Anda di halaman 1dari 138

LAPORAN KASUS

DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh

dr. Rodoasi Jesaya Sibarani

Pembimbing

dr. CHAIRUN ARRASYID, M.Ked(PD) Sp.PD

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

RSUD TUAN RONDAHAIM

KABUPATEN SIMALUNGUN

2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh :

dr. Rodoasi Jesaya Sibarani

Wahana :

RSUD Tuan Rondahaim Batu 20

Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
program internship di RSUD dokter Indonesia

Batu 20, September 2021

Pembimbing Pendamping

dr. CHAIRUN ARRASYID, M.Ked(PD) Sp.PD dr. RUTH IMELDA

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

RSUD TUAN RONDAHAIM

KABUPATEN SIMALUNGUN

2021

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada
laporan kasus ini, saya menyajikan teori mengenai Diabetes Melitus Tipe 2.

Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Program
Dokter Internship Indonesia di RSUD Tuan Rondahaim, Kabupaten Simalungun.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Ruth Imelda Siagian, selaku dokter pendamping kami, serta terima
kasih kepada dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD, atas kesediaan beliau sebagai dokter
pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini. Besar harapan saya, melalui laporan
ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Diabetes Melitus Tipe 2 semakin
bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan
ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun
spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan.

Batu 20, 16 September 2021


Penulis

dr. Rodoasi Jesaya Sibarani


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................. i

KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1

1.2 Tujuan ......................................................................................................................... 2

1.3 Manfaat ...................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi........................................................................................................................ 3

2.2 Klasifikasi .................................................................................................................... 3

2.3 Etiologi dan predisposisi.............................................................................................. 4

2.4 Epidemiologi................................................................................................................ 4

2.5 Patogenesis dan patofisiologi...................................................................................... 5

2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................................................ 7


2.7 Diagnosis ..................................................................................................................... 8

2.8 Penatalaksanaan ......................................................................................................... 10

2.9 Komplikasi .................................................................................................................. 19

2.10 Prognosis .................................................................................................................. 25

BAB III STATUS PASIEN..................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 30
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua – duanya. Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari
organ pancreas untuk memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin
pada sel target tersebut. Abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus terjadi
dikarenakan kurangnya aktivitas insulin pada sel target. Diabetes mellitus
dikategorikan menjadi empat tipe yaitu diabetes mellitus tipe-1, diabetes
mellitus tipe-2, diabetes mellitus gestational dan diabetes mellitus tipe lain
yang disebabkan oleh faktor-faktor lain.1

Prevalensi diabetes yang terjadi di seluruh dunia diperkirakan 2,8 % pada


tahun 2000 dan 4,4 % pada 2003.Jumlah penderita diabetes diproyeksikan
meningkat dari 171 juta di tahun 2000 hingga mencapai 366 juta di tahun
2003. Negara-negara Asia berkontribusi lebih dari 60% dari populasi diabetes
dunia. Di Indonesia prevalensi penduduk yang berumur ≥15 tahun dengan
diabetes mellitus pada tahun 2013 adalah sebesar 6,9% dengan perkiraan
jumlah kasus adalah sebesar 12.191.564 juta. Sebanyak 30,4% kasus telah
terdiagnosis sebelumnya dan 73,7% tidak terdiagnosis sebelumnya. Pada
daerah bali prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,3% dengan kota Denpasar
sebagai penyumbang terbanyak dibandingkan dengan kota lainnya yaitu
sebesar 2%.2

Modalitas penatalaksanaan diabetes melitus sendiri terdiri atas terapi non-


farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas
jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit
diabetes secara terus menerus. Modalitas lainnya adalah terapi farmakologis,
yang meliputi pemberian obat antidiabetik oral dan injeksi insulin. Terapi
farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non-
farmakologis yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar gula darah
sebagaimana yang diharapkan.3

1.1 Tujuan
1. Untuk lebih mengerti dan memahami tentang penyakit diabetes melitus
2. Agar dapat mengintegrasikan teori yang didapat terhadap pasien dengan kasus
diabetes melitus
3. Untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Internship di RSUD
Tuan Rondahaim Kabupaten Simalungun

1.2 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Penulis dan
Pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat mengetahui dan
memahami lebih dalam mengenai penyakit diabetes melitus
BAB I

I TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua –
duanya. 1

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM 1
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus
ke defisiensi insulin absolut
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2  bervariasi mulai yang dominan
resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi
insulin.
Tipe lain  defek genetik fungsi sel beta
 defek genetik kerja insulin
 penyakit eksokrin pankreas
 endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM
2.3 Etiologi dan Predisposisi
Belum diketahui secara jelas, namun diduga faktor genetik dan faktor gaya hidup
memiliki peran yang cukup besar dalam terjadinya penyakit ini. Beberapa kondisi yang
dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami diabetes mellitus adalah
obesitas, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan tidak
seimbang, merokok, riwayat toleransi glukosa terganggu, riwayat glukosa darah puasa
terganggu, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus. 3

2.4 Epidemiologi
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidens dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. WHO
memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk
tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari
hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980
menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe-2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1%
yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan
prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari
prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian
menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi
DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan
pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5
juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan
pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan
dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan
terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi
1. Patogenesis

Gambar 2.1 Patogenesis DM tipe 2


Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan Hepatic Glucosa Production (HGP) dan penurunan fungsi sel β, yang
akhirnya akan menuju kerusakan total sel β. Selain itu terdapat pengaruh predisposisi
genetik. Studi hubungan genome Polimorfisme Nukleotida Tunggal (SNP) telah
mengidentifikasi sejumlah varian genetik yang berhubungan dengan fungsi sel-beta dan
resistensi insulin. Beberapa Polimorfisme Nukleotida Tunggal meningkatkan risiko
diabetes tipe 2. Lebih dari 40 lokus independen menunjukkan hubungan dengan
peningkatan risiko untuk diabetes tipe 2 telah ditunjukkan. Beberapa subset yang telah
ditemukan : 2,5,7

a. Penurunan respon sel-beta, yang menyebabkan gangguan pengolahan


insulin dan penurunan sekresi insulin (TCF7L2)
b. Metabolisme perubahan asam lemak tak jenuh (FSADS1)
c. Disregulasi metabolisme lemak (PPARG)
d. Penghambatan pelepasan serum glukosa (KCNJ11)
e. Peningkatan adiposa dan resistensi insulin (FTO dan IGF2BP2)
f. Pengendalian perkembangang struktur pankreas, termasuk sel-sel beta
g. Transportasi zinc ke dalam sel beta, yang mempengaruhi produksi dan
sekresi insulin (SLC30A8)
h. Kelangsungan hidup dan fungsi sel beta-islet (WFS1)

Pada awal akan muncul resistensi insulin kemudian disusul oleh peningkatan
sekresi insulin, untuk mengompensasi resistensi insulin agar kadar glukosa darah tetap
normal. Resistensi insulin mengakibatkan gangguan toleransi glukosa. Gangguan
toleransi glukosa didefinisikan sebagai kadar glukosa setelah dua jam dari 140-199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/l) tes toleransi glukosa oral 75 gram dengan glukosa puasa dapat
normal atau sedikit meningkat. Sel beta akhrinya tidak sanggup mengompensasi
kejadian resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa sehingga kadar glukosa darah
meningkat dan fungsi sel beta semakin menurun.

2. Patofisiologi
Pada diabetes mellitus tipe 1 terjadi autoimun yang menyebabkan terjadi
kerusakan pada sel β pankreas sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
absolut. Akibat dari tidak adanya insulin, jaringan tidak dapat mengambil glukosa yang
terdapat di dalam darah sehingga timbul kondisi hiperglikemia. Akibatnya, sel
kekurangan energi dan menimbulkan respons glikogenolisis, glukoneogenesis, dan
lipolisis untuk menghasilkan glukosa untuk energi. Keadaan ini justru akan
memperparah hiperglikemia dan menimbulkan asidosis melalui peningkatan produksi
bahan keton. Penghancuran protein dan lemak tubuh berakibat pada penurunan berat
badan (wasting) dan asidosis menyebabkan vasodilatasi dan hipotermia. Sebagai bentuk
kompensasi tubuh terhadap asidosis yang terjadi, timbul hiperventilasi pada pasien,
yang bertujuan untuk mengurangi asidosis dengan jalan membuangnya melalui karbonn
dioksida. Penurunan keadaan anabolik dan hiperglikemia menyebabkan fatigue.
Glukosa diekskresikan dari tubuh melalui urin dalam bentuk diuresis yang selanjutnya
dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh sehingga pasien menjadi
dehidrasi, merasa haus dan akhirnya akan minum air dalam jumlah yang banyak
(polidipsia).4,5,8,9
Sedangkan diabetes mellitus tipe 2 merupakan sebuah kondisi dimana terjadi
resistensi insulin di perifer dan sekresi insulin yang inadekuat. Pada dasarnya, jika
terjadi resistensi insulin namun sekresinya masih adekuat maka kondisi tersebut belum
bisa dikatakan sebagai diabetes mellitus tipe 2. Resistensi insulin perifer dapat diinduksi
melalui banyak faktor, misalnya diet tinggi kalori, rendahnya aktivitas fisik, dan
pemberian obat-obat steroid. Resistensi insulin akan mengakibatkan kenaikan jumlah
asam lemak bebas dan sitokin proinflamasi plasma sehingga terjadi peningkatan
pemecahan cadangan glukosa di hati, pemecahan lemak, dan berkurangnya transport
glukosa ke sel otot. Pada diabetes mellitus tipe 2, terjadi parakrinopati pulau, dimana
jumlah glukagon yang diproduksi lebih banyak daripada jumlah insulin yang
diproduksi. Akibatnya timbul suatu kondisi yang disebut hiperglukagonemia dan
berakibat pada hiperglikemia 6,7,8
Pada kasus diabetes mellitus, dapat terjadi berbagai komplikasi, seperti neuropati,
nefropati, retinopati, gangren diabetikum, koma, dll. Neuropati yang terjadi akibat
komplikasi diabetes mellitus dapat dibedakan menjadi neuropati sensorik-autonom dan
neuroati motorik. Neuropati sensorik terjadi akibat akumulasi sorbitol di saraf sensorik
perifer yang menyebabkan terjadinya degenerasi akson dan demielinisasi segmen.
Sedangkan neuropati motorik dan mononeuropati kranial terjadi akibat terjadi gangguan
dari pembuluh darah yang menyuplai saraf. Komplikasi lainnya yang ditimbulkan oleh
diabetes mellitus adalah nefropati diabetik. Nefropati diabetik terjadi akibat adanya
penebalan dari dinding arteriol dan kapiler renal. Akibatnya, terjadi berbagai kondisi,
seperti Hyalinisasi glomerular, proteinemia, dan gagal ginjal kronik 4,6,7,8,9

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala khas diabetes melitus yaitu:4-9

1. Haus yang berlebihan (polidipsia): Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan
tubuh mengirimkan sinyal ke otak dan menimbulkan rangsangan haus. Tubuh
mendorong konsumsi lebih banyak air untuk mengencerkan gula darah agar kembali
ke tingkat normal. Selain itu glukosa darah yang berlebihan akan dibuang melalui urin
yang secara normal ikut menarik air tubuh sehingga tubuh akan kehilangan cairan
berlebihan.
2. Buang air kecil yang berlebihan (poliuria): Glukosa darah yang berlebihan akan
dibuang oleh tubuh melalui urin. Glukosa akan terus menarik air dari proses filtrasi di
ginjal sehingga memicu poliuria.
3. Makan berlebihan (polfagia): Penurunan kadar insulin dan tidak berfungsinya insulin
yang beredar dalam tubuh akan menyebabkan kegagalan transpor glukosa darah
menuju sel. Sehingga sel kekurangan makanan untuk proses metabolisme tubuh.
Sinyal yang timbul pada penderita DM adalah rasa lapar. Tubuh akan
mengkompensasi dengan proses glikolisis dan glukoneogenesis untuk ketersediaan
makanan sel. Namun hal ini cenderung makin meningkatkan glukosa darah.
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Gejala tidak khas lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien, yaitu: 4-9

1. Cepat lelah
2. Kesemutan
3. Gatal
4. Penglihatan kabur
5. Mudah mengantuk
6. Luka sulit sembuh
7. Disfungsi ereksi pada pria
8. Pruritus vulva pada wanita

2.1 Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.

 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang
lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan
ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan
beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. Langkah diagnostik DM
dapat dilihat pada bagan 1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil, dapat
dilihat pada tabel-2. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau
DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari
hasil yang diperoleh. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0
mmol/L) GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

 3(tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-


hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari)

 sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula

 tetap diperbolehkandiperiksa kadar glukosa darah puasa

 diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-


anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
 berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
 diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
 selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
Gambar 2.2 Langkah langkah diagnostik DM

Gambar 2.3 Kadar glukosa darah untuk diagnostik DM

Pemeriksaan fisik :
 pengukuran tinggi dan berat badan
 pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik
 pemeriksaan funduskopi
 pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
 pemeriksaan jantung
 evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
 pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
 pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)
dan pemeriksaan neurologis
 tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
Pemeriksaan penunjang :

 Gula darah puasa dan 2 jam Post prandial


 HbA1c
 Profil lipid pada keadaan puasa ( kolesterol total, HDL,LDL, trigliserida)
 Kreatinin serum
 Albuminuria
 Keton, sedimen dan protein dalam urin
 EKG
 Foto X-ray dada

2.2 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penyandang diabetes.
 Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah
 Jangka panjang : tercehag dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
Modalitas penatalaksanaan diabetes melitus sendiri terdiri atas terapi non-
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes secara terus menerus.
Modalitas lainnya adalah terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat
antidiabetik oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya
diberikan jika penerapan terapi non-farmakologis yang diberikan tidak dapat
mengendalikan kadar gula darah sebagaimana yang diharapkan.4-10

Gambar 2.4 AlgoritmePengelolaan DM Tipe 2

1. Terapi non-farmakologis pada diabetes melitus


a. Edukasi
Diabetes tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa. Pengelolaan mandiri
diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah
perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam
perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan
dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan
keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan pola makan sehat,
kegiatan jasmani rutin, pemantauan rutin glukosa darah dan mencegah
terjadinya luka.4-1
b. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis pada pasien diabetes pada prinsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita
diabetes (diabetisi) dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat
yang dikonsumsi pasien tiap harinya dan mencapai serta mempertahankan
kadar glukosa darah tetap normal.

