Profetik Kuntowijoyo Makalah
Profetik Kuntowijoyo Makalah
KARYA KUNTOWIJOYO
ayinfarouq@yahoo.co.id
Perkembangan sastra Indonesia pada era berbasis teknologi industri ini cukup pesat dan
beragam. Setiap pengarang memiliki peranan yang penting dalam menciptakan karya sastra,
sebab ide, gagasan maupun perasaan dituangkan ke dalam karya sastra yang diciptakan. Bahasa
yang disampaikan juga merupakan manifestasi emosi. Karya sastra pula dihasilkan melalui
antarhubungan harmonis individualitas dan komunitas (Ratna, 2014:99). Karya sastra pula
merupakan cerminan masyarakat dengan berbagai cara (Siswanto, 2013:6). Setidaknya itu dapat
dilihat dari keragaman genre sastra yang dapat dinikmati oleh pembaca. Dalam konteks terkini,
pembaca tidak hanya dihadapkan pada genre sastra yang bermuatan budaya modernisme dan
lokalitas, namun pembaca juga dapat mencermati karya sastra yang mempunyai nuansa Islam.
Urgensi sastra sebagai sumber nilai moral juga dapat mempertajam kesadaran sosial
dan religius pembaca. Sastra yang bercorak Islami mengedepankan nilai-nilai yang konstruktif
dan bermakna positif bagi masyarakat sekitar. Imam Al-Ghazali dalam Koesnoe dkk
(2013:140) menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni termasuk karya sastra
terhadap jiwa manusia sangat besar. Menurut Mangunwijaya (1988:11), sastra tidak terlepas
kaitannya dengan dimensi religius. Hal ini diperkuat oleh pendapat Faruk (2010:181), dimana
akhir-akhir ini cukup banyak perbincangan dan diskusi mengenai seni (sastra) Islam.
Di tengah perkembangan sosial dan budaya yang begitu mengedepankan dimensi material,
dibutuhkan karya sastra yang mengeskpresikan visi rohaniah, sebagai media alternatif untuk
melihat realitas sosial dan kemanusiaan melalui pesan moral dan agama dalam teks-teks sastra,
menjadi sebuah keniscayaan. Muncul suatu gagasan baru dalam dunia sastra yang dinamakan
istilah profetik. Menurut kamus Oxford (2008:125), dimensi diartikan sebagai (1) lebar, ukuran
dari situasi, (2) aspek dan jalan dari sudut pandang. Dalam kamus Oxford, (2008:353), prophet
diartikan sebagai manusia yang dikirim oleh Tuhan untuk masyarakat dan memberi mereka
nasihat, pesan, serta mampu meramal masa depan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
istilah ‘profetik’ diartikan sebagai kenabian. Kata kenabian sendiri berasal dari bahasa Arab
‘nubuwah’. Sebagaimana sabda dari kanjeng Nabi Muhammad SAW, “Ulama itu adalah ahli
waris para nabi” Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi.
Gagasan mengenai ilmu sosial profetik di Indonesia pada mulanya berasal dari Prof. Dr.
Kuntowijoyo, guru besar sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Gagasan ilmu sosial profetik
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan
Etika, yang diterbitkan tahun 2004. (Ahimsa-Putra, 2016:6). Menurut Kuntowijoyo (2004:25),
pengembangan paradigma Islam merupakan langkah pertama dan strategis ke arah pembangunan
Islam sebagai sistem dan gerakan sosialbudaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan
berkeadaban. Menurut Roqib (2009), Kuntowijoyo sendiri telah membentangkan harapan dengan
menawarkan ilmu sosial profetik ini agar nantinya umat Islam bisa memiliki paradigma sendiri.
Ilmu sosial profetik merupakan perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi,
liberasi, dan transendensi, sebagaimana diderivasi dari dari misi historis Islam sebagaimana
terkandung dalam Al Quran, khususnya Surat al-Imran (3):110. Engkau adalah umat terbaik
yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran
(kejahatan), dan beriman kepada Allah. Ketiga pilar itulah yaitu amar ma’ruf (ditransformasi
menjadi humanisasi), nahi munkar (ditransformasi menjadi liberasi), dan tukminuna billah
(ditransformasi menjadi transendensi), yang menjadi muatan nilai ilmu sosial profetik
(Kuntowijoyo, 2013:4). Ilmu-ilmu sosial seharusnya dapat memberikan petunjuk ke arah
transformasi (Kuntowijoyo, 1997:19).
