Anda di halaman 1dari 19

Pendidikan Karakter

Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia Berdaya Saing


Menuju Indonesia Emas 2045

Unang Sudarma

UNINUS Bandung, Indonesia


STAI Al-Andina Sukabumi
E-mail: habibya966@gmail.com

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan peran penting pendidikan karakter


dalam mewujudkan sumber daya manusia berdaya saing menuju Indonesia Emas
2045. Karakter yang dibangun meliputi sikap religius, nasionalis, integritas,
mandiri dan gotong royong. Metode riset yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah kajian literatur (literature review). Hasil riset menggambarkan bahwa
pendidikan karakter dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan
mutu sumber daya manusia di Indonesia. Pendidikan karakter merupakan upaya
yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu seseorang dalam memahami
serta bertindak sesuai dengan nilai etika. Sumber daya manusia di masa depan
harus dapat diterima dan sanggup bersaing bersama tenaga kerja global. Dengan
pendidikan karakter, generasi emas 2045 dapat dipersiapkan dan diyakini
memiliki daya saing.

Kata Kunci: gotongroyong, integritas, mandiri, nasionalis, religius,

Pendahuluan
Pendidikan karakter merupakan keniscayaan dalam upaya menghadapi
tantangan globalisasi (Komara, 2018). Sumber daya manusia yang tak memiliki
karakter akan gagap menghadapi persaingan. Karakter itu sifatnya universal,
disukai semua manusia dan tentu saja akan sangat mendukung kemajuan pribadi,
keluarga, organisasi dan suatu bangsa. Karakter yang baik akan mendorong
kebaikan umat manusia.
Dunia ini telah menjadi desa buana. Manusia terhubung satu sama lain.
Datar dan krodit dapat diakses melalui genggaman tangan dengan mudah. Dengan
teknologi informasi, ruang dan waktu seolah palsu karena akses dan komunikasi
dapat dilakukan dengan mudah. Namun, di atas segala kemudahan berkomunikasi,
karakter menjadi modal agar proses interaksi berjalan sesuai dengan nilai dan
keadaban.
Pendidikan karakter merupakan proses penerapan nilai-nlai moral dan
agama pada peserta didik. Penerapan nilai tersebut baik terhadap diri sendiri,
keluarga, sesama teman, terhadap pendidik dan lingkungan sekitar maupun Tuhan
Yang Maha Esa. Sebagaimana dipahami bersama, perkembangan sosial anak usia
sekolah dasar sudah bertambah, dari yang awalnya hanya bersosial dengan
keluarga di rumah, kemudian berangsur-angsur mengenal orang-orang
disekitarnya. Selain itu, anak pada usia ini juga telah mengenal gaya hidup digital,
baik itu dari rumah, teman-teman, sekolah dan lingkungan sekitar. Era digital
tidak hanya menawarkan dampak positif, tapi juga membawa dampak negative.
Disinilah peran sebagai orang tua, pendidik dan masyarakat dewasa dalam
membimbing dan mengawasi anak untuk menjalaninya dengan baik, tepat, dan
bermanfaat positif (Putri, 2018).
Sebagaimana disadari, pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan
pendidikan. Kondisi saat ini, kita dapat merasakan, terbatasnya interaksi dengan
peserta daring karena pembelajaran daring, membuat pengembangan karakter
siswa terhambat. Riset menyebutkan adanya pengaruh Covid-19 pada penerapan
pendidikan karakter dan pendidikan Islam. Faktor-faktor yang mempengaruhi
sebagian besar karakter yang dilakukan selama wabah Covid-19 termasuk naluri,
kebiasaan, kemauan dan suara hati (Abdusshomad, 2020).
Keteladanan menjadi minim, pendidikan karakter menghadapi sejumlah
tantangan. Siswa lebih banyak belajar di rumah yang tanpa terkontrol dengan baik
oleh guru. Kerjasama dengan orang tua tidak berjalan maksimal karena
keterbatasan kemampuan dan kesibukan orang tua bekerja. Disiplin menjadi salah
satu karakter yang sulit terbentuk karena siswa banyak yang menunda-nunda
tugas atau bahkan tidak mengumpulkan sama sekali (Suriadi et al., 2021).
Sebagaimana dipahami bersama, model pembelajaran abad 21 itu
mendorong siswa untuk mencari tahu, bukan diberitahu. Pembelajaran diarahkan
agar siswa mampu merumuskan masalah atau bertanya. Melatih berpikir kritis,
analitis misalnya mengambil keputusan. Pembelajaran menekankan pentingnya
kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah (Komara, 2018).
Sumber daya manusia berkarakter tentu saja menjadi bekal untuk era
Indonesia Emas 2045. Indonesia Emas 2045 merupakan prediksi yang optimis
bahwa usia bangsa ini mencapai 100 tahun. Dimana pada tahun tersebut dihuni
oleh penduduk produktif. Akan ada bonus demografi yang tentu saja harus
dimanfaatkan agar benar-benar mendorong kemajuan, bukan jebakan (Ansori,
2021).
Sumber daya manusia dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam
supaya menghasilkan produk yang memiliki kualitas baik. Tentunya sumber daya
manusia itu harus mempunyai kemampuan serta keterampilan yang bermutu. Oleh
karena itu, pendidikan memiliki peran yang sangat krusial sebagai upaya
meningkatkan kualitas SDM. Sehubungan dengan hal tersebut pendidikan
karakter juga dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan mutu
sumber daya manusia di Indonesia. Pendidikan karakter dapat didefinisikan
sebagai upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu seseorang dalam
memahami serta bertindak sesuai dengan nilai etika (Pratiwi, Prestiadi & Imron,
2020).
Sementara itu kualitas SDM dan ketenagakerjaan Indonesia di antara
negara ASEAN menempati peringkat 5. Ini masih kalah jika dibandingkan
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (Suharyadi dalam
Rayanti, 2015). Hasil riset IMD World Competitiveness Center, Indonesia berada
di peringkat ke 56 dari 63 negara untuk masalah kesiapan teknologi dan inovasi
digital (Kompas.Com, 2021). Dengan demikian, perlu kerja keras bersama untuk
memastikan sumber daya manusia Indonesia terampil dan bersaing dengan baik.
Kenapa pendidikan karakter? Bagaimana implementasinya dalam
pendidikan di Indonesia? Sejauhmana kontribusinya dalam membangun daya
saing Indonesia Emas 2045? Artikel ini akan mencoba mengupasnya sebaik
mungkin.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun artikel ini adalah
kajian literatur (literature review). Peneliti melakukan pendalaman data empirik
dan teoritis yang ada pada artikel relevan di berbagai jurnal lima tahun terakhir.
Fokus riset diarahkan pada pendidikan karakter.
Kajian literatur dapat dijelaskan secara luas sebagai cara sistematis untuk
mengumpulkan dan menyintesiskan berbagai macam riset (Snyder, 2019). Kajian
literatur yang efektif dan dilakukan dengan baik merupakan sebuah metode riset
yang memberikan dasar kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
memfasilitasi pengembangan teori (Snyder, 2019). Dengan cara mengintegrasikan
temuan dan perspektif dari berbagai temuan empirik, kajian literatur akan
mengarah pada pertanyaan penelitian yang kuat, tidak ada yang memiliki kajian
itu sehingga sangat mendalam (Snyder, 2019).
Bila disandingkan dengan pendekatan lain, kajian literatur sangat berperan
esensial untuk mengidentifikasi subjek dan topik yang telah ditulis sebelumnya.
Peran selanjutnya adalah menentukan posisi yang lebih spesifik dari riset di antara
beragam tren dan pola riset. Kajian literatur juga berarti mengelompokkan temuan
empirik yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang dipersempit untuk
mendukung bukti dan menghasilkan teori dan kerangka kerja yang baru.
Disamping itu juga untuk mengidentifikasi topik atau pertanyaan yang
membutuhkan investigasi lebih lanjut (Pare & Kitsiou, 2017).
Onwugbuzie & Frels (2016) mengingatkan bahwa kajian literatur itu
melibatkan budaya, etika dan beragam sumber dimana kita sebagai peneliti,
termasuk di dalamnya nilai, keyakinan dan pengalaman kita sebagai peneliti.
Onwugbuzie dan Frels, selanjutnya, menwarkan tujuh langkah dalam melakukan
kajian literatur (literature review) yaitu sebagai berikut: 1) Menelaah keyakinan
dan topik penelitian; 2) Menginisiasi pencarian; 3) Mengumpulkan dan menyusun
informasi; 4) Menyeleksi dan menentukan informasi; 5) Meningkatkan pencarian
terhadap lebih banyak media, hasil observasi, para peneliti, dan dokumen; 6)
Menganalisi dan menyintesiskan informasi; 7) Menampilkan laporan kajian
literatur (literature review).
Sebagai catatan, Onwugbuzie dan Frels (2016) mengingatkan bahwa
ketujuh langkah ini bersifat multidimensional, interaktif, muncul berulang,
dinamis, holistik dan sinergis. Ada delapan prinsip dasar dalam kajian literatur
yaitu: 1) Transparansi, maksudnya harus eksplisit dalam hal penentuan kriteria
yang relevan untuk disertakan atau tidak dalam studi yang dilakukan; 2)
Kejelasan, maksudnya proses riset dapat diikuti peneliti selanjutnya; 3) Fokus; 4)
Menyatukan komunitas peneliti dan praktisi; 5). Kesetaraan; 6) Kemudahan
diakses; 7) Cakupannya luas;8) Melakukan sintesis.
Dalam praktiknya, peneliti berusaha mengumpulkan sejumlah literatur
mutakhir baik berupa artikel, buku dan berbagai karya yang relevan. Kemudian
dilakukan analisis dan penyajian data sesuai dengan temuan penelitian.

