Anda di halaman 1dari 10

Risalah

Penghafal Quran
Nanda Kusuma Putra
DAFTAR ISI

PROLOG
BAB I – Keajaiban Quran
BAB II –
BAB III -
BAB 1
PROSES AWAL
A. Takdir Indah dari Allah
Dalam rentang hidup cacatan sejarah impian saya di masa lampau, menjadi
penghafal quran tidak pernah menjadi satu dari sekian banyak hal yang akan saya raih
dalam hidup saya. Bukannya tidak mau, tapi … rasanya tidak mampu. Kalau kata orang,
terlalu muluk-muluk kalau saya berkata ingin menjadi seorang penghafal quran. Tilawah
saja tidak lancar, bahkan jarang, apalagi menghafal. Ibarat permisalan, seperti memaksa
seekor kura-kura berlari secepat rusa. Bisa, mungkin nyaris mustahil.
Saya hadir dari tengah keluarga yang tidak terlalu dekat dengan quran. Cita-cita saya
dulu sederhana, menjadi dokter seperti kebanyakan apa yang dicitak-citakan jutaan
pelajar di dunia. Salah satu cita-cita yang menduduki top global dunia anak yang
menyenangkan. Sebuah profesi yang menjadi idaman tidak sedikit anak bahkan orangtua
dari jaman saya belum dilahirnya hingga saya mulai diberi pertanyaan tentang apa
rencana ke depan.
Seiring waktu berjalan, takdir memaksa saya untuk masuk di sekolah menengah
kejuruan dengan kompetensi computer dan jaringan. Sebuah langkah yang membuat saya
menggantungkan cita-cita saya untuk menjadi dokter lebih awal. Sebagai penghibur diri,
kalau tidak bisa jadi dokter manusia, paling tidak menjadi dokter komputerlah.
Tidak ada alasan kecuali status gratis yang menguatkan saya untuk melanjutkan
bersekolah di tempat tersebut. Tidak bisa memilih banyak karena memang keadaan dan
rencana Tuhan membawa saya berada di sana. Dan begitulah, berperasangka baik atas
rencana Allah menjadi salah satu hal yang selalu menyenang dan menenangkan.
Meskipun tidak sesuai rencana awal, tapi tiga tahun di SMK menjadi salah satu momen
yang saya nikmati sepanjang rentang hidup saya.
Tiga tahun berjalan begitu cepat, pun juga lambat di beberapa kesempatan. Waktu
begitu lambat ketika jam tahfidz yang hanya dua jam sepekan datang. Rasa bosan dan
kantuk karena harus menghafal ayat-ayat yang membacanya saja tidak lancar. Target tiga
tahun tiga juz menjadi suatu hal yang mustahil di capai dengan semangat dan intensitas
dengan quran yang hanya dua jam pelajaran sepekan. Di luar itu, saya hanyalah anak
yang tergila-gila dengan hiburan. Dan di momen itu, waktu berlari dengan bringasnya.
Singkat cerita, tiga tahun di masa SMK, bukan waktu yang cukup untuk membuat
saya mahir dan bercita-cita menjadi seorang penghafal quran. Waktu itu, masih begitu
mustahil. Seminar motivasi tentang quran yang diadakan sekolah acap kali hanya
memberi semangat satu dua saat. Sisanya, saya masih senang dengan dunia hiburan
pertelevisian dan apa-apa yang semisal dengannya.
Lulus dengan meninggalkan ijazah yang masih tertahan di SMK karena target tiga
juz selama tiga tahun hanya tuntas sepertiganya. Juz 30, dengan kualitas bacaan dan
hafalan yang kalau saya jadi gurunya waktu itu akan saya minta menyetorkan ulang dari
awal. Saat itu, meskipun pernah hafal juz 30, tapi urutan setiap surat entah kenapa tak
selalu benar. Bahkan cenderung lebih sering salah. Hukum bacaan yang hanya tau
fathah, dhomah, kasrah. Selain itu, baca saja sesuai kata hati. Atau … sesuai huruf latin
yang tertulis di bawah tulisan arab. Panjang pendek samar jelas bacaan? Penting
hurufnya benar, sesederhana itu prinsip baca quran saya waktu itu.
Dengan masa menghafal tiga tahun dan hanya mendapat satu juz yang tidak lancar.
Sudah cukup membuat saya percaya diri bahwasanya, saya memang bukan orang yang
ditakdirkan menghafal quran. Juz 30 meskipun semua tidak lancar sudah cukup untuk
nanti menjadi imam sholat di rumah. Toh, juz 30 dan 30 juz hanya beda penempatan
awal kata saja. Loh.
Tidak satu dua kali sebetulnya saya merasa iri dengan apa yang ditampilkan di tivi.
Anak-anak yang pandai sekali mengaji. Melanjutkan ayat-ayat yang dibacakan dewan
juri dengan tartil sekali. Meskipun, saya sendiri waktu itu tidak tahu, bagaimana bacaan
tartil itu terdengar benar. Paling tidak mereka membaca dengan nada yang merdu dan
membuar saya merinding. Satu dua kesempatan meneteskan air mata saat anak-anak
belia yang bahkan mungkin belum menikmati sekolah formal sudah punya beberapa
bahkan puluhan hafalan quran.
Hafiz Indonesia. Yah, sebuah acara yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi
yang mungkin kita ketahui bersama. Tahun 2013, kalau tidak salah itu tahun pertama
acara itu dimulai. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 11 kira-kira. Menyaksikan
puluhan anak yang dengan luar biasa membacakan ayat-ayat quran yang begitu asing di
telingan saya. Membayangkan suatu saat bisa menjadi sosok seperti mereka meskipun itu
berarti saya sudah terlalu tua sebenarnya.
Menonton acara tersebut sempat membuat saya berkeinginan untuk menjadi sosok
yang hafal quran. Apalagi mendengar sebuah kajian dari seorang ustadz yang
menerangkan berbagai keutamaan seorang yang bisa menghafalkan quran. Untuk sosok
polos yang begitu awam agama, disugesti dengan keutamaan luar biasa yang diberikan
kepada seorang penghafal quran sudah cukup membuat saya betul-betul sangat tergoda.
Tapi, logika menahan saya untuk berharap banyak.
Setelah lulus SMK, karena sudah terlanjur nyaman dengan ilmu yang saya pelajari,
yaitu komputer dan jaringan. Saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di bidang
yang sama. Tapi, lagi-lagi manusia berencana Allah yang menentukan jalan yang paling
baik untuk hamba-Nya.
Cita-cita untuk menjadi ahli aiti yang mumpuni harus puas hanya dengan dipajang di
papan sejarah harapan yang panjang. Berganti dengan garis takdir yang sedari awal tidak
pernah terbesit dalam lintasan pikiran maupun lintasan perencanaan. Bisa membaca tiga
puluh juz quran saja masih terasa mustahil bagi saya waktu itu. Dan sekarang, dengan
susah diri, setiap hari akhirnya saya dipaksa keadaan untuk mulai menghafal ayat demi
ayat, surat demi surat, dan juz demi juz hingga lengkap sudah satu quran dihafal oleh
sosok satu ini.
Bukan persoal tidak mampu dan tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Tapi,
entah apa yang menggerakan hati hingga saya akhirnya memutuskan untuk mendaftarkan
diri di sebuah pesantren yang memiliki jenjang pendidikan setingkat perguruan tinggi di
sebuah daerah bernama Klaten.
Dengan kemampuan saya yang bukan lagi dari enol, tapi minus, tampak mustahil
bagi saya untuk bisa menamatkan pendidikan dan apa-apa yang menjadi target di instasi
tersebut. Dengan kurikulum pendidikan yang semua bukunya bahasa arab, lagi-lagi
menambah penderitaan masa-masa pendidikan saya di perguruan tinggi, dalam konteks
ini disebut, Mahad Aly.