Sastra yang bernuansa Islami bukanlah sekedar pengungkapan dan pemaparan cita rasa dan
pengalaman literer, estetis dan mistis, tetapi yang terpenting adalah ajaran-ajaran spiritual dan
transdental yang bermuara pada cinta ilahiah, kegandrungan profetis (Saryono, 2006:142). Segi
penting lainnya, yaitu profetik, dapat menjadi sumber penemuan jati diri manusia dan penyebab
kemungkinan-kemungkinan transenden (Hadi, 2004:3). Sastra profetik adalah renungan realitas
dan realitas dalam sastra pada intinya adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas
historis. Melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas
(Kuntowijoyo: 2005:10). Dialetika dalam sastra profetik menyatukan dimensi penting dari
kehidupan manusia, yaiotu dimensi sosial dan transsendental. Inilah akar tujuan dari sastra
religius (Trianton, 2013:214).
Sastra profetik yang memiliki dimensi humanisasi, liberasi dan transdensi adalah sastra
yang dimana terdapat pesan moral untuk mengajak kepada kebaikan, untuk kemasalahatan
bersama melalui untaian kata kata indahnya (amar makruf). Nahi munkar dalam bahasa sehari-
hari dapat berati apa saja, dari mencegah teman mengkonsumsi ectacy, melarang carok,
memberantas judi, menghilangkan lintah darat. Nahi mungkar disini dipadankan dengan liberasi
yang dalam konsep nya adalah pembebasan, bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-
belenggu dalam lingkaran kehidupan. Membebaskan diri dari pengaruh pengaruh yang buruk
yang mendatangkan mudharat. Tindakan muslim patut diuji untuk memberantas kemungkaran,
kejahatan agar tidak mendatangkan murka dari Allah SWT. Tujuan utama amar makruf adalah
mengangkat derajat manusia dibanding dengan makhluk yang lain. Manusia diharapkan tidak
menjadi asfala safilin, sejelek-jeleknya makhluk. Oleh karena itu, amar makruf segaris dengan
humanisasi dalam pemikiran profetik. Hadi (2004:1) menekanan bahwa dimensi profetik
(kenabian) merupakan segi yang sentral, pusat bertemunya aspek sosial dan transedental dalam
penciptaan karya sastra. Menurut Efendi (2011:66), sastra profetik dapat menjadi renungan
realitas dalam sastra yang harus menjadi bagian dari collective intelligence dalam kehidupan
masyarakat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan bentuk-bentuk dimensi
profetik dalam Khotbah di Atas Bukit yang dikaji melalui dimensi profetik, yaitu (1) humanisasi,
(2) liberasi dan (3) transendensi. Data dikumpulkan dari sumber data utama yaitu novel Khotbah
di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Sebagai instrumen kunci, peneliti bertindak mengumpulkan
data, mengklasifikasikan data, menganalisis data, dan selanjutnya melaporkan hasil penelitian.
Teknik yang digunakan untuk mengecek keabsahan data dalam penelitian ini ialah uji
kredibilitas. Terdapat dua cara yang digunakan dalam uji kredibilitas untuk mengecek keabsahan
data. Pertama, kecermatan dan ketekunan dalam membaca dan menganalisis teks novel. Kedua,
pengecekan keabsahan data dilakukan melalui diskusi dengan dosen ahli dan rekan sejawat.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian dipaparkan berdasarkan analisis data. Hasil tersebut meliputi (1) dimensi
humanisasi, (2) dimensi liberasi, dan (3) dimensi transendensi novel Khotbah di Atas Bukit
Karya Kuntowijoyo. Ketiga dimensi tersebut masih akan diolah dan dianalisis menjadi sub-
subdimensi.
Berdasarkan kutipan tersebut tergambar bahwa Popi ingin berusaha melepaskan diri dari
waktu yang dianggapnya penuh cobaan dan beban hidup. Kemudian Popi menjelaskan bahwa
ketika seseorang telah mengambil sebuah keputusan maka ia harus menikmati keputusannya.
