Unang Sudarma
Abstrak
Pendahuluan
Pendidikan karakter merupakan keniscayaan dalam upaya menghadapi
tantangan globalisasi (Komara, 2018). Sumber daya manusia yang tak memiliki
karakter akan gagap menghadapi persaingan. Karakter itu sifatnya universal,
disukai semua manusia dan tentu saja akan sangat mendukung kemajuan pribadi,
keluarga, organisasi dan suatu bangsa. Karakter yang baik akan mendorong
kebaikan umat manusia.
Dunia ini telah menjadi desa buana. Manusia terhubung satu sama lain.
Datar dan krodit dapat diakses melalui genggaman tangan dengan mudah. Dengan
teknologi informasi, ruang dan waktu seolah palsu karena akses dan komunikasi
dapat dilakukan dengan mudah. Namun, di atas segala kemudahan berkomunikasi,
karakter menjadi modal agar proses interaksi berjalan sesuai dengan nilai dan
keadaban.
Pendidikan karakter merupakan proses penerapan nilai-nlai moral dan
agama pada peserta didik. Penerapan nilai tersebut baik terhadap diri sendiri,
keluarga, sesama teman, terhadap pendidik dan lingkungan sekitar maupun Tuhan
Yang Maha Esa. Sebagaimana dipahami bersama, perkembangan sosial anak usia
sekolah dasar sudah bertambah, dari yang awalnya hanya bersosial dengan
keluarga di rumah, kemudian berangsur-angsur mengenal orang-orang
disekitarnya. Selain itu, anak pada usia ini juga telah mengenal gaya hidup digital,
baik itu dari rumah, teman-teman, sekolah dan lingkungan sekitar. Era digital
tidak hanya menawarkan dampak positif, tapi juga membawa dampak negative.
Disinilah peran sebagai orang tua, pendidik dan masyarakat dewasa dalam
membimbing dan mengawasi anak untuk menjalaninya dengan baik, tepat, dan
bermanfaat positif (Putri, 2018).
Sebagaimana disadari, pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan
pendidikan. Kondisi saat ini, kita dapat merasakan, terbatasnya interaksi dengan
peserta daring karena pembelajaran daring, membuat pengembangan karakter
siswa terhambat. Riset menyebutkan adanya pengaruh Covid-19 pada penerapan
pendidikan karakter dan pendidikan Islam. Faktor-faktor yang mempengaruhi
sebagian besar karakter yang dilakukan selama wabah Covid-19 termasuk naluri,
kebiasaan, kemauan dan suara hati (Abdusshomad, 2020).
Keteladanan menjadi minim, pendidikan karakter menghadapi sejumlah
tantangan. Siswa lebih banyak belajar di rumah yang tanpa terkontrol dengan baik
oleh guru. Kerjasama dengan orang tua tidak berjalan maksimal karena
keterbatasan kemampuan dan kesibukan orang tua bekerja. Disiplin menjadi salah
satu karakter yang sulit terbentuk karena siswa banyak yang menunda-nunda
tugas atau bahkan tidak mengumpulkan sama sekali (Suriadi et al., 2021).
Sebagaimana dipahami bersama, model pembelajaran abad 21 itu
mendorong siswa untuk mencari tahu, bukan diberitahu. Pembelajaran diarahkan
agar siswa mampu merumuskan masalah atau bertanya. Melatih berpikir kritis,
analitis misalnya mengambil keputusan. Pembelajaran menekankan pentingnya
kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah (Komara, 2018).
Sumber daya manusia berkarakter tentu saja menjadi bekal untuk era
Indonesia Emas 2045. Indonesia Emas 2045 merupakan prediksi yang optimis
bahwa usia bangsa ini mencapai 100 tahun. Dimana pada tahun tersebut dihuni
oleh penduduk produktif. Akan ada bonus demografi yang tentu saja harus
dimanfaatkan agar benar-benar mendorong kemajuan, bukan jebakan (Ansori,
2021).
Sumber daya manusia dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam
supaya menghasilkan produk yang memiliki kualitas baik. Tentunya sumber daya
manusia itu harus mempunyai kemampuan serta keterampilan yang bermutu. Oleh
karena itu, pendidikan memiliki peran yang sangat krusial sebagai upaya
meningkatkan kualitas SDM. Sehubungan dengan hal tersebut pendidikan
karakter juga dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan mutu
sumber daya manusia di Indonesia. Pendidikan karakter dapat didefinisikan
sebagai upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu seseorang dalam
memahami serta bertindak sesuai dengan nilai etika (Pratiwi, Prestiadi & Imron,
2020).
