Anda di halaman 1dari 3

JUAL BELI JABATAN

REKRUTEMEN PERANGKAT DESA


Oleh: Darmawan, S.H., M.H.
Sekretaris Eksekutif
Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) Cabang Surabaya

Pelaksanaan rekrutmen perangkat desa di beberapa daerah banyak diwarnai dengan kasus-kasus
kecurangan mulai dari money politic, nepotisme bahkan hingga kasus jual beli jabatan.
Keuntungan serta fasilitas yang didapatkan dengan menjadi perangkat desa menjadi alasan
kecurangan-kecurangan tersebut masih terus dilancarkan. Seperti baru-baru ini kasus jual beli
jabatan yang dilakukan oleh Bupati Nganjuk yang tertangkap pada kegiatan Operasi Tangkap
Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang paling terbaru
penangkapan terhadap 8 kepada desa di Demak yang terlibat dalam transaksi jual beli jabatan
perangkat desa. Tak tanggung-tanggung harga yang dipatok untuk menduduki perangkat desa
mulai dari Rp. 150.000.000 hingga Rp. 250.000.000 sesuai jabatan yang di janjikan.
Jual beli jabatan merupakan salah satu bentuk penyimpangan hukum yang dilakukan untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dalam beberapa kasus penyimpangan tersebut juga
melibatkan aspek birokrasi dan jajaranya. Sayangnya praktik semacam ini sudah menjadi hal
yang lumrah dan dianggap biasa dalam budaya masyarakat kita.
Jual beli jabatan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang sering disebut dengan istilah
suap. Suap sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pemberian dalam
bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri. Suap berkaitan dengan gifts received ir
given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan
dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup). Tindak pidana suap sendiri diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi (tipikor).
Di antarannya:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
(2). Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal tersebut di atas memberikan ancaman hukuman pidana kepada para pihak baik yang
memberi dan/atau menjajikan sesuatu dan kepada pihak yang menerima pemberian tersebut.
Artinya tindak pidana suap merupakan sebuah bentuk penyimpangan secara komunal yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih yang masing-masing pihak menerima manfaat atas
perbuatan menyimpang tersebut.
Lebih lanjut the United Convention Againt Corruption (UNCAC) pidana suap memiliki unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan itu dilakukan dengan sengaja,
2. Perbuatan yang dimaksud berupa memberikan janji, tawaran, pemberian.
3. Pemberian tersebut merupakan pemberian yang tidak semestinya.
4. Dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung,
5. Perbuatan yang dimaksud ditunjukan kepada pejabat publik.
6. Perbuatan tersebut memberikan manfaat atau keuntungan untuk pejabat itu sendiri atau orang
atau badan lain.
7. Dimaksud agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan
tugasnya.
Kejahatan suap dimasukan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena dampak
yang diakibatkan atas perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat secara luas. Suap juga
diindikasikan dapat menimbulkan bahaya terhadap human security, yang jelas-jelas telah merusak
mental pejabat. Demi mengejar kekayaan, para pejabat negara tidak segan-segan melanggar code
of conduct sebagai aparatur negara.
Selain pemberi dan penerima suap, ancaman pidana juga diberikan kepada orang yang membantu
dan turut serta dalam perbuatan suap tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1)
tentang delneming (turut serta).
Dipidana sebagai pelaku pidana:
(1). Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan,
(2). Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunaakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
Dalam perkembanganya motif pidana suap semakin berkembang, para pelaku tidak lagi
melakukan aksinya secara pribadi tetapi sudah membentuk sebuah jaringan, yang mana aksinya
dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan rekan-rekan yang telah dipercaya sebelumnya.
Maka dengan terbentuknya jaringan tersebut, tentunya akan mempersulit proses penyelidikan
yang dilakukan pihak berwajib untuk menemukan dan menentukan aktor-aktor yang terlibat.
Sehingga disini perlu peran serta aktif masyarakat untuk melakukan mencegahan dan
memperantasan tidak pidana suap, dengan cara melaporkan kepada pihak yang berwenang setiap
bentuk tindakan/perbuatan yang masuk dalam kategeori suap sebagaimana yang disebutkan
diatas.

Anda mungkin juga menyukai