Membayangkan bisa diterima saja tampak mustahil. Soal ujian yang saya jawab
dengan serampangan dan tes hafalan yang sungguh tidak enak didengar. Selain
keajaiban, tidak ada lagi yang bisa membuat saya di terima di tempat tersebut.
Entah sebuah anugerah atau … justru musibah keberadaan saya di tempat ini.
Memaksa diri merasa nyaman di tengah suasana hati yang tidak tenang kenyataanya
tidak semudah perkataan orang. Boleh saja orang-orang mengatakan yang sabar ya atau
yang kuat ya, pada akhirnya, saya sendiri yang paling tahu apa yang saya rasakan waktu
itu. dan disinilah, akan saya ungkap semuanya.
***
B. Sebuah kitab tebal yang mustahil dihafal
Mendengar kabar bahwa saya harus mulai menghafalkan quran, awalnya,
tantangan baru dalam hidup. Jadi, mari kita coba. Hari pertama berjalan tidak ramah.
Mengetahui bahwa semua yang saya hafal hampir semua memiliki kesalahan cara baca
sudah cukup membuat semangat saya yang lumayan tumbuh mulai rapuh.
Modal juz 30 yang sempat saya banggakan ternyata menjadi boomerang bagi
saya. Mempunyai hafalan yang salah ternyata lebih berbahaya belum mulai menghafal.
Ibarat sebuah lahan kosong yang bisa didirikan bangunan dari awal. Itulah kondisi awal
orang yang memulai menghafal quran. Bisa dibangun dari bata awal dan di susun seuai
desain yang sudah ditentukan dengan benar.
Berbeda ketia sudah terlanjur di bangun ternyata salah desainnya. Bisa dibenahi,
tapi tidak semudah membangun dari awal. Bahkan, tak perlu dirubuhkan hafalan yang
salah dan diganti dengan hafalan yang benar. Dan kenyataanya, hafalan yang sudah
terlanjur melekat tapi salah, butuh waktu dan usaha yang lebih keras daripada
melancarkan hafalan-hafalan yang baru dimulai.
Kalau boleh dibilang, kesalahan dari apa yang saya hafalakan cukup fatal. Panjang
pendek yang saya kira cukup betul, ternyata tak sedikit yang terkategori ngawur.
Naasnya, hafalan yang ngawur itu sudah sejak dulu tertanam di memori saya. Meskipun
tidak banyak, tapi … cukup menganggu. Harus bekerja dua kali lebih keras pastinya.
Permisalannya seperti, mengganti bangunan yang sudah dengan bangunan baru
membutuhkan waktu lebih lama daripada tinggal bangunan baru di lahan yang kosong.
Dan begitulah yang kukerjakan, hafalan-hafalan yang rusak itu harus kuperbaiki dengan
lebih sabar.
Sempat malu saat itu kepada ustadz yang menyimak hafalan saya. Kelompok ngaji
dulu jadi satu satu dengan santri-santri SMA yang hafalannya sudah puluhan juz.
Bacaanya tidak perlu ditanya, jauh lebih layak daripada apa yang bisa saya lantunkan
waktu itu. Bukan hanya malu, kadang sungkan dengan ustadz yang menyimak hafalan
saya. Lebih sering salah daripada benar. Didukung suara khas saya yang sangat susah
dinikmati.
Mendapat target untuk bisa menghafal tiga puluh juz alquran dalam dua tahun.
Entah, apa yang saya rasakan waktu itu. haruskah termotivasi atau justru frustasi.
Ditambah, mengetahui bekal hafalan yang justru malah menambah beban. Lagi-lagi,
menghafal tiga puluh juz masih seperti pungguk merindukan bulan.
