Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan adalah suatu proses yang diawali pertemuan ovum dengan sperma
dilanjutkan proses fertilisasi, implantasi, pembentukan dan pertumbuhan janin
hingga awal persalinan. Pada kehamilan terjadi perubahan hormonal dan
penurunan imunitas tubuh. Perubahan hormonal akan mempengaruhi flora normal
vagina, sedangkan penurunan imunitas tubuh sebagai respon toleransi terhadap
keberadaan janin yang secara genetik tidak sama dengan ibu juga meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi pada saluran reproduksi.
Infeksi saluran reproduksi wanita hamil terutama yang disebabkan oleh
infeksi menular seksual (IMS) merupakan penyebab penting pada morbiditas dan
mortalitas maternal maupun perinatal yang membahayakan ibu dan bayi.1 Infeksi
menular seksual pada saluran reproduksi wanita dapat disebabkan oleh infeksi
virus, bakteri maupun parasit. Infeksi menular seksual terkait virus pada
kehamilan sering disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV), virus Hepatitis B
Virus (HBV), Human Immunodeficiency Virus (HIV), Cytomegalovirus (CMV)
dan Human Papilloma Virus (HPV). Infeksi HPV menyebabkan kondiloma
akuminata (KA) yang ditandai dengan adanya proliferasi jinak epidermis dan
mukosa pada genitalia.
Kondiloma akuminata sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV,
dapat menyerang semua ras dimana frekuensi laki-laki dan perempuan adalah
sama. Diperkirakan bahwa 30 hingga 50 % orang dewasa yang aktif secara
seksual terinfeksi oleh Human Pappiloma Virus (HPV), paling sering pada usia
16-25 tahun. Terdapat 500 ribu sampai 1 juta kasus baru KA di Amerika Serikat
setiap tahunnya, dengan angka kejadian 3,4% (0,87 kasus per 100 orang).
Prevalensi sebesar 1% pada orang yang aktif secara seksual. Peningkatan insidens
KA terjadi pada kehamilan trimester satu hingga ketiga, kemudian menurun pada
periode post partum. Risiko terinfeksi oleh HPV pada wanita hamil sebesar dua
kali lipat dibandingkan wanita tidak hamil. Insiden kondiloma akuminata pada
poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah sebanyak 92 kasus baru per 280 kasus
IMS dengan pria 50 dan wanita 42, hamil 3 dan HIV positif 11 pasien.
Kondiloma akuminata pada kehamilan perlu mendapat perhatian karena
ukuran dan vaskularisasi KA membesar dengan cepat dapat menimbulkan
hambatan mekanik serta perdarahan pada jalan lahir saat persalinan pervaginam,
terdapat kontra indikasi terapi tertentu pada kehamilan dan paparan perinatal pada
bayi mengakibatkan papiloma laring atau kutil anogenital. Kondiloma akuminata
yang terjadi pada pasien HIV dapat berkembang menjadi besar, jarang beregresi
spontan, sering rekuren setelah pengobatan dan memiliki risiko lebih tinggi untuk
bertransformasi ke arah keganasan.
Berikut dilaporkan kasus kondiloma akuminata pada seorang wanita hamil
yang disertai infeksi HIV. Kasus ini dilaporkan untuk menambah wawasan
mengenai kondiloma akuminata sebagai IMS pada wanita hamil dan dalam
keadaan terinfeksi HIV meliputi hubungan antara KA dengan kehamilan, antara KA
dengan infeksi HIV dan pilihan pengobatan IMS yang dapat diberikan.
BAB II
PEMBAHASAN

Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab KA tergolong dalam DNA


papovavirus dengan diameter 50-55 nm. Virus ini menginfeksi lapisan basal
epitel, namun replikasi virus hanya terjadi pada sel-sel keratinosit stratum
granulosum dan spinosum yang telah berdiferensiasi secara lengkap. Masa
inkubasi KA bervariasi dari 3 minggu hingga 8 bulan, namun virus juga dapat
bersifat dorman pada lapisan epitel dan tidak menimbulkan manifestasi klinis
sepanjang hidup penderitanya. HPV 6 dan HVP 11 paling sering ditemukan pada
kutil genital (kondiloma akuminata).
Mikrotrauma pada epitel genital terutama area transformasi dari epitel
servik, mengakibatkan paparan sel basal terhadap berbagai HPV yang aktif
berproliferasi. Virus ini menginfeksi dan bereplikasi terbatas hanya pada sel
keratinosit yang berdiferensiasi secara lengkap (epiteliotrofik). Zona tautan
kolumnar-skuamosa merupakan area yang rentan terhadap infeksi HPV karena
tidak dilindungi oleh sel yang tidak bereplikasi. Pada sel kolumnar virus tidak
mengalami replikasi kecuali pada infeksi oleh HPV tipe 18 yang memungkinkan
perkembangan karsinoma endoserviks atau pada kondisi ektopik servikal. Siklus
sel keratinosit basal dan siklus virus berhubungan erat. Ketika sel-sel keratinosit
basal migrasi keluar menuju lapisan epitel, kemudian berdiferensiasi menjadi sel-
sel epitel dan berperan sebagai lapisan sel pelindung. Saat sel epitel berproliferasi
maka DNA virus juga berproliferasi. Pada kondisi tanpa pengobatan lesi KA akan
tumbuh aktif selama 3 bulan hingga 6 bulan. Pada pasien imunokompeten,
mekanisme imunitas seluler dan humoral mampu membersihkan virus, namun
sebaliknya pada kondisi imunokompromais infeksi dapat berjalan hingga stadium
lanjut dalam 6 bulan kemudian dapat berakhir menjadi infeksi persisten atau

rekuren.
Infeksi HPV terutama ditularkan melalui hubungan seksual, baik genital-
genital, oral-genital, maupun genital-anal. Kerentanan terhadap infeksi HPV
dipengaruhi oleh faktor genetik (polimorfisme HLA kelas II), gangguan pada
sistem imunitas (penderita HIV, resipien transplantasi renal dan kehamilan).
Faktor risiko terjadinya infeksi HPV genital adalah peningkatan jumlah pasangan
seksual pasien maupun pasangan seksualnya, pasangan yang tidak melakukan
sirkumsisi, riwayat merokok, dan faktor hormonal (kehamilan, menstruasi,
konsumsi kontrasepsi oral). Infeksi HPV dapat ditularkan melalui hubungan
seksual dan secara perinatal dari ibu dengan KA ke neonatus.
Pada kasus, terdapat faktor kerentanan terhadap infeksi HPV berupa
gangguan sistem imunitas yang meliputi kehamilan dan terinfeksi HIV. Faktor
risiko penularan HPV terjadi melalui hubungan seksual, dimana dari anamnesis
terdapat riwayat berhubungan dengan banyak pasangan seksual setelah bercerai 1
tahun yang lalu tanpa menggunakan kondom, mulai berhubungan seksual di usia
yang sangat muda yaitu 17 tahun dan faktor hormonal (kehamilan).

Keluhan subjektif pada KA berupa adanya pertumbuhan maupun benjolan


yang tumbuh pada daerah genitalia dan menimbulkan ketidaknyamanan,
terkadang disertai rasa gatal, rasa seperti terbakar, nyeri ataupun terjadi
perdarahan pada lesi. Manifestasi klinis genital wart dibagi menjadi 4 bentuk
yaitu bentuk kondiloma akuminata yang mempunyai gambaran seperti kembang
kol; bentuk papular yaitu papul-papul yang berbentuk kubah dengan permukaan
halus dan licin, dengan diameter 1-4 mm; bentuk keratotik yang mempunyai
lapisan tebal pada permukaanya sehingga dapat menyerupai veruka vulgaris atau
keratosis seboroik dan bentuk makular. Kondiloma akuminata tumbuh pada
daerah yang lembab. Lesi anogenital eksterna pada wanita seringnya terdapat di
labia, klitoris, vulva, perineum dan perianal. Sementara itu, lesi anogenital internal
terdapat pada uretra, mukosa vagina dan serviks. Kontak seksual secara oro-
genital dapat menimbulkan lesi pada lidah, bibir dan palatum namun sangat jarang
ditemukan. Selain itu lesi KA dapat juga ditemukan pada pubis, paha bagian atas,
dan lipatan kruris.
Pada kasus, lesi klinis (simtomatis) berupa benjolan pada genital dengan
klinis bentuk akuminata berupa papul dan tumor dengan permukaan verukosa
menyerupai kembang kol. Lokasi KA adalah pada labia mayor, labia minor,
perineum, regio inguinalis (lipatan kruris), vestibulum dan dinding vagina.
Meskipun secara klinis lesi KA mudah untuk dikenali, pada beberapa lesi
sulit untuk dibedakan dengan lesi kondiloma lata. Kondiloma lata merupakan
salah satu dari bentuk klinis sifilis sekunder yang ditandai dengan papul atau plak
yang tampak lembab, hipopigmentasi dan maserasi dengan permukaan yang licin.
Kondiloma lata memiliki kemiripan dengan KA sebagai lesi yang meninggi,
namun terdapat beberapa perbedaan, yaitu: 1) KA tampak seperti kembang kol
yang berlapis sedangkan kondiloma lata tampak licin, 2) KA tampak kering
sedangkan kondiloma lata tampak lembab, dan 3) KA tampak berdungkul
sedangkan kondiloma lata cenderung pipih. Pemeriksaan mikroskop lapangan
gelap pada lesi kondiloma lata akan menunjukkan organisme Treponema
pallidum.

Diagnosis KA dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Salah satu pemeriksaan penunjang yang cukup mudah
untuk dikerjakan adalah pemeriksaan acetowhite. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan mengoleskan asam asetat 3-5% pada lesi yang dicurigai dan ditunggu
dalam sepuluh menit. Bila positif akan tampak berwarna keputihan pada lesi yang
dioleskan.
Pada kasus, pemeriksaan acetowhite menunjukkan hasil positif dan
diagnosis banding kondiloma lata telah dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
serologis VDRL dan TPHA non reaktif. Walaupun pemeriksaan histopatologi
tidak dikerjakan, namun dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang telah mendukung diagnosis kondiloma akuminata.
Kehamilan meningkatkan risiko infeksi HPV, hal ini terkait dengan
imunosupresi relatif ibu hamil dalam mengantisipasi adanya pertumbuhan janin
yang merupakan benda asing dalam tubuh. Keadaan imunosupresi ditandai
dengan penurunan sel limfosit CD4+, peningkatan CD8+, supresi aktifitas sel
natural killer, penurunan fungsi sel B dengan rendahnya imunoglobulin dan
gangguan bakteriolisis yang diperantarai komplemen. Kondisi imunosupresi ini
akan memfasilitasi infeksi virus pada wanita hamil. Selain faktor supresi imunitas,
faktor hormonal juga meningkatkan risiko infeksi HPV pada wanita hamil. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian yang menemukan peningkatan deteksi DNA HPV
selama kehamilan seiring dengan peningkatan kadar hormon estrogen yaitu dari
trimester pertama meningkat hingga trimester kedua dan akhirnya mengalami
penurunan pada periode post partum.
AIDS adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya system
kekebalan tubuh yang disebabkan olehinfeksi HIV. dimana HIV masuk ke
dalam tubuh manusia menyerang sel target, terutama sel-sel yang mampu
mengekspresi reseptor CD4. Sel-sel tubuh yang mampu mengekspresi reseptor
CD4 diantaranya astrosit, mikroglia, oligodendroglia (sistem saraf), limfosit T,
limfosit B, monosit, makrofag, promielosit (sirkulasi sistemik), sel langerhans,
fibroblas dan dendritik (pada kulit).18 Jumlah limfosit T-CD4 akan menurun dari
normal (500-1500) sel/mm3 darah sampai dibawah 200 sel/ mm3, dimana
biasanya pada jumlah tersebut angka infeksi oportunistik yang menyertai akan
meningkat.
Diagnosis ditegakan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan
laboratorium berupa uji penentuan adanya anti-HIV kemudian uji western
blot.Diagnosis infeksi HIV dan acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
dapat ditegakan berdasarkan klasifikasi klinis world health organization (WHO)
dan atau Centers for Diseases Control (CDC). Gejala mayor berupa penurunan
berat badan lebih dari 10% dalam waktu 1 bulan, diare kronis lebih dari 1 bulan,
demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguan
neurologis, ensefalopati HIV. Gejala minor berupa batuk menetap lebih dari 1
bulan, dermatitis generalisata, herpes zoster multisegmental berulang,
kandidiasis orofaringeal, herpes simpleks kronik progresif, limfadenopati
generalisata, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita dan renitis oleh
virus sitomegalo. Klinis HIV stadium I adalah asimtomatik dan atau
limfadenopati generalisata yang persisten. Stadium II berupa penurunan berat
badan (BB) < 10% yang tidak dapat dijelaskan, infeksi saluran nafas rekuren,
herpes zoster, angular cheilitis, ulkus oral rekuren, erupsi papul pruritus,
dermatitis seboroik dan infeksi jamur pada kuku. Penurunan BB > 10% dan
kandidiasis oral merupakan salah satu dari infeksi yang menyertai dan muncul
pada pasien infeksi HIV stadium III, sedangkan toksoplasmosis ensefalitis,
rekuren pneumonia dan herpes simpleks kronis pada stadium IV infeksi HIV.
Terapi antiretroviral (ARV) mulai diberikan pada pasien dengan jumlah sel CD4
<350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya dan dianjurkan pada semua
pasien HIV positif dengan tuberkulosis aktif, ibu hamil dan koinfeksi hepatitis B
tanpa memandang jumlah CD4.
Pada kasus, pasien didiagnosis HIV stadium I berdasarkan klinis yaitu
asimptomatik, namun jumlah CD4 200 sel/mm3 (<350 sel/mm3) dan dalam
kondisi hamil maka pasien memulai terapi ARV berupa kombinasi zidovudine,
lamivudine dan nevirapine.

Prevalensi kondiloma akuminata pada penderita HIV didapatkan cukup


tinggi yaitu sekitar 30%. Bahkan pada suatu penelitian cohort di San Fransisco
didapatkan infeksi HPV yang dideteksi melalui pemeriksaan PCR didapatkan
sebesar 76% pada wanita yang menderita infeksi HIV. Gejala klinis kondiloma
akuminata pada pasien HIV sama dengan pasien tanpa infeksi HIV, namun pada
pasien HIV terdapat kecenderungan terjadi infiltrasi infeksi HPV yang meluas dan
juga berhubungan dengan angka rekurensi yang lebih tinggi akibat penurunan
sistem imun Selain itu, infeksi HPV pada pasien HIV juga terdapat
kecenderungan yang lebih tinggi ke arah keganasan yang diakibatkan oleh HPV
serotipe 16,18, 31 dan 33.
Pada kasus, riwayat muncul benjolan (kutil) pada genitalia yang semakin
bertambah banyak dan membesar sejak 2 bulan terakhir. Pada pengamatan
lanjutan pertama yaitu masa kehamilan 8 minggu didapatkan KA yang semakin
bertambah banyak dan membesar, hal ini sesuai dengan peningkatan kadar
hormon estrogen pada trimester pertama kehamilan dan diperberat oleh keadaan
imunosupresi (jumlah CD4 200 sel/mm3) karena infeksi HIV.
Penularan KA dari ibu ke janin dapat terjadi secara vertikal saat perinatal.
Transmisi perinatal HPV (HPV 6 dan 11) dapat menginduksi laryngeal
papillomatosis dengan angka kejadian 1-4 / 100.000 kelahiran. Suatu penelitian
di Brazil melaporkan 24,5% penularan HPV terjadi secara perinatal pada 49 ibu
hamil. Infeksi HPV pada anak dapat bermanifestasi sebagai suatu papilloma
laringeal atau reccurent respiratory papillomatosis (RRP). Pada suatu penelitian,
risiko RRP pada bayi yang baru lahir dari wanita dengan KA adalah sekitar
6,9/1000 kelahiran. Paparan HPV pada neonatus saat perinatal terjadi paling
sering saat persalinan melalui vagina akibat kontak janin dengan sekret vagina
yang terdapat lesi KA. Transmisi KA pada persalinan seksio sesaria (SC), saat
membran amnion dipecahkan terjadi aspirasi nasofaringeal cairan amnion. HPV
juga ditemukan pada umbilikus sehingga penularan juga dapat terjadi secara
intrauterin melalui jalur tranplasenta serta intrauterin pada saat fertilisasi dari
sperma yang membawa HPV laten. Indikasi untuk melakukan sectio cesarea
pada ibu hamil dengan KA genital adalah jika lesi KA cukup besar untuk
mengobstruksi jalan lahir dan mengurangi kemampuan elastisitas vagina. Selain
itu, persalinan yang berlangsung lebih dari 10 jam berisiko terjadi penularan
penyakit hingga dua kali lipat.
Infeksi HIV juga dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi pada bayi yang
dikandung. Penularan HIV dapat terjadi intrauterin, selama periode perinatal atau
postnatal saat menyusui. Tingginya viral load dihubungkan secara konsisten
dengan penularan HIV baik intrauterin, perinatal maupun postnatal. Selain itu,
kadar CD4 ibu yang rendah juga meningkatkan risiko penularan. Penggunaan obat
antiretroviral, persalinan secara sectio caesarea dan menghindari menyusui bayi
sangat signifikan menurunkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak.
Pengobatan KA pada kehamilan bertujuan untuk mengangkat lesi KA
simtomatis, mengurangi persistensi DNA HPV dalam jaringan genital, dan
mengurangi paparan neonatus terhadap virus dengan menurunkan lesi KA selama
proses persalinan. Pilihan pengobatan berdasarkan pada jumlah, ukuran, lokasi
dan morfologi lesi KA. Kesediaan pasien dan kenyamanan pasien, modalitas
terapi, biaya pengobatan, efek samping dan pengalaman dokter juga menjadi
bahan pertimbangan dalam pemilihan terapi. Modalitas terapi KA terdiri atas
metode chemical (podofiloks 0,5%, krim imikuimod 5%, salep sinatekin 15%,
tingtur podofilin resin 15-25% dan Trichloroacetic acid / TCA 60-90%) dan
ablatif (krioterapi, pembedahan eksisi, shape excision, kuretase, loop
electrosurgical excision procedure atau LEEP dan laser). Podofilin, podofiloks,
dan fluorourasil harus dihindari pada pasien hamil karena bersifat teratogenik.
TCA, krioterapi, eksisi, dan elektrokauter aman diaplikasikan pada kehamilan.
Asam trikloroasetat konsentrasi 80-90% dapat membakar lesi dengan
cepat dan memberi efek kaustik. Pengobatan tutul TCA ini dapat ditujukan untuk
lesi berukuran kecil. Efek samping yang muncul berupa iritasi ringan pada kulit
normal yang terkena, dapat diminimalisir dengan mengoleskan vaselin di sekitar
lesi KA. Pengobatan tutul TCA dapat diulang setiap seminggu sekali, selama
kurang lebih 3-4 (6) kali periode pengobatan. Tutul TCA aman diaplikasi pada ibu
hamil karena tidak diserap secara sistemik.

Pada kasus dilakukan terapi tutul TCA 80 % pada lesi KA dengan jarak
interval 1 minggu. Pengobatan ini dipilih karena aman bagi kehamilan dan efektif.
Setelah pengobatan sebanyak dua kali, benjolan didapatkan telah mengecil dan
beberapa menghilang
Adanya perkembangan lesi KA menjadi keganasan terutama pada KA
yang disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18. Sebagai upaya deteksi dini adanya
displasia pada serviks dapat dilakukan pemeriksaan skrining secara berkala pada
wanita seksual aktif. Selain itu tindakan vaksinasi juga dapat mencegah
terjadinya kanker serviks. Saat ini tersedia dua macam vaksin yaitu Gardasil
yang dapat melindungi dari infeksi HPV tipe 6, 11, 16 dan 18, sedangkan vaksin
Cervarix yang memberikan perlindungan terhadap infeksi HPV tipe 16 dan 18.
Penelitian mengenai keamanan vaksinasi HPV pada wanita hamil belum banyak
dilaporkan sehingga belum direkomendasikan dilakukan vaksinasi saat
kehamilan.
Pasien yang menderita infeksi menular seksual terutama pada kehamilan
sangat penting diberikan konseling, informasi dan edukasi mengenai penyakit,
cara penularan, perjalanan penyakit, dan pengobatan yang benar serta pencegahan
penyakit untuk mengurangi komplikasi pada pasien maupun janin yang
dikandung. Informasi juga harus disampaikan kepada pasangan terkait risiko
penularan melalui kontak seksual. Abstinensia kontak seksual selama pengobatan,
menggunakan kondom saat kontak seksual serta menghindari kontak seksual
berganti-ganti pasangan. Bagi pasien dengan kehamilan penting untuk menjaga
kesehatan tubuh dengan asupan nutrisi yang cukup, menjaga higienitas diri serta
memeriksakan kehamilan secara rutin.
Prognosis dari kasus adalah dubius ad malam karena walaupun telah
terjadi perbaikan lesi kondiloma akuminata, adanya infeksi HIV dan kehamilan
akan memperberat lesi serta memiliki risiko rekurensi yang tinggi. Pasien juga
masih bekerja sebagai WPS yang rutin melakukan hubungan seksual dengan
pelanggan yang berganti ganti sehingga memiliki risiko tinggi reinfeksi walaupun
sudah menggunakan kondom. Pasien tetap diberikan informasi mengenai
penyakitnya dan kemungkinan rekurensi yang dapat terjadi serta kemungkinan

risiko komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada kehamilan dan bayi yang
dilahirkan. Pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan pap smear setelah
melahirkan untuk melihat tanda-tanda keganasan akibat infeksi HPV pada serviks.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dilaporkan satu kasus kondiloma akuminata pada seorang wanita Gravid
G4P2102 usia kehamilan 8 minggu yang disertai infeksi HIV stadium I. Faktor
predisposisi adalah adanya peningkatan jumlah pasangan seksual, berganti-ganti
pasangan tanpa menggunakan kondom dan berhubungan seksual pertama kali saat
usia muda. Faktor-faktor predisposisi diatas diperberat oleh kehamilan dan infeksi
HIV, dimana kondiloma akuminata pada pasien wanita hamil dapat membesar
dengan cepat karena peningkatan hormon estrogen. Pada infeksi HIV terjadi
penurunan sel CD4 yang menurunkan imunitas terhadap infeksi HPV.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan adalah mencegah hambatan jalan
lahir serta transmisi perinatal pada janin. Salah satu modalitas terapi KA yang
aman digunakan pada kehamilan adalah tutul TCA 80%. Prognosis dari kasus
adalah dubius ad malam karena walaupun telah terjadi perbaikan lesi kondiloma
akuminata, adanya infeksi HIV dan kehamilan akan memperberat lesi serta
memiliki risiko rekurensi yang tinggi sehingga penting bagi pasien untuk
mendapatkan konseling, edukasi dan pendidikan mengenai faktor predisposisi dan
risiko penularan KA.

Anda mungkin juga menyukai