Hasil dan Pembahasan


Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah sebuah upaya terencana dalam memanusiakan manusia
dalam proses sosialisasi untuk memperbaiki karakter serta melatih kemampuan
intelektual peserta didik dalam rangka mencapai kedewasaannya (Mustoip, Japar
& Zulela, 2018).
Secara etimologis, kata karakter yang dalam bahasa Inggris adalah
“character” berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to
engrave” yang bisa diterjemahkan mengukir, melukis, atau menggoreskan (Oktari
& Kosasih, 2019). Karakter juga dimaknai sebagai kumpulan tata nilai yang
menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang
ditampilkan. Faktanya memang, ada banyak faktor yang membentuk karakter
seseorang, antara lain proses pendidikan orang tua dan kepribadian genetik yang
tumbuh (Asbari et al., 2020).
Karakter terdiri dari tiga bagian yang saling terkait yaitu pengetahuan
tentang moral, perasaan, dan perilaku bermoral. Karakter yang baik terdiri dari
mengetahui kebaikan, mencintai atau menginginkan kebaikan, dan melakukan
kebaikan (Oktari & Kosasih, 2019). Dengan demikian, cara membentuk karakter
yang paling efektif adalah dengan melibatkan ketiga aspek tersebut. Disamping
itu, perlu juga menumbuhkan karakter yang merupakan the habit of mind, heart
and action, dimana diantara ketiganya (pikiran, hati dan tindakan) adalah saling
terkait.
Pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk mendorong peserta didik
untuk tumbuh dan berkembang dengan kompetensi berpikir dan berpegang teguh
pada prinsip-prinsip moral dalam hidupnya serta memiliki keberanian untuk
melakukan hal yang benar meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan.
Pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk
ditanamkan dalam diri seseorang sehingga menjadi karakter dari seseorang
tersebut. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah sebuah proses internalisasi
atau penanaman nilai-nilai positif kepada peserta didik supaya memiliki karakter
yang baik sesuai dengan nilai-nilai yang dirujuk baik dari agama, budaya, maupun
falsafah bangsa (Oktari & Kosasih, 2019).
Di era pemerintahan Jokowi, penguatan karakter menjadi program
prioritas. Gerakan nasional dalam menciptakan sekolah yang peserta didiknya
beretika, bertanggungjawab dan peduli. Usaha yang disengaja, proaktif yang
dilakukan sekolah dan pemerintah untuk menanamkan nilai inti seperti
kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggungjawab serta menghargai orang lain.
Sekolah harus mampu mengembangkan pendidikan karakter melalui proses
pembelajaran, habituasi, kegiatan ekstrakurikuler, bekerjasama dengan keluarga
dan masyarakat dalam mendidikan karakter anak (Komara, 2018).
Sebuah inovasi pendidikan untuk mengatasi permasalahan karakter di
Indonesia, dan sebagai bentuk reformasi pendidikan yang perlu dilaksanakan
khususnya di Sekolah Dasar dengan melibatkan seluruh komponen sekolah, agar
tercipta pembelajaran yang bernilai baik (Mustoip, Japar & Zulela, 2018).
Diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas, budaya sekolah dan
aktivitas ekstrakurikuler (Marini et al., 2019). Pendekatan tematik telah
dilaksanakan untuk pendidikan karakter di sekolah melalui kegiatan mendongeng,
diskusi, kerja kelompok dan berbagai aktivitas di sekolah yang dilakukan siswa
dan guru (Marini et al., 2019).
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran
keterampilan berpikir di dalam kelas (Marini et al., 2019). Dalam budaya sekolah,
praktinya antara lain dengan pembiasaan membersihkan ruang kelas, berdoa,
mengucapkan salam kepada guru dan yang lebih tua, menggunakan seragam
sesuai dengan jadwal (Wibowo et al., 2020). Selain dalam pembelajaran dan
budaya sekolah, pendidikan karakter dikembangkan dalam program yang
dikembangkan oleh pimpinan sekolah/madrasah (Marini et al, 2019).
Di Indonesia, pendidikan karakter setidaknya memiliki sembilan pilar
karakter dasar, mulai dari; 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya; 2)
tanggung jawab, disiplin, dan mandiri; 3) jujur; 4) hormat dan santun; 5) kasih
sayang, peduli dan Kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, pantang menyerah dan
kerja keras; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi,
cinta damai, dan persatuan (Mustoip, Japar & Zulela, 2018).
Hanya saja, pemerintah kemudian menerapkan lima karakter utama yaitu
religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Karakter religious
menggambarkan keberimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan
dalam prilaku melaksanakan perintah agama dan kepercayaan yang dianut.
Selanjutnya, sikap religious juga mampu menghargai perbedaan agama,
menjunjung tinggi sikap toleransi, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama
lainnya, bekerjasama dengan pemeluk agama lainnya, mencintai lingkungan, dan
melindungi yang kecil tersisih (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).
Nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa,
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompok (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).
Integritas adalah nilai yang mendasari perilaku yang dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. Memiliki komitmen dan kesetiaan pada
nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Tercermin dalam sikap tanggungjawab warga
negara, aktiv terlibat dalam kehidupan sosial, konsisten perkataan dan tindakan
berdasarkan kebenaran (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).
Karakter mandiri merupakan sikap dan prilaku yang tidak bergantung pada
orang lain dan menggunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan
harapan, mimpi dan cita-cita. Siswa yang mandiri memiliki etos kerja yang baik,
tangguh, berdaya juang, kreatif dan pembelajar (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2017).
Karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat
kerjasama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin
komunikasi dan persahabatan, membantu yang membutuhkan. Siswa
menampilkan karakter ini dengan tolong menolong, empati dan solidaritas sosial
dan sikap kerelawanan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).
Mewujudkan pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa penanaman
nilai, karena karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Karakter individu yang
dijiwai oleh sila-sila Pancasila, dikelompokkan dengan dua cara yaitu prinsip
empat olah (olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa) dan nilai-nilai
kewajiban terhadap Tuhan, terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa,
juga lingkungan. Ada 18 karakter bangsa yang menjadi target sekaligus indikator
keberhasilan pendidikan karakter bagi bangsa meliputi: 1) Religius, 2) Jujur, 3)
Toleransi, 4) Disiplin, 5) Kerja keras, 6) Kreatif, 7) Mandiri, 8) Demokratis, 9)
Rasa ingin tahu, 10) Semagat kebangsaan, 11) Cinta tanah air, 12) Menghargai
prestasi, 13) Bersahabat/Komunikatif, 14) Cinta damai, 15) Gemar membaca, 16)
Peduli lingkungan, 17) Peduli sosial dan 18) Tanggung jawab (Zaman, 2019).
Mahasiswa di perguruan tinggi misalnya, diberikan pembelajaran tentang
karakter mulai dari tentang orang lain sebagai sesama warga negara, konstitusi,
hak warga negara, kewajiban warga negara, wawasan nusantara, keberagaman dan
konflik sosial, integrasi-ketahanan dan identitas nasional, nasionalisme dan
berpartisipasi sebagai warga global (Tim Character Building Development Center
Universitas Bina Nusantara Jakarta, 2020).
Dalam tema agama, diajarkan tentang konsep agama secara umum,
mengenal Tuhan berdasarkan kitab suci, mengenal Tuhan melalui alam dan
sesama manusia, peran agama menciptakan perdamaian dunia, hati nurani, ritus-
ritus agama, kerendahan hati dan memaafkan, makna relijius dalam bekerja dan
menjadi pribadi yang relijius-spiritual (Tim Character Building Development
Center Universitas Bina Nusantara Jakarta, 2020).
Di Amerika Serikat, ada sebelas prinsip karakter yaitu: 1).
Mempromosikan nilai etika inti serta mendukung nilai kinerja sebagai landasan
karakter yang baik; 2). Mendefinisikan karakter sebagai berpikir, merasa dan
berprilaku; 3). Menggunakan pendekatan komprehensif, intesional dan proaktif;
4). Menciptakan komunitas sekolah yang peduli; 5). Memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan tindakan moral; 6). Mencakup pendidikan
bermakna dan mendorong kurikulum yang menghormati semua peserta didik,
mengembangkan karakter dan membantu berhasil; 7). Mengembangkan motivasi
siswa, juga melibatkan staf sekolah; 8). Memupuk kepemimpinan bersama dan
berorientasi jangka panjang; 9). Melibatkan keluarga dan anggota masyarakat
sebagai mitra; 10). Menilai karakter budaya sekolah, guru dan staf juga siswa
dalam mengimplementasikan karakter; 11). Menciptakan komunitas sekolah yang
peduli (Sokip et al., 2019).

Implementasinya Dalam Pendidikan


Ada empat tahapan dalam pengembangan karakter sebagai proses tiada
henti, yaitu; pertama, tahap pembentukan karakter pada usia dini. Kedua, tahap
pengembangan karakter pada usia remaja. Ketiga, tahap pemantapan karakter
pada usia dewasa. Keempat, tahap pembijaksanaan pada usia tua (Mustoip, Japar
& Zulela, 2018).
Dalam praktiknya, implementasi pendidikan karakter terlihat pada
kurikulum formal dan hidden curriculum. Kurikulum formal biasanya terprogram
dan tertulis. Sementara hidden curriculum juga terintegrasi dan tidak terpisahkan.
Hidden curriculum diakui efektif dalam menanamkan karakter kepada siswa
(Gunawan et al., 2018). raktiknya terlihat dalam penanaman nilai karakter tertib
yang diatur wali kelas di kelas perwaliannya masing-masing. Disiplin dilihat dari
mulai kehadiran sebelum jam belajar, selama proses pembelajaran, hingga pulang.
Kejujuran ditanamkan saat melakukan ujian. Ramah dan sopan santun dilakukan
sejak awal datang ke sekolah hingga ke kembali pulang. Karakter religius
dilakukan dengan pembiasaan berdoa dan ibadah sesuai agama dan keyakinan.
Sikap nasionalisme dibangun melalui kegiatan upacara bendera dan menyanyikan
lagu kebangsaan (Saihu & Marsiti, 2019)..
Berdasarkan sejumlah riset, implementasi pendidikan karakter di sekolah
terlihat dalam proses belajar mengajar, budaya sekolah, ekstrakurikuler dan
pelibatan masyarakat. Dalam proses belajar mengajar erat kaitannya dengan
kehadiran guru tepat waktu, berdoa sebelum pembelajaran, mengawasi kerapihan
dan kehadiran siswa, guru sebagai model kerapihan, salam sebelum apersepsi dan
kegiatan penutup, kesesuaian antara perencanaan dan tindakan dan kompetensi
profesional (Marini, 2018).
Pembentukan karakter budaya sekolah erat kaitannya dengan agama,
kejujuran, disiplin, bersih, sehat toleransi, etos kerja dan nasionalisme. Dalam
kegiatan ekstrakurikuler erat kaitanya dengan berdoa sebelum dan saat mengakhiri
kegiatan, menciptakan situasi yang menyenangkan dalam kegiatan, melibatkan
nilai-nilai karakter dan bekerjasama. Bersama masyarakat pengembangan
pendidikan karakter dimulai dari penentuan program sekolah pendidikan karakter
dan menjaga kebersihan (Marini, 2018).
Guru tentu saja harus memiliki kreativitas. Misalnya menggunakan
perangkat teknologi dan informasi. Pengembangan media video pembelajaran
berorientasi pendidikan karakter dapat menjadi salah satu pilih karena terbukti
efektif dalam menanamkan nilai-nilai (Wisada, Sudarma & Yuda, 2019).
Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi pertama,
membentuk dan mengembangkan potensi siswa agar berpikiran baik, berhati baik,
dan berperilaku sesuai dengan falsafah pancasila. Fungsi kedua untuk perbaikan
dan penguatan peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah
untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi
warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan
sejahtera. Fungsi ketiga, fungsi penyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilainilai budaya bangsa dan karakter bangsa yang bermartabat. Guru
dalam mengembangkan materi pembelajaran harus menganalisis materi
pembelajaran yang disesuaikan dengan masingmasing nilai karakter. Tujuannya
adalah antara materi pembelajaran dengan output yang di hasilkan sesuai dengan
kebutuhan di masyarakat (Santika, 2020).
Dalam pembelajaran daring guru hendaknya menggunakan prinsip strategi
multiple intelligences. Peserta didik secara aktif mengembangan kedelapan
potensi yang dimiliki disesuaikan dengan kompetensi dasar yang diajarkan dan
bagaimana aktualisasinya terutama jika ada kaitan dalam menghadapi Covid-19.
Pendidikan karakter melalui multiple intelligences berbasis portofolio dengan
diitegrasikan pada mata pelajaran merupakan suatu upaya dalam proses
pembelajaran untuk dapat mengembangkan life skill atau kecakapan peserta didik.
Guru harus memahami bagaimana teknik dan startegi dalam pendidikan karakter
pada pembelajaran daring yang merupakan pengejewanatahan belajar dari rumah.
Berusaha kreatif dalam menggali informasi dan karakteristik peserta didik dalam
menentukan model-model pembelajaran dengan hasil belajar yang diharapkan
pada pembelajaran daring (Santika, 2020).
Pendidikan karakter memiliki peranan penting dalam pembinaan moral
siswa yang berkaitan dengan konsep, sikap, dan prilaku moral. Ketiga aspek
tersebut harus dapat dikembangkan agar dapat mewujudkan siswa yang
berkarakter mulia. Konsep manajemen sekolah pendidikan karakter perlu
diinternalisasikan melalui pembelajaran, ekstrakurikuler, dan kegiatan
intrakurikuler. Pembentukan karakter melalui faktor lingkungan dapat dilakukan
melalui beberapa strategi, antara lain yaitu keteladanan, intervensi, pembiasaan
yang dilakukan secara konsisten dan penguatan. Pembentukan karakter
memerlukan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran,
pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara
berkelanjutan dan penguatan, serta harus diimbangi dengan nilai-nilai luhur.

Berdaya Saing
Berdaya saing atau dengan kata lain kompetitif dalam KBBI berhubungan
dengan kompetisi (persaingan); bersifat kompetisi (persaingan). Sesuai dengan
perkembangan jaman, daya saing SDM perlu ditingkatkan agar tetap eksis (Nagel,
2020).
Daya saing bangsa dapat dipahami sebagai kelangsungan, ketahanan
kesadaran kebangsaan, semangat untuk maju, paham kebangsaan yang kokoh dan
terbebas dari rasa rendah diri sebagai sebuah bangsa.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007
bahwa Daya Saing ialah kemampuan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik,
lebih cepat, atau lebih bermakna. Daya saing merupakan kemampuan dari
seseorang atau organisasi untuk menunjukkan hasil yang lebih baik atau unggul,
lebih cepat, dan lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya atau dengan yang
lainnya. Dengan demikian SDM yang berdaya saing tinggi adalah yang memiliki
kapasitas dan kapabilitas untuk menghasilkan keunggulan dalam bidang atau
aspek tertentu sehingga menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat, lebih
baru, dan lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya atau dengan yang lainnya
(Saragih, 2012).
Daya saing (competitiveness) yang diawali dengan konsep keunggulan
komparatif (comparative advantage) kini menjadi konsep yang menarik, namun
daya saing mempunyai interpretasi/tafsiran beragam seperti yang dikemukakan
Michael Porter. “There is no accepted definition of competitiveness. Whichever
definition of competitiveness is adopted, an even more serious problem has been
there is no generally accepted theory to explainit....“ (Porter, 1990).
“Competitiveness remains a concept that is not well understood, despite
widespread acceptance of its importance . . . “(Porter, 2003, 202).
Konsep daya saing dapat juga ditinjau pada tingkat perusahaan, industri
atau sekelompok industri dan Negara atau daerah (sebagai suatu entitas ekonomi).
Menurut Grant (1991) daya saing merupakan hasil atas pemahaman secara
menyeluruh dari aspek eksternal dan internal yang memberikan pengaruh kuat
terhadap perusahaan. Secara sederhana daya saing merupakan kemampuan
perusahaan untuk bersaing (Sunarsih, 2018).
Daya saing mengacu pada kapabilitas industri atau perusahan untuk
mempertahankan dan memperoleh pangsa pasar di dalam industrinya. Daya saing
berkaitan dengan efektifitas perusahaan, meliputi apakah perusahaan dapat
memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholder). Para pemangku
kepentingan meliputi para pemegang saham yang menginginkan tingkat
pengembalian investasi, para pelanggan mengharapkan produk dan jasa yang
berkualitas tinggi, para karyawan menginginkan pekerjaan yang menarik dan
kompensasi yang layak atas pelayanan yang mereka berikan. Begitupun dengan
masyarakat yang menginginkan perusahaan dapat berkontribusi terhadap
aktivitas-aktivitas dan proyek-proyek serta meminimalkan pencemaran
lingkungan (Noe, 2011). Membangun sumber daya manusia (SDM) yang
memiliki kualitas baik dan berdaya saing tinggi merupakan pekerjaan yang harus
dilakukan oleh perusahaan secara terorganisir dan terencana dengan
mempertimbangkan karakter, harkat, martabat, minat, bakat, dan latar belakang
yang berbeda-beda dari SDM tersebut (Sihite, 2018).
Tantangan baru dunia kerja di era revolusi industri 5.0 adalah integrasi
pemanfaatan internet dengan lini produksi yang memanfaatkan kecanggihan
teknologi dan informasi. Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak menguasai
literasi digital cepat atau lambat akan tersingkir. Dengan demikian, di era revolusi
5.0 sangat menuntut SDM yang memiliki daya saing yang tinggi.
Untuk menjawab tantangan era revolusi industri 5.0 tidak cukup hanya
dengan literasi manusia lama, yang hanya mendasarkan pada kemampuan
membaca, menulis dan menghitung. Untuk mendapatkan SDM yang kompetitif
dalam industri 5.0, kurikulum pendidikan harus dirancang agar lulusannya mampu
menguasi literasi baru, yaitu: (1) literasi data, (2) literasi teknologi, dan (3) literasi
manusia, humanities, komunikasi dan desain (Risnita & Sohiron, 2020).
Sumber daya manusia yang berkarakter akan memiliki daya saing.
Membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing tinggi merupakan
kebutuhan yang mutlak dan mendesak di era revolusi industri 5.0. Hal ini
disebabkan karena SDM merupakan salah satu sumber daya strategis yang
dimiliki organisasi, yang harus terus menerus dibina dan dikembangkan secara
berkesinambungan. Memiliki keunggulan dalam persaingan merupakan harapan
dari setiap perusahaan, dan hal ini tidak mudah mencapainya. Salah satu faktor
penting untuk menggapai tujuan tersebut adalah dengan mengoptimalkan
pengelolaan SDM. Melalui sebuah telaah literatur, penelitian ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan: Bagaimanakah peran kompetensi dalam mewujudkan SDM
yang berdaya saing tinggi di era revolusi industri 5.0?
Ada tiga strategi mewujudkan SDM yang berdaya saing tinggi yaitu
peningkatan kompetensi SDM, sistem pendidikan dan pelatihan, serta perubahan
budaya kerja SDM (Sihite, 2018).
Membangun SDM yang berdaya saing tinggi merupakan kebutuhan yang
mutlak, mendesak, dan urgent. Hal ini dikarenakan SDM merupakan salah satu
sumber daya strategis yang dimiliki organisasi yang harus terus menerus dibina
dan dikembangkan secara berkelanjutan. Ada delapan strategi cara membangun
SDM yang berdaya saing tinggi yaitu: 1) membangun sistem rekrutmen dan
seleksi, 2) menentukan sistem penempatan; 3) menentukan sistem penilaian
kinerja; 4) melakukan peningkatan kompetensi SDM; 5) menyusun sistem
pendidikan dan pelatihan; 6) melakukan perubahan budaya kerja; 7) menyusun
sistem penggajian, dan 8) melakukan pengembangan Sistem Informasi SDM.
Untuk mewujudkannya menjadi kenyataan sangat diperlukan usaha dan kerja
keras, serta komitmen yang cukup dari semua elemen dunia usaha, dunia
akademisi/perguruan tinggi, masyarakat, terutama pimpinan perusahaan dan
pemilik perusahaan/pemegang saham perusahaan. Dengan menggunakan strategi
yang kedelapan ini, maka peningkatan daya saing SDM dapat dicapai (Sihite,
2018).
Meningkatkan daya saing hanya mungkin dilakukan bilamana masyarakat
mampu merumuskan paradigma baru. Sejumlah langkah dapat dilakukan.
Pertama, harus mampu menafsirkan dengan tepat makna di balik istilah
globalisasi. Kedua, format politiknya harus menyesuaikan dengan kemampuan
mengadaptasi globalisasi tersebut. Ketiga, merumuskan peran baru yang mungkin
dilakukan. Keempat, menyusun langkah strategis membangun daya saing tersebut.
Tentu saja empat langkah ini menjadi salah satu opsi yang dapat dilakukan agar
bangsa ini dapat membangun daya saingnya dengan baik.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa tidak hanya soal sumber daya
manusia, bahasa pun menjadi salah satu faktor jatidiri dan daya saing bangsa.
Daya saing bangsa juga ditentukan oleh kemampuan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi. Namun itu semua dikemas oleh karakter manusia Indonesia yang
luhur sebagaimana kepribadian bangsa yang berdasarkan Pancasila. Dengan
demikian banyak faktor yang harus dipenuhi untuk membangun daya saing
bangsa di masa depan.
Penutup
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
memiliki peran penting dalam membangun daya saing bangsa. Karakter yang
dibangun meliputi sikap religius, nasionalis, integritas, mandiri dan gotong
royong. Pendidikan karakter dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam
meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia. Sumber daya manusia di
masa depan harus dapat diterima dan sanggup bersaing bersama tenaga kerja
global. Dengan pendidikan karakter, generasi emas 2045 dapat dipersiapkan dan
diyakini memiliki daya saing karena nilai universal dari karakter itu sendiri.
Daftar Pustaka

Abdusshomad, A. (2020). Pengaruh Covid-19 terhadap Penerapan Pendidikan


Karakter dan Pendidikan Islam. Qalamuna: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan
Agama, 12(2), 107–115. https://doi.org/10.37680/qalamuna.v12i2.407

Asbari, M, et al., (2020). Does Genetic Personality and Parenting Style Influence
Students’ Character Building? International Journal of Evaluation and
Research in Education, 9(4), 469–477.
https://doi.org/10.11591/ijere.v9i3.20566

Burgers, C., Brugman, B.C., & Boynaems, A (2019). Systematic Literature


Review: Four Applications for Interdisciplinary Research. Journal of
Pragmatics No. 145

Gunawan, I., et al (2018). Hidden Curriculum and its Relationship with the
Student Character Building. 3rd International Conference on Education
Management and Administration, 9–11. https://doi.org/10.2991/coema-
18.2018.3

Jahari, J. (2018). Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Untuk


Peningkatan Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing Global (A. Rusdiana
(ed.)). Yayasan Darul Hikam.

Komara, E. (2018). Penguatan Pendidikan Karakter dan Pembelajaran Abad 21.


SIPATAHOENAN: South-East Asian Journal for Youth, Sports & Health
Education, 4(1), 17–26.

Makmur, M. T., & Hadi, S. (2020). Strategi Pemulihan Perekonomian Terdampak


Covid-19 Melalui Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Manusia Unggul
Berbasis Industri 4.0. Majalah Media Perencana, 1(1), 117–126.
https://mediaperencana.perencanapembangunan.or.id/index.php/mmp/article/
view/7

Marini, A. (2018). Implementation of Character Building at Elementary Schools:


Cases of Indonesia. Proceeding International Conference on University and
Intellectual Culture 2018, 1(1), 60–71.

Marini, A., Maksum, A., Edwita, E., Satibi, O., & Kaban, S. (2019). School
Management on the basis of character building in teaching learning process.
4th Annual Applied Science and Engineering Conference, 1–6.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1402/2/022067

Mustoip, S., Japar, M., & MS, Z. (2018). Implementasi Pendidikan Karakter
(Lutfiah & Setyaningrum (eds.)). Jakad Publishing.

