Anda di halaman 1dari 76

1. Beri tanggapan anda terkait judul.

Menurut saya judul dalam proposal ini sudah baik, hanya saja agar lebih ringan
dimengerti judul bisa diganti dengan “Faktor-Faktor Kebutuhan Yang
Mempengaruhi Minat Menjadi Akuntan Publik Di Indonesia Dengan Pengalaman
Kerja, Gengsi Dan Peran Asosiasi Profesi sebagai Variabel Intervening”.

2. Apakah latar belakang sudah sesuai dengan judul?

Menurut saya judul sudah sesuai dengan latar belakang dalam proposal penelitian ini,
dimana dalam proposal penelitian ini dilatar belakangi oleh perkembangan sebuah profesi
yang ditentukan dari pilihan seseorang berdasarkan kebutuhan yang didasari atas cita-cita
dan keinginannya. Artinya motivasi yang timbul berdasarkan kebutuhan yang didasarkan
keinginan dan mimpi yang dimiliki oleh seseorang.

Dengan semakin menurunnya jumlah akuntan publik di Indonesia dan semakin


meningkatnya badan usaha yang membutuhkan jasa akuntan ini dapat dipastikan bahwa ini
adalah masalah yang cukup serius saat ini. Peneliti mencoba mencari faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi minat menjadi akuntan publik di Indonesia dengan menggunakan
hierarki kebutuhan yang kemukakan oleh Maslow sebagai varibel independent. Selain itu,
peneliti juga mencoab melihat apakah pengalaman kerja, gengsi (prestige), dan peran
asosiasi profesi dapat memediasi faktor-faktor hierarki kebutuhan Maslow dengan minat
menjadi akuntan publik di Indonesia. Diharapkan penelitian ini juga dapat menjawab
permasalahan yang terjadi terkait perkembangan akuntan publik di Indonesia saat ini.

3. Apa sebenarnya fenomena dari penelitian ini jika dilihat dari judul dan kerangka
penelitian?

Fenomena dari penelitian ini adalah menurunnya jumlah akuntan publik di Indonesia dan
semakin meningkatnya badan usaha yang membutuhkan jasa akuntan. Tingkat
perkembangan akuntan publik yang relatif rendah dalam 2 tahun terakhir bahkan relatif
turun pada tahun 2020. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan jumlah badan
usaha yang berkembang 8% setiap tahunnya. Jumlah akuntan publik yang relatif kecil dan
tidak seimbang dengan jumlah perusahaan akan berimbas kepada semakin tingginya beban
kerja akuntan publik. Kahneman dalam Warr (2002) menjelaskan bahwa salah satu
penyebab menurunnya performa dari beban kerja adalah keharusan untuk mengambil dua
atau lebih tugas-tugas yang harus dikerjakan secara bersamaan. Semakin banyaknya
permintaan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut maka semakin berkurang performa
dalam bekerja. Contoh nyata yang terlihat saat ini adalah perbandingan jumlah petugas
pajak dengan wajib pajak yang harus diperiksa, hal ini berdampak pada tidak pernah
tercapainya penerimaan pajak negara setiap tahunnya.

Secara umum perkembangan akuntan dibeberapa negara terlihat sangat baik dan pesat, hal
ini dapat dilihat dari banyaknya angkatan kerja akuntan yang dapat dihasilkan setiap
tahunnya, sehingga dapat menutupi jumlah perkembangan badan usaha dan permintaan
akan jasa akuntan. Namun hal ini tidak sejalan dengan Indonesia, dimana tenaga akuntan
publik ini sangat langka didapat. Masalah ini tentu belum termasuk jika nanti pada tahun
2021 akan disahkannya rancangan undang-undang pelaporan keuangan, yang mana secara
kuantitas ini akan menjadi masalah bagi profesi akuntan publik.

4. Apakah rumusan masalah sudah sesuai dengan judul dan latar belakang?

Menurut saya rumusan masalah sudah selesai dengan judul dan latar belakang dalam
penelitian ini. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi minat menjadi akuntan publik di Indonesia dengan menggunakan
hierarki kebutuhan yang kemukakan oleh Maslow sebagai varibel independent. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan melihat apakah pengalaman kerja, gengsi (prestige), dan peran
asosiasi profesi dapat memediasi faktor-faktor hierarki kebutuhan Maslow dengan minat
menjadi akuntan publik di Indonesia.

5. Apakah ada kesesuaian antara judul, latar belakang, rumusan masalah, kerangka
penelitian dan hipotesis?

Menurut saya sudah sesuai antara judul, latar belakang, rumusan masalah, kerangka
penelitian, dan hipotsis.
6. Apakah landasan teori dan telaah literatur sudah cukup untuk mengembangkan
hipotesis, penyusunan defenisi operasional dan dimensi/pengukuran variabel?

Menurut saya sudah cukup.

7. Perhatikan kerangka penelitian, beri tanggapan anda terhadap kerangka tersebut.

Menurut saya kerangka penelitian dalam proposal ini sudah bagus dan sudah
menggambarkan penelitian yang akan digunakan. Dimana dalam penelitian ini penulis
ingin melihat factor-faktor yang mempengaruhi minat seseorang menjadi AKP di
Indonesia. Disini peneliti mengambil teori kebutuhan mashlow sebagai landasan dari
motivasi atau kebutuhan yang dibutuhkan oleh seseorang dalam minatnya menjadi
seorang AKP di Indonesia.

8. Perbaiki proposal ini menjadi lebih baik


DIBAWAH …
FAKTOR-FAKTOR KEBUTUHAN YANG MEMPENGARUHI MINAT MENJADI
AKUNTAN PUBLIK DI INDONESIA DENGAN PENGALAMAN KERJA, GENGSI
DAN PERAN ASOSIASI PROFESI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahman dan karunia Nya yang memberikan
kesehatan, perlindungan dan kemudahan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
Proposal Penelitian yang berjudul “ Faktor-Faktor yang mempengaruhi Minat Menjadi Akuntan
Publik di Indonesia dengan Pengalaman Kerja, Gengsi, dan Peran Asosiasi Profesi sebagai
Variabel Intervening”

Saya menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan
tugas ini.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
menyelesaikan tugas rangkuman ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Medan, November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

FAKTOR-FAKTOR KEBUTUHAN YANG MEMPENGARUHI MINAT MENJADI AKUNTAN


PUBLIK DI INDONESIA DENGAN PENGALAMAN KERJA, GENGSIDAN PERAN ASOSIASI
PROFESI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING .......................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................ v
BAB I ................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ................................................................................................... 1
Tabel 1.1 Perkembangan CPA Indonesia ........................................................................................... 2
Tabel 1.2 Rasio Akuntan di ASEAN .................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................... 11
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................................... 11
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................................. 12
1.5 Kontribusi Penelitian............................................................................................................ 13
1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ................................................................................ 14
1.7 Novelty Penelitian................................................................................................................ 15
BAB II ............................................................................................................................................ 16
2.1 Landasan Teori .................................................................................................................... 16
2.1.4 Aktualisasi Diri ................................................................................................................ 26
2.1.5 Penghargaan..................................................................................................................... 30
2.1.6 Dukungan Sosial/Kebutuhan Sosial .................................................................................. 32
2.1.7 Rasa Aman....................................................................................................................... 33
2.1.8 Fisiologis ......................................................................................................................... 34
2.1.9 Pengalaman Kerja ............................................................................................................ 35
2.1.11 Peran Asosiasi Akuntan Publik......................................................................................... 39
2.1.12 Minat Menjadi Akuntan Publik ........................................................................................ 40
2.2 Telaah Literatur ................................................................................................................... 42
2.2.2 Hierarki kebutuhan terhadap Pengalaman Kerja ............................................................... 43
2.2.3 Hierarki kebutuhan terhadap Gengsi (Prestige) ................................................................ 44
2.2.4 Hierarki kebutuhan terhadap Peran Asosiasi Profesi ......................................................... 45
2.2.5 Pengalaman Kerja terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik ............................................. 46
2.2.6 Gengsi (Prestige) terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik .............................................. 47
ii
2.2.7 Peran Asosiasi Profesi terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik ...................................... 48
BAB III ........................................................................................................................................... 50
3.1 Kerangka Penelitian ............................................................................................................. 50
3.2 Hipotesis Penelitian ............................................................................................................. 51
: “ Hierarki kebutuhan berpengaruh terhadap Minat menjadi akuntan publik di Indonesia dengan di
mediasi oleh Peran Asosiasi Akuntan Publik “. ................................................................................ 55
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................................................... 56
4.2 Defenisi Operasional Variabel .............................................................................................. 56
4.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .............................................................. 59
4.4 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 60
Teknik Pengumpulan Data............................................................................................................... 60
4.4 Teknik Analisa Data............................................................................................................. 61
Tabel 4 2 Persamaan Model Pengukuran Variabel............................................................................ 64
4.5.3 Pengujian Hipotesis ............................................................................................................. 67

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perkembangan CPA di Indonesia ……………………………………………………………. 2


Tabel 1.2 Rasio Akuntan di ASEAN …………………………………………………………………… 3

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hierarki Kebutuhan Maslows …………………………………………………………… 21

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual …………………………………………………………………… 51

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Akuntan publik atau yang kita sebut dengan auditor adalah sebuah profesi

seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam melakukan tugas audit atas

laporan keuangan pada kegiatan suatu perusahaan, organisasi, lembaga, atau

instansi. Menurut undang-undang nomor 5 Tahun 2011 tanggal 31 Mei 2011

tentang akuntan publik dijelaskan bahwa akuntan publik adalah seseorang yang

telah memperoleh izin untuk memberikan jasa assurance dan non assurance

sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Akuntan publik pada tahun 2015 mengalami perkembangan seiring

dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan No. 25/PMK.01/2014 tentang

Akuntan Beregister Negara yang mulai berlaku 1 Januari 2015. Pada peraturan

tersebut, profesi jasa keuangan yang dahulu hanya dipegang oleh akuntan public

saja, namun saat ini dibantu dengan peranan akuntan beregister. Terakhir

peraturan ini direvisi menjadi Peraturan Menteri Keuangan 216/PMK.01/2017

tentang Akuntan Beregister yang berlaku sejak 29 Desember 2017. Namun antara

akuntan publik dan akuntan beregister ini memiliki satu perbedaan dalam

pemberian jasanya, dimana pada akuntan beregister ini hanya dapat memberikan

jasa non assurance tidak seperti halnya akuntan publik tadi. Penelitian ini akan

menitikberatkan pada akuntan publik saja, tidak kepada akuntan beregister,

mengingat jasa akuntan yang diberikan tidak menyeluruh dari jasa akuntansi yang

ada.

1
Akuntan publik merupakan salah satu profesi jasa keuangan yang saat ini

sangat dibutuhkan oleh publik. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah

organisasi maupun badan usaha yang berkembang di Indonesia. Menurut data

dari Badan Pusat Statistik Nasional pada tahun bulan oktober tahun 2020

sedikitnya terdapat kurang lebih 27 juta badan usaha dan organisasi yang ada di

Indonesia dengan tingkat perkembangan sebesar 8,2% per tahunnya. Dari angka

tadi terdapat kurang lebih 80% sampai dengan 87% badan usaha yang bersifat

mikro dan kecil. Terdapat sekitar 13% badan usaha bersifat menengah dan besar,

dan yang menjadi pasar dari akuntan publik ini secara langsung adalah 13%

(Tarkosunaryo, 2020).

Berbicara perkembangan akuntan publik saat ini ada baiknya jika dilihat

perkembangannya selama 4 tahun terakhir, berikut adalah tabel perkembangan

akuntan publik sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2020.

Tabel 1.1 Perkembangan CPA Indonesia

Tahun CPA Akuntan Publik CPA Non Akuntan Publik

2017 1.215 Orang 0,00% 1.982 Orang 0.00%

2018 1.410 Orang 21.66% 2.068 Orang 4.34%

2019 1.416 Orang 0.43% 3.465 Orang 67,55%

2020 1.414 Orang -0.14% 3.446 Orang -0.55%

Sumber : Institut Akuntan Publik Indonesia (2020)

Berdasarkan Tabel 1.1 digambarkan tingkat perkembangan akuntan

publik yang relatif rendah dalam 2 tahun terakhir bahkan relatif turun pada

2
tahun 2020. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan jumlah badan

usaha yang berkembang 8% setiap tahunnya. Jumlah akuntan publik yang relatif

kecil dan tidak seimbang dengan jumlah perusahaan akan berimbas kepada

semakin tingginya beban kerja akuntan publik. Kahneman dalam Warr (2002)

menjelaskan bahwa salah satu penyebab menurunnya performa dari beban kerja

adalah keharusan untuk mengambil dua atau lebih tugas-tugas yang harus

dikerjakan secara bersamaan. Semakin banyaknya permintaan untuk

melaksanakan tugas-tugas tersebut maka semakin berkurang performa dalam

bekerja. Contoh nyata yang terlihat saat ini adalah perbandingan jumlah petugas

pajak dengan wajib pajak yang harus diperiksa, hal ini berdampak pada tidak

pernah tercapainya penerimaan pajak negara setiap tahunnya.

Tabel 1.2 mengambarkan rasio akuntan publik dengan jumlah wajib

pajak pada negara-negara di ASEAN, Indonesia berada pada peringkat keempat

sebagai negara yang memiliki rasio akuntan tertinggi, dan Singapura negara

pertama yang memiliki rasio tenaga akuntan tertinggi. Berikut ini adalah data

terkait rasio tersebut pada tahun 2019.