Dalam waktu kurang dari enam bulan, tujuh setengah juz harus bisa di ujikan
dalam satu hari. Disetorakan dari awal sampai akhir. Membayangkan saja tampak ragu
sebenarnya, bahkan malu. Maksudnya, lucu saja, masih belum percaya. Alasan utama
saya masuk di tempat ini sebetulnya bukan menghafal quran.
Tidak ada ekspetasi bahwa saya harus menghafal quran sebanyak itu. Bahkan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Satu alasan besar adalah, saya hanya ingin
belajar bahasa arab. Benar saja, saya tetap belajar bahasa arab, karena memang itu salah
satu mata kuliah yang harus ditempuh. Tapi, lagi-lagi saya menemukan kata tapi. Tapi,
akhirnya belajar bahasa arab bukan lagi menjadi tugas utama saya di sini. Melainkan
menghafal quran.
Jengkel? Tidak, saya merasa belajar bahasa arab pada akhirnya lebih susah
daripada menghafal quran. Begitu rumit, dan … entahlah, susah sekali otak saya
mencerna pelajaran bahasa arab. Entah karena sudah terlalu tua, atau memang sugesti
saya saja waktu itu. Tapi, kalau sekarang saya diminta belajar bahasa arab lagi, mungkin
saya akan menemui jalan yang sama. Kebuntuan.
Kenapa begitu? Karena saya sudah menganggap begitu. Saya sudah menyerah
dengan bahasa arab. Sampai saat inipun begitu. Saya belum merubah pola pikir saya
tentang bahasa arab yang susah. Dan menghafal quran yang mudah.
Sejak pertama belajar bahasa arab. Saya sudah merasa, bahasa ini sangat mustahil
untuk saya pelajari. Begitu rumit dan tidak mudah dimengerti orang seperti saya. Bukan
hanya sekali dua kali. Hampir setiap pelajaran di mulai, setiap guru menrangkan, setiap
teori yang terugnkap hanya membuat saya semakin bingung. Entah kenapa diulang
berapa kalipun, disaat itu saya seakan mengerti. Satu menit setelah kelas berakhir, kata
mengerti itu berganti menjadi apa maksudnya ini?
Pikiran manusia ternyata berpengaruh besar pada apa yang terjadi dalam
hidupnya. Kalau dalam psikologi, ada yang namanya psikosomatis. Terdengar familiar?
Psikosomatis sederhananya adalah keluhan fisik yang pada dasarnya disebabkan atau
diperburuk dari pikiran atau psikologis manusia itu sendiri. Bahkan hanya dengan
berpikir bahwa kita sakit saja tubuh kita dengan baik hati akan mengamini. Semakin kuat
pikiran yang ditanamkan, semakin besar pula potensi itu akan terjadi.
Dalam konteks ini, saya yang setiap hari sudah terlanjut mensugesti pikiran saya
dengan betapa susah dan mustahilnya bahasa arab. Pada akhirnya, sampai detik ini,
bahasa arab menjadi hal yang begitu memusingkan dalam hidup saya. Berbeda dengan
bhasa inggris yang sudah saya sukai sejak kecil. Meskipun tidak mahir, saya akan
dengan senang hati jika harus mengikuti kelas tambahan atau kursus bahasa inggris.
Adapun bahasa arab, yah, mungkin memang sudah jatah orang lain untuk mahir dalam
hal itu.
Dengan merasa tidak akan mampunya saya di bahasa arab, akhirnya saya
memutuskan untuk tidak terlalu membebani pikiran saya dengan itu. meski begitu,
akhirnya saya tetap harus semaksimal mungkin mempelajarinya dengan harap bisa
menyelesaikan pendidikan di tempat ini. Disamping bahasa arab memang penting dalam
berinteraksi dengan quran.
Setelah menyerah dengan bahasa arab yang pada awalnya harusnya menjadi
tujuan utama saya, akhirnya saya berganti haluan lagi. Menghafal quran. Meskipun, yah,
ini takkalah sulit dengan belajar bahasa arab. Tapi, ternyata motivasi saya menghafal
quran lebih besar daripada belajar bahasa arab waktu itu.
Awal orientasi mahasiswa waktu itu, salah satu materi pembukanya adalah
keutamaan daripada menghafal quran. Siapasih yang menolak diberi kemuliaan dari
menghafal quran. Dari kemuliaan yang di dapat di dunia, sampai di akhirat. Setiap
keutamaan yang disampaikan tidak jarang membuat saya merinding. Dengan penuh
harap bisa mendapatkannya, tapi dengan penuh ragu akankah saya mampu?
Tigapuluh juz, tigaratusan lembar, enamribuan ayat dan semua berbahasa arab.
Baiklah, ini bukan kitab yang tipis untuk dihafal. Setiap baris, setiap ayat, setiap huruf
bahkan setiap tanda baca yang memiliki cara tersendiri untuk dibaca. Yah. Tidak habis
pikir. Apakah saya suatu saat bisa. Bagaimana mungkin saya bisa mengingat setiap detil
ayat, membedakan ayat yang diawali wa dan fa. Membedakan ayat yang berharakat
dhomah kasarah dan fathah. Begitu detail dan rinci. Apa kelak saya benar-benar bisa
melakukan itu semua?
Jangankan dua tahun, tiga tahun masa SMK saya sudah mencoba dan terkesan sia-
sia. Hanya hafalan yang rusak dan tidak enak didengar. Dan dua tahun kedepan. Saya
harus menghafal semua yang tertulis di dalam quran yang sedari dulu … jarang saya
pegang.
***
C. Titik Berat
Awal semester pertama tampaknya menjadi masa paling berat di sepanjang dua
tahun perkuliahan. Hafalan yang berjalan merangkak yang berproses tak lebih cepat
daripada seorang renta yang berusaha menaiki anak tangga. Melangkah dengan perlahan
barang takut terjatuh atau sering mengusap peluh.
Rasa bosan karena hafalan yang entah sudah berapa kali diulang tetap juga tidak
lancar. Dan hafalan yang kemarin disetorkan justru sudah hilang ketika ayat-ayat baru
sedang diusahakan untuk dihafal. Seperti berdiri di sebuah persimpangan. Antara lanjut
menghafal ataupun mengulangnya. Padahal, dua hal itu seharusnya berada di satu jalan
yang sama. Tapi entah kenapa, menjadi dua jalur yang saling berjauhan.
Ingin cepat hafal tapi masih ada PR untuk memperbaiki hafalan. Merestorasi
setiap ayat yang terlanjur melekat dengan salah. Belum lagi harus sembari menghafal
dan memahami hukum bacaan yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Bahkan, huruf
hijaiyah yang kenyataanya juga belum terlalu lancar saya bedakan.
Entahlah, apakah ini sebuah cobaan, musibah, atau hukuman untuk saya menemui
kehidupan semacam ini. Ini sangat jauh berbeda dari apa yang aku bayangkan.
Kehidupan di pesantren yang saya kira akan mudah dijalani. Pada akhirnya, sepanjang
perjalanan hidup saya dalam proses belajar, enam bulan pertama inilah menurut saya
momen yang paling berat.
Otak saya betul-betul dipaksa untuk menyesuaikan dengen hal yang sangat baru.
Sebelumnya hanya sepekan sekali saya mengaji, sekarang, mau tidak mau setiap hari
kegiatan saya hanya dengan quran. Dalam benak saya, mungin ini cara Allah memaksa
saya menebus waktu saya yang selama delapan belas tahun, sangat jauh dari quran.
Dengan susahnya saya menghafal, mau tidak mau saya dipaksa untuk lebih lama
berinteraksi dengan quran dari biasanya. Pagi, siang, malam. Karena bukan hanya
menghafal. Saya masih juga harus belajar membaca dengan baik dan benar. Dan itu,
memakan watu yang lebih lama pastinya.

Anda mungkin juga menyukai