Nagel, P. J. F. (2020). Peningkatan SDM Indonesia yang Berdaya Saing melalui


Pendidikan di Era Transformasi Digital dan Teknologi yang Berkelanjutan.
Seminar Nasional Sains Dan Teknologi Terapan VIII, 31–38.
https://ejurnal.itats.ac.id/sntekpan/article/view/1212

Okiadhitama, I. R. (2019). Review: Upaya Indonesia dalam Berdaya Saing


Global.

Oktari, D. P., & Kosasih, A. (2019). Pendidikan Karakter Religius dan Mandiri di
Pesantren. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 28(1), 42–52.
https://doi.org/10.17509/jpis.v28i1.14985

Onwugbuzie, A.J & Rebecca Frels, R (2016). Methodology of The Literature


Review, book chapter in Seven Steps To A Comprehensive Literature
Review. London: SAGE Publications Ltd.

Pusparani, I. G. A. (n.d.). Upaya Indonesia Menggapai Sumber Daya Manusia


Berdaya Saing Global.

Putri, D. P. (2018). Pendidikan Karakter Pada Anak Sekolah Dasar Di Era Digital.
AR-RIAYAH: Jurnal Pendidikan Dasar, 2(1), 37–50.
https://doi.org/10.29240/jpd.v2i1.439

Risnita, & Sohiron. (2020). Strategi Perguruan Tinggi dalam Menciptakan


Sumber Daya Manusia yang Berdaya Saing di Era Revolusi 4.0. In A. H.
Ritonga, Risnita, K. A. Us, Jalaluddin, Sohiron, I. Idris, Y. Handoko,
Amiruddin, & T. Susanti (Eds.), Tantangan Manajemen Pendidikan Islam,
Hukum Islam, dan Bahasa Melayu di Era Revolusi 4.0 (pp. 95–104).
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Rosyad, A. M. (2019). Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Managemen
Sekolah. Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan, 5(02), 173–
190. https://doi.org/10.32678/tarbawi.v5i02.2074

Saihu, & Marsiti. (2019). Pendidikan Karakter dalam Upaya Menangkal


Radikalisme di SMA Negeri 3 Kota Depok, Jawa Barat. Andragogi: Jurnal
Pendidikan Islam, 1(1), 23–54. https://doi.org/10.36671/andragogi.v1i1.47

Santika, I. W. E. (2020). Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Daring.


Indonesian Values and Character Education Journal, 3(1), 8–19.
https://doi.org/10.23887/ivcej.v3i1.27830

Sihite, M. (2018). Strategi Membangun Sumber Daya Manusia Yang Berdaya


Saing Tinggi. Seminar Nasional Royal, 407–412.

Sihite, M. (2018). Peran Kompetensi dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia


yang Berdaya Saing Tinggi di Era Revolusi Industri 4.0: Suatu Tinjauan
Konseptual. Jurnal Ilmiah Methonomi, 4(2), 145–159.

Snyder, H (2019). Literature Review As A Research Methodology: An


Overview and Guidelines. Journal of Business Research, 104,

Sokip, et al., (2019). Character Building in Islamic Society: A Case Study of


Muslim Families in Tulungagung, East Java, Indonesia. Journal of Social
Studies Education Research, 10(2), 224–242.

Sunarsih, N. (2018). Manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi:


Strategi Meningkatkan Kemampuan Daya Saing Perusahaan. Jurnal Akrab
Juara, 3(1), 17–28. http://www.neraca.co.id/article/49579/optima

Suriadi, H. J., Firman, F., & Ahmad, R. (2021). Analisis Problema Pembelajaran
Daring Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik. Edukatif : Jurnal Ilmu
Pendidikan, 3(1), 165–173. https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i1.251

Velasufah, W., & Setiawan, A. R. (2020). Nilai Pesantren Sebagai Dasar


Pendidikan Karakter. https://doi.org/10.31237/osf.io/hq6kz

Wibowo, U. B., Marini, A., Safitri, D., & Wahyudi, A. (2020). Model of School
Management Based on Character Building in School Culture. International
Journal of Advanced Science and Technology, 29(6), 1161–1166.

Wisada, P. D., Sudarma, I. K., & Yuda S, A. I. W. I. (2019). Pengembangan


Media Video Pembelajaran Berorientasi Pendidikan Karakter. Journal of
Education Technology, 3(3), 140–146.
https://doi.org/10.23887/jet.v3i3.21735
Zaman, B. (2019). Urgensi Pendidikan Karakter Yang Sesuai Dengan Falsafah
Bangsa Indonesia. AL GHAZALI: Jurnal Kajian Pendidikan Islam Dan Studi
Islam, 2(1), 16–31.
https://www.ejournal.stainupwr.ac.id/index.php/al_ghzali/article/view/101

Website

Kompas.Com, Meningkatkan Daya Saing Bangsa Melalui Transformasi 4.0,


14/04/2021. Diakses pada hari Jumat, 21 Januari 2021 pukul 21.33 WIB

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Penguatan Pendidikan Karakter Jadi


Pintu Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional.
https://www.kemdikbud.go.id. Diakses pada hari Jumat, 21 Januari 2021,
pukul 22.13 WIB

Anda mungkin juga menyukai