Karbohidrat

 Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% dari total kalori per hari


 Jumlah serat 25-50 gram per hari
 Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun
jangan sampai lebih dari total kalori per hari
 Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori, seperti sakarin,
aspartame, acesulfam, dan sukralosa.
Protein

 Kebutuhan yang diperlukan 10-20 % dari total kalori per hari


 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol asupan protein
tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
 Pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian
protein sekitar 0.8-1.0 mg/kg berat badan/hari
 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein
nabati lebih dianjurkan dari protein hewani.
Lemak

 Dibutuhkan sebesar 20-25% dari kebutuhan kalori


 Batasi konsumsi asam lemak jenuh dalam daging berlemak atau
sususekitar 10% dari kebutuhan kalori per hari.
 Konsumsi kolesterol <200 mg perhari

c. Latihan jasmani
Diabetes merupakan penyakit yang akan berlangsung seumur hidup.
Latihan jasmani selain dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, juga akan memperbaiki kendali gula darah. Dianjurkan
olahraga teratur, 3-4 kali tiap minggu selama setengah jam yang sifatnya
sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training).
Latihan yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobic, misalnya berjalan kaki,
sepeda santai, jogging, dan berenang.11

2. Terapi farmakologis pada diabetes melitus


Terapi farmakologis pada pasien DM dapat berupa OHO (obat hipoglikemik
oral) maupun insulin. Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan terapi insulin
tetapi DM tipe 2 dapat diobati dengan obat oral terlebih dahulu. Jika
pengendalian berat badan dan berolahraga tidak berhasil maka dokter kemudian
memberikan obat yang dapat diminum (oral) atau menggunakan insulin sesuai
dengan kondisi pasien. Berikut ini pembagian terapi farmakologi untuk
diabetes:9-13

1) OHO (Obat Hipoglikemik Oral)


1. Golongan sekretagok insulin (pemicu sekresi insulin)
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini memiliki efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih.
Golongan sulfonilurea (SU) seringkali dapat menurunkan kadar gula
darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif
pada diabetes tipe 1. SU terdiri dari 3 generasi, yaitu generasi pertama
adalah acetohexamide, tolbutamide dan chlorpropamide. SU generasi
kedua adalah glibenclamide, glipizide dan gliclazide, sedangkan SU
generasi ketiga adalah glimepiride.
Dosis permulaan SU tergantung dari beratnya hiperglikemia. Bila
konsentrasi glukosa darah puasa <200 mg/dL, pemberian SU dimulai
dengan dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sampai
tercapai GDP 90-130 mg/dL. Bila GDP >200 mg/dL dapat diberikan dosis
awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum
makan karena diserap lebih baik. Pada obat yang diberikan sehari sekali,
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan
porsi terbesar. SU juga dapat dikombinasikan dengan terapi insulin dan
efeknya lebih baik daripada terapi tunggal insulin. Efek samping SU
adalah hipoglikemia.
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin pada fase pertama. Perbedaannya
adalah masa kerja glinid yang lebih pendek, sehingga baik digunakan
sebagai obat prandial. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu
repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat
ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Pemberiannya dua sampai tiga kali sehari dan
efek kerjanya singkat sehingga tidak kuat menurunkan HbA1c.
2. Golongan insulin sensitizing (penambah sensitivitas insulin)
a) Biguanid
Golongan biguanid yang saat ini banyak dipakai adalah metformin.
Konsentrasi metformin tinggi di dalam usus dan hati serta tidak
dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal sehingga
diberikan dua sampai tiga kali sehari. Metformin akan mencapai kadar
tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam
keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam. Efek metformin adalah
menurunkan berat badan akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan
hiperinsulinemia akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai
obat hipoglikemia tetapi obat antihiperglikemia.
b) Glitazone
Glitazone merupakan agonist peroxisome proliferator-activated receptor
gamma yang sangat selektif dan poten. Reseptor tersebut terdapat pada
jaringan target kerja insulin seperti jaringan lemak, otot skelet dan hati.
Glitazone tidak merangsang sekresi insulin oleh sel beta pankreas namun
dapat menurunkan konsentrasi insulin. Contoh dari golongan glitazone
adalah Rosiglitazone dan Pioglitazone yang saat ini dapat digunakan
sebagai monoterapi dan juga sebagai terapi kombinasi dengan metformin
dan SU.
3. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi gula di usus halus, sehingga
memiliki efek menurunkan kadar gula darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan adalah kembung dan flatulens. Acarbose ini dapat diberikan
bersama makan saat suapan pertama.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian OHO adalah:


1. Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap.
2. Harus diketahui betul lama kerja dan efek samping obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan adanya interaksi obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap OHO, usahakan menggunakan obat
oral golongan lain, bila gagal, baru beralih ke insulin.
5. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
Obat hipoglikemik oral (OHO)
2) Insulin
Secara keseluruhan 20-25% pasien dengan DM tipe 2 akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Terapi insulin
diberikan pada pasien DM tipe 2 yang glukosa darahnya tidak terkendali
walaupun telah diberikan obat hipoglikemia oral (OHO). Indikasi terapi
dengan insulin, yaitu:
- Semua pasien dengan DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena
produksi insulin oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.
- Pada pasien DM tipe 2 akan membutuhkan insulin apabila terapi jenis
lain seperti kombinasi OHO tidak dapat mencapai target pengendalian
glukosa darah, terjadi komplikasi seperti infeksi sekunder, tindakan
bedah, IMA ataupun stroke.
- DM gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan diet makanan.
- Ketoasidosis diabetik.
- Pengobatan sindrom hiperglikemi hiperosmolar non-ketotik.
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
- Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO.
Beberapa jenis sediaan insulin dan cara kerjanya sebagai berikut:

a. Insulin kerja cepat (rapid acting)


Insulin lispro, aspart, dan glulisin merupakan insulin kerja cepat. Lama
kerja dapat berlangsung segera dan mencapai puncaknya setelah 30-90
menit pasca penyuntikan dan bertahan selama 3-5 jam, contohnya pada
insulin lispro.
b. Insulin kerja pendek (short acting)
Biasanya dipergunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis,
penderita baru dan tindakan bedah dan mengontrol hiperglikemia
postprandial. Insulin jenis ini kadang-kadang juga digunakan sebagai
pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan. Lama kerja dapat
mencapai 5-8 jam dengan awitan kerja 30-60 menit dan puncak kerja 2-4
jam.
c. Insulin kerja menengah (intermediate acting)
Sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia:
- Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
- Insulin crystalline zinc-acetate (insulin lente)
NPH mengandung protamin dan sejumlah zink, yang keduanya
kadang-kadang memiliki pengaruh sebagai penyebab reaksi imunologi,
seperti urtikaria pada lokasi suntikan. Lama kerja dapat mencapai 12-
24 jam pasca penyuntikan, dengan awitan kerja 2-4 jam dan puncak
kerja 4-12 jam.

d. Insulin kerja panjang (long acting)


Mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan
dalam regimen basal-bolus. Insulin basal seperti glargline dan detemir
dapat memenuhi kebutuhan basal insulin lebih dari 24 jam tanpa
adanya efek puncak. Insulin ini memiliki kadar zink yang tinggi untuk
memperpanjang waktu kerjanya.
e. Insulin kerja campuran
Terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan menengah atau kerja
pendek dan menengah. Sediaan yang ada di Indonesia adalah
kombinasi yang terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan
70% insulin kerja menengah.
Penilaian hasil terapi:

1. Pemeriksaan glukosa darah


2. Pemeriksaan HbA1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan benda keton pengendalian urin
Kriteria pengendalian DM

Indikator Baik Sedang Buruk


GD puasa 80-109 110-125 ≥ 126
GD 2 jam PP 80-144 145-179 ≥180
A1 C <6,5 6,5-8 >8
Kolesterol total <200 200-239 ≥240
Kolesterol LDL <100 100-129 ≥130
Kolesterol HDL >45
Trigliserida <150 150-199 ≥200
IMT 18,5-22,9 23-25 >25
Tekanan darah <130/80 130-140/80-90 >140/90

2.9 Komplikasi

1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan di manakadar gula darah (glukosa) di
bawah nilai normal (<70-110 mg/dL). Kadar gula darah yang rendah
menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi.
Penyebab tersering hipoglikemia pada pasien DM yaitu akibat OHO
golongan sulfonilurea, hipoglikemia ini dapat berlangsung lama sehingga harus
diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Waktu
pengawasannya bisa berlangsung 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronis.
Gejala hipoglikemia dapat terdiri dari gejala adrenergik seperti berdebar,
banyak keringat, gemetar, rasa lapar dan gejala neurologik seperti pusing, gelisah,
penurunan kesadaran hingga koma.
Tatalaksana hipoglikemia yang paling tepat adalah pencegahan. Namun
Apabila hipoglikemia telah terjadi, maka pengobatan harus segera dilakukan
terutama untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap otak yang paling sensitif
terhadap penurunan glukosa darah. Penatalaksanaan hipoglikemia dibedakan atas
stadium permulaan dan stadium lanjut, sebagai berikut:
a. Stadium permulaan (pasien sadar)
- Pada stadium permulaan, pasien masih dalam keadaan sadar sehingga
penatalaksanaan terbaik adalah pemberian gula murni +30 gram (2
sendok makan) atau sirup, permen, makanan yang mengandung
karbohidrat lainnya.
- Stop obat hipoglikemi, periksa GDS dan lakukan pengkajian ulang
setiap 4 jam selama 24 jam.
b. Stadium lanjut (koma hipoglikemi)
- Penanganan keadaan gawat darurat ini harus cepat dan tepat.
- Berikan larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakson, intravena setiap 10-
20 menit hingga pasien sadar disertai pemberian cairan dextrose 10% 6
jam/kolf untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau
di atas normal.
- Bila belum teratasi dapat diberikan insulin antagonis seperti adrenalin,
kortison dosis tinggi atau glukagon 1 mg intravena, tetapi sebaiknya
penggunaan adrenalin perlu dibatasi mengingat efek sampingnya.4,12
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol,
dan growth hormone) ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis.
Keadaan tersebut menyebabkan keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa
hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Hasil sampingan dari produksi glukosa hati tersebut adalah
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Akumulasi produksi benda keton oleh
sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama adalah asam
asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal
kadar 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak
begitu penting.
Keadaan lain adalah timbulnya glukosuria dan ketonuria yang dapat
menimbulkan diuresis osmotik sehingga terjadi dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapat mengalami hipotensi dan syok bahkan penurunan
kesadaran. Parameter pemeriksaan pada kasus KAD sebagai berikut:4,12
 Kadar glukosa >250 mg%
 pH <7,35
 HCO3 rendah (<15 mEq/l)
 Anion gap yang tinggi
 Keton serum positif

Gambar 2.5 Patofisiologi ketoasidosis diabetikum


c. Hiperosmolar Hiperglikemik Non-Ketosis (HHNK)
Merupakan komplikasi akut/emergensi diabetes melitus yang ditandai
dengan dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. HHNK
dimulai dengan adanya diuresis glukosurik. Glukosuria menyebabkan kegagalan
ginjal untuk mengkonsentrasikan urin sehingga akan terjadi kehilangan air yang
menimbulkan dehidrasi pada pasien tersebut. Pada keadaan normal, ginjal
berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Hilangnya air
yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar.
Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama
jika terjadi resistensi insulin.
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh
sel otot dan lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada
otot dan hati, serta stimulus glukagon pada sel hati untuk glukogenesis
mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa darah. Pada keadaan di mana
insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar glukosa darah juga
tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral.
Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, di mana
glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan
cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume
sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti kehilangan cairan intravaskular menyebabkan keadaan hiperosmolar
yang memicu sekresi hormon antidiuretik serta menimbulkan rasa haus. Jika
hilangnya cairan ini tidak dikompensasi, maka akan timbul dehidrasi dan
kemudian hipovolemia yang nantinya dapat mengakibatkan terjadinya hipotensi
serta gangguan perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium akhir proses
hiperglikemia ini, di mana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya
dengan hipotensi.
Gejala klinis utamanya adalah hiperglikemia berat serta seringkali disertai
dengan gangguan neurologis dengan atau tanpa ketosis. Perjalanan klinis penyakit
ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa
minggu), dengan gejala khas seperti poliuria, polidipsia sehingga meningkatkan
rasa haus, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan pada 10% kasus.
Diagnosis HHNK menurut American Diabetes Association (ADA) sebagai
berikut:
1) Glukosa plasma 600 mg/dL atau lebih
2) Osmolalitas serum 320 mOsm/kg atau lebih
3) Dehidrasi berat (biasanya 8-12 L) dengan peningkatan BUN
4) Ketonuria minimal, tidak ada ketonemia
5) Bikarbonat >15 mEq/L
6) Perubahan kesadaran.
Karakteristik pasien HHNK adalah berusia lanjut, yang belum diketahui
mengalami DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
OHO. Keluhan pasien adalah rasa lemah, gangguan penglihatan atau kaki kejang.
Ditemukan keluhan lain seperti mual dan muntah, namun lebih jarang
dibandingkan KAD. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi
berat seperti turgor yang buruk, mukosa kering, mata cekung, ekstremitas dingin
dan denyut nadi cepat dan lemah.4,12

2. Kronis
a. Makroangiopati
1) Penyakit arteri koroner
Salah satu gambaran histopatologi berupa aterosklerotik dalam pembuluh darah
arteri koroner. Keadaan ini meningkatkan insiden infark miokard pada penderita
diabetes. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner
menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada pasien-pasien
diabetes.
2) Penyakit serebrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan
emboli di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa
aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat
menimbulkan serangan iskemia sepintas dan stroke.
3) Penyakit vaskuler perifer
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah
merupakan penyebab meningkatnya insiden penyakit osklusif arteri perifer pada
pasien diabetes. Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas
bawah ini merupakan penyebab utama meningkatnya insiden gangren dan
amputasi pada pasien-pasien diabetes.Timbulnya arterosklerotik pada pembuluh
darah pasien DM disebabkan akibat insufisiensi insulin sehingga memicu
penimbunan sorbitol dalam tunika intima vaskular, hiperlipoproteinemia dan
kelainan pembekuan darah yang menjadi dasar pembentukan arterosklerotik.4,12
b. Mikroangiopati
1) Retinopati diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Ada tiga
stadium utama retinopati: retinopati nonproliferatif (background retinopathy),
praproliferatif dan retinopati proliferatif. Sebagian besar pasien diabetes
mengalami retinopati nonproliferatif dengan derajat tertentu dalam waktu 5
hingga 15 tahun setelah diagnosis diabetes ditegakkan.4,12
2) Nefropati
Komplikasi DM berupa kerusakan nefron-nefron ginjal sehingga terjadi
kegagalan fungsi ginjal. Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan
hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan mengalami
insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini, pasien memerlukan dialisis
ataupun transplantasi ginjal untuk mengatasi komplikasi ini.4,12
3) Neuropati diabetes
Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan
spinal. Keadaan ini disebabkan penimbunan sorbitol dan fruktosa serta
penurunan mioinositol pada jaringan saraf. Hal ini menyebabkan gangguan pada
kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan hilangnya akson. Kecepatan konduksi
motorik akan berkurang pada tahap dini neuropati. Dilanjutkan dengan timbulnya
nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan propioseptik, hilangnya refleks
tendo dalam, kelemahan otot dan atrofi. Terserangnya saraf otonom akan
mengakibatkan diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan
gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pada pasien neuropati otonom
diabetik yang juga menderita infark miokard akut tidak akan merasakan nyeri
dada. Pasien juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap keadaan
hipoglikemia sehingga tidak akan menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia yang
terjadi.4,12
Sasaran pengendalian Pasien DM

2.10 Prognosis

Meskipun diabetes melitus adalah kondisi kronis progresif yang belum bisa disembuhkan,
kondisi tersebut dapat secara efektif dikelola dengan teratur melakukan pendidikan kepada
pasien, dan memberikan perawatan medis yang sesuai.
BAB III

STATUS PASIEN

Identitas Pasien :

Nama : Tn.NP

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 51 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Suku : Batak

Agama : Kristen

Status : Menikah

Alamat : Jalan Cempaka

Tanggal Berobat : 20 Agustus 2021

ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan Utama : Badan terasa lemas sejak 4 hari sebelum masuk rumahsakit.
Riwayat Penyakit Sekarang : Badan terasa lemas sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien juga mengeluhkan mual sejak 4 hari sebelum masuk rumahsakit. Pasien juga
mengeluhkan sering merasa haus, sering merasa lapar, dan sering buang air kecil. Pasien
sering terbangun pada malam hari karena ingin buang air kecil. Penurunan berat badan
drastis (-), kesemutan pada kedua kaki (-).
Riwayat penyakit terdahulu :

 Riwayat diabetes melitus (+)


 Riwayat hipertensi (-)
Riwayat obat-obatan : (-)

Riwayat penyakit keluarga :

 Metformin 3 x 500
 Glimepirid 1 x 4 mg
 Riwayat hipertensi (-)

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Sensorium : Composmentis (E4V5M6)

Vital sign :

 TD : 130/80 mmHg
 HR : 84/menit
 RR : 20/menit
 T : 36,7oC
 BB : 86kg
 TB : 165cm

IMT : 31,58 (Obesitas II)

Status Generalis :

Kepala : Normocephali

Mata :Konjungiva Anemis (-/-), Sclera icteric (-), pupil : isokor(3/3mm),


eksoftalmus (-/-), palpebral edema (-/-), ptosis (-/-), respon cahaya (+/+),
bitot spot (-/-)

Mulut : Tidak ada kelainan

Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar thyroid (-),
peningkatan TVJ (-) R+2cmH2O, deviasi trakea (-)

THT : Tidak ada kelainan


Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan=kiri, ketinggalan pernafasan (-)

Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara pernafasan: Vesikuler (+/+)

Suara tambahan : (-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba

Perkusi : Dalam batas normal

Auskultasi : Bising jantung S1/S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Dinding perut simetris (+), Ascites (-)

Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal, tidak ada bising aorta abdominalis

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Ekstremitas atas : akral hangat , edema (-/-), deformitas (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-/-), deformitas (-)

Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium (20 Agustus 2021)


Full Blood Count Hasil Satuan Nilai Normal

Hemoglobin 14.6 g/dL 13 – 18

Hematokrit 39,6 % 39-54

Eritrosit (Sel darah merah) 4.92 10^6/µL 4.50- 6.50

Leukosit (Sel darah putih) 9000 10^3/µL 4.000-11.000

Hitung trombosit 373.000 10^3/µL 150.000– 450.000

• MCV 80.4 fL 81-99


• MCH
29.7 pg 27,0 - 31,0
• MCHC
36,9 mg/dl 31,0 – 37,0

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Lipid Profile
Kolesterol total 202 mg/dl <200
RFT
Ureum 30 mg/dl 5 – 50
Kreatinin 0,9 mg/dl 0.6 – 1.5
Asam urat 4,1 mg/dl 3.4 – 7.0
Glukosa
Gula darah puasa 303 mg/dl < 200
SGOT 17.1 u/l 5 – 40
SGPT 19.9 u/l 5-40

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HbA1C 10.5 % < 6.5

Diagnosa Banding
1. Diabetes Melitus Tipe II
2. Diabetes Melitus Tipe I
3. Diabetes Insipidus

Diagnosa Kerja

Diabetes Melitus Tipe II

Penatalaksanaan

Farmakologis :

 IVFD NaCl 20 tpm

 Inj Omeprazol / 12 jam

 Novomix 10 – 0 – 10

 Simvastatin 1 x 20 mg

 Aspilet 1 x 80 mg

 Vitamin Becom C 1 x 1

Non Farmakologis

1. Latihan Fisik

2. Diet DM 1755 kalori

3. Monitor Gula Darah

Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam


Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKENI. Konsensus pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia 2015
2. American Diabetes Association. 2007. Available at :
http://www.diabetes.org/diabetes-basics/diagnosis/
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes
Melitus dan Penyakit Metabolik. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
4. Fauci, A.S., Braunwald, E., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L. 2009.
Harrisons’s. USA: McGraw-Hill Companies.

5. Frykberg, R.G., et al. 2006. Diabetic Foot Disorder: A Clinical Practice Guidelines.
The Journal of Foot and Ankle Surgery, vol. 45 no 5. Dapat diunduh di:
http://www.acfas.org
6. Konsensus pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006
7. Purnamasari, Dyah. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: InternaPublishing.
8. Price, S.A, dan Lorraine M.W. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta EGC
9. Romesh Khardori. 2014. Type 2 Diabetes Mellitus. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#aw2aab6b2b4
10. Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III ed. V. Jakarta : InternaPublishing.
11. Fowler MJ. 2011. The diabetes treatment trap: hypoglycemia, Vol 29 No. 1. ADA;
2011.
12. Setyohadi, B. Arsana PM, Suroto, AY. dkk. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan
penyakit dalam. Jakarta:PerhimpunanDokterSpesialisPenyakitDalam Indonesia; 2012
LAPORAN KASUS
CONGESTIVE HEART FAILURE

Oleh

dr. Rodoasi Jesaya Sibarani

Pembimbing

dr. CHAIRUN ARRASYID, Sp.PD

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

RSUD TUAN RONDAHAIM


KABUPATEN SIMALUNGUN

2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE

Oleh :

dr. Rodoasi Jesaya Sibarani

Wahana :

RSUD Tuan Rondahaim Batu 20

Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengkuti program
internship dokter Indonesia

Batu 20, September 2021

Pendamping I   Pendamping II

dr. Ruth Imelda Siagian dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD)Sp.PD


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan baik yang
berjudul  “Congestive Heart Failure” dalam rangka memenuhi kewajiban penulis
untuk diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan program Dokter internsip
Indonesia

Dalam penyusunan laporan ini, Penulis  telah banyak mendapatkan bimbingan


dan pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada : 

a. dr. Ruth Imelda Siagian selaku dokter pembimbing yang telah


memberikan arahan, bimbingan, kritik dan saran dalam
penyempurnaan laporan kasus ini.
b. dr. Chairun Arrasyid,M.Ked(PD) Sp.PD , selaku penguji laporan kasus
penulis.
c. Seluruh staf pegawai di RSUD Tuan Rondahaim.
d. Teman-teman sejawat di RSUD Tuan Rondahaim yang telah
memberikan bantuan, semangat, dan doa kepada penulis.

Akhir kata, penulis menyadari  bahwa laporan kasus ini masih belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan
karuniaNya kepada kita semua.

Batu 20, Desember 2020


      Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung kronis merupakan sindrom progresif yang membuat
perburukan kualitas hidup pasien dan menempatkan beban ekonomi pada
sistem perawatan kesehatan. Meskipun kemajuan dalam pengendalian
penyakit kardiovaskular seperti infark miokard (MI), insidensi dan
prevalensi CHF terus meningkat. [1]
Gagal jantung/Heart Failure (HF)
ditandai oleh serangkaian gejala (dyspnoea, orthopnoea, pembengkakan
anggota badan bagian bawah) dan tanda gagal jantung (tekanan vena
jugularis meningkat, kongesti paru) yang disebabkan karena kelainan
struktural dan/atau fungsional jantung yang mengakibatkan berkurangnya
cardiac output dan/atau meningkatnya tekanan intra cardiac. [2] 
Angka kematian kasus HF sekitar 50% dalam waktu 5 tahun
setelah diagnosis. Penelitian ARIC, angka kematian 30 hari, 1 tahun, dan
5 tahun setelah rawat inap untuk HF masing-masing adalah 10,4%, 22%,
dan 42,3%. [3]
Prevalensi gagal jantung berdasarkan tertinggi DI
Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah
(0,18%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala
tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah
(0,7%), sementara Sulawesi Selatan dan Papua sebesar 0,5 persen. [4]
Seorang pasien gagal jantung memiliki gejala peningkatan
tekanan vena jugular, edema perifer karena abnormalitas dari struktur dan
fungsi jantung, menyebabkan penurunan cardiac output serta peningkatan
tekanan intracardiac saat istirahat atau beraktivitas [5]
Beberapa
mekanisme patogenik utama yang menyebabkan HF meningkat kelebihan
muatan emodinamik, disfungsi terkait iskemia, remodeling ventrikel,
stimulasi neurohumoral yang berlebihan, siklus kalsium myocyte yang
abnormal, proliferasi matriks ekstraselular yang berlebihan atau tidak
memadai, apoptosis yang dipercepat dan mutasi genetik. [6] Prognosa dari
gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak dapat diperbaiki.
Mortalitas tahun pertama pada pasien gagal jantung cukup tinggi 20-60%
berkaitan dengan deraajat keparahannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Gagal jantung kronis adalah sindrom progresif yang membuat
perburukan kualitas hidup pasien dan menempatkan beban ekonomi pada
sistem perawatan kesehatan. Meskipun kemajuan dalam pengendalian
penyakit kardiovaskular seperti infark miokard (MI), insidensi dan
prevalensi CHF terus meningkat. Perkiraan beban penyakit sulit untuk
dikumpulkan karena sejumlah besar pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
(ventrikel kiri) yang asimptomatik. Ketika populasi menua, ada pergeseran
epidemiologis menuju prevalensi lebih besar dari gagal jantung klinis
dengan fungsi LV yang tetap, yang disebut sindrom kaku-jantung.
Faktanya, gagal jantung dengan fungsi sistolik yang dipertahankan dapat
menyebabkan hingga dua pertiga kasus pada pasien yang lebih tua dari 70
tahun [1].
Gambar 1. Klasifikasi NYHA pada pasien gagal jantung17

Gagal jantung kongestif (CHF) adalah sindrom klinis di mana


jantung gagal memompa darah pada tingkat yang dibutuhkan oleh
jaringan metabolisme atau di mana jantung dapat melakukannya hanya
dengan meningkatkan tekanan pengisian. Ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
jaringan tubuh dapat disebabkan dari pengisian jantung yang tidak
memadai dan/atau gangguan kontraksi serta pengosongan. Mekanisme
kompensasi meningkatkan volume darah, serta tekanan pengisian jantung,
denyut jantung, dan massa otot jantung untuk mempertahankan fungsi
pemompaan jantung dan menyebabkan redistribusi aliran darah.
Kemampuan jantung untuk berkontraksi dan bersantai menurun secara
progresif walaupun ada upaya kompensasi dan gagal jantung (HF)
memburuk [8]. Gagal jantung/Heart Failure (HF) adalah sindroma klinis
yang ditandai oleh serangkaian gejala (dyspnoea, orthopnoea,
pembengkakan anggota badan bagian bawah) dan tanda gagal jantung
(tekanan vena jugularis meningkat, kongesti paru) yang disebabkan
karena kelainan struktural dan/atau fungsional jantung yang
mengakibatkan berkurangnya cardiac output dan/atau meningkatnya
tekanan intra cardiac. [2]

2.2 FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI


Faktor risiko HF antara lain: hipertensi, DM, metabolik sindrom
dan aterosklerosis. Penyebab HF menurt AHA (2013) antara lain:
Kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati kongenital, kardiomiopati endokrin
metabolik (hipertiroid, diabetes melitus), toksik, kardiomiopati yang
diinduksi takikardi, kardiomiopati yang disebabkan oleh miokarditis atau
infeksi katup jantung, dan stres/psikologis. [3]
Penyebab gagal jantung
antara lain: meningkatnya preload (regurgitasi aorta, VSD), meningkatnya
afterload (stenosis aorta, hipertensi sitemik), menurunnya kontraktilitas
ventrikel (IMA, kardiomiopati), gangguan pengisian ventrikel (stenosis
katup Atrio-ventrikular, perikarditif konstriktif, tamponade jantung),
gangguan sirkulasi, infeksi sistemik dan emboli (secara mendadak akan
meningkakan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan). [9]
Gagal jantung kronis dapat diakibatkan oleb berbagai gangguan
kardiovaskuler. Secara etiologis hal ini dapat dikelompokkan sebagai
factor: menghambat kontraktilitas ventrikel, meningkatkan afterload atau
menghambat relaksasi dan pengisian ventrikel. Gagal jantung yang
disebakan oleh kelainan pada pengosongan ventrikel karena gangguan
kontraktilitas dan afterload yang berlebihan disebut disfungsi sitolik,
sedangkan gagal jantung yang disebabkan oleh kelainan relaksasi diastolic
atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolic.17
Pasien gagal jantung pada umumnya akan dibagi menjadi 2
kategori didasarkan fraksi ejeksi (ejection fraction), ukuran kinerja jantung
dari ventrikel kiri yaitu gagal jantung dengan ejeksi fraction yang menurun
misalnya disfungsi sistolik primer dan gagal jantung dengan ejeksi fraction
yang normal misalnya disfungsi diastolic primer. Di Amerika Serikat,
sekitar setengah dari jumlah pasien dengan gagal jantung jatuh ke dalam
salah satu kategori di atas17
Kondisi penyebab gagal Jantung kanan adalah :17
Faktor Jantung :
 Gagal Jantung kiri
 Stenosis katup pulmonal
 Infark ventrikel
Penyakit Parenkim Paru :
 Penyakit paru obstruktif kronis
 Penyakit intertisial paru misalnya sarkoidosis
 Infeksi paru kronis atau bronkiektasis
Penyakit Vaskuler Paru :
 Emboli paru
 Hipertensi arteriolar paru

Faktor-faktor yang dapat memicu gejala pada pasien dengan gagal


jantung kronik yang terkompensasi :17
Peningkatan kebutuhan metabolic :
 Demam
 Infeksi
 Anemia
 Tatikardia
 Hipertiroid
 Kehamilan
Peningkatan volume sirkulasi (peningkatan
preload) :
 Konsumsi natrium berlebihan
 Konsumsi cairan berlebihan
 Gagal ginjal
Kondisi yang meningkatkan afterload :
 Hipertensi yang tidak terkontrol
 Emboli paru (peningkatan afterload ventrikel
kanan0
Kondisi yang menganggu kontraktilitas :
 Terapi inotropic negative
 Iskemia atau infark miokard
 Konsumsi etanol berlebihan
Tidak mengonsumsi obat gagal jantung
Denyut jantung yang terlalu rendah

2.3 EPIDEMIOLOGI
Menurut data American Heart Association (AHA) 2017, gagal
jantung terjadi pada 6,5 juta orang Amerika yang berusia diatas 20 tahun.
Dengan peningkatan kelangsungan hidup pasien dengan infark miokard
akut dan populasi tua, gagal jantung akan terus meningkat sebagai
masalah kesehatan utama di Amerika Serikat. AHA memproyeksikan
peningkatan prevalensi gagal jantung sebesar 46% dari tahun 2012 ke
tahun 2030, menghasilkan 8 juta atau lebih orang Amerika berusia diatas
18 tahun dengan gagal jantung [10]. Gagal jantung kongestif lebih banyak
terjadi pada usia lanjut. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa gagal
jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari
mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85
tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang
yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat [2].
Angka kematian kasus HF sekitar 50% dalam waktu 5 tahun
setelah diagnosis. Penelitian ARIC, angka kematian 30 hari, 1 tahun, dan
5 tahun setelah rawat inap untuk HF masing-masing adalah 10,4%, 22%,
dan 42,3%. [3]  Perkiraan prevalensi dan biaya perawatan untuk HF akan
meningkat. Strategi untuk mencegah HF dan meningkatkan efisiensi
perawatan sangat dibutuhkan. [11]

2.1 PATOFISIOLOGI
Gagal jantung adalah kelainan multisistem yang ditandai dengan
kelainan pada otot jantung, skeletal, dan fungsi ginjal; stimulasi sistem
saraf simpatis; dan pola kompleks perubahan neurohormonal. [12] Kelainan
utama pada gagal jantung adalah penurunan fungsi ventrikel kiri, yang
menyebabkan penurunan curah jantung. Penurunan curah jantung
menyebabkan aktivasi beberapa mekanisme kompensasi neurohormonal
yang ditujukan untuk memperbaiki lingkungan mekanis jantung. Aktivasi
sistem simpatis, misalnya mencoba mempertahankan curah jantung
dengan peningkatan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
miokard, dan vasokonstriksi perifer (meningkatkan katekolamin).
Aktivasi renin-angiotensinaldosterone sistem (RAAS) juga menyebabkan
vasokonstriksi (angiotensin) dan peningkatan volume darah, dengan
retensi garam dan air (aldosteron). Konsentrasi vasopressin dan peptida
natriuretik meningkat. Selanjutnya, mungkin ada dilatasi jantung
progresif atau perubahan struktur jantung (remodeling), atau keduanya. [12]
Gambar 2. Axis Renin-angiotensin-aldosterone pada gagal jantung17

Disfungsi diastolik akibat gangguan relaksasi miokard, dengan


kekakuan yang meningkat pada dinding ventrikel dan penurunan fungsi
ventrikel kiri, yang menyebabkan penurunan pengisian ventrikel
diastolik. Infiltrasi seperti penyakit jantung amyloid, walaupun penyakit
arteri koroner, hipertensi (dengan hipertrofi ventrikel kiri), dan
kardiomiopati hipertrofik lebih sering terjadi. Kejadian dan kontribusi
disfungsi diastolik tetap kontroversial, walaupun diperkirakan 30-40%
pasien gagal jantung mengalami kontraksi sistolik ventrikel normal.
Indeks disfungsi diastolik dapat diperoleh secara non-invasif dengan
ekokardiografi doppler atau secara invasif dengan kateterisasi jantung
dan pengukuran perubahan tekanan ventrikel kiri. [6]
Setelah infark miokard yang luas, kontraktilitas jantung sering
terganggu dan aktivasi neurohormonal menyebabkan hipertrofi eksentrik
dan konsentris regional dari segmen yang tidak infark, dengan perluasan
pada zona infark. Ini dikenal sebagai remodeling. [12] Faktor risiko khusus
untuk pengembangan dilatasi ventrikel progresif ini setelah infark
miokard termasuk infark besar, infark anterior, oklusi (atau non-
reperfusi) arteri yang berhubungan dengan infark dan hipertensi.
Disfungsi miokard juga dapat terjadi sebagai respons (disfungsi
postischaemik), yang menggambarkan pemulihan fungsi miokard yang
tertunda, jika tidak ada kerusakan ireversibel. [6] Hal ini berbeda dengan
miokardium "hibernasi", yang menggambarkan disfungsi miokard yang
persisten saat istirahat, akibat perfusi miokard berkurang, walaupun
miosit jantung tetap bertahan dan kontraksi miokard dapat membaik
dengan revaskularisasi. Revaskularisasi dapat memperbaiki keseluruhan
fungsi ventrikel kiri dengan efek yang menguntungkan pada gejala dan
prognosis. [13]
Stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan
peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II, dan aldosteron.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat dari ginjal (arteriol eferen)
dan sirkulasi sistemik, di mana ia merangsang pelepasan noradrenalin
dari terminal saraf simpatis, menghambat irama vagal, dan mendorong
pelepasan aldosteron. Hal ini menyebabkan retensi natrium dan air dan
peningkatan ekskresi potassium. Selain itu, angiotensin II memiliki efek
penting pada miosit jantung dan dapat menyebabkan disfungsi endotel
yang diamati pada gagal jantung kronis. Konsentrasi hormon antidiuretik
juga meningkat pada gagal jantung kronis berat. Konsentrasi hormon
yang tinggi sangat umum pada pasien yang mendapat pengobatan
diuretik, dan ini dapat menyebabkan hiponatremia. [12]
Peningkatan
aktivitas system saraf simpatis, system renin angiotensin aldosterone dan
hormone antidiuretic berfungsi untuk mendukung curah jantung dan
tekanan darah. Namun, konsekuensi yang merugikan dari pengaktifan ini
adalah peningkatan afterload akibat vasokontriksi berlebihan yang
kemudian dapat mempengaruhi curah jantung dan kelebihan retensi
cairan, yang memberikan kontribusi untuk edema perifer dan kongesti
paru.17
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung yang disebabkan oleh
gangguan fungsi kontraksi ventrikel kiri menyebabkan pergeseran ke
bawah pada kurva kinerja ventrikel, akibatnya pada setiap preload,
volume sekuncup akan menurun dibandingkan dengan normal.
Penurunan volume sekuncup menyebabkan pengosongan ruangan yang
tidak sempurna, sehingga volume darah yang terakumulasi dalam
ventrikel selama diastole menjadi lebih besar dari normal. Meningkatnya
regangan pada serat miokard ini kemudian bertindak sesuai mekanisme
Frank-Starling dan menginduksi volume sekuncup yang lebih besar pada
kontraksi berikutnya, yang akan membantu pengosongan ventrikel kiri
dan menjaga aliran jantung.  Kenaikan kronis volume di akhir diastole
dan hipertrofi miokard akan secara pasif meningkatkan tekanan atrium
yang nantinya akan berkontribusi terhadap gejala gagal jantung misalnya
kongesti paru dalam kasus gagal jantung kiri.

2.2 TANDA DAN GEJALA


Beberapa kriteria telah diusulkan untuk mendiagnosis HF (Tabel 1)
seperti kriteria Framingham, kriteria Boston, kriteria Gothenburg, dan
kriteria European Society of Cardiology. Semua mengandalkan indikator
gejala dan menggabungkan data dari riwayat medis, pemeriksaan fisik,
dan radiografi dada.
Tabel 1.  Kriteria Framingham
Kriteria Framingham

Kriteria Mayor

 Paroxysmal nocturnal dyspnea


 Distensi vena di leher
 Rales (ronkhi kering)
 Acute pulmonary edema
 Hepatojugular Reflux
 S3 Gallop
 Radiographic cardiomegaly
 Pulmonary edema, visceral congestion, atau cardiomegaly pada saat autopsy
(untuk kepentingan diagnosis visum)
Kriteria Minor

 Batuk malam hari


 Efusi pleura
 Takikardi (hingga >120 kali per menit)
 Edema pada kedua pergelangan kaki (angkle edema)
 Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari nilai maksimum (menggunakan
spirometri)
 Kriteria Minor tidak bisa digunakan jika ada penyakit penyerta lain seperti
pulmonary hypertension, chronic lung disease, cirrhosis, ascites, dan/atau
nephrotic syndrome.
Diagnosis ditegakkan jika 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor

Tabel 2. Gejala umum dan pemeriksaan fisik pada gagal


jantung :
Gejala Penemuan pada pemeriksaan fisik
Sisi Kiri
 Dyspnea  Diaforesis (berkeringat)
 Ortopnea  Tatikardia, takipnea
 Paroxymal nocturnal dyspnea  Ronkhi basah halus
 Kelelahan  Bunyi P2 keras
   Gallop S3 (pada disfungsi
sistolik)
         Gallop S4 (pada disfungsi
diastolic)
Sisi Kanan
 Edema perifer  Distensi vena jugularis
 Nyeri di kuadran kanan atas (disebabkan  Hepatomegali
pembesaran hati)     Edema perifer
2.3 PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian
klinis, serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto
toraks, laboratorium, dan ekokardiografi Doppler. Berdasarkan gejala
dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila
pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor dari Kriteria Framingham [11].
 Tanda dan Gejala [11]
Gejala khas gagal jantung: sesak nafas saat istirahat atau
aktivitas,kelelahan, edema tungkai Tanda khas gagal jantung:
takikardia, takipnea, ronkhi paru, efusi pleura, peningkatan tekana vena
jugular, edema perifer, hepatomegaly. Tanda objektif gangguan struktur
atau fungsional jantung saat istirahat: kardiomegali, suara jantung ke
tiga, murmur jantung, abnirmalitas dalam gambaran EKG, kenaikan
konsentrasi peptide natriuretic.
 Manifestasi klinis gagal jantung
Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala,
penilaian klinis, serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan
EKG, foto toraks, laboratorium, dan ekokardiografi Doppler [3].
Tabel 3. Tahapan Gagal Jantung Kronis  menurut AHA Guideline For The
Management Of Heart Failure
Tahap Deskripsi
A Pasien berisiko mengalami gagal jantung namun belum terjadi disfungsi
structural jantung (misalnya penyakit coroner, hipertensi, atau riwayat
kardiomiopati dalam keluarga).
B Pasien mengalami gagal jantung dan sudah terjadi perubahan structural
jantung yang terkait, namun belum menunjukkan gejala
C Pasien dengan gejala gagal jantung saat ini atau pernah sebelumnya, dan
berhubungan dengan gangguan structural jantung
D Pasien dengan gangguan structural jantung dan mengalami gejala gagal
jantung refrakter meski dengan pemberian terapi medis maksimal, dan
memerlukan intervensi medis lanjutan misalnya tranplantasi jantung

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG harus dilakukan untuk semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10). Pembesaran
atrium kiri dan hipertrofi ventrikel kiri (LVH) sensitif (meskipun tidak
spesifik) untuk disfungsi LV kronis [10].
Elektrokardiografi menunjukkan takiaritmia akut atau bradiaritmia
sebagai penyebab gagal jantung. Ini juga dapat membantu dalam
diagnosis iskemia miokard akut atau infark sebagai penyebab gagal
jantung, atau mungkin menunjukkan kemungkinan infark miokardial
sebelumnya atau adanya penyakit arteri koroner sebagai penyebab
gagal jantung , munculnya blok cabang berkas kiri (LBBB) pada
[1]

EKG adalah penanda yang kuat untuk fungsi sistolik LV yang


berkurang.
a. Foto Thorax
Komponen penting dalam diagnosis gagal jantung, rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang dapat menyebabkan atau
memperberat sesak nafas. Meskipun 50% pasien gagal jantung dan
peningkatan tekanan tekanan kapiler pulmonal yang tidak
menunjukkan temuan radiografi khas dari kongesti paru [12].
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung
adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit),
elektrolit (Na & K), kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa,
tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan
pada pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut: (1)
untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit
(hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal
dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya
gangguan hemodinamik). 
d. Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling
bermanfaat  dalam  membantu  menilai struktur  dan  fungsi  jantung.
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler,
colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Pengukuran fungsi
ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan
pasien dengan fungsi sistolik normal adala fraksi ejeksi ventrikel kiri
(normal>45-50%). Pemeriksaan ini merupakan baku utama (gold
standard)untuk menilai gangguan fungsi sistol ventrikel kiri dan
membantu memperkirakan hasil dan kemampuan bertahan kasus
gagal jantung. Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam
mendiagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal.
Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria [15]:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu
(fraksi ejeksi > 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal /
kekakuan diastolik)
 Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi
transtorakal tidak adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator),
pasien dengan kelainan katup, pasien endokardits, penyakit jantung
bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial
appendagepada pasien fibrilasi atrial.
 Ekokardiografi beban
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan
untuk mendeteksi disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh
iskemia dan menilai viabilitas miokard pada keadaan hipokinesis
atau akinesis berat.

2.8 TATALAKSANA
Pasien gagal jantung memperoleh manfaat dari olahraga, diet, dan
nutrisi. Sebagian besar pasien tidak boleh melakukan pekerjaan berat
atau olahraga yang melelahkan [1]. Tata laksana Non Farmakologi pada
pasien dengan gagal jantung antara lain [14]
 Manajemen perawatan mandiri: tindakan-tindakan yang bertujuan
untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari prilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal dari perburukan
gagal jantung.
 Ketaatan pasien berobat. Menurut literatur hanya 20-60% pasien
yang taat terapi farmakologi maupun non farmakologi.
 Pemantauan berat badan mandiri, harus rutin setiap hari. Jika
terdapat kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus
menaikkan diuretik atas pertimbangan dokter.
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gr pada gagal jantung
ringan dan 1 gr pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada
gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
 Hentikan meroko, alkohol pada kardiomiopati dengan batasi 20-30
gr/hari.
 Latihan jasmani dengan jalan 3-5 x/minguu dengan beban 70-80 %
denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang.
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah memperbaiki
prognosis dan mengurangi angka kematian, meringankan gejala dan
mengurangi morbiditas dengan cara mengembalikan atau
memperlambat disfungsi jantung dan perifer. Untuk pasien di rumah
sakit. Tujuan terapi lainnya adalah mengurangi lama tinggal dan
selanjutnya masuk kembali dari RS,  untuk mencegah kerusakan
sistem organ, dan  untuk mengelola secara tepat morbiditas pada
pasien dengan prognosis yang buruk. [16]
Penatalaksanaan HF:
Disarankan untuk menerima pasien di tempat tidur telemetri atau di
ICU dan perawatannya berdasarkan pada poin berikut: [6]
a. Monitor oksigen, pantau PaO2 dan SaO2.
b.  Berikan ventilasi tekanan positif noninvasif (NIPPV) pada beberapa
kasus.
c. Dalam kasus HF refraktori, terapi ultrafiltrasi digunakan untuk
pengurangan cairan untuk pasien yang tidak responsif terhadap terapi
medis.
d. Gunakan agen farmakologis berikut tergantung pada faktor dan
gejala yang memicunya/tanda kongesti [17]:
i. Diuretik (thiazides, diuretik loop dan hemat potasium) untuk
mengurangi edema dengan pengurangan volume darah dan
tekanan vena dan pembatasan garam (untuk mengurangi retensi
cairan) pada pasien dengan gejala gagal jantung saat ini atau
sebelumnya dan mengurangi fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF)
untuk menghilangkan gejala.
ii. Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEI) atau
angiotensin receptor blocker (ARBs) untuk modifikasi neuro-
hormonal, vasodilatasi dan perbaikan LVEF (gantikan mereka
dengan hydralazine dan/atau nitrat pada pasien yang tidak
responsif terhadap ACEI dan ARB).
iii. Beta blocker untuk modifikasi neuro-hormonal, perbaikan
gejala dan LVEF, manfaat bertahan hidup, pencegahan aritmia
dan pengendalian laju ventrikel.
iv. Antagonis alergenosteron, sebagai tambahan obat lain untuk
diuresis tambahan, kontrol gejala gagal jantung, peningkatan
variabilitas denyut jantung, penurunan aritmia ventrikel,
penurunan beban kerja jantung, peningkatan LVEF dan
peningkatan kelangsungan hidup.
v. Digoksin, yang dapat menyebabkan peningkatan curah jantung
yang kecil, perbaikan gejala gagal jantung dan penurunan
tingkat kegagalan rawat inap di rumah sakit.
vi. Antikoagulan (jika ada) untuk mengurangi risiko
tromboembolisme.
vii. Agen inotropik mengembalikan perfusi organ dan mengurangi
kongesti pada pasien dengan gagal jantung dengan fraksi ejeksi
berkurang, sehingga terjadi peningkatan curah jantung dan
mengurangi aktivasi neuro-humoral.
viii. Beberapa agen lain telah dijelaskan dalam uji klinis

 Diuretik 
Diuretik loop yang paling sering digunakan untuk pengobatan HF
adalah furosemid. Terapi diuretik biasanya dimulai dengan dosis rendah,
dan dosisnya meningkat sampai output urin meningkat dan penurunan BB,
umumnya 0,5- 1,0 kg/hari. Peningkatan dosis atau frekuensi lebih lanjut
pemberian diuretik mungkin diperlukan untuk mempertahankan diuresis
aktif dan mempertahankan penurunan BB. Tujuan akhir pengobatan
diuretik adalah menghilangkan retensi cairan. [3] 
Spironolakton dimulai pada dosis 12,5-25 mg/hari dan meningkat
menjadi 50 mg setiap hari. Pasien hiperkalemia atau gangguan fungsi
ginjal. Setelah inisiasi antagonis reseptor aldosteron, pelepasan kalium
harus dihentikan atau dikurangi dan dipantau dengan hati-hati pada pasien
dengan riwayat hipokalemia, dan pasien harus diberi konseling untuk
menghindari makanan yang mengandung potasium dan NSAID yang
tinggi. Tingkat potasium dan fungsi ginjal harus diperiksa ulang dalam
waktu 2 sampai 3 hari dan sekali lagi pada 7 hari setelah inisiasi antagonis
reseptor aldosteron. [3]
Inisiasi pemberian spironolakton: periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit; naikan dosis secara titrasi; pertimbangkan menaikan dosis
secara titrasi setelah 4-8 minggu (jangan naikan dosis jika terjadi
perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia);  Periksa kembali fungsi ginjal
dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah menaikan dosis; Jika tidak ada
masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal
yang dapat di toleransi. [17] 

 Penyekat Beta 
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.
Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Secara historis, penyekat beta
dianggap sebagai kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik
karena efek inotropic negative , diperkirakan akan memperburuk gejala-
gejala. Secara uji klinis menunjukkan bahwa terapi jangka Panjang
penyekat beta memiliki manfaat penting pada pasien gagal jantung kronis
yang stabil dan dengan ejeksi fraction yang menurun yaitu dengan
meningkatkan curah jantung, perbaikan hemodinamik , kebutuhan rawat
inap yang lebih sedikit dan memperpanjang kelangsungan hidup. Salah
satu penemuan yang paling penting di akhir abad ke-20 adalah pengenalan
terapi vasodilator untuk pengobatan gagal jantung terutama ACE
inhibitor.Mekanisme kompensasi neurohormonal pada gagal jantung
sering menyebabkan vasokontriksi berlebihan, retensi volume dan
remodeling ventrikel yang akan menyebabkan penurunan fungsi jantung
secara progresif. Obat vasodilator ini membantu memperbaiki konsekuensi
yang merugikan.17
Tiga penyekat beta yang telah terbukti bermanfaat dalam uji klinis
acak pada gagal jantung termasuk carvedilol (penyekat beta non selektif
dengan sifat penyekat alpha yang lemah dan metoprolol suksinat serta
bisoprolol (keduanya penyekat β1 selektif). Jenis obat ini ditolerasi dengan
baik pada pasien yang stabil yaitu pasien dengan gejala gagal jantung yang
baru muncul atau beban volume berlebihan. Obat penyekat beta harus
selalu digunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan akut yang
disebabkan efek inotropic negative. Terapi harus dimulai dengan dosis
rendah dan ditambah secara bertahap.17
Indikasi pemberian penyekat β 
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β: Asma, Blok AV (atrioventrikular)
derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus
bradikardia (nadi < 50 x/menit).17

 Hydralizin & Isosorbide Dinitrat (ISDN)


Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak
uji klinis adalah:
 Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
 Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi.
 Manfaat pengobatan lebih jelas ditemukan pada keturunan Afrika-
Amerika.
 Kontraindikasinya antara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus,
gagal ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).2,17

 Glikosida Jantung (Digoxin)


Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
 Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi    ventrikel kiri.
 Menstimulasi baroreseptor jantung
 Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
 Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan
peningkatan vagal tone.
 Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat>
80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan
digoksin.
 Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <
40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB,
beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap
simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.17
 Pemakaian alat dan tindakan bedah :30
 Revaskularisasi
 Operasi katup mitral
 Aneurismektomi
 Kardiomioplasti
 External cardiac support
 Pacu jantung konvensional, resinkronisasi pacu jantung
biventricular
 Implantable carioverter defibrilator (ICD)
 Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
 Ultrafiltrasi, hemodialisis

Terapi gagal jantung dengan ejection fraction  yang menurun17 


Ada 5 tujuan utama terapi pada pasien dengan gagal jantung kronis dan
ejection fraction yang menurun :
1. Identifikasi dan koreksi dari kondisi dasar yang menyebabkan gagal
jantung. Pada beberapa pasien, mungkin diperlukan operasi perbaikan
atau penggantian katup jantung disfungsional, revaskularisasi arteri
koroner, terapi hipertensi yang agresif, atau penghentian konsumsi
alkohol.
2. Eliminasi faktor penyebab gejala akut pada pasien dengan gagal
jantung yang sebelumnya terkompensasi. Contohnya mengobati infeksi
akut atau aritmia, mengurangi sumber asupan garam berlebihan atau
menghentikan konsumsi obat yang dapat memperburuk gejala penyakit
misalnya penghambat kanal calsium tertentu yang memiliki efek
inotropik negatif atau obat antiinflamasi yang dapat berkontribusi
untuk retensi volume.
3. Manajemen gejala gagal jantung :
a. Terapi kongesti pembuluh darah paru dan sistemik. Hal ini paling
mudah dilakukan dengan pembatasan diet garam dan obat diuretik
b. Meningkatkan curah jantung dan perfusi organ vital melalui
penggunanan vaso
4. Modulasi respon neuro hormonal untuk mencegah remodelling ventrikel
yang merugikan untuk memperlambat perkembangan disfungsi LV.
5. Memperpanjang kelangsungan hidup jangka panjang.

Terapi gagal jantung dengan ejection fraction  yang normal

Tujuan terapi pada gagal jantung dengan EF normal mencakup :

1. Perbaikan kongesti paru dan sistemik


2. Mengatasi penyebab gangguan fungsi diastolic misalnya hipertensi,
penyakit arteri coroner.

Diuretik mengurangi kongesti paru dan edema perifer tetapi harus


digunakan dengan hati-hati untuk menghindari berkurangnya pengisian
ventrikel kiri. Ventrikel kiri yang kaku akan bergantung pada tekanan
yang lebih tinggi dari normal untuk mencapai pengisian diastolic yang
memadai dan diuresis berlebihan dapat mengurangi pengisian dan oleh
karena itu menyebabkan gangguan pada volume sekuncup dan curah
jantung.17  

Tidak seperti pasien dengan gangguan fungsi sistolik, penyekat


beta, inhibitor ACE, dan ARB belum menunjukkan manfaat dalam
kelangsungan hidup pasien dengan gagal jantung dengan ejection
fraction yang normal. Antagonis aldosterone spironolakton terbukti
dapat mengurangi frekuensi rawat inap untuk gagal jantung pada
populasi ini, tapi tidak meningkatkan angka kelangsungan hidup.
Karena fungsi kontraktil normal, maka obat inotropic tidak memiliki
peran terapi sindrom ini.

2.1 EDEMA PARU AKUT


Sebuah manifestasi umum dari kegagalan jantung akut sisi kiri
(profil hangat-basah dan dingin-kering) adalah edema paru kardiogenik,
dimana peningkatan tekanan hidrostatik kapiler menyebabkan akumulasi
cairan dalam intertisial dan ruang alveolar paru-paru secara cepat. Pada
tekanan onkotik plasma normal, edema paru terjadi ketika tekanan
kapiler pulmonal yang mencerminkan tekanan diastolic LV melebihi
sekitar 25 mmHg. Kondisi ini sering disertai dengan hipoksemia karena
pirau aliran darah paru melalui daerah alveoli dengan hipoventilasi.
Sebagai manifestasi lainnya dari gagal jantung akut, edema paru dapat
mucul tiba-tiba pada orang yang sebelumnya tanpa gejala misal nya
infark miokard akut atau pasien gagal jantung congestive kronis yang
terkonpensasi, mengakibatkan dyspnea berat dan anxiets saat berjuang
untuk bernapas.17,31
Pemeriksaan fisik didapatkan kulit yang lembab dan dingin karena
vasokontriksi perifer untuk merespon peningkatan aliran simpatis.
Takipneu dan batuk dengan sputum yang berbusa menandakan
transudasi cairan ke dalam alveoli. Ronkhi basah halus dapat terdengar
pada awalnya di bagian dasar paru dan kemudian diseluruh bidang paru-
paru, kadang disertai mengi karena mengi di saluran udara.31,32
Edema paru merupakan keadaan gawat darurat yang mengancam
jiwa dan membutuhkan perbaikan oksigenasi sistemik dengan segera
serta eliminasi factor penyebabnya.
1. Pasien harus duduk tegak untuk memungkinkan pengumpulan darah
dalam pembuluh darah sistemik di tubuh bagian bawah sehingga
mengurangi kembalinya darah vena ke jantung.
2. Oksigen diberikan dengan menggunakan masker wajah.
3. Morfin sulfat intravena untuk mengurangi kecemasan dan bertindak
sebagai dilator vena untuk menfasilitasi pengumpulan darah di
perifer.
4. Jenis diuretic yang bekerja cepat : furosemide iv diberikan untuk
mengurangi preload LV dan tekanan hidrostatik kapiler paru. Cara
lain untuk kurangi preload dengan memberikan nitrat secara iv.
5. Obat inotropic iv seperti dopamine dapat meningkatkan curah
jantung  dengan profil dingin dan basah. Selama perbaikan kongesti
paru dan hipoksemia, perhatikan harus ditujukan untuk
mengidentifikasi dan mengobati penyebabnya.30

2.2 KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru dan gangguan keseimbangan elektrolit.3

2.3 PROGNOSIS
Tanpa adanya penyebab dasar yang dapat diperbaiki maka
prognosis gagal jantung sangat buruk. Tingkat kematian 5 tahun
setelah didiagnosis berkisar 45 % dan 60 % dengan laki-laki memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada wanita. Pasien dengan gejala
berat misalnya NYHA kelas III atau IV  memiliki prognosis terburuk
dengan kemungkinan hidup 1 tahun hanya 40 %. Mortalitas terbesar
adalah karena gagal jantung refrakter, tetapi banyak pasien meninggal
mendadak yang kemungkinan terkait dengan aritmia ventrikel. Pasien
gagal jantung dengan ejeksi fraksi yang normal memiliki angka
kejadian rawat inap, komplikasi saat perawatan di rumah sakit, dan
tingkat kematian yang sama seperti pada pasien dengan ejeksi fraction
yang menurun. Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV mempunyai
angka kematian 30-70 % sedangkan NYHA kelas II 5-10 %.

BAB III
KESIMPULAN

Gagal jantung merupakan sindroma klinis di mana curah jantung (cardiac


output), gagal memenuhi kebutuhan metabolism tubuh atau hanya dapat
memenuhi kebutuhan jika tekanan pengisian jantung meninggi secara abnormal.
Gagal jantung kronis dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu gagal
jantung dengan ejeksi fraction yang menurun karena gangguan fungsi sistolik
ventrikel kiri dan gagal jantung dengan ejeksi fraction yang normal misalnya
disfungsi sistolik. Mekanisme kompensasi pada gagal jantung pada awalnya
bersifat mempertahankan fungsi sirkulasi darah yaitu peningkatan preload
dengan cara menaikan volume sekuncup melalui mekanime Frank-Starling,
peningkatan system neurohormonal dan hipertrofi ventrikel. Namun,
kompensasi ini akhirnya akan berefek negatif karena kontribusi dalam
remodeling ventrikel yang merugikan dan kerusakan progresif fungsi ventrikel.17
Gejala gagal jantung dapat diperburuk oleh factor yang meningkatkan
kebutuhan metabolic misalnya tatikardia, factor yang meningkatkan volume
sirkulasi , yang meningkatkan afterload atau menurunkan kontraktilitas.
Pengobatan gagal jantung termasuk mengatasi penyebab yang mendasari
kondisi tersebut, menghilangkan factor-faktor yang memperberat, dan
memodifikasi pengaktifan neurohormonal yang merugikan. 17
Terapi standar gagal jantung dengan ejeksi fraction yang menurun adalah
dengan pemakaian ACE inhibitor, penyekat beta dan kadang dengan antagonis
aldosterone. Untuk pasien yang tidak mentoleransi inhibitor ACE, penyekat
reseptor AII atau kombinasi nitrat-hidralazin dapat dipakai sebagai pengganti.
Diuretik harus digunakan untuk mengobati kelebihan beban volume dan obat
inotropic biasanya disediakan untuk penyelamatan akut dalam penatalaksanaan
keadaan dengan CO yang rendah. Untuk pasien dengan gagal jantung dengan
ejeksi fraction yang menurun yang memenuhi kriteria tertentu, implantasi
kardioverter – defribilator dan atau terapi resinkronisasi jantung (biventricular
pacing) dapat dipertimbangkan. Pada gagal jantung stadium akhir, transplantasi
jantung dan atau dukungan sirkulasi mekanis harus dipertimbangkan pada
pasien yang telah diseleksi secara seksama.17,30
Terapi untuk gagal jantung dengan ejection fraction yang normal terutama
bergantung pada diuretic untuk mengurangi kongesti paru, tetapi terapi tersebut
harus diberikan dengan hati-hati untuk menghindari pengurangan preload yang
berlebihan dan hipotensi. Gagal jantung akut dapat dikategorikan dengan dan
juga pengobatan didasarkan pada adanya peningkatan tekanan pengisian jantung
kiri (basah dan kering). Dan penurunan perfusi jaringan sistemik dengan
peninggian resistensi vaskuler sistemuk (dingin dan hangat).17
BAB IV

LAPORAN KASUS

STATUS PASEN

Identitas Pasien:

Nama : Tn. JS
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 64 Tahun
Pekerjaan : Petani
Suku : Batak
Agama : Kristen
Status : Kawin
Alamat : Dame Raya
Tanggal MRS : 26 Juli 2021

Keluhan Utama : Sesak napas

 Pasien datang dan dirawat di RS dengan keluhan sesak napas disertai


dengan jantung berdebar-debar, sebelumnya os mengeluh nyeri pada dada
sebelah kanan. Hal ini sudah dialami os lebih kurang 4 hari, dan memberat
dalam 1 hari ini. Sesak napas yang dialami semakin berat dirasakan saat os
tidur dan saat beraktivitas. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2 bantal.
Pasien mengeluh mudah lelah. Demam (-), kaki os terasa keram dan kedua
kaki tampak bengkak, BAB dan BAK dalam batas normal. Lemas juga
dikeluhkan pasien.
 Riwayat penyakit terdahulu : -
 Riwayat Obat-obatan : Spironolacton 1 x 25 mg, Furosemid 2x1, CPG 75
mg 1x1  (siang), Captopril 3x12,5 mg, Aspilet 1x1.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : Tampak Baik
Sensorium         : Compos Mentis (E4V5M6) 

    Vital sign : 

 TD = 100/80 mmHg
 HR = 90 x/i
 RR = 22 x/i
 T    = 36,5 ºC
 BB : 70  kg
 TB : 170 cm
 IMT : 24,22 kg/m2  (Normoweight)

Status Generalisata
Kepala : Normocephali

   Mata : Konjungtiva Anemis (-/-). Sclera ikterik (-), pupil : isokor (3/3
mm) , eksoftalmus (-/-), palpebra edema (-/-), ptosis (-/-),  Respon
cahaya (+/+), bitot spot (-/-).

Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar


tyroid(-), peningkatan JVP (-) R+2 cmH20, deviasi trakea (-)

THT : Tidak ada kelainan

Mulut : Tidak ada kelainan

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan=kiri, ketinggalan pernafasan (-)

Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru


Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler (+/+), ronkhi -/-,
wheezing(-/-),                          

suara tambahan (-/-)

Jantung

        Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

        Palpasi :  Iktus cordis teraba

        Perkusi : Pekak, batas jantung kesan melebar

        Auskultasi : Bising jantung S1/S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Dinding perut simetris (+), Ascites (-)

Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), soepel, hepar dan lien tidak
teraba, 

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik usus (+), kesan normal, tidak ada bising aorta
abdominalis

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-), deformitas (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat, edema pada kedua kaki,

deformitas (-)

Pemeriksaan laboratorium:

Pemeriksaan Unit Hasil Normal

HB gr /dL 13,1 12.0 - 16.0


Leukosit 1000/mm3 7.700 4000-10.000

Hematokrit % 41,7 35,0-50,0

Trombosit 1000/mL 267.00 150.000-450.000


0

MCV Fl 91 79 – 96 fL

MCH Pg 28,6 27 – 33 pg

MCHC gr/dL 31,4 30 – 35 gr/dL

RDW % 15,3 %

Hitung Jenis Leukosit

Neutrofil segmen % 62,8 81-101

Limfosit % 31,0 27-33

Monosit % 6,2 30,0-35.0

Kimia Darah

Glukosa Darah mg/dL 131 110-200


sewaktu

Elektrolit

Natrium mEq/L 139 135-145

Kalium mEq/L 3,11 3,5-4,5

Klorida mEq/L 106 94-111


Pemeriksaan Unit Hasil Normal

Kimia Darah

Glukosa Darah Puasa mg/dL 105 0,00-120,00

Lemak Darah

Cholesterol Total mg/dL 197 150-200

HDL mg/dL 55 35-60

LDL mg/dL 145 50-150

Trigliserida mg/dL 115 0,00-150

Fungsi Ginjal

Ureum mg/dL 29 20-40

Kreatinin mg/dL 1,4 0,00-1,30

Asam Urat mg/dL 5,00 3,40-7,00

Foto Thoraks

Jantung kesan membesar CTR 68 %

Aorta dan mediastinum superior tidak melebar

Trakea di tengah, kedua hilus tidak menebal

Corakan bronkhovaskuler kedua paru baik

Tidak tampak infiltrate maupun nodul di kedua lapangan paru

Kedua hemidiafragma mendatar, kedua sinus kostofrenikus tumpul

Tulang-tulang dan jaringan lunak baik


Kesan : Cardiomegali + Suspect efusi pleura kanan kiri

EKG

Irama Dasar : Sinus Ritme


QRS Rate : 40 x/i
QRS Axis : Normal
ST-T change : T inversi di v1-v4
Kesan : Sinus Ritme  + Iskemik anteroseptal

Diagnosis:
Congestive Heart Failure + Cardiomegali dd Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Penatalaksanaan
 Terapi
 IVFD Ringer Laktat 10 gtt/i mikro
 Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
 Atorvastatin 1 x 20 mg (malam)
 ISDN 1x5 mg (k/p)
 Spironolactone 1 x 25 mg
 CPG 1 x 75 mg
 Captopril 12,5 mg 3 x 1
 Aspilet 1x 100 mg

FOLLOW UP

27 Juli  2021
S Os mengalami sesak napas, nyeri dada sebelah kanan (+), jantung berdebar-
debar

O Sens: Compos Mentis, TD : 120/80 mmHg, HR : 88 x/i,  RR : 22 x/i ; Temp :


37o C

Jantung (Cor)

        Inspeksi             : Iktus cordis tidak terlihat

        Palpasi              :  Iktus cordis teraba

        Perkusi              : Pekak, batas jantung kesan melebar

        Auskultasi         : Bising jantung S1/S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat, edema pada kedua kaki,  deformitas


(-).

