Anda di halaman 1dari 14

OTONOMI PENDIDIKAN TINGGI : PENGEMBANGAN

AKUNTABILITAS PT (PERGURUAN TINGGI)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah

Otonomi Pendidikan

Dosen Pengampu :

Dr. Mukhibat Syaufa M. Pd.

Disusun Oleh Kelompok 9 :

Jundi Syaiful Fahmi 206210074

Mia Aulia Rahmawati Nurkumala 206210092

Sulaiman Abdul Rasid 206210157

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otonomi pendidikan tinggi mengandung pengertian bahwa lembaga
pendidikan tinggi harus memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan
serta merumuskan kebijakan yang menyangkut permasalahan baik
administrasi maupun bagian lainnya tanpa campur tangan dari pemerintah.
Dapat dimaknai bahwa otonomi pendidikan tinggi bersifat kodrati juga
merupakan hak asasi untuk perguruan tinggi. Tujuan utama dari
pendidikan tinggi sendiri adalah membentuk manusia yang demokratis.
Oleh karena itu otonomi pendidikan iki dirasa sangat diperlukan pada
perguruan tinggi mengingat perguruan tinggi harus terbebas pada
kepentingan politik, kekuasaan. Pendidikan tinggi harus memiliki
pengetahuan berdasarkan kebenaran yang mereka ketahui, bukan
pembenaran.
Dengan adanya otonomi pendidikan, lembaga pendidikan seperti
perguruan tinggi dapat mengatur dan mengelola kegiatan secara mandiri
yang ada di perguruan tersebut baik dalam bidang akademik maupun non-
akademik sehingga mutu pendidikan di perguruan tinggi tersebut dapat
meningkat serta bisa bersaing secara global. Selain hal tersebut, otonomi
pendidikan juga diperlukan bagi perguruan tinggi untuk membantu
pencapaian cita-cita pendidikan nasional.
Akuntabilitas yang dapat diartikan sebgai pertanggung jawaban
mengenai kinerja yang dilaksanakan berpengaruh erat terhadap kinerja
otonomi pendidikan yang berada pada perguruan tinggi. Dimana pdalam
menjalankan kewenangan dalam pendidikan diperlukan tanggung jawab
yang penuh untuk mencapai hasil yang dituju.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian otonomi dan pendidikan Tinggi ?
2. Bagaimana penyelenggaraan badan hukum pendidikan ?
3. Bagaimana perkembangan akuntabilitas perguruan tinggi?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian otonomi dan pendidikan tinggi
2. Untuk mengetahui penyelenggaraan badan hukum pendidikan
3. Untuk mengetahui perkembangan akuntabilitas perguruan tinggi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi dan Pendidikan Tinggi


Kata otonomi tidak lepas dari kebijakan pemerintah daerah, dimana
daerah tersebut diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola
kepentingan masyarakat di daerah tersebut, namun tetap sesuai dengan
peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan. Terdapat 11
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur
wilayahnya sendiri, salah satunya adalah kewenangan pendidikan dan
kebudayaan. Hal tersebut terdapat dalam undang-undang nomor 22 tahun
1999 tentang pemerintah daerah bab IV pasal 11. Dari pengertian otonomi
daerah tersebut dapat didefinisikan bahwa otonomi pendidikan dapat
diartikan sebagai bentuk kewenangan yang di berikan pemerintah kepada
suatu daerah untuk untuk melaksanakan, mengatur serta mengambil
keputusannya sendiri.1 Otonomi pendidikan juga dapat diartikan dengan
kemampuan untuk menentukan keinginan serta kebutuhannya sendiri
sesuai dengan keberadaan manusianya atau instansinya. Dengan demikian
pengertian otonomi pendidikan adalah kemampuan daerah untuk mengatur
dan mengelola pendidikannya sendiri sesuai keinginan dan
2
kemampuannya.
Sedangkan pengertian dari pendidikan tinggi menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 adalah pendidikan yang berada dijalur
sekolah yang jenjangnya lebih tinggi daripada pendidikan menengah.3
Dalam pasal 19 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan Diploma,

1
Hartono, Otonomi Pendidikan, Jurnal Potensia, Vol. 14, Edisi 1, 2015, hal 54-55.
2
Marsus Suti, Strategi Peningkatan Mutu Di Era Otonomi Pendidikan, Jurnal MEDTEK,
Vol. 3, No. 2, 2011, Hal 1-2
3
Indra Bastian, Akuntansi Pendidikan (Jakarta : Erlangga, 2006), hal 27.

3
Sarjana, Magister, Spesialis dan Doktor dimana pendidikan tersebut
diselenggarakan oleh perguruan tinggi.4
B. Badan Hukum Penyelenggara Otonomi Pendidikan
Penyelenggaraan otonomi pendidikan dilimpahkan oleh badan
hukum pendidikan kepada perguruan tinggi sebagai salah satu dari badan
hukum tersebut. Ini berarti wewenang penyelenggaraan otonomi
pendidikan tinggi merupakan wewenang yang diberikan kepada intusi atau
pejabat berdasarkan peraturan dan perundangan kerna

1. otonomi diberikan kepada perguruan tinggi berdasarkan pada UU


Sisdiknas dan UU Dikti;

2. perguruan tinggi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan wewenang


otonomi perguruan tinggi yang diberikan oleh Pemerintah;

3. perguruan tinggi melaksanakan wewenang yang diberikan oleh UU


sisdiknas dan peraturan pelaksanaannya sepanjang peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumpenyelenggaraan
otonomi perguruan tinggi tersebut tidak berubah/diganti, atau dengan
kata lain wewenang tersebut melekat kepada perguruan tinggi
sepanjang dasar hokum pemberian otonomi perguruan tinggi masih
berlaku.

Penyelenggaraan perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan


formal merupakan penyelenggaraan publik dan memungut dana
masyarakat wajib berbentuk badan hukum karena menyangkut
akuntabilitas dan liabilitas pengelola. Otonomi pendidikan merupakan
salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pendidikan pada
perguruan tinggi.Lembaga pendidikan yang menjalankan otonomi
pendidikan harus dikelola oleh suatu bentuk badan hukum sesuai
dengan bentuk badan hukum yang dikenal dalam peraturan perundang-
undangan, yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat.

4
Syahrizal Abbas, Manajemen Perguruan Tinggi (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2008), hal 88.

4
Ada beberapa alternatif berupa opsi-opsi bentuk badan hukum
sehingga masing-masing perguruan dapat memilih sesuai dengan
aspirasi, kematangan organisasi, dan memberikan kemudahan serta
kenyamanan. Opsi bentuk badan hukum yang dapat digunakan dalam
pengelolaan perguruan tinggi, dapat dilaksanakan:

(1) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang mengemban mandat


dan misi pemerintah; (2) Perguruan Tinggi Mandiri (PTM) yang
merupakan hasil transformasi Perguruan Tinggi Negeri yang ingin
berubah seperti BHMN (PTN BHMN); (3) Perguruan Tinggi
Masyarakat Non Profit (PTM Nonprofit) yang mewadahi eksistensi
perguruan tinggi swasta yang tetap wajib nonprofit, profesional dan
akuntabel; (4) Perguruan Tinggi Masyarakat Komersil (PTM Komersil)
yang membuka bagi masyarakat yang ingin membuat model-model for
profit universitas dimasa mendatang (Corporate University). Opsi
tersebut diberikan dalam rangka otonomi pendidikan dan membuka
peluang bagi badan hukum privat yang bersifat profit oriented. Bentuk
badan hukum PTM Komersil/corporate university belum pernah ada di
negeri ini.

Berdasarkan opsi badan hukum tersebut, penyelenggaraan


pendidikan tinggi oleh negara sebagai badan hukum publik dapat
berbentuk PTN maupun PTN BHMN.Penyelenggara pendidikan oleh
swasta kembali menggunakan badan hukum yang sudah ada yaitu
yayasan atau perkumpulan.Badan hukum yayasan dan perkumpulan ini
nantinya menjadi PTM Nonprofit. Opsi keempat sebaiknya tidak
diberikan karena akan dapat mengalihkan fungsi pendidikan sebagai
privat good. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan oleh
masyarakat dilakukan oleh badan hukum yang bersifat social oriented.
Apabila badan hukum pendidikan berbentuk yayasan, tunduk pada
peraturan perundang-undangan mengenai yayasan yaitu Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang

5
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan (UU Yayasan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan. Namun, apabila badan hukum
tersebut berbentuk perkumpulan maka tunduk pada Staatblad 1870
Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Badan Hukum,
sebagaimana diubah dengan Staatblad 1904 Nomor 272 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Badan Hukum, Pasal 1653 sampai dengan
Pasal 1665 KUH Perdata, dan peraturan perundang-undang yang
mengatur perkumpulan.

Badan hukum penyelenggara pendidikan berbentuk yayasan


akan mengalami permasalahan terkait dengan ketentuan UU Yayasan
yang mewajibkan yayasan untuk menyesuaikan anggaran dasarnya
dengan UU Yayasan dalam jangka waktu tiga tahun untuk yayasan
yang telah mendapat status badan hukum dan satu tahun bagi yayasan
yang belum memperoleh status badan hukum. Jangka waktu tersebut
berlaku sejak UU Yayasan diundangkan. Penyelenggara pendidikan
tinggi masih banyak yang belum menyesuaikan dengan UU Yayasan
sedangkan jangka waktu penyesuaian telah berakhir, oleh karena itu
yayasan penyelenggara pendidikan untuk memperoleh status badan
hukum dan untuk menjamin legalitas perbuatan hukumnya harus
memperbarui akta pendiriannya dan menyesuaikan anggaran dasarnya.

Perguruan tinggi swasta yang berbadan hukum yayasan sudah


melaksanakan otonomi perguruan tinggi dalam tata kelola perguruan
tinggi termasuk otonomi akademik.Otonomi pendidikan ini dilakukan
delegasi dalam rangka pemberian otonomi di bidang akademik,
kemahasiswaan dan sumber daya manusia. Pendelegasian otonomi
pendidikan pada badan hukum privat memberikan kewenangan otonomi
dari yayasan/perkumpulan sebagai badan hukum yang bidang usahanya
pendidikan kepada pihak rektorat selaku pelaksana kegiatan pendidikan
tinggi, yang antara lain meliputi:

1. persyaratan akademik mahasiswa;

6
2. pembukaan, perubahan dan penutupan program studi/fakultas;
3. kurikulum;
4. proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar serta syarat
kelulusan;
5. kegiatan intrakulikuler dan ekstrakulikuler;
6. organisasi kemahasiswaan;
Pengecualian dalam pendelegasian kepada rektorat adalah dalam
bidang kewenangan terhadap keuangan, dimana pengelolaannya tetap
dilakukan oleh pengurus yayasan misalnya dalam hal penerimaan dan
pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan tinggi dan bila akan dilakukan tindakan
kepemilikan.5
C. Perkembangan Akuntabilitas Perguruan Tinggi

Paradigma baru dalam Pendidikan Tinggi yang mencakup


akuntabilitas, kualitas, otonomi, evaluasi dini dan akreditasi pendidikan
tinggi yang berkenaan dengan kondisi yang dipersyaratkan masa depan,
menuntut aktualisasi keunggulan manusia secara optimal merupakan
persoalan yang dihadapi oleh lulusan pendidikan tinggi. Belum tampilnya
lulusan pendidikan tinggi yang memiliki “keunggulan khusus” merupakan
tantangan bersama. Lulusan pendidikan tinggi yang berkualitas, tentunya
dilahirkan oleh pembinaan dan pendidikan yang berkualitas pula.6

Dalam kaitan dengan pengembangan manusia ada 2 (dua)


pendekatan yang saling melengkapi, yaitu pengembangan sumber daya
manusia dan pengembangan kemampuan manusia. Pengembangan sumber
daya manusia atau Human Resource Development (HRD), terutama
terfokus pada keterampilan sikap dan kemampuan produktif ketenaga
kerjaan sehingga memperlakukan manusia sebagai “Sumber untuk
dimanfaatkan” (sebagai objek), dalam mencapai tujuan ekonomi, terutama

5
Carolina Magdalena Lasambouw, “ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG OTONOMI
PERGURUAN TINGGI DALAM BENTUK BADAN HUKUM PENDIDIKAN,” Sigma-Mu 5, no. 2
(2013): 37–54.
6
H. A. R. Tilaar, 2001. Manajemen Pendidikan Nasional. Penerbit PT Remaja Rosda
Karya, Bandung.Hal 13

7
dalam jangka waktu pendek. Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam,
melainkan “diatur” dari atas sesuai dengan kepentingan lingkungannya.
Sebaiknya, pendidikan ini teralihkan fokusnya kepada perkembangan dan
keterwujudan kemampuan manusia atau Human Capacity Development
(HCD) sepanjang hayat. Yang berhak dan mampu memiliki berbagai peran
dalam meraih berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota masyarakat,
orang tua, pekerja dan konsumen. Human Capacity Development (HCD)
menunjukkan kontelasi keterampilan, sikap dan perilaku dalam
melangsungkan hidup mencapai kemandirian, sekaligus memiliki daya
saing tinggi dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi dunia.7

Pendidikan Tinggi merupakan alat mencapai keterwujudan


“manusia unggulan” menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas, dan
otonom sebagai manusia yang bermartabat. Karenanya setiap pendidikan
mempersiapkan peserta didik untuk mengarungi masa depannya. Untuk itu
dalam merancang perubahan pendidikan, tidaklah tepat jika hanya
memikirkan generasi sekarang melainkan dua generasi yang akan datang.
Yang harus dilakukan bukan hanya memperbaiki kekurangan-kekurangan
dimasa lalu melainkan harus dapat mengantisipasi segala tantangan dan
masalah di masa depan. Untuk itu pendidikan harus mengantisipasi
dampak dan tuntutan globalisasi. Pendidikan tidak hanya sekedar
mendidik menjadi tenaga siap pakai di pasar kerja, melainkan lebih
daripada itu, yakni membantu peserta didik untuk menjadi “manusia
seutuhnya”. Dengan demikian perguruan tinggi dituntut untuk
meningkatkan kualitasnya demi memenuhi kebutuhan tantangan
jamannya.

Dalam upaya menjamin akuntabilitas pengelolaan perguruan


tinggi, Dirjen Dikti melalui SK No 184/u/2001 tanggal 23 November
2001, melakukan pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap
perguruan tinggi yang meliputi:

7
Conny. R. Semiawan, 1999. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia,
Penerbit Grasindo, Jakarta.Hal 14-15

8
1. Rencana Induk Pengembangan (RIP)
2. Rencana Strategis
3. Kurikulum
4. Tenaga kependidikan
5. Calon mahasiswa
6. Sarana dan prasarana
7. Penyelenggaraan pendidikan
8. Penyelenggaraan penelitian
9. Penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat
10. Kerjasama
11. Administrasi dan pendanaan progam
12. Pelaporan kegiatan proses belajar mengajar

Dari 12 (dua belas) item kegiatan pengawasan dan pengendalian


pengelolaan perguruan tinggi tersebut, merupakan komprehensif berbagai
komponen yang mendukung pelaksanaan perguruan tinggi berjalan baik.
Apabila suatu perguruan tinggi dapat membuat laporan sebagaimana yang
tercantum dalam SK ini, menurut penulis, merupakan cerminan perguruan
tinggi tersebut sudah dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, persyaratan ini, sebagian


besar PTS sangat sulit memenuhinya. Kebanyakan para PTS, khususnya di
daerah belum dapat memenuhi persyaratan dengan baik. Sering kita
jumpai suatu PTS dari fisik bangunannya saja tidak memadai, ditambah
lagi dengan minimnya tenaga pengajar (dosen) yang memenuhi
kualifikasi, baik dari segi pendidikan ataupun kewenangan mengajar
(jabatan fungsional). Kebanyakan PTS di daerah sangat tergantung pada
dukungan pemerintah daerah dan mahasiswanya. Pemasukan dana diluar
Pemda dan uang kuliah dari mahasiswa hampir dikatakan tidak ada.
Untuk, tidak heran, apabila dalam kegiatan perkuliahan sepi mahasiswa,
baru sibuk apabila menjelang ujian atau wisuda. SK Nomor 184/u/2001,
telah menghapus beberapa aturan yang merupakan pengendalian dari mutu
PTS, misalnya penghapusan Ujian Negara dan Akreditasi untuk program

9
sarjana. Walaupun ujian negara dan status akreditasi perguruan tinggi,
belum dapat secara objektif menjamin mutu kelulusannya, namun paling
tidak secara administratif dapat dipertanggungjawabkan. Dengan
keluarnya SK ini, nampaknya ada sebagian besar PTS yang menyambut
gembira dan sebagian lagi kebingungan. Hal ini, dapat dimengerti, bagi
PTS daerah yang kecil, tentunya akan sulit untuk dapat bersaing dengan
PTS yang besar. Dengan adanya ujian negara, minimal ada lembaga lain
yang menjamin mutu lulusannya, yakni Kopertis dan Perguruan Tinggi
Negeri pembina. Sehingga dengan demikian, lulusannya dijamin oleh
kedua Institusi tersebut. Dengan tidak adanya Ujian Negara, maka
ijasahnya hanya ditanda tangani oleh pimpinan PTS setempat, yang secara
psikologis belum dikenal oleh masyarakat luas. Dari segi lain, dengan
keluarnya SK ini, PTS khususnya di daerah untuk dapat segera mandiri
dan melengkapi berbagai fasilitasnya, sehingga layak dikatakan sebagai
suatu Perguruan Tinggi. Tanggung jawab pengelola PTS semakin besar,
karena dapat dikontrol lulusannya oleh masyarakat. Hal ini merupakan
tantangan bagi PTS untuk dapat bersaing menghasilkan lulusannya yang
dapat diterima oleh masyarakat dan pasar kerja. SK tersebut juga disertai
dengan sanksi administratif berupa penutupan perguruan tinggi.

Dari segi pengawasan mutu suatu perguruan tinggi, SK ini sangat


baik, sehingga diharapkan tidak menjamurnya pendirian PTS hanya karena
peminatnya ingin mendapatkan gelar akademik saja, dengan mengabaikan
mutu lulusannya. Hal ini akan berakibat pada masa yang akan datang,
jumlah PTS akan menurun dan kualitas meningkat. PTS yang tidak dapat
bersaing akan berguguran dan merger dengan PTS lain, sehingga pada
suatu saat kualitas PTS akan meningkat. Bagi PTS daerah yang belum
kuat, disarankan untuk bekerjasama dengan PTS yang lebih besar atau
dengan perguruan tinggi negeri pembinanya, sehingga hubungan
kemitraan tetap berjalan baik, dan PTS tersebut mutunya tetap terjamin.
Tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang, disetiap daerah
hanya ada satu perguruan tinggi, akan tetapi mutunya terjamin baik.

10
Akuntabilitas suatu perguruan tinggi merupakan hal yang sangat
penting untuk menjaga mutu lulusannya dengan masyarakat pemakainya.
Adanya “keunggulan” tertentu lulusannya, merupakan hal memberikan
nilai tambah bagi lulusannya dan citra perguruan tinggi yang
bersangkutan. Apalagi dalam pengembangan kurikulum sepenuhnya
diserahkan kepada perguruan tinggi yang bersangkutan sehingga masa
yang akan datang, kompetisi antara perguruan tinggi akan semakin ketat.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa pengertian
otonomi pendidikan adalah kemampuan daerah untuk mengatur,
mengelola serta mengurus pendidikannya sendiri sesuai dengan
keinginannya namun tetap mengacu pada peraturan undang-undang yang
telah ditetapkan. sedangkan pengertian dari pendidikan tinggi sendiri
adalah pendidikan yang berada pada jalur sekolah yang jenjangnya lebih
tinggi daripada pendidikan menengah.
Badan hukum pendidikan melimpahkan penyelenggara otonomi
pendidikan kepada perguruan tinggi sebagai salah satu dari badan hukum
tersebut. Terdapat dua bentuk badan hukum penyelenggara pendidikan
yaitu untuk negeri bisa berbentuk PTN ataupun PTN BHMN sedangkan
untuk swasta berbentuk yayasan ataupun perkumpulan.
Untuk menjamin akuntabilitas perguruan tinggi dapat dilakukan
upaya pengawasan, pengendalian, dan pembinaan terhadap perguruan
tinggi. Akuntabilitas bagi perguruan tinggi sangat penting hal tersebut
dikarenakan dengan adanya akuntabilitas dapat menjaga mutu lulusannya
dengan masyarakat pemakainya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Carolina Magdalena Lasambouw, “ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG


OTONOMI PERGURUAN TINGGI DALAM BENTUK BADAN HUKUM
PENDIDIKAN,” Sigma-Mu 5, no. 2 (2013)

Conny. R. Semiawan, 1999. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan


Manusia, Penerbit Grasindo, Jakarta.

H. A. R. Tilaar, 2001. Manajemen Pendidikan Nasional. Penerbit PT Remaja


Rosda Karya, Bandung.

Hartono, Otonomi Pendidikan, Jurnal Potensia, Vol. 14, Edisi 1, 2015

Indra Bastian, Akuntansi Pendidikan (Jakarta : Erlangga, 2006),

Marsus Suti, Strategi Peningkatan Mutu Di Era Otonomi Pendidikan, Jurnal


MEDTEK, Vol. 3, No. 2, 2011

Syahrizal Abbas, Manajemen Perguruan Tinggi (Jakarta : Kencana Prenada


Media Group, 2008)

13

Anda mungkin juga menyukai