Sikap hidup Barman terbalik dengan Humam. Humam memiliki sikap hidup spiritual
yang tinggi, menjalani sisa hidupnya dengan keprihatinan, Perbuatan Humam tersebut adalah
modal untuk mempersiapkan kematian. Tokoh Humam dimana digambarkan sosok serta
wajahnya yang kembar merupakan pelambangan potensi aktualisasi diri si Barman (his
better self). Artinya, sosok Human merupakan perwujudan Barman bila ia mau
meningkatkan diri dalam konteks ‘beristirahat dalam hening dan damainya gunung’
Sifat dari Humam yang cenderung zuhud’ (tidak mengharap kemewahan dunia) dan
menerima apa adanya, dimana ini termasuk dimensi transendensi. Tokoh Humam lebih ingin
memposisikan dirina seakan-akan ehidupan yang sangat panjang masanya adalah kehidupan
akhirat. Humam tidak peduli dengan hiruk pikuk dunia. Pembebasan terhadap tekanan dari
gejolak kehidupan, sertta kegelisahan Humam hidup di dunia fana. Hal imi terdapat dalam dialog
berikut.
“Terkurung dalam dunia. Tanpa harapa. Atau harapan selalu hilang harapan. Dunia ini
adalah kandang. Penjara!” (Kuntowijoyo 2003:112)
Barman menanyakan tentang kematian. Sebagai mahluk sosial yang hidup dengan di
tengah masyarakat harus menamkan sikap kepudulian kita terhadap sesama dengan kegiatan
tolong-menolong. Pesan ini tergambar pada suatu prestiwa yang menimpa Barman di pasar
ketika khendak mau memberitahukan warga atas kematian Human. Seperti pada kutipan berikut.
“Tunggu sampai ia siuman, kata seseorang.
“Kita gotong bung, ayo! Nah, kakinya. Kepalanya!” beberapa orang laki-laki membawa
tubuhnya. centang perenang. Bagian baju yang tak kuat jahitanya, sedikit menganga.
Rambutnya yang putih terjatuh beberapa helai, terpijak-pijak. Barman dibaringkan di
sebuah warung sayur. (Kuntowijoyo, 2003:122).
Barman menundukkan muka ke tanah. Tiba-tiba ia tegak, memandang orang-orang itu.
“Saudara-saudara. Telah pergi dari bumi seorang manusia sejati” (Kuntowijoyo,
2003:126).
Kutipan di atas termasuk dimensi humanisasi pada aspek memperkuat solidaritas sosial.
Warga saling mengajak untuk bahu membahu mengurus mayat Barman. Menurut Rumi
(2017:22), masyarakat yang mengalami krisis multi-dimensi perlu mempelajari kembali nilai-
nilai keruhanian dari agama. Manusia mudah dilanda nihilisme dan keputusasaan jika berhenti
menjadi makhluk keruhanian.
Setelah Humam meninggal dunia, sikap hidup Barman berubah total. Dia melepaskan diri
dari ketergantungan terhadap Popi dan sekaligus menghindarkan hubungan seks bebas yang
sudah jelas dilarang agama. Barman ingin mengajarkan hal yang didapat dari Humam kepada
orang-orang di sekitarnya. Namun, sikap Barman itu terasa ironis, sebab dia tidak memiliki dasar
pengetahuan agama sebelumnya. Tingkah lakunya tersebut hanya didasarkan pada keinginannya
untuk meniru sosok Humam. Ketika banyak orang meminta fatwanya, dia tidak mau menjawab.
Sikap dari Barman menunjukkan dirinya kekeringan ilmu batin dan rohani.
Di dalam novel Khotbah di Atas Bukit ini juga mencerminkan kesesatan hidup mausia.
Hal itu terlihat dari sikap para pengikut Barman. Mereka yang datang kebanyakan orang-orang
miskin di pasar. Mereka meratapi hidupnya dan menganggap Barman sebagai “dewa penolong”
yang sanggup menghilangkan penderitaan hidup dari manusia. Hal ini menandakan dimensi
humaniasi, berkaitan dengan aktifitas memperkuat asertifitas. Aktiftias ini ditandai dengan
bentuk-bentuk ekspresi tujuan hidup manusia yang menyatakan perasaan dan pikiran dengan
tepat, terus terang, dan jujur.
“Kami gelisah, Bapak! Tanpa engkau!” kata seorang di belakang. Beberapa orang
bergabung dalam malam itu. Mereka yang menuruni lereng-lereng dengan obor segera
mengenal kembali Barman yang duduk di atas kuda. Setiap orang yang muncul dan
bergabung selalu berseru, “Bapak, jangan tinggalkan kami!”. Orang-orang mencoba
memegang kaki Barman, mereka seperti ketakutan.
“Jangan pergi ya Bapak,” kata seorang.
“Itu tak mungkin, nak.” Kata Barman.
“Kami cinta padamu, Bapak, kami mengharapkan Bapak.”
“Tanpa engkau Bapak, kami sendirian”
“Kami membutuhkanmu.”
“Tidak dapat lagi dipisahkan.”
Malam itu kerumunan berubah menjadi ratapan-ratapan.
“Tenanglah, aku tidak akan meninggalkan kalian.” (Kuntowijoyo dalam Sitanggang,
2003:121)
Puncak perbuatan Barman adalah bunuh diri, dimana perbuatan ini tidak diridhai
olehAllah SWT. Tindakan ini menegaskan Barman telah kehilangan pegangan hidup. Ini
termasuk dimensi transendensi yaitu pada aspek bentuk sikap pasrah dan tawakkal terhadap
iradah Allah SWT. Tawakkal adalah sikap manusia yang memercayakan dirinya, seluruh
jalannya, seluruh pekerjaannya kepada Allah, dalam jiwa kepercayaan yang sempurna dan tanpa
syarat (Bafadal dan Saefullah, 2006:119). Barman kesulitan mencari jalan keluar hingga
akhirnya memilih bunuh diri. Sebelum mengakhiri hidup, Barman berupaya menyampaikan
khotbah nya kepada pengikutnya, dimana hal ini termasuk dalam dakwah. Dakwah merupakan
hubungan antarmanusia yang hidup dengan sejumlah pikiran dan perasaan (Tajiri, 2015:58). Hal
ini termasuk dalam dimensi humanisasi, berupa aktifitas penguatan solidaritas sosial.
“Ini khotbahku,” katanya. Puncak itu hening. Dan kuda putih itu berdiri tegap, menahan
tubuh Barman. Barman masih sempat mendengarkan suaranya yang memantul di pohon-
pohon. Ia meneruskan. “Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan”.
Kalimat itu diucapkan dengan hampir menjerit. Sebuah teriakan laki-laki tua yang serak
dan menyayat. Orang-orang terpukau. Mereka mengulang kalimat Barman, tercengang-
cengang. Tidak seorangpun berbisik. Mereka menantikan sesuatu. “Bunuhlah dirimu”.
Tiba-tiba mereka berhenti. Kabut tersibak oleh angin. Ada ringkik kuda ang dahsyat.
Kemudian seolah kuda itu terbang. Suara kemerosak di bawah. Mereka tercengang.
Menggosok-gosok mata yang memedas. Penjaga malam itu berteriak. “O, ke manakah
Bapak (Kuntowijoyo 2003:234).
Pengalaman dari hal mistik dijelaskan oleh Kuntowijoyo dengan kuda putih yang terbang
ketika dia kan menjelang ajal kematiannya. Meskipun di awal cerita Barman telah bahagia ketika
bersama Popi, namun dirinya masih ada yang perlu untuk dicari lagi, terutama setelah
pertemuannya dengan Humam. Barman sedang giat-giatnya mencari kebahagiaan. Nasib Barman
dalam novel ini dirundung rasa khawatir, cemas terutama saat mencari tujuan hakiki hidup
manusia. Barman masih ragu terhadap keyakinannya sendiri, sebenarnya apa yang dicari di dunia
ini. Keyakinan adalah elemen yang mengubah getaran pikiran biasa, yang diciptakan oleh pikiran
orang yang terbatas, menjadi wujud spiritual (Hill, 2009:47). Manusia yang diciptakan dalam
sibghah Allah (celupan yang berarti iman kepada Allah) dan dalam potensi fitrahnya
berkewajiban menjaganya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin (Marzuki, 2015:33).
Termasuk keyakinan bahwa semua manusia akan mati, sebagaimana juga pengikut
Barman telah menguburkan jenazah Barman, dengan perenungan yang mendalam. Di bawah ini
merupakan aspek dimensi humanisasi yang menandakan aktifitas memperkuat personalitas.
