Anda di halaman 1dari 29

RUMAH SAIKT IBU DAN ANAK ANANDA MAKASSAR

PEDOMAN/PANDUAN
PELAYANAN HIV / AIDS (ODHA)

EDISI I

RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ANANDA MAKASSAR


Jl. Andi Djemma No. 57 (Lama : Jl. Landak Baru No.63) Makassar
Telp. +62411 – 874596, Fax : +62411 – 853694

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat
dan anugerah yang telah diberikan kepada penyusun, sehingga Buku
Pedoman/Panduan Pelayanan HIV/AIDS Rumah Sakit Ibu Dan Anak Ananda
Makassar ini dapat selesai disusun.
Buku Pedoman/Panduan ini merupakan Pedoman/Panduan kerja bagi seluruh
staf Rumah Sakit dalam menjalankan pelayanan HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu Dan
Anak Ananda Makassar.
Dalam pedoman/panduan ini diuraikan tentang petunjuk pelaksanaan pelayanan
HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Ananda Makassar.
Tidak lupa penyusun menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
bantuan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Pedoman/Panduan
Pelayanan HIV/AIDS Rumah Sakit Ibu Dan Anak Ananda Makassar.

Tim Penyusun

ii
Rumah Sakit Ibu dan Anak ANANDA
Jl. Andi Djemma No. 57 (Lama : Jl. Landak Baru No.63) Makassar
Telp. +62411 – 874596, Fax : +62411 – 853694
Email : sekretariat@anandahospital.com l Website : www.anandahospital.com

KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA RSIA ANANDA MAKASSAR


NOMOR : __/SK/DIR/RSIA-A/_/2022

TENTANG

PEDOMAN PELAYANAN TIM HIV / AIDS


DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ANANDA MAKASSAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


DIREKTUR UTAMA RSIA ANANDA MAKASSAR

Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan asuhan di bidang pelayanan


Penanggulangan HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Ananda Makassar yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan
efesiensi pelayanan kesehatan;
b. bahwa untuk meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan
HIV/AIDS perlu adanya suatu pedoman pelayanan HIV/AIDS
yang dapat digunakan sebagai acuan dalam peningkatan
Pelayanan HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda
Makassar.
c. bahwa untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
butir (a) dan (b) maka perlu ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda Makassar tentang
Pedoman Pelayanan HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Ananda Makassar.
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan;

iii
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 77 tahun 2015 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2017 tentang Keselamatan Pasien;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS;

MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK
ANANDA MAKASSAR TENTANG PEDOMAN KERJA
PELAYANAN TIM HIV/AIDS RUMAH SAKIT IBU DAN
ANAK ANANDA MAKASSAR
KESATU :
Memberdayakan Pedoman Pelayanan HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu
dan Anak Ananda Makassar sebagaimana dimaksud dalam ketetapan
ini untuk dijadikan acuan dalam menyelenggarakan pelayanan
HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu dan Anaka Ananda.

KEDUA :
Pedoman Pelayanan HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda
Makassar sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.

KETIGA Pembinaan
: dan pengawasan pelaksanaan Pedoman Pelayanan
HIV/AIDS di Rumah Sakit dilaksanakan oleh Direktur Rumah Sakit.

KEEMPAT : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Apabila hasil
evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Makassar
Pada Tanggal : 10 Agustus 2022
Direktur Utama

dr. Irwan Ashari, M.Med.Ed

iv
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….…. ii
KEPUTUSAN DIREKTUR NOMOR ….. TENTANG PEDOMAN PELAYANAN
HIV/AIDS………………………………………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….....… v
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………. 6
A. Latar Belakang…………………………………………………………………. 6
B. Tujuan Dan Sasaran…….……………………………………………………… 7
C. Terminologi..………..……………..…………………………………………… 8
BAB II PENATALAKSANAAN HIV/AIDS DI RSIA ANANDA …………………….. 10
BAB III PENERAPAN PITC DI RSIA ANANDA……………………………………… 12
A. Metode Penerapan PITC……………………………………………………….. 12
B. Faktor Lingkungan……………………………………………………………... 12
BAB IV PROSES PITC DAN UNSUR PENDUKUNGNYA.……………………….….. 13
A. Informasi Sebelum Tes HIV Dan Peresetujuan Pasien………………………… 13
B. Konseling Dalam Penyampaian Hasil Test HIV……….………………………. 16
C. Sistem Rujukan Ke Layanan Lain Yang Dibutuhkan………………………….. 19
D. Frekuensi Test HIV…………………………………………………………..… 20
E. Alur Penatalaksanaan Tes HIV Dan Konseling Atas Inisiasi Petugas
Kesehatan (TIPK)………………………………………………………………. 20
BAB V PEMERIKSAAN LABORATORIUM……………………….…………………. 22
A. Pelaksanaan Tes Cepat HIV, Interpretasi Hasil Dan Konseling………………. 22
B. Strategi Pemeriksaan HIV Berdasarkan PITC…………………………………. 23
BAB VI MONITORING DAN EVALUASI……………………….…………………….. 27
A. Jaminan Mutu Layanan………………………………………………………... 27
B. Pencatatan Dan Pelaopran Layanan Dan Tes HIV Dan Konseling Atas
Inisiasi Petugas Kesehatan (TIPK)…………………..…………………………
.......................................................................................................27

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Konseling dan tes HIV sukarela (KTS) atas prakarsa klien masih terus didorong dan
ditingkatkan penerapannya, di samping pendekatan lain yang lebih inovatif seperti konseling
dan tes HIV yang diprakarsai petugas kesehatan ketika seorang pasien datang ke saranan
kesehatan untuk mendapatakan layanan kesehatan karena berbagai macam keluhan
kesehatannya, yang selanjutnya akan disebut PITC atau Provider Initiated Testing dan
Counseling, seperti disadari bahwa sarana kesehatan merupakan sarana utama untuk
menjangkau atau berhubungan dengan ODHA yang jelas membutuhkan layanan pencegahan,
pengobatan, perawatan dan dukungan. PITC tersebut merupakan layanan tes dan konseling
HIV yang terintegrasi di sarana kesehatan dan untuk penerapannya dibutuhkan pedoman atau
petunjuk operasional.
Bukti yang tersedia baik dari daerah maju maupun daerah dengan sumber daya yang
terbatas menunjukkan bahwa kesempatan untuk diagnosis ataupun pemberian konseling
tentang HIV di sarana kesehatan seringkali terlewatkan, oleh karenanya perlu mengitegrasikan
layanan tes dan konseling HIV di saranan kesehatan dengan menerapkan PITC, di mana tes
HIV dan konseling merupakan sarana untuk menjangkau diagnosis dan layanan terkait HIV.
Mengingat besarnya kecenderungan akan terjadinya pemaksaan dalam tes HIV sehubungan
PITC yang akan memberikan dampak negatif pada pasien maka perlu pelatihan dan bimbingan,
pemantauan dan evaluasi yang memadai dari penerapan PITC dan program konseling di sarana
kesehatan.
Pedoman layanan tes dan konseling HIV di sarana kesehatan ini menawarkan konseling
dan tes HIV dengan pendekatan option-out di sarana kesehatan, yang meliputi informasi pra-tes
secara singkat dan sederhana dengan menyesuaikan dengan kaidah-kaidah konseling yang
berlaku. Dengan demikian tes HIV direkomendasikan sebagai berikut:
1. Ditawarkan kepada semua pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis yang mungkin
mengindikasikan infeksi HIV, tanpa memandang tingkat epidemi daerahnya.
2. Sebagai bagian dari prosedur baku perawatan medis pada semua pasien yang datang di
sarana kesehatan di daerah dengan tingkat epidemi yang meluas.
3. Ditawarkan dengan lebih selektif kepada pasien di daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi atau rendah.

