Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


MATERI FASILITATOR PEMBANGUNAN KESEHATAN

Dosen Pengajar :
Prof. Dr. dr. Starry Rampengan, MARS, Sp.JP (K)
Dr. dr. Wulan P.J. Kaunang, GradDip, M.Kes
dr. Grace Korompis, PhD

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Viktor N. A. Tampi 212021110013
Citra Elvira Mokoagow 212021110033
Septa Ayu Bungasari 212021110019

PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayahNya sehingga kelompok dapat menyelesaikan tugas makalah
kelompok ini yang berjudul “Fasilitator Pembangunan Kesehatan”. Makalah ini
merupakan salah satu tugas yang diberikan pada mata kuliah Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program
Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Dalam makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, disebabkan keterbatasan
kemampuan ilmu dan pengetahuan yang kelompok kami miliki, untuk memohon
kiranya dapat memberikan masukan dan saran-saran guna perbaikan dimasa
yang akan datang.

Sulawesi Utara, Agustus 2021

Penulis Kelompok III


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Pengertian Fasilitator ..................................................................... 3


2.2 Fungsi dan Peran Fasilitator........................................................... 4
2.3 Fasilitas Pengembangan Desa ........................................................
2.4 Pemberdayaan Masyarakat ..............................................................
2.5 Pembangunan Kesehatan, Arah Kebijakan dan Strategi
Kementrian Kesehatan ......................................................................

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 8

A. KESIMPULAN ................................................................................................. 8

B. SARAN ..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 9


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tujuan pembangunan kesehatan sebagaimana disebutkan dalam
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan
bahwa “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomis, selanjutnya Pemerintah bertanggung jawab
memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala
bentuk upaya kesehatan”.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan Visi
Pembangunan Kesehatan Tahun 2010-2014 adalah “Masyarakat Sehat
yang Mandiri dan Berkeadilan” dengan salah satu misinya adalah
“Meningkatkan derajat kesehatan melalui pemberdayaan masyarakat
termasuk swasta dan masyarakat madani. Pusat Promosi Kesehatan
sebagai unit kerja di Kelembagaan Kementerian Kesehatan RI, mempunyai
tugas melaksanakan pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan.
Dalam melaksanakan tugas Pusat Promosi Kesehatan menyelenggarakan
fungsi antara lain : menyusun kebijakan teknis, rencana dan program di
bidang pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan; melaksanakan
tugas di bidang pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan;
pembinaan pemberdayaan dan peran serta masyarakat di bidang
kesehatan; mengembangkan metode dan teknologi promosi kesehatan.
Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 13 dan 14 serta Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bahwa penanganan
bidang kesehatan menjadi salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kemudian, dalam rangka penguatan pemerintahan desa,
Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan
Pemerintahan Kabupaten/ Kota kepada Desa dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri 36 Tahun 2007 tentang Pelimpahan Urusan Pemerintahan
Kabupaten/Kota kepada Desa/ Kelurahan. Maka diharapkan
pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan dapat berjalan dengan
baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota terutama di Puskesmas, sebagai
ujung tombak pelaksana pemberdayaan masyarakat dan promosi
kesehatan. Desa dan Kelurahan Siaga Aktif, Rumah Tangga Ber-PHBS,
pengembangan dan pembinaannya juga merupakan salah satu urusan
wajib yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten dan
Pemerintah Kota.
Oleh karena itu diperlukan Fasilitator-Fasilitator Pemberdayaan
Masyarakat di bidang Kesehatan yang memadai dalam kuantitas maupun
kualitasnya agar dapat dicapai target pembangunan kesehatan yang
optimal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari fasilitator?
2. Bagaimana fungsi dan peran dari fasilitator?
3. Apa saja upaya dari fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat?
4. Bagaiman arah pembangunan kesehatan dan strategi dari
pembangunan kesehatan itu sendiri?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari fasilitator
2. Untuk mengetahui sikap dan peran dari fasilitator
3. Untuk mengetahui pemberdayaan masyarakat
4. Untuk mengetahui arah pembangunan kesehatan dan strategi dari
pembangunan kesehatan itu sendiri
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fasilitator


Kata fasilitator berasal dari bahasa latin “fasilis” yang artinya:
mempermudah. Seperti yang disampaikan pada “Pendahuluan, seorang
fasilitator bukanlah penyuluh atau juru penerang yang merupakan petugas
penyampai informasi dari lembaga formal (Pemerintah). Fasilitator adalah orang
yang bertugas mengelola proses dialog. Fasilitator ada untuk mendukung
kegiatan belajar agar peserta bisa mencapai tujuan belajarnya.
Fasilitator mendorong peserta untuk percaya diri dalam menyampaikan
pengalaman dan pikirannya, mengajak peserta dominan untuk mendengarkan.
Fasilitator memperkenalkan teknik-teknik komunikasi untuk mendorong
partisipasi. Fasilitator menggunakan media yang cocok dengan kebutuhan
peserta dan membantu proses belajar/komunikasi menjadi lebih efektif.
Deliveri dalam (Rinawati, 2009 : 35) mengatakan bahwa proses
pemberdayaan masyarakat harusnya juga didampingi oleh suatu fasilitator yang
bersifat multidisiplin. Fasilitator sebagai pendamping ini merupakan salah satu
faktor eksternal dalam kegiatan pemberdayaan. Peran tim pendamping akan
dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh
masyarakat.
Lippit dan Rogers dalam (Theresia, et all,. 2015 ; 174) menyebut
fasilitator sebagai agen perubahan (Change Agent) yaitu seorang yang atas
pemerintah atau lembaga pemberdayaan masyarakat berkewajiban untuk
mempengaruhi proses pengembalian keputusan yang dilakukan oleh calon
penerima manfaat dalam mengadopsi inovasi.
Berdasarkan status dan lembaga tempatnya bekerja, fasilitator
dibedakan dalam beberapa bagian (UU No. 16 Tahun 2006), diantaranya :
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan
status jabatan fungsional sebagai Penyuluh/Fasilitator.
b. Penyuluh/Fasilitator Swasta, yaitu Fasilitator pemberdayaan masyarakat
yang berstatus sebagai kariyawan perusahaan swata. Termasuk dalam
kategori penyuluh swata adalah penyuluh dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
c. Penyuluh/Fasilitator, yaitu fasilitator pemberdayaan masyarakat yang
berasal dari masyarakat yang sukarela tanpa ibalan melakukan kegiatan
pemberdayaan masyarakat dilingkungannya.

2.2 Sikap dan Peran Fasilitator


Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu
proses yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah atau suatu
lembaga pemberdayaan masyarakat agar masyarakat selalu tahu, mau dan
mampu mengadopsi inovasi demi tercapainya peningkatan produktivitas guna
memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat akan membutuhkan
tenaga-tenaga fasilitator yang handal agar dapat melaksanakan kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang direncanakan. Secara konvensional, peran
fasilitator hanya dibatasi pada kewajibannya untuk menyampaikan inovasi dan
atau mempengaruhi penerima manfaat pemberdayaan melalui metoda dan
teknikteknik tertentu sampai penerima manfaat itu dengan kesadaran dan
kemampuannya sendiri mengadopsi inovasi yang disampaikan.
Tetapi, dalam perkembangannya, peran fasilitator tidak hanya terbatas
pada fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh penerima manfaatnya, tetapi juga harus mampu
menjadi jembatan penghubung antara pemerintah atau lembaga pemberdayaan
masyarakat yang diwakili dengan masyarakatnya, baik dalam hal menyampaikan
inovasi atau kebijakankebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh
masyarakat, maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan
masyarakat kepada pemerintah/lembaga pemberdayaan yang bersangkutan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan dapat diartikan
sebagai suatu proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau
kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut berubah
dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek pengetahuan atau knowledge),
dari tahu menjadi mau (aspek sikap atau attitude), dan dari mau menjadi mampu
melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek tindakan atau practice) oleh
Fasilitator baik pemerintah atau dari suatu lembaga pemberdayaan.
Fasilitator bekerja dengan mengaplikasikan keahlian dan metode spesifik
yang digabungkan dengan perhatian cermat dan kepekaan terhadap orang serta
proses yang berlangsung. Cara kerja fasilitator akan mendorong masyarakat
untuk mencapai kinerja terbaiknya. Fasilitator harus memiliki kemampuan
meramu teknologi pengelolaan masyarakat, gaya pribadi yang khas, serta
kreativitas dan energi agar dapat mengantarkan masyarakat untuk beroperasi
dan berkreasi secara maksimal.
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat di bidang Kesehatan
mempunyai peran :
1. Sebagai Katalisator (Catalyst) Fasilitator hendaknya dapat menjadi media
yang subur bagi tumbuh kembang individu yang sedang dibimbingnya
untuk mencapai harapan (pengetahuan/kemampuan) untuk melaksanakan
tupoksinya. Hal ini dapat dimungkinkan jika fasilitator yang bersangkutan
menguasai isi materi yang difasilitasinya dengan menggunakan model-
model fasilitasi yang sesuai, sehingga akan menimbulkan sikap positif bagi
pihak yang difasilitasinya.
2. Sebagai Pemberi Bantuan dalam Proses (Process Helper) 73 Peran dan
fungsi fasilitator pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan Fasilitator
hendaknya dapat membantu saat pihak yang difasilitasi mengalami
kesulitan dalam proses penyelesaian tugas. Perbantuan diberikan terutama
pada individu yang mengalami kesulitan dalam proses mengaplikasikan
materi atau juklak/juknis yang telah diterimanya berkaitan dengan
pelaksanaan tupoksinya.
3. Sebagai Penghubung dengan Sumber Daya (Resource Linker) Fasilitator
yang baik hendaknya dapat membantu pihak yang dibimbing untuk
dihubungkan dengan sumber-sumber yang tepat manakali yang
bersangkutan mengalami kesulitan/keterbatasan sumber daya saat
melaksanakan tupoksinya. Bentuk dari peran ini diantaranya fasilitator
harus mampu berkomunikasi secara efektif dalam advokasi. Advokasi yang
dilakukan dalam rangka menghubungkan provider dengan pihak pemangku
kepentingan (stakeholder) untuk memperoleh dukungan sumber daya yang
dibutuhkan.
4. Sebagai Pemberi Solusi (Solution Giver) Fasilitator jika diperlukan harus
memberikan solusi, manakala pihak yang dibimbingnya menemukan
kendala dalam pelaksanaan tupoksinya. Walaupun demikian solusi yang
disodorkan hendaknya berupa alternatif-alternatif yang dihasilkan
berdasarkan kesepakatan bersama.
5. Sebagai Pemantau dan Evaluator Fasilitator harus melakukan kegiatan
pemantauan dan evaluator dengan melakukan pembinaan monitoring dan
evaluasi secara berkala dan berkesinambungan.

Dalam menjalankan perannya, fasilitator pemberdayaan masyarakat


bidang kesehatan berfungsi sebagai berikut :
1. Melakukan pembinaan Bila kegiatan masyarakat dalam bidang kesehatan
sudah berjalan maka secara berkala dapat dilaksanakan telaah wawas diri
oleh tokoh masyarakat bersama kader. Kegiatan pembinaan dilakukan
dengan mengkaji berfungsinya kepemimpinan, berfungsinya
pengorganisasian dan berfungsinya pendanaan masyarakat dalam
masyarakat dalam upaya kesehatan. Dengan telaah wawas diri ini, dapat
ditemukan kelemahan dan kekuatan upaya masyarakat tersebut, sehingga
dapat dilakukan peningkatan kegiatan-kegiatannya. Pembinaan merupakan
langkah untuk memelihara kelancaran dan kelestarian kegiatan program
kesehatan.
Tujuan pembinaan adalah : (1) Terpeliharanya kelancaran
pelaksanaan kegiatan oleh masyarakat; (2) Meningkatnya hasil kegiatan
oleh masyarakat; (3) Dikenalnya masalah oleh masyarakat sendiri. Tempat,
waktu dan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan pembinaan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan setempat.
2. Melakukan advokasi Advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi
kebijakan publik melaui macam-macam bentuk komunikasi persuasif.
Advokasi kesehatan juga dapat diartikan suatu rangkaian komunikasi
strategis yang dirancang secara sistimatis dan dilaksanakan daklam kurun
waktu tertentu, baik oleh individu maupun kelompok agar pembuat
keputusan membuat suatu kebijakan publik yang menguntungkan
masyarakat. Sebagai fasilitator tentunya harus dapat membantu provider
dilapangan 75 Peran dan fungsi fasilitator pemberdayaan masyarakat
dibidang kesehatan untuk melakukan advokasi sehingga mendapatkan
komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders).
3. Melakukan Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan (monitoring) adalah
mengumpulkan informasi untuk kebutuhan operasional manajemen, dan
untuk selanjutnya hasil pekerjaan monitoring dipakai sebagai dasar dasar
evaluasi. Oleh karena itu pekerjaan monitoring dan evaluasi saling
berhubungan satu sama lain. Evaluasi atau penilaian berarti suatu tindakan
untuk menentukan nilai sesuatu. Dalam arti luas, evaluasi adalah suatu
proses dalam merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi
yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.
Sebagai fasilitator tentunya mempunyai kewajiban untuk melakukan
kegiatan pemantauan dan evaluasi, sehingga selama kurun waktu tertentu
dapat diketahui hambatan-hambatan yang terjadi serta pencapaian yang
telah dihasilkan.
4. Menggalang Komunikasi Komunikasi merupakan proses penyampaian
pesan, pendapat, perasaan atau berita kepada orang lain. Komunikasi
dapat pula diartikan sebagai proses pertukaran pendapat, pemikiran atau
informasi melaui ucapan, tulisan maupun tanda-tanda. Dengan demikian
maka komunikasi dapat mencakup segala bentuk interaksi dengan orang
lain yang berupa percakapan biasa, melakukan kemitraan dengan pihak
terkait (stakeholder) maupun advokasi. Sebagai fasilitator harus dapat
menggalang komunikasi dengan berbagai pihak dan lapisan masyarakat,
baik lintas program maupun lintas sektor, baik secara formal maupun
informal. 76 Peran dan fungsi fasilitator pemberdayaan masyarakat
dibidang kesehatan
5. Memberi Kesempatan Konsultasi Konsultasi merupakan media berbagi
yang sangat berguna, dengan memberikan kesempatan konsultasi
fasilitator dapat memberikan masukan sesuai dengan peran dan fungsinya.
Bila terjadi masalah yang sangat spesifik yang dialami provider di
lapangan, fasilitator dapat memberikan saran, pembinaan, dan sebagainya

2.3 Fasilitas Pengembangan Desa


Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif merupakan revitalisasi
dari Desa Siaga, telah dimulai sejak tahun 2006 yang merupakan bentuk dari
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Oleh karena itu para Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan perlu mendapatkan
pemahaman mengenai pendekatan pengembangan desa dan kelurahan siaga
aktif, dapat melakukan kegiatan persiapan maupun melakukan langkah-langkah
siklus pemecahan masalah kesehatan dan mempunyai pengertian yang baik
tentang pentahapan pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif, sebagai
capaian penyelenggaraan pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif.
Dapat menghantarkan para Fasilitator mampu memfasilitasi
Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif di daerah masing-masing.
1. Pendekatan dan pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif
Desa dan Keluarga Siaga Aktif merupakan revitalisasi Desa Siaga
yang telah dimulai sejak tahun 2006 dan pada tahun 2009 telah mencapai
Desa dan Kelurahan Siaga sejumlah 42.295 (56,1% dari 75.410 desa dan
kelurahan). Namun demikian, belum semua Desa dan Kelurahan Siaga
mencapai kondisi Desa dan Keluarga Siaga Aktif. Upaya revitalisasi ini
guna mengakselerasi pencapaian target Desa atau Kelurahan Siaga Aktif
80 % pada tahun 2015.
Pengertian Desa Dan Kelurahan Siaga Aktif Desa dan Keluarga
Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan dari Desa Siaga yang telah
dimulai sejak tahun 2006. Desa atau Kelurahan Siaga Aktif adalah desa
atau yang disebut dengan nama lain kelurahan yang :
a. Penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan
kesehatan dasar yang memberikan pelayanan setiap hari melalui
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), atau Pos Kesehatan yang ada di
wilayah tersebut seperti, Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu
(Pustu), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), atau
pelayanan kesehatan dasar lainnya.
b. Penduduknya mengembangkan UKBM dan melaksanakan
surveilans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan penyakit,
kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan
kesehatan, dan penanggulangan bencana, serta penyehatan
lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan PHBS.
Komponen Desa Dan Kelurahan Siaga Aktif Desa dan Kelurahan
Siaga Aktif memiliki komponen :
1) Pelayanan Kesehatan Dasar. Yang dimaksud pelayanan
kesehatan dasar adalah pelayanan primer, sesuai dengan
kewenangan tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan
kesehatan dasar berupa: (1) Pelayanan kesehatan untuk ibu
hamil, (2) Pelayanan kesehatan untuk ibu menyusui, (3)
Pelayanan kesehatan untuk anak, serta (4) Penemuan dan
penanganan penderita penyakit.
2) Pemberdayaan Masyarakat melalui pengembangan UKBM.
Pemberdayaan masyarakat difokuskan kepada upaya
surveilans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan, dan
penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan.
3) PHBS. Masyarakat di Desa dan Kelurahan Siaga Aktif wajib
melaksanakan PHBS. PHBS adalah sekumpulan perilaku
yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil
pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, atau
masyarakat mampu 85 Fasilitasi pengembangan desa dan
kelurahan siaga aktif menolong dirinya sendiri (mandiri)
dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan
kesehatan masyarakat.
Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga aktif dilaksanakan melalui
pemberdayaan masyarakat, yaitu upaya memfasilitasi proses belajar masyarakat
desa dan kelurahan dalam memecahkan masalah-masalah kesehatannya. Oleh
karena merupakan upaya pembangunan desa dan kelurahan, maka program ini
memerlukan peran aktif dari berbagai pihak mulai dari pusat, provinsi, kabupaten,
kota, kecamatan, sampai ke desa dan kelurahan.

Pendekatan Pengembangan Desa Dan Kelurahan Siaga Aktif


1. Urusan Wajib Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota Bidang
kesehatan yang berskala kabupaten dan kota merupakan salah satu
urusan wajib untuk daerah kabupaten dan kota. Berkaitan dengan hal
tersebut. Menteri Kesehatan telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan di kabupaten dan kota sebagai tolak ukur kinerja
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan daerah kabupaten dan kota.
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan (SPM Kesehatan) tersebut
berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang meliputi jenis pelayanan
beserta indikator kinerja dan targetnya untuk tahun 2010 - 2015. Salah satu
target dalam SPM Kesehatan tersebut adalah cakupan Desa (dan
Kelurahan) Siaga Aktif yang harus tercapai sebesar 80% pada tahun 2015.
Dengan demikian, jajaran kesehatan di kabupaten dan kota mulai dari
dinas kesehatan, Puskesmas sampai ke rumah sakit wajib memberikan
fasilitasi dan rujukan, serta dukungan dana dan sarana bagi
pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Pengembangan Desa
dan Kelurahan Siaga Aktif pada hakikatnya merupakan bagian dari urusan
pemerintahan yang menjadi kewajiban dan kewenangan kabupaten dan
kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa dan kelurahan, dan
menjadi tanggung 86 Fasilitasi pengembangan desa dan kelurahan siaga
aktif jawab Pemerintahan Desa dan Pemerintahan Kelurahan.
Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif harus tercakup dalam
rencana pembangunan desa, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMD) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP
Desa). Mekanisme perencanaan dan penganggarannya dibahas melalui
forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Sedangkan kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembangan Kelurahan
Siaga Aktif diusulkan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Kota.
2. Dukungan Kebijakan di Tingkat Desa dan Kelurahan Pada tingkat
pelaksanaan di desa, pengembangan Desa Siaga Aktif harus dilandasi
minimal oleh Peraturan Kepala Desa yang tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada tingkat
pelaksanaan di kelurahan, pengembangan Kelurahan Siaga Aktif mengacu
kepada kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh Bupati atau
Walikota.
3. Integrasi dengan Program Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan
Desa dan Kelurahan Siaga Aktif merupakan program pemberdayaan
masyarakat, sehingga dalam pelaksanaan kegiatannya terintegrasi dengan
program-program pemberdayaan masyarakat lain, baik yang bersifat
nasional, sektoral maupun daerah. Salah satu contohnya adalah Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Integrasi
pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif ke dalam PNPM Mandiri
merupakan sesuatu yang sangat penting,karena tujuan dari PNPM Mandiri
memang sejalan dengan tujuan dari pengembangan Desa dan Kelurahan
Siaga Aktif. Pada tingkat pelaksanaannya pengembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif dapat bersinergi dengan program PNPM Mandiri
yang ada untuk kegiatan-kegiatan di bidang kesehatan masyarakat.
Persiapan Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
Dalam rangka persiapan untuk pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif perlu dilakukan sejumlah kegiatan yang meliputi : pelatihan fasilitator,
pelatihan petugas kesehatan, analisis situasi perkembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif, penetapan Kader Pemberdayaan Masyarakat, serta
pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan lembaga kemasyarakatan.
1. Pelatihan Fasilitator
a. Dalam rangka pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
diperlukan adanya fasilitator di kabupaten dan kota. Fasilitator
Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah Petugas
Promosi Kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten atau Dinas
Kesehatan Kota yang ditunjuk/ditugasi dan tenaga lain dari program
pemberdayaan masyarakat (seperti PNPM Mandiri), LSM, dunia
usaha, atau pihak-pihak lain.
b. Pelatihan Fasilitator diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi
dengan materi pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat
dalam pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.
2. Pelatihan Petugas Kesehatan
a. Petugas kesehatan di kabupaten, kota dan kecamatan adalah
pembina teknis terhadap kegiatan UKBM-UKBM di desa dan
kelurahan. Oleh sebab itu, kepada mereka harus diberikan pula bekal
yang cukup tentang pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.
b. Pelatihan bagi mereka dibedakan ke dalam 2 (dua) kategori
berdasarkan kualitas pesertanya, yaitu (1) Pelatihan Manajemen, dan
(2) Pelatihan Pelaksanaan.
c. Pelatihan Manajemen diikuti oleh para Kepala Puskesmas dan
pejabat pengelola program-program kesehatan di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Materi pelatihan ini lebih ditekankan kepada konsep
dan aspek-aspek manajerial dari pengembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif. 88 Fasilitasi pengembangan desa dan
kelurahan siaga aktif
d. Pelatihan Pelaksanaan diikuti oleh para petugas yang diserahi
tanggung jawab membina Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (satu
orang untuk masing-masing Puskesmas) dan para petugas
kesehatan membantu pelaksanaan UKBM di desa atau kelurahan
(misalnya bidan di desa). Materi pelatihan ini selain mencakup proses
pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif, lebih ditekankan
kepada teknis pelayanan di Desa dan Kelurahan Siaga Aktif, dan
promosi kesehatan
e. Pelatihan bagi petugas kesehatan diselenggarakan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dengan mengacu kepada petunjuk teknis yang
dibuat oleh Kementerian Kesehatan.
3. Analisis Situasi Perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
a. Analisis situasi perkembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
dilaksanakan oleh Fasilitator dengan dibantu pihak-pihak lain terkait.
b. Pelaksanaannya mengacu kepada petunjuk teknis yang dibuat oleh
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan, yang
mengarah kepada evaluasi dan inventarisasi terhadap desa-desa dan
kelurahan-kelurahan dalam kaitannya dengan pengembangan Desa
dan Kelurahan Siaga Aktif.
c. Hasil evaluasi dan inventarisasi berupa daftar desa dan kelurahan
yang dikelompokkan ke dalam kategori : (1) Desa dan Kelurahan
yang belum digarap, (2) Desa dan Kelurahan Siaga Aktif Pratama, (3)
Desa dan Kelurahan Siaga Aktif Madya, (4) Desa dan Kelurahan
Siaga Aktif Purnama, dan (5) Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
Mandiri.
d. Daftar desa dan kelurahan hasil evaluasi dan inventarisasi dilaporkan
kepada Bupati atau Walikota dengan tembusan kepada : (1)
Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif Tingkat Kabupaten/Kota, (2) Pokjanal Tingkat Provinsi, dan (3)
Pokjanal Tingkat Pusat.
4. Penetapan Kader Pemberdayaan Masyarakat
a. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) adalah anggota masyarakat
desa atau kelurahan yang memiliki pengetahuan, 89 Fasilitasi
pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif kemauan dan
kemampuan untuk menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam
pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif di desa
dan kelurahan.
b. KPM merupakan tenaga penggerak di desa atau kelurahan yang
akan diserahi tugas pendampingan di desa atau kelurahan dalam
rangka pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.
5. Pelatihan KPM dan Lembaga Kemasyarakatan
a. Di kabupaten atau kota yang belum menyelenggarakan Pelatihan
Pemberdayaan Masyarakat atau masih ada Pelatihan Pemberdayaan
Masyarakat yang belum diselenggarakan, di dalam kurikulum
pelatihannya diintegrasikan materi tentang Pengembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif. Dengan demikian, sekaligus para peserta
pelatihan, termasuk KPM dan lembaga kemasyarakatan, selanjutnya
dapat berperan dalam pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif.
b. Untuk kabupaten atau kota yang telah menyelenggarakan Pelatihan
Pemberdayaan Masyarakat atau telah memiliki KPM, untuk para
KPM dan lembaga kemasyarakatan perlu diselenggarakan pelatihan
khusus tentang Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.
c. Materi dan metode penyelenggaraan pelatihan Pengembangan Desa
dan Kelurahan Siaga Aktif untuk KPM atau yang diintegrasikan ke
dalam Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat, mengacu kepada
petunjuk teknis dari Kementerian Kesehatan.
d. Dalam pelatihan, tugas dari Fasilitator adalah membantu Panitia
Pelatihan untuk menyusun jadwal pelatihan dan mencarikan
narasumber yang sesuai.

2.4 Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan
membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau
kemampuan bertindak yang berupa akal, ikhtiar atau upaya. Masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama. Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas,
pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan
kekuasaan agar suara mereka didengar guna memberikan kontribusi kepada
perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi komunitasnya. Pemberdayaan
adalah proses transisi dari keadaan ketidakberdayaan ke keadaan kontrol relatif
atas kehidupan seseorang, takdir, dan lingkungan.
Menurut Mubarak, pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai
upaya untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan suatu komunitas untuk
mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam
melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya selaku anggota masyarakat.
Pada pemberdayaan pendekatan proses lebih memungkinkan pelaksanaan
pembangunan yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan ini pelibatan
masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk partisipasi,
bukan dalam bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam perumusan
program membuat masyarakat Pemberdayaan Masyarakat
1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu
yang dipahami. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran
mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau symbol. Secara
konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal
dari kata power yang berarti kekuasaan atau keberdayaan. Konsep
pemberdayaan berawal dari penguatan modal sosial di masyarakat
(kelompok) yang meliputi Kepercayaan (trusts), Patuh Aturan (role), dan
Jaringan (networking). Apabila kita sudah memiliki modal social yang kuat
maka kita akan mudah mengarahkan dan mengatur (direct) masyarakat
serta mudah mentransfer knowledge kepada masyarakat. Dengan memiliki
modal social yang kuat maka kita akan dapat menguatkan Knowledge,
modal (money), dan people. Konsep ini mengandung arti bahwa konsep
pemberdayaan masyarakat adalah transfer kekuasaan melalui penguatan
modal social kelompok untuk menjadikan kelompok produktif untuk
mencapai kesejahteraan sosial. Modal sosial yang kuat akan menjamin
suistainable didalam membangun rasa kepercayaan di dalam masyarakat
khususnya anggota kelompok (how to build the trust).
Shucksmith, (2013) menyatakan pendekatan bottom-up untuk
pembangunan pedesaan (‘didorong dari dalam’, atau kadang-kadang
disebut endogen) berdasarkan pada asumsi bahwa sumber daya spesifik
daerah-alam, manusia dan budaya memegang kunci untuk
perkembangannya. Sedangkan pembangunan pedesaan top-down melihat
tantangan utamanya sebagai mengatasi perbedaan pedesaan dan
kekhasan melalui promosi keterampilan teknis universal dan modernisasi
infrastruktur fisik, bawah ke atas. Pengembangan melihat tantangan utama
sebagai memanfaatkan selisih melalui memelihara khas lokal kapasitas
manusia dan lingkungan itu. Model bottom-up terutama menyangkut
mobilisasi sumber daya lokal dan aset.
Artinya, masyarakat pembangunan harus dianggap bukan sebagai
teori pembangunan, tetapi praktek pembangunan yang menekankan
emansipasi dari lembaga yang tidak pantas dan setiap melemahkan situasi
yang mengarah pada perias partisipasi, pengembangan masyarakat harus
menjadi mekanisme untuk menarik kekuatan kolektif anggota masyarakat
tertentu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, mampu
dan cacat, dan lain-lain untuk mengubah di wilayah mereka.
Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan
belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan
masyarakat dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan adalah sebuah
proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah
dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah
kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan
atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik
yang bersifat fisik, ekonomi maupun social seperti memiliki kepercayaan
diri mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya
2. Teori Pemberdayaan Masyarakat
a. Teori Ketergantungan Kekuasaan (Power-Dependency)
Power merupakan kunci konsep untuk memahami proses
pemberdayaan. Pemikiran modern tentang kekuasaan dimulai dalam
tulisan-tulisan dari Nicollo Machiavelli (The Prince , awal abad ke-16)
dan Thomas Hobbes (Leviathan abad, pertengahan-17). Tujuan dari
kekuasaan adalah untuk mencegah kelompok dari berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan dan juga untuk memperoleh
persetujuan pasif kelompok ini untuk situasi ini. Power merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan adalah
fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu
menjadi bagian dari Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan pada tingkat interaksi
mikro.
b. Teori Sistem (The Social System)
Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang
perubahan. Seperti para pendahulunya, Komponen utama pemikiran
Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi
bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang
berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna
fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat
berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan
kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan
hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang
memandang optimis sebuah proses perubahan.
c. Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)
Organisasi merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan
kita, karena kita adalah makhluk sosial. Kita hidup di dunia tidaklah
sendirian, melainkan sebagai manifestasi Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan makhluk sosial, kita hidup berkelompok,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Struktur organisasi
merupakan kerangka antar hubungan satuan-satuan organisasi yang
didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-
masing mempunyai peranan tertentu. Struktur organisasi akan
tampak lebih tegas apabila dituangkan dalam bentuk bagan
organisasi.
d. Teori Konflik Konflik
Akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua
level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak
bersinggungan dan sering malahirkan konflik. Belajar dari konflik yang
kemudian disadari menghasilkan kerugian para pihak akan
memunculkan inisiatif meminimalisir kerugian itu. Caranya adalah
mengupayakan damai untuk kembali hidup bersama. Dalam konteks
demikian, konflik didefinisikan bukan dari aspek para pelaku konflik,
tetapi merupakan sesuatu yang givendalam interaksi sosial. Malahan
konflik menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkan dinamika
dalam masyarakat. Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk
menjelaskan konflik. Sebagai kenyataan sosial. Diantaranya
pendekatan ketimpangan dalam dunia ekonomi yang menjelaskan
bahwa munculnya konflik dikarenakan ketidakseimbangan antara
permintaan dan ketersediaan yang menciptakan kelangkaan.
Sementara disisi lain, individu bersifat individualis, mementingkan diri
sendiri untuk mendapatkan surplus yang ada. Adanya kesamaan
antara individu membuka peluang terjadinya perebutan pada satu
komoditi dan sebaliknya juga membuka kerjasama di antara para
pelaku.

e. Teori Mobilisasi Sumberdaya


Jasper, (2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu
dan interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan pilihan
rasional (rational choice) menyadari akan hal ini, tetapi versi mereka
memperhitungkan individu sebagai yang abstrak untuk menjadi
realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang terkait dengan berbagai
tradisi yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu
(individual action) dan aksiaksi kolektif (collective action) sejak tahun
1960-an, yakni penelitian tentang perlawanan (social resistence),
gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective
behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar
tersebut. Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan
Marxisme, terutama sosiologi makro versi Amerika yang menekankan
teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan
interaksi dengan Negara.
f. Teori Constructivist
Glasersfeld (1987) menyatakan konstruktivisme sebagai “teori
pengetahuan dengan akar dalam filosofi, psikologi dan cybernetics”.
Von Glaserfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu
membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai
sesuatu hal yang dengan aktif menerima apapun melalui pikiran sehat
atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktif terutama dengan
membangun pengetahuan. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan
sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk
menemukan suatu tujuan kenyataan. Konstruktivisme pada dasarnya
adalah pandangan yang didasarkan pada aktivitas siswa dengan
untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan mereorganisasikan
pengetahuan dengan jalan individual.
Pada proses pemberdayaan masyarakat pendekatan teori belajar secara
konstructivisme perlu ditanamkan dan diupayakan agar masyarakat mampu
menkonstruksi pemahaman untuk berubah. Pemberdayaan masyarakat
hendaknya tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah melekat di masyarakat
selam nilai tersebut baik dan benar. Nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, gotong-
royong, kejujuran, kerja keras harus di bangun dan di konstruksikan sendiri oleh
masyarakat untuk menciptakan perubahan agar lebih berdaya. Keterkaitan
dengan konsep pemberdayaan maka aspek ilmu (knowledge) yang ada di dalam
masyarakat perlu dibangun dengan kuat dan di kontruksikan di dalam
masyarakat itu sendiri.

2.5 Pembangunan Kesehatan, Arah Kebijakan dan Strategi Kementrian


Kesehatan
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025
menetapkan bahwa Pembangunan Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dapat terwujud.
Selanjutnya, dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-
2014 yang tertuang 31 Kebijakan dan strategi promosi kesehatan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : HK.03.01/160/1/2010
telah ditetapkan bahwa Visi Kementerian Kesehatan adalah ”Masyarakat Sehat
Yang Mandiri dan Berkeadilan”. Masyarakat sehat yang mandiri adalah suatu
kondisi dimana masyarakat Indonesia menyadari, mau dan mampu mengenali,
mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga
dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit
termasuk gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku
yang tidak mendukung untuk hidup sehat, dengan menggunakan potensi yang
dimilikinya.
Untuk mencapai visi tersebut ditetapkan Misi Kementerian Kesehatan
adalah
1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat termasuk swasta dan masyarakat madani;
2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya
kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan;
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan;
4. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Dalam mencapai Misi
tersebut ada lima strategi yang telah ditetapkan, salah satunya adalah
pemberdayaan masyarakat dan daerah. Peran masyarakat dalam
pembangunan kesehatan semakin penting. Tantangan dan permasalahan
pembangunan kesehatan makin bertambah berat, kompleks dan bahkan
terjadi secara tidak terduga, karena Indonesia merupakan negara yang
daerahnya rawan bencana.
Upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat tidak akan tercapai
apabila tidak mengikut sertakan peran masyarakat dalam pembangunan
kesehatan. Masyarakat tidak lagi sebagai obyek melainkan sebagai subyek
dalam pembanguan kesehatan, seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-
undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Masalah kesehatan perlu
diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Selain itu banyak permasalahan
kesehatan yang wewenang dan tanggung jawabnya berada di luar sektor
kesehatan.
Kebijakan dan strategi promosi kesehatan Penyelenggaraan
pemberdayaan masyarakat meliputi :
1. Penggerakkan masyarakat; masyarakat mempunyai peluang yang
sebesar-besarnya untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan
kesehatan,
2. Pengorganisasian dalam pemberdayaan; diupayakan agar peran
organisasi masyarakat lokal makin berfungsi dalam pembangunan
kesehatan,
3. Advokasi; masyarakat memperjuangkan kepentingannya di bidang
kesehatan,
4. Kemitraan; dalam pemberdayaan masyarakat penting untuk meningkatkan
kemitraan dan partisipasi lintas sektor terkait, swasta, dunia usaha dan
pemangku kepentingan,
5. Sumber daya; diperlukan sumber daya yang memadai seperti Sumber
Daya Manusia (SDM), informasi dan dana. Mengapa pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan kesehatan sangat penting ?
a. Ketentuan ini tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
b. Dari hasil kajian ternyata 70% sumber daya pembangunan nasional
berasal kontribusi/partisipasi masyarakat;
c. Pemberdayaan masyarakat/partisipasi masyarakat berazaskan gotong
royong, merupakan budaya masyarakat Indonesia yang perlu
dilestarikan;
d. Perilaku masyarakat merupakan faktor penyebab utama, terjadinya
permasalahan kesehatan, oleh sebab itu masyarakat sendirilah yang
dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan pendampingan/
bimbingan pemerintah;
e. Pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya dalam mengatasi
permasalahan kesehatan yang semakin kompleks di masyarakat,
sedangkan masyarakat mempunyai potensi yang cukup besar untuk
dapat dimobilisasi dalam upaya pencegahan di wilayahnya;
f. Potensi yang dimiliki masyarakat diantaranya meliputi community
leadership, community organization, community financing, community
material, community knowledge, community technology, community
decision making process, dalam upaya peningkatan kesehatan,
potensi tersebut perlu dioptimalkan.
g. Upaya pencegahan lebih efektif dan efisien dibanding upaya
pengobatan, dan masyarakat juga mempunyai kemampuan untuk
melakukan upaya pencegahan apabila dilakukan upaya
pemberdayaan masyarakat terutama untuk ber-perilaku hidup bersih
dan sehat.

2.6 Strategi Promosi Kesehatan


Strategi promosi kesehatan yang dilaksanakan harus paripurna, yakni
terdiri dari Pemberdayaan, yang didukung oleh Bina suasana, dan Advokasi,
serta dilandasi oleh semangat Kemitraan. Pemberdayaan adalah pemberian
informasi dan pendampingan dalam mencegah dan menanggulangi masalah
kesehatan, guna membantu individu, keluarga atau kelompok-kelompok
masyarakat menjalani tahap-tahap tahu, mau, dan mampu mempraktikkan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Bina suasana adalah pembentukan
suasana lingkungan sosial yang kondusif dan mendorong dipraktikkannya PHBS
serta penciptaan panutan-panutan dalam mengadopsi PHBS dan
melestarikannya. Sedangkan advokasi adalah pendekatan dan motivasi terhadap
pihak-pihak tertentu yang diperhitungkan dapat mendukung keberhasilan
pembinaan PHBS baik dari segi materi maupun non materi.

1. Pemberdayaan Dalam upaya promosi kesehatan


Pemberdayaan merupakan bagian yang sangat penting, dan bahkan dapat
dikatakan sebagai ujung tombak. Sejak dari Piagam Ottawa, yang mengubah
istilah pendidikan kesehatan menjadi promosi kesehatan, pemberdayaan sudah
dijadikan salah satu strategi dari promosi kesehatan. Selanjutnya dalam
komitmen global yang dicapai di setiap Konferensi Internasional Promosi
Kesehatan, pemberdayaan tidak pernah dilupakan. Dalam konferensi
internasional yang diselenggarakan di Jakarta misalnya, yang melahirkan
Deklarasi Jakarta, disebutkan bahwa salah satu prioritas bagi promosi kesehatan
di abad ke-21 adalah “Meningkatkan kemampuan masyarakat dan
memberdayakan individu-individu.” Sedangkan dalam konferensi internasional
terakhir yang diselenggarakan di Nairobi, Kenya, pemberdayaan masyarakat
dinyatakan sebagai salah satu tindakan (action) yang harus segera dilaksanakan.
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga
atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan. Kebijakan
dan strategi promosi kesehatan mengikuti perkembangan klien, serta proses
membantu klien, agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau
sadar (aspek pengetahuan atau knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek sikap
atau attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek tindakan atau practice).
Oleh sebab itu, sesuai dengan sasaran (klien)nya dapat dibedakan adanya
a) Pemberdayaan individu,
b) Pemberdayaan keluarga, dan
(c) Pemberdayaan kelompok/masyarakat.
2. Bina Suasana
Bina Suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan.
Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan
sosial di mana pun berada (keluarga di rumah, organisasi siswa/mahasiswa,
serikat pekerja/karyawan, orang-orang yang menjadi panutan/idola, kelompok
arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) menyetujui
atau mendukung perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk memperkuat proses
pemberdayaan, khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase
tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana.

3. Advokasi
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait
(stakeholders). Pihak-pihak yang terkait ini berupa tokoh-tokoh masyarakat
(formal dan informal) yang umumnya berperan sebagai narasumber (opinion
leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang dana. Juga berupa
kelompok-kelompok dalam masyarakat dan media massa yang dapat berperan
dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik, dan dorongan (pressure) bagi
terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi merupakan upaya untuk menyukseskan
bina suasana, pemberdayaan, dan bahkan proses pembinaan PHBS secara
keseluruhan. Sebagaimana pemberdayaan dan bina suasana, advokasi juga
akan lebih efektif bila dilaksanakan dengan prinsip kemitraan. Yaitu dengan
Kebijakan dan strategi promosi kesehatan membentuk jejaring advokasi atau
forum kerjasama. Dengan kerjasama, melalui pembagian tugas dan saling-
dukung, maka sasaran advokasi akan dapat diarahkan untuk sampai kepada
tujuan yang diharapkan. Sebagai konsekuensinya, metode dan media advokasi
pun harus ditentukan secara cermat, sehingga kerjasama dapat berjalan baik.

4. Kemitraan
Kemitraan harus digalang baik dalam rangka pemberdayaan maupun bina
suasana dan advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan
dukungan. Dengan demikian kemitraan perlu digalang antar individu, keluarga,
pejabat atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas
sektor), pemuka atau tokoh masyarakat, media massa, dan lain-lain. Kemitraan
yang digalang itu harus berlandaskan kepada tiga prinsip dasar, yaitu
a. Kesetaraan,
b. Keterbukaan, dan
c. Saling menguntungkan.
Berdasar strategi dasar tersebut dikembangkan strategi umum pemberdayaan
masyarakat dan promosi kesehatan tahun 2010-2014, sebagai berikut :
a. Memperkuat, kelembagaan dan penganggaran serta sarana
promosi kesehatan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota;
b. Mengupayakan terbitnya kebijakan publik berwawasan
kesehatan;
c. Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan komitmen politis disemua
tingkatan;
d. Meningkatkan akses informasi dan edukasi tentang kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab;
e. Meningkatkan kemitraan dengan lintas sektor terkait, swasta,
dunia usaha, dan LSM;
f. Menumbuhkan partisipasi dan peran individu, keluarga, dan
masyarakat dalam upaya kesehatan;
g. Menyelaraskan upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat pada setiap upaya pencegahan penyakit,
peningkatan KIA dan Gizi, peningkatan akses ke pelayanan
kesehatan;
h. Melakukan riset dan pengembangan upaya promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat;
i. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi untuk kemajuan upaya
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan status dan lembaga tempatnya bekerja, fasilitator
dibedakan dalam beberapa bagian (UU No. 16 Tahun 2006), diantaranya :
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pegawai negeri yang ditetapkan
dengan status jabatan fungsional sebagai Penyuluh/Fasilitator.
b. Penyuluh/Fasilitator Swasta, yaitu Fasilitator pemberdayaan
masyarakat yang berstatus sebagai kariyawan perusahaan swata.
Termasuk dalam kategori penyuluh swata adalah penyuluh dari
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
c. Penyuluh/Fasilitator, yaitu fasilitator pemberdayaan masyarakat yang
berasal dari masyarakat yang sukarela tanpa ibalan melakukan
kegiatan pemberdayaan masyarakat dilingkungannya.
Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan
belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan
masyarakat dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan adalah sebuah
proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah
dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah
kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan
atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik
yang bersifat fisik, ekonomi maupun social seperti memiliki kepercayaan
diri mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya
Upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat tidak akan tercapai
apabila tidak mengikut sertakan peran masyarakat dalam pembangunan
kesehatan. Masyarakat tidak lagi sebagai obyek melainkan sebagai subyek
dalam pembanguan kesehatan, seperti yang telah diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Masalah
kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Selain itu
banyak permasalahan kesehatan yang wewenang dan tanggung jawabnya
berada di luar sektor kesehatan.

3.2 Saran
1. Bagi Fasilitator : Agar dapat meningkatkan kapasitas dampingan terkait
serta memastikan keterlibatan para pihak dan memberikan
pemahaman terkait dengan konservasi dan peran serta masyarakat
dalam pembangunan kesehatan.
2. Bagi Masyarakat : Agar dapat berpartisipasi dalam mendukung
program-program kesehatan dalam system pemberdayaan masyarakat.
3. Bagi Pembaca : Diharapkan agar makalah ini dapat menambah
wawasan tentang Fasilitator itu sendiri dan lebih khusus yang di
aplikasikan dalam bidang kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Hartono. B, Materi Peningkatan Kompetensi Petugas Pusat Promosi


Kesehatan, Strategi Promosi Kesehatan dalam Meningkatkan Kesehatan
Masyarakat, Jakarta, 2011
Kementerian Kesehatan RI, Renstra 2010-2014, Jakarta, 2010
Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Umum Pengembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif, Jakarta, 2010
Kementerian Kesehatan RI, Second Decentralized Health Services
Project, Modul Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat Bagi Petugas Puskesmas,
Jakarta, 2010
Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Umum Pengembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif, 2011
Husaini, Lenie Marlinae. 2016. Buku Ajar Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan. Banjarbaru

Anda mungkin juga menyukai