Anda di halaman 1dari 27

PERAN SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEMANASAN GLOBAL

Makalah

Disusun oleh :

Dimas Richardo Nadeak


Oscar Said Alipase

|1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita sanjungkan hanya kepada Allah SWT. Kepadanya kita meminta,
memohon ampunan, dan petunjuk. Kepadanya kita berlindung dari segala kejahatan diri kita
dan kebutukan perbuatan kita. Atas rahmat dan kesempatan darinya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan,


baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat kami harapkan sebagai pembelajaran, agar kami bisa lebih baik lagi. Atar
terselesaikannya makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, referensi-referensi buku dan jurnal oleh penulis-penulis yang luar biasa.

Semoga materi dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi teman-teman dan semua pihak yang membutuhkan.

Kota, Februari 2023

Penulis

|2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………….. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………... 1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………….. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Efek Rumah Kaca ………………………………………………………………….. 3

2.2 Peran Kehutan dalam Pemanasan Global ………………………………………... 4

2.3 Perubahan Iklim dan Kehutanan ……………………………………………….… 5

2.4 Kebijakan Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dunia ……………………….. 7

2.5 Dampak Pemanasan Global ………………………………………………………. 8

2.6 Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia …………….. 11

2.7 Upaya Mengatasi Pemanasan Global (Global Warming) …………………….... 16

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ……………………………………………………………….…………... 19

Saran …………………………………………………………………………….……. 21

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….………. 23

|3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang


Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-
rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas
tertentu dalam atmosfer bumi seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida

(N2O) dan uap air membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi,

menghambat pemantulan sinar infra merah dan menyebabkan efek rumah kaca. Dengan
naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan lebih banyak panas tertekan di dalam
atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto 2007). Efek rumah kaca
disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di
atmosfer. Dampak pemanasan global mengakibatkan kenaikan permukaan laut,
perubahan iklim, kerusakan pada organisme dan ekosistem, dan pengaruh terhadap
ketersediaan air dan pertanian. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah
terjadi perubahan iklim menurut laporan IPCC (Intergovernmental on Panel Climate
Change).
Perubahan iklim yang terjadi disebabkan oleh berbagai kegiatan pembangunan antara
lain, kehutanan, pertanian, peternakan, pertambangan, industri dan lain-lain yang
menghasilkan emisi gas rumah kaca. Menurut IPCC konsentrasi gas-gas karbondioksida
(CO2), metana, dan dinitrogen oksida (N2O) meningkat pesat sejak tahun 1750.
Peningkatan konsentrasi CO2 terutama disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil
serta alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomis, sementara aktifitas pertanian
menyebabkan peningkatan konsentrasi gas metana dan dinitrogen oksida.
Pemanasan global akan menimpa bumi dan segenap isinya yang diuraikan oleh
Wardhana (2010) sebagai berikut :

1. Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m2 .


2. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh atmosfer.
3. Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer.

|4
4. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh Gas Rumah Kaca sebesar

30watt/m2 ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan lingkungan menjadi


panas.

Emisi rumah kaca sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Industrialisasi dan
pembangunan memberikan andil terciptanya pemanasan global. Sudah banyak upaya
untuk menekan atau mencegah peningkatan pemanasan global, tidak hanya dalam
konteks lokal, tetapi juga di level internasional dan nasional (Rudy 2008).

1.2 Rumusan Masalah


Dalam makalah ini akan membahas tentang :
 Efek rumah kaca
 Peran Kehutan dalam Pemanasan Global
 Perubahan Iklim dan Kehutanan
 Kebijakan Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dunia
 Dampak Pemanasan Global
 Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia
 Upaya Mengatasi Pemanasan Global (Global Warming)

|5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824,
merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit)
yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya.
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar
energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi
ini tiba di permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan
bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan meman-tulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelom-bang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas
rumah kaca, antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap
gelombang radiasi ini. Gas-gas ini me-nyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang
yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi.
Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan
bumi terus mening-kat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca.
Dengan makin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, makin banyak panas yang
terpe-rangkap di bawahnya. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas
karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini
disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar
organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menye-
rapnya. Energi yang masuk ke Bumi:
 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer
 25% diserap awan
 45% diserap permukaan bumi
 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi

|6
Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan
dan permukaan bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan
oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permu-kaan bumi. Dalam
keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan
suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh ber-beda.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang dioksida,
nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa se-nyawa organik,
seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan
penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.

2.2 Peran Kehutan dalam Pemanasan Global

Efek rumah kaca yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global berdampak
buruk bagi perubahan cuaca dan iklim di permukaan bumi. Pemanasan global menyebabkan
iklim mulai tidak stabil, peningkatan permukaan laut, suhu global cenderung meningkat, dan
gangguan ekologis. hutan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi penyerapan karbon
dioksida (CO2) yang menjadi salah satu penyebab efek rumah kaca, namun saat ini banyak
aktivitas-aktivitas manusia yang merusak hutan dan berdampak buruk bagi alam. Sehingga
hutan juga memiliki peranan dalam pemanasan global.

Hutan adalah komponen penting dalam masalah karbon dan  daur hidrologis dunia.
Sekitar 18-20% dari emisi anthropogenic GRK dunia berasal dari “perubahan tata guna lahan
dan sector kehutanan” khususnya di negara berkembang seperti Indonesia (IPCC, 2007).
Dengan kata lain, perubahan tata guna lahan, khususnya deforestasi memberikan kontribusi
yang lebih besar pada perubahan iklim dibandingkan semua bentuk dan jenis alat transportasi
yang digabungkan.

Hutan telah berjasa dalam keseimbangan iklim, mengurangi polusi, mereduksi,


menyerap CO2 dan mengurangi pemanasan global. Beberapa tahun terakhir ini penjarahan
hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin marak terjadi dimana-mana seakan-akan
tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang
luar biasa besarnya karena adanya efek elnino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-
kawasan yang mempunyai fungsi ekologis dan biodiversiti besar. Badan Planologi
Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan
atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal empat

|7
persen saja. Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran
sungai (DAS).

Di Indonesia sendiri, penggunaan tanah dan alih fungsi tanah mengakibatkan


pelepasan 2-3 milyar ton CO2 setiap tahun.

Ironisnya, hanya dalam kurun waktu setengah abad Indonesia menyandang dua rekor
sekaligus. Bila dalam periodesasi awal Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa, maka
pada tahun 2008 gelar tersebut sudah berganti sebagai Negara peghancur hutan tercepat versi
Guiness book of record 2008. Indonesia mendapat sebutan Zamrud Khatulistiwa karena
memiliki hutan yang hijau dan lebat. Hingga 1950, sekitar 84% daratan negeri ini berupa
hutan. Indonesia pun menjadi salah satu dari 10 negeri pemilik hutan alam paling perawan
sejagat. Tapi, itu sekitar setengah abad yang lalu. Mulai era orde baru, hutan pun tercabik-
cabik. Industri kayu dan bubur kertas tumbuh tak terkendali. Setiap tahun industri ini
membutuhkan kayu 74 juta meter kubik sedangkan kemampuan hutan untuk memasok bahan
baku secara lestari hanya 20 juta meter kubik. Pembalakan liar pun merajalela, Sebagian
besar hutan juga dikonversi menjadi perkebunan. Di era pemerintahan presiden Suharto,
sekitar 16 juta  hektar hutan dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit.

Pasca era pemerintahan presiden Suharto tidak lebih baik. Buku Rekor Guiness 2008
mencatat, dalam satu jam hutan seluas 300 lapangan sepakbola hancur. Dalam sepuluh tahun
hutan seluas pulau jawa raib. Studi lembaga penelitian kehutanan International Centre for
International Forestry Research (CIFOR) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja
(jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektar dan hampir separuhnya sudah
rusak), Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara pertahun. Ini sama
dengan seluruh emisi yang dikeluarkan Jerman. Hal ini mengakibatkan Indonesia muncul
sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia sesudah Amerika
Serikat dan Cina.  Deforestasi (penebangan hutan), kebakaran hutan dan pengeringan lahan
gambut disebut-sebut sebagai penyebab utama emisi Indonesia.

2.3 Perubahan Iklim dan Kehutanan

Perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini telah banyak dikaji oleh berbagai
pihak karena dampak yang ditimbulkan nyata dirasakan. Iklim dapat menembus batas
geografis dan tidak membedakan negara maju dan negara berkembang. Isu yang pertama kali

|8
dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992,
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Pada KTT
tersebut, terdapat 154 negara yang sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks
Convention on Climate Change, UNFCCC). Indonesia sendiri telah meratifikasi UNFCCC
melalui Undang-Undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim. Tujuan utama UNFCCC
adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer sehingga tidak berdampak buruk terhadap iklim
di bumi. Jumlah GRK yang terlalu banyak di atmosfer bumi telah memicu ketidakstabilan
suhu bumi dan hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan.