Sementara itu kualitas SDM dan ketenagakerjaan Indonesia di antara
negara ASEAN menempati peringkat 5. Ini masih kalah jika dibandingkan
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (Suharyadi dalam
Rayanti, 2015). Hasil riset IMD World Competitiveness Center, Indonesia berada
di peringkat ke 56 dari 63 negara untuk masalah kesiapan teknologi dan inovasi
digital (Kompas.Com, 2021). Dengan demikian, perlu kerja keras bersama untuk
memastikan sumber daya manusia Indonesia terampil dan bersaing dengan baik.
Kenapa pendidikan karakter? Bagaimana implementasinya dalam
pendidikan di Indonesia? Sejauhmana kontribusinya dalam membangun daya
saing Indonesia Emas 2045? Artikel ini akan mencoba mengupasnya sebaik
mungkin.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun artikel ini adalah
kajian literatur (literature review). Peneliti melakukan pendalaman data empirik
dan teoritis yang ada pada artikel relevan di berbagai jurnal lima tahun terakhir.
Fokus riset diarahkan pada pendidikan karakter.
Kajian literatur dapat dijelaskan secara luas sebagai cara sistematis untuk
mengumpulkan dan menyintesiskan berbagai macam riset (Snyder, 2019). Kajian
literatur yang efektif dan dilakukan dengan baik merupakan sebuah metode riset
yang memberikan dasar kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
memfasilitasi pengembangan teori (Snyder, 2019). Dengan cara mengintegrasikan
temuan dan perspektif dari berbagai temuan empirik, kajian literatur akan
mengarah pada pertanyaan penelitian yang kuat, tidak ada yang memiliki kajian
itu sehingga sangat mendalam (Snyder, 2019).
Bila disandingkan dengan pendekatan lain, kajian literatur sangat berperan
esensial untuk mengidentifikasi subjek dan topik yang telah ditulis sebelumnya.
Peran selanjutnya adalah menentukan posisi yang lebih spesifik dari riset di antara
beragam tren dan pola riset. Kajian literatur juga berarti mengelompokkan temuan
empirik yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang dipersempit untuk
mendukung bukti dan menghasilkan teori dan kerangka kerja yang baru.
Disamping itu juga untuk mengidentifikasi topik atau pertanyaan yang
membutuhkan investigasi lebih lanjut (Pare & Kitsiou, 2017).
Onwugbuzie & Frels (2016) mengingatkan bahwa kajian literatur itu
melibatkan budaya, etika dan beragam sumber dimana kita sebagai peneliti,
termasuk di dalamnya nilai, keyakinan dan pengalaman kita sebagai peneliti.
Onwugbuzie dan Frels, selanjutnya, menwarkan tujuh langkah dalam melakukan
kajian literatur (literature review) yaitu sebagai berikut: 1) Menelaah keyakinan
dan topik penelitian; 2) Menginisiasi pencarian; 3) Mengumpulkan dan menyusun
informasi; 4) Menyeleksi dan menentukan informasi; 5) Meningkatkan pencarian
terhadap lebih banyak media, hasil observasi, para peneliti, dan dokumen; 6)
Menganalisi dan menyintesiskan informasi; 7) Menampilkan laporan kajian
literatur (literature review).
Sebagai catatan, Onwugbuzie dan Frels (2016) mengingatkan bahwa
ketujuh langkah ini bersifat multidimensional, interaktif, muncul berulang,
dinamis, holistik dan sinergis. Ada delapan prinsip dasar dalam kajian literatur
yaitu: 1) Transparansi, maksudnya harus eksplisit dalam hal penentuan kriteria
yang relevan untuk disertakan atau tidak dalam studi yang dilakukan; 2)
Kejelasan, maksudnya proses riset dapat diikuti peneliti selanjutnya; 3) Fokus; 4)
Menyatukan komunitas peneliti dan praktisi; 5). Kesetaraan; 6) Kemudahan
diakses; 7) Cakupannya luas;8) Melakukan sintesis.
Dalam praktiknya, peneliti berusaha mengumpulkan sejumlah literatur
mutakhir baik berupa artikel, buku dan berbagai karya yang relevan. Kemudian
dilakukan analisis dan penyajian data sesuai dengan temuan penelitian.
Berdaya Saing
Berdaya saing atau dengan kata lain kompetitif dalam KBBI berhubungan
dengan kompetisi (persaingan); bersifat kompetisi (persaingan). Sesuai dengan
perkembangan jaman, daya saing SDM perlu ditingkatkan agar tetap eksis (Nagel,
2020).