Tabel 1.2 Rasio Akuntan di ASEAN

No Negara Jumlah Akuntan Jumlah Penduduk Rasio

1 Kamboja 155 Orang 15,2 Juta Jiwa 1 : 98.064

2 Myanmar 595 Orang 55,1 Juta Jiwa 1 : 92.605

3 Laos 176 Orang 6,6 Juta Jiwa 1 : 37.500

4 Indonesia 17.920 Orang 251,1 Juta Jiwa 1 : 14.012

5 Vietnam 8.000 Orang 92,4 Juta Jiwa 1 : 11.550

3
6 Brunei Darussalam 49 Orang 0,4 Juta Jiwa 1 : 8.163

7 Filipina 22.072 Orang 105,7 Juta Jiwa 1 : 4.788

8 Thailand 64.635 Orang 67,4 Juta Jiwa 1 : 1.042

9 Malaysia 30.994 Orang 29,6 Juta Jiwa 1 : 955

10 Singapura 28.869 Orang 5,4 Juta Jiwa 1 : 187

Sumber : Ikatan Akuntan Indonesia (2019)

Merujuk dari Tabel 1.2, maka jika Indonesia ingin setara dengan negara

Malaysia saja, maka setidaknya kita harus memiliki akuntan sebanyak 251.100

orang. Atau dengan kata lain, kita harus mencetak setidaknya 234.000 an tenaga

akuntan. Tahun 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan Indonesia

membutuhkan kurang lebih 500 ribu akuntan untuk ditempatkan di seluruh satuan

kerjanya di Indonesia, sedangkan pada tahun 2019 sedikitnya terdapat kurang

lebih 2 juta organisasi di Indonesia yang memerlukan jasa akuntan. Namun

menurut data dari Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP)

Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada tahun 2019 awal mencatat

angkatan kerja akuntan yang tersedia kurang lebih sekitar 16.000 orang setiap

tahunnya. Artinya Indonesia masih sangat kekurangan tenaga akuntan

professional dalam beberapa tahun ke depan.

Jika ini tidak ditindaklanjuti, maka bukan hal yang mustahil jika pada

tahun 2024 ketika MEA sudah diberlakukan secara penuh, Indonesia tidak hanya

import barang-barang, namun kita juga akan impor tenaga akuntan asing. Hal ini

dapat dibayangkan bagaimana jika kondisi keuangan detail masyarakat Indonesia

di ketahui oleh pihak asing, bukan hal yang mustahil nantinya

4
penduduk lokal akan menjadi penonton di negeri sendiri, dan pihak-pihak asing

akan menjadi pengelola keuangannya.

Secara umum perkembangan akuntan dibeberapa negara terlihat sangat

baik dan pesat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya angkatan kerja akuntan yang

dapat dihasilkan setiap tahunnya, sehingga dapat menutupi jumlah perkembangan

badan usaha dan permintaan akan jasa akuntan. Namun hal ini tidak sejalan

dengan Indonesia, dimana tenaga akuntan publik ini sangat langka didapat.

Masalah ini tentu belum termasuk jika nanti pada tahun 2021 akan disahkannya

rancangan undang-undang pelaporan keuangan, yang mana secara kuantitas ini

akan menjadi masalah bagi profesi akuntan publik.

Jones (2016) mengemukakan bahwa kepastian karir, lingkungan sosial

dan pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap keputusan dan keberhasilan

seseorang menjadi seprang professional seperti halnya akuntan publik. Blamo

(2016) menyatakan bahwa peran pendamping seperti organisasi profesi sangat

mempengaruhi seseorang untuk memutuskan dan berhasil menjadi akuntan pada

orang-orang Afrika di Amerika. Thompson (2016) mengemukakan bahwa

lingkungan sosial, dukungan sosial, dan penghargaan berpengaruh positif

terhadap keputusan menjadi akuntan, sedangkan kemampuan matematika

(akademik) dan gengsi (prestige) berpengaruh negatif. Stowe (2016) mengatakan

bahwa usia, profesionalisme dan beban kerja berpengaruh positif dan usia dan

jenis kelamin berpengaruh negatif pada keputusan seseorang menjadi akuntan

publik. Zhao dan Lord (2016) mengatakan bahwa kepastian karir, pencapaian

karir dan gender berpengaruh positif terhadap keputusan memilih karir menjadi

akuntan di Amerika.

5
Bennerson (2017) dengan penelitian yang dilakukan secara kualitatif

mengemukakan bahwa kurikulum dan komunikasi antar akademisi dengan

praktisi berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang dalam menjadi akuntan

publik. Penelitian yang dilakukan oleh Day (2017) menyatakan bahwa pemilihan

karir sebagai akuntan dipengaruhi oleh keterampilan dan kompetensi. Vlacich

(2017) menyatakan hal yang sama yakni pencapaian akademik dan pengalaman

kerja memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pemilihan sebagai

akuntan publik. Brown (2017) mengemukakan hal yang sama dengan Vlacich

dimana pencapaian akademik dan sertifikasi CPA mempengaruhi seseorang

dalam memilih karir sebagai akuntan publik, namun gender tidak

mempengaruhinya. Lucas (2017) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa

penghargaan finansial, rasa aman dimasa yang akan datang dan pengalaman kerja

berpengaruh terhadap pemilihan karir sebagai akuntan public. Terakhir Haddad

(2017) mengemukakan bahwa beban kerja dan pembagian kerja tidak

berpengaruh signifikan terhadap pemilihan karir sebagai akuntan. Richins et.al.,

(2017) menyatakan bahwa tantangan profesi akuntan kedepan adalah

pengetahuan, keterampilan dan analisis teknologi informasi serta penggunaan dan

pengolahan big data.

Bates (2018) mengatakan bahwa menjadi akuntan publik harus didukung

oleh kesiapan karir, dukungan sosial, aktualisasi diri dan pengalaman kerja

menjadi faktor yang berpengaruh signifikan. Dalam hal keberhasilan memperoleh

gelar CPA, Faidley (2018) mengemukakan bahwa sistem pelatihan yang

dilakukan secara offline lebih banyak menghasilkan lulusan dari pada sistem

pembelajaran secara online. Sandifer (2018) mengatakan hal yang sama

6
bahwa kemampuan dasar, teknis dan keterampilan kerja dipengaruhi oleh

pengalaman kerja dan berhubungan ke minat untuk menjadi akuntan public di

Missisippi. Wen (2018) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa pengalaman,

kompensasi dan kepastian karir berhubungan positif terhadap kemauan dan

kelulusan seseorang dalam menjadi CPA.

Penelitian yang dilakukan pada minat menjadi akuntan publik tahun 2019

telah dilakukan oleh Schaefer (2019) menyatakan bahwa perputaran staff akuntan

publik berpengaruh positif terhadap kemauan seseorang untuk menjadi akuntan

publik, namun beberapa hal menjadi catatannya dimana akuntan publik kedepan

harus lebih menguasai teknologi informasi, regulasi dan pendampingan yang baik

dari asosiasi akuntan publik. Remo (2019) mengemukakan hasil penelitiannya

bahwa untuk mendukung minat menjadi akuntan publik harus dipengaruhi oleh

kepercayaan publik dalam bentuk dukungan sosial, penghargaan finansial,

kompetensi dan sikap akuntan publik itu sendiri yang diatur dalam kode etik

akuntan publik. Terakhir Seidel (2019) menguatkan penelitian sebelumnya yang

menyatakan bahwa transisi staff dan pengalaman kerja sangat berpengaruh positif

terhadap pengembangan minat menjadi akuntan publik.

Richardson (2020) mengatakan bahwa modal intelektual, keterampilan

dan kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap minat menjadi akuntan

publik. Chaparro (2020) menyatakan bahwa magang atau pun pengalaman ,

pencapaian akademik dan pasar kerja akan akuntan publik berpengaruh positif

terhadap minat menjadi akuntan publik. Holley (2020) menyatakan bahwa

pengetahuan dasar, wawasan bermasyarakat dan kesejahteraan berpengaruh

7
positif terhadap minat menjadi akuntan publik. Phillips menyatakan bahwa

penghargaan finansial dan kepastian karir dimasa akan datang menjadi faktor

utama yang membuat seseorang memilih karir sebagai akuntan publik di Atlanta.

Terakhir Tomo dan Gennaro mengemukakan bahwa kepribadian yang proaktif,

orientasi tujuan dan gengsi (prestige) menjadi faktor mengapa seseorang memilih

dan lulus dalam berkarir sebagai akuntan publik.

Berdasarkan penelaahan diatas sekurang-kurangnya terdapat 27 faktor

yang mempengaruhi minat seseorang untuk menjadi seorang professional pada

bidangnya. Namun jika dipelajari lebih lanjut, maka kesemua faktor ini berasal

dari satu faktor utama yakni faktor motivasi. Peneliti dalam hal ini mencoba

menghubungkan faktor-faktor motivasi yang dikembangkan oleh Abraham

Maslow dalam teori hirarki kebutuhan kepada minat menjadi akuntan publik

dengan pengalaman kerja, gengsi (prestige) dan peran asosiasi sebagai variable

intervening.

Dalam teori motivasi, hierarki kebutuhan yang ditemukan oleh Abraham

maslow terdapat 5 hierarki kebutuhan yang berbentuk piramida dari kebutuhan

paling dasar sampai dengan kebutuhan paling tinggi. Adapun 5 hierarki

kebutuhan tersebut adalah sebagai :

1. Kebutuhan Aktualisasi Diri

2. Kebutuhan Penghargaan

3. Kebutuhan Dukungan Sosial

4. Kebutuhan Rasa Aman

5. Kebutuhan Fisiologis (Dasar)

8
Dengan menggembangkan teori ini kedalam 5 hierarki kebutuhan tadi,

maka dapat dirincikan sebagai berikut :

1. Kebutuhan Aktualisasi Diri

a. Kebutuhan akan karir.

b. Kebutuhan akan kualifikasi diri.

c. Kebutuhan akan pemahaman akuntansi, hukum dan teknologi.

d. Kebutuhan akan personalitas.

2. Kebutuhan akan Penghargaan

a. Kebutuhan akan Kompetensi.

b. Kebutuhan akan norma kerja/kode etik.

c. Kebutuhan akan kepercayaan publik.

d. Kebutuhan akan pengakuan professional.

3. Kebutuhan akan Memiliki & Kasih Sayang

a. Kebutuhan akan dukungan keluarga dekat.

b. Kebutuhan akan dukungan orang tua.

c. Kebutuhan akan dukungan teman sejawat.

4. Kebutuhan akan Keamanan

a. Kebutuhan akan asosiasi professional.

b. Kebutuhan akan penghargaan finansial.

5. Kebutuhan Fisiologi

a. Kebutuhan akan pendidikan formal.

b. Kebutuhan akan pencapaian akademik.

c. Kebutuhan akan pelatihan professional berkelanjutan.

d. Kebutuhan akan kejujuran.

9
e. Kebutuhan akan pertimbangan pasar kerja.

f. Kebutuhan akan lingkungan kerja

Faktor-faktor yang telah dijabarkan diatas merupakan pengembangan

atas hierarki kebutuhan yang temukan oleh Abraham Maslow dengan melihat 27

faktor yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Alasan mengapa peneliti

menggunakan faktor ini adalah karena perkembangan sebuah profesi ditentukan

dari pilihan seseorang berdasarkan kebutuhan yang didasari atas cita-cita dan

keinginannya. Artinya motivasi yang timbul berdasarkan kebutuhan yang

didasarkan keinginan dan mimpi yang dimiliki oleh seseorang.

Pengalaman kerja, gengsi (prestige) dan peran asosiasi profesi dijadikan

variabel intervening atau pemediasi antara hierarki kebutuhan dengan minat untuk

menjadi akuntan publik di Indonesia. Adapun objek penelitian disini adalah staff

akuntan publik ataupun CPA non akuntan publik. Perlu diketahui sebelumnya

bahwa proses seseorang menjadi akuntan publik setelah menyelesaikan pendidikan

formal sarjana akuntansi akan melewati 3 level, dan level ketiga ini adalah akuntan

publik atau pun orang yang dapat memberikan jasa akuntan dan kita kenal dengan

sebutan CPA (Certified Public Accountant). Pada level 1 atau level dasar kita

mengenal dengan istilah akuntan level dasar dengan sebutan CA (Certified

Accountant). Sedangkan pada level 2 atau level profesional kita sebut dengan

istilah CPA (Certified Profesional Accountant). Level inilah yang kita kenal

dengan CPA non Akuntan Publik. CPA non Akuntan Publik ini adalah akuntan

publik yang sudah pada level staff professional, sehingga secara teknik akuntan

pada level ini belum dapat secara mandiri memberikan jasa assurance dan jasa

non assurance-nya. Berdasarkan

10
data yang diperoleh dari Directory 2020 yang dikeluarkan oleh Institut Akuntan

Publik Indonesia bahwa pada awal tahun 2020 terdapat 3.446 orang CPA non AP.

CPA non AP menurut peneliti adalah populasi yang tepat pada penelitian ini

dengan pertimbangan akuntan pada level ini professional secara teknik dan

prosesnya untuk menjadi akuntan publik sudah lebih dekat dari pada akuntan

publik level dasar.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan semakin menurunnya jumlah akuntan publik di Indonesia dan

semakin meningkatnya badan usaha yang membutuhkan jasa akuntan ini dapat

dipastikan bahwa ini adalah masalah yang cukup serius saat ini. Peneliti mencoba

mencari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi minat menjadi akuntan publik

di Indonesia dengan menggunakan hierarki kebutuhan yang kemukakan oleh

Maslow sebagai varibel independent. Selain itu, peneliti juga mencoab melihat

apakah pengalaman kerja, gengsi (prestige), dan peran asosiasi profesi dapat

memediasi faktor-faktor hierarki kebutuhan Maslow dengan minat menjadi

akuntan publik di Indonesia. Diharapkan penelitian ini juga dapat menjawab

permasalahan yang terjadi terkait perkembangan akuntan publik di Indonesia saat

ini.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pada penelitian ini, berdasarkan latar belakang penelitian dan

rumusan masalah yang ada, maka pertanyaan pada penelitian ini antara lain :

11
a. Faktor-faktor apakah pada hierarki kebutuhan yang berhubungan dengan

pengalaman kerja ?

b. Faktor-faktor apakah pada hierarki kebutuhan yang berhubungan dengan

gengsi (prestige) ?

c. Faktor-faktor apakah pada hierarki kebutuhan yang berhubungan dengan

peran asosiasi akuntan publik di Indonesia ?

d. Apakah faktor-faktor hierarki kebutuhan berhubungan dengan minat menjadi

akuntan publik di Indonesia ?

e. Apakah faktor-faktor hierarki kebutuhan berhubungan dengan minat menjadi

akuntan publik di Indonesia melalui pengalaman kerja sebagai variabel

intervening ?

f. Apakah faktor-faktor hierarki kebutuhan berhubungan dengan minat menjadi

akuntan publik di Indonesia dengan gengsi (prestige) sebagai variabel

intervening ?

g. Apakah faktor-faktor hierarki kebutuhan berhubungan dengan minat menjadi

akuntan publik di Indonesia dengan peran asosiasi akuntan publik sebagai

variabel intervening ?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh negatif atau

faktor ancaman akan profesi akuntan ke depan dilihat dari hierarki kebutuhan

Maslow dengan pengalaman kerja menjadi variabel penguat dan pelemah pada

CPA non akuntan publik di Indonesia. Sehingga secara detail yang menjadi tujuan

penelitian adalah sebagai berikut :

12
a. Untuk menguji dan menemukan faktor-faktor apakah pada hierarki

kebutuhan yang berhubungan dengan pengalaman kerja.

b. Untuk menguji dan menemukan faktor-faktor apakah pada hierarki

kebutuhan yang berhubungan dengan gengsi (prestige).

c. Untuk menguji dan menemukan faktor-faktor apakah pada hierarki

kebutuhan yang berhubungan dengan peran asosiasi akuntan publik di

Indonesia.

d. Untuk menguji dan menemukan faktor-faktor hierarki kebutuhan

berhubungan dengan minat menjadi akuntan publik di Indonesia.

e. Untuk menguji dan menemukan faktor-faktor hierarki kebutuhan

berhubungan dengan minat menjadi akuntan publik di Indonesia melalui

pengalaman kerja sebagai variabel intervening.

f. Untuk menguji dan menemukan faktor-faktor hierarki kebutuhan

berhubungan dengan minat menjadi akuntan publik di Indonesia dengan

gengsi (prestige) sebagai variabel intervening.

g. Untuk menguji dan menemukan faktor-faktor hierarki kebutuhan

berhubungan dengan minat menjadi akuntan publik di Indonesia dengan

peran asosiasi akuntan publik sebagai variabel intervening.

1.5 Kontribusi Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, dapat dijelaskan bahwa

kontribusi penelitian ini antara lain :

a. Penelitian ini berusaha menjadi salah satu penemu hal-hal yang menjadi

sebab akibat akan pertumbuhan profesi akuntan publik di Indonesia.

13
b. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi dunia pendidikan dan

professional dalam meningkatkan dan mengembangkan profesi jasa

akuntan publik di Indonesia ke depan.

c. Menjadi pengembangan kelimuan di bidang akuntansi keuangan,

khususnya prilaku personal dalam mengembangkan profesi akuntan ke

depan.

1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini akan membahas faktor-faktor motivasi yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan akuntan publik di Indonesia. Dengan mengambil

hierarki kebutuhan maslow sebagai variabel independennya dan menggunakan

pengalaman kerja, gengsi (prestige) dan peran asosiasi profesi sebagai pemediasi

atau variabel intervening. Akhirnya ruang lingkup penelitian ini mencakup

indikator-indikator yang berhubungan dengan hierarki kebutuhan Maslow tadi,

seperti karir, kualifikasi, pemahaman akan bidang keilmuan dan personalitas

sebagai faktor kebutuhan aktualisasi diri. Norma kerja/kode etik, kompetensi,

kepercayaan publik dan pengakuan sebagai faktor penghargaan. Dukungan

keluarga dekat, orang tua dan teman sejawat sebagai faktor kasih saying. Asosiasi

profesi dam penghargaan finansial sebagai faktor rasa aman. Terakhir pendidikan

formal, pencapaian akademik, pelatihan professional berkelanjutan,

pertimbangan pasar kerja, kejujuran dan lingkungan kerja sebagai faktor

fisiologis.

Batasan yang terdapat pada penelitian ini pertama adalah objeknya,

dimana peneliti memandang bahwa objek yang cocok adalah seluruh akuntan

14
non akuntan publik atau kita sebut dengan CPA non akuntan publik. Objek

penelitian yang selama ini menggunakan mahasiswa dan akuntan publik secara

umum tidak dijadikan objek oleh peneliti. Dan kedua adalah proses pengambilan

sampel yang dilakukan secara acak terhadap para CPA non akuntan publik yang

terdaftar pada asosiasi akuntan publik di Indonesia, dalam hal ini Intitut Akuntan

Publik Indonesia.

1.7 Novelty Penelitian

Novelty penelitian ini terletak pada pengembangan penelitian

terdahulu dengan menambahkan pengalaman kerja, gengsi (prestige) dan peran

asosiasi sebagai variabel intervening. Sehingga kita dapat melihat selain dari sisi

personalitas dalam bentuk motivasinya, apakah ada faktor-faktor lain yang harus

dilaluinya dalam pengambilan keputusan sebagai akuntan publik di Indonesia.

Penelitian seperti ini belum pernah dilakukan di Indonesia dan sedikit yang

melakukannya di luar Indonesia, itupun tidak pada profesi akuntan publik namun

pada profesi lainnya.

Selama ini pengujian hanya menggunakan faktor-faktor umum

dalam mencari hubungan, artinya faktor eksternal saja yang dilihat seperti

kebijakan pemerintah, pemahaman atas perundangan-undangan, ujian sertifikasi,

peranan asosiasi profesi dan lain sebagainya. Namun dalam hal ini peneliti

mencoba melihat lebih dalam pada faktor motivasi personalitasnya yang di wakili

dengan faktor-faktor kebutuhan tadi. Hal ini diharapkan dapat memberikan

jawaban atas permasalah yang dihadapi oleh jasa akuntan publik saat ini.

15
BAB II

LANDASAN TEORI DAN TELAAH LITERATUR

2.1 Landasan Teori

Teori merupakan alur logika atau penalaran atas suatu fenomena yang juga

merupakan seperangkat proposisi (Watts & Zimmerman,1986; Malmi &

Granlund, 2005), atau sekumpulan konsep, definisi, proporsisi dan variabel yang

saling berkaitan secara sistematis (Emory & Cooper, 1999) yang dapat

menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena tertentu. Hal ini sejalan dengan

Sugiyono (2010) yang mengatakan bahwa secara umum teori berfungsi untuk

menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengendalian (control)

suatu gejala. Secara khusus dalam sebuah penelitian, keberadaan sebuah teori

begitu diperlukan karena ia berfungsi sebagai alat orientasi guna mengarahkan

sistem mana yang hendak dipakai peneliti atas objek yang diteliti (Umar, 2003).

Lebih lanjut teori juga berperan dalam membantu penjelasan atas sebab dan akibat

(Hopwood, 1976) serta menjelaskan bagaimana akuntansi keuangan dipraktekkan

(Malmi & Granlund, 2005).

Beberapa teori yang relevan atau berkaitan dengan variabel-variabel dalam

penelitian ini akan digunakan sebagai landasan dalam melaksanakan penelitian

ini selanjutnya. Teori-teori tersebut terutama yang berkaitan dengan variabel

hierarki kebutuhan maslow, khususnya beberapa indikator- indikatornya, begitu

juga yang berkenaan dengan variabel-variabel lainnya, Teori-teori yang di

maksud terdiri dari grand theory dan applied theory.

16
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Minat menjadi akuntan publik dapat diartikan sebagai hasil atau

keluaran dari motivasi atau pengharapan seseorang. Sebelum minat

maupun pengharapan itu muncul, pertama sekali yang terlintas adalah

kepercayaan pihak ketiga akan sebuah pekerjaan yang dilakukan. Artinya

akan ada dua pihak disini yakni pihak pelaku yakni akuntan public dan

pihak pengguna dalam hal ini masyarakat ataupun public. Pencapaian

yang cukup baik dalam hal ini adalah tingginya kepercayaan public

terhadap profesi ini.

Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa pada sebuah perusahaan

terdapat dua pihak yang saling berinteraksi, pihak-pihak tersebut terdiri

dari prinsipal, yaitu pemilik perusahaan (pemegang saham) dan agen,

yaitu manajemen perusahaan yang diberi kewenangan oleh pemegang

saham untuk menjalankan perusahaan milik prinsipal. Meskipun menurut

Jensen & Meckling (1976) pemisahan fungsi pengelolaan dan

kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan (agency conflict)

karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang saling

bertentangan guna mencapai kemakmuran individu. Untuk mengurangi

konflik tersebut, maka pemilik dan manajemen melakukan kesepakatan

(kontrak kerja) dengan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-

masing guna mencapai utilitas yang diharapkan. Lambert (2001)

menyatakan bahwa kesepakatan yang telah dibuat diharapkan dapat

memaksimalkan utilitas pemilik dan dapat memuaskan serta menjamin

manajemen

17
untuk menerima reward atas hasil pengelolaan perusahaan. Dengan

demikian jelas bahwa semua pihak yang memiliki hubungan dengan

perusahaan, khususnya pihak pemilik dan manajemen sangat

berkepentingan terhadap kinerja perusahaan, karena manfaat yang

diterima oleh kedua belah pihak didasarkan atas kinerja perusahaan.

Dalam hal ini teori keagenan muncul akibat adanya kepercayaan

public sebagai pemilik perusahaan terhadap agen dalam hal ini akuntan

public dalam hal menganalisis kinerja perusahaannya. Biasanya konflik

yang akan timbul dari teori ini adalah pada saat hasil yang diharapkan

oleh public sebagai pemilik perusahaan tidak sesuai dengan ekspektasi

atau keinginannya, sehingga timbul rasa ingin mempengaruhi agar hasil

tersebut sesuai dengan keinginannya, dalam hal ini agen ataupun akuntan

public akan menurun tingkat independensinya, dan ini sangat dilarang

dalam kode etik.

2.1.2 Teori Hierarti Kebutuhan (Maslow’s Hierarchy of Needs Theory)

Hierarki kebutuhan Maslow adalah teori psikologi yang

diperkenalkan oleh Abraham Maslow dalam makalahnya, "A Theory of

Human Motivation", di Psychological Review pada tahun 1943. Ia

beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus

terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum

kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang

memotivasi.

18
Konsep hierarki kebutuhan dasar ini bermula ketika Maslow

melakukan observasi terhadap perilaku monyet. Berdasarkan

pengamatannya, didapatkan kesimpulan bahwa beberapa kebutuhan lebih

diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain. Contohnya jika

individu merasa haus, maka individu akan cenderung untuk mencoba

memuaskan dahaga. Individu dapat hidup tanpa makanan selama

berminggu-minggu. Tetapi tanpa air, individu hanya dapat hidup selama

beberapa hari saja karena kebutuhan akan air lebih kuat daripada

kebutuhan akan makan.

Kebutuhan-kebutuhan ini sering disebut Maslow sebagai

kebutuhan-kebutuhan dasar yang digambarkan sebagai sebuah hierarki

atau tangga yang menggambarkan tingkat kebutuhan. Terdapat lima

tingkat kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa

aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan

penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Maslow memberi

hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat

paling bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang

berikutnya. Jika pada tingkat tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak

terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat kebutuhan yang

sebelumnya. Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan tersebut

didorong oleh dua kekuatan yakni motivasi kekurangan (deficiency

motivation) dan motivasi perkembangan (growth motivation). Motivasi

kekurangan bertujuan untuk mengatasi masalah ketegangan manusia

karena berbagai kekurangan yang ada.

19
Sedangkan motivasi pertumbuhan didasarkan atas kapasitas setiap

manusia untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut merupakan

pembawaan dari setiap manusia.

Maslow menggambarkan manusia yang sudah

mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua

kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan (Matt

Jarvis, 2010). Maslow mendefinisikan pengalaman puncak (experience

peak) sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa

selaras dengannya. Pengalaman puncak selalu melekat dalam diri kita dan

mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.

Bagi sebagian orang pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama,

tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik dan momen-momen yang

memerlukan pengambilan resiko (Matt Jarvis, 2010). Maslow tidak

menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan. Orang-orang yang

bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi

dirinya sendiri. Dengan demikian, seorang bisa saja menjadi tolol, boros,

sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih tetap bisa

mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi

hanya kurang dari satu persen, sebab tak banyak dari kita yang bisa

memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki (Matt

Jarvis, 2010).

Teori hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham

Maslow berbentuk piramida yang mengambarkan tingkat kebutuhan

20
dari kebutuhan dasar sampai dengan kebutuhan tertinggi, adapun dapat

dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.1 Hierarki Kebutuhan Maslows

Dalam kebutuhan manusia, Abraham Maslow membagi

menjadi lima macam kebutuhan manusia, yaitu:

a. Physical Needs (Kebutuhan-kebutuhan fisik). Kebutuhan fisik

merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan kondisi tubuh

seperti pangan, sandang, dan papan.

b. Safety Needs (Kebutuhan-kebutuhan rasa aman). Kebutuhan ini lebih

bersifat psikologi individu dalam kehidupan sehari-hari. Misal:

perlakuan adil, pengakuan hak dan kewajiban, jaminan keamanan.

21
c. Social Needs (Kebutuhan-kebutuhan sosial). Kebutuhan ini jiga

cenderung bersifat psikologis dan sering kali berkaitan dengan

kebutuhan lainnya. Misal: diakui sebagai anggota, diajak

berpartisipasi, berkunjung ke tetangganya.

d. Esteem Needs (Kebutuhan-kebutuhan penghargaan). Kebutuhan ini

menyangkut prestasi dan prestise individu setelah melakukan

kegiatan. Misal: dihargai, dipuji, dipercaya.

e. Self Actualization (kebutuhan aktualisasi diri). Kebutuhan ini

merupakan kebutuhan tertinggi dari individu dan kebutuhan ini

sekaligus paling sulit dilaksanakan. Misal: mengakui pendapat orang

lain, mengakui kebenaran orang lain, mengakui kesalahan orang

lain,dapat menyesuaikan diri dengan situasi.

Pada masing-masing kebutuhan tersebut, tiap-tiap individu

dapat berbeda satu sama lain, hal ini dapat terjadi karena :

a. Status individu seperti ayah, ibu, anak.

b. Latar belakang pendidikan seperti SD, SMP, SMA, dst.

c. Latar belakang pengalaman, misalnya miskin pengalaman dan kaya

pengalaman.

d. Cita-cita dan harapan individu.

e. Pandangan hidup individu.

2.1.3 Teori Motivasi Pengharapan (Expentancy Theory of Motivation)

Teori Harapan Vroom adalah teori yang dikemukakan oleh

Victor. H. Vroom pada tahun 1964 dalam bukunya yang berjudul

22
“Work and Motivation”. Menurut Teori Harapan ini, seseorang

termotivasi untuk melakukan kegiatan tertentu karena ingin mencapai

tujuan tertentu yang diharapkan. Dengan kata lain, seseorang memilih

untuk melakukan sesuatu atau memilih untuk berperilaku tertentu karena

mereka mengharapkan hasil dari pilihannya tersebut. Jadi pada dasarnya,

motivasi dari pemilihan perilaku seseorang ini ditentukan oleh keinginan

akan hasil yang akan didapatkannya.

Teori ekspektasi atau Teori Harapan ini juga menjelaskan

bahwa pemilihan perilaku juga tergantung pada persepsi korelasi antara

upaya, kinerja dan hasil yang pada akhirnya akan menghasilkan imbalan

yang dapat menguntungkan. Perlu ditekankan disini bahwa Teori

motivasi harapan Vroom ini bukan hanya tentang kepentingan atau

keuntungan diri sendiri tetapi juga tentang hasil yang berkaitan dengan

kepentingan-kepentingan orang-orang lain.

Vroom menyadari bahwa kinerja karyawan didasarkan pada

faktor individu seperti kepribadian, keterampilan, pengetahuan,

pengalaman dan kemampuan. Vroom menyatakan bahwa upaya (effort),

kinerja (performance) dan hasil ini memiliki keterkaitan yang kuat

terhadap motivasi seseorang. Teori Harapan Vroom menggunakan tiga

variabel yaitu Harapan (Expectancy), Instrumentalitas (Instrumentality)

dan Valensi (Valence) untuk menjelaskan hal ini.

Harapan atau Expectancy dalam teori Harapan Vroom ini

adalah kepercayaan seseorang bahwa jumlah upaya atau usaha yang

dilakukannya akan mengarahkan ke peningkatan kinerja yang

23
kemudian akan mendapatkan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain,

semakin tinggi upaya atau usaha seseorang semakin tinggi pula

kinerjanya. Namun harapan ini masih tergantung pada beberapa hal

seperti yang disebutkan dibawah :

a. Keterampilan, kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan secara

efektif.

b. Sumber daya, memiliki sumber daya yang tepat yang diperlukan

untuk melakukan tugas.

c. Dukungan, mendapatkan bimbingan dan dukungan yang diperlukan

dari kolega dan pengawas tugas yang memastikan kualitas dan

efisiensi tugas.

Instrumentalitas atau Instrumentality adalah keyakinan bahwa

suatu tugas yang dilakukan pasti akan mendapatkan hasil yang

diinginkan. Dengan kata lain, Instrumentalitas ini merupakan

kepercayaan seseorang bahwa suatu kinerja akan mendapatkan hasil

tertentu. Hasil yang dimaksud disini dapat berupa kenaikan gaji, bonus,

promosi, kepuasan kerja, insentif, pujian dari kolega kerja atau atasannya

atau imbalan materialistis lainnya. Salah satu contoh instrumentalitas ini

adalah insentif yang berkaitan yang pekerjaaan. Insentif adalah manfaat

tambahan di atas gaji yang didapat oleh seorang karyawan setelah

menyelesaikan tugas tertentu yang berkaitan dengan pekerjaannya. Jika

karyawan berkinerja baik, maka insentif yang mereka dapatkan juga akan

lebih besar. Dengan demikian peran mereka dalam pekerjaan juga akan

semakin meningkat.

24
Instrumentalitas seseorang ini pada dasarnya tergantung pada faktor-

faktor berikut ini :

a. Orang yang bertanggung jawab dalam menentukan imbalan (bentuk

dan jumlah imbalan yang tepat) dan menentukan individu mana yang

berhak mendapatkan imbalan atau hadiah tersebut.

b. Kebijakan yang ditetapkan untuk mengontrol korelasi antara kinerja

dan penghargaan.

c. Sifat imbalan dan pemilihan penerima.

Menurut teori Harapan Vroom, Valence atau Valensi dapat

didefinisikan sebagai nilai atau kepentingan yang diberikan seseorang

pada hasil tugas. Valensi ini tergantung pada berbagai faktor seperti,

kebutuhan mereka sendiri untuk hasil, daya tarik hasil, kesukaannya atau

keinginan. Agar Valensi ini menjadi positif, orang atau karyawan tersebut

harus memilih untuk mencapai hasil yang diinginkannya daripada tidak

mencapainya. Sebagai contoh, seseorang yang berharap untuk

mendapatkan promosi tidak akan banyak memperhatikan imbalan atau

hadiah materialistis, seperti uang dalam bentuk insentif. Orang tersebut

akan bekerja semaksimal mungkin untuk mendapatkan kenaikan jabatan

atau promosi yang diinginkannya tanpa memperhatikan uang lembur per

harinya atau bonus hariannya meskipun telah bekerja melewati waktu

kerja biasanya serta menolak cuti tambahan untuknya.

25
2.1.4 Aktualisasi Diri

Maslow (1954) Hierarchy of Needs menggunakan istilah

aktualisasi diri (self actualization) sebagai kebutuhan dan pencapaian

tertinggi seorang manusia. Maslow (1970) dalam Arianto (2009:139)

menjelaskan aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan

mengembangkan sifat-sifat dan potensi psikologis yang unik.. Menurut

Maslow (2014) seorang individu siap untuk bertindak sesuai kebutuhan

pertumbuhan jika dan hanya jika kebutuhan kekurangan terpenuhi.

Menurut Maslow (1987) aktualisasi diri merupakan penggunaan dan

pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi

yang dimiliki oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan diri tersebut.

Proses aktualisasi adalah perkembangan atau penemuan jati diri dan

berkembang suatu potensi yang dimiliki oleh manusia (Maslow1987).

kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan seseorang untuk

mampu menjadi apa yang diinginkan sesuai dengan potensi yang

dimiliki. Misalnya seorang musician harus bermain musik “What a man

can be, he must be”. Aktualisasi diri membutuhkan kemampuan dan

dorongan untuk menetapkan dan mencapai tujuan. Dalam proses

aktualisasi diri dibutuhkan kerja keras, kesabaran,dan komitmen yang

tinggi dari individu tersebut. Menurut Maslow (dalam Omifolaji 2010)

proses yang harus diperhatikan dalam aktualisasi diri adalah sebagai

berikut:

1) Siap untuk berubah.

2) Bertanggung jawab.

26
3) Memeriksa dan memiliki motif yang kuat.

4) Menggunakan pengalaman-pengalaman yang positif.

5) Siap terlibat dan melakukan perkembangan

Dari definisi aktualisasi diri di atas, peneliti menjabarkan bahwa

aktualisasi diri adalah nilai – nilai peningkatan kualitas hidup berkaitan

dengan kemampuan seorang untuk memahami kemampuan diri sendiri

yang menunjukkan bahwa diri sendiri mampu memberikan penilaian diri,

penilaian positif kepada kemampuan diri sendiri atau ketepatan seseorang

di dalam menempatkan dirinya sesuai dengan kemampuan yang ada di

dalam diri. Pada penelitian ini terdapat 4 indikator dalam aktualisasi,

yakni karir, kualifikasi, pemahaman terhadap akuntansi, hukum dan

sistem informasi dan personalitas.

Menurut Simamora (2001:505) karir adalah ” Urutan aktifitas-

aktifitas yang berkaitan dengan pekerjaan dan perilaku-perilaku, nilai-

nilai, dan aspirasi seseorang selama rentang hidup orang tersebut”.

Perencanaan karir merupakan proses yang disengaja di mana dengan

melaluinya seseorang menjadi sadar akan atribut-atribut yang

berhubungan dengan karir personal dan serangkaian langkah sepanjang

hidup memberikan sumbangan pemenuhan karir. Sedangkan Ekaningrum

(2002 : 256) Karir tidak lagi diartikan sebagai adanya penghargaan

institusional dengan meningkatkan kedudukan dalam hirarki formal yang

sudah ditetapkan dalam organisasi. Dalam paradigma tradisional,

pengembangan karir sering dianggap sinonim dengan persiapan untuk

mobilitas ke jenjang lebih tinggi, sehingga karir

27
akan mendukung efektifitas individu dan organisasi dalam mencapai

tujuannya. Terakhir menurut Dalil S (2002 : 277) “ karir merupakan suatu

proses yang sengaja diciptakan perusahaan untuk membantu karyawan

agar membantu partisipasi ditempat kerja. Sementara itu Glueck (1997

:134) menyatakan karir individual adalah urutan pengalaman yang

berkaitan dengan pekerjaan yang dialami seseorang selama masa

kerjanya. Sehingga karir individu melibatkan rangkaian pilihan dari

berbagai kesempatan, tapi dari sudut pandang organisasi karir merupakan

proses regenerasi tugas yang baru.

Pemahaman karir dalam penelitian ini adalah jenjang

jabatan/posisi yang harus dilalui oleh akuntan public untuk menjadi

seorang partner. Standar pengendalian mutu pada kantor akuntan public

menjelaskan bahwa seorang auditor harus melalui jenjang karir dari

junior auditor/anggota, senior auditor/ketua, partner/rekanan dan

akhirnya managing partner/pimpinan rekan sebagai jenjang karir paling

tinggi.

Kualifikasi secara etimologis diadopsi dari bahasa Inggris yang

berarti training, test, sertifikasi dan lain sebagainya. Sehingga pengertian

kualifikasi disini adalah pendidikan khusus yang harus diperoleh

seseorang untuk mencapai profesionalitas pada suatu bidang tertentu

untuk melakukan suatu hal tertentu. Kualifikasi pada akuntan public

dapat diartikan dengan telah lulusnya seseorang dalam mengikuti ujian

kualifikasi yang dilaksanakan oleh asosiasi profesi.

28
Terdapat 3 level jenjang kualifikasi yakni tingkat dasar, tingkat

professional dan tingkat lanjutan sebagai kualifikasi paling akhir.

Pemahaman adalah keterampilan dan kemampuan intelektual

yang menjadi tuntutan dalam dunia kerja. Artinya, ketika karyawan/staff

dihadapkan pada komunikasi, diharapkan mengetahui apa yang sedang

dikomunikasikan dan dapat menggunakan ide-ide yang terkandung di

dalamnya (Kuswana, 2012:43).

Menurut Sardiman (2014: 42) pemahaman yaitu menguasai

sesuatu dengan pikiran. Karena itu, belajar berarti harus mengerti secara

mental makna dan filosifisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-

aplikasinya, sehingga menyebabkan karyawan dapat memahami sesuatu

dengan lebih baik. Pemahaman disini dibagi atas 3 pemahaman bidang

keilmuan yang harus dimiliki oleh akuntan, yakni terhadap bidang

keilmuan akuntansi, hukum dan teknologi informasi. Ketiga bidang

keilmuan ini adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh

akuntan publik.

Personalitas ataupun kepribadian adalah keseluruhan cara

seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain paling

sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang

ditunjukkan oleh seseorang. Menurut Agus Sujanto dkk (2004),

menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang

kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang

unik. Sedangkan personality menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo

dalam Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang

29
yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari

struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendiriran, kemampuan dan

potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang

sebagaimana diketahui oleh orang lain. Personalitas pada akuntan public

diatur dalam kode etik dimana kepribadian yang harus dimiliki oleh

seorang akuntan adalah independen dan objektif artinya seorang akuntan

harus bertindak sesuai aturan yang ada serta tidak berpihak kemana pun

sesuai dengan aturan yang ada.

2.1.5 Penghargaan

Pada tingkat keempat dalam hierarki Maslow adalah kebutuhan

untuk penghargaan dan rasa hormat. Kebutuhan terhadap penghargaan

berperan dalam memotivasi perilaku seseorang. Pada titik ini, orang-

orang menjadi semakin membutuhkan rasa hormat dan penghargaan dari

orang lain. Orang-orang memiliki kebutuhan untuk mencapai hal-hal

dalam hidupnya, kemudian mereka butuh usaha tersebut diakui.

Penghargaan menurut Abraham Maslow dikategorikan menjadi dua pada

setiap individu, yaitu penghargaan terhadap diri sendiri (harga diri) dan

penghargaan dari orang lain.

Harga diri adalah penilaian diri terhadap hasil yang dicapai

dengan analisis, sejauh mana pencapaian tersebut memenuhi ideal diri.

