Anda di halaman 1dari 5

G.

Bagaimana Pengalaman Sikap Sabar Oleh Tokoh-Tokoh dalam Agama Islam

1. Nabi Muhammad SAW


Dalam diri Nabi Muhammad SAW selalu ada nilai keteladanan (QS al-Ahzab [33]: 21). Salah
satunya teladan dalam kesabaran. Ketika Nabi disakiti, beliau tidak pernah membalasnya. Nabi
menghadapinya dengan kesabaran.
Dikisahkan, setiap kali Nabi SAW melintas di depan rumah seorang wanita tua, Nabi selalu
diludahi oleh wanita tua itu. Suatu hari, saat Nabi SAW melewati rumah wanita tua itu, beliau
tidak bertemu dengannya. Karena penasaran, beliau pun bertanya kepada seseorang tentang
wanita tua itu. Justru orang yang ditanya itu merasa heran, mengapa ia menanyakan kabar
tentang wanita tua yang telah berlaku buruk kepadanya.
Setelah itu Nabi SAW mendapatkan jawaban bahwa wanita tua yang biasa meludahinya itu
ternyata sedang jatuh sakit. Bukannya bergembira, justru beliau memutuskan untuk
menjenguknya. Wanita tua itu tidak menyangka jika Nabi mau menjenguknya.
Ketika wanita tua itu sadar bahwa manusia yang menjenguknya adalah orang yang selalu
diludahinya setiap kali melewati depan rumahnya, ia pun menangis di dalam hatinya, "Duhai
betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang
menjengukku."
Dengan menitikkan air mata haru dan bahagia, wanita tua itu lantas bertanya, "Wahai
Muhammad, mengapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?" Nabi SAW
menjawab, "Aku yakin engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika
engkau telah mengetahuinya, aku yakin engkau tidak akan melakukannya."
Mendengar jawaban bijak dari Nabi, wanita tua itu pun menangis dalam hati. Dadanya
sesak, tenggorokannya terasa tersekat. Lalu, dengan penuh kesadaran, ia berkata, "Wahai
Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu." Lantas wanita tua itu
mengikrarkan dua kalimat syahadat, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."