Daya saing bangsa dapat dipahami sebagai kelangsungan, ketahanan
kesadaran kebangsaan, semangat untuk maju, paham kebangsaan yang kokoh dan
terbebas dari rasa rendah diri sebagai sebuah bangsa.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007
bahwa Daya Saing ialah kemampuan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik,
lebih cepat, atau lebih bermakna. Daya saing merupakan kemampuan dari
seseorang atau organisasi untuk menunjukkan hasil yang lebih baik atau unggul,
lebih cepat, dan lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya atau dengan yang
lainnya. Dengan demikian SDM yang berdaya saing tinggi adalah yang memiliki
kapasitas dan kapabilitas untuk menghasilkan keunggulan dalam bidang atau
aspek tertentu sehingga menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat, lebih
baru, dan lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya atau dengan yang lainnya
(Saragih, 2012).
Daya saing (competitiveness) yang diawali dengan konsep keunggulan
komparatif (comparative advantage) kini menjadi konsep yang menarik, namun
daya saing mempunyai interpretasi/tafsiran beragam seperti yang dikemukakan
Michael Porter. “There is no accepted definition of competitiveness. Whichever
definition of competitiveness is adopted, an even more serious problem has been
there is no generally accepted theory to explainit....“ (Porter, 1990).
“Competitiveness remains a concept that is not well understood, despite
widespread acceptance of its importance . . . “(Porter, 2003, 202).
Konsep daya saing dapat juga ditinjau pada tingkat perusahaan, industri
atau sekelompok industri dan Negara atau daerah (sebagai suatu entitas ekonomi).
Menurut Grant (1991) daya saing merupakan hasil atas pemahaman secara
menyeluruh dari aspek eksternal dan internal yang memberikan pengaruh kuat
terhadap perusahaan. Secara sederhana daya saing merupakan kemampuan
perusahaan untuk bersaing (Sunarsih, 2018).
Daya saing mengacu pada kapabilitas industri atau perusahan untuk
mempertahankan dan memperoleh pangsa pasar di dalam industrinya. Daya saing
berkaitan dengan efektifitas perusahaan, meliputi apakah perusahaan dapat
memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholder). Para pemangku
kepentingan meliputi para pemegang saham yang menginginkan tingkat
pengembalian investasi, para pelanggan mengharapkan produk dan jasa yang
berkualitas tinggi, para karyawan menginginkan pekerjaan yang menarik dan
kompensasi yang layak atas pelayanan yang mereka berikan. Begitupun dengan
masyarakat yang menginginkan perusahaan dapat berkontribusi terhadap
aktivitas-aktivitas dan proyek-proyek serta meminimalkan pencemaran
lingkungan (Noe, 2011). Membangun sumber daya manusia (SDM) yang
memiliki kualitas baik dan berdaya saing tinggi merupakan pekerjaan yang harus
dilakukan oleh perusahaan secara terorganisir dan terencana dengan
mempertimbangkan karakter, harkat, martabat, minat, bakat, dan latar belakang
yang berbeda-beda dari SDM tersebut (Sihite, 2018).
Tantangan baru dunia kerja di era revolusi industri 5.0 adalah integrasi
pemanfaatan internet dengan lini produksi yang memanfaatkan kecanggihan
teknologi dan informasi. Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak menguasai
literasi digital cepat atau lambat akan tersingkir. Dengan demikian, di era revolusi
5.0 sangat menuntut SDM yang memiliki daya saing yang tinggi.
Untuk menjawab tantangan era revolusi industri 5.0 tidak cukup hanya
dengan literasi manusia lama, yang hanya mendasarkan pada kemampuan
membaca, menulis dan menghitung. Untuk mendapatkan SDM yang kompetitif
dalam industri 5.0, kurikulum pendidikan harus dirancang agar lulusannya mampu
menguasi literasi baru, yaitu: (1) literasi data, (2) literasi teknologi, dan (3) literasi
manusia, humanities, komunikasi dan desain (Risnita & Sohiron, 2020).
Sumber daya manusia yang berkarakter akan memiliki daya saing.
Membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing tinggi merupakan
kebutuhan yang mutlak dan mendesak di era revolusi industri 5.0. Hal ini
disebabkan karena SDM merupakan salah satu sumber daya strategis yang
dimiliki organisasi, yang harus terus menerus dibina dan dikembangkan secara
berkesinambungan. Memiliki keunggulan dalam persaingan merupakan harapan
dari setiap perusahaan, dan hal ini tidak mudah mencapainya. Salah satu faktor
penting untuk menggapai tujuan tersebut adalah dengan mengoptimalkan
pengelolaan SDM. Melalui sebuah telaah literatur, penelitian ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan: Bagaimanakah peran kompetensi dalam mewujudkan SDM
yang berdaya saing tinggi di era revolusi industri 5.0?
Ada tiga strategi mewujudkan SDM yang berdaya saing tinggi yaitu
peningkatan kompetensi SDM, sistem pendidikan dan pelatihan, serta perubahan
budaya kerja SDM (Sihite, 2018).