Sebagai tindak lanjut dari UNFCCC tersebut, sejak tahun 1995 negara- negara para
pihak yang terdiri dari Annex I (negara industri yang berkomitmen untuk mengembalikan
emisi GRK ke tingkatan tahun 1990 pada tahun 2000), Annex II (negara yang mempunyai
kewajiban untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi
untuk negara berkembang) dan non Annex I (negara berkembang yang telah menyetujui
UUNFCCC dan tidak termasuk dalam Annex I) bertemu setiap tahun melalui Konferensi
Para Pihak (Conference on Parties, COP) untuk menerapkan UNFCCC. Pada CoP ke 3 tahun
1997 di Kyoto, dihasilkan suatu aturan hukum mengikat (legally binding) yaitu Protokol
Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK bagi negara Annex I sedikitnya 5%
dibandingkan tingkat GRK pada tahun 1990 dan hal ini harus dicapai pada tahun 2008-1012
(Ginoga et al,. 2008)
Terdapat tiga mekanisme untuk mencapai target penurunan emisi GRK, yaitu Joint
Implementation (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism,
CDM) dan Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET). Sebagai negara berkembang,
Indonesia hanya bisa berpartisipasi dalam CDM melalui pengurangan emisi yang disertifikasi
(Certified Emission Reduction, CER) yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan
pembangunan kehutanan (Aforestation/ Reforestation). Mekanisme Pembangunan Bersih ini
dipayungi oleh Peraturan Menteri Kehutanan No.P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara
Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Pembangunan Bersih (A/R CDM).

Aforestasi didefinisikan sebagai penanaman pohon pada areal yang 50 tahun sudah
tidak berhutan. Sedangkan Reforestasi adalah penanaman pohon pada areal yang sejak 31
Desember 1989 bukan merupakan hutan. Salah satu syarat diterimanya hasil A/R CDM
adalah kegiatannya terukur dan termasuk dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ukuran

|9
mitigasi yang digunakan adalah ton setara CO2 untuk dibuat ke dalam sertifikat penurunan
emisi (CER). Dalam pelaksanaannya, A/R CDM ini dilaksanakan pada lahan-lahan kritis
yang membutuhkan upaya rehabilitasi.

2.4 Kebijakan Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dunia

Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim
dan berdasarkan peristiwa beberapa tahun ini, nampaknya Indonesia tidak cukup siap
menghadapi bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim. Namun pada pertemuan G-20
di Pittsburgh tahun 2009, Indonesia menyatakan komitmennya untuk menurunkan tingkat
emisi GRK sebanyak 26% pada tahun 2020 dengan skenario Business As Usual (tanpa ada
rencana aksi) dan sebanyak 41% dengan dukungan internasional pada sektor energi dan
penggunaan lahan termasuk kehutanan.

Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan berhadapan


dengan isu emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Panel Antar Pemerintah untuk
Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) dalam salah satu
laporannya menyebutkan bahwa deforestasi berkontribusi sebanyak 17% terhadap total emisi
GRK global dibandingkan dengan sumber emisi lainnya. Namun di lain pihak vegetasi dan
tanah menyimpan CO2 dua kali lebih besar dibandingkan CO2 di atmosfer (Masripatin,
2008). Tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang adalah bagaimana
cara menekan deforestasi dan degradasi hutan namun tetap dapat memenuhi kebutuhan
pembangunan. Second National Communication (2009) menyebutkan bahwa sektor
Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (Land Use Change and Forestry, LUCF)
berkontribusi sebganyak 47% atau 649.254 Giga CO2e terhadap total emisi GRK Indonesia
(Gambar 1). Total emisi seluruh sektor serta besar emisi pada masing- masing sektor tersaji
dalam Tabel 1

| 10
2.5 Dampak Pemanasan Global

Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipi-tasi, dan
sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para
ilmuan telah membuat beberapa perkiraan mengenai dampak pema-nasan global terhadap
cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar, dan kesehatan
manusia.

a. Iklim Mulai Tidak Stabil


Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara
dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain

| 11
di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih
sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami salju ringan, mungkin tidak akan meng-alaminya lagi. Pada pegunungan di daerah
subtropis, bagian yang ditutupi salju akan makin sedikit serta akan lebih cepat mencair.
Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan
malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan
meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena
uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi
pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih
banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal
ini akan menurunkan proses pemanas-an (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan
meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit
pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus
tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap
dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin
akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)
yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan
dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi.
Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.

b. Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang
stabil secara geologi. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan
menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut.
Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama se-kitar Greenland, yang
lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat
10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi
peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

| 12
Ga
mbar 2. Perubahan tinggi muka laut dari tahun ke tahun

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen
daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau lainnya. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir
akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan
meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan meng-habiskan dana yang sangat besar untuk
melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat
melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi eko-sistem
pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di
Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan
daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan me-nutupi sebagian besar dari
Florida Everglades.

c. Suhu global cenderung meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa bumi yang hangat akan menghasilkan lebih
banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di bebe-rapa tempat.
Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat ke-untungan dari lebih
tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis
semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun
yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair

| 13
sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami
serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

d. Gangguan ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek
pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanas-an
global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat
lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi
perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh
kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak
mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

e. Dampak sosial dan politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-pe-nyakit yang


berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat
menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca
yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat
menyebabkan penyakit-penyakit yang berhu-bungan dengan bencana alam (banjir, badai, dan
kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan
perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian di mana sering muncul penyakit,
seperti: diare, malnu-trisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-
lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit me-lalui air
(Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases).
Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru
untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubah-an iklim ini maka ada beberapa
spesies vektor penyakit (misalnya, Aedes aegipty), virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih
resisten terhadap obat tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa
diprediksi bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah
dikarenakan perubahan ekosis-tem yang ekstrem ini. Hal ini juga akan berdampak terhadap
perubahan iklim (climate change) yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit

| 14
tertentu seperti ISPA (kemarau panjang/kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan
tidak menentu).

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan
polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi
terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

2.6 Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia


Kekhawatiran orang akan menipisnya persediaan bahan pangan di dunia ini bagi
pemenuhan kebutuhan umat manusia telah bergaung sejak beberapa abad lalu. Malthus,
dalam karyanya yang menimbulkan perdebatan sengit, Essay on the Principle of Population,
mengungkap kekhawatiran tersebut. Malthus mensinyalir bahwa, kelahiran yang tidak
terkontrol, menyebabkan penduduk bertambah menurut deret ukur, sementara persediaan
makanan tak akan mampu tumbuh lebih besar dari deret hitung. Kekhawatiran Malthus, dan
juga banyak orang lainnya, jelas beralasan. Indikasi yang ditunjuknya telah hampir menjadi
kenyataan. Menurut Bank Dunia, populasi global diperkirakan akan meningkat menjadi lebih
8,3 milyar pada tahun 2025, dari hanya sekitar 5,3 milyar saat ini. Dengan begitu, berpegang
pada asumsi bahwa se-luruh manusia yang ada harus tetap makan, dengan standar gizi yang
meningkat, maka produksi makanan harus dinaikkan beberapa ratus persen, dari tingkat pro-
duksi saat ini. Artinya, beban itu utamanya harus diberikan pada sektor pertanian, sebagai
sektor utama penghasil bahan pangan.

Kenyataan di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan makin terwu-judnya


perdagangan bebas. Perdagangan bebas sering dilihat sebagai hal yang men-ciptakan ruang
berkembang bagi proses akumulasi gas-gas rumah kaca. Ini terjadi lewat dorongan terhadap
peningkatan produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak disertai dengan teknologi
produksi yang ramah lingkungan (environmental friendly technology). Tulisan singkat ini,
dengan menggunakan model Computable General Equilibrium, bertujuan mencari relasi
antara perdagangan bebas, peningkatan suhu global warming, dan dampaknya pada sektor
pertanian di Indonesia. Semoga dapat menjadi bahan introspeksi bagi kebijakan sektor
pertanian kita, setelah melewati bulan pangan, Oktober tahun lalu. Sebagai negara kepulauan
yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan
terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Letak geografis dan kondisi

| 15
geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap berbagai bencana alam yang
terkait dengan iklim. Menurut laporan IPCC, Indonesia diperkirakan akan menghadapi
berbagai ancaman dan dampak dari per-ubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut,
meluasnya kekeringan dan banjir, menu-runnya produksi pertanian, dan meningkatnya
prevalensi berbagai penyakit yang ter-kait iklim merupakan beberapa dampak perubahan
iklim yang sudah dan akan terjadi di Indonesia.

Sebagian besar, kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat berada di daerah
pesisir pantai. Kota-kota ini beberapa dekade mendatang terancam akan teng-gelam akibat
kenaikan permukaan air laut. Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc Grahanan dari
International Institute for Environment and Development, Inggris, mene-mukan bahwa
sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter dari pinggir pantai
terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat per-ubahan iklim. Jakarta,
Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan teng-gelam beberapa dekade
mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini. Menurunnya produksi pangan akibat gagal
panen yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan juga diperkirakan akan makin sering
terjadi, beberapa daerah di bagian timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur
merupakan wilayah yang paling rawan terhadap ancaman ini. Meningkatnya suhu memicu
peningkatan prevalensi beberapa penyakit yang terkait iklim seperti malaria, diare, dan
penyakit saluran pernapasan. Untuk kasus malaria, peningkatan suhu menyebabkan nyamuk,
vektor malaria, yang sebelumnya hanya hidup di daerah rendah, kini dapat hidup di daerah
dataran tinggi yang sebelumnya bebas malaria. Hal ini menyebabkan pening-katan penyakit
malaria di berbagai daerah di Indonesia. Kelangkaan air bersih akibat kekeringan dan
merembesnya air asin karena kenaikan permukaan air laut, memicu peningkatan penyakit
diare di masa depan.

Orang mungkin beranggapan bahwa bumi yang hangat akan menghasilkan lebih
banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat.
Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat ke-untungan dari lebih
tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis
semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun
yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair

| 16
sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami
serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
1) Panen padi kosong di Indramayu
Bencana yang dialami petani Indramayu, oleh pemerintah daerah dianggap dampak
meningkatnya suhu bumi, alias pemanasan global. Menanam varietas Talimas itu gagal panen
di sini karena gabuk selap. Kena angin bugang. Kalau dihitung rata-rata kerugian petani
untuk satu hektar mencapai satu juta lebih. Meningkatnya suhu bumi membuat iklim terus
berubah, menjadi sulit untuk diraba. Sehingga Sering ter-jadi keterlambatan tanam. Ini
pertanda telah terjadi dampak pemanasan global.

2) Musim yang tidak menentu (Anomali Iklim)


Pemanasan global yang memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyim-pang
dari biasanya. Penyimpangan iklim ini terus meningkat, baik seringnya, gawat-nya, maupun
lamanya. Namun dampak perubahan iklim terhadap pertanian tidak langsung. Biasanya
diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan kekeringan. Para
petani, nelayan dan semua pihak yang berkaitan langsung dengan kondisi cuaca dibuat pusing
oleh anomali cuaca ekstrem. Musim kemarau seolah bertumpuk dengan musim hujan
sehingga sepanjang waktu selalu basah. Bahkan di sejumlah tempat hujan lebat tempat telah
mengakibatkan banjir bandang yang menenggelam-kan ratusan hektar sawah, dan ladang.
Anomali cuaca ini juga menggandeng angin puting beliung yang memporak porandakan
sejumlah rumah dan pepohonan. Anomali cuaca ekstrem ini merupakan salah satu dampak
dari global warming. Fenomena global ini membuat kalang kabut para petani dan pengusaha
agribisnis. Tidak hanya banjir yang diterima juga terdapat peningkatan populasi hama.
Banyak terjadi kasus ratusan hetar lahan benih milik sebuah BUMN yang hancur tidak dapat
dipanen akibat adanya wereng. Serangan hama penggerek juga mengalami peningkat-an
sehingga mengganggu petani padi. Dampak ini juga berpengaruh kepada petani tebu, karena
mengakibatkan kadar air yang tinggi, sehingga terjadi penurunan ren-demen tebu.

Global warming dalam jangka panjang akan mengubah perilaku iklim. Untuk di
Indonesia, teori iklim dua musim sudah kurang tepat, karena pada kenyataannya di musim
kemarau sering terjadi hujan dan di musim penghujan sering juga terjadi kemarau. Perubahan
iklim ini tentunnya akan mempengaruhi tumbuhan dan hewan, baik secara fisiologis maupun
morfologisnya dalam jangka panjang. Pada tanaman yang tidak tahan air peka pada curah
hujan yang tinggi, maka tidak akan tumbuh dengan baik pada iklim yang tidak menentu.

| 17
Dalam jangka panjang akan terjadi pengurangan populasi tumbuhan yang tidak dapat hidup
dalam iklim yang tidak me-nentu. Demikian juga terjadi sebaliknya.

3) Kalender tanam berubah


Di Subang yang merupakan sentra produksi pangan, hasil studi menunjukkan: jika
intensitas anomali kuat, maka masa tanam mundur 30 hari. Itu terjadi jika musim kemarau
maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Tapi kalau anomalinya
sedang, mundurnya cuma 20 hari. Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit
menyusun kalender tanam. Jadi kalau musim kemarau, lahan pertanian kekeringan. Sedang
kalau musim hujan, yang dialami cuma banjir. Petani jelas rugi. Karena ramalan iklim susah
ditebak. Kita kecolongan terus di lapangan. Yang kita mampu adalah menyiasati bagaimana
sebelum kekeringan, panen sudah selesai. Ternyata perkiraan meleset. Seperti sekarang, kita
perkirakan tanam Oktober 2010, tapi sekarang belum menanam. Apa ada prediksi kalau
Januari 2011 tidak banjir? Sangat sulit untuk memprediksi hal tersebut. Sukar ditentukan
kapan persisnya dampak perubahan iklim terjadi. Ada pakar yang berpendapat perubahan
iklim sudah terjadi pada tahun 1970an, tapi ada juga yang bilang baru tahun 1997.
Pemerintah sendiri melalui Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian, mengakui
dampak perubahan iklim untuk sektor pertanian di Indonesia baru diawasi 1997.

4) Penurunan Produksi Pertanian Indonesia


Global Warming yang selanjutnya berakibat pada ketidakpastian perubahan iklim,
seperti banyak disinyalir oleh para pakar iklim, disebabkan oleh meningkatnya kadar CO2,
CFCs, gas Metana, dan gas-gas lainnya — tergabung dalam gas ‘rumah kaca’ — di atmosfir.
Seperti diketahui, emisi gas-gas rumah kaca biasanya dihasilkan oleh proses produksi dari
industri-industri, terutama yang menjadikan bahan kimia se-bagai salah satu bahan dasarnya.
Untuk menghindari keadaan tersebut, maka tak ada jalan lain kecuali mengurangi
kadar/akumulasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer, lewat pembatasan/pengendalian
terhadap pola produksi dan konsumsi yang polutif. Namun, tampaknya, masih dibutuhkan
waktu yang panjang untuk sampai pada keadaan tersebut. Kondisi mutakhir menunjukkan
bahwa kecenderungan emisi gas-gas rumah kaca ternyata makin meningkat dari waktu ke
waktu. Di Indonesia, pe-ngaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim,
antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan
meningkat-nya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan
sistem irigasi yang buruk makin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persa-wahan.

| 18
Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir
berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso.
Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut ber-jumlah 2.131.579 hektar,
yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen. Adapun tahun lalu, 189.773 hektare tanaman
padi mengalami gagal panen, dari 577.046 hektar sawah yang terkena banjir dan kekeringan.
Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah per hektar, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan
banjir pada 2006 mencapai 948.865 ton. Untuk tahun ini, Menteri Pertanian Anton
Apriyantono menga-takan lahan pertanian yang mengalami puso karena banjir dan
kekeringan hingga Februari mencapai 33 ribu hektar. Jumlah tersebut bukan angka tetap
karena pada Maret lalu puluhan hektar tanaman juga terkena banjir. Akibat curah hujan yang
tinggi dan pengelolaan irigasi yang tidak optimal, air yang diidentikkan sebagai rezeki dari
langit tidak memberi berkah bagi penduduk bumi. Rosamond Naylor, Direktur Program
Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El
Nino, yang diperburuk oleh pemanas-an global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi
beras di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa
kekeringan Juli-September nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi memadai.
Sebelumnya, pada 2002, Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan telah
melakukan penelitian tentang "penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk
memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan pangan Indonesia". Penelitian ini
menyebutkan bahwa anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8
juta ton gabah atau setara dengan 2,88 juta ton beras.

Pemanasan global juga turut mempengaruhi peningkatan magnitude dan fre-kuensi


kehadiran El Nino, yang memicu makin besarnya kebakaran hutan. Inilah yang terjadi di
Indonesia pada 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan
pada 1997/1998 saja, menurut Konsorsium Nasional untuk Peles-tarian Hutan dan Alam
Indonesia, mencapai US$ 8.855, termasuk di dalamnya kerugian sektor perkebunan
(berdasarkan luas area lahan yang terbakar) US$ 319 juta dan kerugian sektor tanaman
pangan (berdasarkan penurunan produksi beras) mencapai US$ 2.400 juta. Melihat berbagai
realitas di atas, tidak salah jika Intergovernmental Panel on Climate Change dalam laporan
yang berjudul "Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007
menyimpulkan perubahan iklim makin mengancam produksi pangan Indonesia.

2.7 Upaya Mengatasi Pemanasan Global (Global Warming)

| 19
1. Konferensi Climate Change (UNFCCC)
Isu perubahan iklim mulai mendapat perhatian dunia sejak diselenggarakan-nya
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Pada pertemuan
itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian mengenai perubahan
iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk
menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman, sehingga tidak
membahayakan sistem iklim bumi. Konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang tak
terkendali adalah penyebab terjadinya perubahan iklim secara global. Di Indonesia sendiri,
isu perubahan iklim belakangan ini mulai mendapat perhatian luas dari berbagai kalang-an.
Laporan para ahli perubahan iklim yang tergabung dalam IPCC (Intergovern-mental Panel on
Climate Change) yang dipublikasikan pada awal april ini, menjadi salah satu pemicu
munculnya kesadaran berbagai kalangan terhadap ancaman per-ubahan iklim di negeri ini.
Laporan yang bertajuk Climate Change Impacts, Adaptation, and Vulnerability menunjukkan
ancaman-ancaman perubahan iklim yang sudah ter-jadi dan diperkirakan akan terjadi di masa
depan. Selain itu, posisi Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim tahunan
yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada akhir tahun ini, mau tidak mau
mewajibkan pemerintah untuk mening-katkan perhatian dan kesadarannya terhadap isu ini.

2. Mitigasi
Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan pengaruh perubahan
iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Selanjutnya Malmsheimer dkk (2008)
menyebutkan bahwa pencegahan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan
dengan substitusi kayu, substitusi biomassa, modifikasi kebakaran alam, menghindari
konversi lahan.
Komitmen dunia dalam mitigasi pemanasan global dengan menurunkan tingkat emisi
secara kolektif 5,2 persen dari tingkat emisi pada 1990 tetap harus di-usahakan. Sejauh ini
negara maju memang mengucurkan banyak dana untuk berbagai skema penyelamatan hutan
di Indonesia, antara lain melalui program Clean Develop-ment Mechanism. Namun, tidak
bisa tidak, mereka juga harus menurunkan tingginya tingkat konsumsi energi fosil yang
menyumbang besar pada pemanasan global dan secara bertahap menggantinya dengan energi
yang ramah lingkungan.

| 20
Indonesia, yang tercatat sebagai penyumbang terbesar ketiga karbon dioksida -salah
satu jenis gas rumah kaca -akibat kebakaran hutan, perlu mengambil langkah yang revolutif.
Meski terlambat, inilah saatnya memprogramkan restorasi ekosistem nasional, pembangunan,
dan pengelolaan hutan lestari serta moratorium logging di daerah-daerah tertentu. Pilihan
kita, menahan sesaat kalkulasi ekonomi sektor ini atau bencana berkepanjangan. Dari data
Badan Planologi (2004), diketahui kerusakan hutan di kawasan hutan produksi mencapai
44,42 juta hektare, di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta hektare, dan di kawasan
hutan konservasi mencapai 4,69 juta hektare. Departemen Kehutanan menyebutkan pada
2000-2005, laju kerusakan hutan Indonesia rata-rata 1,18 juta per tahun. Klimaks kerusakan
hutan negeri ini disebabkan oleh praktik ilegal, sehingga menempatkan Indonesia sebagai
negara paling masif dalam laju kerusakan hutan.

3. Adaptasi
Langkah adaptasi juga perlu dijalankan karena sekuat apa pun usaha kita me-ngurangi
gas rumah kaca, kita tidak akan mampu sepenuhnya terhindar dari dampak perubahan iklim.
Di berbagai negara, upaya adaptasi mulai dilakukan, misalnya pem-buatan strategi
manajemen air di Australia dan Jepang atau pembangunan infra-struktur untuk melindungi
pantai di Maldives dan Belanda. Inilah yang kita perlukan di Indonesia. Setidaknya
pemerintah membangun sistem identifikasi dan informasi mengenai dampak perubahan iklim
serta mengembangkan sistem peringatan dini dan manajemen dampak perubahan iklim.
Untuk sektor pertanian, sistem penyuluhan sebagai pusat informasi cuaca dan perubahan
iklim harus dibangun serius. Mengha-dapi perubahan iklim yang kian nyata menjelang 2050,
perlu dikembangkan jenis padi yang tahan kekeringan atau cara budidaya padi yang lebih
efisien terhadap air. Selain itu, pembangunan dan manajemen irigasi penting dibenahi. Kita
perlu mempertanyakan bagaimana pemetaan wilayah yang rawan keke-ringan, informasi
perubahan dan prediksi iklim, peta zona agroekologi potensial, tek-nologi pemanenan hujan,
serta embung yang selama ini diklaim telah dikembangkan pemerintah. Pada kenyataannya,
bila El Nino tiba, selalu menyebabkan sebagian besar wilayah dan lahan pertanian kita
mengalami defisit air. Penghijauan/reboisasi, pem-bangunan dan manajemen irigasi, serta
penataan daerah resapan air dan daerah alir-an sungai yang telah diprogramkan sejak Orde
Baru tidak jelas hasilnya. Bahkan dalam rapat dengar pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan
Rakyat RI dengan Direk-torat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (8
Maret 2007) ter-ungkap sebagian besar sungai yang ada di Pulau Jawa dalam keadaan kritis.

| 21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
 Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824,
merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau
satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya.
 Energi yang masuk ke Bumi: 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di
atmosfer, 25% diserap awan,45% diserap permukaan bumi, 5% dipantulkan kembali
oleh permukaan bumi
 Hutan adalah komponen penting dalam masalah karbon dan  daur hidrologis dunia.
Sekitar 18-20% dari emisi anthropogenic GRK dunia berasal dari “perubahan tata
guna lahan dan sector kehutanan” khususnya di negara berkembang seperti Indonesia
(IPCC, 2007).
 Hutan telah berjasa dalam keseimbangan iklim, mengurangi polusi, mereduksi,
menyerap CO2 dan mengurangi pemanasan global.

| 22
 Di Indonesia sendiri, penggunaan tanah dan alih fungsi tanah mengakibatkan
pelepasan 2-3 milyar ton CO2 setiap tahun.
 Bila dalam periodesasi awal Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa, maka
pada tahun 2008 gelar tersebut sudah berganti sebagai Negara peghancur hutan
tercepat versi Guiness book of record 2008.
 Studi lembaga penelitian kehutanan International Centre for International Forestry
Research (CIFOR) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja (jumlah lahan
gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektar dan hampir separuhnya sudah rusak),
Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara pertahun.
 Perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini telah banyak dikaji oleh berbagai
pihak karena dampak yang ditimbulkan nyata dirasakan.
 Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992
terdapat 154 negara yang sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on
Climate Change, UNFCCC).
 sejak tahun 1995 negara- negara para pihak yang terdiri dari Annex I (negara industri
yang berkomitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkatan tahun 1990 pada
tahun 2000), Annex II (negara yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan
sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang)
dan non Annex I (negara berkembang yang telah menyetujui UUNFCCC dan tidak
termasuk dalam Annex I)
 Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate
Change, IPCC) dalam salah satu laporannya menyebutkan bahwa deforestasi
berkontribusi sebanyak 17% terhadap total emisi GRK global dibandingkan dengan
sumber emisi lainnya.
 Total emisi seluruh sektor serta besar emisi pada masing- masing sektor tersaji dalam
Tabel 1

| 23
 Dampak pemanasan global ; Iklim Mulai Tidak Stabil, Peningkatan permukaan laut,
Suhu global cenderung meningkat, Gangguan ekologis, Dampak sosial dan politik,
 Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia ; Fenomenapanen
padi kosong, Musim yang tidak menentu (Anomali Iklim), Kalender tanam berubah,
Penurunan Produksi Pertanian Indonesia.
 2.7 Upaya Mengatasi Pemanasan Global (Global Warming) ; 1. Konferensi Climate
Change (UNFCCC). 2. Mitigasi. 3. Adaptasi.

| 24
Saran

Mengurangi:

1. Hemat dalam menggunakan air, dan energi listrik,


2. Mengurangi pembakaran barang-barang yang tidak dapat didaur ulang
3. Mengurangi emisi CFC dan emisi pengganti CFC dengan tidak menggunakan
aerosol dan menggunakan energi efisien.
4. Mengurangi penggunakan listrik dengan menggunakan lampu hemat energi.

Mengingatkan:
1. Pemerintah setempat akan komitmen mereka untuk mendaur ulang dan
mengurangi pemborosan serta mempertahankan hukum daur ulang dan
pemborosan agar tetap relevan.
2. Mengingatkan otoritas setempat untuk memelihara listrik dan menggunakannya
dalam system yang efisien
3. Mengingatkan pemerintah akan komitmen mereka pada deklarasi dan protokol-
protokol demi lingkungan hidup
4. Mengingatkan siapa saja agar hid up sederhana di bumi ini dan mengingatkan agar
selalu menggunakan dan mendaur ulang barang yang digunakan.
5. Memulihkan hutan/penghijauan kembali

6. Menata Pembangunan yang berwawasan lingkungan


7. Rehabilitasi hutan dan lahan kritis, Pencagaran rosot karbon: Taman nasional,
cagar alam dan hutan lindung,
8. Reduksi Emisi bersertifikat (RES)
9. Melaksanakan Protokol Kyoto

Sedangkan bagi pemerintah dan industri besar:


1. Menerapkan dan melaksanakan Clean Development Mechanism (CDM) Clean
Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih,
memungkinkan kerjasama yang dapat sating menguntungkan antara negara maju

| 25
dengan negara berkembang. CDM memperbolehkan negara berkembang menjual
emisinya yang masih rendah kepada Negara maju yang kelebihan emisi.
2. Bagi industri dalam bidang energi: membangun kilang LPG untuk
memberdayakan gas yang terasosiasi dengan minyak yang diproduksi dari
lapangan yang san gat banyak jumlahnya, yang sebelumnya selalu dibakar dan
memperburuk pemanasan global.
3. Memasuki industri pembangkit listrik tenaga gas~ merupakan pembangkit listrik
yang ramah lingkungan.
4. Memproduksi bio-fuel, sehingga lebih sedikit bahan bakar fosil yang
dipergunakan dan pada saat yang sama juga menciptakan bahan bakar yang lebih
ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Andy T, dkk. 2007. Artikel L Efek Rumah Kaca terhadap Bumi Climate for Kids, US-EPA,

http://www .epa.gov/globalwarming/kids/

Ariwibowo dan Rufii. 2009. Peran Sektor Kehutanan Di Indonesia Dalam Perubahan Iklim.

Tekno Hutan Tanaman Vol. 1. No. 1, November 2009. Pusat Penelitian Dan Pengembangan

Hutan Tanaman. Badan Litbang Departemen Kehutanan Hal ; 23-32

Boer, R. 2002.Opsi Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan dan Aspek Metodologi

Proyek Karbon Kehutanan. Semiloka Regional Kalimantan: Proyek Karbon Hutan.

www.acehpedia.org. 2009. Dampak Global Warming Terhadap Pertanian.

Abimanyu Anggito, Satriawan Elan. www.republika.co.id. 1995. Dampak Global Warming.

www.indonesiancommunity.multiply.com. 2007. Global Warming dan Keamanan Pangan

Indonesia.

www.broadcast-edu.or.id. 2007. Bahan Bakar Biologis dari Nipah Bisa Membantu

Menghalangi Pemanasan Global.

| 26
www.id.wikipedia.org. 2010. Nipah. www.id.wikipedia.org. Efek Rumah Kaca.

www.id.wikipedia.org. Pemanasan Global.

Suberjo. www.aa-pemanasanglobal.blogspot.com. 2009. Adaptasi Pertanian Dalam

Pemanasan Global.

www. antonsutrisno.webs.com. 2010. Anomali Iklim.

| 27

Anda mungkin juga menyukai