6
Jelas bahwa seseorang dapat menolak tes HIV bila mereka tidak bersedia. Penjelasan
tambahan tentang risiko, keuntungan menjalani tes HIV dan pengungkapan hasil tes serta
tentang dukungan sosial yang tersedia dapat diberikan di dalam kelompok terutama kepada
kelompok yang rentan atau berisiko terhadap dampak buruk dari pengungkapan status HIV
positfnya. Pendekatan option-in akan lebih menguntungkan bagi kelompok yang memiliki
kerentanan tinggi untuk mendapatkan dampak buruk tersebut.
PITC harus disertai dengan jangkauan pada paket layanan pencegahan, pengobatan,
perawatan dan dukungan yang diterapkan dalam kerangka kerja rencana strategi nasional
untuk mencapai universal access terhadap terapi antiretroviral bagi semua yang
membutuhkannya. Untuk menerapkan PITC maka harus diupayakan bahwa kerangka kerja
dukungan sosial, kebijakan dan dukungan peraturan perundangan yang sudah mapan, guna
mendapatkan hasil yang positif dan meminimalkan dampak buruk pada pasien.
Prakarsa tes HIV oleh petugas kesehatan harus selalu didasarkan atas kepentingan
kesehatan pasien. Untuk itu perlu memberikan informasi yang cukup sehingga pasien mengerti
dan mampu mengambil keputusan untuk menjalani tes HIV secara sukarela, menjaga
konfidensialitas, terhubung dengan rujukan konseling pasca-tes oleh konselor, dan
menyediakan rujukan ke layanan PDP yang memadai. Penerapan PITC bukan berarti
menerapkan tes HIV secara mandatori atau wajib sebagai pendekatan dasar kesehatan
masyarakat.
Masalah konfidensialitas tersebut diatur pula dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran
No. 29 Tahun 2004 Pasal 48 mengenai rahasia kedokteran (wajib simpan, pembukaan rahasia
kedokteran pada keadaan tertentu).

B. TUJUAN DAN SASARAN


1. Tujuan Umum.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan tuntunan kepada para petugas kesehatan
dalam menerapkan layanan tes dan konseling HIV di Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda
dengan pendekatan PITC.
2. Tujuan Khusus.
Pedoman ini bertujuan untuk menyelaraskan antara etika medis, klinis, kesehatan
masyarakat dan hak-hak azasi manusia. Hal tersebut meliputi:
1) Memberdayakan ODHA agar mengetahui status HIV mereka dengan penuh
kesadaran dan kesukarelaan untuk mencari dan mendapatkan layanan pencegahan,

7
pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV dan terlindung dari stigma,
diskriminasi dan dan kekerasan.
2) Mengoptimalkan hasil pengobatan dan pencegahan.
3) Mendorong hak otonomi, privasi dan konfidensialitas.
4) Mendorong kebijakan dan praktik berbasis bukti ilmiah dan memungkinkan
lingkungan untuk penerapannya.
5) Meningkatkan peran dan tanggung jawab petugas kesehatan dalam hal menyediakan
akses terhadap tes HIV, konseling dan intervensi lain yang dibutuhkan.
3. Sasaran
a. Para pengambilan kebijakan.
b. Perencanaan dan pengelola program pengendalian HIV/AIDS.
c. Petugas layanan Kesehatan.
4. Ruang Lingkup
Lingkup dari pedoman adalah penerapan konseling dan testing HIV atas prakarsa
petugas kesehatan dengan menekankan pemeriksaan kesehatan terkait dengan infeksi
oportunistik dan merujuk pada pelayanan berkelanjutan.
Pedoman tidak membahas konseling secara rinci dan petugas kesehatan diarahkan
untuk merujuk pedoman nasional KTS yang berlaku. Petugas kesehatan yang dimaksud
dalam buku ini adalah dokter yang merawat, perawat yang diberi wewenang oleh dokter
yang bersangkutan serta bidan.

C. TERMINOLOGI
Terminologi yang digunakan di dalam pedoman ini adalah sebagai berikut.
Voluntary Counseling and Testing, atau VCT atau Konseling dan tes HIV secara sukarela
(KTS) atau disebut juga sebagai Client-initiated HIV testing and counseling adalah layanan
konseling dan tes HIV yang dibutuhkan oleh klien secara aktif dan individual. Pada KTS ini
biasanya menekankan pengkajian dan penanganan faktor risiko dari klien oleh konselor,
membahas masalah keinginan untuk menjalani tes HIV dan implikasinya serta pengembangan
strategi untuk mengurangi faktor risiko. KTS dilaksanakan dalam berbagai macam tatanan
layanan, yang salah satunya adalah di sarana layanan kesehatan, klinik KTS mandiri di luar
sarana layanan kesehatan, layanan KTS yang diberikan secara bergerak atau mobile KTS, di
masyarakat atau bahkan di rumah.
Provider-initiated HIV testing and counselling (PITC) adalah suatu tes HIV dan
konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada pengunjung sarana layanan