“Kita sudah menguburkan Bapak kita. Lihatlah, tangan-tangan kita masih kotor.
Tanah ini suci, jangan dicuci tanganmu. Di sini telah dikuburkan sahabat, Bapak
dan Juru Selamat kita. Ia telah mengajarkan sesuatu pada kita. “Lihatlah bulan,
sekarang Bapak sedang mendaki ke sana. Hidup di sebuah tempat teduh yang
abadi!” Yang terkubur disini Adalah Pemenang! Menang!”. (Kuntowijoyo,
2003:242).
Di bawah ini merupakan aspek dimensi transendensi yang menandakan kesan bentuk
sufistik, yaitu pengharapan (raja’). Raja’ merupakan bentuk-bentuk ekspresi tujuan hidup
manusia untuk menumbuhkan rasa berharap kepada Allah semata (Ramadhaniar, 2017:98).
Seorang warga berharap Barman telah sampai di tempat yang mulia di sisi Allah SWT. Orang-
orang pasar juga merasakan eksadaran takut (khauf), mereka khawatir akan dosa dosa yang telah
mereka perbuat. Mereka juga sadar bahwa merea tidak mampu dalam menghadapinya.
Tokoh Popi ang senantiasa berjuang untuk Barman, namun ternyata sebab dosa yang
dimilikinya, maka usahanya selalu gagal. Hal ini ditunjukan Popi saat berusaha membuat jamaah
quasi agama. Tokoh Barman yang awalnya ingin mencari kebahagiaan yang sejati tetapi menjadi
putus asa atau pesimis dengan kehidupan yang dijalaninya setelah bertemu dengan tokoh
Humam yang diyakininya memiliki kehidupan yang bahagia dan berbeda dengan kehidupan
kebanyakan orang. Tokoh Barman pun ingin mengikuti jejak tokoh Humam tetapi salah
memahami ajaran yang diberikan tokoh Humam kepadanya. Akhirnya, tokoh Barman pun putus
asa dan memilih untuk mengakhiri hidupnya, meskipun perbuatan bunuh diri bukan patut untuk
ditiru oleh pengikutnya.
Pada bagian akhir cerita, Popi dikisahkan melakukan hubungan badan dengan sesorang
yang ditemuinya di pasar. Dalam hal ini terbukti bahwa Popi tidak mengalami perubahan
kepribadian. Nalurinya sebagai mantan pelacur muncul ketika ada kesempatan. Dia tidak
memikirkan dosanya atas perbuatannya itu. Hal ini menandakan betapa sulitnya manusia hidup
di jalan kebenaran menggapai ridho Allah. Disini pentingnya dimensi nahi munkar (liberasi)
dalam rangka upaya pencegahan terhadap kemungkaran yaotu zina. Wan Anwar dalam
Widowati (2017:8), yang menyatakan bahawa pencegahan kemungkaran yang dilakukan oleh
para sastrawan dalam karya mereka haruslah dilakukan menurut hukum-hukum yang disepakati
dan tidak menyimpang dari ajaran agama. Berikut ini kutipan ketika tidak dilakukan nahi
mungkar.
Popi mengerahkan tenaganya yang tersimpan, gunung berapi betina yang meluap.
Terlepas satu demi satu bebannya. Dan mereka kemudian merasa lelah sekali. Lalu
masing-masing membaringkan diri. Bulan Dan listrik menyiram atap mobil, remang-
rmangnya melembutkan mereka, menyusup-nyusup (Kuntowijoyo dalam Sitanggang,
2003:133).
Kuntowijoyo menekankan banyak elemen dari sastra Jawa untuk mendukung narasinya
sebagai pesan dari moral, dimensi spiritual dan hermeneutika.Novel Khotbah di Atas Bukit
mengeksplorasi kehidupan manusia penuh dengan penuh makna dan pesan kebaikan agar
memperbaiki jalan hidup. Barman di masa lalunya adalah orang yang cenderung bebas menuruti
hawa nafsunya dengan Popi. Di akhir hayatnya mati bunuh diri. Popi turut menyesal atas
kepergiannya hingga mengikuti hawa nafsu nya kembali dengan menjadi wanita liar.
Tokoh Humam sebagai manusia berjiwa religius memiliki kehidupan yang bebas dari
segala hal yang bersifat duniawi. Pemikiran dan tindakan dari Humam mencerminkan prinsip
liberasi dalam sastra profetik. Humam membebaskan segala beban kehidupan dunia yang
sementara ini. Khotbah terakhir yang disampaikan Barman ingin mengajak kepada dimensi
humanisasi untuk para pengikutnya, namun tindakannya tersebut di akhir hayatnya dilakukannya
dengan cara yang salah. Barman ingin mencari kebagiaan hakiki sebelum berpetualang di bukit.
Yang termasuk dimensi transendensi berupa tawakal. Alangkah baiknya, sebelum mengenal
Allah, maka kenali Rasulullah sebagai nabiyullah.
Pada novel Khotbah di Atas Bukit ini menggambarkan aktualisasi sastra profetik
sebagai media dakwah kultural yang berpotensi dalam memberikan pencerahan spiriitual
kepada pembacanya. Dalam perspektif lain, Ki Juru Bangunwijaya mengatakan jayeng bhaya
sebagai usaha untuk menghadapi, menanggulangi ancaman, tantangan, gangguan dan berusahan
menghindari segala perbuatan yang menimbulkan kemudharatan atau keburukan. Hal ini
berkaitan dengan prinsip liberasi atau nahi mungkar. Dalam dimensi transendensi, keintiman
manusia sebagai hamba dhoif dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta begitu terasa dalam novel
tersebut. Kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan tentu akan mendatangkan perasaan
tenteram dan bahagia. Orang yang merasa dekat dengan Tuhan, tentu dia akan berusaha berbuat
yang mendatangkan ridha Allah SWT. Dimensi humanisasi dan liberasi dapat dikategorikan
sebagai implemenatasi dari hablumminannas, sedangkan pada dimensi transendensi dapat
diimplementasikan hablumminallah. Sebagaimana menurut pendapat dari Husin (2017:27) pada
dimensi hablumminannas dapat dideskripsikan sebagai hubungan individu, hubungan dengan
masyarakat, dan hubungan dengan kepemimpinan.
Kutipan di bawah ini menunjukkan manusia sewajarnya mempercayai akan datang hari
akhir. Hal ini menandakan aspek khauf pada dimensi transendensi. Barman menyatakan
keyakinannya pada hari akhir pasti tiba, maka dari itu dirinya merasa belum siap.
“Dan mati? Ia bertanya. Ialah kalau kita tak lagi punya gerak.
Dan engkau tidak takut? Justru yang paling tidak menakutkan”. (Kuntowijoyo,
2003:48).
Pada buku The Religion of Java yang terbit tahun 1960, diungkapkan sebuah studi
tentang priyayi yang merupakan manifestasi religiusitas dalam masyarakat Jawa. Priyayi di kala
itu menjadi sebuh kelas sosial yang dapat menjadi simbol organisasi, budaya, agama, kekuasaaan
bahkan politik di sebuah negara (Kuntowijoyo, 2018:156). Dalam kaitannya dengan basis sastra
profetik, terdapat pesan-pesan yang vital dalam novel Khutbah di Atas Bukit, terutama untuk
kaum muslim. Umat Islam diwajibkan untuk beriman kepada Allah, dimana terkait dimensi
transendensi (tukminuunabillah). Seperti halnya rukun iman, rukun Islam sebagai basis dari
kehidupan beragama juga perlu ditransformasikan dalam konteks kehidupan dan aktivitas
keilmuan profetik. Sudah sewajarnya bagi umat Islam sendiri tentu dalam bingkai ilmu profetik
untuk mempelajari tauhid. Menurut Efendi (2011:182), tauhid sebagai kekuatan yang
membenruk struktur transendental paling dalam yang meliputi akidah, ibadah, akhlak, syariat
dan muamalah.