Sederhananya, apabila seseorang sukses dalam mencapai apa yang ingin

dicapainya maka ia akan cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan seseorang yang belum mencapai

30
atau gagal dalam mencapai apa yang ingin dicapainya dalam hidup. Ia

akan cenderung memiliki harga diri yang rendah. Harga diri ini meliputi

kebutuhan akan kekuatan, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan

terhadap suatu bidang, kecukupan, prestasi, kemandirian dan kebebasan.

Semua itu dapat dicapai apabila seseorang telah memenuhi kebutuhan

akan harga diri yang meliputi, menghargai diri sendiri, menghargai orang

lain, dihargai orang lain, memiliki kebebasan yang mandiri dan dikenal

dan diakui oleh lingkungannya.

Penghargaan dari orang lain meliputi prestis, status, pengakuan,

penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta ketenaran.

Penghargaan ini akan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat

karena seseorang dalam suatu lingkup sosial cenderung membutuhkan

penghormatan dari orang lain. Selain itu, dengan adanya penghargaan

dari orang lain maka, seseorang akan menjadi lebih kreatif, mandiri,

percaya diri dan juga lebih produktif. Sebagai contoh, apabila seorang

karyawan diapresiasi dalam rangka kinerjanya yang begitu memukau

dengan promosi jabatan, maka ia akan cenderung lebih termotivasi,

produktif menjadi lebih baik dan percaya diri terhadap pekerjaaan dan

tantangan kedepannya. Penelitian ini menggunakan kompetensi, kode

etik, kepercayaan public dan pengakuan professional sebagai indikator

pada penghargaan.

31
2.1.6 Dukungan Sosial/Kebutuhan Sosial

Jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah

terpenuhi, maka muncullah kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan rasa

memiliki-dimiliki. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi dorongan untuk

dibutuhkan oleh orang lain agar ia dianggap sebagai warga komunitas

sosialnya. Bentuk akan pemenuhan kebutuhan ini seperti bersahabat,

keinginan memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan untuk dekat pada

keluarga dan kebutuhan antarpribadi seperti kebutuhan untuk memberi

dan menerima cinta. Seseorang yang kebutuhan cintanya sudah relatif

terpenuhi sejak kanak-kanak tidak akan merasa panik saat menolak cinta.

Ia akan memiliki keyakinan besar bahwa dirinya akan diterima orang-

orang yang memang penting bagi dirinya. Ketika ada orang lain menolak

dirinya, ia tidak akan merasa hancur. Bagi Maslow, cinta menyangkut

suatu hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara dua orang, termasuk

sikap saling percaya. Sering kali cinta menjadi rusak jika salah satu pihak

merasa takut jika kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahannya.

Maslow juga mengatakan bahwa kebutuhan akan cinta meliputi cinta

yang memberi dan cinta yang menerima. Kita harus memahami cinta,

harus mampu mengajarkannya, menciptakannya dan meramalkannya.

Jika tidak, dunia akan hanyut ke dalam gelombang permusuhan dan

kebencian.

Penelitian ini menggunakan indikator dukungan keluarga,

orang tua dan teman sejawat dalam mengukut variabel ini. Hal ini karena

dukungan merupakan bagian dari kebutuhan sosial.

32
2.1.7 Rasa Aman

Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis terpuaskan

secukupnya, muncullah apa yang disebut Maslow sebagai kebutuhan-

kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman ini

diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan,

perlindungan dan kebebasan dari daya-daya mengancam seperti

kriminalitas, perang, terorisme, penyakit, takut, cemas, bahaya,

kerusuhan dan bencana alam. Serta kebutuhan secara psikis yang

mengancam kondisi kejiwaan seperti tidak diejek, tidak direndahkan,

tidak stres, dan lain sebagainya. Kebutuhan akan rasa aman berbeda dari

kebutuhan fisiologis karena kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi secara

total. Manusia tidak pernah dapat dilindungi sepenuhnya dari ancaman-

ancaman meteor, kebakaran, banjir atau perilaku berbahaya orang lain.

Menurut Maslow, orang-orang yang tidak aman akan

bertingkah laku sama seperti anak-anak yang tidak aman. Mereka akan

bertingkah laku seakan-akan selalu dalam keadaan terancam besar.

Seseorang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan

stabilitas secara berlebihan serta akan berusaha keras menghindari hal-

hal yang bersifat asing dan yang tidak diharapkannya.

Penelitian ini menggunakan pengaruh asosiasi professional

dan penghargaan finansial menjadi indikator dalam mengukur kebutuhan

akan rasa aman ini. Hal ini karena kedua indikator ini sangat memiliki

peran dalal peningkatan rasa aman seseorang.

33
2.1.8 Fisiologis

Kebutuhan paling dasar pada setiap orang adalah kebutuhan

fisiologis yakni kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik.

Kebutuhan-kebutuhan itu seperti kebutuhan akan makanan, minuman,

tempat berteduh, tidur dan oksigen (sandang, pangan, papan).

Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah potensi paling dasar dan besar

bagi semua pemenuhan kebutuhan di atasnya. Manusia yang lapar akan

selalu termotivasi untuk makan, bukan untuk mencari teman atau

dihargai. Manusia akan mengabaikan atau menekan dulu semua

kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu terpuaskan. Di

masyarakat yang sudah mapan, kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar

adalah sebuah gaya hidup. Mereka biasanya sudah memiliki cukup

makanan, tetapi ketika mereka berkata lapar maka yang sebenarnya

mereka pikirkan adalah citarasa makanan yang hendak dipilih, bukan rasa

lapar yang dirasakannya. Seseorang yang sungguh-sungguh lapar tidak

akan terlalu peduli dengan rasa, bau, temperatur ataupun tekstur

makanan.

Kebutuhan fisiologis berbeda dari kebutuhan-kebutuhan lain

dalam dua hal. Pertama, kebutuhan fisiologis adalah satu-satunya

kebutuhan yang bisa terpuaskan sepenuhnya atau minimal bisa diatasi.

Manusia dapat merasakan cukup dalam aktivitas makan sehingga pada

titik ini, daya penggerak untuk makan akan hilang. Bagi seseorang yang

baru saja menyelesaikan sebuah santapan besar, dan kemudian

membayangkan sebuah makanan lagi sudah cukup untuk membuatnya

34
mual. Kedua, yang khas dalam kebutuhan fisiologis adalah hakikat

pengulangannya. Setelah manusia makan, mereka akhirnya akan menjadi

lapar lagi dan akan terus menerus mencari makanan dan air lagi.

Sementara kebutuhan di tingkatan yang lebih tinggi tidak terus menerus

muncul. Sebagai contoh, seseorang yang minimal terpenuhi sebagian

kebutuhan mereka untuk dicintai dan dihargai akan tetap merasa yakin

bahwa mereka dapat mempertahankan pemenuhan terhadap kebutuhan

tersebut tanpa harus mencari-carinya lagi.

Variabel fisiologis ini menggunakan pendidikan formal,

pencapaian akademik, pelatihan professional, pertimbangan pasar kerja,

kejujuran dan lingkungan kerja sebagai indikator dalam menilainya. Hal

ini karena indikator-indikator tersebut adalah indikator dasar yang

membuat seseorang memilih profesi akuntan publik.

2.1.9 Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja menunjukan kemampuan pekerjaan yang

pernah dilakukan seseorang dan memberikan peluang yang besar bagi

seseorang untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. Banyaknya

pengalaman kerja yang dimiliki seseorang pekerja maka orang tersebut

akan lebih menguasai pekerjaannya, sehingga dapat menyelesaikan

pekerjaannya dengan benar. Hal ini berarti orang tersebut mempunyai

efektivitas kerja yang baik. Selain itu, pengalaman kerja akan ikut

mematangkan seseorang dalam menghadapi tugas-tugas manajerial yang

akan dijalankannya.

35
Setiap pengalaman kerja yang diperoleh seseorang, akan

membantunya memberikan keterampilan dan pengetahuan khusus sesuai

dengan pekerjaan yang digelutinya. Seseorang yang melakukan jenis

pekerjaan tertentu secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang

cukup lama akan menjadikan dirinya cukup terampil dalam pekerjaan

tersebut. Pengalaman merupakan faktor yang penting dalam

perkembangan suatu usaha, terutama pekerjaan yang membutuhkan

keahlian, kecakapan dan inisiatif dalam berkreasi, sehingga

menghasilkan produk yang lebih baik dilihat dari segi kuantitas maupun

kualitas.

Menurut Wariati (2015), pengalaman kerja adalah suatu

pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dimiliki pegawai

untuk mengemban tanggung jawab dari pekerjaan sebelumnya. Menurut

Manullang (2004), pengalaman kerja adalah proses pembentukan

pengetahuan atau keterampilan tentang metode suatu pekerjaan karena

keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan tugas pekerjaan.

Menurut Gazalba (1990), pengalaman adalah mengetahui atau

mempelajari melalui tindakan atau reaksi sendiri, kecekatan atau

pengetahuan yang diperoleh dengan mengerjakan sesuatu, pengetahuan

yang diperoleh dari percobaan dan praktek kehidupan melalui kejadian

dan emosi. Menurut Puspaningsih (2004), pengalaman kerja adalah jenis-

jenis pekerjaan yang telah dilakukan seseorang dan memberikan peluang

besar bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik.

Menurut Ranupandojo (2001),

36
pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja

yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas-tugas suatu

pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik.

Menurut Foster (2011), terdapat beberapa aspek yang dapat

menjadi indikator pengalaman kerja seseorang, yaitu:

a. Lama waktu atau masa kerja. Masa kerja adalah ukuran tentang lama

waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat

memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan

dengan baik. Seperti contoh seorang karyawan yang sudah bekerja

pada lembaga tersebut lebih dari 3 tahun, atau karyawan tersebut

sudah pernah bekerja pada lembaga lain.

b. Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Pengetahuan

merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi

lain yang dibutuhkan oleh pegawai. Pengetahuan juga mencakup

kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi pada

tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan merujuk pada

kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau

menjalankan suatu tugas atau pekerjaan. Hal ini dapat berupa

pendidikan umum yang ditempuh karyawan seperti pendidikan

SMA, Diploma, maupun sarjana dan sebagainya, atau pendidikan

khusus berupa pelatihan-pelatihan tertentu maupun kursus.

c. Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Tingkat penguasaan

seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek teknik peralatan dan

teknik pekerjaan. Karyawan yang telah mampu mengoperasikan

37
peralatan kantor seperti komputer dan lain-lain maupun telah mampu

menjalankan tugasnya seperti halnya seorang teller yang mampu

melayani nasabah dalam bertransaksi.

2.1.10 Gengsi (Prestige)

Menurut Erdogmus dan Budeyri-Turan (2012) prestige

ataupun gengsi didefinisikan sebagai status yang relatif tinggi yang

berkaitan dengan posisi sebuah merek atau pekerjaan dan gelar pada

penelitian ini. Vigneron dan Johnson’s (1999) menyatakan dalam

literaturnya bahwa brand prestige dapat memenuhi kebutuhan pelanggan

dan diukur dengan lima yakni conspicuous, unique, social, emotional dan

quality.

Conspicuius secara harfiah dapat diartikan sebagai konsumsi

berlebihan untuk memberikan kesan berlebih terhadap orang lain. Pada

penelitian ini yang menjadi indikatornya adalah persepsi masyarakat

terhadap biaya untuk menjadi seorang akuntan publik dan mendapatkan

gelar CPA. Unique ataupun unik dalam hal ini adalah perbedaan yang

tidak ada pada orang lain, pada penelitian ini, keunikan disini

diindikatorkan sebagai kelangkaan. Sosial adalah peranan sosial akan

profesi ini dimata masyarakat, sehingga dapat menaikkan strata sosial

pemegang profesi ini. Emosional dalam hal ini adalah kebanggaan yang

dimiliki sebagai akibat dari gelar dan pekerjaan yang dimiliki. Terakhir

kualitas adalah persepsi masyarakat terhadap hal yang dihasilkan oleh

sebuah profesi tadi yang dipandang memiliki nilai

38
lebih dari profesi lainnnya. Nilai lebih disini dapat berupa tambahan nilai

kepercayaan masyarakat terhadap jasa yang telah diberikan, sebagai

contoh laporan yang telah diaudit memiliki kredibilitas lebih tinggi dari

pada laporan yang belum diaudit.

2.1.11 Peran Asosiasi Akuntan Publik

Organisasi profesi memiliki berbagai ciri-ciri seperti,

menjadi wadah bagi para anggota yang berasal dari profesi yang sama;

Organisasi profesi pun merumuskan Kode Etik profesi (code of

professional ethics), merumuskan kompetensi profesi serta

memperjuangkan tegaknya kebebasan profesi bagi para anggota. Peran

organisasi profesi tentu tidak bisa diukur, semata-mata, dari nilai

ekonomi (keuntungan). Ada banyak manfaat lain yang mungkin jauh

lebih strategis dari aspek ekonomi. Suatu organisasi profesi dapat

mengembangkan dan memajukan profesi, memantau dan memperluas

bidang gerak profesi, menghimpun dan memberikan kesempatan kepada

semua anggota untuk berkarya dan berperan aktif dalam mengembangkan

dan memajukan profesi. Dewasa ini, seiring dengan perkembangan

globalisasi, para profesional pun harus mampu menjalin interaksi dengan

para professional lain dari berbagai negara. Melalui organisasi profesi,

interaksi itu tentu akan semakin terwujud.

39
2.1.12 Minat Menjadi Akuntan Publik

Minat seseorang terhadap suatu objek akan lebih kelihatan

apabila objek tersebut sesuai sasaran dan berkaitan dengan keinginan dan

kebutuhan seseorang yang bersangkutan (Sardiman, 1990: 76). Menurut

Tampubolon (1991: 41) mengatakan bahwa minat adalah suatu

perpaduan keinginan dan kemauan yang dapat berkembang jika ada

motivasi. Sedangkan menurut Djali (2008: 121) bahwa minat pada

dasarnya merupakan penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri

sendiri dengan sesuatu di luar diri. Minat sangat besar pangaruhnya dalam

mencapai prestasi dalam suatu pekerjaan, jabatan, atau karir. Tidak akan

mungkin orang yang tidak berminat terhadap suatu pekerjaan dapat

menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik. Minat dapat diartikan

sebagai rasa senang atau tidak senang dalam menghadap suatu objek

(Mohamad Surya, 2003: 100).

Minat berkaitan dengan perasaan suka atau senang dari

seseorang terhadap sesuatu objek. Hal ini seperti dikemukakan oleh

Slameto (2003:180) yang menyatakan bahwa minat sebagai suatu rasa

lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada

yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu

hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat

atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat. Menurut Kartini

Kartono (1996: 12) minat merupakan momen dan kecenderungan yang

searah secara intensif kepada suatu obyek yang dianggap penting.

Menurut Ana laila Soufia dan Zuchdi (2004: 116) menjelaskan bahwa

40
minat merupakan kekuatan pendorong yang menyebabkan seseorang

menaruh perhatian pada orang lain, pada aktivitas atau objek lain.

Sedangkan Slameto (2003: 57) menjelaskan bahwa minat adalah

kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang

beberapa kegiatan. Lebih lanjut Slameto mengemukakan bahwa suatu

minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan

bahwa siswa lebih menyukai suatu hal dari pada hal lainnya, dapat pula

dimanifestasiakan melalui partisipasi dalam satu aktivitas. Siswa yang

memiliki minat terhadap subjek tertentu cenderung untuk memberikan

perhatian yang lebih besar terhadap subjek tersebut.

Menurut Sudirman (2003: 76) minat seseorang terhadap

suatu objek akan lebih kelihatan apabila objek tersebut sesuai sasaran dan

berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan seseorang yang bersangkutan.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Minat

merupakan kecenderungan pada seseorang yang ditandai dengan rasa

senang atau ketertarikan pada objek tertentu disertai dengan adanya

pemusatan perhatian kepada objek tersebut dan keinginan untuk terlibat

dalam aktivitas objek tertentu, sehingga mengakibatkan seseorang

memiliki keinginan untuk terlibat secara langsung dalam suatu objek atau

aktivitas tertentu, karena dirasakan bermakna bagi dirinya dan ada

harapan yang dituju.

41
2.2 Telaah Literatur

2.2.1 Hierarki kebutuhan terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik

Minat menjadi akuntan publik biasanya di motivasi oleh keinginan

seseorang dalam mengaktulisasi dirinya, menurut teori kebutuhan yang

dikemukakan oleh Maslows mengidentifikasikan bahwa aktulisasi diri

merupakan salah satu kebutuhan paling tinggi dari 5 tingkatan kebutuhan

yang ada pada manusia. Teori Maslow menunjukkan bahwa tingkat yang

paling dasar dahulu harus dipenuhi sebelum individu akan sangat

menginginkan (atau focus motivasi pada) kebutuhan tingkat menengah atau

tinggi. Dalam teori maslow ini disebut dengan “metamotivation” atau

gambaran motivasi orang-orang yang melampaui lingkup kebutuhan dasar

dan berusaha untuk perbaikan terus-menerus.

Stowe (2016) menyatakan bahwa profesionalisme yang merupakan

bagian dari kebutuhan akan fisiologis atau kebutuhan dasar berhubungan

positif terhadap minat seseorang untuk menjadi akuntan publik. Zhao dan

Lord (2016) juga mengatakan bahwa kepastian karir dan asosiasi profesi

yang merupakan bagian dari kebutuhan dari rasa aman ternyata berpengaruh

positif terhadap minat menjadi akuntan publik. Thompson (2016)

menyatakan bahwa dukungan sosial seperti dukungan dari orang terdekat

dan lingkungan sekitar ternyata berpengaruh positif terhadap minat menjadi

akuntan publik, dimana dukungan sosial ini merupakan kebutuhan ketiga

dari hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Remo (2019)

menyatakan bahwa kebutuhan akan penghargaan yang terdiri dari

kepercayaan publik, kompetensi kode etik dan pengakuan

42
professional berpengaruh positif terhadap minat menjadi akuntan publik.

Phillips (2020) menyatakan bahwa kebutuhan akan aktualiasasi diri dalam

bentuk penghargaan finansial, kebutuhan karir dan pemahaman atas

pengetahuan berpengaruh positif terhadap minat menjadi akuntan publik.

Dari pemaparan beberapa penelitian terdahulu dapat dilihat ternyata

seluruh hierarki kebutuhan Maslow berpengaruh positif terhadap

minat menjadi akuntan publik.

2.2.2 Hierarki kebutuhan terhadap Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan ketertarikan seseorang terhadap sebuah profesi atau pekerjaan

yang digelutinya. Semakin tinggi pengalaman dapat mengantar seseorang

menjadi lebih professional dalam melakukan sebuah tindakannya sehari-

hari. Pengalaman dapat digunakan sebagai media dalam memotivasi

seseorang untuk mencapai sesuatu. Pengalaman ternyata juga dipengaruhi

oleh kebutuhan seseorang akan sesuatu hal sesuai yang dikemukakan oleh

Maslow.

Jones (2016) mengatakan bahwa kebutuhan akan karir dan

kepercayaan publik yang merupakan kebutuhan akan aktulisasi diri dan

penghargaan ternyata berpengaruh terhadap pengalaman. Penelitiannya

menyimpulkan bahwa kebutuhan seseorang akan penghargaan dan aktulisasi

diri akan selalu mempengaruhi pengalaman seseorang. Wen (2018)

menyatakan bahwa kebutuhan akan rasa aman dalam bentuk penghargaan

finansial ternyata berpengaruh terhadap pengalaman. Beliau

43
menyatakan bahwa penghargaan finansial yang tinggi mempengaruhi

pengalaman seseorang dalam bekerja.

Tiga hierarki kebutuhan yakni kebutuhan rasa aman,

penghargaan dan aktualisasi diri ternyata telah terbukti mempengaruhi

pengalaman seseorang. Namun kebutuhan fisiologis dan dukungan sosial

belum ada penelitian yang menyatakan bahwa kedua kebutuhan ini

mempengaruhi pengalaman. Artinya secara keseluruhan ternyata hierarki

kebutuhan tidak berpengaruh terhadap pengalaman kerja.

2.2.3 Hierarki kebutuhan terhadap Gengsi (Prestige)

Gengsi (Prestige) adalah rasa bangga yang dimiliki seseorang

atas sebuah pencapaian yang diraihnya. Sebuah pencapaian pada dasarnya

didasari oleh kebutuhan manusia itu sendiri. Pada awalnya sebuah

pencapaian diawali dari kebutuhan pokok, namun seiring berjalan ketika

sebuah pencapaian berada pada tingkat tertentu, maka bukan kebutuhan

pokok lagi yang berperan, namun bisa jadi kebutuhan akan aktuliasasi diri

dan penghargaan ataupun rasa aman.

Thompson (2016) mengatakan bahwa dukungan sosial yang

merupakan kebutuhan akan dukungan sosial dan kepercayaan publik

(kebutuhan penghargaan) ternyata berpengaruh terhadap gengsi seseorang.

Dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki dukungan sosial dan

kepercayaan publik ternyata mempengaruhi tingkatan gengsinya. Menurut

Richins et.al., (2017) mengatakan bahwa pemahaman akan pengetahuan

yang merupakan kebutuhan aktualisasi

44
diri ternyata mempengaruhi gengsi seseorang. Seseorang yang memiliki

pemahaman akan pengetahuan yang luas lebih cenderung memiliki gengsi

yang tinggi. Artinya ternyata aktualisasi diri mempengaruhi gengsi

(prestige).

Dapat disimpulkan bahwa ternyata hanya tiga faktor kebutuhan

yang mempengaruhi gengsi (prestige) seseorang. Faktor kebutuhan dasar

dan rasa aman ternyata tidak mempengaruhi gengsi secara penelitian.

Artinya tidak semua komponen hierarki kebutuhan yang berpengaruh

terhadap gengsi (prestige).

2.2.4 Hierarki kebutuhan terhadap Peran Asosiasi Profesi

Akuntan di Indonesia memiliki 2 asosiasi yang menaungi, yakni

Ikatan Akuntan Indonesia yang merupakan asosiasi akuntan tertua di

Indonesia dan Institut Akuntan Publik Indonesia yang merupak asosiasi

khusus untuk para akuntan publik saja. Asosiasi yang sangat berperan dalam

meningkatkan akuntan publik di Indonesia ternyata adalah IAPI atau Institut

Akuntan Publik Indonesia yang ternyata dahulu merupakan bagian dari

Ikatan Akuntan Indonesia atau disingkat dengan IAI. IAPI dalam hal ini

membuat regulasi dalam mengatur perkembangan dan kualitas dari akuntan

publik di Indonesia.

Blamo (2016) menyatakan bahwa hierarki kebutuhan seperti

aktuliasasi diri, rasa aman dan fisiologis mempengaruhi peran dari asosiasi

profesi di Amerika Serikat khususnya bagi akuntan keturunan Afrika yang

bekerja disana. Kebutuhan-kebutuhan tadi diwakili dalam bentuk

45
kebutuhan akan jaminan karir, kualifikasi diri, jaminan pekerjaan, pelatihan

professional, pendidikan formal dan pertimbangan pasar kerja akuntan di

Amerika Serikat. Blamo (2016) juga menyatakan bahwa kebutuhan akan

penghargaan dan dukungan sosial tidak mempengaruhi peran asosiasi

profesi akuntan disana.

Penelitian ini menjelaskan bahwa ternyata tidak seluruh hierarki

kebutuhan berpengaruh secara simultan terhadap peran dari asosiasi profesi

akuntan di Amerika. Faktor penghargaan dan dukungan sosial adalah dua

faktor yang ternyata tidak mempengaruhi hal tersebut secara umum di

Amerika.

2.2.5 Pengalaman Kerja terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik

Pengalaman kerja adalah suatu kemampuan, pengetahuan dan

keterampilan seorang yang diperoleh melalui rentang waktu atau masa kerja

yang telah ditempuh untuk pekerjaan tertentu melalui tindakan, reaksi,

kecekatan dan berbagai percobaan yang telah dilakukan. Semakin luas

pengalaman kerja seseorang, maka semakin terampil seseorang dalam

melakukan pekerjaan dan semakin sempurna pula pola berpikir dan sikap

dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Bates (2018) menyatakan bahwa pengalaman kerja selama 150

kredit ternyata mempengaruhi minat menjadi akuntan publik. Artinya

seseorang yang memiliki pengalaman minimat 150 kredit ternyata lebih

berminat menjadi akuntan publik dari pada yang memiliki pengalaman

kurang dari itu. Eddy (2018) menyatakan hal serupa dimana seseorang

46
yang memiliki pengalaman yang cukup atau bahkan lebih akan timbul rasa

tanggung jawab yang besar yang berdampak pada semakin berminatnya

mereka untuk menjadi akuntan publik. Seidel (2019) menyatakan bahwa

pengalaman dalam bentuk magang pada sebuah kantor akuntan publik akan

membuat seseorang lebih tertarik untuk menjadi akuntan publik. Terakhir

menurut Chaparro (2020) menyatakan bahwa pengalaman akan berdampak

kepada semakin cepatnya seseorang mengerjakan sebuah proyek audit, dan

hal ini berdampak kepada semakin berminatnya orang tersebut untuk

menjadi akuntan publik dimasa yang akan datang.

2.2.6 Gengsi (Prestige) terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik

Menurut Kuenzel dan Halliday (2008) gengsi adalah persepsi

orang lain, pendapat yang dihargai, dihormati, dikagumi atau terkenal.

Sumber gengsi menyebabkan orang untuk mengasosiasikan dirinya dengan

brand yang bergengsi untuk meningkatkan harga mereka. Gengsi adalah

keadaan dimana seseorang merasa mempunyai kebanggaan tersendiri, pada

saat memiliki sesuati tertentu baik itu seperti barang, gelar, kehormatan

bahkan pekerjaan. Setiap orang yang normal membutuhkan penghargaan

diri dan penghargaan dari lingkungannya. Semakin tinggi status dan

kedudukan seseorang semakin tinggi pula kebutuhan prestise (gengsi) diri

yang bersangkutan (Atmodjo, 2012). Dapat disimpulkan gengsi adalah

keadaan dimana seseorang memiliki kebanggaan tersendiri setelah memiliki

sesuatu dalam penelitian ini gengsi tersebut adalah kebanggaan memiliki

gelar CPA dan bekerja sebagai akuntan publik.

47
Tomo dan Gennaro (2020) menyatakan bahwa kepribadian yang

proaktif dan gengsi atau kebanggaan akan profesi akuntan publik akan

berdampak kepada minat seseorang menjadi akuntan publik. Dapat

disimpulkan bahwa semakin profesi akuntan publik di Amerika saat ini

adalah profesi yang bergengsi yang dapat menaikkan strata atau pun

martabat seseorang. Akuntan publik disana memiliki kepercayaan

masyarakat yang tinggi sehingga menyebabkan profesi ini adalah salah satu

profesi bergengsi yang dapat menaikkan nilai gengsi dan jual seseorang

ditengah masyarakat.

2.2.7 Peran Asosiasi Profesi terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik

Salah satu ciri penting suatu pekerjaan profesional, bahwa

pekerjaan itu harus memiliki organisasi/asosiasi profesi yang melindungi

para anggotanya. Organisasi itulah yang nantinya, memberikan makna atau

nilai tambah, atas pekerjaan yang dilakukan itu. Secara definisi, profesi

dimaknai sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah

hidup dengan mengandalkan pengetahuan, keahlian dan ketrampilan

tinggi, dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.

Seluruh komponen itu harus masuk dan saling terkait, agar mendukung

profesionalisme seseorang. Ia harus memiliki pengetahuan secara

konseptual, melalui kegiatan belajar, pengalaman, atau autodidak. Ia pun

harus memiliki ketrampilan agar bisa menjalankan hal-hal yang sifatnya

sangat praktis dalam pelaksanaan profesi itu. Dan yang paling penting dari

semua itu adalah komitmen pada etika atau

48
moral, agar pekerjaan yang dilakukan itu tidak merugikan kepentingan

umum dan masyarakat.

Schaefer (2019) menyatakan bahwa peran pendampingan yang

dilakukan oleh organisasi asosiasi profesi akuntan di Amerika dalam hal

ini AICPA ternyata mempengaruhi minat seseorang untuk menjadi akuntan

publik disana. Dapat diartikan semakin besar peran asosiasi seperti AICPA

ini maka semakin besar minat seseorang menjadi akuntan publik. AICPA

di Amerika memiliki peran yang cukup kuat dalam pengembangan jumlah

dan kualitas akuntan publik disana.

49
BAB III

KERANGKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Penelitian ini mencari faktor-faktor yang menjadi hubungan bagi

pertumbuhan akuntan publik di Indonesia dengan pengalaman kerja, gengsi

(prestige) dan peran asosiasi profesi akuntan publik sebagai variabel intervening.

Dengan cara menguji 5 level hierarki kebutuhan yang ditemukan oleh Abraham

Maslow, diharapkan penelitian ini dapat menemukan jawaban atas permasalah

yang ada.

Hierarki kebutuhan maslow yang terdiri dari 5 level tadi di

implementasikan ke dalam 18 indikator yang ada yang merupakan pengembangan

dari teori hierari kebutuhan Maslow ini. Dengan menggunakan 18 indikator tadi,

peneliti berharap menemukan jawaban atas rumusan masalah yang terjadi.

Adapun kerangka penelitian yang akan dibentuk adalah sebagai berikut

50
Aktualisasi

Penghargaan

Pengalaman

Fisiologis

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan desain/kerangka penelitian diatas, maka untuk sementara

dapat diambil kesimpulan sementara atas penelitian yang akan dilakukan, Adapun

kesimpulan sementara/hipotesis penelitian ini antara lain :

51
H.1. Hierarki kebutuhan terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik

Menurut hasil pengujian yang dilakukan oleh Stowe, Zhao dan Lord,

Thompson serta Remo dalam kurun waktu sejak tahun 2016 sampai dengan

2019 menyatakan bahwa seluruh hierarki kebutuhan dari kebutuhan fisologis

(dasar) sampai dengan kebutuhan tertinggi dalam bnruk aktualisasi diri

memiliki pengaruh terhadap minat menjadi akuntan publik. Maslow juga

menyatakan bahwa manusia harus melalui memenuhi kebutuhan paling dasar

dulu baru dapat melampaui kebutuhan selanjutnya dalam mencapai tujuannya

atau dikenal dengan istilah metamotivation. Berdasarkan kajian penelitian

terdahulu dan teori yang kemukakan oleh Maslow, maka dapat diambil

kesimpulan sementara atau hipotesis awal adalah “ Hierarki kebutuhan

berpengaruh secara keseluruhan terhadap minat menjadi akuntan

publik di Indonesia ”.

H.2. Hierarki kebutuhan terhadap Pengalaman Kerja

Jones (2016) menyatakan bahwa karir dan kepercayaan publik

mempengaruhi pengalaman kerja. Wen (2018) menyatakan bahwa

penghargaan finansial ternyata berpengaruh terhadap pengalaman kerja. Jika

melihat variabel karir, kepercayaan publik dan penghargaan finansial maka

secara hierarki kebutuhan ketiga variabel tersebut dapat digolongkan kedalam

kebutuhan Kebutuhan akan aktualisasi diri, kebutuhan penghargaan dan

kebutuhan rasa aman. Disimpulkan berdasarkan penelitian tersebut bahwa 3

dari dari kebutuhan tersebut berpengaruh terhadap pengalaman, artinya lebih

banyak yang berpengaruh dari pada yang tidak berpengaruh. Berdasarkan hal

tersebut maka kesimpulan sementara atau

52
hipotesis awal akan permasalahan ini adalah “ Hierarki kebutuhan

berpengaruh secara simultan terhadap Pengalaman kerja di Indonesia “.

H.3. Hierarki kebutuhan terhadap Gengsi (Prestige)

Thompson (2016) menyatakan bahwa dukungan sosial dan

perhargaan dalam bentuk kepercayaan publik berpengaruh terhadap gengsi

(prestige). Richins et.al., (2017) menambahkan bahwa pemahaman akan

pengetahuan yang lebih juga berpengaruh terhadap gengsi (prestige).

Pemahaman akan pengetahuan ini merupakan komponen dari hierarki

kebutuhan akan aktualisasi diri. Dapat disimpulkan bahwa dari 5 hierarki

kebutuhan yang ada, hanya 3 faktor saja yang mempengaruhi gengsi (prestige)

sedangkan 2 lagi yakni fisiologis dan rasa aman belum ada yang mengujinya.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara

atau pun hipotesis awal bahwa “ Hierarki kebutuhan berpengaruh

simultan terhadap gengsi (prestige) di Indonesia “.

H.4. Hierarki kebutuhan terhadap Peran Asosiasi Profesi

Blamo (2016) pernah melakukan penelitian dan hasilnya ditemukan

bahwa kebutuhan aktualisasi diri, rasa aman dan fisiologis (dasar)

berpengaruh terhadap peran asosiasi. Kebutuhan-kebutuhan tadi dapat dilihat

dalam bentuk jaminan karir dimasa akan datang, jaminan pekerjaan, pelatihan

professional berkelanjutan, pendidikan formal dan pertimbangan pasar kerja.

Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kebutuhan akan penghargaan dan

dukungan sosial ternyata tidak

53
berpengaruh terhadap peran asosiasi. Berdasarkan tinjauan diatas dapat

diambil kesimpulan sementara bahwa : “ Hierarki kebutuhan berpengaruh

simultan terhadap peran asosiasi di Indonesia “

H.5. Hierarki kebutuhan terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik melalui

Pengalaman Kerja

Belum ada penelitian yang menguji bahwa hierarki kebutuhan

berpengaruh terhadap minat akuntan publik melalui pengalaman kerja baik

didalam maupun diluar Indonesia. Namun Bates (2018) menyatakan bahwa

pengalaman berpengaruh terhadap minat menjadi akuntan publik di Amerika.

Eddy pada tahun 2018, Seidel pada tahun 2019 dan Chaparro pada tahun 2020

menyatakan hal serupa. Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan

sementara bahwa : “ Hierarki kebutuhan berpengaruh terhadap Minat

menjadi akuntan publik di Indonesia dengan di mediasi oleh

Pengalaman kerja “.

H.6. Hierarki kebutuhan terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik melalui Gengsi

(Prestige)

Sama halnya seperti hipotesis sebelumnya, belum ada penelitian

yang menyatakan bahwa hierarki kebutuhan berpengaruh terhadap minat

menjadi akuntan publik melalui gengsi (prestige). Tomo dan Gennaro (2020)

dalam penelitiannya pernah menyatakan bahwa gengsi (prestige) berpengaruh

terhadap minat menjadi akuntan publik. Berdasarkan penelitian tersebut

dapat kita simpulkan untuk sementara bahwa : “ Hierarki kebutuhan

berpengaruh terhadap Minat menjadi akuntan publik di Indonesia

dengan di mediasi oleh Gengsi (Prestige) “.

54
H.7. Hierarki kebutuhan terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik melalui Peran

Asosiasi

Seperti halnya 2 hipotesis sebelumnya, ternyata belum ada yang

menyatakan bahwa hierarki kebutuhan ini berpengaruh terhadap minat

menjadi akuntan publik melalui peran asosiasi. Schaefer (2019) pernah

menyatakan bahwa ternyata peran asosiasi akuntan publik di Amerika yakni

American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) sangat

berpengaruh terhadap minat seseorang untuk menjadi akuntan publik saat ini.

Berdasarkan penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sementara bahwa

: “ Hierarki kebutuhan berpengaruh terhadap Minat menjadi akuntan

publik di Indonesia dengan di mediasi oleh Peran Asosiasi Akuntan

Publik “.

55
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Rancangan penelitian merupakan rencana telaah atau penelitian secara ilmiah

dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian atau identifikasi masalah (Sekaran,

2010). Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kausalitas. Penelitian

kausalitas merupakan penelitian yang menguji hubungan antara hierarri kebutuhan

dengan minat menjadi akuntan publik di Indonesia dengan di intervening oleh 3 varibel

yakni pengalaman kerja, gengsi (prestige) dan peran asosiasi akuntan publik. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Institut Akuntan Publik Indonesia sebagai badan asosiasi

akuntan publik di Indonesia saat ini yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan

Republik Indonesia.

4.2 Defenisi Operasional Variabel

Tabel 4.1 menunjukkan matriks definisi operasional dari masing-masing

variabel,

Tabel 4 1 Definisi Operasional variabel


No Variabel Definisi Dimensi Indikator Skala
1 Minat Menjadi AkuntanPublik
Suatu perpaduan keinginan dan kemauan yang dapat berkembang jika ada motivasi (Tampubolon,1991)
Akuntan Publik Rekanan
1. AP merupakan konsultan bisnis terpercaya
2. AP dapat menjadidirektur/pimpinan
3. AP memperluas wawasan
4. AP memiliki kemampuan akuntansi
Likert
5. AP menjanjikan
masa depan yang
baik

2 Aktualiasasi Proses menjadi diri Kepastian 1. Akuntan Level Likert


Diri sendiri dan Karir Dasar
mengembangkan sifat- 2. Akuntan Level
sifat dan potensi Profesional
psikologis yang unik 3. Akuntan Level
56
(Maslow,1970) Rekanan

Kualifikasi 1. Pendidikan
Diri Formal
2. Pendidikan
Lanjutan

Pemahaman 1. Akuntansi
akan 2. Auditing
Pengetahuan 3. Hukum Bisnis
4. Teknologi
Informasi

Personalitas Kesesuaian pekerjaan


dengan kepribadian

3 Penghargaan Penilaian diri terhadap Kompetensi 1. Bidang ilmu yang Likert


hasil yang dicapai sesuai
dengan analisis, sejauh 2. Pemahaman atas
mana pencapaian auditing dan
tersebut memenuhi akuntansi

ideal diri
(Maslow,1970) Norma Kerja 1. Prilaku akuntan
di masyarakat
2. Prilaku akuntan
saat bekerja

Kepercayaan 1. Persepsi profesi


Publik dimata
masyarakat
2. Kesempatan
melakukan hal-
hal sosial

Pengakuan 1. Kemampuan
Profesional bekerja
2. Kesempatan
berkembang
3. Pengakuan
prest

57
4 Dukungan Dorongan untuk Dukungan dari 1. Dukungan orang Likert
Sosial dibutuhkan oleh orang lingkungan terdekat
lain agar ia dianggap sekitar baik 2. Dukungan Orang
sebagai warga secara phisikis Tua
komunitas sosialnya dan finansial 3. Dukungan
(Maslow,1970) lingkungan
sekitar

5 Rasa Aman Rasa aman fisik, Kebutuhan 1. Jaminan hukum Likert


stabilitas, Asosiasi dalam melakukan
ketergantungan, Profesi pekerjaan
perlindungan dan 2. Konsultasi akan
kebebasan dari daya- masalah-masalah
daya mengancam rumit
seperti kriminalitas,
peluang karir, Penghargaan 1. Gaji Pokok dan
terorisme, penyakit, Finasial bonus
takut, cemas, bahaya, 2. Tunjangan
kerusuhan dan bencana pekerjaan dan
alam (Maslow,1970) Kesehatan
3. Tunjangan hari
tua
4. Potensi kenaikan
gaji

6 Fisiologis kebutuhan untuk Pendidikan 1. Kesesuaian bidang Likert


mempertahankan formal ilmu
hidupnya secara fisik 2. Sertifikasi profesi

(Maslow,1970)
Pencapaian 1. Indeks perstasi
akademik 2. Lama masa studi

Pelatihan 1. Pelatihan sebelum


Professional bekerja
berkelanjutan 2. Pelatihan rutin
3. Biaya pelatihan
professional

Pertimbangan 1. Kesempatan
pasar kerja mengakses
pekerjaan
2. Karir yang jelas
dan pasti
3. Profesi yang akan
bertahan lama

Lingkungan 1. Sifat pekerjaan


kerja 2. Persaingan
pekerjaan
3. Tekanan dari
atasan

58
7 Pengalaman Suatu pengetahuan, Pengalaman 1. Jam kerja Likert
Kerja keterampilan, dan Auditing 2. Waktu dibutuhkan
kemampuan yang untuk
dimiliki pegawai untuk menyelesaikan
mengemban tanggung pekerjaan
jawab dari pekerjaan 3. Posisi dalam tim
sebelumnya
(Warianti,2015)

8 Gengsi Persepsi orang lain, Persepsi 1. Pemahaman Likert


(Prestige) pendapat yang masyarakat masyarakat akan
dihargai, dihormati, sebuah profesi
dikagumi atau terkenal 2. Pemahaman
(Kuenzel dan masyarakat akan
Halliday,2008) pentingnya sebuh
profesi

9 Peran Peran atau keterlibatan Pendampingan 1. Peran dalam Likert


Asosiasi sebuah badan regulator melakukan
Akuntan dalam menaugi sebuah pekerjaan jasa
Publik profesi pekerjaan 2. Peran dalam
mengikuti ujian
sertifikasi

Regulator 1. Pemahaman akan


UU akuntan publik
2. Pemahaman akan
proses karir dalam
akuntan publik

Sumber: Sumber diolah (2020 )

4.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh anggota profesi

akuntan publik yang berada pada level professional atau dengan sebutan CPA non

Akuntan Publik. Jumlah anggota pada level inni menurut directory IAPI tahun 2020

ada sebanyak 3.446 orang, sedangkan sampel yang akan digunakan dalam penelitian

ini adalah menggunakan metode slovin dengan tingakat error sebesar 5%. Maka jika

dihitung dengan rumus slovin, adapun jumlah sampel penelitian adalah sebagai

berikut :

59
N = 3.446 / (1+(3.446 x 0,052))

N = 3.446 / (1+(3.446 x 0,0025))

N = 3.446 / (1+8,615)

N = 3.446 / 9,615

N = 358,3

Dibulatkan menjadi 359 sampel.

4.4 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Agar penelitian dapat dengan mudah dipahami oleh responden pada unit

analisis dan sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka perencanaan penggunaan

instrumen penelitian sangat penting dilakukan. Mengingat penelitian ini bersifat

kualitatif dan penjelasan (explanatory research) maka instrumen yang digunakan

dalam mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan kuisioner.

Pengukuran yang diperoleh adalah menggunakan pengukuran ordinal dengan skala

likert. Penggunaan skala likert mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

informasi berupa jawaban yang menunjukkan sejauh mana mereka merasa positif atau

negatif terhadap topik yang diteliti.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Studi Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan mempelajari jurnal

ilmiah dan buku serta penelusuran internet berkaitan dengan masalah

yang teliti.

2. Kuisioner, yaitu pengumpulan data dengan mengajukan daftar pertanyaan

tertulis untuk diisi oleh responden. Pengukuran dari

60
variabel-variabel penelitian ini sendiri menggunakan skala likert. Skala

likert merupakan skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur

sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang

fenomena sosial (Sugiyono, 2016). Pengukuran indikator variabel dalam

penelitian ini, jawaban untuk pertanyaan positif dan negatif dibuat dalam

lima bobot penilaian, yaitu :

a. Sangat Setuju (ST) diberi bobot 5

b. Setuju (S), diberi bobot 4

c. Kurang Setuju(KS) diberi bobot 3

d. Tidak Setuju (TS), diberi bobot 2

e. Sangat Tidak Setuju (STS) diberi bobot 1

4.4 Teknik Analisa Data

Pemilihan alat ukur yang tepat akan menentukan kevalidan atau keabsahan

suatu hasil penelitian. Kesalahan dalam memilih alat ukur akan menyebabkan hasil

yang diperoleh tidak akan menggambarkan keadaan yang sesungguhanya. Sekaran

(2010) menyebutkan bahwa untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan dua

macam pengujian yaitu test of validity (uji validitas atau kesahihan) dan test of

reliability (uji keandalan) yang digunakan untuk menguji kesungguhan jawaban

responden. Analisis data penelitian ini menggunakan Structural Equation Model

(SEM). Perangkat pengolah data dalam model persamaan dalam penelitian ini

menggunakan Partial Least Squares (PLS).

PLS merupakan teknik statistika multivariate yang melakukan perbandingan

antara variabel dependen berganda dan variabel independen berganda (Ghazali &

Fuad, 2014). Evaluasi model PLS dilakukan dengan mengevaluasi outer

61
model dan inner model. Outer model merupakan model pengukuran untuk

memprediksi hubungan antara indikator atau parameter yang diestimasi dengan

varoabel latennya, sedangkan inner model merupakan model structural untuk

memprediksi hubungan kausalitas antar variabel laten.

Alasan penggunaan PLS adalah sebagai berikut:

1. PLS merupakan metode umum untuk mengestimasi path model yang

menggunakan variabel laten dengan multiple indicator.

2. PLS merupakan metode analisis untuk dapat diterapkan pada semua skala

data, tidak membutuhkan banyak asumsi.

3. PLS merupakan metode analisisi untuk causal-predictive analysis dalam

situasi menangani model hubungan yang sangat kompleks (ukuran

kompleksitas besar bisa terdiri dari 100 variabel laten dan 1000 variabel

manifest).

4. PLS menangani model reflektif dan normative, bahkan variabel dengan item

(indikator) tunggal (Hair, Black, Babin & Anderson, 2010). Variabel reflektif

mengasumsikan bahwa variabel/ variabel laten mempengaruhi indikator (arah

hubungan kausalitas dari variabel indikator). Variabel formatif

mengasumsikan bahwa indikator mempengaruhi variabel/ variabel laten (arah

hubungan kausalitas dari indikator ke variabel).

Analisa pada PLS dilakukan dengan tiga tahap:

1. Analisa outer model

2. Analisa inner model

3. Pengujian Hipotesa.

62
4.5.1 Analisa outer model

Analisa outer model dilakukan untuk memastikan bahwa measurement yang

digunakan layak untuk dijadikan pengukuran (valid dan reliabel). Model pengukuran

(outer model) digunakan untuk menguji validitas variabel dan reliabilitas instrumen.

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan instrumen penelitian dalam

mengukur apa yang seharusnya (Cooper et al, 2006). Uji reabilitas digunakan untuk

mengukur suatu konsep atau dapat juga digunakan untuk mengukur konsistensi

responden dalam menjawab item pertanyaan dalam kuisioner atau intrumen

penelitian

Persamaan Moderated Structural Equation Modeling yang digunakan untuk

penelitian dengan adanya variabel penghubung Pengalaman Kerja, Gengsi (Prestige)

dan Peran Asosiasi Akuntan Publik terhadap Minat Menjadi Akuntan Publik adalah

sebagai berikut:

MMAP = γ1AD+γ2P+γ3DS+γ4RA+γ5F+γ6PK+γ7G+γ8PAAP

Outer model atau outer relation atau measurement model mendefenisikan

setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Model persamaan dasar

dari model pengukuran atau outer model menurut Ghazali & Fuad (2014) dapat ditulis

sebagai berikut:

a. Variabel laten eksogen (X) adalah X= λ x ζ + δ

b. Variabel laten endogen (Y) adalah Y= λ x η + ε

Keterangan:

λ = Lamda, merupakan bobot antara variabel laten dengan indikatornya

ζ = Ksi, merupakan variabel laten eksogen

η = Eta, merupakan variabel laten endogen

63
ε = Epsilon, merupakan pengukuran error indikator endogen

δ = Delta, merupakan pengukuran error indikator eksogen

Merujuk pada persamaan di atas maka model pengukuran untuk setiap

variabel terlihat pada Tabel 4.3 sebagai berikut:

Tabel 4 2 Persamaan Model Pengukuran Variabel


Variabel Bobot Persamaan Model
Pengukuran

Y Minat Menjadi Akuntan Publik (MMAP) λMMAP1 Y1=λMMAP1 Y +δ1

λMMAP 2 Y2=λMMAP2 Y +δ2

λMMAP 3 Y3=λMMAP3 Y +δ3

λMMAP 4 Y4=λMMAP4 Y +δ4

λMMAP 5 Y5=λMMAP5 Y +δ5

λMMAP 6 Y6=λMMAP5 Y +δ6

λMMAP 7 Y7=λMMAP5 Y + δ7

λMMAP 8 Y8=λMMAP5 Y + δ8

X1 Aktualiasasi Diri (AD) λAD1.1 X1.1=λAD1.1 X1 + δ1

λAD1.2 X1.2=λAD1.2 X1 + δ2

λAD1.3 X1.3=λAD1.3 X1 + δ3

X2 Penghargaan (P) λP2.1 X2.1=λP2.1 X2 + δ1

λP2.2 X2.2=λp2.2 X2 + δ2

X3 Dukungan Sosial (DS) λDS3.1 X3.1=λDS3.1 X3 + δ1

λDS3.2 X3.2=λDS3.2 X3 + δ2

X4 Rasa Aman (RA) λRA4.1 X3.1=λRA4.1 X4 + δ1

λRA4.2 X3.2=λRA4.2 X4 + δ2

X5 Fisiologis (F) λF5.1 X3.1=λF5.1 X5 + δ1

Z1 Pengalaman Kerja (PK) λPK1 M1=λPK1 Z1 + δ1

Z2 Gengsi (Prestige) (G) λG1 M1=λG1 Z2 + δ1

Z3 Peran Asosiasi Akuntan Publik (PAAP) λPAAP1 M1=λPAAP1 Z3 + δ1

64
Analisa Outer Model ini menspesifikasi hubungan antar variabel laten dengan

indikator-indikatornya. atau dapat dikatakan bahwa outer model mendefinisikan

bagaimana setiap indikator berhubungan dengan variabel latennya. Uji yang

dilakukan pada outer model :

1. Convergent Validity. Nilai convergen validity adalah nilai loading faktor pada

variabel laten dengan indikator-indikatornya. Nilai yang diharapkan

>0.7.

2. Discriminant Validity. Nilai ini merupakan nilai cross loading faktor yang

berguna untuk mengetahui apakah variabel memiliki diskriminan yang

memadai yaitu dengan cara membandingkan nilai loading pada variabel yang

dituju harus lebih besar dibandingkan dengan nilai loading dengan variabel

yang lain.

3. Average Variance Extracted (AVE). Nilai AVE yang diharapkan >0.5.

4. Composite Reliability. Data yang memiliki composite reliability >0.7

mempunyi reliabilitas yang tinggi.

5. Cronbach Alpha. Uji reliabilitas diperkuat dengan Cronbach Alpha. Nilai

diharapkan >0.6 untuk semua variabel.

Untuk uji validitas variabel digunakan dua metode Convergent Validity dan

Discriminant Validity (Abdillah, Willy & Jogiyanto, 2015 dengan Nilai AVE

sebaiknya ≥ 0,5 (Hair et al, 2011), sedangkan untuk uji reabilitas digunakan dua

metode yakni Composite Reliability dan Cronbach Alpha. Composite Reliability

digunakan untuk untuk mengukur nilai sesungguhnya realiabilitas suatu variabel,

sedangkan Cronbach Alpha digunakan untuk untuk mengukur batas bawah nilai

realiabilitas suatu variabel.

65
Uji konsistensi internal tidak mutlak untuk dilakukan jika validitas knstruk

telah terpenuhi, karena kosntruk yang valid adalah variabel yang reliable, sebaliknya

variabel yang reliable belum tentu valid (Cooper & Schindler, 2014). Jika terdapat

indikator yang tidak memenuhi persyaratan validitas, maka sebaiknya indikator

tersebut dikeluarkan dari penelitian dan dilakukan analisis data kemabli sebelum

melakukan pembahasan hasil.

Merujuk pada penjelasan di atas maka penilaian validitas dan reliabilitas

variabel-variabel manifest reflektif penelitian dapat dirangkum sebagai berikut:

Tabel 4 3 Penilaian Uji Validitas dan Uji Realibilitas


Alat Uji Parameter Rule of Thumbs
Uji Validitas
Convergent Validity Nilai AVE Nilai AVE sebaiknya ≥ 0,5 (Hair
et al, 2011)
Discriminant Validity Akar AVE dan Korelasi Nilai AVE sebaiknya > Korelasi
Variabel Laten Variabel Laten (Hair et al, 2014)
Uji Reabilitias
Reliabilitas Indikator Nilai muatan faktor luaran Pada penelitian explanatory, ≥ 0,4
dapat diterima, sebaliknya ≥ 0,7
(Hulland, 1999)
Internal Consistency Nilai reliabilitas Nilai Composite Reliability ≥ 0,7
Realibility meskipun nilai 0,6 masih dapat
diterima (Hair et al., 2011).

4.5.2 Analisa Inner Model

analisa inner model/analisa struktural model dilakukan untuk memastikan

bahwa model struktural yang dibangun robust dan akurat. Evaluasi inner model dapat

diuji dengan menggunakan Koefisien determinasi (R2), Predictive Relevance (Q 2 ),

Goodness of Fit Index (GoF) untuk mendapatkan informasi seberapa besar variabel

laten dependen dipengaruhi oleh variabel laten independen, serta uji signifikansi

untuk menguji nilai signifikansi hubungan atau pengaruh antar variabel (Latan &

Ghazali, 2017). Koefisien determinasi (R2), parameter ini digunakan untuk mengukur

kelayakan model prediksi dengan rentang 0-1. Semakin tinggi nilai

66
R-square, maka semakin besar pula pengaruh variabel laten eksogen terhadap

variabel laten endogen. Nilai R-square dapat mendeteksi pengaruh langsung dari

variabel eksogen tertentu terhadap variabel endogen. Perubahan nilai R-square

digunakan untuk menilai pengaruh variabel independe tertentu terhadap variabel laten

dependen secara substantive (Latan & Ghazali, 2017).

4.5.3 Pengujian Hipotesis

Untuk pengujian Hipotesa dilakukan dengan melihat nilai probabilitas nya

dan t-statistik nya. Untuk nilai probabilitas, nilai p-value dengan alpha 5% adalah

kurang dari 0,05. Nilai t-Tabel untuk alpha 5% adalah 1,96. Sehingga kriteria

penerimaan Hipotesa adalah ketika t-statistik > t-Tabel. Pengujuan hipotesis juga

dapat didasarkan pada path coefficient dan total effect dari variabel-variabel

penelitian. Pengujian signifikasi pengaruh-pengaruh ini dilakukan dengan metode

bootstrapping. Apabila nilai ini signifikan secara statistika, maka hipotesis penelitian

ini diterima.

67

Anda mungkin juga menyukai