8
kesehatan sebagai bagian dari standar pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk
membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin
dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti misalnya ART.
Apabila seseorang yang datang ke sarana layanan kesehatan menunjukkan adanya gejala
yang mengarah ke HIV maka tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan adalah menawarkan
tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalakasana klinis. Sebagai
contoh petugas kesehatan memprakarsai tes dan konseling HIV kepada pasien TB dan pasien
suspek TB, pasien IMS, pasien gizi buruk, pasien dengan gejala atau tanda Infeksi Oportunistik
(IO) lainnya.
PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi HIV yang tidak nampak pada pasien
dan pengunjung sarana layanan kesehatan. Oleh karenannya kadang-kadang tes dan konseling
HIV juga ditawarkan kepada pasien dengan gejala yang mungkin tidak terkait dengan HIV
sekalipun. Pasien tersebut dapat mendapatkan manfaat dari pengetahuan tentang status HIV
positifnya guna mendapatkan layanan pencegahan dan terapi yang diperlukan secara lebih dini.
Dalam hal ini tes dan konseling HIV ditawarkan kepada semua pasien yang berkunjung ke
sarana layanan kesehatan selama berinteraksi dengan petugas kesehatan.
Seperti halnya KTS, PITC pun harus mengedepankan "three C - informed consent,
counselling and confidentiality atau suka rela, konseling dan konfidensial. Option-in adalah
pilihan pasien untuk menyatakan persetujuannya secara jelas atas pelaksanaan tes HIV setelah
menerima informasi pra-tes. Informed consent yang diberikan dalam hal tersebut analog dengan
yang dipersyaratkan pada tindakan khusus seperti pemeriksaan atau tindakan klinis invasif.
Dengan pendekatan option-out berarti pasien harus secara jelas menyatakan penolakan
dilaksanakannya tes HIV setelah menerima informasi pra-tes apabila dia tidak meinginkan tes
HIV tersebut. Informed consent yang diberikan dalam hal tersebut analog dengan yang
dipersyaratkan pada tindakan umum lain seperti pemeriksaan foto rontgen dada, tes darah dan
pemeriksaan non-invasif lain. Dalam hal ini petugas kesehatan akan melaksanakan tindakan
tersebut kecuali pasien menolaknya.

9
BAB II
PENATALAKSANAAN HIV/AIDS DI RUMAH ASKIT IBU DAN
ANAK ANANADA MAKASSAR

Rumah Sakit Ibu Dan Anak Ananda Makassar sebagai rumah sakit non rujukan diterapkan
kebijakan screening awal atau proses diagnosis dalam penatalaksanaan pada kasus pasien
HIV/AIDS atau curiga HIV/AIDS. Pada kasus HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO)
diterapkan kebijakan sesuai dengan standart Universal Precaution.
Universal Precaution (UP) merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana
pelayanan kesehatan. Penerapan UP didasarkan pada keyakinan bahwa semua produk darah dan
cairan tubuh sangat potensial menyebarkan infeksi HIV. Petugas kesehatan hampir selalu dalam
pekerjaaannya berhadapan dengan cairan tubuh tersebut, sehingga perlu adanya perlindungan
petugas kesehatan dalam melakukan tugas dengan aman dan kepercayaan diri dalam melakukan
tindakan. UP HIV sebaiknya dilaksanakan oleh petugas rumah sakit baik medis maupun paramedis
serta semua pekerja yang berhubungan dengan secara tidak langsung dengan penderita seperti
petugas kebersihan.

Alur Penatalaksanaan pasien HIV/AIDS:


Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada pasien umum (IGD, Rawat Jalan, Rawat Inap)
akan didapatkan hasil pemeriksaan sebagai berikut:
1. Pasien dengan curiga HIV.
Alur penatalaksanaan pasien dengan curiga HIV.
a. Koordinasi dengan petugas PITC.
b. Petugas PITC akan melakukan edukasi dengan menggunakan metode pendekatan personal.
Media yang digunakan berupa brosur atau leaflet yang berisi informasi tentang HIV.
c. Persetujuan Inform Concent.
1) Pasien setuju.
Pada pasien yang setuju untuk menjalani tes HIV, diminta untuk menandatangani form
persetujuan pemeriksaan tes HIV. Petugas PITC koordinasi dengan unit laboratorium
untuk pemeriksaan tes HIV dengan metode yang sudah ditentukan dari rumah sakit.
10
2) Pasien menolak.
Pada pasien yang menolak untuk menjalani tes HIV, akan dilakukan pendekatan lebih
lanjut dengan mengulang kembali informasi tentang HIV. Jika pasien masih menolak
berikan saran untuk datang ke klinik KTS.
d. Penyampaian hasil tes HIV oleh petugas PITC.
1) Hasil tes non reaktif meliputi:
a) Penyampaian hasil.
b) Berikan pesan tentang pencegahan secara singkat.
c) Sarankan ke klinik KTS untuk konseling pencegahan lebih lanjut.
d) Anjurkan agar pasangannya mau menjalani tes HIV karena ada kemungkinan hasil
reaktif.
e) Untuk sistem rujukan berikan informasi tentang klinik KTS terdekat atau layanan
klinik terkait sesuai kesepakatan dengan klien (adanya kecurigaan kasus window
period).
f) Lengkapi form rujukan yang akan dibawa pasien ke PDP atau klinik KTS.
g) Lakukan monitoring dalam pengiriman rujukan pasien HIV dengan melakukan
koordinasi pada petugas klinik KTS atau rumah sakit rujukan.
h) Dokumentasikan data kunjungan dalam buku laporan register.
2) Hasil tes reaktif.
a) Penyampaian hasil.
b) Berikan dukungan kepada pasien.
c) Berikan informasi perlunya perawatan dan pengobatan HIV.
d) Berikan informasi cara pencegahan penularan kepada pasangan.
e) Sarankan agar pasangan menjalani tes HIV.
f) Berikan surat rujukan ke PDP atau KTS untuk menjalani tes HIV selanjutnya
g) Lengkapi form rujukan yang akan dibawa pasien ke PDP atau klinik KTS.
h) Informasikan sumber dukungan yang ada di masyarakat.
i) Lakukan monitoring dalam pengiriman rujukan pasien HIV dengan melakukan
koordinasi pada petugas klinik KTS atau rumah sakit rujukan.
j) Dokumentasikan data kunjungan dalam buku laporan register PITC.
2. Pasien dengan Riwayat HIV.
Alur penatalaksanaan pasien dengan riwayat HIV.

11
Apabila dalam pengkajian pasien dengan riwayat HIV didapatkan kondisi infeksi
oportunistik, lakukan dengan penatalaksanaan Universal Precaution dan lakukan koordinasi
dengan tim PITC. Petugas PITC memberikan surat rujukan ke PDP atau KTS.

BAB III
PENERAPAN PITC DI RSIA ANANDA

A. METODE PENERAPAN PITC


Metode penerapan PITC yang dilaksanakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda yakni
metode penerapan PITC pada semua jenis epidemic.
Dalam metode ini petugas kesehatan dianjurkan untuk menawarkan tes HIV dan
konseling sebagai bagian dari prosedur baku perawatan kepada semua pasien seperti berikut
tanpa memandang tingkat epidemi daerahnya:
1. Semua pasien dewasa atau anak yang berkunjung ke sarana kesehatan dengan gejala dan
tanda atau kondisi medis yang mengindikasikan pada AIDS. Seperti misalnya, meskipun
tidak selalu atau terbatas pada tuberkulosis dan kondisi khusus lainnya terutama kelompok
kondisi medis yang ada dalam sistem pentahapan klinis infeksi HIV (stadium klinis).
2. Bayi yang baru lahir dari ibu HIV positif sebagai perawatan lanjutan yang rutin pada bayi
tersebut.
3. Anak yang dibawa ke sarana kesehatan dengan menunjukkan tanda tumbuh kembang yang
kurang optimal atau gizi kurang dan tidak memberikan respon pada terapi gizi yang
memadai.