EKG : Sinus ritme + iskemik anteroseptal

Foto thoraks : Cardiomegali

A CHF dd PJK

P  IVFD Nacl 0,9 % 10 gtt/i mikrodrips


 Inj. Furosemid 1 amp/ 12 jam
 Aspilet 1 x 80 mg
 CPG 1 x 75 mg
 Spironolactone 1 x 25 mg
 Atorvastatin 1 x 20 mg (malam)
 ISDN 5 mg (k/p)
 Captopril 3x12,5 mg

28 Juli 2021
S Sesak napas berkurang, nyeri dada sudah mulai berkurang

O Sensorium : CM ; TD : 120/80; HR : 80x/i; RR : 20 x/i; Temp : 37 0C

A CHF dd PJK + Hipokalemia

P Terapi :

 IVFD Nacl 0,9 % 10 gtt/i mikrodrips


 Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
 KSR 1 x 600 mg
 Aspilet 1 x 80 mg
 CPG 1 x 75 mg
 Spironolactone 1 x 25 mg
 ISDN 5 mg (k/p)
 Captopril 3x12,5 mg

29 Juli 2021

S Sesak  napas sudah mulai berkurang

O Sens: Compos Mentis, TD : 120/80 mmHg, HR : 84x/i,  RR : 24 x/i ; Temp :


37oC

A CHF dd PJK + Hipokalemia

P  Bisoprolol 1x2,5 mg(pagi)


 Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
 Terapi lain lanjut

30 Juli 2021

S Sesak (-), nyeri ulu hati (+)

O Sens: Compos Mentis, TD : 110/70 mmHg, HR : 84x/i,  RR : 24 x/i ; Temp :


37oC

A CHF dd PJK + HHD + Dyspepsia + Hipokalemia

P  Furosemid 40 mg tab 1x1 (pagi)


 Bisoprolol 1 x 2,5 mg (pagi)
 Aspilet 1 x 80 mg
 CPG 1 x 75 mg
 Spironolactone 1 x 25 mg
 ISDN 5 mg (K/P)
 Candesartan 1 x 8 mg (malam)
 KSR aff
 Lansoprazole 1 x 30 mg (pagi)
 Sucralfat syr 3 x I C
 Atorvastatin 1 x 20 mg (malam)
 Pasien PBJ
DAFTAR PUSTAKA

[1] American Heart Association. Classes of heart failure. Available at


http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailu
re/Classes-of-Heart-Failure_UCM_306328_Article.jsp#.WUcGf-vyuHs.
Updated: May 8, 2017; Accessed: June 18, 2017.

[2] Kurmani, S., Squire, I., "Acute Heart Failure: Definition, Classification and
Epudemiology," Curr Heart Fail Rep, vol. 14, pp. 385-392, 2017.

[3] Yancy, C. W., et. al., "2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of
Heart Failure," ACCF/AHA, New York, 2013.

[4] Shah, A.M., Claggett, B., Sweitzer, N.K., Shah, S.J., et. al., "The Prognostoc
Importance of Changes in Cardiac Structure and Function in Hearth Failure
with Preserved Ejection Fraction and the Impact of Spironolactone," vol. 10,
no. 11, 2015.

[5] Edelmann, F., Wachter, R., Schmidt, A. G.. et .al., "Effect of Spironolactone
on Diastolic Functional and Exercise Capacity in Patient with Heart Failure
with Preserved Ejection Fraction," vol. 309, no. 8, 2013.

[6] Inamdar, A. A., Inamdar, A. C., "Heart Failure: Diagnosis, Management and
Utilization," vol. 62, no. 5, 2016.

[7] Ferrario, C. M., Schiffrin, E. L., "Role of Mineralocorticoid Receptor


Antagonis in Cardiovascular Disase," vol. 116, no. 1, 2015.

[8] Plein S, Knuuti J, Edvardsen T, Saraste A, Piérard LA, Maurer G, et al. The
year 2012 in the European Heart Journal - Cardiovascular Imaging. Part II.
Eur Heart J Cardiovasc Imaging. 2013 Jul. 14(7):613-7.

[9] Widya, H., Putri, R., Faktor-faktor penyebab gagal jantung pada pasien gagal
jantung di RSUD Bogor tahun 2013, Jakarta: Skripsi UIN Jakarta, 2013.

[10] Benjamin EJ, Blaha MJ, Chiuve SE, et al,, "for the American Heart
Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Heart
disease and stroke statistics-2017 update: a report from the American Heart
Association. Circulation. 2017 Mar 7. 135 (10):e146-e603".

[11] Heidenreich, P. A., Albert, N. M., Allen, L. A., Bleumke, D. A., et. al;,,
"Forecasting the Impact of Hearth Failure in the United States," vol. 6, no. 3,
2013.

[12] Jackson, G., Gibbs, c. R., Davies, M. K, Lip, G. Y. H., "ABD of Hearth
Failure: Pathophysiology," vol. 320, 2000.

[13] Katz, A. M., Konstam, M. A., Heart Failure, Dartmouth: Wolter Kluwer,
2009.

[14] Roger, V. L., "Epidemiology of Heart Failure," vol. 113, no. 6, 2013.

[15] PERKI, Pedoman tatalaksana gagal jantung, Jakarta: PERKI, 2015.

[16] Tamarago, J., Sendon, L.,"Novel theraupetic target for the threatment of
hearth failure.," vol. 10, 2011.

[17] Lilly LS. (2019). Patofisiologi Penyakit Jantung Kolaborasi Mahasiswa dan
Dosen. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran MEDIK. Hal : 227-256.

[18] Sabatine, Marc S, Buku saku klinis. The Massachusets General Hospital
Handbook of Internal Medicine cetakan I, 2004.

[19] Alwi, Idrus, Infark Mikard Akut dengan elevasi ST. Dalam: Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III, Ed.IV, Jakarta: Interna, 2011.

[20] Price & Wilson, Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta:


EGC, 2010.
[21] Mancini, G. B., et al., "Diagnosis, Prevention, and Management of Statin
Adverse Effects and Intolerance: Canadian Consensus Working Group
Update (2016)," vol. 32, no. 7, 2016.

[22] Solomon, S. D., Claggett, B., Lewis, E. F., et. al., "HFpEF patients with EF at
lower and of spectrum may benefit from MRA," vol. 37, 2016.

[23] Owan TE, Hodge DO, Herges RM, Jacobsen SJ, Roger VL, Redfield MM.
Secular trends in renal dysfunction and outcomes in hospitalized heart failure
patients. J Card Fail 2006;12:257-62.

[24] Manolis AS, Papadimitriou P, Manolis TA, Apostolou T. Cardiorenal


Syndrome: A Glimpse Into Some Intricate Interactions. Hospital Chronicles
2013, 8(1): 3-15.

[25] Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and
improving outcomes. Circulation. 2008 Feb 5. 117(5):686-97.

[26] Friedman, E. A., Peter, K., et. al., "Diuretics and Hearth Failure," 2015.

[27] Stubnova, V. Os, I., Grundtvig, M. Waldum-Grevbo, B., "Spironolactone


threatment and effect on survival in chronic heart failure patients with
reduced renal function: a propensity-matched study," vol. 7, no. 2, 2017.

[28] Chami, T., Kim, C. H., tafera, L., Ben, A., et. al., "Spironolaction and
incidence of atrial fibliration in heart wailure with reduced ejection fraction,"
vol. 23, no. 8, 2017.

[29] Dolley, D., Lam, P., Bayoumi, E., et. al., "Clinical effectiveness of
spironolactone in hospitalized older eligible (EF less than or equal 35% and
EGFR greater than or equal to 30 mL/min/1,73 M2) patients with heart
failure," vol. 69, no. 11, 2017.

[30] Ebrahim S, Taylor FC, Brindle P., "Statin for the primary prevention of
cardiovascular disease," 2014.
LAPORAN KASUS

HIPERTENSI URGENSI

Disusun oleh :

dr. Rodoasi J Sibarani

Dokter Pendamping :

dr. Ruth Imelda Siagian


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD TUAN RONDAHAIM BATU 20

KABUPATEN SIMALUNGUN

2021

HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI URGENSI

Oleh :

dr. Rodoasi J Sibarani

Wahana :

RSUD Tuan Rondahaim Batu 20

Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia

Batu 20, 16 September 2021

Pendamping Pembimbing
dr. Ruth Imelda Siagian dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Pada laporan kasus ini, saya menyajikan teori mengenai Hipertensi Urgensi.
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Program Dokter
Internship Indonesia di RSUD Tuan Rondahaim, Kabupaten Simalungun.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Ruth Imelda Siagian, selaku dokter pendamping kami, serta terima
kasih kepada dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD, atas kesediaan beliau sebagai
dokter pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini. Besar harapan saya, melalui
laporan ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Hipertensi Urgensi semakin
bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan
ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun
spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan.

Batu 20, 16 September 2021


Penulis

dr. Rodoasi J Sibarani


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... i


KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Tujuan ........................................................................................................... 2

1.3 Manfaat ......................................................................................................... 2


BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................................... 3
2.1 Identitas Pasien .............................................................................................. 3
2.2 Anamnesis ..................................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................... 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 6
2.5 Diagnosis ....................................................................................................... 7
2.6 Penatalaksanaan ............................................................................................ 7
2.7 Prognosis ....................................................................................................... 7
2.8 Follow Up ...................................................................................................... 8
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 13
3.1 Definisi Hipertensi Urgensi............................................................................ 13

3.2 Epidemiologi Hipertensi Urgensi................................................................... 13

3.3 Etiologi Hipertensi Urgensi ........................................................................... 14

3.4 Patofisiologi Hipertensi Urgensi ................................................................... 14

3.5 Manifestasi Klinis Hipertensi Urgensi .......................................................... 16

3.6 Diagnosis Hipertensi Urgensi ....................................................................... 16

3.7 Penatalaksanaan Hipertensi Urgensi ............................................................. 17

3.8 Prognosis Hipertensi Urgensi ........................................................................ 20


BAB IV KESIMPULAN ........................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Hipertensi merupakan masalah kesehatan di dunia yang sangat penting
dikarenakan angka kejadiannya yang tinggi. Prevalensi hipertensi meningkat seiring
dengan peningkatan usia. Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan
tekanan darah, jika penyakit ini tidak terkontrol dengan baik, maka akan menyerang
target organ dan memberi gejala berlanjut pada suatu organ tubuh sehingga timbul
kerusakan lebih berat seperti stroke, penyakit jantung koroner, serta penyempitan
ventrikel kiri / bilik kiri, gagal ginjal, dan lain-lain.1
Di seluruh dunia, salah satu penyakit tidak menular yang saat ini menjadi masalah
kesehatan yang sangat serius adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer.
Data WHO tahun 2011 menunjukkan, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4
% menderita hipertensi. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2 % di
tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan
sisanya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia.2
Menurut WHO (2011), hipertensi membunuh hampir 8 juta orang setiap tahun,
dimana hampir 1,5 juta adalah penduduk wilayah Asia Tenggara. Menurut data
Departemen Kesehatan, hipertensi dan penyakit jantung lain meliputi lebih dari
sepertiga penyebab kematian, dimana hipertensi menjadi penyebab kematian kedua
setelah stroke. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dari 70% penderita
hipertensi yang di ketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5%
yang diobati dengan baik (adequately treated cases) diperkirakan sampai tahun 2025
tingkat terjadinya tekanan darah tinggi akan bertambah 60%.2
Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang
sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan
tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering
dari penderita hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa. Dua per tiga penderita hipertensi tidak menyadari
bila dirinya mengidap hipertensi yang sejatinya merupakan faktor risiko utama dari
penyakit kardiovaskular dan kematian serebrovaskular, serta kerusakan target organ.3
I.2. Tujuan
a. Untuk lebih mengerti dan memahami tentang penyakit hipertensi urgensi
b. Agar dapat mengintegrasikan teori yang didapat terhadap pasien dengan
kasus hipertensi urgensi
c. Untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Internsip Dokter
Indonesia di RSUD Tuan Rondahaim Kabupaten Simalungun

I.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Penulis
dan Pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat mengetahui
dan memahami lebih dalam mengenai penyakit hipertensi urgensi.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. RMS

Umur : 60 tahun

Status Marital : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Kristen Protestan

Tanggal masuk : 1 Agustus 2021

Kelompok Pasien : BPJS

Nomor RM : 18122

DPJP : dr. Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD


2.2 Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 1 Agustus 2021
Keluhan Utama : Nyeri Kepala

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Tuan Rondahaim dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan nyeri pada kepala dan tengkuk yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, dan memberat hingga hari ini. Pasien merasa lemas sudah ± 2 hari ini.
Pasien juga merasakan mual, yang disertai penurunan nafsu makan, riwayat muntah
tidak ada. Nyeri pada seluruh tubuh tidak ada, riwayat batuk dan flu tidak ada,
sesak nafas tidak ada. BAK dan BAB dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Penyakit Kencing Manis : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Stroke : Disangkal
Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal
Keluhan Seperti saat ini : Disangkal
Riwayat Trauma : Disangkal
Riwayat Operasi : (-)
Riwayat Alergi : (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Penyakit DM : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

Riwayat Penggunaan Obat :


Obat Pereda Nyeri : Disangkal
Obat Lain : Disangkal

Riwayat Pribadi Sosial dan Ekonomi :


Merokok (-)
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak lemah
Sensorium : Compos Mentis (GCS : E4 V5 M6)
Vital Sign : TD : 180/110 mmHg
Nadi : 78x/menit
Suhu : 36,2ºC
RR : 18x/menit
Sp O2 : 96%
BB : 52kg
TB : 155cm
IMT : 21,66 (normoweight)
Status Generalis :

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil : isokor (3mm/3mm),
palpebral edema (-/-), ptosis (-/-), refleks cahaya (+/+)
Mulut: Bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)

Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),


peningkatan TVJ (-), deviasi trakea (-)

THT : Tidak ada kelainan

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, ketinggalan pernapasan (-)

Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler (+/+), Suara tambahan : (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba

Perkusi : Dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Dinding perut simetris (+), Ascites (-)

Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Akral hangat , edema (-/-), capilary refill <2detik, deformitas (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (19/08/2021)

Full Blood Count Hasil Satuan Nilai Normal


Hemoglobin 13.4 g/dL 12 - 18

Leukosit 6.300 /mm³ 4.000 - 11.000

Trombosit 244.000 /uL 150.000 - 450.000

Hematokrit 35,5 % 36 - 47

Eritrosit 4.25 Juta/mm³ 4,10 - 5,10

MCV 85,6 fL 81 - 99

MCH 28,5 pg 27,0 - 31,0

MCHC 36,7 mg/dl 31,0 - 37,0

RDW 11,8 % 11,6 - 14,4

MPV 9,8 fL 8,1 - 12,4

LYM 1,5 % 0,5 - 5,0

GRAN 4,2 % 1,2 - 8,0

Kimia Klinik Hasil Satuan Nilai Normal


Glukosa ad Random 151 mg/dl <200
Ureum 18 mg/dl 5 - 50
Kreatinin 0,7 mg/dl 0,6 – 1,5

Imunologi Hasil Metode


Rapid Antigen SARS NEGATIF Rapid Antigen
Cov-2 (Covid 19)

Radiologi (19/08/2021)
2.5 Diagnosis
Diagnosis Kerja : Hipertensi Urgensi
Diagnosis Banding : Hipertensi Emergensi
Hipertensi Grade II
2.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 25 mg
- Amlodipine Tab 1 x 10 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