Membangun SDM yang berdaya saing tinggi merupakan kebutuhan yang
mutlak, mendesak, dan urgent. Hal ini dikarenakan SDM merupakan salah satu
sumber daya strategis yang dimiliki organisasi yang harus terus menerus dibina
dan dikembangkan secara berkelanjutan. Ada delapan strategi cara membangun
SDM yang berdaya saing tinggi yaitu: 1) membangun sistem rekrutmen dan
seleksi, 2) menentukan sistem penempatan; 3) menentukan sistem penilaian
kinerja; 4) melakukan peningkatan kompetensi SDM; 5) menyusun sistem
pendidikan dan pelatihan; 6) melakukan perubahan budaya kerja; 7) menyusun
sistem penggajian, dan 8) melakukan pengembangan Sistem Informasi SDM.
Untuk mewujudkannya menjadi kenyataan sangat diperlukan usaha dan kerja
keras, serta komitmen yang cukup dari semua elemen dunia usaha, dunia
akademisi/perguruan tinggi, masyarakat, terutama pimpinan perusahaan dan
pemilik perusahaan/pemegang saham perusahaan. Dengan menggunakan strategi
yang kedelapan ini, maka peningkatan daya saing SDM dapat dicapai (Sihite,
2018).
Meningkatkan daya saing hanya mungkin dilakukan bilamana masyarakat
mampu merumuskan paradigma baru. Sejumlah langkah dapat dilakukan.
Pertama, harus mampu menafsirkan dengan tepat makna di balik istilah
globalisasi. Kedua, format politiknya harus menyesuaikan dengan kemampuan
mengadaptasi globalisasi tersebut. Ketiga, merumuskan peran baru yang mungkin
dilakukan. Keempat, menyusun langkah strategis membangun daya saing tersebut.
Tentu saja empat langkah ini menjadi salah satu opsi yang dapat dilakukan agar
bangsa ini dapat membangun daya saingnya dengan baik.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa tidak hanya soal sumber daya
manusia, bahasa pun menjadi salah satu faktor jatidiri dan daya saing bangsa.
Daya saing bangsa juga ditentukan oleh kemampuan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi. Namun itu semua dikemas oleh karakter manusia Indonesia yang
luhur sebagaimana kepribadian bangsa yang berdasarkan Pancasila. Dengan
demikian banyak faktor yang harus dipenuhi untuk membangun daya saing
bangsa di masa depan.
Penutup
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
memiliki peran penting dalam membangun daya saing bangsa. Karakter yang
dibangun meliputi sikap religius, nasionalis, integritas, mandiri dan gotong
royong. Pendidikan karakter dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam
meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia. Sumber daya manusia di
masa depan harus dapat diterima dan sanggup bersaing bersama tenaga kerja
global. Dengan pendidikan karakter, generasi emas 2045 dapat dipersiapkan dan
diyakini memiliki daya saing karena nilai universal dari karakter itu sendiri.
Daftar Pustaka
Asbari, M, et al., (2020). Does Genetic Personality and Parenting Style Influence
Students’ Character Building? International Journal of Evaluation and
Research in Education, 9(4), 469–477.
https://doi.org/10.11591/ijere.v9i3.20566
Gunawan, I., et al (2018). Hidden Curriculum and its Relationship with the
Student Character Building. 3rd International Conference on Education
Management and Administration, 9–11. https://doi.org/10.2991/coema-
18.2018.3
Marini, A., Maksum, A., Edwita, E., Satibi, O., & Kaban, S. (2019). School
Management on the basis of character building in teaching learning process.
4th Annual Applied Science and Engineering Conference, 1–6.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1402/2/022067
Mustoip, S., Japar, M., & MS, Z. (2018). Implementasi Pendidikan Karakter
(Lutfiah & Setyaningrum (eds.)). Jakad Publishing.
Oktari, D. P., & Kosasih, A. (2019). Pendidikan Karakter Religius dan Mandiri di
Pesantren. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 28(1), 42–52.
https://doi.org/10.17509/jpis.v28i1.14985
Putri, D. P. (2018). Pendidikan Karakter Pada Anak Sekolah Dasar Di Era Digital.
AR-RIAYAH: Jurnal Pendidikan Dasar, 2(1), 37–50.
https://doi.org/10.29240/jpd.v2i1.439
Suriadi, H. J., Firman, F., & Ahmad, R. (2021). Analisis Problema Pembelajaran
Daring Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik. Edukatif : Jurnal Ilmu
Pendidikan, 3(1), 165–173. https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i1.251
Wibowo, U. B., Marini, A., Safitri, D., & Wahyudi, A. (2020). Model of School
Management Based on Character Building in School Culture. International
Journal of Advanced Science and Technology, 29(6), 1161–1166.
Website