Prinsip transendensi atau tukminunabillah dapat dihubungkan dengan salah satu isi panca
darma yang merupakan butir butir ajaran rujukan pengarahan orientasi kehdupan manusia dalam
menentukan visi misi nya, yaitu dharma marang hingkang akarya jagad. Hakikat dharma
marang hingkang akarya jagad adalah melaksanakan perbuatan mulia sebagai perwujudan
kewajiban umat kepada Sang Pencipta. Usmani (2015:39) menuturkan manusia diharapkan dapat
meneladani sikap Rasulullah dan mencintai Allah sebagai sang Pencipta dari nur Nabi
Muhammad. Hadi (2004:160) mengatakan bahwa manusia harus sadar bahwa mereka sebagai
hamba yang mengabdi dan sekaligus wakil Tuhan di bumi. Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk
selalu menghambakan diri kepada-Nya (Bangunjiwa, 2009:123). Menurut Kuntowijoyo
(2001:19), dapat saja terjadi ketika anggota sebuah masyarakat menunjukkan iman dan takwa,
tapi institusinya tidak saleh, sehingga masyarakatnya penuh kemungkaran. Disini peran penting
antara perpaduan iman dan takwa secara individual dan institusional sehingga dimensi
humanisasi, liberasi dan transedensi dapat bersinergi satu sama lain sehingga dapat tercipta
harmonisasi kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara.
Simpulan
Hasil analisis data dan pembahasan menunjukkan bahwa novel Khotbah di Atas Bukit
merepresentasikan dimensi profetik. Dimensi profetik dalam novel tersebut dapat digunakan
sebagai sumbangan bagi kegiatan pembelajaran sastra, dimana siswa dapat memaknai kehidupan
yang terinspirasi dari dimensi kenabian. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya tiga aspek
dimensi profetik, yaitu (1) humanisasi, (2) liberasi, dan (3) transendensi. Ketiga cakupan
simpulan diuraikan berikut ini.
Pertama, humanisasi dalam novel Khotbah di Atas Bukit lebih didominasi oleh subaspek
aktivitas memperkuat spiritualitas. Hal tersebut dikarenakan novel Khotbah di Atas Bukit
merupakan novel imajinatif tentang kisah perjalanan hidup Barman untuk mencari jati dirinya
dalam ruang lingup kehidupan ukhrawi. Selain itu, keempat subaspek humanistis dalam novel
Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan, yaitu (1) aktivitas memperkuat personalitas, (2)
aktivitas memperkuat asertivitas, (3) aktivitas memperkuat solidaritas sosial, dan (4) aktivitas
memperkuat spiritualitas
Kedua, liberasi dalam novel Khotbah di Atas Bukit lebih didominasi oleh subaspek
aktivitas membebaskan diri dari pengaruh keduniawian. Novel Khotbah di Atas Bukit
mengisahkan sosok Barman yang memiliki kemiripan dengan tokoh Humam. Hal tersebut juga
berkaitan erat dengan aspek zuhud, dimana zuhud merupakan aktifitas yang mencerminkan sifat
menerima apa yang sudah dimilikinya.
Ketiga, transendensi dalam novel Khotbah di Atas Bukit lebih didominasi oleh subaspek
khauf. Transendensi dalam novel Khotbah Atas Bukit di cenderung merepresentasikan aktifitas
sufistik berupa khauf dan raja’.
DAFTAR RUJUKAN
Oxford Learners Pocket Dictionary: Fourth Edition. 2004. New York: Oxford University Press.
Ratna. N.K. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga
Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Roqib. 2009. Kontekstualisasi Filsafat Budaya Profetik dalam Pendidikan (Kajian Ahmad
Tohari). Disertasi tidak diterbitkan.
Rumi, J. 2017. Masnawi Senandung Cinta Abadi. Terjemahan Abdul Hadi. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Santosa, W.H., & Wahyuningtyas, S. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta. Yuma
Pustaka.
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Thal’at, I. 2018. 55 Nasehat Bagi Wanita sebelum Menikah. Jakarta: Pustaka Azzam.
Usmani, A.R. 2015. Pesona Akhlak Nabi. Bandung: Mizan Pustaka.
Wachid B.S. Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Penerbit Saka.
Waluyo, J. H. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Widowati. Materi Nilai Sastra Profetik Kumpulan Cerpen Rusmi Ingin Pulang Karya Ahmad
Tohari. Jurnal CARAKA, Volume 4, Nomor 1, Edisi Desember 2017.
Wulananda, R. 2017. Dimensi Profetik Novel Khotbah di Atas Bukitkarya Tasaro G. K. sebagai
Sumber Pendidikan Karakter. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas
Negeri Malang.