B. FAKTOR LINGKUNGAN
Upaya yang sama harus juga dilakukan untuk menyakinkan ketersediaan dukungan
psikososial serta kemapanan kebijakan dan peraturan perundangan untuk mengoptimalkan
dampak positif dan meminimalkan dampak buruk HIV. Hal tersebut meliputi:
1. Kesiapan masyarakat dan mobilisasi sosial.
2. Ketersediaan sumber daya dan infrastruktur yang memadai.
3. Pelatihan bagi petugas kesehatan.
4. Kode etik bagi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi ODHA.
5. Sistem monitoring dan evaluasi yang kuat.
12
Pelaksanaan PITC optimal dalam jangka panjang memerlukan penerapan peraturan
perundangan guna membatasi stigma dan diskriminasi yang muncul akibat status HIV,
perilaku berisiko, dan gender seseorang yang terpantau dan terus didorong untuk dilaksanakan.
Kebijakan nasional harus terus mendorong pengungkapan status HIV kepada pasangan secara
sukarela dan penuh tanggung jawab.

BAB IV
PROSES PITC DAN UNSUR PENDUKUNGNYA

A. INFORMASI SEBELUM TES HIV DAN PERSETUJUAN PASIEN


Sesuai dengan kondisi di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Ananda Makassar, informasi pra-
tes dapat diberikan secara individual, pasangan atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes
HIV (informed consent) harus selalu diberikan secara individual, pribadi dengan kesaksian
petugas kesehatan (dokter, perawat, bidas atau petugas medis lainnya).
Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, secara jelas memuatnya
dalam Pasal 45 mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Dalam pasal
45 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 tersebut dijelaskan bahwa
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi diberikan setelah pasien mendapatkan
penjelasan secara lengkap.
1. Informasi minimal sebelum tes HIV.
Informasi minimal yang perlu disampaikan oleh petugas kesehatan ketika
menawarkan tes HIV kepada pasien adalah sebagai berikut:
a. Alasan menawarkan tes HIV dan konseling.
Penawaran tes HIV dan koseling bersifat sebagai berikut:
1) Test diagnostic.
Tes diagnostic sebagai bahan dari proses klinis dalam menentukan
diagnosis pasien. Bila ada gejala yang sesuai dengan infeksi HIV, jelaskan
bahwa akan dilakukan pemriksaan HIV dalam rangka menegakkan diagnosis.
Tes diagnostik HIV sebaiknya ditawarakan seperti tersebut diatas kepada
semua pasien dengan kondisi seperti pada “ Pertimbangkan penyakit terkait
HIV. “Contoh : “kami akan mencari penyebab penyakit anda untuk
mendiagnosis dan mengobati penyakit anda, kami perlu melakukan pemeriksaan
infeksi Tifoid, TB, HIV kecuali anda keberatan ”atau“ penyakit anda mungkin

13
terkait dengan HIV, kalau anda tahu maka kami dapat melakukan tindakan lebih
lanjut/penanganan yang tepat”.
2) Penawaran Rutin.
Penawaran tes HIV secara rutin dan konseling berarti menawarkan tes
HIV kepada semua pasien pengunjung layanan medis yang masih aktif secara
seksual tanpa memandang keluhan utamanya. Contoh : "Salah satu kebijakan di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda Makassar adalah menawarkan ke setiap
pasien untuk mendapatkan kesempatan menjalani pemeriksaan HIV agar kami
dapat memberikan penanganan yang tepat. Kami juga akan memberikan
konseling dan menyampaikan hasilnya.
b. Manfaat tes HIV dalam penanganan klinis pasien.
“ Katakan: “ HIV adalah virus yang dapat merusak bagian tubuh manusia yang
diperlukan untuk melindungi dari serangan penyakit. Tes HIV dapat menentukan
apakah anda telah terinfeksi olejh virus tersebut. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan darah sedehana yang dapat memperjelas diagnosis. Setelah menjalani
tes, kami akan memberikan informasi dan layanan untuk mengendalikan penyakit
anda. Disamping itu kami juga akan membantu dengan dukungan dalam hal
pencegahan penyakit dan membuka diri. Bila hasilnya negative, maka kita akan lebih
mengupayakan agar anda bertahan tetap negative.
c. Jaminan konfidensialitas.
Informasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara konfidensial dan tidak
akan diungkapkan kepada orang lain tanpa seizin pasien. Informasi hanya akan
diberikan kepada petugas kesehatan yang terkait langsung atau rujukan untuk
perawatan pasien. Penjelasan prosedur untuk menjamin konfidensialitas “Katakan:
hasil tes ini bersifat rahasia, terkait dengan penanganan HIV yang memerlukan kerja
sama tim, maka status HIV anada hanya diketahui oleh anda dan tim medis yang akn
memberikan perawatan terkait penyakit anda artinya petugas kami tidak di izinkan
untuk memberitahukan hasil tes anda kepada orang lain yang tidak berkepentingan
tanpa seizin anda. Untuk memberitahukannya kepada orang lain sepenuhnya menjadi
hak anda.”
d. Informasikan bahwa pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes HIV dan
penolakanya tidak akan mempengaruhi akses pasien terhadap layanan lain.

14
e. Dalam hal hasil tes HIV reaktif, maka dianjurkan untuk mengungkapkanya kepada
orang lain yang berisiko untuk tertular HIV dari pasien tersebut sebagai bentuk dari
tanggung jawab.
f. Kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada petugas kesehatan.

Dalam melakukan inform consent (persetujuan) test HIV selain komunikasi secara
verbal juga dianjurkan persetujuan secara tertulis.
Informed consent artinya pasien telah diberi informasi secukupnya tentang
HIV/AIDS dan Tes HIV, sepenuhnya memahaminya dan karenannya menyetujui
untuk menjalani tes HIV.
1) Kami perlu menginformasikan bahwa kami akan mengambil sampel darah anda
untuk tes HIV, bagaimana pendapat anda?
ATAU
2) Kami akan melakukan tes HIV hari ini, bila anda keberatan tolong beritahu
kami.
ATAU
3) Menurut kami Tes HIV ini akan banyak bermanfaat bagi kami dalam
memberikan perawatan karena itu kami akan mengambil darah anda kecuali
anda keberatan. Apakah anda setuju?
Bila pasien masih mempunyai pertanyaan, berilah informasi yang ia
perlukan. Bila pasien masih ragu untuk menjalani tes HIV, rujuklah ke sarana
KTS/VCT untuk mendapatkan konseling pra-tes secara lengkap. Sesi konseling
tersebut harus membahas kendala yang dihadapi untuk menjalani tes dan
menawarkannya kembali.
Bila pasien telah siap, maka mintalah persetujuan yang sebaiknya tertulis:
"untuk melakukan tes HIV kami perlukan persetujuan tertulis anda sebagai dasar
kami mengambil tindakan "
Ingat: pasien berhak untuk menolak menjalani tes HIV karena tes HIV tidak
boleh dipaksakan.
2. Perhatian khusus bagi perempuan hamil.
Informasi pra-tes bagi perempuan yang kemungkinan akan hamil atau dalam kondisi
hamil harus meliputi:
a. Risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

15
b. Cara yang dapat dilakukan guna mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke
anaknya, termasuk terapi antiretroviral profilaksis dan konseling tentang makanan
bayi.
c. Keuntungan melakukan diagnosis HIV secara dini bagi bayi yang dilahirkan.
3. Pertimbangan khusus bagi bayi, anak dan remaja.
Perlu ada pertimbangan khusus bagi anak dan remaja di bawah umur secara hukum
(pada umumnya <18 tahun). Sebagai individu di bawah umur yang belum punya hak untuk
membuat/memberikan informed-consent maka dalam hal ini diperlukan informed-consent
dari orang tua atau wali pengampu.
4. Pasien dengan penyakit berat.
Pasien yang mengalami kondisi kritis atau tidak sadarkan diri, tentu tidak mampu
untuk memberikan persetujuan secara pribadi. Dalam keadaan yang demikian, maka
dipertimbangkan betul manfaat tes HIV dan kepentingan pasien. Apabila tes HIV betul-
betul dibutuhkan atas kepentingan pasien maka persetujuan dapat dimintakan kepada
keluarga (ibu, ayah, anak kandung).
5. Penolakan untuk menjalani tes HIV.
Penolakan untuk menjalani tes HIV tidak boleh mengurangi kualitas layanan lain
yang tidak terkait dengan status HIV-nya. Pasien yang menolak menjalani tes perlu
ditawari untuk menjalani sesi konseling di klinik konseling. Penolakan tersebut harus
didokumentasikan di rekam medik pasien.

B. KONSELING DALAM PENYAMPAIAN HASIL TES HIV


Konseling pasca tes merupakan bagian integral dari proses tes HIV. Semua pasien yang
menjalani tes HIV harus mendapatkan konseling pasca tes pada saat hasil tes disampaikan,
tanpa memandang hasil tes HIV-nya. Konseling pasca tes harus diberikan secara individual dan
oleh petugas yang sama yang memprakarsai tes HIV semula. Konseling tidak layak untuk
diberikan secara kelompok.
Perlu diingat bahwa tidaklah dapat diterima apabila seorang petugas memprakarsai untuk
tes HIV dan kemudian harus menunda memberikan hasilnya kepada pasien karena tidak
sempat. Meskipun pasien mungkin belum siap untuk menerima hasil, atau menolak untuk
menerima hasil tes, petugas kesehatan harus selalu berusaha dengan berbagai alasan yang tepat
dengan cara simpatik untuk meyakinkan pasien menerima dan memahami arti hasil tes HIV
dan menjaga konfidensialitas.

16
Setelah dapat ditegakkan diagnosis dan terapi, tujuan lain dari konseling ini adalah
perubahan perilaku klien khususnya terkait perilaku berisiko yang dapat memperburuk kondisi
penyakitnya atau penularan HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya kepada orang lain.
Sementara perubahan perilaku sehubungan dengan risiko penularan kepada orang lain dapat
dilaksanakan melalui rujukan kepada konselor terlatih.
1. Konseling hasil tes HIV non reaktif.
Konseling bagi yang hasilnya non reaktif minimal meliputi hal sebagai berikut:
a. Penjelasan tentang hasil tesnya, termasuk penjelasan tentang periode jendela, yaitu
belum terdeteksinya antibodi HIV dan anjuran untuk menjalani tes kembali ketika
terjadi pajanan HIV.
b. Informasi dasar tentang cara mencegah terjadinya penularan HIV.
Cara mencegah penularan HIV adalah:
1) Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
2) Bersikap setia dengan pasangan atau tidak berganti-ganti pasangan.
3) Tidak menggunakan jarum suntik narkoba secara bergantian.
4) Menggunakan jarum dan alat suntik, alat tato, alat tindik yang steril.
c. Pemberian kondom laki-laki atau perempuan baik petugas kesehatan maupun pasien
selanjutnya membahas dan menilai perlunya rujukan untuk mendapatkan konseling
pascate s lebih mendalam atau dukungan pencegahan lainnya.
d. Berikan kesempatan pada pasien untuk bersikap lega atau bersikap positif lainnya.

Komunikasi dalam penyampaian hasil tes HIV non reaktif:


“Hasil test kali ini adalah non reaktif, yang artinya bahwa dalam tubuh anda tidak
ditemukan antibodi HIV. Namun demikian, ada kemungkinan meskipun kecil bahwa tes
yang dilakukan tidak mampu mendeteksi infeksi yang baru terjadi. Oleh karena itu saya
sarankan anada menjalani tes ulang 6 minggu lagi di rumah sakit. Petugas juga dapat
memberikan informasi lebih rinci agar anda dapat bertahan tetap non reaktif.
Sementara waktu ini, HIV sudah banyak dimasyarakat. Anda perlu mencegah dan
menjaga diri agar tidak tertular dimasa dating. Yang mungkin anda tahun bahwa HIV
dapat ditularkan melalui hubbungan seks dengan seseorang yang telah terinfeksi. Oleh
karena itu anda perlu meminta pasangan anda untuk tes HIV juga. Apabila pasangan anda
tidak mengidap HIV, maka kalau kalian saling setia artinya tidak berhubungan seks
dengan orang lain lagi, maka kalian akan terhindar dari penularan HIV.

