraan Universitas Negerei Semarang.
Semarang,2006.
Munir Fuady,Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat).Refika Aditama,2009.
__________, Indonesia Negara, Berdasarkan Atas Hukum, Gahila,Jakarta,1982.
Podmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co,Jakarta,1989.
O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia,
Jakarta,1974.
_______________, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Editor Tri Budiyono, Griya
Media,Salatiga,2011.
Rena Yulia,. Viktimologi (Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan),
Graha Ilmu,Yogyakarta,2010.
________,Ilmu Hukum, Cet.keenam, Citra Aditya Bakti,Bandung,2006.
Sadjijiono,Memahami Hukum Kepolisian, PT.LaksBang Persindo. Yogyakarta.
Mahmoeddin, As., Pengantar Pelayanan,IBI,Jakarta;1986.
Sajipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing,Yogyakarta,2009.
Soedarto,Kapita Slekta Hukum Pidana,Alumni,Bandung,1986.
Soedikno Martokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, Cet.Keempat,2008.
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Penegakan Hukum Dalam Rangka
Pembangunan Di Indonesia, Yayasan Penerbit UI,Jakarta,1975.
___________,Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum,PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta,2002.
___________, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta,2007.
Soewadji, Merubah Image Polisi, Pustaka Bimtang, Jakarta. 2005.
Soewarno Handayaningrat,Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan
Nasional, Gunung Agung, Jakarta,1999.
Solahuddin, KUHP,KUHAP dan KUHPdt. Visimedia, Jakarta.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halum Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum
: Pemikiran Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat,
Raja Grafindo persada,Jakarta.
The Liang Gie, Unsur-Unsur Administrasi, Supersukses,Yogyakarta; 1981. Hal
55.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,Cet.Kedelapan belas,
Kanisius, Yogyakarta. 2011.
Untrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,Cet.Ketujuh,PT. Penerbit dan
Balai Buku Ichtiar,Jakarta,1962.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota

Kepolisian Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Pelanggaran Disiplin

Kepolisian Republik Indonesia


Peraturan Kapolri Nomor 7 Thaun 2006 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara

Republik Indonesia

Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata

Kerja pada Tingkat Kepolisian Sektor dan Kepolisian Resor.

Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata

Kerja pada Tingkat Kepolisian Sektor dan Kepolisian Resor.

KUHP Pasal 73 tahun 1958

UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

UU Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesia

UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman

SE Kapolri Nomor 8 tahun 2008 tentang Penerapan Restorative Justice dalam

Penyelesaian Perkara Pidana

Perkap kapolri no 6 th 2019 menjelaskan tentang Penyelidikan Tindak Pidana

Pasal 14 ,Pasal 16, dan Pasal 18 UU kepolisian tahun 2002

Perkap no 6 th 2019 tentang restorasi justice

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Negara Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Penindakan Huru-Hara

Anda mungkin juga menyukai