Anda di halaman 1dari 17

KOMUNIKASI TERAUPETIK

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dirancang dan direncanakan


untuk tujuan terapi, dalam rangka membina hubungan antara perawat dengan
pasien agar dapat beradaptasi dengan stress, mengatasi gangguan
psikologis, sehingga dapat melegakan serta membuat pasien merasa nyaman,
yang pada akhirnya mempercepat proses kesembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan titik tolak
saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Tujuan
hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan pasien meliputi: realisasi
diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri. Sehingga
komunikasi terapeutik itu sendiri merupakan salah satu bentuk dari berbagai
macam komunikasi yang dilakukan secara terencana dan dilakukan untuk
membantu proses penyembuhan pasien.

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara


sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien dan
membina hubungan yang terapeutik antara perawat dan klien. Komunikasi
terapeutik juga dapat dipersepsikan sebagai proses interaksi antara klien dan
perawat yang membantu klien mengatasi stress sementara untuk hidup
harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat
diubah dan mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi realisasi diri.
Berikut definisi dan pengertian komunikasi terapeutik dari beberapa sumber
buku:

 Menurut Yubiliana (2017), komunikasi terapeutik adalah komunikasi


yang terjalin dengan baik, komunikatif dan bertujuan untuk
menyembuhkan atau setidaknya dapat melegakan serta dapat
membuat pasien merasa nyaman dan akhirnya mendapatkan
kepuasan.
 Menurut Priyanto (2009), komunikasi terapeutik adalah kemampuan
atau keterampilan perawat untuk membantu klien beradaptasi terhadap
stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana
berhubungan dengan orang lain.
 Menurut Purwanto (1994), komunikasi terapeutik adalah komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
 Menurut Stuart & Sundeen (1995), komunikasi terapeutik adalah cara
untuk membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian
informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk
mempengaruhi orang lain.
 Menurut Suryani (2005), komunikasi terapeutik adalah komunikasi
yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong
atau perawat dapat membantu klien mengatasi masalah yang
dihadapinya melalui komunikasi.

Fungsi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik dapat digunakan sebagai terapi untuk menurunkan


tingkat kecemasan pasien atau meningkatkan rasa percaya pasien terhadap
perawatnya. Dengan pemberian komunikasi terapeutik diharapkan dapat
menurunkan tingkat kecemasan pasien karena pasien merasa bahwa
interaksinya dengan perawat merupakan kesempatan untuk berbagi
pengetahuan, perasaan dan informasi dalam rangka mencapai tujuan
perawatan yang optimal, sehingga proses penyembuhan akan lebih cepat.

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), fungsi komunikasi terapeutik adalah


sebagai berikut:

1. Meningkatkan tingkat kemandirian klien melalui proses realisasi diri,


penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri.
2. Identitas diri yang jelas dan rasa integritas yang tinggi.
3. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan
saling tergantung dan mencintai.
4. Meningkatkan kesejahteraan klien dengan peningkatan fungsi dan
kemampuan memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal
yang realistik.
Pemberian komunikasi terapeutik yang diberikan oleh perawat pada
pasiennya berisi tentang diagnosa penyakit, manfaat, urgensinya tindakan
medis, resiko, komplikasi yang mungkin dapat terjadi, prosedur alternatif yang
dapat dilakukan, konsekuensi yang dapat terjadi apabila tidak dilakukan
tindakan medis, prognosis penyakit, dampak yang ditimbulkan dari tindakan
medis serta keberhasilan atau ketidakberhasilan dari tindakan medis tersebut.

Tujuan Komunikasi Terapeutik

Pelaksanaan komunikasi terapeutik bertujuan membantu pasien memperjelas


penyakit yang dialami, juga mengurangi beban pikiran dan perasaan untuk
dasar tindakan guna mengubah ke dalam situasi yang lebih baik. Komunikasi
terapeutik diharapkan dapat mengurangi keraguan serta membantu
dilakukannya tindakan efektif, memperat interaksi kedua pihak, yakni antara
pasien dan perawat secara profesional dan proporsional dalam rangka
membantu penyelesaian masalah pasien.

Menurut Indrawati (2003), tujuan komunikasi terapeutik adalah membantu


pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran, membantu
mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi
orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri. Sedangkan menurut Stuart &
Laraia (2005), tujuan komunikasi terapeutik adalah kesadaran diri,
penerimaan diri, dan meningkatnya kehormatan diri, identitas pribadi yang
jelas dan meningkatnya integritas pribadi, kemampuan untuk membentuk
suatu keintiman, saling ketergantungan, hubungan interpersonal, dengan
kapasitas memberi dan menerima cinta, mendorong fungsi dan meningkatkan
kemampuan terhadap kebutuhan yang memuaskan dan mencapai tujuan
pribadi yang realistik.
Karakteristik Komunikasi Terapeutik

Menurut Arwani (2002), terdapat tiga ciri-ciri yang menjadi karakteristik serta
membedakan komunikasi terapeutik dengan komunikasi yang lain, yaitu:

a. Keikhlasan (genuiness)

Perawat harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki
terhadap keadaan klien. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya
mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap klien
sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikan secara tepat.

b. Empati (empathy)

Empati merupakan perasaan pemahaman dan penerimaan perawat terhadap


perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan dunia pribadi klien.
Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak dibuat-buat (objektif)
didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati cenderung bergantung
pada kesamaan pengalaman diantara orang yang terlibat komunikasi.

c. Kehangatan (warmth)

Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan


ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki
atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif dan tanpa adanya
ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap klien.
Sehingga klien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam.

Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik

Menurut Suryani (2005), terdapat beberapa prinsip yang harus dipahami


dalam membangun dan mempertahankan komunikasi terapeutik, yaitu:

1. Hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang


saling menguntungkan. hubungan ini didasarkan pada prinsip humanity
of nurse and clients. Kualitas hubungan perawat-klien ditentukan oleh
bagaimana perawat mendefenisikan dirinya sebagai manusia.
Hubungan perawat dengan klien tidak hanya sekedar hubungan
seorang penolong dengan kliennya tapi lebih dari itu, yaitu hubungan
antar manusia yang bermartabat.
2. Perawat harus menghargai keunikan klien. Tiap individu mempunyai
karakter yang berbeda-beda. Karena itu perawat perlu memahami
perasaan dan perilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang
keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.
3. Komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga
harga dirinya dan harga diri klien.
4. Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya
harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan
memberikan alternatif pemecahan masalah. hubungan saling percaya
antara perawat dan klien adalah kunci dari komunikasi terapeutik.

Teknik Komunikasi Terapeutik

Menurut Uripni dkk (2002), teknik yang dilakukan dalam pelaksanaan


komunikasi terapeutik, adalah sebagai berikut:

1. Mendengar dengan penuh perhatian. Hal ini perawat harus


mendengarkan masalah yang disampaikan oleh klien untuk
mengetahui perasaan, pikiran dan persepsi klien itu sendiri. Sikap yang
dibutuhkan untuk menjadi pendengar yang baik adalah menatap
matanya saat berbicara, tidak menyilangkan kaki dan tangan, hindari
gerakan yang tidak perlu dan condongkan tubuh kearah lawan bicara.
2. Menunjukkan penerimaan. Mendukung dan menerima dengan
tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai.
Menerima bukan berarti menyetujui. Menerima berarti mendengarkan
orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan. Tujuan perawat bertanya
adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai masalah
yang telah disampaikan oleh klien. Oleh sebab itu, sebaiknya
pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan masalah yang sedang
dihadapi oleh klien.
4. Mengulang ucapan klien dengan kata-kata sendiri. Melalui
pengulangan kembali kata-kata klien, seorang perawat memberikan
umpan balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap
komunikasi dilanjutkan.
5. Mengklarifikasi. Klarifikasi terjadi pada saat perawat menjelaskan
dalam kata-kata mengenai ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan
oleh klien. Tujuan dari teknik ini untuk menyamakan pengertian.
6. Memfokuskan. Tujuan dari memfokuskan untuk membatasi
pembicaraan sehingga pembicaraan menjadi lebih spesifik dan
dimengerti. Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak memutuskan
pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah yang sedang
dihadapi.

Tahapan Komunikasi Terapeutik

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), tahapan-tahapan dalam pelaksanaan


komunikasi terapeutik, adalah sebagai berikut:

a. Fase Prainteraksi

Prainteraksi dimulai sebelum kontrak pertama dengan klien. Tahap ini


merupakan tahap persiapan perawat sebelum bertemu dan berkomunikasi
dengan pasien. Perawat perlu mengevaluasi diri tentang kemampuan yang
dimiliki. Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri
perawat akan dapat memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik ketika
bertemu dan berkomunikasi dengan pasien, jika dirasa dirinya belum siap
untuk bertemu dengan pasien makan perawat perlu belajar kembali dan
berdiskusi dengan teman kelompok yang lebih berkompeten. Perawat
mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan, fantasi dan
ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan klien.

b. Fase Orientasi

Fase ini dimulai ketika perawat bertemu dengan klien untuk pertama kalinya.
Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan
mempengaruhi terbinanya hubungan perawat klien. Dalam memulai
hubungan tugas pertama adalah membina rasa percaya, penerimaan dan
pengertian komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan klien.
Untuk dapat membina hubungan saling percaya dengan pasien, perawat
harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima pasien, menghargai pasien
dan mampu menepati janji kepada pasien. Selain itu perawat harus
merumuskan suatu kontrak bersama dengan pasien. Kontrak yang harus
dirumuskan dan disetujui bersama adalah tempat, waktu dan topik pertemuan.

Perawat juga bertugas untuk menggali perasaan dan pikiran pasien serta
dapat mengidentifikasi masalah pasien. Pada tahap ini perawat melakukan
kegiatan sebagai berikut: memberi salam dan senyum pada klien, melakukan
validasi (kognitif, psikomotor, afektif), memperkenalkan nama perawat,
menanyakan nama kesukaan klien, menjelaskan kegiatan yang akan
dilakukan, menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan,
menjelaskan kerahasiaan. Tujuan akhir pada fase ini ialah terbina hubungan
saling percaya.

c. Fase Kerja

Pada tahap kerja dalam komunikasi terapeutik, kegiatan yang dilakukan


adalah memberi kesempatan pada klien untuk bertanya, menanyakan
keluhan utama, memulai kegiatan dengan cara yang baik, melakukan
kegiatan sesuai rencana. Perawat memenuhi kebutuhan dan
mengembangkan pola-pola adaptif klien. Interaksi yang memuaskan akan
menciptakan situasi/suasana yang meningkatkan integritas klien dengan
meminimalisasi ketakutan, ketidakpercayaan, kecemasan dan tekanan pada
klien.

d. Fase Terminasi

Pada tahap terminasi dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang dilakukan


oleh perawat adalah menyimpulkan hasil wawancara, tindak lanjut dengan
klien, melakukan kontrak (waktu, tempat dan topik), mengakhiri wawancara
dengan cara yang baik. Tahap terminasi dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Terminasi Sementara. Terminasi sementara merupakan akhir dari
pertemuan perawat dengan pasien, akan tetapi masih ada pertemuan
lainnya yang akan dilakukan pada waktu yang telah disepakati
bersama.
2. Terminasi Akhir. Pada terminasi akhir perawat telah menyelesaikan
proses keperawatan secara menyeluruh.

PERAWATAN PASIEN PALIATIF

Perawatan paliatif adalah perawatan yang diberikan kepada pasien dengan


penyakit yang dapat mengancam jiwa. Perawatan paliatif memberikan
penanganan secara menyeluruh mulai dari mengatasi nyeri dan gejala lain
yang dialami pasien, juga menyediakan pendampingan psikologis, sosial, dan
spiritual.
“Tujuan dari perawatan paliatif adalah meningkatkan kualitas hidup pasien
dan keluarganya,” kata dr. Yuddi Gumara Sp. An (K), KMN, kepala instalasi
perawatan paliatif Rumah Sakit Kanker Dharmais dalam wawancaranya
dengan Hello Sehat.
“Bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa, yang membuatnya
merasa sakit itu bukan hanya dari penyakitnya tapi juga dari berbagai aspek
kehidupan lain yang ikut terganggu,” papar Yudi selanjutnya.
Rasa nyeri yang dialami pasien kanker itu bisa membuatnya kesulitan tidur,
makan, uring-uringan atau marah-marah terhadap orang sekitar, dan sulit
melakukan aktivitas lainnya. Maka menangani nyeri yang dirasakan akan
membuatnya lebih tenang dan bisa melakukan aktivitas tersebut.
Di Indonesia masih banyak yang menganggap perawatan paliatif hanya
diperuntukkan bagi pasien yang telah menjelang ajal.
“Sehingga dalam praktiknya ketika ada pasien yang dirujuk ke instalasi
perawatan paliatif, banyak yang menolak dengan alasan takut,” kata Yuddi.
Perawatan paliatif bukan berarti dokter telah menyerah untuk menyembuhkan
pasien. Tapi ini merupakan pendampingan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Perawatan paliatif bukan vonis kematian
Perawatan paliatif pada pasien kanker bisa dimulai sejak saat pasien
didiagnosis. Perawatan ini bisa dimulai kapan saja ketika kualitas hidupnya
menurun atau ketika semangat pasien menurun lalu menganggap dirinya
tidak punya harapan sembuh.
“Bahkan bagi pasien yang belum terdiagnosis tapi sudah mengalami gejala
yang mengarah kepada kanker, kondisi ini seringkali sudah memengaruhi
kualitas hidup pasien,” jelas Yuddi.
Pada tahap ini, perawatan paliatif akan memberikan dukungan psikolog agar
pasien tidak putus asa, menangani nyeri, dan mengatasi luka kanker.
Sementara itu, dokter kanker akan menyiapkan penanganan medis yang
sesuai untuk mengobati kankernya. Perawatan paliatif juga mungkin
diperlukan saat menjalani pengobatan kanker.

1. Maria Astheria Witjaksono, MPALLC(FU), dokter paliatif Rumah Sakit


Kanker Dharmais mengatakan bahwa perjalanan pasien kanker itu
tidak ringan. Karena itu butuh dukungan dalam aspek kehidupan
lainnya agar pengobatan sesuai dengan yang diharapkan.

“Masalah komunikasi, masalah informasi, masalah pengambilan keputusan


itu perlu didiskusikan untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal ,” jelas
Maria.
Misalnya keputusan untuk melakukan operasi atau tidak. Keputusan ini
seringkali membuat perdebatan antar anggota keluarga. Perawatan paliatif
akan dapat memberikan ruang mediasi bagi keluarga demikian juga. Gejala
harus di tatalaksana secara adekuat agar tercapai kualitas hidup yang baik
Contoh selanjutnya adalah pendampingan psikologi pada keluarga. Sebab,
papar Maria, tidak jarang seseorang dapat merasa bersalah atas penyakit
yang diderita pasangannya. Maka pendampingan dari perawatan paliatif itu
dibutuhkan.
Jika keluarga tidak bisa menemani ke rumah sakit, perawatan paliatif Rumah
Sakit Kanker Dharmais juga memiliki relawan yang siap menggantikan
anggota keluarga menemani pasien saat terapi.
“Di dalam perawatan paliatif kita sangat memperhatikan kebutuhan pasien.
Hubungan yang dekat dengan pasien diperlukan untuk memahami apa yang
dirasakan, ketakutan, kekhawatiran, dan harapannya,” ujar Maria
menjelaskan.
Porsi perawatan paliatif yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Semakin buruk kondisi penyakitnya maka akan semakin banyak peran paliatif.
Bahagia di akhir kehidupan
Saat kanker memasuki stadium terminal maka ini diperlukan perawatan
paliatif akhir kehidupan. Stadium terminal adalah akhir dari stadium lanjut
dimana tidak ada lagi pengobatan yang mampu menghentikan progresifitas
penyakit.
Pada pasien stadium terminal tujuan utama pengobatan paliatif adalah untuk
mencapai kualitas sisa hidup, mempersiapkan kematian yang
bermartabat,damai, terhindar dari gejala.
“Dengan menikmati waktu di sisa hidupnya yang lebih nyaman, yaitu tinggal
di rumah sehat, rumah penuh kasih sayang, rumah penuh pengertian, pasien
mungkin bisa hidup lebih panjang ,” lanjutnya.
Tapi tidak sedikit keluarga pasien yang belum bisa merelakan kondisi stadium
terminal ini. Mereka ingin pasien menerima semua pengobatan yang bisa
diberikan, minta untuk masuk ruang ICU untuk mendapatkan tindakan-
tindakan yang mungkin tidak diperlukan.
“Lakukan segalanya, kami bayar berapa pun,” tutur Maria mencontohkan
pernyataan yang kerap disampaikan oleh keluarga pasien karena ingin
memberikan segalanya secara maksimal. Padahal kondisi itu seringkali justru
menambah penderitaan pasien.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Maria pada tahun 2007, mayoritas
pasien ingin menghabiskan waktu di akhir kehidupannya bersama keluarga
bukan di rumah sakit. Ia ingin didoakan, dilepas dengan keikhlasan, dan
mengetahui kalau anak-anak atau keluarga yang ditinggalkannya akan saling
mendukung dan menguatkan.
Ini salah satu tugas perawatan paliatif yakni berbicara mengenai tujuan hidup,
kekhawatiran, dan harapan pasien dalam menjalani bab akhir kehidupan.
“Keinginan terakhir pasien, harapan, hingga wasiat,” kata Maria. Sehingga
jika fisik pasien sudah tak lagi kuat menanggung penyakitnya, ia bisa pergi
dengan ketenangan dan penerimaan.

KEBUTUHAN SPIRITUAL
Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang harus di
penuhi. Kebutuhan spiritual mengandung arti suatu keyakinan pendekatan,
harapan dan kepercayaan pada Tuhan serta kebutuhan untuk menjalankan
Agama yang dianut, kebutuhan untuk dicintai dan diampuni oleh Tuhan yang
seluruhnya dimiliki dan harus dipertahankan oleh seseorang sampai
kapanpun agar memperoleh pertolongan, ketenangan, keselamatan,
kekuatan, penghiburan serta kesembuhan
Proses keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien sebagai
berikut:
a. Pengkajian Keperawatan Menurut Azizah (2011) Pada dasarnya informasi
awal yang perlu digali secara umum yaitu aplikasi agama (partisipasi
dalam kegiatan agama), keyakinan spiritual (mempengaruhi praktek
kesehatan, presepsi penyembuhan dan strategi koping), nilai spiritual
(mempengaruhi tujuan dan arti hidup dan kematian, kesehatan dan
pemeliharaannya, hubungan dengan Tuhan Sang Pencipta, diri sendiri
dan orang lain).Suatu pengkajian spiritual juga dimaksudkan untuk menilai
apa yang menjadi kebutuhan pasien. Pengkajian ini dapat dilakukan bila
pasien mampu berkomunikasi dengan baik pada perawat. Dalam
pengkajian terdapat data subjektif empat area yaitu konsep tentang Tuhan
dan Ketuhanan, sumber harapan dan kekuatan, praktik agama dan ritual
serta hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan. Pada
data objektif perawat perlu mengobservasi afek dan sikap (misalnya
kesepian, marah, depresi, cemas, apatis), perilaku klien (berdoa,
membaca kitab suci, mengeluh tidak dapat tidur, dan lain-lain), verbalisasi
(yaitu apakah apakah pasien menyebut Tuhan, minta dikunjungi oleh
tokoh agama, eksppresi rasa takut mati, konflik bating, arti keberadaan di
dunia dan sebagainya), hubungan interpersonal dengan lingkungan
(Azizah, 2011).
Menurut Smyth (2011) pengkajian spiritual pasien dimulai dari pasien atau
keluarga pasien dengan cara mendengarkan dan melalui pengamatan
termasuk interaksi pasien dengan perawat, keluarga dan pengunjung
lainnya, pola tidur, gangguan fisik, dan tekanan emosional.
Hasil penelitian Leeuwen et al (2006) menyimpulkan bahwa pengkajian
spiritual pasien terbatas pada satu atau dua pertanyaan yaitu apakah
pasien merupakan bagian dari komunitas keagamaan atau apakah pasien
ingin bertemu dengan pemuka agamanya. Namun dalam beberapa situasi
perawat bertanya lebih mendalam misalnya tentang pandangan spiritual
pasien atau bagaimana pasien mengatasi suatu kondisi yang sedang
dihadapi. Pada pasien tertentu perawat mengakui bahwa pengkajian
spiritual dengan wawancara tidak perlu dilakukan, hanya melalui
observasi saja, perawat berfikir pasien yang sekarat tidak etis untuk
dilakukan wawancara. Perawat dapat mengkaji dan memperoleh
kebutuhan spiritual pasien jika komunikasi yang baik sudah terjalin antara
perawat dan pasien, sehingga perawat dapat mendorong pasien untuk
mengungkapkan hal-hal yang terkait kebutuhan spiritual (Sartory, 2010)
b. Diagnosa keperawatan Azizah (2011) dan O′Brien (2009) mengatakan
bahwa peran perawat dalam merumuskan diagnosa keperawatan terkait
dengan spiritual pasien mengacu pada distres spiritual yaitu spiritual pain,
pengasingan diri (spiritual alienation), kecemasan (spiritual anxiety), rasa
bersalah (spiritual guilt), marah (spiritual anger), kehilangan (spiritual loss),
putus asa (spiritual despair). Distres spiritual selanjutnya dijabarkan
dengan lebih spesifik sebagai berikut:
1) Spiritual pain
Spiritual pain merupakan ekspresi atau ungkapan dari
ketidaknyamanan pasien akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien
dengan penyakit terminal atau penyakit kronis mengalami gangguan
spiritual dengan mengatakan bahwa pasien merasa hampa karena
selama hidupnya tidak sesuai dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan
ini lebih menonjol ketika pasien menjelang ajal.
2) Pengasingan diri (spiritual alienation)
Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa
pasien merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien
dengan penyakit kronis merasa frustasi sehingga bertanya: dimana
Tuhan ketika saya butuh Dia hadir?
3) Kecemasan (spiritual anxiety) Dibuktikan dengan ekspresi takut akan
siksaan dan hukuman Tuhan, takut Tuhan tidak peduli, takut Tuhan
tidak menyukai tingkah lakunya. Beberapa budaya meyakini bahwa
penyakit merupakan suatu hukuman dari Tuhan karena
kesalahankesalahan yang dilakukan semasa hidupnya.
4) Rasa bersalah (spiritual guilt) Pasien mengatakan bahwa dia telah
gagal melakukan hal-hal yang seharusnya dia lakukan dalam hidupnya
atau mengakui telah melakukan hal-hal yang tidak disukai Tuhan.
5) Marah (spiritual anger) Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan
yang mendalam, Tuhan kejam. Keluarga pasien juga marah dengan
mengatakan mengapa Tuhan mengijinkan orang yang mereka cintai
menderita.
6) Kehilangan (spiritual loss) Pasien mengungkapkan bahwa dirinya
kehilangan cinta dari Tuhan, takut bahwa hubungannya dengan Tuhan
terancam, perasaan yang kosong. Kehilangan sering diartikan dengan
depresi, merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
7) Putus asa (spiritual despair)
Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki suatu
hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara umum
orang-orang yang beriman sangat jarang mengalami keputusasaan.
Diagnosa keperawatan terkait kebutuhan spiritual menurut NANDA
(2012) antara lain: a) distress spiritual yang berhubungan dengan konflik nilai,
isolasi oleh orang lain, rasa takut, terpisah dari komunitas keagamaan, b)
cemas yang berhubungan dengan ancaman kematian, perubahan status
kesehatan, c) keputus asaan yang berhubungan dengan kehilangan
keyakinan kepada Tuhan.
c. Intervensi/perencanaan keperawatan Perawat dan klien harus menyusun
kriteria hasil dan rencana intervensi (Azizah, 2011). Pada fase rencana
keperawatan, perawat membantu pasien untuk mencapai tujuan yaitu
memelihara atau memulihkan kesejahteraan spiritual sehingga kepuasan
spiritual dapat terwujud. Perencanaan keperawatan sesuai dengan
diagnosa keperawatan berdasarkan NANDA (2012) meliputi:
1. Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien dalam beragama, mengkaji
sumbersumber harapan dan kekuatan pasien, mendengarkan
pendapat pasien tentang hubungan spiritual dan kesehatan,
memberikan privasi, waktu dan tempat bagi pasien untuk melakukan
praktek spiritual, menjelaskan pentingnya hubungan dengan Tuhan,
empati terhadap perasaan pasien, kolaborasi dengan pemuka agama,
meyakinkan pasien bahwa perawat selalu mendukung pasien.
2. Menggunakan pendekatan yang menenangkan pasien, menjelaskan
semua prosedur dan apa yang akan dirasakan pasien selama
prosedur, mendampingi pasien untuk memberikan rasa aman dan
mengurangi rasa takut, memberikan informasi tentang penyakit
pasien, melibatkan keluarga untuk mendampingi pasien, mengajarkan
dan menganjurkan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi,
mendengarkan pasien dengan aktif, membantu pasien mengenali
situasi yang menimbulkan kecemasan, mendorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan, ketakutan, dan persepsi.
3. Membantu pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan atau
ancaman dalam kehidupan, meningkatkan hubungan interpersonal
pasien, memberikan rasa aman.
d. Implementasi keperawatan Menurut potter & Perry (2005), implementasi
pemenuhan kebutuhan spiritual sebagai berikut:
1) Menetapkan kehadiran Kiat ini bukan hanya melakukan prosedur
dengan cara yang sangat cepat atau berbagai informasi teknis dengan
klien yang mungkin tidak bermakna. Benner mengklarifikasi bahwa
kehadiran melibatkan “ada bersama”, klien versus “melakukan untuk”
klien. Kehadiran adalah mampu memberikan kedekatan dengan klien,
secara fisik, psikologis dan spiritual.
2) Mendukung hubungan yang menyeluruh
Inti dari hubungan yang menyeluruh ini adalah dengan menggerakkan
harapan klien.
3) Sistem dukungan Sistem pendukung memberi mereka rasa sejahtera
terbesar selama di rumah sakit. Perawat merencanakan perawatan
bersama klien dan jaringan pendukung klien untuk meningkatkan ikatan
interpersonal yang sangat penting untuk penyembuhan. Sistem
pendukung sering memberi sumber kepercayaan yang memperbaharui
jati diri spiritual klien. Keluarga dan teman mungkin juga menjadi
sumber penting dalam melakukan ritual kebiasaan keagamaan yang
dianut klien.
4) Berdoa Tindakan berdoa adalah bentuk dedikasi diri yang
memungkinkan individu untuk bersatu dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Berdoa memberi kesempatan pada individu untuk memperbarui
kepercayaan dan keyakinan kepada Yang Maha Kuasa dalam cara
yang lebih formal.
5) Mendukung ritual keagamaan Bagi banyak klien, kemampuan untuk
menelaah ritual keagamaan adalah suatu sumber koping yang penting.
Dalam menghadapi pasien dengan penyakit yang ia derita, perawat
harus memberikan ketenangan batin, memberikan pemahaman kepada
pasien bahwa pada dasarnya setiap penyakit yang diderita mempunyai
obat dan seseorang harus lebih sadar dan iklas menjalani takdir yang
telah ditentukan oleh Tuhan Sang Pencipta.
e. Evaluasi Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien,
perawat harus melakukan evaluasi yaitu dengan menentukan apakah
tujuan telah tercapai. Hal ini sulit dilakukan karena dimensi spiritual yang
bersifat subjektif dan lebih kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari
implementasi yang telah dilakukan tampaknya menjadi cara yang baik
untuk mengevaluasi spiritual pasien (Sianturi, 2014).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Memberikan


Spiritual Aspek spiritual sangat berperan penting bagi kesehatan,
kesejahteraan, dan kualitas hidup manusia. Dengan demikian, maka
pemberian spiritual merupakan hal yang harus dilakukan perawat agar dapat
membantu memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
pasien. Namun perawat selalu merasa kesulitan dalam memberikan spiritual
pasien (Sianturi, 2014). Menurut Mc Sherry (dalam Sianturi, 2014) faktor-
faktor yang mempengarui perawat dalam memberikan spiritual dibagi dua
yaitu faktor intrinsik terdiri dari ketidakmampuan perawat berkomunikasi,
ambiqu, kurangnya pengetahuan tentang spiritual, hal yang bersifat pribadi,
dan takut melakukan kesalahan, faktor ekstrinsik terdiri dari organisasi dan
manajemen, hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya
waktu, masalah pendidikan perawat. Faktor intrinsik dan ekstrinsik dijelaskan
sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan perawat untuk berkomunikasi.
Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif dapat mengakibatkan
pasien tidak mampu mengungkapkan kebutuhan spiritualnya,
sedangkan ada tidaknya kebutuhan spiritual pasien dapat diketahui
perawat dari pasien itu sendiri, hal ini akan berakibat pula pada
ketidakmampuan perawat menilai atau menafsirkan keadaan, hal ini
akan mengakibatkan pasien dan perawat putus asa, situasi ini tidak
mudah diatasi, karena tidak ada solusi yang mudah. Perawat dapat
mencoba mengatasi keadaan ini dengan berbagai tehnik untuk
mencoba menemukan apa yang menjadi kebutuhan spiritual pasien.
b. Ambigu
Ambigu muncul ketika perawat berbeda keyakinan dengan pasien
yang dirawatnya. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak aman,
sehingga perawat menghindar dari keadaan ini. Mc Sherry (dalam
Sianturi 2014) mengatakan ambigu mencakup kebingungan perawat,
takut salah, dan menganggap spiritual terlalu sensitif dan merupakan
hak pribadi pasien.
c. Kurangnya pengetahuan tentang spiritual
Ambigu juga dapat muncul ketika perawat tidak mengetahui tentang
spiritual. Ozbasaran et al (dalam Sianturi 2014), mengatakan bahwa
persepsi perawat tentang spiritual dapat menjadi penghalang perawat
dalam memberikan spiritual. Jika mereka percaya bahwa pemberian
spiritual adalah ibadah maka persepsi ini akan secara langsung
mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengatasi kebutuhan
spiritual pasien. Kozier et al (2004) mengatakan bahwa perawat yang
memperhatikan spiritual dirinya dapat bekerja lebih baik dalam
merawat pasien yang memiliki kebutuhan spiritual. Untuk dapat
memberikan spiritual pada pasien, penting untuk menciptakan kondisi
yang nyaman akan spiritual diri sendiri. Spiritual perawat itu sendiri
juga merupakan faktor yang mempengaruhi pemberian spiritual,
karena hal ini dapat digunakan sebagai strategi dalam intervensi dan
kekuatan yang mendukung ditempat kerja. Persepsi perawat terhadap
spiritualsecara langsung dapat mempengaruhi bagaimana mereka
berperilaku, bagaimana menangani pasien, dan bagaimana
berkomunikasi dengan pasien pada saat perawat memberikan spiritual
(Sianturi, 2014).
d. Hal yang bersifat pribadi
Perawat berpendapat bahwa spiritual merupakan hal yang bersifat
pribadi, sehingga sulit untuk ditangani oleh perawat. Dalam
mengekspresikan kebutuhan spiritualnya pasien mengharapkan
tersedianya ruangan atau kamar yang tenang dimana pasien dapat
dengan tenang menceritakan tentang masalah-masalah pribadinya
(Sianturi, 2014).
e. Takut melakukan kesalahan
Perawat merasa takut jika apa yang dilakukannya merupakan hal
yang salah, dalam situasi yang sulit hal ini dapat mengakibatkan
penolakan dari pasien (Sianturi, 2014).
f. Organisasi dan manajemen
Jika profesi perawat akan memberikan perawatan spiritual yang efektif,
maka manajemen harus mampu mengatasi hambatan ekstrinsik.
Manajemen harus bertanggungjawab dan mendukung pemberian
spiritual (Sianturi, 2014).
g. Hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu,
masalah pendidikan Merupakan hambatan terbesar dalam
memberikan spiritual. Sartory (2010) menyimpulkan bahwa hambatan
ekonomi termasuk di dalamnya adalah kekuranganperawat, waktu dan
masalah pendidikan, dimana perawat mengungkapkan bahwa mereka
kurang percaya diri dalam memberikan spiritual karena kurangnya
wawasan dan pengetahuan. Hasil penelitian Wong (2008 dalam
Sianturi, 2014) menemukan bahwa perawat dengan tingkat pendidikan
sarjana lebih baik dalam memberikan spiritual, oleh karena itu
pendidikan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pemberian
spiritual oleh perawat kepada pasien

Anda mungkin juga menyukai