17
Bila pasngan anda terinfeksi HIV atau anda tidak tahu status dia, atau apabila anda
memiliki pasangan lebih dari satu anda dapat melindungi diri anda dari penularan HIV
dengan cara:
 Tidak berhubungan seks hingga pasangan anda dilakukan tes dan ketahuan hasilnya.
 Atau menggunakan kondom secara benar setiap kali berhungan seks.
Saya berharap anda akan membawa pasangan anda untuk tes HIV pada kunjungan yang
akan datang.”
2. Konseling hasil tes HIV reaktif (positif).
Bagi pasien dengan hasil tes HIV positif, maka petugas kesehatan menyampaikan
hal sebagai berikut:
a. Memberikan informasi hasil tes HIV kepada pasien secara sederhana dan jelas, dan
beri kesempatan kepada pasien sejenak untuk mencerna informasi tersebut.
b. Meyakinkan bahwa pasien mengerti akan arti hasil tes HIV.
c. Memberi kesempatan pasien untuk bertanya.
d. Membantu pasien untuk mengatasi emosi yang timbul karena hasil tes positif
e. Membahas masalah yang perlu perhatian segera dan bantu pasien menemukan jejaring
sosial yang mungkin dapat memberikan dukungan dengan segera dan dapat diterima.
f. Menjelaskan layanan perawatan lanjutan yang tersedia di sarana kesehatan dan
masyarakat, khususnya ketersediaan layanan pengobatan, PMTCT dan layanan
perawatan serta dukungan.
g. Memberikan informasi tentang cara mencegah penularan HIV, termasuk pemberian
kondom laki-laki ataupun perempuan dan cara menggunakannya.
h. Memberikan informasi cara pencegahan lain yang terkait dengan cara menjaga
kesehatan seperti informasi tentang gizi, terapi profilaksis, dan mencegah malaria
dengan kelambu di daerah endemis malaria.
i. Membahas kemungkinan untuk mengungkapkan hasil tes HIV, waktu dan cara
mengungkapkannya serta mereka yang perlu mengetahui.
j. Mendorong dan menawarkan rujukan untuk tes HIV dan konseling bagi pasangan dan
anaknya.
k. Melakukan penilaian kemungkinan mendapatkan tindak kekerasan atau kemungkinan
bunuh diri dan membahas langkah-langkah untuk mencegahnya, terutama pasien
perempuan yang didiagnosis HIV positif.
l. Merencanakan waktu khusus untuk kunjungan tindak lanjut mendatang atau rujukan
untuk pengobatan, perawatan, konseling, dukungan dan layanan lain yang diperluklan

18
oleh pasien (misalnya, skrining dan pengobatan TB, terapi profilaksis untuk IO,
pengobatan IMS, KB, perawatan hamil, terapi rumatan pengguna opioid, akses pada
layanan jarum suntik steril - LJSS).

Komunikasi dalam penyampaian hasil tes HIV reaktif.


“Hasil tes menunjukan reaktif, artinya di dalam darah anda ditemukan HIV. Kecuali
dukungan keluarga dan teman, anda juga membutuhkan perawatan medis yang dapat
membantu anda untuk menjaga kesehatan dan hidup lebih lama, meskipun anda terinfeksi
HIV.
Anda perlu berkunjung ke klinik untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan
untuk HIV yang berkelanjutan dan jangka waktu lama. Saya akan berikan surat rujukan ke
rumah sakit dengan penanganan medis yang lebih lengkap untuk memeriksakan kesehatan
anda secara berkala dan teratur dan memberitahu mereka bahwa anda mendapat
pengobatan TB dan telah di tes HIV dengan hasil positif.
Apabila pasangan anda hamil atau ingin hamil, anda harus sampaikan ke petugas
rumah sakit atau klinik rujukan sehingga mereka akan membahas cara melindungi calon
anak anda agar terhidar dari HIV. Bila pada saat ini anda belum ingin mengungkapkan
status HIV anda kepada orang lain, maka anda harus jaga surat ini baik-baik hingga anda
sampaikan ke tangan yang berwenang di rumah sakit atau klinik rujukan. Jadi perlu
sesegera mungkin anda ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan penanganan lebih
lanjut.”
3. Konseling pasca tes bagi ibu hamil.
Konseling bagi perempuan hamil dengan HIV positif juga harus meliputi masalah berikut:
a. Rencana persalinan.
b. Penggunaan antiretroviral bagi kesehatannya sendiri ketika ada indikasi, dan untuk
pencegahan penularan dari ibu ke anak.
c. Dukungan gizi yang memadai, termasuk pemenuhan kebutuhan zat besi dan asam
folat.
d. Pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan pilihannya.
e. Tes HIV bagi bayinya kelak dan tindak lanjut yang mungkin diperlukan.
f. Tes HIV bagi pasangan.

C. SITEM RUJUKAN KE LAYANAN LAIN YANG DIBUTUHKAN


Hasil tes HIV harus dikomunikasikan dengan penjelasan tentang layanan pencegahan,
pengobatan, perawatan dan dukungan kepada pasien. Program bagi penyakit kronis dan PDP
19
HIV berbasis masyarakat merupakan sumber penting dan perlu untuk membangun dan menjaga
mekanisme kerja sama dengan sumber daya tersebut. Sebagai upaya minimal maka rujukan
haruslah meliputi pemberian informasi tentang pihak yang dapat dihubungi dan alamatnya,
waktu dan cara menghubunginya. Rujukan akan berjalan efektif bila petugas kesehatan
membuat janji terlebih dahulu dengan tujuan dan membuat jadwal yang dikomunikasikan
dengan pasien serta dicatat pada catatan medis pasien. Petugas dalam jejaring rujukan
sebaiknya saling berkomunikasi secara rutin termasuk bila ada perubahan petugas sehingga
rujukan dapat berjalan secara lancar dan berkesinambungan.

D. FREKUENSI TEST HIV


Anjuran untuk melakukan tes HIV ulang sangat tergantung pada perilaku berisiko yang
masih terus berlangsung pada pasien. Tes HIV ulang setiap 6 - 12 bulan mungkin akan
bermanfaat bagi individu berisiko tinggi untuk mendapat pajanan HIV. Perempuan dengan HIV
negatif sebaiknya di tes ulang sedini mungkin pada setiap kehamilan baru. Tes HIV ulangan
pada usia kehamilan lanjut sangat dianjurkan pada semua perempuan hamil dengan HIV negatif
di daerah dengan tingkat epidemi meluas.
E. ALUR PENATALAKSANAAN TES HIV DAN KONSELING ATAS INISIASI
PETUGAS KESEHATAN (TIPK)
Bagan Alur Layanan PITC

20
Pemeriksaan antibody.
Peneriksaan antigen biasanya digunakan untuk mendiagnosis HIV pada;
1. Bayi.
2. Infeksi HIV primer.
3. Pasien pada kasus terminal, dimana pada beberapa kasus didapatkan tes antibodi
menunjukkan hasil negative walaupun gejala klinis sangat mendukung.
Metoda pemeriksaan antibodi yang tersedia adalah:
1. Rapid tes.
2. Elisa.
3. Western blot.

Kebijakan nasional, dalam sudut pandang kesehatan masyarakat dan


mempertimbangkan infrastruktur layanan kesehatan yang belum merata diseluruh Indonesia,
untuk pemeriksaan diagnostic untuk pasien dewasa dan remaja adalah dengan menggunakan
strategi 3 (tiga) yaitu menggunakan 3 jenis rapid tes.
Hal yang perlu diperhatikan dalam diagnosis HIV adalah adanya window period
(periode jendela) yang artinya suatu keadaan yang terjadi pada awal infeksi HIV, dimana
seseorang pada waktu dilakuakan tes akan di dapat hasil non reaktif sedangkan replikasi virus
mencapai tingkat optimum.
Kondisi tersebut dapat pula terjadi pada kasus terminal pada fase AIDS dimana
seseorang terdapat gejala infeksi oportunistik pada stadium 4 dan tes serologi menunjukkan
hasil non reaktif. Kondisi ini bukan merupakan periode jendela akan tetapi kondis negative
palsu (false negative) karena jumlah antibodi terlalu sedikit untuk dapat ditangkap oleh rapit
test atau elisa. Pada keadaan ini konfirmasi diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan antigen
(PCR). Di Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda metode pemeriksaan HIV yang digunakan
adalah metode rapid test.

21
BAB V
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

A. PELAKSANAAN TES CEPAT HIV, INTERPRETASI HASIL DAN KONSELING


Melaksanakan Tes Cepat HIV, Interprestasi Hasil dan Konseling :
1. Ambil darah dari ujung jari.
a. Selalu gunakan sarung tangan untuk mengambil atau mengelola darah.
b. Gosok ujung jari agar pembuluh darah melebar (jari tengah atau jari manis).
c. Bersihkan jari dengan alkohol dan biarkan mengering.
d. Pegang jari di lebih rendah daripada siku.
e. Tusuk jari dengan lancet steril yang belum terpakai.
f. Teteskan satu tetes seperti tertulis pada petunjuk teknis kemasan tes (misalnya
gunakan pipet untuk Uni-Gold HIV™ atau sample loop untuk Stot Pock™). Ulangi
prosedur ini sesuai dengan pemeriksaan yang digunakan, misalnya, Determine HIV
1/2 1-2 kali dan dua kali.
g. Buang lancet yang telah dipakai di dalam wadah yang aman.
h. Selesaikan prosedur pemeriksaan yang spesifik.
22
i. Desinfeksi jari dan tutupi dengan plester.
j. Terapkan kewaspadaan universal untuk pembuangan sampah. Cara yang umum adalah
autoclaving pada suhu 120°C selama 60 menit atau dengan pembakaran.
2. Test-Kit (Kit tes HIV).
a. Setidaknya gunakan dua macam tes yang berbeda.
b. Ikuti pedoman nasional pemeriksaan tes HIV, sesuai strategi II atau III untuk
diagnosis.
c. Patuhi tanggal kadaluwarsa, jangan digunakan kit yang telah kadaluwarsa.
d. Ikuti dengan ketat prosedur penyimpanan.
e. Bila sebelumnya kit disimpan pada suhu 2-8°C, biarkan kit tersebut mencapai suhu
ruangan dengan mengeluarkannya dari lemari pendingin kira-kira 20 menit sebelum
digunakan.
f. Validasi kit tes HIV sesuai petunjuk dari produsen dan kontrol positif dan negatif yang
disediakan. Bila mungkin gunakan kontrol untuk setiap pemeriksaan baru, batch baru
atau bila anda meragukan kondisi penyimpanannya.
g. Patuhi prosedur pemeriksaan dengan ketat.
h. Patuhi sangat ketat waktu membaca yang direkomendasikan.
i. Selalu beri label spesimen dan/atau alat pemeriksaan dengan jelas.
j. Siapkan lembar kerja dimana nomor spesimen jelas tertulis dan segera catat hasilnya,
jangan ditunda.

23
3. Mempersiapan Kit tes HIV.
a. Bila disimpan di lemari pendingin, keluarkan kit dan diamkan selama setidaknya 20
menit untuk mencapai suhu kamar (20 - 25OC).
b. Siapkan lembar kerja, tuliskan nomor batch kit; tanggal kadaluwarsa; nama pemeriksa
dan tanggal pemeriksaan.
c. Periksa kembali bahwa tanggal kadaluwarsanya belum terlampaui
d. Lakukan validasi bahwa kit masih bagus dengan menggunakan kontrol positif dan
negatif; setelah itu anda siap melaksanakan tes pada sediaan klinik yang ada.
e. Tuliskan nomor spesimen pada lembar kerja.
f. Keluarkan peralatan tes dari pembungkusnya.
g. Tuliskan nomor spesimen pada peralatan tes tsb.
h. Laksanakan tes dengan mengikuti petunjuk teknis yang ada pada kit.
4. Kit Kualitatif.
a. Siapkan Kit Tes HIV (lihat halaman sebelumnya).
b. Ambil darah dari tusukan ujung jari dengan menggunakan tabung kapiler ber EDTA.
c. Teteskan darah dari tabung kapiler 50pl pada sampel pad (tanda panah).
d. Tunggu sampai darah terserap dan tambahkan satu tetes chase buffer pada sampel pad.
e. Biarkan selama 15 menit agar terjadi reaksi.
f. Baca hasilnya antara 15-16 menit setelah penambahan sampel.
g. Interprestasikan hasil
1) Satu garis pada daerah kontrol: Hasil non rektif.
2) Dua garis pada daerah kontrol dan satu pada daerah pemeriksaan: Hasil reaktif.
3) Tidak ada garis: Hasil invalid.
a) catat hasil pemeriksaan pada lembar kerja.
b) konseling pasca tes (lihat dokumen).

Pada akhir hari kerja, simpan bahan dengan benar. Bersihkan daerah pemeriksaan dengan
desinfektan.

B. PELAKSANAAN TES CEPAT HIV, INTERPRETASI HASIL DAN KONSELING


1. Strategi I
a. Darah di tes dengan ELISA/Rapid Test yg mempunyai sensitifitas tinggi.
b. Hasil positif/tidak dapat ditentukan à dianggap terinfeksi.
c. Hasil negatif à tidak terinfeksi.
d. Strategi ini dipakai untuk:
24
1) Pelayanan transfusi/transplantasi.
2) Surveilans (di daerah prevalensi tinggi > 10%).

Alur pemeriksaan anti HIV untuk penyaring darah donor dan transplantasi:

2. Srategi II
a. Strategi ini dipakai untuk :
1) Diagnosis klinik infeksi HIV.
2) Surveilans HIV pada populasi dengan prevalensi rendah.
b. Pengulangan tes direkomendasikan untuk mengurangi hasil positif palsu.
c. Seluruh hasil yang tidak dapat ditentukan, dilaporkan dan dianalisa secara terpisah
pada setiap pelaporan surveilans tahunan.

3. Starategi III
a. Mirip strategi II, tapi dilakukan pada seluruh sampel yang positif, termasuk sampel
dengan hasil yang berlawanan sesudah pengulangan tes.
25
b. Ketiga tes harus menggunakan preparat dan metode antigen yang berbeda.
c. Bila salah satu dari ketiga tes negatif, maka hasil tes dianggap tidak dapat ditentukan.

BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI

26
Monitoring dan evaluasi sangat esensial pada pelaksanaan PITC. Monev nasional bagi
PITC harus memungkinkan para pengelola program untuk:
 Memantau kemajuan penerapan, termasuk prosedur untuk mendapatkan informed consent
dari pasien dan memastikan terjaganya konfidensialitas serta pemberian konseling oleh
tenaga konselor KTS.
 Mampu mengidentifikasi masalah dan cara mengatasinya demi perbaikan selanjutnya.
 Menilai efektivitas dan dampak dari PITC dalam hal:
- Peningkatan akses pada konseling dan tes HIV serta hasil tesnya.
- Peningkatan akses pada pemanfaatan layanan pencegahan, pengobatan, perawatan dan
dukungan HIV.
- Peningkatan kesadaran terhadap HIV dan pengobatannya.
- Pengurangan mortalitas dan morbiditas.
- Dampak sosial (misalnya: jumlah yang mengungkapkan status HIV semakin
meningkat; stigma dan diskriminasi serta dampak buruk berkurang).
 Menilai efisiensi dan kesinambungan.
 Menilai kualitas layanan laboratorium.

Rencana monitoring dan evaluasi seharusnya bertujuan untuk memanfaatkan struktur atau
mekanisme yang sudah ada dalam mengumpulkan indikator, dan tidak mengembangkan
sistem baru yang terlepas. Alat pengumpul data yang sederhana dan baku akan memungkinkan
untuk membuat perbandingan antar lokasi dan mengurangi beban kerja petugas kesehatan.
Pelatihan yang memadai dalam hal pengumpulan data sangat diperlukan dan perlu dirancang
bagi petugas kesehatan dan petugas administrasi.

Pada umumnya jumlah data dari monitoring rutin akan sangat terbatas, maka dianjurkan
untuk melakukan monitoring rutin dengan evaluasi yang terfokus pada aspek penerapan yang
spesifik. Sebagai contoh, kendali mutu dilaksanakan ditingkat sarana kesehatan. Tujuan dari
kendali mutu adalah menilai kinerja petugas, kepuasan pelanggan atau klien, dan menilai
ketepatan protokol konseling dan tes HIV yang kesemuanya bertujuan menjamin ketersediaan
layanan bermutu.

A. JAMINAN MUTU LAYANAN


Testing HIV dijalankan sesuai dengan standar pelayanan laboratorium kesehatan
pemeriksa HIV dan infeksi oportunistik (IO), terbitan Kementerian Kesehatan Tahun 2006 dan
27
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 370/Menkes/Sk/III/2007 tentang
Standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan. Untuk daerah-daerah terpencil dapat
dilakukan oleh perawat yang terlatih (mengacu pada pedoman VCT terbitan Kementerian
Kesehatan Tahun 2005).
Mutu layanan testing dan konseling diatur melalui beberapa peraturan antara lain:
1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1507/MENKES/SK/X/2005 Tentang Pedoman
Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counselling and
Testing).
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/Menkes/SK/IV/2006 Tentang Standar
Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik (IO).
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 832/Menkes/SK/X/2006 Tantang Penetapan Rumah
Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Standar Pelayanan Rumah
Sakit Rujukan ODHA dan Satelitnya.

B. PENCATATAN DAN PELAPORAN LAYANAN DAN TES HIV DAN KONSELING


ATAS INISIASI PETUGAS KESEHATAN (PITC/TIPK)
Seluruh proses pencatatan tes HIV dan konseling atas inisisasi petugas kesehatan
(PITC/TIPK), harus dicatat secara benar dan lengkap. Tahapan pencatatan dimulai pada saat
petugas kesehatan menemukan klien dengan gejala infeksi oportunistik terkait HIV. Setiap
petugas kesehatan yang melakukan PITC/TIPK harus memiliki kompetensi untuk menilai
apakah klien tersebut memiliki gejala infeksi oportunistik melalui pelatihan PITC/TIPK yang
terstandarisasi oleh Kemenkes. Proses pencatatan dilakukan dengan menggunakan formulir
pencatatan yang telah dibakukan oleh kementerian kesehatan Republik Indonesia. Hasil
pencatatan petugas PITC/TIPK akan di input oleh petugas pencatatan dan pelaporan dilayanan
VCT rujukan dengan menggunanakan aplikasi computer.
Pasien yang ditawarkan tes HIV oleh petugas PITC/TIPK biasanya sudah terindikasi
infeksi HIV dan memungkinkan penyakit yang diderita pasien salah satu infeksi oportunistik,
untuk klien yang telah diperiksa laboratorium dan hasilnya reaktif,maka petugas PITC/TIPK
berkewajiban mengisi formulir PITC/TIPK dan formulir laporan surveilans AIDS.

1. Definisi Pencatatan

28
Pencatatan adalah proses menuliskan data hasil kegiatan di unit pelayanan
kesehatan ke dalam kartu regristrasi maupun formular-formulir pencatatan yang
berkontribusi terhadap pengumpulan data rutin (facility based).
2. Ruang Lingkup.
Proses pencatatan yang ada dilayanan PITC/TIPK meliputi kegiatan pencatatan sejak
pasien diduga memiliki infeksi oportunistik HIV/AIDS, petugas kesehatan akan melakukan
proses PITC/TIPK dan mencatatkan segala informasi pada formulir yang ada. Tabel
dibawah ini akan menjelaskan tentang kegunaan dari masing-masing formulir yang ada
dilayanan konseling dan tes HIV.
Formulir Penjelasan

Form 1 – Register Pasien Ditandatangani oleh seluruh petugas yang terkait dengan
kegiatan PITC/TIPK. Petugas ini harus menjaga
kerahasiaan hasil tes dan senantiasa melindungi klien dan
pembukaan rahasia.
Form 2 – Catatan medis Formulir ini berisi informasi kegiatan PITC/TIPK, dimulai
PITC dari tanggal pemberian informasi, tes HIV dan
penyampaian hasil tes. Petugas PITC/TIPK wajib mengisi
seluruh data dalam formulir ini.
Form 3 – Inform Formulir harus ditandatangani setelah klien menyetujui
Consent dilakukan tes dan sebelum darahnya diambil untuk tes
HIV.
Form 4 – Permintaan
untuk pemeriksaan HIV
dilaboratorium
Form 5 – hasil
pemeriksaan anti HIV

Makassar, 2022
Direktur RSIA Ananda

dr. Irwan Ashari, M.Med.Ed


29

Anda mungkin juga menyukai