# https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/q0vsi1313

2. Nabi Ayub
Diriwayatkan bahwa nabi Ayyub itu orang yang sangat kaya. Ia memiliki peternakan, kebun,
dan sawah. Secara fisik, Nabi Ayyub dianggap sempurna. Gagah dan tinggi. Istrinya pun cantik
luar biasa. Tak hanya itu, Allah juga mengaruniai beliau 12 anak laki-laki yang juga sama
gagahnya dan sama pinternya.
Diriwayatkan pula, nabi Ayyub merasakan kesenangan hidup, kebahagiaan, berlimpah
harta, selama 20 tahun lamanya. Dua puluh tahun tanpa cobaan. Hingga pada suatu hari
datanglah tiga hari ini.
Hari pertama, Allah datangkan penyakit kulit yang memenuhi sekujur tubuh nabi Ayyub,
penyakit itu menular, akhirnya nabi Ayyub ditinggalkan sama orang-orang. Fisiknya yang gagah
pun lama-lama mulai memudar seiring penyakit itu menyebar ke tubuh beliau. Karena hal itu,
beliau harus pindah ke tempat yang jauh sekali, ditemani oleh istrinya.
Hari kedua, Allah mencabut nyawa 12 orang anak beliau. Diceritakan, pada saat mereka
sedang berkumpul bersama, tiba-tiba bangunannya roboh, dan membuat mereka meninggal
seketika.
Hari ketiga, Allah mengambil habis seluruh hartanya nabi Ayyub. Tidak ada yang tersisa
saat dalam keadaan sakit, anak meninggal, harta habis. Masya Allah, siapa yang kuat diberikan
cobaan seperti ini?luar biasa sekali.
Namun, disinilah dapat diketahui bahwa nabi Ayyub berjiwa pemenang, tidak pernah
mengeluh bahkan Alqur’an sendiri pun mengakui bahwa nabi Ayyub itu orang yang sangat
penyabar.
Allah ta’ala mengisahkan Ayyub dan cobaan yang menimpa anak, dan tubuhnya. Ayyub a.s.
memiliki banyak binatang,tunggangan,binatang ternak kebun, anak, dan tempat tinggal. Namun,
pada akhirnya seluruh kekayaanya habis. Sekujur tubuh Ayyub pun tertimpa penyakit lepra.
Kedua organ tubuh inilah yang digunakan untuk berdikir kepada Allah ta’ala. Nabi SAW
bersabda, “Manusia yang berat cobaanya adalah para nabi,kemudian orang-orang soleh,
kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang selanjutnya”.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Ubaid bin Ummair, dia berkata, Ayyub
mempunyai dua orang saudara. Pada suatu hari keduanya menengok, namun mereka tidak
dapat mendekati Ayyub karena demikian baunya keduanya kemudian berdiri manjauh darinya.
Salah seorang saudaranya derkata, andaikan Allah mengetahui andaikan Ayyub memiliki
kebaikan niscaya Allah akan mengujinya dengan penyakit ini. Maka Ayyub pun sangat terpukul
lantaran ucapanya tersebu. Lalu Ayyub berkata, sesungguhnya engkau mengetahui bahwa aku
tidak pernah tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan aku mengetahui ada orang yang
kelaparan, maka benarkanlah pernyataanku” kemudian ucapanya itu dibenarkan oleh suara dari
langi, sementara kedua saudaranya pun mendengar, kemudian Ayyub pun berkata “Ya Allah
sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak perbah memiliki sebuah baju sedangkan aku
pun mengetahui orang yang telanjang. Maka benarkanlah pernyataanku. Kemudian ucapanya
itu dibenarkan oleh suara dari langit sedangkat kedua saudaranya pun mendengar, kemudian
Ayyub berkata, “Ya Allah demi keagunganmu” lalu Ayyub bersungkur dan bersujud. Ayyub
melanjutkan “Ya Allah demi keagunganku, aku tidak akan mengangkat kepalaku sehingga enkau
menyambuhkanku.” Belum lagi Ayyub mengangkat kepalanya, penyakit itu pun lenyap dari
tubuhnya.
Nabi Ayyub a.s. sangat bersabar. Yazid bin Maisarah berkata, “Tatkala Allah menguji Ayyub
a.s. dengan kehilangan istri, harta kekayan, dan anak, serta tidak ada satupun yang tersisa lagi, ia
justru lebih bagus dzikirnya. Ayyub berkata, “Wahai Tuhan segala Tuhan yang telah berbuat
ihsan kepadaku, aku memuji-Mu. Engkau telah memberiku harta dan anak. Tidak ada satu pun
dari hatiku melainkan tersakiti oleh keduanya. Lalu engkau mengambil keduanya. Lalu engkau
mengambil semuanya itu dariku, maka aku dapat mencurahkan kalbu sehingga tidak ada satu
perkara pun yang menghalangi antara aku dan engkau. Andaikan musuhku iblis mengetahui apa
yang telah enkau lakukan terhadapku, niscaya dia hasud kepadaku.”

#jurnal 2691
3. Nabi Ibrahim
Ambil contoh, kesabarannya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam ketika hendak dibakar oleh raja
Najsi, kemudian malaikat Jibril hendak menolong, tetapi karena kesabaran dan keyakinan Nabi
Ibrahim ‘Alaihissalam di atas keimanannya para malaikat pada saat itu, maka Allah memberikan
pertolongan untuk mendinginkan api dengan suhu yang tidak membakar Nabi Ibrahim
‘Alaihissalam dan beliau lulus dalam ujian tersebut.
Begitu pula ketika ada perintah Allah melalui mimpi, (mimpi para Nabi adalah wahyu) untuk
menyembelih anaknya, Ismail ‘Alaihissalam, keduanya dengan keyakinan yang kuat dan
kesabaran yang tak tertandingi melaksanakan perintah tersebut.

4. Urwah bin Zubair


Pada level bawah dari para nabi, ambil contoh kesabaran seorang tabi’in, ‘Urwah bin
Zubair, yang kakinya harus dipotong sebelah dan pada saat yang bersamaan anaknya meninggal
dunia akibat dimakan serigala. Kata tabi’in tersebut (singkatnya), “Alhamdulillah, Ya Allah aku
telah lama memiliki dua tangan dan dua kaki tapi baru sekarang Kau ambil satu, dan aku
memiliki tujuh orang anak dan masih Kau sisakan enam.” 1 Subhanallah, betapa keyakinan yang
tinggi itulah yang mampu membawa para sahabat pada tingkat kesabaran seperti itu dan
akhirnya memenangkan ujian, sehingga ia tetap tenang, istiqomah dan optimis.

#buku makna sabar hal 6

Dalam menerima ujian, tentu kita tidak akan mampu sekuat dan sesabar kaum alim ulama
yang menunjukkan ketaqwaaannya kepada Rabb-nya dengan cara yang luar biasa. Dikisahkan
pula tentang kisah kesalehan Urwah Bin Zubair, ulama yang sangat alim. Beliau adalah salah satu
dari Tujuh Fuqaha Madinah, yaitu sebutan untuk sekelompok ahli fiqih dari generasi tabi’in yang
merupakan para tokoh utama ilmu fiqih di kota Madinah setelah wafatnya generasi sahabat
yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad.[1]
Ibnu Khillikan menyebut beliau sebagai orang yang alim, saleh sekaligus memberi contoh
manusia yang sabar dan tabah dalam menghadapi takdir Allah‫ﷻ‬. Dikisahkan saat hendak pergi
menemui Walid bin Abdul Malik, beliau mendapati musibah pertama yang menimpanya, anak
kesayangannya meninggal dunia karena terinjak binatang ternak dan meninggal dunia seketika.
Dalam keadaan demikian, beliau tetap melanjutkan perjalanannya dengan tetap memuji
kebesaran Allah‫ﷻ‬, tidak ada perasaan kecewa terhadap takdir yang Allah berikan tersebut.
Beliau bahkan memuji dengan kata yang menyejukkan hati dengan tetap yakin bahwa jika Allah
memberikan ujian, pasti memberikan maaf, demikian juga ketika Allah mengambil sesuatu
darinya, pasti akan memberi pengganti yang lebih baik.
Setelah kejadian tersebut, beliau mendapat ujian lagi. Kakinya tertimpa penyakit kudis yang
sangat parah. Dokter-dokter pada waktu itu sudah angkat tangan karena penyakitnya sudah
kronis, hingga kemudian diambillah keputusan untuk mengamputasi kaki Urwah Bin Zubair.
Eksekusi dilakukan dengan mendatangkan para jagal. Saat itu belum ada ilmu anestesi seperti
kemajuan dunia kedokteran saat ini, sehingga beliau disarankan untuk minum khamr (minuman
keras) agar tidak merasa sakit saat diamputasi, beliau menjawab, “Aku tidak akan
memanfaatkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah hanya karena ingin sembuh.” Selain itu,
beliau juga menolak untuk meminum obat tidur dan bersikeras untuk tegar menahan rasa
sakitnya. Di sela-sela proses pemotongan kakinya tersebut, beliau tidak henti-hentinya
mengucapkan kalimat tahlil dan takbir. Dalam cerita lain, dikisahkan tentang momen
pemotongan itu dilakukan sewaktu Urwah sedang shalat sesuai dengan permintaannya. Setelah
pemotongan kaki selesai dilakukan, beliau mengatakan:“Demi Allah selama 40 tahun saya belum
pernah melangkahkan kaki ke tempat haram dan saya bersyukur bisa mengembalikan kakiku
kepada Rabbku dalam keadaan suci.
Sikap Urwah ini menunjukkan betapa tingginya kesabaran beliau dalam menerima takdir
Allah‫ﷻ‬. Mendapat musibah bertubi-tubi, tidak membuatnya lantas mengeluh tetapi malah
memuji kebesaran Tuhannya. Ia merasa bahwa ujian yang datang menimpanya, tidak sebanding
dengan nikmat Allah yang begitu banyak. Orang yang menyatakan keimanannya kepada Allah
dengan bersungguh-sungguh, menyikapi sakit dengan hati yang tenang dan ikhlas, karena tahu
inilah kesempatan Allah menguggurkan dosa-dosa dan kesalahannya. Mereka tahu inilah
kesempatan untuk berdoa dan berdzikir serta berhusnudzon kepada Allah ‫ﷻ‬, karena semua atas
izin-Nya dan semua akan kembali kepadaNya.

# https://dppai.uii.ac.id/mengambil-hikmah-kisah-urwah-bin-zubair-dalam-menghadapi-
takdir-allah/

5. Umar bin Khattab


Sahabat Rasulullah SAW, Umar bin Khattab, dikenal dengan perangainya yang keras dan
tegas, terutama dalam medan jihad. Ia berjulukan al-Faruq. Maknanya, orang yang dapat
membedakan kebenaran dari kebatilan, serta berjuang dalam menegakkan kebenaran dan
memberantas kebatilan itu.
Bagaimanapun keras tabiatnya, Umar merupakan pribadi yang lemah lembut terhadap istri.
Ia mencontoh Nabi Muhammad SAW. Sebab, Nabi SAW bersabda, "Sebaik-baik di antara kalian
adalah yang paling baik terhadap istrinya."
Pernah suatu ketika, khalifah kedua itu hanya diam seribu bahasa saat dimarahi istrinya. Al-
Faruq tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Demikian dikisahkan seorang sahabat Nabi SAW
yang lain, Abu Dzar al-Ghifari.
Abu Dzar menuturkan, "Suatu hari, saya datang ke rumah Khalifah Umar untuk
mengadukan tentang suatu hal. Saya ingin meminta pendapatnya, apakah sebaiknya saya
menceraikan istri saya yang tak sekali-dua kali marah-marah kepada saya.
Namun, saay saya mengetuk pintu rumah Umar, terdengar suara dari dalam. Rupanya, istri
Umar sedang marah-marah kepada suaminya itu (Umar). Sementara, Umar tidak menjawab
sepatah kata pun.
Maka, saya pun berpikir, sebaiknya pergi saja dan membatalkan niat saya ini (hendak
meminta pertimbangan tentang rencana cerai).
Belum jauh saya melangkah, Umar kemudian keluar dari pintu rumahnya. Ia pun memanggil
saya dan berkata 'Engkau datang kepadaku tentu hendak membawa suatu berita penting.'
Saya katakan kepadanya, 'Aku datang kepadamu hendak mengadukan keburukan akhlak
istriku kepadaku, tetapi setelah aku mendengar sikap lancang istrimu kepadamu dan engkau
hanya diam saja, jadilah aku urung untuk melaporkan keadaanku.'
Saya lihat, Umar kemudian tersenyum, lalu berkata, 'Wahai saudaraku, istriku telah
memasak makanan untukku, ia juga telah mencuci pakaianku, mengurus urusan rumahku, dan
mendidik dan menyusui anak-anakku dan lain sebagainya. Padahal, semua itu bukan
kewajibannya. Selain itu, dengan istriku aku merasa tenang karena bisa terhindar dari
melakukan perbuatan yang haram. Maka, aku siap menanggung yang demikian itu.
'Wahai Amirul Mukminin,' tanya saya, 'apakah aku juga harus berbuat demikian terhadap
istriku?'
'Benar,' jawabnya lagi, 'diamlah ketika dimarahi istrimu, karena apa yang dilakukannya tidak
akan lama.'"

# https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/q9chzz458

Anda mungkin juga menyukai