2.8 Follow Up
2/08/2021
S Nyeri kepala (+), Nyeri Tengkuk (+), Lemas (+), Mual (+)
O Sens : Compos Mentis
TD : 180/110mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,1ºC
Sp O2 : 96%
A Hipertensi Urgensi

P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 25 mg
- Amlodipine Tab 1 x 10 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI

3/08/2021
S Nyeri Kepala dan Tengkuk berkurang, Gelisah (+), Sulit Tidur (+)

O Sens : Compos Mentis


TD : 130/80mmHg
Nadi : 78x/menit
RR : 21x/menit
Suhu : 36,5ºC

A Hipertensi Urgensi
CHF ec. CAD
Pneumonia

P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 25 mg
- Amlodipine Tab 1 x 10 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg
- ISDN Tab 3 x 5 mg
- Digoksin Tab 1 x 0,25 mg

4/08/2021
S Lemas (+), Sulit Tidur (+)

O Sens : Compos Mentis


TD : 120/70mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 21x/menit
Suhu : 36,7ºC

A Hipertensi Urgensi
CHF ec. CAD
Pneumonia

P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 12,5 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg
- Digoksin Tab 1 x 0,25 mg
- Alprazolam Tab 1 x 0,5 mg

5/08/2021
S Lemas (+)

O Sens : Compos Mentis


TD : 110/60mmHg
Nadi : 81x/menit
RR : 21x/menit
Suhu : 36,5ºC

A Hipertensi Urgensi
CHF ec. CAD
Pneumonia

P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Captopril Tab 3 x 12,5 mg
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg
- Digoksin Tab 1 x 0,25 mg
- Alprazolam Tab 1 x 0,5 mg

6/08/2021
S Lemas (+), Penurunan Kesadaran (+)

O Sens : Apatis
TD : 110/60mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5ºC
Full Blass

A Penurunan Kesadaran e.c. Susp. Gangguan Elektrolit


CHF ec. CAD
Pneumonia

P - Cek Elektrolit
- Pemasangan NGT
- Pemasangan Kateter
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj. Furosemide 40mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam
- Sucralfat Syr 3 x CI
- Aspilet Tab 1 x 80 mg

Hasil Elektrolit :

Natrium : 103 mEq/L


Kalium : 2,7 mEq/L
Chlorida : 61 mEq/L

Advice : Rujuk ke Spesialis Penyakit Dalam dengan Rawatan ICU

Diagnosa : Penurunan Kesadaran e.c. Gangguan Elektrolit + Sepsis e.c.


Urosepsis

Terapi :
- IVFD NaCl 3% 20gtt/i mikro (3 fls), gandeng NaCl 0,9% 20gtt/i
makro
- Inj. Ceftriaxone 2gr/12 jam
- Inf. Levofloxacin 500mg/24 jam
- Inj. Kalnex 1amp/8 jam
- Kapsul Garam 3 x 1
- KSR 2 x 600 mg

Keluarga px. menolak dirujuk dan px. PAPS, dengan obat oral :
- Levofloxacin 1 x 500 mg
- Cefixime 2 x 200 mg
- Kapsul Garam 3 x 1
- KSR 1 x 600 mg
- Kalnex 500 mg 3 x 1

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Hipertensi Urgensi


Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi sistole ≥180 mmHg dan/atau diastole ≥120 mmHg dengan
kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada umumnya
krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat anti
hipertensi.
Hipertensi Urgensi merupakan situasi terkait peningkatan tekanan darah yang
berat (>180/120 mmHg) pada kondisi klinis stabil tanpa adanya ancaman kerusakan
organ target atau disfungsi organ. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera
diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral. Pada
kondisi ini tidak terdapat bukti klinis kerusakan organ akut diperantarai hipertensi,
sehingga AHA Guidelines (2017) juga menyebutnya peningkatan tekanan darah dengan
nyata (“markedly elevated bloodpressure”).
Sedangkan, hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan
organ target. Pada kondisi klinis ini terjadi kerusakan organ diperantarai hipertensi
(hypertensive mediated organ damage) yang mengancam nyawa, sehingga memerlukan
intervensi penurunan tekanan darah segera dalam kurun waktu menit/jam dengan obat-
obatan intravena.
3.2 Epidemiologi Hipertensi Urgensi
Secara statistik, bila seluruh populasi hipertensi dihitung, terdapat sekitar 70%
pasien yang menderita hipertensi ringan, 20% hipertensi sedang dan 10% hipertensi
berat. Pada setiap kategori hipertensi ini, dapat timbul krisis hipertensi dengan / tanpa
disertai kerusakan organ target yang merupakan suatu kegawatan medik dan
memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Angka kejadian krisis hipertensi menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu
di negara maju berkisar 2 – 7% dari populasi hipertensi, terutama pada usia 40 – 60
tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi
lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan
hipertensi, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang
menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini.
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis.
Pada JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi
hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai
keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII

3.3 Etiologi Hipertensi Urgensi


Faktor penyebab hipertensi yaitu terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi
endotel, remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dapat dipahami. Diduga karena
terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi
vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas
endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi
platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
3.4 Patofisiologi Hipertensi Urgensi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan
dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi.
Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean
Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi,
maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari
aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak
dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop. Pada penderita
hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini
akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah
dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi.

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi
atau urgensi.
3.5 Manifestasi Klinis Hipertensi Urgensi
3.6 Diagnosis Hipertensi Urgensi
Anamnesa :
- Riwayat Hipertensi (awitan, durasi, beratnya, pengobatan anti-HT
sebelumnya)
- Riwayat Obat-obatan (obat anti hipertensi yang digunakan dan
kepatuhannya; penggunaan steroid, estrogen, simpatomimetik, MAO
inhibitor)
- Riwayat Sosial (merokok, minum alkohol, obat-obatan terlarang,
kehamilan)
- Riwayat Keluarga (usia dini terkena HT, penyakit kardiovaskuler dan
serebrovaskuler)
- Riwayat Spesifik sesuai keluhan (kardiovaskuler, neurologis, ginjal,
endokrin)
- Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun
Pemeriksaan Fisik :

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (baring dan berdiri)


mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung
kongestif). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan
neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari
penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

1. Pemeriksaan yang segera, seperti :


a. Darah : darah rutin, BUN, creatinine, elektrolit
b. Urine : Urinalisa dan kultur urine
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi
d. Foto Dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana )
2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
yang pertama) :
a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ),
biopsi renal ( kasus tertentu )
b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab,
CAT Scan
c. Bila disangsikan Feokromositoma : urine 24 jam untuk katekholamine,
metamefrin, venumandelic acid ( VMA ).
3.7 Penatalaksanaan Hipertensi Urgensi
Penatalaksanaan Umum :
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi
tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat
akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal
Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%.
Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan
sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti hipertensi parenteral
maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan
pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan
kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi
urgensi.
Obat-obatan Spesifik untuk Hipertensi Urgensi :
Captopril
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) Inhibitor
dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg secara oral atau
sublingual sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah
90 - 120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis
pada arteri renal bilateral).
Nicardipine
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Penggunaan dosis oral biasanya
30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang
diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan
sakit kepala.
Labetalol
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β -adrenergic blocking dan
memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki
dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis.
Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan
dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah
mual dan sakit kepala.
Prazosin
Dapat dilakukan pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang
perjam bila perlu.
Clonidine
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergic
receptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya
antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1
mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal
adalah 0,7 mg.
Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi
ortostatik. Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree heart block,
brakardi, sick sinus syndrome. Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Nifedipine
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki puncak
kerja antara 10-20 menit. Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).
Buccal (onset 5-10 menit), oral (onset 15-20 menit).
Efek samping : sakit kepala, takikardi, hipotensi, flushing, oyong.
Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat pemberian oral Nifedipine dapat
menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi
dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan
mencapai batas aman dari MAP.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan
MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin
terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan
katekholamine. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi
oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan
bahkan sampai hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi).
Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat pemberian oral Nifedipine dapat
menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi
dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan
mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih
sensitif terhadap penambahan terapi, pada penderita dengan riwayat penyakit
serebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua, maka dosis obat
Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling
sedikit selama 6 jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi
dan juga kemungkinan timbulnya orthostatis.
3.8 Prognosis Hipertensi Urgensi
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif, survival  penderita
hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian disebabkan oleh uremia (19%), gagal jantung
kongestif (13%), cerebrovascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai
uremia (48%), infark miokard (1%), diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik
berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan penderita gagal ginjal
dengan analisis dan transplantasi ginjal
BAB IV

KESIMPULAN

Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang


sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan
tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari
penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa.

Hipertensi Urgensi adalah kenaikan tekanan darah mendadak yg tidak disertai


kerusakan organ target. Penurunan tekanan darah harus dilaksanakan dalam kurun waktu
24-48 jam. Jika terjadi kerusakan organ target yang progresif turunkan tekanan darah
segera dalam kurun waktu menit/jam.

Terapi untuk hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung


pada kerusakan organ target.
DAFTAR PUSTAKA

1. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casery DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et al.
2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood
Pressure in Adults. Hypertension 2018;71:e13-e115
2. Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, et al. 2018
ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. J Hypertens 2018;
36:1953-2041 and Eur Heart J 2018;39:3021-3104
3. Kaplan NM, Victor RG,Flynn JT. Hypertensive Emergencies. Kaplan’s Clinical
Hypertension 2015. 11th edition.Wolters Kluwer.p.263-274
4. Saguner AM, Dur S, Perrig M, Schiemann, Stuck AE, Burgi U, et al. Risk Factors
Promoting Hypertensive Crises: Evidence From a Longitudinal Study. Am J
Hypertens 2010; 23:775-780
5. Pinna G, Pascale C, Fornengo P, Arras S, Piras C, Panzarasa P, et al. Hospital
Admissions for Hypertensive Crisis in the Emegency departements: A Large
Multicenter Italian Study. PLOS ONE 2014;9(4):1-6
6. Cuspidi C, Pessina AC. Hypertensive Emergencies and Urgencies. In: Mancia G,
Grassi G, Redon J. Manual of Hypertension of ESH 2014. 2nd edition. CPC
Press.p.367-372
7. Sarafidis PA, Bakris GL. Evaluation and Treatment of Hypertensive Emergencies and
Urgencies. In: Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ, editors. Comprehensive
Clinical Nephrology 2019. 6th edition. Elsevier.p. 444-452
8. Vaughan CJ, Delanty N. Hypertensive Emergency. Lancet 2000; 356: 411-417
9. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus Vol. 27, No.3,
Desember 2014.
LAPORAN KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh
dr. Rodoasi J Sibarani

Pembimbing

dr. CHAIRUN ARRASYID, M.Ked(PD) Sp.PD

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

RSUD TUAN RONDAHAIM

KABUPATEN SIMALUNGUN

2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh :
dr. Rodoasi J Sibarani

Wahana :

RSUD Tuan Rondahaim Batu 20

Telah diperiksa dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
program internship di RSUD dokter Indonesia

Batu 20, September 2021

Pembimbing Pendamping

dr. CHAIRUN ARRASYID, M.Ked(PD) Sp.PD dr. RUTH IMELDA

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

RSUD TUAN RONDAHAIM

KABUPATEN SIMALUNGUN

2021

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada laporan kasus ini,
saya menyajikan teori mengenai Demam Berdarah Dengue.

Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Program Dokter
Internship Indonesia di RSUD Tuan Rondahaim, Kabupaten Simalungun.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Ruth Imelda Siagian, selaku dokter pendamping kami, serta terima kasih kepada dr.
Chairun Arrasyid, M.Ked(PD) Sp.PD, atas kesediaan beliau sebagai dokter pembimbing kami
dalam penulisan laporan kasus ini. Besar harapan saya, melalui laporan ini, pengetahuan dan
pemahaman kita mengenai Demam Berdarah Dengue semakin bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan ini. Atas bantuan dan
segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima
kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya bidang kesehatan.

Batu 20, 16 September 2021


Penulis

dr. Rodoasi J Sibarani


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN………………………….…………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….. iii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………..... 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………….. 3
2.1 Definisi……………………………………………………………………… 3
2.2 Etiologi…………………..………………………………………………….. 3
2.3 Epidemiologi………………………………………………………………… 3
2.4 Patofisiologi…………………………………………………………………. 4
2.5 Manifestasi Klinis…………...………………………………………………. 6
2.6 Klasifikasi…………...……………………………………………………..... 10
2.7 Indikasi Rawat……………………………………………………................. 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang……….…………………………………………….. 13
2.9 Diagnosa Banding……..…………………………………………………… 14
2.10 Penatalaksanaan…………………………………………………………….. 15
2.11 Tanda Kegawatdaruratan……………………………………………………. 16
2.12 Indikasi Pulang……………………………………………………………… 17
2.13 Komplikasi………………………………………………………………….. 18
LAPORAN KASUS……………………………………………………………………….. 19
BAB III. KESIMPULAN………..………………………………………………………... 27
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………... 28
BAB I

PENDAHULUAN

1.3 Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD ) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh
empat serotype virus dengue yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4 dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi di banyak daerah di dunia. Infeksi virus dengue hingga saat ini masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia.1

DBD telah muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat internasional pada abad ke-21.
Menurut WHO (2000) antara tahun 1975-1995 terdeteksi 102 negara dari 5 wilayah WHO, yaitu
20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Timur Tengah
dan 29 negara di Pasifik Barat.1
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari
seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap
tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di
Asia Tenggara.2
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di
Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana
sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian
(AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.2
Dari tahun 2005-2009 5 provinsi dengan AK tertinggi.Provinsi DKI dan Kalimantan
Timur selalu berada dalam 5 provinsi AK tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AK
yang paling tinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain,
sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang
penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur
hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang
tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah
berkembang biak.3
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Hairil Azhar (2009)tiga buah kecamatan
yang mempunyai prevalensi yang tinggi adalah Medan Tuntungan (22,8%), diikuti Medan Baru
(17,4%), dan Medan Selayang (10,9%). Dari total 92 buah kasus, 47 orang (51,1%) adalah laki-
laki dan 45 orang (48,9%) adalah perempuan. Balita mencatatkan sebanyak 4 buah kasus (4,3%),
umur sekolah 55 kasus (59,8%) dan dewasa muda sebanyak 33 kasus (35,9%).3
Host alami DBD manusia, agent nya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti
dan Ae. albopictus yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.4
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai
14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari
ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10
hari. Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD,
ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji
tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran
plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.4

1.4 Tujuan
4. Untuk lebih mengerti dan memahami tentang penyakit dengue hemorrhagic fever
5. Agar dapat mengintegrasikan teori yang didapat terhadap pasien dengan kasus dengue
hemorrhagic fever
6. Untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Internship di RSUD Tuan
Rondahaim Kabupaten Simalungun

1.5 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Penulis dan Pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat mengetahui dan memahami lebih dalam
mengenai penyakit dengue hemorrhagic fever.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
dengue dengan manifestasi klinis demam 2-7 hari, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. . DBD
adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok yang
berujung kematian.5

1.2 Etiologi

Virus dengue termasuk grup B arthropad borne virus (Arboviruses) dan sekarang dikenal
sebagai genus Flavivirus, familia Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-
1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.. infeksi dengan salah satu serotif akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal didaerah endemis dengue dapat menginfeksi
dengan 3 atau 4 selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan
diberbagai negara di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak
tahun 1975 dibeberapa rumah sakit menunjukkan bahwa 4 serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. serotipe dengue yang ketiga merupakan serotipe yang dominan
dan banyak berhubungan dengan kasus berat.6

1.3 Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia.Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan
pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun
1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun
1999.1
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang
berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).1

1.4 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya DHF sebagai berikut:7
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi
primer. Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume
plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemia.Lesi destruktif vaskuler yang nyata tidak terjadi. Terdapat tiga faktor yang
menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan DSS yaitu: perubahan vaskuler,
trombositopenia dan kelainan koagulasi.

Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan


trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal. Infeksi virus dengue mengakibatkan
muncul respon imun humoral dan seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti
komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada
infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat. Pada hari kelima
demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat pada minggu pertama hingga
minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat
pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi
IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan
lebih dini.Pada infeksi primer antibody netralisasi mengenali protein E dan monoclonal
antibodi terhadap NS1, Pre Mdan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas netralisasi
atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis.
Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki kekebalan
terhadap serotipe virus yang sama. Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus
dengue serotipe yang berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super
antigen setelah difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan
Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II). Antigen yang bermuatan peptide
MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor
(TCR) sebagai reaksi terhadap infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi
imunomodulator yaitu INFγ, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFNγ akan
merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNFα.Interleukin-1 (IL-1) memiliki
efek pada sel endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercellular
adhasion molecule 1 (ICAM 1). Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang
neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan
beradhesi dengan sel endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel
lisis dan endothel terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi
oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan
mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler. Antigen yang bermuatan MHC I akan
diekspresikan di permukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat
sitolitik sehingga menhancurkan semua sel yang mengandung virus dan akhirnya
disekresikan IFNγ dan TNFα.
1.5 Manifestasi klinis
Gejala Klinis Infeksi Virus Dengue sebagai berikut:6
a. Demam Dengue (Dengue Fever)

Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit biasanya
mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai tubuh, anoreksia,
rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi,nyeri pada anggota
badan dan timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama
kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat mokulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke
anggota gerak dan muka.

Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai kenaikan
suku, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung otot, sendi disertai rasa
menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana
kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada
semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomik.

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini
sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah
fotofobia, keringat yang bercucuran, suara sesak, batuk, epitaksis dan disuria. Demam
menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa servikal
dilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutkan sebagai castelani’s
sign, sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis
banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789 melaporkan
pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian meninggal. Bentuk perdarahan lain
yang dilaporkan ialah menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan
rendah, mungkin sekali akibat perdarahan uterus.

Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-demam dan
demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, didudu neutropenia relatif dan limfositosis pada
periode puncak penyakit dan masa konvalens. Eosinofil menurun atau menghilang pada
permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode
demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan orkhitis atau ovaritis, keratitis
dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan diantaranya menurunnya kesadaran,
paralisis sensorium yang bersifat sementara, meningismus dan ensefalopati. Diagnosis
banding mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chickungunya), bakteria dan parasit yang
memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan
adalah mustahil, terutama pada kasuk-kasus sporadis.

b. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis yaitu demam tinggi,
perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakkan DBD
dari DD ialah peningkatan permeabititas dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, trombositopenia dan diabetis hemoragik. Perbedaan antara DBD dan DD.

Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue

Demam Dengue Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue


++ Nyeri Kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri Otot +
++ Ruam kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji torniquet positif ++
++++ Petekie
0 Perdarahan saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++
Keterangan : (+) 25%, (++) 50%, (+++) 75%, (++++) 100%

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar dan perdarahan pada
tempat pengambilan darah vena. Ptekie halus yang tersebar dianggota gerak, muka, aksila
sering ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan terjadi
disetiap organ tubuh. Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan
saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul rejatan yang tidak dapt
diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtivita kadang-kadang ditemukan. Pada
masa konvalens sering ditemukan eritema telapak tangan atau telapak kaki.

c. Sindrom dengue syok

Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-
tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di
antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi
imunologis (the immunological enhancement hyphotesis). Pada sebagian besar kasus
ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar
mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah dan secara cepat masuk
dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri didaerah perut sesaat sebelum syok. Fabie
(1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan
gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan
petunjuk adanya perdarahan gastrointerstinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode
demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak
dapat teraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat
pasien dapat mengalami syok berat (profund shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan
nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi
asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.
Sebaliknya dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera terjadi masa
penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan yang membaik
merupakan petunjuk prognosis bsik.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemakonsentrasi. Jumlah


trombosit < 100.000/ul ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematoktrit
merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat
ringan meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering
ditemukan ialah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transamine serum dan urea nitrogen
darah meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit
bervariasi antara leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan
yang bersifat sementara.

Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.

a. Klinis
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan
lain (ptekie, purpura, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi), hematesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤ 20
mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) disertai kulit yang teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan
timbul sianosis disekitar mulut.

b. Laboratorium
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan
nilai hematokrit ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau
masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia
dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini
87% kasus tersangka DBD dapat diagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan
serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.

1.6 Klasifikasi

Gambar 2.1 Skema Kriteria Diagnosis Infeksi Dengue Menurut WHO 20118
Tabel 2.1 Derajat DBD Berdasarkan Klasifikasi WHO 20118

1.7 Indikasi Rawat8


2.1 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Serologi
1. Antigen NSI dapat di deteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun
sehingga tidak terdeteksi setelah hari ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat
digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak
dapat membedakan penyakit DD/DBD.6
2. Uji Serologi IgM dan IgG anti dengue
a. Antibodi IgM anti dengue dapat di deteksi pada hari sakit ke-5, mencapai
puncaknya pada hari sakit 10-14, dan akan menurun /menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
b. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit
ke-14. Dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
c. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-
2.
d. Rasio IgM/ IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi sekunder.
Apabila rasio IgM:IgG>1,2 menunjukan infeksi primer namun apabila IgM:IgG rasio
<1,2 menunjukan infeksi sekunder.
Antibodi anti dengue
Diagnosis IgM IgG Keterangan
Infeksi primer Positif Negatif
Infeksi sekunder Positif Positif
Infeksi lampau Negatif Positif
Bukan dengue Negatif Negatif Apabila klinis mengarah ke
infeksi dengue, pada fase
penyembuhan: IgM dan IgG
diulang
Tabel 2.2 Interprestasi Uji Serologi IgM dan IgG pada Infeksi Dengue9
b. Pemeriksaan radiologis
Pada foto thoraks, didapatkan efusi pleura, terutama di sebelah hemitorak kanan.
Pemeriksaan foto thoraks dilakukan dalam posisi lateral dekubitis kanan (pasien tidur
di sisi kanan). Asites dan efusi pleura dapat di deteksi.
2.2 Diagnosa Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencangkup infeksi bakteri, virus, atau
infeksi parasit seperti: Demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi
dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lainnya.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan deman chikungunya (DC). Pada DC
biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan
influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan mendadak,
masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi conjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif,
ptekie, dan epitaksis sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok.
c. Idiopatic Trombositopenic Purpura ( ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan dibawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosa ITP sulit dibedakan dengan DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang
(pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak di jumpai leukopenia, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak di jumpai pergeseran kekanan pada hitung jenis. Pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit cepat kembali normal daripada ITP.
d. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukopenia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjer limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia
aplastik anak sangat anemic, demam timbul karena infeksi sekunder. Pada pemeriksaan
darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin, dan trombosit menurun). Pada
pasien dnegan perdarahan hebat, pemeriksaan foto thoraks dan atau kadar protein dapat
membantu diagnosis.10

Diagnosis Atau Penyebab yang Gejala dan Tanda Klinis


mendasari
Syok karena perdarahan - Riwayat trauma
- Terdapat sumber perdarahan
Dengue Shock Syndrome (DSS) - KLB atau musim Demam Berdarah
Dengue
- Riwayat demam tinggi
- Purpura
Syok Kardiogenik - Riwayat penyakit jantung
- Peningkatan vena jugularis dan
pembesaran hati
Syok septic - Riwayat penyakit yang disertai
demam
- Anak tampak sakit berat
Syok yang berhubungan dengan - Riwayat diare yang profus
dehidrasi berat - KLB kolera
Tabel 2.3 diagnosis banding pada anak dengan syok

2.3 Penatalaksanaan
a. Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit
1. Fase Demam
a. Medikamentosa
- Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin
- Diusahakan tidak memberikan obat-obatan yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
- Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terapat perdarahan
saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
- Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
2. Suportif
- Cairan per oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
- Diberikan untuk 48 jam atau lebih
- Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit.9

Gambar 2.2 Jalur Triase Kasus Tersangka Infeksi Dengue9

2.11 Tanda kegawadaruratan


Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue,
seperti berikut:
a. Tidak ada perbaikan klinis/ perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase
bebas demam/ sejalan dengan proses penyakit
b. Muntah yang menetap, tidak mau minum
c. Nyeri perut hebat
d. Letargi dan/ gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
e. Perdarahan: epitaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat, warna
urin gelap (hemoglobinuria) / hematuria
f. Giddiness (pusing/ perasaan ingin terjatuh)
g. Pucat, tangan – kaki dingin dan lembab
h. Diuresis kurang/ tidak ada dalam 4-6 jam9
Gambar 2.3 Tatalaksana DBD dengan Syok atau DSS9

2.12 Indikasi Pulang


Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut :
1. Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
2. Nafsu makan telah kembali
3. Secara klinis tampak ada perbaikan
4. Diuresis baik
5. Minimum 3 hari setelah sembuh dari syok
6. Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
7. Trombosit >50.000/mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.11
2.13 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada demam berdarah dengue antara lain :
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
2. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
3. Edema paru dan atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian cairan
pada masa perembesan plasma.
4. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik dan perdarahan hebat.
5. Hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan
dabn terapi cairan yang tidak sesuai.9
STATUS PASIEN RSUD TUAN RONDAHAIM

Identitas Pasien :

Nama : Tn.HBS

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 20 tahun

Pekerjaan : Mahasiswa

Suku : Batak

Agama : Kristen

Status : Belum Menikah

Alamat : Sondi Raya

Tanggal Berobat : 11 Agustus 2021

ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan Utama : Demam dialami sejak 4 hari


Riwayat Penyakit Sekarang : Demam dialami sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
tinggi muncul tiba-tiba bersifat naik turun. Demam mulai meningkat pada sore dan dini hari,
namun tidak pernah turun hingga suhu normal. Demam disertai adanya menggigil, nyeri otot,
nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Mual terjadi setiap kali mau makan sehingga
nafsu makan pasien menjadi menurun. Muntah dialami pasien 2 kali dalam sehari, muntah berisi
makanan apa yang dimakan. Pasien mengaku gusinya berdarah sejak 1 hari yang lalu sewaktu
menyikat gigi. BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat penyakit terdahulu : Tidak dijumpai

Riwayat obat-obatan : Paracetamol


Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum : Tampak Sedang

Sensorium : Composmentis (E4V5M6)

Vital sign :

 TD : 110/70 mmHg
 HR : 86/menit
 RR : 20/menit
 T : 39,3℃
 BB : 60kg
 TB : 161cm
IMT : 23,1 (normoweight)
Status Generalis :

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungiva Anemis (-/-), Sclera icteric (-), pupil : isokor(3/3mm), eksoftalmus
(-/-), palpebral edema (-/-), ptosis (-/-), respon cahaya (+/+), bitot spot (-/-)

Mulut : Tidak ada kelainan

Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar thyroid (-),
peningkatan TVJ (-) R+2cmH2O, deviasi trakea (-)

THT : Tidak ada kelainan

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan=kiri, ketinggalan pernafasan (-)

Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara pernafasan: Vesikuler (+/+)


Suara tambahan : (-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba

Perkusi : Dalam batas normal

Auskultasi : Bising jantung S1/S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Dinding perut simetris (+), Ascites (-)

Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal, tidak ada bising aorta abdominalis

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Ekstremitas atas : akral hangat , edema (-/-), deformitas (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-/-), deformitas (-)

Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium (11 Agustus 2021)

Full Blood Count Nilai Unit Referensi

Hemoglobin 13.6 g/dL 13 – 18

Hematokrit 43,6 % 39-54

Eritrosit (Sel darah merah) 5.25 10^6/µL 4.50- 6.50


Leukosit (Sel darah putih) 6.100 10^3/µL 4.000-11.000

Hitung trombosit 97000 10^3/µL 150.000– 450.000

• MCV 85.9 fL 81-99

28.4 pg 27,0 - 31,0


• MCH
• MCHC 36,7 mg/dl 31,0 – 37,0

Infectsius
HbsAg Negatif Negatif
Dengue Duo
IgG Negatif Negatif
IgM Positif Negatif

Rapid Test Hasil Satuan Nilai Normal


IgG Negatif Negatif
IgM Negatif Negatif

Diagnosa Banding
4. Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II
5. Demam Thypoid
6. Malaria

Diagnosa Kerja

Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II


Penatalaksanaan

- IVFD RL Cor 1 fls selanjutnya 20 tpm


- Inj. Ranitidin 1 amp/12jam
- Inj. Ondansetron 1 amp/8jam
- Inj. Norages 1 amp/8jam

Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Follow Up
12/08/2021
S Demam (+), Menggigil (+), Nyeri otot (+),Nyeri ulu hati (+), Mual (+),
Muntah (+)

O Sens : Compos mentis


TD : 100/70mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 38,50C
A Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II

P IVFD RL 20 gtt/I micro


Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
Inj. Ranitidin1 amp/12 jam/iv
Inj. Ondansentron 1 amp/8 jam/iv
Inj. Norages 1 amp/8 jam jika suhu > 38,5
Paracetamol tab 3x500 mg

13/08/2021
S Demam (+), Nyeri ulu hati (+), Mual (+)

O Sens : Compos mentis


TD : 100/70mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37,90C
A Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II

P IVFD RL 20 gtt/I micro


Inj. Ceftriaxone 1 gr/12jam/iv
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam/iv
Inj. Ondansentron 1 amp/8 jam/iv
Inj. Norages 1 amp/8 jam jika suhu > 38,5
Paracetamol tab 3x500

14/08/2021
S -

O Sens : Compos mentis


TD : 110/70mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37,70C
A Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II

P IVFD RL 20 gtt/I micro


Inj. Ceftriaxone 1 gr/12jam/iv
Inj. Ranitidin 1 amp/8 jam/iv
Inj. Ondansentron 1 amp/8 jam/iv
Inj. Norages 1 amp/8 jam jika suhu > 38,5
Paracetamol tab 3x500 mg (k/p)

15/08/2021
S -

O Sens : CM
TD : 120/80mmHg
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 370C
A Demam Berdarah Dengue (DBD) grd II

P IVFD RL 20 gtt/I micro


Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam/iv
Inj. Ondansentron 1 amp/8 jam/iv
Paracetamol tab 3x500 mg (k/p)
PBJ hari ini

BAB III
KESIMPULAN

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, DEN-4, dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus.Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat homeostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada demam berdarah dengue perlu dilakukan pemantauan ketat terhadap klinis pasien
dan pemeriksaan berulang terhadap nilai hematokrit, hemoglobin, dan trombosit serta dilakukan
terapi cairan yang tepat dan optimal untuk mencegah pasien jatuh ke dalam kondisi syok yang
dapat menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitriani. Anita.,Prevalensi Demam Berdarah Dengue di Kota Medan Berdasarkan Data di


Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011. Skripsi. Medan: FKUSU. 2013
2. Wahyono. TRM. Dkk.,Buletin Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Kemenkes.2010
3. Azhar. Hairil.,Prevalensi Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Rsup. Haji Adam Malik,
Medan Periode Januari 2009-Desember 2009. Skripsi. Medan: FKUSU. 2010
4. Candra, A., Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Semarang: Aspirator Vol. 2 No. 2. 2010
5. A Sukohar., 2014. Demam Berdarah Dengue (DBD) Volume 2, Nomor 2, Februari 2014.
Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung : 2014
6. Soedarmo, S.S.P., Garba, H & Hadinegoro, S.R., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis, Edisi Kedua, Hal 161-63, Jakarta : IDAI, 2012
7. Frans. Evisina Hanafiati,.Patogenesis Infeksi Virus Dengue. Jurnal. Surabaya: FK universitas
kusuma wijaya. 2011
8. World Health Organization. 2010. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta: WHO Indonesia.
9. Karyanti, Mulya Rahma, MSc, Sp.A (K). Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Dengue. Infeksi
dan Pediatri Tropik. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN Cipto Manungkusumo,
FKUI.
10. Hardinegoro dkk. 2012. Update Management of Infections Diseases and Gastrointestinal
Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai