Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

PENGERTIAN KHES DAN DASAR HUKUM PEMBENTUKAN KHES


Disusun untuk memenuhi tugas
MATA KULIAH: KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH
Dosen Pengampu: Ust. Abdullah Khoiri, S.E., M.SEI

Indana Zulfa
Rizky Fathur Nurrohman
Haris Lutfi

422021322121

SEMESTER 3
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES)
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR (UNIDA)
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala karna berkat rahmatNyalah
kami dapat menyelesaikan makalah kami ini yang berjudul Kurikulum Pendidikan. Adapun
shalawat serta salam tak lupa pula kami junjungkan kepada baginda Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wassalam yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benerang seperti sekarang ini.
Adapun maksud penulisan makalah ini selain tugas yang diberikan dosen pengajar
kepada kami adalah juga untuk memperluas cakrawala keilmuan mahasiswa terkhusus bagi
penulis sendiri.
Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan makalah ini, namun tetap penulis sadari
sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan penulis sendiri. Oleh karena itu jika ada
kekurangan dari segi teknik penulisan maupun dari segi isi makalah, penulis memohon maaf.
Maka untuk menyempurnakan kekurangan ini penulis mohon kritik dan saran yang sebanyak-
banyaknya dari dosen pengajar dan juga dari pembaca sekalian.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas


Undang-Undang No. 9 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar
terhadap kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Disamping kewenangan
yang telah diberikan dalam bidang Hukum Keluarga Islam, Peradilan Agama juga diberi
wewenang menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah. Sebagai tindak lanjut dari
hal tersebut, Mahkamah Agung meresponnya dengan merancang suatu kompilasi hukum
yang disebut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah berlaku dengan peraturan


Mahkama Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah. Sehingga kekuatan hukum dari KHES barulah sebatas Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) yang bukanlah termasuk jenis peraturan perundang-undangan (yang hierarkis),
tetapi termasuk jenis peraturan perundang- undangan semu. Namun meskipun demikian
pembentukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sangat penting . Hal ini
dikarenakan KHES dapat membantu menunjang kinerja para hakim Pengadilan Agama dalam
menangani masalah sengketa ekonomi syariah yang menjadi kewenangan barunya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Khes

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah salah suatu bentuk positivisasi
hukum Islam dengan beberapa pengadaptasian terhadap konteks kekinian dalam lingkup
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kehadiran KHES adalah kebutuhan yang
sangat mendesak bagi ketersediaan sumber hukum terapan Peradilan Agama di bidang
ekonomi syariah  pasca  lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sehingga tidak ada
alasan lagi bagi hakim untuk tidak menangani sengketa ekonomi syariah dengan dalih tidak
ada peraturannya. Secara keseluruhan, KHES sudah dapat digunakan sebagai pedoman baku
di lingkungan peradilan agama, tetapi masih banyak yang perlu dibenahi dan disempunakan,
baik berkaitan dengan istilah-istilah maupun klausul-klausul dalam KHES itu sendiri yang
tak sedikit masih multi interpretable, sehingga dikhawatirkan akan muncul ketidakpastian
hukum akibat adanya klausul-klausul yang tidak jelas tersebut, oleh karena itu kritik dan
penyempurnaan tersebut juga harus dilakukan untuk mengkaji ulang istilah-istilah yang
terdapat pada sistem ekonomi berbasis Islam.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mempunyai fungsi yang sama dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu bukan merupakan sumber hukum formil (seperti UUD
45, UU, PERPU, PERDA, dan sebagainya), namun KHES dapat dijadikan sebagai
pertimbanagn hakim dalam memutuskan perkara hukum alias berperan sebagai sumber
hukum materiil apabila hakim menggunakannya. Hanya saja perbedaaannya adalah pada
cakupan materinya : jika KHES lebih pada pembahasan hukum ekonomi syariah, atau hukum
bisnis ssyariah (muamalah maaliyyah), sedangkan KHI membahasa Hukum keluarga (akhwal
syakhsiyyah).

B. Dasar Hukum

KHES disusun sebagai respon terhadap UU no.3 th. 2006 terkait dengan perubahan
atas UU no.7 tahun 1999 tentang Peradilan Agama terkait dengan perlluasaan wewenang
peradialan agama sehubungan dengan Hukum Ekonomi Syariah. KHES merupakan bentuk
posistifisasi dari produk hukum fikih muamalat Indonesia yang dijamin oleh system
konstitusi Negara kita. KHES Saat masih menjadi produk pemikiran hukum fikih, statusnya
masih belum mengikat terhadap kaum muslimin di Indonesia, namun nantinya jika dijadikan
hukum positif atau setidaknya dijadikan sebagai bahan hukum materiil oleh hakim, maka
statusnya menjadi mengikat.
Seperti yang kita ketahui bahwa hakim mempunyai peran dan fungsi sebagai penemu
hukum, artinya hakim tidak boleh menolak perkara hukum yang diajukan kepadanya, dengan
alasan tidak ada landasan hukumnya. Sang hakim tetap wajib memutuskan perkara itu
meskipun belum ada dalil hukumnya. Disinilah peran KHES dimainkan.

KHES membantu seorang hakim dalam menemukan hukum jika ada kekosongan
hukum. Hal ini dengan pertimbangan bahwa dalam hukum bisnis syariah belum ada Undang-
undang yang mengaturnya secara formil. Sebagaimana KHI yang dapat difungsikan sama
dengan KHES dalam permasalah Hukum keluarga seperti pernikahan, perceraian, dll. UU
yang mengatur Hukum Keluarga belum lengkap sehingga KHI dapat dijadikan sebagai alat
bantu untuk menemukan hukum untuk memutuskan perkara di Pengadilan. Tim penyususn
KHES yang pertama adalah Prof.A. Jazuli MA dari UIN Bandung beserta timnya.

Sebenarnya KHES ini menurut Prof. Syamsul Anwar MA, dapat dijadikan sebagai
Undang-undang (hukum positif) namun karena masih perlu banyak revisi maka harus
dibenarkan terlebih dahulu. Sebagai contoh kesalahan yang perlu direvisi adalah ; di dalam
KHES tedapat empat Buku, buku yang pertama membahas Syakhsiyyah dan amwal
(perseorangan dengan harta benda), dan buku kedua membahas tentang akad-akad dalam
hukum bisnis syariah. Dalam bab 15 terdapat pembahasan tentang perusakan harta dan
ghozob, yang mana seharusnya tidak masuk dalam kajian akad, akan tetapi masuk dalam
kajian perbuatan melawan hukum. Artinya pembahasan ini menjadi salah konsep, sehingga
perlu direvisi. Meskipun masih banyak perbaikan setidaknya KHES dapat menjadi alat bantu
hakim dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang belum ditemukan dalil hukum
positifnya.

Sebenarnya terdapat Permasalahan dalam filantropi atau pemahaman serta pemisahan


hukum ekonomi, muamalat dan hukum bisnis syariah. Pada hakikatnya (seharusnya) Hukum
ekonomi adalah hukum yang mengatur kegiatan Negara dalam bidang ekonomi, padahal
(senyatanya) yang diatur atau inti yang dibahas adalah badan hukum dan perorangan dalam
kaitannya dengan hukum bisnis syariah.

BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Secara sosiologis, KHES disusun sebagai respon terhadap
perkembangan baru dalam hukum mu’amalat dalam bentuk praktek-praktek ekonomi
Syari’ah melalui LKS-LKS yang memerlukan payung hukum. Secara konstitusional, KHES
disusun sebagai respon terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA), yang memperluas kewenangan PA, seperti
Hukum Ekonomi Syari’ah. Dengan kata lain, KHES merupakan upaya ”positifisasi” hukum
muamalat dalam kehidupan umat Islam di Indonesia yang secara konstitusional sudah
dijamin oleh sisitem konstitusi Indonesia. KHES merupakan produk pemikiran fikih Indonesia
dalam bidang ekonomi (muamalat). Dalam tingakatannya sebagai produk pemikiran, maka
fikih itu bersifat zanni dan tidak mengikat setiap muslim, tetapi ketika dipositifkan maka
mengikat setiap umat Islam. Dalam pembuatan hukum perlu mengakomodir kenyataan
sosiologis umat Islam, terutama dalam hukum-hukum yang lebih dominan dimensi
sosiologisnya (duniawinya), Seperti Hukum Ekonomi Syari’ah.

KHES juga bagian dari produk ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i) karena
melibatkan banyak kalangan (ahli). Dalam ijtihad jama’i tidak mengharuskan semua orang
telah menguasai hukum Islam atau memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, tetapi cukup
menguasai dalam bidangnya. Hanya saja, dalam penyusunan KHES hanya mengakomodir
sebagian kecil umat Islam dan para pakar, berbeda dalam penyusunan KHI sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai