Lapkas
Lapkas
Oleh
Pembimbing
KABUPATEN SIMALUNGUN
2021
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Oleh :
Wahana :
Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
program internship di RSUD dokter Indonesia
Pembimbing Pendamping
KABUPATEN SIMALUNGUN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada
laporan kasus ini, saya menyajikan teori mengenai Diabetes Melitus Tipe 2.
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Program
Dokter Internship Indonesia di RSUD Tuan Rondahaim, Kabupaten Simalungun.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Ruth Imelda Siagian, selaku dokter pendamping kami, serta terima
kasih kepada dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD, atas kesediaan beliau sebagai dokter
pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini. Besar harapan saya, melalui laporan
ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Diabetes Melitus Tipe 2 semakin
bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan
ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun
spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan.
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
2.1 Defenisi........................................................................................................................ 3
2.4 Epidemiologi................................................................................................................ 4
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 30
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
1. Untuk lebih mengerti dan memahami tentang penyakit diabetes melitus
2. Agar dapat mengintegrasikan teori yang didapat terhadap pasien dengan kasus
diabetes melitus
3. Untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Internship di RSUD
Tuan Rondahaim Kabupaten Simalungun
1.2 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Penulis dan
Pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat mengetahui dan
memahami lebih dalam mengenai penyakit diabetes melitus
BAB I
I TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua –
duanya. 1
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM 1
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus
ke defisiensi insulin absolut
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 bervariasi mulai yang dominan
resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi
insulin.
Tipe lain defek genetik fungsi sel beta
defek genetik kerja insulin
penyakit eksokrin pankreas
endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM
2.3 Etiologi dan Predisposisi
Belum diketahui secara jelas, namun diduga faktor genetik dan faktor gaya hidup
memiliki peran yang cukup besar dalam terjadinya penyakit ini. Beberapa kondisi yang
dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami diabetes mellitus adalah
obesitas, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan tidak
seimbang, merokok, riwayat toleransi glukosa terganggu, riwayat glukosa darah puasa
terganggu, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus. 3
2.4 Epidemiologi
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidens dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. WHO
memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk
tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari
hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980
menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe-2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1%
yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan
prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari
prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian
menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi
DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan
pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5
juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan
pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan
dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan
terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi
1. Patogenesis
Pada awal akan muncul resistensi insulin kemudian disusul oleh peningkatan
sekresi insulin, untuk mengompensasi resistensi insulin agar kadar glukosa darah tetap
normal. Resistensi insulin mengakibatkan gangguan toleransi glukosa. Gangguan
toleransi glukosa didefinisikan sebagai kadar glukosa setelah dua jam dari 140-199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/l) tes toleransi glukosa oral 75 gram dengan glukosa puasa dapat
normal atau sedikit meningkat. Sel beta akhrinya tidak sanggup mengompensasi
kejadian resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa sehingga kadar glukosa darah
meningkat dan fungsi sel beta semakin menurun.
2. Patofisiologi
Pada diabetes mellitus tipe 1 terjadi autoimun yang menyebabkan terjadi
kerusakan pada sel β pankreas sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
absolut. Akibat dari tidak adanya insulin, jaringan tidak dapat mengambil glukosa yang
terdapat di dalam darah sehingga timbul kondisi hiperglikemia. Akibatnya, sel
kekurangan energi dan menimbulkan respons glikogenolisis, glukoneogenesis, dan
lipolisis untuk menghasilkan glukosa untuk energi. Keadaan ini justru akan
memperparah hiperglikemia dan menimbulkan asidosis melalui peningkatan produksi
bahan keton. Penghancuran protein dan lemak tubuh berakibat pada penurunan berat
badan (wasting) dan asidosis menyebabkan vasodilatasi dan hipotermia. Sebagai bentuk
kompensasi tubuh terhadap asidosis yang terjadi, timbul hiperventilasi pada pasien,
yang bertujuan untuk mengurangi asidosis dengan jalan membuangnya melalui karbonn
dioksida. Penurunan keadaan anabolik dan hiperglikemia menyebabkan fatigue.
Glukosa diekskresikan dari tubuh melalui urin dalam bentuk diuresis yang selanjutnya
dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh sehingga pasien menjadi
dehidrasi, merasa haus dan akhirnya akan minum air dalam jumlah yang banyak
(polidipsia).4,5,8,9
Sedangkan diabetes mellitus tipe 2 merupakan sebuah kondisi dimana terjadi
resistensi insulin di perifer dan sekresi insulin yang inadekuat. Pada dasarnya, jika
terjadi resistensi insulin namun sekresinya masih adekuat maka kondisi tersebut belum
bisa dikatakan sebagai diabetes mellitus tipe 2. Resistensi insulin perifer dapat diinduksi
melalui banyak faktor, misalnya diet tinggi kalori, rendahnya aktivitas fisik, dan
pemberian obat-obat steroid. Resistensi insulin akan mengakibatkan kenaikan jumlah
asam lemak bebas dan sitokin proinflamasi plasma sehingga terjadi peningkatan
pemecahan cadangan glukosa di hati, pemecahan lemak, dan berkurangnya transport
glukosa ke sel otot. Pada diabetes mellitus tipe 2, terjadi parakrinopati pulau, dimana
jumlah glukagon yang diproduksi lebih banyak daripada jumlah insulin yang
diproduksi. Akibatnya timbul suatu kondisi yang disebut hiperglukagonemia dan
berakibat pada hiperglikemia 6,7,8
Pada kasus diabetes mellitus, dapat terjadi berbagai komplikasi, seperti neuropati,
nefropati, retinopati, gangren diabetikum, koma, dll. Neuropati yang terjadi akibat
komplikasi diabetes mellitus dapat dibedakan menjadi neuropati sensorik-autonom dan
neuroati motorik. Neuropati sensorik terjadi akibat akumulasi sorbitol di saraf sensorik
perifer yang menyebabkan terjadinya degenerasi akson dan demielinisasi segmen.
Sedangkan neuropati motorik dan mononeuropati kranial terjadi akibat terjadi gangguan
dari pembuluh darah yang menyuplai saraf. Komplikasi lainnya yang ditimbulkan oleh
diabetes mellitus adalah nefropati diabetik. Nefropati diabetik terjadi akibat adanya
penebalan dari dinding arteriol dan kapiler renal. Akibatnya, terjadi berbagai kondisi,
seperti Hyalinisasi glomerular, proteinemia, dan gagal ginjal kronik 4,6,7,8,9
1. Haus yang berlebihan (polidipsia): Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan
tubuh mengirimkan sinyal ke otak dan menimbulkan rangsangan haus. Tubuh
mendorong konsumsi lebih banyak air untuk mengencerkan gula darah agar kembali
ke tingkat normal. Selain itu glukosa darah yang berlebihan akan dibuang melalui urin
yang secara normal ikut menarik air tubuh sehingga tubuh akan kehilangan cairan
berlebihan.
2. Buang air kecil yang berlebihan (poliuria): Glukosa darah yang berlebihan akan
dibuang oleh tubuh melalui urin. Glukosa akan terus menarik air dari proses filtrasi di
ginjal sehingga memicu poliuria.
3. Makan berlebihan (polfagia): Penurunan kadar insulin dan tidak berfungsinya insulin
yang beredar dalam tubuh akan menyebabkan kegagalan transpor glukosa darah
menuju sel. Sehingga sel kekurangan makanan untuk proses metabolisme tubuh.
Sinyal yang timbul pada penderita DM adalah rasa lapar. Tubuh akan
mengkompensasi dengan proses glikolisis dan glukoneogenesis untuk ketersediaan
makanan sel. Namun hal ini cenderung makin meningkatkan glukosa darah.
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Gejala tidak khas lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien, yaitu: 4-9
1. Cepat lelah
2. Kesemutan
3. Gatal
4. Penglihatan kabur
5. Mudah mengantuk
6. Luka sulit sembuh
7. Disfungsi ereksi pada pria
8. Pruritus vulva pada wanita
2.1 Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.
Pemeriksaan fisik :
pengukuran tinggi dan berat badan
pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik
pemeriksaan funduskopi
pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
pemeriksaan jantung
evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)
dan pemeriksaan neurologis
tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
Pemeriksaan penunjang :
2.2 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penyandang diabetes.
Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah
Jangka panjang : tercehag dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
Modalitas penatalaksanaan diabetes melitus sendiri terdiri atas terapi non-
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes secara terus menerus.
Modalitas lainnya adalah terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat
antidiabetik oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya
diberikan jika penerapan terapi non-farmakologis yang diberikan tidak dapat
mengendalikan kadar gula darah sebagaimana yang diharapkan.4-10
Karbohidrat
c. Latihan jasmani
Diabetes merupakan penyakit yang akan berlangsung seumur hidup.
Latihan jasmani selain dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, juga akan memperbaiki kendali gula darah. Dianjurkan
olahraga teratur, 3-4 kali tiap minggu selama setengah jam yang sifatnya
sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training).
Latihan yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobic, misalnya berjalan kaki,
sepeda santai, jogging, dan berenang.11
2.9 Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan di manakadar gula darah (glukosa) di
bawah nilai normal (<70-110 mg/dL). Kadar gula darah yang rendah
menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi.
Penyebab tersering hipoglikemia pada pasien DM yaitu akibat OHO
golongan sulfonilurea, hipoglikemia ini dapat berlangsung lama sehingga harus
diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Waktu
pengawasannya bisa berlangsung 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronis.
Gejala hipoglikemia dapat terdiri dari gejala adrenergik seperti berdebar,
banyak keringat, gemetar, rasa lapar dan gejala neurologik seperti pusing, gelisah,
penurunan kesadaran hingga koma.
Tatalaksana hipoglikemia yang paling tepat adalah pencegahan. Namun
Apabila hipoglikemia telah terjadi, maka pengobatan harus segera dilakukan
terutama untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap otak yang paling sensitif
terhadap penurunan glukosa darah. Penatalaksanaan hipoglikemia dibedakan atas
stadium permulaan dan stadium lanjut, sebagai berikut:
a. Stadium permulaan (pasien sadar)
- Pada stadium permulaan, pasien masih dalam keadaan sadar sehingga
penatalaksanaan terbaik adalah pemberian gula murni +30 gram (2
sendok makan) atau sirup, permen, makanan yang mengandung
karbohidrat lainnya.
- Stop obat hipoglikemi, periksa GDS dan lakukan pengkajian ulang
setiap 4 jam selama 24 jam.
b. Stadium lanjut (koma hipoglikemi)
- Penanganan keadaan gawat darurat ini harus cepat dan tepat.
- Berikan larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakson, intravena setiap 10-
20 menit hingga pasien sadar disertai pemberian cairan dextrose 10% 6
jam/kolf untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau
di atas normal.
- Bila belum teratasi dapat diberikan insulin antagonis seperti adrenalin,
kortison dosis tinggi atau glukagon 1 mg intravena, tetapi sebaiknya
penggunaan adrenalin perlu dibatasi mengingat efek sampingnya.4,12
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol,
dan growth hormone) ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis.
Keadaan tersebut menyebabkan keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa
hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Hasil sampingan dari produksi glukosa hati tersebut adalah
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Akumulasi produksi benda keton oleh
sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama adalah asam
asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal
kadar 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak
begitu penting.
Keadaan lain adalah timbulnya glukosuria dan ketonuria yang dapat
menimbulkan diuresis osmotik sehingga terjadi dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapat mengalami hipotensi dan syok bahkan penurunan
kesadaran. Parameter pemeriksaan pada kasus KAD sebagai berikut:4,12
Kadar glukosa >250 mg%
pH <7,35
HCO3 rendah (<15 mEq/l)
Anion gap yang tinggi
Keton serum positif
2. Kronis
a. Makroangiopati
1) Penyakit arteri koroner
Salah satu gambaran histopatologi berupa aterosklerotik dalam pembuluh darah
arteri koroner. Keadaan ini meningkatkan insiden infark miokard pada penderita
diabetes. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner
menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada pasien-pasien
diabetes.
2) Penyakit serebrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan
emboli di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa
aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat
menimbulkan serangan iskemia sepintas dan stroke.
3) Penyakit vaskuler perifer
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah
merupakan penyebab meningkatnya insiden penyakit osklusif arteri perifer pada
pasien diabetes. Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas
bawah ini merupakan penyebab utama meningkatnya insiden gangren dan
amputasi pada pasien-pasien diabetes.Timbulnya arterosklerotik pada pembuluh
darah pasien DM disebabkan akibat insufisiensi insulin sehingga memicu
penimbunan sorbitol dalam tunika intima vaskular, hiperlipoproteinemia dan
kelainan pembekuan darah yang menjadi dasar pembentukan arterosklerotik.4,12
b. Mikroangiopati
1) Retinopati diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Ada tiga
stadium utama retinopati: retinopati nonproliferatif (background retinopathy),
praproliferatif dan retinopati proliferatif. Sebagian besar pasien diabetes
mengalami retinopati nonproliferatif dengan derajat tertentu dalam waktu 5
hingga 15 tahun setelah diagnosis diabetes ditegakkan.4,12
2) Nefropati
Komplikasi DM berupa kerusakan nefron-nefron ginjal sehingga terjadi
kegagalan fungsi ginjal. Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan
hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan mengalami
insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini, pasien memerlukan dialisis
ataupun transplantasi ginjal untuk mengatasi komplikasi ini.4,12
3) Neuropati diabetes
Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan
spinal. Keadaan ini disebabkan penimbunan sorbitol dan fruktosa serta
penurunan mioinositol pada jaringan saraf. Hal ini menyebabkan gangguan pada
kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan hilangnya akson. Kecepatan konduksi
motorik akan berkurang pada tahap dini neuropati. Dilanjutkan dengan timbulnya
nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan propioseptik, hilangnya refleks
tendo dalam, kelemahan otot dan atrofi. Terserangnya saraf otonom akan
mengakibatkan diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan
gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pada pasien neuropati otonom
diabetik yang juga menderita infark miokard akut tidak akan merasakan nyeri
dada. Pasien juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap keadaan
hipoglikemia sehingga tidak akan menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia yang
terjadi.4,12
Sasaran pengendalian Pasien DM
2.10 Prognosis
Meskipun diabetes melitus adalah kondisi kronis progresif yang belum bisa disembuhkan,
kondisi tersebut dapat secara efektif dikelola dengan teratur melakukan pendidikan kepada
pasien, dan memberikan perawatan medis yang sesuai.
BAB III
STATUS PASIEN
Identitas Pasien :
Nama : Tn.NP
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Batak
Agama : Kristen
Status : Menikah
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Badan terasa lemas sejak 4 hari sebelum masuk rumahsakit.
Riwayat Penyakit Sekarang : Badan terasa lemas sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien juga mengeluhkan mual sejak 4 hari sebelum masuk rumahsakit. Pasien juga
mengeluhkan sering merasa haus, sering merasa lapar, dan sering buang air kecil. Pasien
sering terbangun pada malam hari karena ingin buang air kecil. Penurunan berat badan
drastis (-), kesemutan pada kedua kaki (-).
Riwayat penyakit terdahulu :
Metformin 3 x 500
Glimepirid 1 x 4 mg
Riwayat hipertensi (-)
Pemeriksaan Fisik :
Vital sign :
TD : 130/80 mmHg
HR : 84/menit
RR : 20/menit
T : 36,7oC
BB : 86kg
TB : 165cm
Status Generalis :
Kepala : Normocephali
Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar thyroid (-),
peningkatan TVJ (-) R+2cmH2O, deviasi trakea (-)
Jantung
Abdomen
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal, tidak ada bising aorta abdominalis
Pemeriksaan Penunjang :
Diagnosa Banding
1. Diabetes Melitus Tipe II
2. Diabetes Melitus Tipe I
3. Diabetes Insipidus
Diagnosa Kerja
Penatalaksanaan
Farmakologis :
Novomix 10 – 0 – 10
Simvastatin 1 x 20 mg
Aspilet 1 x 80 mg
Vitamin Becom C 1 x 1
Non Farmakologis
1. Latihan Fisik
Prognosis
5. Frykberg, R.G., et al. 2006. Diabetic Foot Disorder: A Clinical Practice Guidelines.
The Journal of Foot and Ankle Surgery, vol. 45 no 5. Dapat diunduh di:
http://www.acfas.org
6. Konsensus pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006
7. Purnamasari, Dyah. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: InternaPublishing.
8. Price, S.A, dan Lorraine M.W. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta EGC
9. Romesh Khardori. 2014. Type 2 Diabetes Mellitus. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#aw2aab6b2b4
10. Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III ed. V. Jakarta : InternaPublishing.
11. Fowler MJ. 2011. The diabetes treatment trap: hypoglycemia, Vol 29 No. 1. ADA;
2011.
12. Setyohadi, B. Arsana PM, Suroto, AY. dkk. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan
penyakit dalam. Jakarta:PerhimpunanDokterSpesialisPenyakitDalam Indonesia; 2012
LAPORAN KASUS
CONGESTIVE HEART FAILURE
Oleh
Pembimbing
2021
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Oleh :
Wahana :
Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengkuti program
internship dokter Indonesia
Pendamping I Pendamping II
Puji syukur kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan baik yang
berjudul “Congestive Heart Failure” dalam rangka memenuhi kewajiban penulis
untuk diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan program Dokter internsip
Indonesia
Akhir kata, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan
karuniaNya kepada kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Gagal jantung kronis adalah sindrom progresif yang membuat
perburukan kualitas hidup pasien dan menempatkan beban ekonomi pada
sistem perawatan kesehatan. Meskipun kemajuan dalam pengendalian
penyakit kardiovaskular seperti infark miokard (MI), insidensi dan
prevalensi CHF terus meningkat. Perkiraan beban penyakit sulit untuk
dikumpulkan karena sejumlah besar pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
(ventrikel kiri) yang asimptomatik. Ketika populasi menua, ada pergeseran
epidemiologis menuju prevalensi lebih besar dari gagal jantung klinis
dengan fungsi LV yang tetap, yang disebut sindrom kaku-jantung.
Faktanya, gagal jantung dengan fungsi sistolik yang dipertahankan dapat
menyebabkan hingga dua pertiga kasus pada pasien yang lebih tua dari 70
tahun [1].
Gambar 1. Klasifikasi NYHA pada pasien gagal jantung17
2.3 EPIDEMIOLOGI
Menurut data American Heart Association (AHA) 2017, gagal
jantung terjadi pada 6,5 juta orang Amerika yang berusia diatas 20 tahun.
Dengan peningkatan kelangsungan hidup pasien dengan infark miokard
akut dan populasi tua, gagal jantung akan terus meningkat sebagai
masalah kesehatan utama di Amerika Serikat. AHA memproyeksikan
peningkatan prevalensi gagal jantung sebesar 46% dari tahun 2012 ke
tahun 2030, menghasilkan 8 juta atau lebih orang Amerika berusia diatas
18 tahun dengan gagal jantung [10]. Gagal jantung kongestif lebih banyak
terjadi pada usia lanjut. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa gagal
jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari
mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85
tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang
yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat [2].
Angka kematian kasus HF sekitar 50% dalam waktu 5 tahun
setelah diagnosis. Penelitian ARIC, angka kematian 30 hari, 1 tahun, dan
5 tahun setelah rawat inap untuk HF masing-masing adalah 10,4%, 22%,
dan 42,3%. [3] Perkiraan prevalensi dan biaya perawatan untuk HF akan
meningkat. Strategi untuk mencegah HF dan meningkatkan efisiensi
perawatan sangat dibutuhkan. [11]
2.1 PATOFISIOLOGI
Gagal jantung adalah kelainan multisistem yang ditandai dengan
kelainan pada otot jantung, skeletal, dan fungsi ginjal; stimulasi sistem
saraf simpatis; dan pola kompleks perubahan neurohormonal. [12] Kelainan
utama pada gagal jantung adalah penurunan fungsi ventrikel kiri, yang
menyebabkan penurunan curah jantung. Penurunan curah jantung
menyebabkan aktivasi beberapa mekanisme kompensasi neurohormonal
yang ditujukan untuk memperbaiki lingkungan mekanis jantung. Aktivasi
sistem simpatis, misalnya mencoba mempertahankan curah jantung
dengan peningkatan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
miokard, dan vasokonstriksi perifer (meningkatkan katekolamin).
Aktivasi renin-angiotensinaldosterone sistem (RAAS) juga menyebabkan
vasokonstriksi (angiotensin) dan peningkatan volume darah, dengan
retensi garam dan air (aldosteron). Konsentrasi vasopressin dan peptida
natriuretik meningkat. Selanjutnya, mungkin ada dilatasi jantung
progresif atau perubahan struktur jantung (remodeling), atau keduanya. [12]
Gambar 2. Axis Renin-angiotensin-aldosterone pada gagal jantung17
Kriteria Mayor
2.8 TATALAKSANA
Pasien gagal jantung memperoleh manfaat dari olahraga, diet, dan
nutrisi. Sebagian besar pasien tidak boleh melakukan pekerjaan berat
atau olahraga yang melelahkan [1]. Tata laksana Non Farmakologi pada
pasien dengan gagal jantung antara lain [14]
Manajemen perawatan mandiri: tindakan-tindakan yang bertujuan
untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari prilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal dari perburukan
gagal jantung.
Ketaatan pasien berobat. Menurut literatur hanya 20-60% pasien
yang taat terapi farmakologi maupun non farmakologi.
Pemantauan berat badan mandiri, harus rutin setiap hari. Jika
terdapat kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus
menaikkan diuretik atas pertimbangan dokter.
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gr pada gagal jantung
ringan dan 1 gr pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada
gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
Hentikan meroko, alkohol pada kardiomiopati dengan batasi 20-30
gr/hari.
Latihan jasmani dengan jalan 3-5 x/minguu dengan beban 70-80 %
denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang.
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah memperbaiki
prognosis dan mengurangi angka kematian, meringankan gejala dan
mengurangi morbiditas dengan cara mengembalikan atau
memperlambat disfungsi jantung dan perifer. Untuk pasien di rumah
sakit. Tujuan terapi lainnya adalah mengurangi lama tinggal dan
selanjutnya masuk kembali dari RS, untuk mencegah kerusakan
sistem organ, dan untuk mengelola secara tepat morbiditas pada
pasien dengan prognosis yang buruk. [16]
Penatalaksanaan HF:
Disarankan untuk menerima pasien di tempat tidur telemetri atau di
ICU dan perawatannya berdasarkan pada poin berikut: [6]
a. Monitor oksigen, pantau PaO2 dan SaO2.
b. Berikan ventilasi tekanan positif noninvasif (NIPPV) pada beberapa
kasus.
c. Dalam kasus HF refraktori, terapi ultrafiltrasi digunakan untuk
pengurangan cairan untuk pasien yang tidak responsif terhadap terapi
medis.
d. Gunakan agen farmakologis berikut tergantung pada faktor dan
gejala yang memicunya/tanda kongesti [17]:
i. Diuretik (thiazides, diuretik loop dan hemat potasium) untuk
mengurangi edema dengan pengurangan volume darah dan
tekanan vena dan pembatasan garam (untuk mengurangi retensi
cairan) pada pasien dengan gejala gagal jantung saat ini atau
sebelumnya dan mengurangi fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF)
untuk menghilangkan gejala.
ii. Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEI) atau
angiotensin receptor blocker (ARBs) untuk modifikasi neuro-
hormonal, vasodilatasi dan perbaikan LVEF (gantikan mereka
dengan hydralazine dan/atau nitrat pada pasien yang tidak
responsif terhadap ACEI dan ARB).
iii. Beta blocker untuk modifikasi neuro-hormonal, perbaikan
gejala dan LVEF, manfaat bertahan hidup, pencegahan aritmia
dan pengendalian laju ventrikel.
iv. Antagonis alergenosteron, sebagai tambahan obat lain untuk
diuresis tambahan, kontrol gejala gagal jantung, peningkatan
variabilitas denyut jantung, penurunan aritmia ventrikel,
penurunan beban kerja jantung, peningkatan LVEF dan
peningkatan kelangsungan hidup.
v. Digoksin, yang dapat menyebabkan peningkatan curah jantung
yang kecil, perbaikan gejala gagal jantung dan penurunan
tingkat kegagalan rawat inap di rumah sakit.
vi. Antikoagulan (jika ada) untuk mengurangi risiko
tromboembolisme.
vii. Agen inotropik mengembalikan perfusi organ dan mengurangi
kongesti pada pasien dengan gagal jantung dengan fraksi ejeksi
berkurang, sehingga terjadi peningkatan curah jantung dan
mengurangi aktivasi neuro-humoral.
viii. Beberapa agen lain telah dijelaskan dalam uji klinis
Diuretik
Diuretik loop yang paling sering digunakan untuk pengobatan HF
adalah furosemid. Terapi diuretik biasanya dimulai dengan dosis rendah,
dan dosisnya meningkat sampai output urin meningkat dan penurunan BB,
umumnya 0,5- 1,0 kg/hari. Peningkatan dosis atau frekuensi lebih lanjut
pemberian diuretik mungkin diperlukan untuk mempertahankan diuresis
aktif dan mempertahankan penurunan BB. Tujuan akhir pengobatan
diuretik adalah menghilangkan retensi cairan. [3]
Spironolakton dimulai pada dosis 12,5-25 mg/hari dan meningkat
menjadi 50 mg setiap hari. Pasien hiperkalemia atau gangguan fungsi
ginjal. Setelah inisiasi antagonis reseptor aldosteron, pelepasan kalium
harus dihentikan atau dikurangi dan dipantau dengan hati-hati pada pasien
dengan riwayat hipokalemia, dan pasien harus diberi konseling untuk
menghindari makanan yang mengandung potasium dan NSAID yang
tinggi. Tingkat potasium dan fungsi ginjal harus diperiksa ulang dalam
waktu 2 sampai 3 hari dan sekali lagi pada 7 hari setelah inisiasi antagonis
reseptor aldosteron. [3]
Inisiasi pemberian spironolakton: periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit; naikan dosis secara titrasi; pertimbangkan menaikan dosis
secara titrasi setelah 4-8 minggu (jangan naikan dosis jika terjadi
perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia); Periksa kembali fungsi ginjal
dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah menaikan dosis; Jika tidak ada
masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal
yang dapat di toleransi. [17]
Penyekat Beta
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.
Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Secara historis, penyekat beta
dianggap sebagai kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik
karena efek inotropic negative , diperkirakan akan memperburuk gejala-
gejala. Secara uji klinis menunjukkan bahwa terapi jangka Panjang
penyekat beta memiliki manfaat penting pada pasien gagal jantung kronis
yang stabil dan dengan ejeksi fraction yang menurun yaitu dengan
meningkatkan curah jantung, perbaikan hemodinamik , kebutuhan rawat
inap yang lebih sedikit dan memperpanjang kelangsungan hidup. Salah
satu penemuan yang paling penting di akhir abad ke-20 adalah pengenalan
terapi vasodilator untuk pengobatan gagal jantung terutama ACE
inhibitor.Mekanisme kompensasi neurohormonal pada gagal jantung
sering menyebabkan vasokontriksi berlebihan, retensi volume dan
remodeling ventrikel yang akan menyebabkan penurunan fungsi jantung
secara progresif. Obat vasodilator ini membantu memperbaiki konsekuensi
yang merugikan.17
Tiga penyekat beta yang telah terbukti bermanfaat dalam uji klinis
acak pada gagal jantung termasuk carvedilol (penyekat beta non selektif
dengan sifat penyekat alpha yang lemah dan metoprolol suksinat serta
bisoprolol (keduanya penyekat β1 selektif). Jenis obat ini ditolerasi dengan
baik pada pasien yang stabil yaitu pasien dengan gejala gagal jantung yang
baru muncul atau beban volume berlebihan. Obat penyekat beta harus
selalu digunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan akut yang
disebabkan efek inotropic negative. Terapi harus dimulai dengan dosis
rendah dan ditambah secara bertahap.17
Indikasi pemberian penyekat β
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β: Asma, Blok AV (atrioventrikular)
derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus
bradikardia (nadi < 50 x/menit).17
2.2 KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru dan gangguan keseimbangan elektrolit.3
2.3 PROGNOSIS
Tanpa adanya penyebab dasar yang dapat diperbaiki maka
prognosis gagal jantung sangat buruk. Tingkat kematian 5 tahun
setelah didiagnosis berkisar 45 % dan 60 % dengan laki-laki memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada wanita. Pasien dengan gejala
berat misalnya NYHA kelas III atau IV memiliki prognosis terburuk
dengan kemungkinan hidup 1 tahun hanya 40 %. Mortalitas terbesar
adalah karena gagal jantung refrakter, tetapi banyak pasien meninggal
mendadak yang kemungkinan terkait dengan aritmia ventrikel. Pasien
gagal jantung dengan ejeksi fraksi yang normal memiliki angka
kejadian rawat inap, komplikasi saat perawatan di rumah sakit, dan
tingkat kematian yang sama seperti pada pasien dengan ejeksi fraction
yang menurun. Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV mempunyai
angka kematian 30-70 % sedangkan NYHA kelas II 5-10 %.
BAB III
KESIMPULAN
LAPORAN KASUS
STATUS PASEN
Identitas Pasien:
Nama : Tn. JS
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 64 Tahun
Pekerjaan : Petani
Suku : Batak
Agama : Kristen
Status : Kawin
Alamat : Dame Raya
Tanggal MRS : 26 Juli 2021
Vital sign :
TD = 100/80 mmHg
HR = 90 x/i
RR = 22 x/i
T = 36,5 ºC
BB : 70 kg
TB : 170 cm
IMT : 24,22 kg/m2 (Normoweight)
Status Generalisata
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-). Sclera ikterik (-), pupil : isokor (3/3
mm) , eksoftalmus (-/-), palpebra edema (-/-), ptosis (-/-), Respon
cahaya (+/+), bitot spot (-/-).
Pulmo
Jantung
Abdomen
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), soepel, hepar dan lien tidak
teraba,
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus (+), kesan normal, tidak ada bising aorta
abdominalis
deformitas (-)
Pemeriksaan laboratorium:
MCV Fl 91 79 – 96 fL
MCH Pg 28,6 27 – 33 pg
RDW % 15,3 %
Kimia Darah
Elektrolit
Kimia Darah
Lemak Darah
Fungsi Ginjal
Foto Thoraks
EKG
Diagnosis:
Congestive Heart Failure + Cardiomegali dd Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Penatalaksanaan
Terapi
IVFD Ringer Laktat 10 gtt/i mikro
Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
Atorvastatin 1 x 20 mg (malam)
ISDN 1x5 mg (k/p)
Spironolactone 1 x 25 mg
CPG 1 x 75 mg
Captopril 12,5 mg 3 x 1
Aspilet 1x 100 mg
FOLLOW UP
27 Juli 2021
S Os mengalami sesak napas, nyeri dada sebelah kanan (+), jantung berdebar-
debar
Jantung (Cor)
A CHF dd PJK
28 Juli 2021
S Sesak napas berkurang, nyeri dada sudah mulai berkurang
P Terapi :
29 Juli 2021
30 Juli 2021
[2] Kurmani, S., Squire, I., "Acute Heart Failure: Definition, Classification and
Epudemiology," Curr Heart Fail Rep, vol. 14, pp. 385-392, 2017.
[3] Yancy, C. W., et. al., "2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of
Heart Failure," ACCF/AHA, New York, 2013.
[4] Shah, A.M., Claggett, B., Sweitzer, N.K., Shah, S.J., et. al., "The Prognostoc
Importance of Changes in Cardiac Structure and Function in Hearth Failure
with Preserved Ejection Fraction and the Impact of Spironolactone," vol. 10,
no. 11, 2015.
[5] Edelmann, F., Wachter, R., Schmidt, A. G.. et .al., "Effect of Spironolactone
on Diastolic Functional and Exercise Capacity in Patient with Heart Failure
with Preserved Ejection Fraction," vol. 309, no. 8, 2013.
[6] Inamdar, A. A., Inamdar, A. C., "Heart Failure: Diagnosis, Management and
Utilization," vol. 62, no. 5, 2016.
[8] Plein S, Knuuti J, Edvardsen T, Saraste A, Piérard LA, Maurer G, et al. The
year 2012 in the European Heart Journal - Cardiovascular Imaging. Part II.
Eur Heart J Cardiovasc Imaging. 2013 Jul. 14(7):613-7.
[9] Widya, H., Putri, R., Faktor-faktor penyebab gagal jantung pada pasien gagal
jantung di RSUD Bogor tahun 2013, Jakarta: Skripsi UIN Jakarta, 2013.
[10] Benjamin EJ, Blaha MJ, Chiuve SE, et al,, "for the American Heart
Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Heart
disease and stroke statistics-2017 update: a report from the American Heart
Association. Circulation. 2017 Mar 7. 135 (10):e146-e603".
[11] Heidenreich, P. A., Albert, N. M., Allen, L. A., Bleumke, D. A., et. al;,,
"Forecasting the Impact of Hearth Failure in the United States," vol. 6, no. 3,
2013.
[12] Jackson, G., Gibbs, c. R., Davies, M. K, Lip, G. Y. H., "ABD of Hearth
Failure: Pathophysiology," vol. 320, 2000.
[13] Katz, A. M., Konstam, M. A., Heart Failure, Dartmouth: Wolter Kluwer,
2009.
[14] Roger, V. L., "Epidemiology of Heart Failure," vol. 113, no. 6, 2013.
[16] Tamarago, J., Sendon, L.,"Novel theraupetic target for the threatment of
hearth failure.," vol. 10, 2011.
[17] Lilly LS. (2019). Patofisiologi Penyakit Jantung Kolaborasi Mahasiswa dan
Dosen. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran MEDIK. Hal : 227-256.
[18] Sabatine, Marc S, Buku saku klinis. The Massachusets General Hospital
Handbook of Internal Medicine cetakan I, 2004.
[19] Alwi, Idrus, Infark Mikard Akut dengan elevasi ST. Dalam: Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III, Ed.IV, Jakarta: Interna, 2011.
[22] Solomon, S. D., Claggett, B., Lewis, E. F., et. al., "HFpEF patients with EF at
lower and of spectrum may benefit from MRA," vol. 37, 2016.
[23] Owan TE, Hodge DO, Herges RM, Jacobsen SJ, Roger VL, Redfield MM.
Secular trends in renal dysfunction and outcomes in hospitalized heart failure
patients. J Card Fail 2006;12:257-62.
[25] Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and
improving outcomes. Circulation. 2008 Feb 5. 117(5):686-97.
[26] Friedman, E. A., Peter, K., et. al., "Diuretics and Hearth Failure," 2015.
[28] Chami, T., Kim, C. H., tafera, L., Ben, A., et. al., "Spironolaction and
incidence of atrial fibliration in heart wailure with reduced ejection fraction,"
vol. 23, no. 8, 2017.
[29] Dolley, D., Lam, P., Bayoumi, E., et. al., "Clinical effectiveness of
spironolactone in hospitalized older eligible (EF less than or equal 35% and
EGFR greater than or equal to 30 mL/min/1,73 M2) patients with heart
failure," vol. 69, no. 11, 2017.
[30] Ebrahim S, Taylor FC, Brindle P., "Statin for the primary prevention of
cardiovascular disease," 2014.
LAPORAN KASUS
HIPERTENSI URGENSI
Disusun oleh :
Dokter Pendamping :
KABUPATEN SIMALUNGUN
2021
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
HIPERTENSI URGENSI
Oleh :
Wahana :
Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia
Pendamping Pembimbing
dr. Ruth Imelda Siagian dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Pada laporan kasus ini, saya menyajikan teori mengenai Hipertensi Urgensi.
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Program Dokter
Internship Indonesia di RSUD Tuan Rondahaim, Kabupaten Simalungun.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Ruth Imelda Siagian, selaku dokter pendamping kami, serta terima
kasih kepada dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD, atas kesediaan beliau sebagai
dokter pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini. Besar harapan saya, melalui
laporan ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Hipertensi Urgensi semakin
bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan
ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun
spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan.
I.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Penulis
dan Pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat mengetahui
dan memahami lebih dalam mengenai penyakit hipertensi urgensi.
BAB II
LAPORAN KASUS
Umur : 60 tahun
Nomor RM : 18122
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil : isokor (3mm/3mm),
palpebral edema (-/-), ptosis (-/-), refleks cahaya (+/+)
Mulut: Bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)
Pulmo
Jantung
Abdomen
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat , edema (-/-), capilary refill <2detik, deformitas (-)
Hematokrit 35,5 % 36 - 47
MCV 85,6 fL 81 - 99
Radiologi (19/08/2021)
2.5 Diagnosis
Diagnosis Kerja : Hipertensi Urgensi
Diagnosis Banding : Hipertensi Emergensi
Hipertensi Grade II
2.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 25 mg
- Amlodipine Tab 1 x 10 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
2.8 Follow Up
2/08/2021
S Nyeri kepala (+), Nyeri Tengkuk (+), Lemas (+), Mual (+)
O Sens : Compos Mentis
TD : 180/110mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,1ºC
Sp O2 : 96%
A Hipertensi Urgensi
P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 25 mg
- Amlodipine Tab 1 x 10 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
3/08/2021
S Nyeri Kepala dan Tengkuk berkurang, Gelisah (+), Sulit Tidur (+)
A Hipertensi Urgensi
CHF ec. CAD
Pneumonia
P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 25 mg
- Amlodipine Tab 1 x 10 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg
- ISDN Tab 3 x 5 mg
- Digoksin Tab 1 x 0,25 mg
4/08/2021
S Lemas (+), Sulit Tidur (+)
A Hipertensi Urgensi
CHF ec. CAD
Pneumonia
P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 12,5 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg
- Digoksin Tab 1 x 0,25 mg
- Alprazolam Tab 1 x 0,5 mg
5/08/2021
S Lemas (+)
A Hipertensi Urgensi
CHF ec. CAD
Pneumonia
P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 12,5 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg
- Digoksin Tab 1 x 0,25 mg
- Alprazolam Tab 1 x 0,5 mg
6/08/2021
S Lemas (+), Penurunan Kesadaran (+)
O Sens : Apatis
TD : 110/60mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5ºC
Full Blass
P - Cek Elektrolit
- Pemasangan NGT
- Pemasangan Kateter
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg
Hasil Elektrolit :
Terapi :
- IVFD NaCl 3% 20gtt/i mikro (3 fls), gandeng NaCl 0,9% 20gtt/i
makro
- Inj. Ceftriaxone 2gr/12 jam
- Inf. Levofloxacin 500mg/24 jam
- Inj. Kalnex 1amp/8 jam
- Kapsul Garam 3 x 1
- KSR 2 x 600 mg
Keluarga px. menolak dirujuk dan px. PAPS, dengan obat oral :
- Levofloxacin 1 x 500 mg
- Cefixime 2 x 200 mg
- Kapsul Garam 3 x 1
- KSR 1 x 600 mg
- Kalnex 500 mg 3 x 1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi
atau urgensi.
3.5 Manifestasi Klinis Hipertensi Urgensi
3.6 Diagnosis Hipertensi Urgensi
Anamnesa :
- Riwayat Hipertensi (awitan, durasi, beratnya, pengobatan anti-HT
sebelumnya)
- Riwayat Obat-obatan (obat anti hipertensi yang digunakan dan
kepatuhannya; penggunaan steroid, estrogen, simpatomimetik, MAO
inhibitor)
- Riwayat Sosial (merokok, minum alkohol, obat-obatan terlarang,
kehamilan)
- Riwayat Keluarga (usia dini terkena HT, penyakit kardiovaskuler dan
serebrovaskuler)
- Riwayat Spesifik sesuai keluhan (kardiovaskuler, neurologis, ginjal,
endokrin)
- Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
KESIMPULAN
1. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casery DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et al.
2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood
Pressure in Adults. Hypertension 2018;71:e13-e115
2. Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, et al. 2018
ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. J Hypertens 2018;
36:1953-2041 and Eur Heart J 2018;39:3021-3104
3. Kaplan NM, Victor RG,Flynn JT. Hypertensive Emergencies. Kaplan’s Clinical
Hypertension 2015. 11th edition.Wolters Kluwer.p.263-274
4. Saguner AM, Dur S, Perrig M, Schiemann, Stuck AE, Burgi U, et al. Risk Factors
Promoting Hypertensive Crises: Evidence From a Longitudinal Study. Am J
Hypertens 2010; 23:775-780
5. Pinna G, Pascale C, Fornengo P, Arras S, Piras C, Panzarasa P, et al. Hospital
Admissions for Hypertensive Crisis in the Emegency departements: A Large
Multicenter Italian Study. PLOS ONE 2014;9(4):1-6
6. Cuspidi C, Pessina AC. Hypertensive Emergencies and Urgencies. In: Mancia G,
Grassi G, Redon J. Manual of Hypertension of ESH 2014. 2nd edition. CPC
Press.p.367-372
7. Sarafidis PA, Bakris GL. Evaluation and Treatment of Hypertensive Emergencies and
Urgencies. In: Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ, editors. Comprehensive
Clinical Nephrology 2019. 6th edition. Elsevier.p. 444-452
8. Vaughan CJ, Delanty N. Hypertensive Emergency. Lancet 2000; 356: 411-417
9. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus Vol. 27, No.3,
Desember 2014.
LAPORAN KASUS
Oleh
dr. Rodoasi J Sibarani
Pembimbing
KABUPATEN SIMALUNGUN
2021
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Oleh :
dr. Rodoasi J Sibarani
Wahana :
Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
program internship di RSUD dokter Indonesia
Pembimbing Pendamping
KABUPATEN SIMALUNGUN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada laporan kasus ini,
saya menyajikan teori mengenai Demam Berdarah Dengue.
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Program Dokter
Internship Indonesia di RSUD Tuan Rondahaim, Kabupaten Simalungun.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Ruth Imelda Siagian, selaku dokter pendamping kami, serta terima kasih kepada dr.
Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD, atas kesediaan beliau sebagai dokter pembimbing kami
dalam penulisan laporan kasus ini. Besar harapan saya, melalui laporan ini, pengetahuan dan
pemahaman kita mengenai Demam Berdarah Dengue semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan ini. Atas bantuan dan
segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima
kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya bidang kesehatan.
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN………………………….…………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….. iii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………..... 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………….. 3
2.1 Definisi……………………………………………………………………… 3
2.2 Etiologi…………………..………………………………………………….. 3
2.3 Epidemiologi………………………………………………………………… 3
2.4 Patofisiologi…………………………………………………………………. 4
2.5 Manifestasi Klinis…………...………………………………………………. 6
2.6 Klasifikasi…………...……………………………………………………..... 10
2.7 Indikasi Rawat……………………………………………………................. 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang……….…………………………………………….. 13
2.9 Diagnosa Banding……..…………………………………………………… 14
2.10 Penatalaksanaan…………………………………………………………….. 15
2.11 Tanda Kegawatdaruratan……………………………………………………. 16
2.12 Indikasi Pulang……………………………………………………………… 17
2.13 Komplikasi………………………………………………………………….. 18
LAPORAN KASUS……………………………………………………………………….. 19
BAB III. KESIMPULAN………..………………………………………………………... 27
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………... 28
BAB I
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD ) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh
empat serotype virus dengue yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4 dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi di banyak daerah di dunia. Infeksi virus dengue hingga saat ini masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia.1
DBD telah muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat internasional pada abad ke-21.
Menurut WHO (2000) antara tahun 1975-1995 terdeteksi 102 negara dari 5 wilayah WHO, yaitu
20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Timur Tengah
dan 29 negara di Pasifik Barat.1
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari
seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap
tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di
Asia Tenggara.2
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di
Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana
sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian
(AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.2
Dari tahun 2005-2009 5 provinsi dengan AK tertinggi.Provinsi DKI dan Kalimantan
Timur selalu berada dalam 5 provinsi AK tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AK
yang paling tinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain,
sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang
penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur
hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang
tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah
berkembang biak.3
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Hairil Azhar (2009)tiga buah kecamatan
yang mempunyai prevalensi yang tinggi adalah Medan Tuntungan (22,8%), diikuti Medan Baru
(17,4%), dan Medan Selayang (10,9%). Dari total 92 buah kasus, 47 orang (51,1%) adalah laki-
laki dan 45 orang (48,9%) adalah perempuan. Balita mencatatkan sebanyak 4 buah kasus (4,3%),
umur sekolah 55 kasus (59,8%) dan dewasa muda sebanyak 33 kasus (35,9%).3
Host alami DBD manusia, agent nya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti
dan Ae. albopictus yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.4
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai
14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari
ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10
hari. Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD,
ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji
tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran
plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.4
1.4 Tujuan
4. Untuk lebih mengerti dan memahami tentang penyakit dengue hemorrhagic fever
5. Agar dapat mengintegrasikan teori yang didapat terhadap pasien dengan kasus dengue
hemorrhagic fever
6. Untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Internship di RSUD Tuan
Rondahaim Kabupaten Simalungun
1.5 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Penulis dan Pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat mengetahui dan memahami lebih dalam
mengenai penyakit dengue hemorrhagic fever.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
dengue dengan manifestasi klinis demam 2-7 hari, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. . DBD
adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok yang
berujung kematian.5
1.2 Etiologi
Virus dengue termasuk grup B arthropad borne virus (Arboviruses) dan sekarang dikenal
sebagai genus Flavivirus, familia Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-
1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.. infeksi dengan salah satu serotif akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal didaerah endemis dengue dapat menginfeksi
dengan 3 atau 4 selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan
diberbagai negara di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak
tahun 1975 dibeberapa rumah sakit menunjukkan bahwa 4 serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. serotipe dengue yang ketiga merupakan serotipe yang dominan
dan banyak berhubungan dengan kasus berat.6
1.3 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia.Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan
pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun
1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun
1999.1
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang
berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).1
1.4 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya DHF sebagai berikut:7
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi
primer. Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume
plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemia.Lesi destruktif vaskuler yang nyata tidak terjadi. Terdapat tiga faktor yang
menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan DSS yaitu: perubahan vaskuler,
trombositopenia dan kelainan koagulasi.
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit biasanya
mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai tubuh, anoreksia,
rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi,nyeri pada anggota
badan dan timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama
kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat mokulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke
anggota gerak dan muka.
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai kenaikan
suku, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung otot, sendi disertai rasa
menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana
kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada
semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomik.
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini
sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah
fotofobia, keringat yang bercucuran, suara sesak, batuk, epitaksis dan disuria. Demam
menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa servikal
dilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutkan sebagai castelani’s
sign, sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis
banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789 melaporkan
pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian meninggal. Bentuk perdarahan lain
yang dilaporkan ialah menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan
rendah, mungkin sekali akibat perdarahan uterus.
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-demam dan
demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, didudu neutropenia relatif dan limfositosis pada
periode puncak penyakit dan masa konvalens. Eosinofil menurun atau menghilang pada
permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode
demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan orkhitis atau ovaritis, keratitis
dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan diantaranya menurunnya kesadaran,
paralisis sensorium yang bersifat sementara, meningismus dan ensefalopati. Diagnosis
banding mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chickungunya), bakteria dan parasit yang
memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan
adalah mustahil, terutama pada kasuk-kasus sporadis.
Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis yaitu demam tinggi,
perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakkan DBD
dari DD ialah peningkatan permeabititas dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, trombositopenia dan diabetis hemoragik. Perbedaan antara DBD dan DD.
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar dan perdarahan pada
tempat pengambilan darah vena. Ptekie halus yang tersebar dianggota gerak, muka, aksila
sering ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan terjadi
disetiap organ tubuh. Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan
saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul rejatan yang tidak dapt
diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtivita kadang-kadang ditemukan. Pada
masa konvalens sering ditemukan eritema telapak tangan atau telapak kaki.
Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-
tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di
antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi
imunologis (the immunological enhancement hyphotesis). Pada sebagian besar kasus
ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar
mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah dan secara cepat masuk
dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri didaerah perut sesaat sebelum syok. Fabie
(1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan
gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan
petunjuk adanya perdarahan gastrointerstinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode
demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak
dapat teraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat
pasien dapat mengalami syok berat (profund shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan
nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi
asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.
Sebaliknya dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera terjadi masa
penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan yang membaik
merupakan petunjuk prognosis bsik.
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
a. Klinis
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan
lain (ptekie, purpura, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi), hematesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤ 20
mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) disertai kulit yang teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan
timbul sianosis disekitar mulut.
b. Laboratorium
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan
nilai hematokrit ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau
masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia
dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini
87% kasus tersangka DBD dapat diagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan
serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.
1.6 Klasifikasi
Gambar 2.1 Skema Kriteria Diagnosis Infeksi Dengue Menurut WHO 20118
Tabel 2.1 Derajat DBD Berdasarkan Klasifikasi WHO 20118
2.3 Penatalaksanaan
a. Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit
1. Fase Demam
a. Medikamentosa
- Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin
- Diusahakan tidak memberikan obat-obatan yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
- Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terapat perdarahan
saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
- Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
2. Suportif
- Cairan per oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
- Diberikan untuk 48 jam atau lebih
- Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit.9
Identitas Pasien :
Nama : Tn.HBS
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Suku : Batak
Agama : Kristen
ANAMNESA PENYAKIT
Vital sign :
TD : 110/70 mmHg
HR : 86/menit
RR : 20/menit
T : 39,3℃
BB : 60kg
TB : 161cm
IMT : 23,1 (normoweight)
Status Generalis :
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungiva Anemis (-/-), Sclera icteric (-), pupil : isokor(3/3mm), eksoftalmus
(-/-), palpebral edema (-/-), ptosis (-/-), respon cahaya (+/+), bitot spot (-/-)
Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar thyroid (-),
peningkatan TVJ (-) R+2cmH2O, deviasi trakea (-)
Pulmo
Jantung
Abdomen
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal, tidak ada bising aorta abdominalis
Pemeriksaan Penunjang :
Infectsius
HbsAg Negatif Negatif
Dengue Duo
IgG Negatif Negatif
IgM Positif Negatif
Diagnosa Banding
4. Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II
5. Demam Thypoid
6. Malaria
Diagnosa Kerja
Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Follow Up
12/08/2021
S Demam (+), Menggigil (+), Nyeri otot (+),Nyeri ulu hati (+), Mual (+),
Muntah (+)
13/08/2021
S Demam (+), Nyeri ulu hati (+), Mual (+)
14/08/2021
S -
15/08/2021
S -
O Sens : CM
TD : 120/80mmHg
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 370C
A Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II
BAB III
KESIMPULAN
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, DEN-4, dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus.Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat homeostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada demam berdarah dengue perlu dilakukan pemantauan ketat terhadap klinis pasien
dan pemeriksaan berulang terhadap nilai hematokrit, hemoglobin, dan trombosit serta dilakukan
terapi cairan yang tepat dan optimal untuk mencegah pasien jatuh ke dalam kondisi syok yang
dapat menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA